You are on page 1of 18

TNI dan Demokrasi Liberal

Menjelang tahun 1949 tidak ada pernyataan yang jelas mengenai jenis
profesionalisme yang akan dicari, dan jelas tidak ada pandangan yang
disepakati. Namun demikian, ada beberapa aturan dasar yang telah dicapai ol;eh
tentara yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda-beda
selama masa perjuangan meraih kemerdekaan, yang bertentangan dengan
dengan pemerintahan yang tidak bersimpati. Arti penting dari organisasi sentral
dan kesinambungan kelembagaan adalah jelas bagi semua pihak, sekalipun hal
ini mengancam kekuasan beberapa perwira secara pribadi. Ada persetujuan luas
di kalangan para perwira bahwa Angkatan Bersenjata tidak boleh menjadi ajang
campur tangan pihak sipil. Tambahan pula, dirasakan bahwa tentara sebagai
tulang punggung bangsa, patut menerima peran utama yang diakui secara jelas
dalam setiap persoalan bangsa. Lawan-lawan politik utama Angkatan Bersenjata
juga menjadi kewlas. Peristiwa Madiun telah menunjukkan bahwa para perwira,
akan watak yang bebahaya dari komunisme. Pasukan-pasukan Islam
(Hizbullah) telah menolak untuk menereima kepemimpinan TKR, dan di Jawa
Barat telah mulai berjuang untuk suatu republik Islam, yang menggunakan
nama gerakan Darul Islam.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya secara formal diakui dalam KMB
( Konperensi Meja Bundar) di Den Haag tahun 1949. Undang-undang Dasar
yang berlaku mengambi bentuk konsitusi negara-negara Barat, termasuk
Angkatan Bersenjata harus tunduk terhadap sipil. Tujuan perjuangan Republik
tidaklah untuk mempertahankan kepentingan militer. Kaum politisi sipil yang
lebih terikat pada gagasan-gagasan demokrasi-liberal atau sosialis-liberal untuk
sebagian besar jauh lebih tua dan lebih berpengalaman di bidang politik
1

ketimbang pada perwira Angkatan Bersenjata. Tahun 1950-an adalah kurun


waktu di mana pemerintahan parlementer diterapkan di Indonesia. Kurun waktu
ini juga merupakan tahun-tahun pengekangan terhadap militer, dan tahun-tahun
frustasi bagi para perwiranya. Angkatan Bersenjata dihambat dalam usahanya
untuk mengatasi keadaan politik yang merugikan itu karena tidak adanya kohesi
di kalangan para perwira dan sifat lembaga kemiliteran yang masih terbelakang.
Gagasan dominasi sipil atas militer di Indonesia berasal dari Belanda
Kebanyakan para perwira Indonesia menerima hal ini dengan rasa tidak enak
Sebagaimana kita lihat, hal ini merupakan suatu persoalan yang telah
menimbulkan perpecahan yang cukup hebat ketika Sudirman menentang
langkah-langkah yang bertujuan agar kegiatan Angkatan Bersenjata dimonitor
oleh komisaris-komisaris politik. Tetapi, Sudirman tidak mengalami sepenuhnya
kurun waktu kemerdekaan. Setelah Sudirman meninggal (1950), kepemimpinan
Angkatan Bersenjata dialihkan kepada Nasution dan Simatupang, keduanya dari
Sumatera, yang menerima latihan KNIL dan lebih orientasi ke gaya
profesionalisme Barat daripada Sudirman ataupun pengikutnya dari Jawa.
Nasution dan Simatupang tampak bersedia menerima pembatasan konsitusional
atas poerang Angkatan Bersenajata atas peran Angkatan Bersenjata dan lebih
mencurahkan perhatian pada masalah-masalah mendesak yang berkaitan dengan
konsilidasi Angkatan Bersenjata pada masa damai. Mereka lebih menaruh
perhatian untuk menciptakan Angkatan Bersenjata yang teerlatih lebih baik,
lebih terkendali, lebih kecil, dan diakui lebih professional dibanding dengan
yang ada. Yang masih mempunyai suatu struktur sederhana. Sesekalipun
tercapai persetujuan dasar di kalangan Angkatan Bersenjata mengenai tujuan
professional dari pembangunan kelembagaan. Nasution menjadi frustasi
dalam pelaksanaan program kearah tujuan itu karena kekurangan kewibawaan.
Lembaga tidak cukup kuat untuk memastikan bahwa perintah-perintah dari atas
akan dilaksanakan oleh para komandan yang mempunyai derajat otonomi yang
besar. Nasution tidak memiliki kewibawan pribadi untuk menghadapi masalah
ini dengan sukses, di samping tidak mempunyai dana cukup untuk mendukung
keputusan-keputusannya Angkatan Darat untuk sebagian besar masih
membiayai dirinya sendiri npada tingkat divisi.

Bagaimanapun juga, kepemimpinan Nasution bukanya tanpa dukungan Para


perwira dari divisi Siliwangi (divisi lama Nasution) dan Brigade Mobil
menonjol dalam memberi dukungan pada kepemimpinannya. Kedua pasukan ini
mempunyai sejumlah personil eks-KNIL yang tinggi proposional. Kedua
pasukan ini dibentuk oleh pemerintah untuk beroperasi pada umumnya di luar
komando Sudirman, dan menerima perintah dan Menteri Pertahanan.
Tindakan kepemimpiam Angkatan Bersenjata ke arah regulerisasi itu
membutuhkan

dilakukannya

demobilisasi

atas

bagian-bagian Angkatan

Bersenjata, tetapi tindakan itu juga menyangkut seleksi ataspara perwira untuk
latihan dan kemajuan lebih lanjut. Pimpinan dengan demikian harus
menghadapi oposisi dari banyak pihak, khususnya para perwira yang dilatih
PETA, yang khawatir menerima perlakuan diskriminatif di tangan elite yang
berpendidikan lebih baik dan lebih berorientasi Barat. Banyak di antara mereka
yang menolak mengikuti latihan lebih lanjut yang dianggapnya sebagai
gannguan yang tidak perlu.
Rivalitas di antara kelompok-kelompok faksional di lingkungan perwira yang
bersaing untuk menguasai lembaga-lembaga Angkatan Bersenjata berlangsung
dengan hebat, dan konflik tersebut dianggap bersifat ideologis. Konflik atas
penguasaan lembaga-lembaga pendidikan

bersifat sangat serius

karena

pengaruh atas ideologi yang mungkin ditimbulkannya. Satu di antara lembaga


semacam itu, Akademi Chandradimuka merupakan pokok persoalan dan
penentangan yang tajam itu. Akademi yang terletak di Bandung itu, adalah
cikal-bakal dari Sekolah Staf dan Komando yang melatih orang-orang yang
sudah menduduki pangkat perwira. Akademi ini memberikan beberapa
pendidikan umum dan pendidikan militer teknis. Tetapi penekanan utamanya
adalah mengenai masalah-masalah ideologi, terutama Sapta Marga (Tujuh

Sumpah) yang baru saja diciptakan oleh pemimpin sekolah itu, Bambang
Supeno.
Bambang Supeno seorang perwira eks-PETA dan pernah menjadi Komandan
Jawa Timyr, mempunyai hubungan erat dengan Soekarno dan mengusulkan
suatu konsepsi yang jauh lebih popular mengenai peranan Angkatan Bersenjata
daripada yang dikemukakan oleh Nasution dan Simatupang atau perwiraperwira staf yang berpikiran professional lainnya di Markas Besar Angkatan
Darat. Ia berpendapat bahwa ambisi suatu Angkatan Darat yang sangat terlatih,
ahli dan professional, adalah suatu resep untuk kertgantungan internasional, dan
bagaimanapun tidaklah sesuatu untuk peperangan gerilya yang merupakan satusatunya jenis pertempuran yang mungkin dihadapi oleh pasukan-pasukan
Indonesia.
Sebagaimana ditunjukkan oleh McVey, ada alasan untuk bersikap hati-hari
dalam memberikan terlalu banyak kedudukan ideologis pada Bambang Supeno
dan para pendukungnya Ungkapan-ungkapan bernada populis dan bahkan
radikal, seringkali muncul dari mereka yang tidak dekat dengan pusat
kekuasaan. Sebaliknya orang-orang yang ada di pusat kekuasan secara wajar
cenderung pada profesionalisme, keahlian, disiplin dan hirarki. Tetapi jelas,
bahwa Bambang Supeno mewakili para pembakang yang merasa dirugikan oleh
pimpinan yang kebanyakan di antaranya berpendidikan lebih baik, dan karena
latihan dari Belanda yang diperoleh tampak lebih mahir dalam pekerjaan staf.
Di samping persoalan-persaoalan aktual yang muncul dari pertikaian, konflik
tersebut menunjukkan betapa pentingnya ideologi itu. Konflik itu juga
mengungkapkan kurangnya kewibawan yang sesungguhnya dalam pimpinan
Angkatan Darat yang tidak mampu mengarahkan dukungan cukup untuk
mengambil langkah yang menentukan ke arah profesionalisme, strategi yang
dipilihnya. Untuk melawan posisi yang datang dari akademi, maka pimpinan
4

Angkatan Darat menutup akademi tersebut dan memecat Bambang Supeno dari
jabatannya.
Sebagai ganti Akademi Cahndradimuka di hukalah Sekolah Staf dan
Komando yang pertama pada bulan November 1951 di Cililitan, Jakarta
( kemudian di Bandung ) dibawah pimpinan Letkol Mokoginta dengan siswa
angkatan pertama berjumlah 26 orang. Di sini kurikulum mencakup pelajaran
mengenai peraturan-peraturan militer (seremonial dan legal), teknologi
persenjataan, adiministrasi kermiliteran, membaca peta, taktik dan banyak lagi
pengetahuan mekanik dan teknik dengan penerapan militer. Kurikulum itu juga
memberi penekanan pada studi mengenai kebudayaan Indonesia, kemiliteran
dan ideologi negara, pendidikan kejiawaan dan sejarah kebudayaan nasional.
Kedua aspek latihan di Sekolah Staf dan Komando itu mencerminkan dengan
jitu dan gaya utama dalam pencarian kemantapann ideologi tentara Indonesia.
Bagaimana Demokrasi Parlementer di mana banyak partai dengan ideologiideologi yang sangat beraneka ragam saling berlomba untuk ikut serta dalam
kekuasaan politik jelas sangat membingungkan para perwira Angkatan Darat,
dan dengan segera membenarkan penilaian negatif mereka mengenai politik
sipil dan para pelakunya. Tambahan lagi, kenang-kenangan mengenai lahirnya
Angkatan

Darat,

perjuangan

untuk

mempertahankan

hidupnya

dan

kemenangan-kemenangannya menyarankan suatu identitas yang mereka


merasa, harus dipertimbangkan dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tetapi
perbedaan-perbedaan ideologi di kalangan korps perwira sangat menguras
tenaga. Bobot dari perbedaan-perbedaan ini terasa bahwa semakin akut lagi,
disebabkan oleh pelajaran yang sebelumnya telah ditarik dari Sudirman
mengenai kebutuhan akan persatuan ideologi. Kesatuan ideologi itu sulit
dipahami dalam konteks perebutan kekuasaan yang berlangsung terus di dalam
korps.
5

Eksistensi SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat ) dan watak
campuran dari kursusnya, membantu menjelaskan adanya kreinginan untuk
membangun Angkatan Darat yang kuat dan efektif. Untuk sebagian ini
merupakan masalah untuk mendapatkan perlengkapan kemiliteran negara yang
diakui secara internasional, satu lembaga militer dengan organisasi, keahlian
dan teknologi modern,
Sekalipun beberapa orang perwira di kirim ke luar negeri untuk mendapatkan
latihan kemiliteran formal, disadari bahwa meskipun bantuan semacam ini
berguna namun bukan merupakan kompensasi bagi terciptanya suatu suasana di
mana orang-orang Indonesia dapat bertanggung jawab atas kepribadian militer
mereka sendiri. Tetapi dalam upaya ini kepemimpinan Angkatan Darat
dikalahkan oleh kurang stabilnya kekuasannya. Pada tahun 1952, diskusidiskusi dimulai mengenai pembukaan kembali suatu Akademi Militer untuk
kadet perwira. Meskipun demikian keputusan untuk membuka akademi itu tidak
bisa diambil, karena tidak ada jaminan bahwa akademi itu akan tetap berada di
bawah pengendalian pimpinan Angkatan Bersenjata.
Rivalitas antara faksi-faksi yang bersaing untuk kepemimpinan Angkatan Darat,
harus dilihat dari latar belakang pembahasan menyeluruh atas peranan dan
kewibawaan Angkatan Bersenjata. Dibandingkan kurun waktu 1945 1949,
peranan Angkatan Darat sekarang sangat berkurang, dan sekalipun para perwirta
mempunyai keinginan kuat untuk dilibatkan dalam politik nasional, mereka tak
punya kekuatan kelembagaan untuk mendukung tuntutannya, mereka juga gagal
mencapai suatu persetujuan ideologi mengenai bagaimana cara yang sebaikbaiknya untuk memajukannya ( Peter Britton, 1996 : 64 69 )

Pengalaman perjuangan untuk memerdekaan juga telah menunjukan bahwa


meskipun bambu runcing adalah penting, namun ada kebutuhan yang tak
terelakan akan pesenjataan, peralatan dan organisasi modern. Jadi tugasnya
adalah melaksanakan profesionalisme tanpa meninggalkan kepribadian sebagai
manusia Indonesia, dan keuntungan-keuntungan ideologi bagi prajurit
Indonesia. Dalam satu segi terdapat semacam penulangan dari pendirian yang
diungkapkan lewat Budi Utomo dalam dasawarsa pertama abad lalu, tetapi
masih belum sempurna dan belum terpecahkan Adalah penting bahwa orangorang Indonesia yang sadar, para perwira eks-PETA, maupun para penganjur
modernisasi dari staf Angkatan Bersenjata dilatih Belanda, mempunyai suatu
kerangka mental untuk mengizinkan bantuan asing sebagai salah satu unsyr
dalam upaya modernisasi. Angkatan Bersenjata. Tetapi sekali lagi, ada
kertidasepakatan atau pokok di antara para perwira mengenai bantuan apa yang
dapat diterima dan dari mana.
Nasution dan Simatupang mendapat dorongan dalam usahanya untuk
memodernisasikan dan meregulerkan Angkatan Bersenjata melalui ketentuanketentuan Persetujuan Meja Bundar Den Haag Tahun1949 yang telah
mensahkan Misi Militer Belanda (MMB) di Indonesia untuk jangka waktu tiga
tahun. MMB terdiri dari beratus-ratus instruktur Belanda untuk menjalankan
berbagai rencana pendidikan dan latihan. Sekalipun rencana ini sesuai benar
dengan program kepemimpinan Angkatan Darat namun cukup menyakitkan hati
sebagian besar perwira yang merasa marah karena harus tunduk pada latihan
yang diberikan oleh para anggota tentara yang baru saja mereka perangi. Pada
umumnya, para instruktur Belanda mendapat penghargaan sedikit sekali dan
sangat tidak dipercaya. Huru-hara mengenai masalah MMB membantu
memperburuk ketegangan antara faksi-faksi yang bersaing dalam kurun waktu
sebelum krisis akhir tahun 1952. Persetujuan yang menjadi dasar MMB
berakhir pada tahun 1953 dan tidak dirundingkan kembali.
Negara asing lain yang menawarkan bantuan kepada Angkatan Bersenjata
Indonesia adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat bertindak selaku tenaga
7

tambahan bagi Belanda ketika MMB masih berlaku. Mereka sepakat dengan
pendirian Belanda bahwa hanya sedikit alasan bagi Angkatan Bersenjata
Indonesia menghadapi untuk menggalkan serbuan dari luar negeri, mereka
justru harus ditingkatkan kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas
intern. Ketika Perang Korea sedang berlangsung, Amerika Serikat bertindak
dengan memberikan pengiriman pertama berupa senjata, material dan latihan
kepada Angkatan Kepolisian. Pada tahun 1951, kantor atase militer Amerika
Serikat di Jakarta mulai mengirimkan sepuluh perwira Angkatan Bersenjata
setiap tahunnya ke berbagai sekolah dan pusat latihan militer di AS.
Perang Korea adalah sangat penting dalam hubungannya dengan politik
Amerika Serikat terhadap Indonesia. Kekuatiran terhadaop Komunisme sebagai
suatu ancaman terhadap tatanan dunia menyebabkan Amerika Serikat
mengetatkan syarat-syarat untuk pemberian bantuan kepada negara-negara yang
baru merdeka. Semua bantuan Amerika dikoordinasi oleh Direktur untuk
keamanan bersama ( Director of Mutual Security), dan semua negara
diharuskan menandatangani pernyataan yang mengikat negara itu untuk
membantu posisi dan strategi Amerika Serikat. Pada bulan Januari 1952,
Menteri Luar Negeri Indonesia menerima syarat-syarat ini untuk kelanjutan
bantuan. Kegaduhan yang mengikuti diumumkannya Perjanjian Keamanan
Bersama ( Mutual Security Act ) di Indonesia mengungkapkan bahwa Menteri
Hubungan Luar Negeri Achmad Subardjo telah menerima perjanjian itu tanpa
berkonsultasi dengan Menteri Pertahanan atau para permimpin Angkatan
Bersenjata. Sebagaimana ditunjukkan oleh Mrazek, tampaknya Amerika Serikat
telah berangggapan bahwa Indonesia yang anti-komunis dapat dengan aman
pro-Amerika, suatu salah pengertian yang semua mengenai kuatnya rasa
nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun 1952, pihak oposisi di parlemen terhadap kabinet Wilopo
memperjuangkan tuntutan para perwira pembakang yang kuatir bahwa
keterikatan faksional serta kekurangan tingkat pendidikan mereka akan
menyebabkan mereka terkena sanksi dalam serangkaian program baru
demobilisasi, penurunan pangkat dan latihan yang diusulkan oleh pimpinan
pusat Angkatan Darat. Tetapi kegiatan di parlemen itu di pandang oleh
8

pimpinan pusat Angkatan Darat sebagai suatu campur tangan sipil atas utusanurusan militer yang tak dapat diterima. Pada tanggal 17 Oktober 1952 para
pimpinan Angkatan Bersenjata ini mengorganisir demontrasi demontrasi di
luar parlemen untuk menyertai mereka menuntut kepada Presiden Soekarno
agar membubarkan parlemen. Presiden Soekarno menolak tuntutan mereka
tetapi malah memberi semangat kepada para pembakang, yang sebagian besar
adalah bekas perwira PETA, dan diantara mereka Bambang Supeno adalah
tokoh utamanya. Kejadian ini kemudian diikuti oleh serangkaian perebutan
kekuasaan komando Angkatan Darat di wilayah-wilayah propinsi Jawa Timur,
Indonesia Timur dan Sumatera Selatan. Korps perwira kini semakin terpecah
dan semakin sakit hati satu sama lain dibandingkan dengan sebelumnya. Dari
tujuh panglima divisi, tiga menduduki jabatannya dengan menumbangkan
kedudukan panglima yang sebelumnya

mendukung kepemimpinan pusat

Angkatan Bersenjata. Pada tanggal 16 Desember 1952, Nasution dipecat dari


jabatannya.
Demokrasi Parlementer di Indonesia berjalan tertatih-tatih memasuki resesi
ekonomi menyusul boom Perang Korea dan para perwira militer menjadi
semakin banyak keluhannya mengenai tingkat kepemimpinan yang diberikan
oleh para politisi sipil. Kebutuhan-kebutuhan militer tidak dapat dibiayai secara
memadai, dan sejak tahun 1954 dan seterusnya para komandan provinsi
semakin memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka

lewat kegiatan bisnis

setempat, barter dan penyelundupan. Sekalipun ketidakefektifan kepemimpinan


pusat dan rusaknya disiplin dalam tubuh Angkatan Bersenjata menyebabkan
terjadinya ketidakefektifan Angkatan Bersenjata dalam politik nasional, namun
para perwira dalam keadaan yang sulit ini menemukan kembali rasa
kebersamaan dalam melihat keadaan yang menyedihkan itu demi kepentingan
bersama. Telah dipikirkan sebelumnya bahwa persatuan politik di kalangan
perwira dapat menghasilkan kedudukan yang lebih terpusat dan lebih kuat untuk
9

Angkatan Bersenjata. Pada awal tahun 1955, para perwira senior yang mewakili
faksi-faksi Angkatan Bersenjata mengirkarkan persatuan di makam Jenderal
Soedirman. Harapan mereka untuk mendapatkan pengaruh politik lebih besar
tampak mendapat pembenaran ketika pada bulan Juni 1955. mereka bersama
sama menolak pengangkatan politis dari seorang perwira yang relatif muda,
Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf, dan dengan demikian mempercepat
jatuhnya pemerintahan.
Dengan tidak adanya kesepakatan mengenai Kepala Staf yang sesuai, Nasution
dipanggil kembali untuk menduduki jabatan itu. Penunjukkannya merupakan
kemunduran persatuan yang baru timbul di dalam tubuh Angkatan Bersenjata,
tetapi Nasution mampu bertindak dengan tujuan baru, dan pada akhirnya
mencapai sukses yang lebih besar. Nasution dengan segera menyatakan
maksudnya untuk melaksanakan program memperkuat lembaga kemiliteran dan
memprofesionalkan korps perwiranya. Selama dasawarsa yang mengikuti
penunjukkannya kembali sebagai Kepala Staf itu, Angkatan Darat Indonesia
telah berubah menjadi suatu lembaga yang kuat dengan kepentingan ekonomi
yang besar serta peranan utama dalam politik nasional. ( Peter Britton , 1996 :
71 74 )
Tentara Indonresia dalam arti tertentu adalah tentara rakyat , Korps
perwiranya bukanlah elite yang terseleksi secara ketat untuk melindungi status
quo., tetapi muncul secara spontan dalam masa revolusi. Meskipun perriode
revolusioner itu cenderung melibatkan tentara dalam kancah politik, namun
tidak mampu menciptakan perwira-perwira yang mempunyai konsepsi ideologis
yang jelas mengenai kepentingan dan tujuaa mereka sendiri. Tidak seperti
tentara revolusioner Cina, misalnya, yang telah tumbuh melewati dua dasawarsa
di bawah kepemimpinan sebuah partai politik yang berkeyakinan ideologinya
terumuskan secara jelas, tentara Indonesia tumbuh dari pengalaman
10

revolusioner dengan keyakinan tentang nasionalisme yang sedikit lebih kuat


daripada Cina

tetapi tidak terrumuskan secara jelas.

Desakan dari situasi

lingkungan di mana tentara dimobilisasi tidaklah memberi kesempatan untuk


memberi perhatian kepada suatu indoktrinasi deologis, dan dalam banyak hal,
kepelbagian tiap dari tiap kesatuan yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan
tentara yang baru menyebabkan mereka tak mungkin menciptakan suatu
pandangan politik yang seragam . Meskipun para perwira percaya bahwa
mereka sendiri wajib meyakini cita-cita revolusi tahun 1945 yang agak kabur
dan yang harus tetap ditegakkan, namun sesungguhnya mereka tak memiliki
pandangan yang meyakinkan tentang masa depan dan suatu program untuk
mencapai hal itu. Walupun berasal dari tentara rakyat, di masa revolusi tentara
tidak pernah menciptakan suatu ideologi revolusioner yang dapat memberikan
pedoman bagi kegiatan-kegiatan politik di masa-masa setelah revolusi ( Harold
Crouch, 1986 : 34 35 )
Sumpah Prajurit lahir di tengah-tengah perjuangan membela kemerdekaan. Pada
bulan November 1945, Kepala Staf Angkatan Perang Oerip Sumohardjo
menugasi T.B. Simatupang untuk menyusun sumpah bagi tentara. Setelah draf
tersusun, T.B. Simatupang kemudian membandingkan dengan Sumpah Perwira
KNIL yang terdiri dari tiga pokok, yaitu
1 Ik zweer trouw aan de Koningin ( Saya bersumpah setia pada ratu )
2 Gehoorzaamgeid aan de wetten ( Taat kepada undang-undang )
3 Onderwerping aan Krijgstucht ( Tunduk kepada peraturan disiplin
tentara)
Tiga pokok sumpah tersebut, yang sifatnya universal dijadikan acuan untuk
menyusun sumpah prajurit yang disesuaikan dengan kondisi tentara revolusi.

11

Sumpah Prajurit sangat berbeda dengan Sumpah Perwira KNIL Perbedaan


pokok ialah, Sumpah Prajurit tidak dapat dibatasi untuk para perwira saja,
karena berhubungan dengan jiwa tentara. Justru dengan adanya suasana
kerakyatan itu, Sumpah Prajurit sangat menekankan kepada disiplin dan
ketaatan kepada atasan, sebab tanpa disiplin dan ketaatan kepada atasan, tidak
mungkin akan ter4capai konsolidasi dalam tentara. Oleh sebab itu, Sumpah
Prajurit harus tegas menonjolkan kesetiaan kepada pemerintah, kepada undangundang serta ideologi negara.
Sebagai tentara yang lahir dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, maka
Sumpah Prajurit harus memuat segi rasa tanggung jawab dan tidak hanya sefi
disiplin dan kesetiaan kepada pemerintah saja, tetapi perlu dimasukkan juga
kewajiban untuk memegang teguh rahasia.
Rumusan Sumpah Prajurit oleh T.B. Simatupang disampaikan kepada Kepala
Staf Angkatan Perang. Tanpa mengalami perubahan, konsep yang dibuat oleh
T.B. Simatupang tersebut langsung disetujui oleh Letnan Jenderal Oerip
Sumohardjo. Walaupun saat itu tidak ada surat keputusan resmi untuk
menetapkan Sumpah Prajurit itu, namun konsep itu dianggap sah sebagai
Sumpah Prajurit seperti yang kita kenal sampai sekarang ini, yaitu :
1 Setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan
idelogi negara
2 Tunduk kepada hukum tentara
3 Menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab
kepada tentara dan Negara Republik Indonesia
4 Memegang teguh disiplin tentara, berarti tunduk, setia, hormat,
serta taat kepada atasan dengan tak membantah perintah atau putusan
5 Memegang teguh rahasia tentara sekeras-kerasnya
12

Sapta Marga lahir dari pembicaraan dalam sidang Kepala-kepala Staf pada
tahun 1951 yang terdiri dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal
Mayor T.B. Simatupang sebagai ketua dan Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel
A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut Kolonel Soebijakto dan Kepada Staf
Angkatan Udara Komodor Soeryadarma sebagai anggotanya.
Pada saat pengakuan kedaultan 27 Desember 1949, Kepala Staf Angkatan
Perang (KSAP) Jenderal Sudirman sedang sakit di Rumah Sakit Tentara (RST)
Magelang. Untuk menjalankan tugas sehari-hari KSAP diangkatlah Kolonel
T.B. Simatupang menjadi pemangku jabatan Kepala Staf Angkatan Perang.
Setelah Soediman wafat pada bulan Januari 1950 . T.B. Simatupang diangkat
sebagai KSAP dengan pangkat Jenderal Mayor .Selama tahun 1950 itu semua
perhatian KSAP dan Gabungan Kepala Staf (GKS) umumnya disita oleh
masalah-masalah peralihan, yaitu pengangkatan pasukan Angkatan Perang ke
negerinya, pembubaran KNIL, dan penerimaan sebagian anggota KNIL, dalam
Angkatan Perang RIS. Di samping itu, TNI juga harus menghadapi
pemberontakan yang telah muncul sebelum Pengakuan Kedaulatan. Baru
setelah masalah peralihan dilewati, GKS dapat memberikan perhatian kepada
masalah yang lebih mendasar dengan melihat jauh kedepan. Untuk itu
dikembangkan pokok-pokok sebagai berikut :
Pertama, harus diusahakan agar pengalaman bangsa-bangsa lain yang berupa
instabilitas yang berlepanjangan setelah mereka mengalami perang rakyat, tidak
terulang di Indonbesia. Menurut analisis GKS pada waktu itu pengalaman
bangsa-bangsa lain sperti di negara-negara Amerika Latin, Spanyol setelah
perang gerilya melawan Napoleon dan juga di Cina di bawah Kuo Min Tang
telah mengalami kesulitan politik yang berkepanjangan oleh karena mereka

13

tidak segera mengadakan profesionalisasi dalam angkatan bersenjata setelah


perang rakyat berakhir.
Kedua, Menurut jiwa UUD 1945, dalam jangka waktu panjang sistem
pertahanan di Indonesia akan terdiri atas tentara jabatan sebagai inti yang
dilengkapi dengan warga negara yang mengalami wajib militer.
Ketiga, Apabila Indonesia diserang oleh musuh dari luar maka cara berperang
yang terbuka sebelum adanya industri yang kuat dan maju adalah perang rakyat,
Keempat, Angkatan Perahng harus tetap mampu menghadapi masalah
keamanan, termasuk menghadapi dan menyelesaikan masalah Darul Islam (DI)
dan pemberontakan yang lain.
Kelima, Di tengah pertentangan antara kekuatan-kekuatan politik mengenai
dasar negara, TNI harus sebagai pembela Pancasula dan tidak boleh diombangambingkan apalagi dipecah belah oleh kekuatan-kekuatan yang saling
bertentangan itu.
Berdasarkan pertimbangan pokok pikiran tersebut di atas perlu diadakan
program pembangunan angkatan perang yang terdiri atas mutasi, seleksi,
reorganisasi dan rasionalisasi, demobilisasi, pendidikan ulang yang menuntut
adanya sistem pendidikan yang lengkap seperti dimiliki oleh angkatan perang
yang modern dan professional dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi,
yaitu sekolah staf dan komando. Selain itu, diperlukan juga alih teknologi
militer, sebab APRI belum memiliki tenaga-tenaga professional yang dapat
menjadi guru dalam sistem pendidikannya.

14

Misi Militer Belanda (MMB) masih diperlukan dalam rangka alih teknologi
militer berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

yang pragmatis. Pertama,

banyak di antara anggota MMB yang dapat berbahasa Indonesia, dan sebaliknya
diantara anggota APRI masih banyak yang dapat berbahasa Belanda. Dengan
demikian untuk alih teknologi militer itu diperlukan waktu yang singkat
dibandingkan dengan apabila Indonesia mendatangkan misi militer dari
Amerika misalnya. Kedua, MMB dengan sendirinya akan meninggalkan
Indonesia apabila APRI tidak memerlukannya lagi, sedangkan suatu misi militer
dari suatu negara yang besar dan kuat, misalnya Amerika Serikat akan berusaha
untuk tetap bercokol, sekalipun Indonesia mempersilahkannya untuk pergi.
Dalam sidang-sidang GKS disadari bahwa program pembangunan angkatan
perang tersebut masih perlu dilengkapi dengan dimensi yang lain, yaitu yang
menyangkut semangat dan jiwa sebagai pejuang. Oleh sebab itu, timbul gagasan
untuk menyusun sustu Pedoman Prajurit. Untuk itu, KSAP Jenderal Mayor
T.B. Simatupang menulis memorandum kepada Kepala Staf Angkatan
mengenai Pedoman Rapat untuk bahan pembicaraan dalam rapat GKS dengan
melampirkan buku pedoman prajurit angkatan perang dari negara-negara lain
sebagai bahan perbandingan. Jenderal Mayor T.B. Simatupang berpendapat
bahwa di samping Sumpah Prajurit perlu ada Pedoman Prajurit yang akan
memuat petunjuk bagi pelaksanaan penghayatan dan npengamalan Sumpah
Prajurit itu dalam kehidupan sehari-hari para prajurit Republik Indonesia.
GKS menerima usul perumusan Pedoman Prajurit tersebut. Pokok-pokok
pertimbangan keputusan GKS untuk menyusun suatu Pedoman Prajurit
adalah sebagai berikut :
Pertama : proses profesionalisasi bukanlah berarti bahwa jiwa dan semangat
juang serta patriotisme yang merupakan modal utama TNI menjadi lenyap atau

15

menjadi makin lemah, tetapi njiwa dan semangat itu justru harus terus dipupuk
dan ditingkatkan.
Kedua: Seperti dialami dalam sejarah dari banyak tentara, maka perpindahan
TNI dari gunung ke kota-kota telah melahirkan bahaya melemahnya moral dan
mental.
Ketiga : Masuknya unsur-unsur baru dalam TNI, antara lain bekas anggota
KNIL, berarti diperlukan pemupukan jiwa persatuan dan kesadaran mengenai
jiwa dan semangat juang secarateris-menerus .
Keempat : Dalam pertumbuhan menjadi angkatan perang yang professional dan
modern, TNI tidak hanya mrngungkapkan kepribadian yang khas sebagai
bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai prajurit Indonesia.
Dengan latar belakang pertimbangan-pertimbangan itu, GKS membentuk
panitia yang bertugas menyusun konsep Pedoman Prajurit . Panitian itu
diketuai oleh Kolonel Bambang Supeno atas usul KSAD. Para anggota terdiri
dari Letnan Kolonel A Latief Hendraningrat merangkap Wakil Ketua, Mayor
Laut Santoso, dan Kapten Kusmarjo, serta Mayor Guritno dari Angkatan Udara.
Dalam penyusunan konsep itu, Panitia juga meminta semua pendapat dari
cendikiawan, budayawan, dan politikus, seperti Mr Sutan Takdir Alisyahbana,
Mr Muh Yamin, Ki Hajar Dewantara, Prof Dr Purbocaroko, Mr Wongsonegoro,
dan Ir Sakirman. Para tokoh itu meminta agardalam menyusun pedioman iti
Panitia memperhatikan sopan santun ketimuran

agar tetap dipelihara,

patriotisme yang menjadi landasan teori prajurit dan agar Angkatan Perang tidak
menjadi kelas istimewa dengan tetap pada sifat kerakyatran.

16

Setelah pekerjaan rampung, panitia itu melaporkan hasil pekerjannya kepada


GKS. Dalam rapat GKS hasil pekerjaan panitia itu disempurnakan, agar
terdapat urutan sistimatis. Mula-mula tentang tugas sebagai warga negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila, yaitu
kepribafian khas sebagai prajurit Indonesia. Kemudian menyusul perincian yang
berkaitan dengan tugas-tugas sebagai prajurit Indonesia.
Dalam suatu pembicaraan yang agak panjang mengenai nama Pedoman
Prajurit itu, Mayor Jnderal T.B. Simatupang sebagai ketua sidang
mengemukakan pandangannya bahwa paling baik ialah nama yang sederhana,
yaitu Pedoman Prajurit . Skan tetapi, semua anggota GKS dan anggotaanggota Panitia menghendaki nama yang indah yang mengungkapkan keluhuran
serta keagungan dan yang sedikit banyak mengandung unsur misteri. KSAD
Kolonel A.J. Nasution membandingkan dengan nama Pancasila. Seandainya
Pancasila disebut sebagai Lima Pokok saja, maka daya tariknya akan jauh
lebih kecil. Oleh sebab itu, nama yang diusulkannya untuk Pedoman Prajurit
adalah Sapta Marga. T.B. Simatupang memahami bahwa rupanya terdapat
perasaan yang menghendaki agar dipilih nama yang tidak hanya bersifat
rasional, tetapi nama yang juga mengungkapkan dimensi-dimensi perasaan,
yang lebih dalam. Oleh sebab itu, nama Sapta Marga diterima oleh GKS
dengan suara bulat.
Demikianlah saat kelahiran Sapta Marga , tidak ada surat keputusan formal
yang menetapkan Sapta Marga itu sebagai Pedoman Prajurit . Yang terjadi
ialah bahwa pada peringatan Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober
1951, telah dibacakan untuk pertama kali di depan umum pedoman prajurit
yang berbunyi :
1

Kami Warga Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang


bersendikan Pancasila.
17

Kami Patriot Indonesia, pendukung serta membela Ideologi Negara


yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.

Kami Ksatria Indonesia, yang betaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.

Kami Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia, adalah


Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.

Kami Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia, memegang


teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjujung
tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.

Kami Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia, mengutamakan


keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia
berbakti kepada Negara dan Bangsa

Kami Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia, setia dan


menepati janji serta Sumpah Prajurit

Sejalan dengan perkembangan organisasi, istilah Angkatan Perang Republik


Indonesia kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Terakhir

istilah

itu

berubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia.

( Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Jilid III , Hlm. 135 139 )

18

You might also like