Professional Documents
Culture Documents
Menjelang tahun 1949 tidak ada pernyataan yang jelas mengenai jenis
profesionalisme yang akan dicari, dan jelas tidak ada pandangan yang
disepakati. Namun demikian, ada beberapa aturan dasar yang telah dicapai ol;eh
tentara yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda-beda
selama masa perjuangan meraih kemerdekaan, yang bertentangan dengan
dengan pemerintahan yang tidak bersimpati. Arti penting dari organisasi sentral
dan kesinambungan kelembagaan adalah jelas bagi semua pihak, sekalipun hal
ini mengancam kekuasan beberapa perwira secara pribadi. Ada persetujuan luas
di kalangan para perwira bahwa Angkatan Bersenjata tidak boleh menjadi ajang
campur tangan pihak sipil. Tambahan pula, dirasakan bahwa tentara sebagai
tulang punggung bangsa, patut menerima peran utama yang diakui secara jelas
dalam setiap persoalan bangsa. Lawan-lawan politik utama Angkatan Bersenjata
juga menjadi kewlas. Peristiwa Madiun telah menunjukkan bahwa para perwira,
akan watak yang bebahaya dari komunisme. Pasukan-pasukan Islam
(Hizbullah) telah menolak untuk menereima kepemimpinan TKR, dan di Jawa
Barat telah mulai berjuang untuk suatu republik Islam, yang menggunakan
nama gerakan Darul Islam.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya secara formal diakui dalam KMB
( Konperensi Meja Bundar) di Den Haag tahun 1949. Undang-undang Dasar
yang berlaku mengambi bentuk konsitusi negara-negara Barat, termasuk
Angkatan Bersenjata harus tunduk terhadap sipil. Tujuan perjuangan Republik
tidaklah untuk mempertahankan kepentingan militer. Kaum politisi sipil yang
lebih terikat pada gagasan-gagasan demokrasi-liberal atau sosialis-liberal untuk
sebagian besar jauh lebih tua dan lebih berpengalaman di bidang politik
1
dilakukannya
demobilisasi
atas
bagian-bagian Angkatan
Bersenjata, tetapi tindakan itu juga menyangkut seleksi ataspara perwira untuk
latihan dan kemajuan lebih lanjut. Pimpinan dengan demikian harus
menghadapi oposisi dari banyak pihak, khususnya para perwira yang dilatih
PETA, yang khawatir menerima perlakuan diskriminatif di tangan elite yang
berpendidikan lebih baik dan lebih berorientasi Barat. Banyak di antara mereka
yang menolak mengikuti latihan lebih lanjut yang dianggapnya sebagai
gannguan yang tidak perlu.
Rivalitas di antara kelompok-kelompok faksional di lingkungan perwira yang
bersaing untuk menguasai lembaga-lembaga Angkatan Bersenjata berlangsung
dengan hebat, dan konflik tersebut dianggap bersifat ideologis. Konflik atas
penguasaan lembaga-lembaga pendidikan
karena
Sumpah) yang baru saja diciptakan oleh pemimpin sekolah itu, Bambang
Supeno.
Bambang Supeno seorang perwira eks-PETA dan pernah menjadi Komandan
Jawa Timyr, mempunyai hubungan erat dengan Soekarno dan mengusulkan
suatu konsepsi yang jauh lebih popular mengenai peranan Angkatan Bersenjata
daripada yang dikemukakan oleh Nasution dan Simatupang atau perwiraperwira staf yang berpikiran professional lainnya di Markas Besar Angkatan
Darat. Ia berpendapat bahwa ambisi suatu Angkatan Darat yang sangat terlatih,
ahli dan professional, adalah suatu resep untuk kertgantungan internasional, dan
bagaimanapun tidaklah sesuatu untuk peperangan gerilya yang merupakan satusatunya jenis pertempuran yang mungkin dihadapi oleh pasukan-pasukan
Indonesia.
Sebagaimana ditunjukkan oleh McVey, ada alasan untuk bersikap hati-hari
dalam memberikan terlalu banyak kedudukan ideologis pada Bambang Supeno
dan para pendukungnya Ungkapan-ungkapan bernada populis dan bahkan
radikal, seringkali muncul dari mereka yang tidak dekat dengan pusat
kekuasaan. Sebaliknya orang-orang yang ada di pusat kekuasan secara wajar
cenderung pada profesionalisme, keahlian, disiplin dan hirarki. Tetapi jelas,
bahwa Bambang Supeno mewakili para pembakang yang merasa dirugikan oleh
pimpinan yang kebanyakan di antaranya berpendidikan lebih baik, dan karena
latihan dari Belanda yang diperoleh tampak lebih mahir dalam pekerjaan staf.
Di samping persoalan-persaoalan aktual yang muncul dari pertikaian, konflik
tersebut menunjukkan betapa pentingnya ideologi itu. Konflik itu juga
mengungkapkan kurangnya kewibawan yang sesungguhnya dalam pimpinan
Angkatan Darat yang tidak mampu mengarahkan dukungan cukup untuk
mengambil langkah yang menentukan ke arah profesionalisme, strategi yang
dipilihnya. Untuk melawan posisi yang datang dari akademi, maka pimpinan
4
Angkatan Darat menutup akademi tersebut dan memecat Bambang Supeno dari
jabatannya.
Sebagai ganti Akademi Cahndradimuka di hukalah Sekolah Staf dan
Komando yang pertama pada bulan November 1951 di Cililitan, Jakarta
( kemudian di Bandung ) dibawah pimpinan Letkol Mokoginta dengan siswa
angkatan pertama berjumlah 26 orang. Di sini kurikulum mencakup pelajaran
mengenai peraturan-peraturan militer (seremonial dan legal), teknologi
persenjataan, adiministrasi kermiliteran, membaca peta, taktik dan banyak lagi
pengetahuan mekanik dan teknik dengan penerapan militer. Kurikulum itu juga
memberi penekanan pada studi mengenai kebudayaan Indonesia, kemiliteran
dan ideologi negara, pendidikan kejiawaan dan sejarah kebudayaan nasional.
Kedua aspek latihan di Sekolah Staf dan Komando itu mencerminkan dengan
jitu dan gaya utama dalam pencarian kemantapann ideologi tentara Indonesia.
Bagaimana Demokrasi Parlementer di mana banyak partai dengan ideologiideologi yang sangat beraneka ragam saling berlomba untuk ikut serta dalam
kekuasaan politik jelas sangat membingungkan para perwira Angkatan Darat,
dan dengan segera membenarkan penilaian negatif mereka mengenai politik
sipil dan para pelakunya. Tambahan lagi, kenang-kenangan mengenai lahirnya
Angkatan
Darat,
perjuangan
untuk
mempertahankan
hidupnya
dan
Eksistensi SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat ) dan watak
campuran dari kursusnya, membantu menjelaskan adanya kreinginan untuk
membangun Angkatan Darat yang kuat dan efektif. Untuk sebagian ini
merupakan masalah untuk mendapatkan perlengkapan kemiliteran negara yang
diakui secara internasional, satu lembaga militer dengan organisasi, keahlian
dan teknologi modern,
Sekalipun beberapa orang perwira di kirim ke luar negeri untuk mendapatkan
latihan kemiliteran formal, disadari bahwa meskipun bantuan semacam ini
berguna namun bukan merupakan kompensasi bagi terciptanya suatu suasana di
mana orang-orang Indonesia dapat bertanggung jawab atas kepribadian militer
mereka sendiri. Tetapi dalam upaya ini kepemimpinan Angkatan Darat
dikalahkan oleh kurang stabilnya kekuasannya. Pada tahun 1952, diskusidiskusi dimulai mengenai pembukaan kembali suatu Akademi Militer untuk
kadet perwira. Meskipun demikian keputusan untuk membuka akademi itu tidak
bisa diambil, karena tidak ada jaminan bahwa akademi itu akan tetap berada di
bawah pengendalian pimpinan Angkatan Bersenjata.
Rivalitas antara faksi-faksi yang bersaing untuk kepemimpinan Angkatan Darat,
harus dilihat dari latar belakang pembahasan menyeluruh atas peranan dan
kewibawaan Angkatan Bersenjata. Dibandingkan kurun waktu 1945 1949,
peranan Angkatan Darat sekarang sangat berkurang, dan sekalipun para perwirta
mempunyai keinginan kuat untuk dilibatkan dalam politik nasional, mereka tak
punya kekuatan kelembagaan untuk mendukung tuntutannya, mereka juga gagal
mencapai suatu persetujuan ideologi mengenai bagaimana cara yang sebaikbaiknya untuk memajukannya ( Peter Britton, 1996 : 64 69 )
tambahan bagi Belanda ketika MMB masih berlaku. Mereka sepakat dengan
pendirian Belanda bahwa hanya sedikit alasan bagi Angkatan Bersenjata
Indonesia menghadapi untuk menggalkan serbuan dari luar negeri, mereka
justru harus ditingkatkan kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas
intern. Ketika Perang Korea sedang berlangsung, Amerika Serikat bertindak
dengan memberikan pengiriman pertama berupa senjata, material dan latihan
kepada Angkatan Kepolisian. Pada tahun 1951, kantor atase militer Amerika
Serikat di Jakarta mulai mengirimkan sepuluh perwira Angkatan Bersenjata
setiap tahunnya ke berbagai sekolah dan pusat latihan militer di AS.
Perang Korea adalah sangat penting dalam hubungannya dengan politik
Amerika Serikat terhadap Indonesia. Kekuatiran terhadaop Komunisme sebagai
suatu ancaman terhadap tatanan dunia menyebabkan Amerika Serikat
mengetatkan syarat-syarat untuk pemberian bantuan kepada negara-negara yang
baru merdeka. Semua bantuan Amerika dikoordinasi oleh Direktur untuk
keamanan bersama ( Director of Mutual Security), dan semua negara
diharuskan menandatangani pernyataan yang mengikat negara itu untuk
membantu posisi dan strategi Amerika Serikat. Pada bulan Januari 1952,
Menteri Luar Negeri Indonesia menerima syarat-syarat ini untuk kelanjutan
bantuan. Kegaduhan yang mengikuti diumumkannya Perjanjian Keamanan
Bersama ( Mutual Security Act ) di Indonesia mengungkapkan bahwa Menteri
Hubungan Luar Negeri Achmad Subardjo telah menerima perjanjian itu tanpa
berkonsultasi dengan Menteri Pertahanan atau para permimpin Angkatan
Bersenjata. Sebagaimana ditunjukkan oleh Mrazek, tampaknya Amerika Serikat
telah berangggapan bahwa Indonesia yang anti-komunis dapat dengan aman
pro-Amerika, suatu salah pengertian yang semua mengenai kuatnya rasa
nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun 1952, pihak oposisi di parlemen terhadap kabinet Wilopo
memperjuangkan tuntutan para perwira pembakang yang kuatir bahwa
keterikatan faksional serta kekurangan tingkat pendidikan mereka akan
menyebabkan mereka terkena sanksi dalam serangkaian program baru
demobilisasi, penurunan pangkat dan latihan yang diusulkan oleh pimpinan
pusat Angkatan Darat. Tetapi kegiatan di parlemen itu di pandang oleh
8
pimpinan pusat Angkatan Darat sebagai suatu campur tangan sipil atas utusanurusan militer yang tak dapat diterima. Pada tanggal 17 Oktober 1952 para
pimpinan Angkatan Bersenjata ini mengorganisir demontrasi demontrasi di
luar parlemen untuk menyertai mereka menuntut kepada Presiden Soekarno
agar membubarkan parlemen. Presiden Soekarno menolak tuntutan mereka
tetapi malah memberi semangat kepada para pembakang, yang sebagian besar
adalah bekas perwira PETA, dan diantara mereka Bambang Supeno adalah
tokoh utamanya. Kejadian ini kemudian diikuti oleh serangkaian perebutan
kekuasaan komando Angkatan Darat di wilayah-wilayah propinsi Jawa Timur,
Indonesia Timur dan Sumatera Selatan. Korps perwira kini semakin terpecah
dan semakin sakit hati satu sama lain dibandingkan dengan sebelumnya. Dari
tujuh panglima divisi, tiga menduduki jabatannya dengan menumbangkan
kedudukan panglima yang sebelumnya
Angkatan Bersenjata. Pada awal tahun 1955, para perwira senior yang mewakili
faksi-faksi Angkatan Bersenjata mengirkarkan persatuan di makam Jenderal
Soedirman. Harapan mereka untuk mendapatkan pengaruh politik lebih besar
tampak mendapat pembenaran ketika pada bulan Juni 1955. mereka bersama
sama menolak pengangkatan politis dari seorang perwira yang relatif muda,
Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf, dan dengan demikian mempercepat
jatuhnya pemerintahan.
Dengan tidak adanya kesepakatan mengenai Kepala Staf yang sesuai, Nasution
dipanggil kembali untuk menduduki jabatan itu. Penunjukkannya merupakan
kemunduran persatuan yang baru timbul di dalam tubuh Angkatan Bersenjata,
tetapi Nasution mampu bertindak dengan tujuan baru, dan pada akhirnya
mencapai sukses yang lebih besar. Nasution dengan segera menyatakan
maksudnya untuk melaksanakan program memperkuat lembaga kemiliteran dan
memprofesionalkan korps perwiranya. Selama dasawarsa yang mengikuti
penunjukkannya kembali sebagai Kepala Staf itu, Angkatan Darat Indonesia
telah berubah menjadi suatu lembaga yang kuat dengan kepentingan ekonomi
yang besar serta peranan utama dalam politik nasional. ( Peter Britton , 1996 :
71 74 )
Tentara Indonresia dalam arti tertentu adalah tentara rakyat , Korps
perwiranya bukanlah elite yang terseleksi secara ketat untuk melindungi status
quo., tetapi muncul secara spontan dalam masa revolusi. Meskipun perriode
revolusioner itu cenderung melibatkan tentara dalam kancah politik, namun
tidak mampu menciptakan perwira-perwira yang mempunyai konsepsi ideologis
yang jelas mengenai kepentingan dan tujuaa mereka sendiri. Tidak seperti
tentara revolusioner Cina, misalnya, yang telah tumbuh melewati dua dasawarsa
di bawah kepemimpinan sebuah partai politik yang berkeyakinan ideologinya
terumuskan secara jelas, tentara Indonesia tumbuh dari pengalaman
10
11
Sapta Marga lahir dari pembicaraan dalam sidang Kepala-kepala Staf pada
tahun 1951 yang terdiri dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal
Mayor T.B. Simatupang sebagai ketua dan Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel
A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut Kolonel Soebijakto dan Kepada Staf
Angkatan Udara Komodor Soeryadarma sebagai anggotanya.
Pada saat pengakuan kedaultan 27 Desember 1949, Kepala Staf Angkatan
Perang (KSAP) Jenderal Sudirman sedang sakit di Rumah Sakit Tentara (RST)
Magelang. Untuk menjalankan tugas sehari-hari KSAP diangkatlah Kolonel
T.B. Simatupang menjadi pemangku jabatan Kepala Staf Angkatan Perang.
Setelah Soediman wafat pada bulan Januari 1950 . T.B. Simatupang diangkat
sebagai KSAP dengan pangkat Jenderal Mayor .Selama tahun 1950 itu semua
perhatian KSAP dan Gabungan Kepala Staf (GKS) umumnya disita oleh
masalah-masalah peralihan, yaitu pengangkatan pasukan Angkatan Perang ke
negerinya, pembubaran KNIL, dan penerimaan sebagian anggota KNIL, dalam
Angkatan Perang RIS. Di samping itu, TNI juga harus menghadapi
pemberontakan yang telah muncul sebelum Pengakuan Kedaulatan. Baru
setelah masalah peralihan dilewati, GKS dapat memberikan perhatian kepada
masalah yang lebih mendasar dengan melihat jauh kedepan. Untuk itu
dikembangkan pokok-pokok sebagai berikut :
Pertama, harus diusahakan agar pengalaman bangsa-bangsa lain yang berupa
instabilitas yang berlepanjangan setelah mereka mengalami perang rakyat, tidak
terulang di Indonbesia. Menurut analisis GKS pada waktu itu pengalaman
bangsa-bangsa lain sperti di negara-negara Amerika Latin, Spanyol setelah
perang gerilya melawan Napoleon dan juga di Cina di bawah Kuo Min Tang
telah mengalami kesulitan politik yang berkepanjangan oleh karena mereka
13
14
Misi Militer Belanda (MMB) masih diperlukan dalam rangka alih teknologi
militer berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
banyak di antara anggota MMB yang dapat berbahasa Indonesia, dan sebaliknya
diantara anggota APRI masih banyak yang dapat berbahasa Belanda. Dengan
demikian untuk alih teknologi militer itu diperlukan waktu yang singkat
dibandingkan dengan apabila Indonesia mendatangkan misi militer dari
Amerika misalnya. Kedua, MMB dengan sendirinya akan meninggalkan
Indonesia apabila APRI tidak memerlukannya lagi, sedangkan suatu misi militer
dari suatu negara yang besar dan kuat, misalnya Amerika Serikat akan berusaha
untuk tetap bercokol, sekalipun Indonesia mempersilahkannya untuk pergi.
Dalam sidang-sidang GKS disadari bahwa program pembangunan angkatan
perang tersebut masih perlu dilengkapi dengan dimensi yang lain, yaitu yang
menyangkut semangat dan jiwa sebagai pejuang. Oleh sebab itu, timbul gagasan
untuk menyusun sustu Pedoman Prajurit. Untuk itu, KSAP Jenderal Mayor
T.B. Simatupang menulis memorandum kepada Kepala Staf Angkatan
mengenai Pedoman Rapat untuk bahan pembicaraan dalam rapat GKS dengan
melampirkan buku pedoman prajurit angkatan perang dari negara-negara lain
sebagai bahan perbandingan. Jenderal Mayor T.B. Simatupang berpendapat
bahwa di samping Sumpah Prajurit perlu ada Pedoman Prajurit yang akan
memuat petunjuk bagi pelaksanaan penghayatan dan npengamalan Sumpah
Prajurit itu dalam kehidupan sehari-hari para prajurit Republik Indonesia.
GKS menerima usul perumusan Pedoman Prajurit tersebut. Pokok-pokok
pertimbangan keputusan GKS untuk menyusun suatu Pedoman Prajurit
adalah sebagai berikut :
Pertama : proses profesionalisasi bukanlah berarti bahwa jiwa dan semangat
juang serta patriotisme yang merupakan modal utama TNI menjadi lenyap atau
15
menjadi makin lemah, tetapi njiwa dan semangat itu justru harus terus dipupuk
dan ditingkatkan.
Kedua: Seperti dialami dalam sejarah dari banyak tentara, maka perpindahan
TNI dari gunung ke kota-kota telah melahirkan bahaya melemahnya moral dan
mental.
Ketiga : Masuknya unsur-unsur baru dalam TNI, antara lain bekas anggota
KNIL, berarti diperlukan pemupukan jiwa persatuan dan kesadaran mengenai
jiwa dan semangat juang secarateris-menerus .
Keempat : Dalam pertumbuhan menjadi angkatan perang yang professional dan
modern, TNI tidak hanya mrngungkapkan kepribadian yang khas sebagai
bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai prajurit Indonesia.
Dengan latar belakang pertimbangan-pertimbangan itu, GKS membentuk
panitia yang bertugas menyusun konsep Pedoman Prajurit . Panitian itu
diketuai oleh Kolonel Bambang Supeno atas usul KSAD. Para anggota terdiri
dari Letnan Kolonel A Latief Hendraningrat merangkap Wakil Ketua, Mayor
Laut Santoso, dan Kapten Kusmarjo, serta Mayor Guritno dari Angkatan Udara.
Dalam penyusunan konsep itu, Panitia juga meminta semua pendapat dari
cendikiawan, budayawan, dan politikus, seperti Mr Sutan Takdir Alisyahbana,
Mr Muh Yamin, Ki Hajar Dewantara, Prof Dr Purbocaroko, Mr Wongsonegoro,
dan Ir Sakirman. Para tokoh itu meminta agardalam menyusun pedioman iti
Panitia memperhatikan sopan santun ketimuran
patriotisme yang menjadi landasan teori prajurit dan agar Angkatan Perang tidak
menjadi kelas istimewa dengan tetap pada sifat kerakyatran.
16
Kami Ksatria Indonesia, yang betaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
istilah
itu
( Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Jilid III , Hlm. 135 139 )
18