You are on page 1of 5

Tenaga Kerja Anak Dalam Sektor Industri Tembakau di Indonesia

A. Latar Belakang dan Masalah


Berdasarkan LAporan FAO, Indonesia merupakan 5 negara pengekspor tembakau terbesar di
dunia setelah Tiongkok, Brazil, India, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2013 saja, Indonesia
engekspor 25 persen dari total produksi tembakau nasional dengan nilai ekspor lebih dari 200
juta dollar. Besarnya jumlah prosuksi tembakau di Indonesia, berbanding terbalik dengan
potret kemiskinan yang ada. Diantaranya ialah maslah tenaga kerja anak yang bekerja di
perkebunan tembakau.
International Labour Organization (ILO) memperkirakan lebih dari 1,5 juta anak berusia 10
hingga 17 tahun bekerja pada sector perkebunan di Indonesia setiap tahunnya. Berdasarkan
laporan Kementrian Ketenagakerjaan terdapat sekitar 400.000 anak di seluruh Indonesia
bekerja pada sector perkebunan termasuk perkebunan tembakau. Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat merupakan daerah penghasil tembakau terbesar di
Indonesia dan menggunakan tenaga kerja anak dalam prosuksinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Human rights watch menyatakan, bahwa anak-anak mulai
bekerja di usia sebelum usia 15 tahun dan sepertiganya memulai bekerja pada industry
tembakau di usia 12 tahun. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari, menanam bibit tembakau,
menyemprot dengan pestisida, memanen daun tembakau, mengikat hasil panen, memotong,
dan mengeringkan daun tembakau. Hal tersebut merupakan proses dalam memproduksi
tembakau kering.
Motif ekonomi merupakan factor utama dari adanya tenaga kerja anak. Dengan bayaran
sebesar 5000 rupiah hingga 20.000 rupiah perhari, mereka bekerja di ladang tembakau untuk
membantu perekonomian keluarga.
Yang menjadi permasalahan utama dari kasus ini ialah ketentuan usia minimun untuk dapat
bekerja bagi anak dan bahaya yang ditimbulkan dari pekerjaan di industry tembakau bagi
anak. Karena pada hakikatnya, anak-anak belumlah memnuhi usia yang optimal dalam
bekerja, sehingga perlu terdapatnya usia minimal dan standar tersendiri untuk melindungi
hak-hak anak. Hal tersebut menjadi urgensi dikarenakan bekerja pada iperkebunan tembakau
juga memiliki bahaya nikotin dan pestisida, serta panasnya suhu udara di sekitar ladang

tembakau. Hal tersebut menyebabkan bahaya pernafasan, penyakit kulit, dan iritasi mata. Zat
nikotin yang terserap kedalam kulit menyebabkan keracunan nikotin akut yang disebut
Green Tobacco Sickness. Gejala yang paling umum dari keracunan nikotin akut adalah
mual , muntah , sakit kepala , dan pusing. Hal itu mereka rasakan saat terlebih saat masa
panen mulai tiba.
Hasil tembakau tersebut kemudian dikirim ke perusahaan rokok yang ada di Indonesia.
Perusahaan rokok terbesar yang beroperasi di Indonesia diantaranya PT Djarum PT Gudang
Garam Tbk , dan PT Nojorono Tobacco International, dan dua perusahaan yang dimiliki oleh
perusahaan rokok multinasional yaitu PT Bentoel Internasional Investama yang dimiliki oleh
British American Tobacco , dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk yang dimiliki oleh
Philip Morris International. Ironisnya,tidak terdapt prosedur tertentu dari pihak perushaan
mengenai tembakau yang dihasilkan berasal dari penggunaan tenaga kerja asnak atau tidak.
Sehingga praktik penggunaan tenaga kerja anak dalam perkebunan tembakau sulit untuk
dihentikan.
B. Analisis Malasah
Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak secara optimal, anak harus mendapat
perlindungan yang utuh, menyeluruh dan komprehensif dengan mengacu pada prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak Anak. Asas perlindungan anak menurut Undang- Undang No. 23 tahun
2002 sebagai berikut :
a) Non diskriminasi
Maksudnya adalah perlindungan kepada semua anak Indonesia tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak dan
kondisi fisik maupun mental anak.
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak
Maksudnya adalah semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif dan yudikatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.
c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
Maksudnya adalah hak azasi anak yang paling mendasar yang harus dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
d) Penghargaan terhadap pendapat anak

Maksudnya adalah penghargaan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama yang menyangkut kehidupan anak
Berkaca pada regulasi yang ada, aturan mengenai tenaga kerja anak di Indonesia, berdasarkan
ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa anak yang
dapat menjadi tenaga kerja ilah anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun dan dibatasi untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Durasi bekerjanya pun
dibatasi hanya maksimal 3 jam saja dan telah mendapat persetujuan tertulis dari orangtua.
Hal tersebut sesungguhnya merupakan implementasi dari ratifikasi konvensi ILO No. 138
tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
1999 dan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Undang - Undang No 1 Tahun 2000.
Namun di dalam ketentuan konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
bekerja disebutkan bahwa usia minimum yang telah ditetapkan untuk bekerja tidak boleh kurang

dari usia tamat sekolah wajib dan paling tidak boleh kurang dari 15 tahun untuk alasan
apapun. Sehingga ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan tidak sepenhnya pula tunduk pada
ketentuan Konvensi ILO tersebut.
Jika melihat mengeai jenis pekerjaan dan lingkungan perkebunan tembakau yang jelas
mengganggu kesehatan anak, di dalam Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan
Segera

Penghapusan

Bentukbentuk

Pekerjaan

Terburuk

Untuk

Anak

yang

kemudian

diimplementasikan di dalam UU Ketnagakerjaan pun mengklasifikasn bahwa salah satu bentuk


terburuk dari pekerjaan anak ialah pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu

dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anakanak. Sebagaimana


disinggung diatas bahwa pekerjaan di perkebunan tembakau memiliki dampak negative bagi
kesehatan yaitu Green Tobacco Sickness dengan gejala yang paling umum dari keracunan
nikotin akut adalah mual , muntah , sakit kepala , dan pusing. Hal tersebut pun sesungguhnya
diamini oleh Kepmenakertrans No. Kep. 235/Men/ 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak yang menyatakan bahwa
Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi pekerjaan yang
mengandung bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya biologis. Meskipun peraturan tersebut
tidak secara eksplisit menyatakan bahwa perkebunan tembakau memiliki risiko bahaya
biologis, namun berdasarkan fakta yang ada menunjukan resiko tersebut benar adanya.

Sehingga bahaya bagi anak yang bekerja di perkebunan tembakau tersebut memiliki resiko
atau bahaya kesehatan secara biologis yang seharusnya dapat dilindungi. Padahal menurut
Konvensi hak atas anak tahun 1989 menyatakan bahwa Negara-negara Pihak harus mengakui
hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang
mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si
anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya.
Sehingga jelas, bahwa praktik penggunaan tenaga kerja anak selama ini tidak hanya
bertentangan dengan prinsip dasar hak-hak atas anak, namun juga dengan ketentuan hokum
positif yang ada di Indonesia maupun ketentuan hokum internasional yang mengatur
mengenai hak-hak anak tersebut. Kurang komprehensifnya regulasi yang mengatur mengenai
tenaga kerja anak di bidang perkebunan tembakau, tingkat kesadaran masyarakat, dan
permasalahan ekonomi merupakan kombinasi permasalahan yang menjadi penyebab praktik
ini terus berlangsung.
C. Kesimpulan dan Saran
Permasalahn tenaga kerja anak sesungguhnya bukan hanya mengenai penegakan hak-hak atas
anak melalui implementasi hokum semata, namun lebih dari itu harus pula merujuk pada akar
permaslahan yaitu factor ekonomi dan kesenjangan social. Perlindungan terhadap anak akan
senantiasa tercipta jika kementrian terkait yaitu kementrian ketenagakerjaan dan kementrian
social bekerjasama untuk mengatasi hal ini. Berikut kami sampaikan saran bagi kementrian
ketenagakerjaandan kementrian social Republik Indonesia:
a) Merevisi daftar pekerjaan yang membahayakan kesehatan , keselamatan , dan moral
anak-anak ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Keputusan
235 tahun 2003, atau memberlakukan hukum baru atau peraturan , secara eksplisit
melarang anak-anak bekerja melalui kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk
apapun
b) Menyelidiki dan memantau pekerja anak di pertanian tembakau skala kecil termasuk
melalui inspeksi secara insidentil dan berkala
c) Membuat prosedur human rights due diligence kedalam aturan hokum bagi perusahaan
rokok di Indonesia yang membeli tembakau dari pengusaha yang melibatkan tenaga kerja
anak.
d) Bekerja dengan ILO, UNICEF, pemerintah daerah dan lokal , dan stakeholder lainnya
untuk memastikan tindak lanjut yang tepat untuk anak-anak yang putus sekolah atau tidak
masuk sekolah jangka waktu yang lama karena pekerjaan mereka di pertanian tembakau ,
termasuk dengan menawarkan program yang menjembatani anak yang putus sekolah
untuk kembali bersekolah

e) Bagi Pemerintah Indonesia untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi WHO


tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau 2003

You might also like