Professional Documents
Culture Documents
Daftar singkatan dan penjelasan 02
PENDAHULUAN 03
Utang tidak sah 04
Utang diktator 05
Tanggung Jawab Pinjaman 05
Mekanisme Industri Norwegia-dan kebijakan pembangunan menciptakan utang 06
tidak sah
Badan Kredit Ekspor 06
Kredit Campuran 07
Kebijakan Norwegia mengenai utang 08
Proposal bagi kerangka kerja yang komprehensif 09
Kampanye Ekspor Kapal 10
INDONESIA 13
Korupsi di Indonesia 14
Asia-Plan: Investasi yang dipicu oleh rejim diktator 15
Posisi utang Indonesia pada Norwegia 16
KASUS 18
Pembangkit Listrik Tenaga Ombak di Jawa 18
Teknologi yang terbukti tidak sesuai 18
Mengapa harus Indonesia? 19
Jalan panjang yang berliku 21
Kegagalan – problem teknologi dan krisis keuangan yang mendadak 22
Perjuangan untuk mendapatkan solusi 24
Penanganan yang cepat 26
Apa yang telah diperoleh Indonesia? 27
Pendanaan yang tidak bertanggungjawab? 27
Pelanggaran kontrak? 28
Seawatch 30
Harapan yang terlalu tinggi 30
Apa yang terjadi? 31
Pendanaan yang tidak bertanggungjawab? 34
KESIMPULAN 36
Referensi 38
Daftar individu dan lembaga yang ditemui:
Penulis:
Tim Peneliti: Magnus Flacké dan Khoirun Nikmah (INFID)
Diterbitkan oleh:
SLUG; The Norwegian Coalition for Debt Cancellation, www.slettgjelda.no, dan
INFID; International NGO Forum on Indonesian Development, www.infid.org
‐ 1 ‐
SINGKATAN DAN PENJELASAN
‐ 2 ‐
PENDAHULUAN
Mayoritas nilai kontrak dibiayai melalui skema kredit ekspor. Utang-utang ini
harus dibayar oleh negara Indonesia. Terhitung per Desember 2008,
Republik Indonesia memiliki utang hampir 100 juta dolar AS, yang berasal
dari tujuh proyek berasal dari Norwegia.
‐ 3 ‐
pembuatan kapal. Begitu juga dalam perdebatan perubahan iklim yang
sedang berlangsung, salah satu topik diskusi utama bagaimana cara
membiayai adaptasi iklim dan alih teknologi lingkungan ke negara-negara
berkembang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran SLUG, di mana negara-
negara industri bermaksud mengatasi krisis iklim yang telah diciptakan
melalui mekanisme keuangan yang dapat membawa negara-negara miskin
ke dalam utang yang lebih lanjut.
Tidak ada definisi yang disepakati secara umum tentang utang yang tidak
sah. Di kalangan sebagian besar pihak pemberi pinjaman, konsep utang
yang tidak sah masih belum diterima, namun konsep tersebut semakin
memperoleh pengakuan yang lebih banyak. Perdebatan yang tumbuh
tentang utang yang tidak sah lebih dipicu oleh penelitian yang didanai
Norwegia yang diterbitkan oleh Bank Dunia3 dan Perserikatan Bangsa-
1
Pada tahun 2005, total Bantuan Pembangunan Resmi sebesar 106,8 milliar USD (data
diperoleh dari OECD) sedangkan data Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara
berkembang melakukan pembayaran utang sebesar 513,8 milliar pada tahun yang sama.
Slett ikke ferdig – Ti år med gjeld på dagsorden, SLUG og Jubilee Debt Campaign (2008)
2
Eurodad, 2009 Debt in the Downturn
3
World Bank, 2007. The concept of Odious Debt: Some Considerations
‐ 4 ‐
Bangsa4, serta komitmen Norwegia untuk mengangkat debat internasional
tentang konsep tersebut.
Utang diktator
Meskipun tidak ada definisi umum tentang konsep utang yang tidak sah, ada
pengakuan yang semakin meningkat akan pentingnya legitimasi utang dan
kontrak untuk menghindari pinjam meminjam yang sembarangan. Oleh
karena itu tanggung jawab pihak pemberi pinjaman dan pihak peminjam
dalam proses kontrak pinjaman telah memperoleh perhatian yang meningkat
di tahun-tahun terakhir ini. Kreditor resmi dan Lembaga Kredit Ekspor
cenderung fokus pada keberlanjutan keuangan dari utang dalam konteks
yang sempit, sedangkan masyarakat sipil lebih menitikberatkan pada
4
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), 2007. Discussion
Papers No. 185. The Concept of Odious Debt In Public International Law
5
In Noreena Hertz, 2005. Gjeldens Historie
6
SLUG & Jubilee Debt Campaign, 2008. Slett ikke ferdig – Ti år med gjeld på dagsorden
‐ 5 ‐
tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar keberkelangsungan tingkat
utang. Tanggung Jawab meliputi hal-hal kualitatif seperti perjanjian kontrak,
transparansi, hak asasi manusia dan kebutuhan akan mekanisme yang
dapat diprediksi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas.7
7
Brynildsen, Ø. S. 2009. Borrow My Pension, SLUG
8
Aas-Hansen, J & T. G. Hugo, 2008. Etikk på kreditt, SLUG
9
http://www.eca-watch.org
10
http://www.eca-watch.org
11
http://www.giek.no
‐ 6 ‐
perdagangan senjata, dan sasaran-sasaran pembangunan12. Ada juga
permasalahan bahwa kontribusi bagi pengentasan kemiskinan di negara
tuan rumah13 tidak dinyatakan sebagai salah satu tujuan GIEK. Akibatnya,
pinjaman yang ditawarkan untuk mempromosikan kepentingan bisnis
Norwegia tidak selalu konsisten dengan tujuan kebijakan luar negeri
Norwegia lainnya, seperti pengentasan kemiskinan dan pembangunan
berkelanjutan.
Kedua proyek yang akan dievaluasi dalam laporan ini dibiayai dengan
skema kredit campuran. Istilah ini mengacu pada campuran dari pinjaman
komersial, jaminan kredit ekspor, dan elemen hibah yang diambil dari
anggaran bantuan. Kredit campuran digunakan untuk mempromosikan
investasi di negara-negara berkembang14.
12
Aas-Hansen, J & T. G. Hugo, 2008. Etikk på kreditt, SLUG
13
Kecuali proyek yang menjadi bagian dari ”u-landsordningen”
14
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
15
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
16
Interview dengan Bappenas
17
NOU 1995:5 – Norsk sør-politikk for en verden i endring
18
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
19
NOU 2008:14 – Samstemt for utvikling?
‐ 7 ‐
satu sumber utama pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan,
tetapi negara-negara miskin hanya menerima sebagian kecil dari investasi di
dunia. Di banyak negara berpenghasilan rendah, kondisi politik dan ekonomi
seperti ketidakstabilan politik, lemahnya perkembangan pasar keuangan dan
infrastruktur, tidak memadainya aturan hukum, perang dan kerusuhan,
adalah beberapa alasan mengapa arus investasi global biasanya berjalan ke
tempat lain. Kredit Campuran barangkali dapat memobilisasi sumberdaya
tambahan untuk pengembangan dan mendorong investasi yang lebih
banyak20. Namun, dalam proyek yang dibiayai kredit campuran di negara-
negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, kredit ekspor, beban
yang harus dilunasi, sekitar tiga kali elemen dana hibah.
Anggaran Negara Koalisi partai Salib yang berkuasa tahun 2010 dan Soria
Moria II yaitu deklarasi kebijakan pemerintah Stoltenberg Oktober 2009,
menyatakan komitmennya memajukan bidang keuangan yang bertanggung
jawab dan utang yang tidak sah. Dalam Soria Moria II dinyatakan
pemerintah akan:
‐ 8 ‐
Norwegia. Ini berarti pemerintah Norwegia akan melakukan audit
independen atas seluruh utang terhadap Norwegia dan praktek pinjaman
Norwegia. Tujuannya untuk menjamin Norwegia tidak mengumpulkan klaim
yang tidak sah dan memastikan pinjaman yang bertanggung jawab di masa
depan yang tidak memiliki kontribusi pada pengadaan utang yang tidak sah.
Sejalan dengan kebijakan pembangunan Norwegia, klaim yang ditemukan
tidak sah harus dibatalkan secara sepihak dan tanpa syarat.
Proposal bagi Kerangka yang Komprehensif
Dari laporan SLUG berjudul Borrow My Pension1
Sebuah inisiatif menjanjikan, mencoba menjawab sejumlah tantangan di atas dengan Piagam
Eurodad tentang Pendanaan yang Bertanggung Jawab2. Piagam menyajikan sejumlah prinsip‐
prinsip dan pengaturan praktis yang harus dimasukkan ke dalam standar perjanjian pinjaman
guna memastikan prediktabilitas dan kondisi yang adil bagi pemberi pinjaman dan peminjam,
serta melindungi masyarakat dan lingkungan di negara‐negara berkembang. Secara
keseluruhan piagam ini bermaksud menjamin pinjam meminjam yang berkelanjutan dan
bertanggung jawab melalui serangkaian standar yang mengikat secara hukum, di mana
pemberi pinjaman maupun peminjam memiliki komitmen untuk mematuhinya sehingga
mencegah adanya akumulasi utang baru yang tidak sah.
Piagam ini ditujukan untuk memberi masukan yang sangat konkret mengenai perdebatan
yang sedang berlangsung tentang pinjam meminjam yang berkelanjutan dan bertanggung
jawab. Piagam juga telah menerima umpan balik yang cukup positif dari pemberi pinjaman
maupun peminjam. Pemerintah Norwegia sendiri memandang Piagam merupakan titik awal
yang baik untuk membahas rincian tentang apa yang menjadi tanggung jawab dan bagaimana
tanggung jawab harus dibagi bersama antara pemberi pinjaman dan peminjam. Pada bulan
Desember 2009, Komite Luar Negeri dan Pertahanan di Parlemen Norwegia memberikan
rekomendasi untuk menetapkan kriteria bagi tanggung jawab pinjman serta mengusulkan
menggunakan Piagam Eurodad sebagai titik awal3.
1
Brynildsen, Ø. S. 2009. Borrow My Pension, SLUG
2
Eurodad’s Charter on Responsible Financing:
http://www.eurodad.org/whatsnew/reports.aspx?id=2060
3
Stortinget støtter Eurodad-charter:
http://www.slettgjelda.no/Tema/Norsk_gjeldspolitikk/Artikler/Stortinget+st%C3%B8tter+Eurodad-
charter.b7C_wlfW5-.ips
‐ 9 ‐
KAMPANYE EKSPOR KAPAL
Dari laporan SLUG – Mengapa Norwegia harus Bertanggungjawab sebagai Kreditor – kasus kampanye
Ekspor Kapal (Why Norway took Creditor Responsibility – the case of the Ship Export campaign)1
Pada bulan Oktober 2006, Menteri Pembangunan Internasional Norwegia, Erik
Solheim, mengumumkan Norwegia secara sepihak dan tanpa syarat, membatalkan
utang dari Kampanye Ekspor Kapal pada akhir tahun 70‐an.
Pada tahun 70‐an, terjadi krisis di industri pembuatan kapal Norwegia. Pada saat itu
ribuan pekerjaan sedang dipertaruhkan. Jawabannya adalah Kampanye Ekspor
Kapal – suatu mekanisme di mana negara‐negara berkembang akan mendapatkan
pinjaman murah sebagai imbalan untuk membeli kapal Norwegia. Harapannya hal
ini akan membantu industri pembuatan kapal Norwegia, dan pada saat bersamaan
akan bermanfaat bagi negara peminjam. 156 kapal dan peralatan senilai 3,7 miliar
NOK telah diekspor, termasuk elemen hibah sebesar sekitar 25%.
Pada awalnya, jelas sekali proyek‐proyek tersebut memiliki resiko tinggi dan pihak
pemberi pinjaman bisa menghadapi masalah kesulitan pembayaran. Alasan utama
memberikan kredit untuk memastikan galangan kapal Norwegia memiliki pekerjaan
yang cukup. Kualitas kontrol diturunkan dan kredit diberikan untuk proyek‐proyek
yang seharusnya dianggap terlalu beresiko.
Dalam Kertas Putih Parlemen Norwegia nr. 25 1988‐89, disimpulkan kampanye
ditandai sebagai inisiatif yang menguntungkan dengan dampak perkembangan yang
sangat sedikit bagi negara‐negara yang terlibat. Dalam retrospeksi, Kampanye
Ekspor Kapal sebagaimana cara yang dijalankan itu hanya memiliki manfaat yang
terbatas sebagai bantuan pembangunan. Kampanye ini juga dikritik karena analisis
kebutuhan dan penilaian resiko yang tidak memadai. Kesimpulan utamanya adalah
kampanye semacam ini jangan sampai terulang lagi. Namun, kami harus menunggu
selama 17 tahun sebelum Norwegia memutuskan membatalkan semua utang yang
tersisa dari kampanye ini, setelah kampanye yang intensif dari SLUG, Changemaker
dan Bantuan Gereja Norwegia.
Telah diakui kampanye menunjukkan kebijakan pembangunan yang gagal, dan
Norwegia, sebagai kreditor, memiliki tanggung jawab bersama atas utang yang
terjadi. Ini adalah pertama kalinya suatu kreditor mengakui tanggung jawab atas
pinjaman yang tidak bertanggung jawab atau pinjaman yang buruk, dan kemudian
mengambil tindakan. Hal ini merupakan langkah yang penting dan signifikan
terhadap tanggung jawab kreditor dan perlunya peningkatan kesetaraan antara
kreditor dan debitor. Pembatalan ini bersifat sepihak, tanpa syarat dan tidak
dibiayai atas anggaran bantuan. Alasan di balik pembatalan itu adalah keadilan,
apakah negara penerima mampu atau tidak mampu membayar menjadi tidak
relevan lagi.
1
Brynildsen, Ø. S. 2009. Borrow My Pension, SLUG
‐ 10 ‐
Utang baru yang kotor (New Dirty Debts)?
Tiga tahun setelah Norwegia membatalkan utang dari Kampanye
Ekspor Kapal dan menyimpulkan kampanye semacam ini jangan
sampai terulang lagi, industri pembangunan kapal sekali lagi
membutuhkan penyelamatan, dan Menteri Perdagangan Norwegia,
Trond Giske, telah menyerukan diadakannya pertemuan darurat.
Sebagai bagian dari respon pemerintah terhadap krisis keuangan,
penggunaan kredit ekspor semakin diperkuat dengan meningkatkan
anggaran GIEK hingga 110 miliar NOK pada tahun 2009. Pada
beberapa kali wawancara, Menteri Perdagangan menyatakan hal ini
secara ekslusif ditujukan untuk kepentingan domestik. SLUG telah
menyatakan keprihatinannya mengenai hal ini dan memperingatkan
pemerintah agar tidak mengulangi kesalahannya: Negara‐negara
berkembang seharusnya tidak mengalami peningkatan beban utang
mereka sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan industri
nasional.
‐ 11 ‐
Foto: Magnus Flacké ‐ 12 ‐
INDONESIA
Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia
Tenggara dan juga anggota G-2023. Indonesia juga merupakan negara yang
mengalami pukulan paling berat akibat krisis keuangan Asia Timur pada
tahun 1997 yang mengakibatkan jutaan warganya hidup dalam kemiskinan.
Indonesia telah memperoleh kembali pertumbuhan keuangannya, namun
pertumbuhan tidak selalu menjangkau segmen penduduk miskin. Pada
tahun 2009, negara ini berada pada peringkat 111 dari Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan diklasifikasikan
sebagai "pembangunan manusia menengah"24. Menurut Bank Dunia, hampir
setengah dari populasi hidup kurang dari 2 USD per hari25. Pada bulan
Desember 2008, total utang luar negeri Indonesia mencapai 78 milyar
USD26. Setiap tahun, Pemerintah Indonesia mengalokasikan uang yang
lebih banyak dari anggaran pemerintah untuk membayar utang dari masa
Suharto yang seharusnya dibelanjakan bagi pelayanan sosial seperti
kesehatan, pendidikan, perumahan, pelayanan publik dan lingkungan27. Hal
ini juga mengakibatkan kurangnya fleksibilitas anggaran dan membuat
perekonomian rentan terhadap guncangan eksternal28.
‐ 13 ‐
sebagian besar utang Indonesia berupa utang yang tidak sah, khususnya
utang dilakukan oleh rezim Soeharto yang terjadi tanpa persetujuan dari
masyarakat dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat29. Masyarakat
Indonesia seharusnya tidak perlu menderita dengan membayar kembali
terutama utang yang tidak sah.
Korupsi di Indonesia
Manajemen ekonomi jaman rezim Suharto antara tahun 1967 hingga tahun
1998 dapat dijadikan salah satu contoh bagaimana utang yang tidak sah
dapat terakumulasi dan bagaimana selanjutnya mampu melumpuhkan
ekonomi sebuah negara berkembang. Hal ini telah menjadi semakin jelas
seberapa cepat pertumbuhan ekonomi membantu keluarga Soeharto dan
kroninya, sedangkan mayoritas penduduk terus mengalami penderitaan32.
29
International NGO Forum on Indonesian Development: http://www.infid.org
30
Transparency International Global Corruption Report 2004
31
Suharto kemudian menggugat majalah tersebut ganti rugi sebesar 93 juta USD, namun
tidak memenangkan gugatannya (NOU 2009:19 Skatteparadis og Utvikling)
32
Afrodad. 2007. The Case of Illegitimate Debt in Indonesia
33
Foreign Policy In Focus. Vol. 3, No. 34, November 1998. Indonesia After Suharto
34
Foreign Policy In Focus. Vol. 3, No. 34, November 1998. Indonesia After Suharto
‐ 14 ‐
Asia-Plan: Mendorong investasi diktator
Pada tahun 1995, tahun yang sama ketika kontrak Indonor dan Oceanor
ditandatangani dan dua tahun sebelum terjadinya krisis keuangan, Soeharto
masih berkuasa di Indonesia. Pembunuhan massal di Aceh, invasi dan
selanjutnya diikuti dengan pendudukan Timor Timur, dimana Noam
Chomsky telah menyebutnya sebagai contoh terburuk dari genosida relatif
terhadap populasi sejak Holocaust38, yang pada saat itu telah terungkap.
Begitu pula penyalahgunaan Suharto terhadap hak asasi manusia serta
tuduhan korupsi yang meluas. Pemberian Hadiah Nobel Perdamaian tahun
1996 kepada pejuang kemerdekaan Timor Timur Ximenes Belo dan José
Ramos-Horta menunjukkan adanya pengakuan atas terjadinya penindasan
terhadap rakyat Timor Timur.
35
NOU 1996:23 Konkurranse, kompetanse og miljø. Næringspolitiske hovedstrategier
36
Grete Knudsen, Regjeringens Asiaplan, main speech under the governments Asia-seminar,
28.06 1995: http://www.regjeringen.no/nb/dokumentarkiv/regjeringen-brundtland-
iii/ud/261275/261276/regjeringens_asiaplan.html?id=261518
37
Grete Knudsen, Regjeringens Asiaplan, main speech under the governments Asia-seminar,
28.06 1995: http://www.regjeringen.no/nb/dokumentarkiv/regjeringen-brundtland-
iii/ud/261275/261276/regjeringens_asiaplan.html?id=261518
38
Jardine, M. 1999 East Timor: Genocide in Paradise – Introduction by Noam Chomsky
39
AFODAD 2007 – The Case of Illegitimate Debt in Indonesia
‐ 15 ‐
Pada bulan September 1995, Perdana Menteri Gro Harlem Brundtland
memimpin delegasi tingkat tinggi kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia,
mempromosikan teknologi kelautan dan lingkungan Norwegia, dan
memaparkan proyek Seawatch sebagai contoh. Satu tahun kemudian,
Menteri muda Perindustrian dan Energi, Jens Stoltenberg, memimpin
delegasi Norwegia dengan misi membuka jalan bagi perusahaan Norwegia
di Indonesia. Bersama dengan Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie,
menyelenggarakan sebuah seminar di Jakarta dimana ada 70 perusahaan
Norwegia yang hadir. Secara khusus, Jens Stoltenberg mempromosikan dua
perusahaan, Oceanor dan Indonor. Pada pertemuan yang sama, Stoltenberg
menandatangani Nota Kesepahaman mengenai berbagai masalah dalam
bidang kerjasama energi, dengan Menteri Energi Indonesia Moerdiono40.
Pada saat Asia-Plan, setiap ide bisnis yang melibatkan Indonesia, teknologi
kelautan atau lingkungan akan mendapatkan perlakukan yang
menguntungkan. Hanya tiga bulan setelah kunjungan Brundtland, Indonesia
menandatangani kontrak dengan tiga perusahaan Norwegia: Blom, Indonor
dan Oceanor.
Semua proyek tersebut pada tahun 2000 dievaluasi oleh yayasan penelitian
independen FAFO "Evaluasi Program Kredit Campuran"43. Evaluasi itu
menyimpulkan empat dari tujuh proyek Norwegia yang dibiayai di Indonesia di
bawah program itu "terhenti, baik karena kurangnya dana operasional dalam
negeri, miskinnya tingkat pelatihan, transfer teknologi dan lemahnya lembaga-
pembangunan atau perencanaan". Selain dua proyek yang akan dibahas secara
mendalam dalam laporan ini, "proyek pemetaan laut digital" Blom senilai 429
million NOK serta kontrak Mjellem dan Karlsens senilai 183 juta NOK untuk
mengirimkan kapal penelitian, dipandang sebagai proyek gagal.
40
Offshore Magazine: Norway in Indonesia Energy ministers open dialogue on Norwegian
involvement in Indonesia: http://www.offshore-mag.com/index/article-
display/23413/articles/offshore/volume-55/issue-11/departments/technology-focus/norway-in-
indonesia-energy-ministers-open-dilogue-on-norwegian-involvement-in-indonesia.html
41 Departemen Keuangan Republik Indonesia 2008 – Complete Debt Registration
42
Departemen Keuangan Republik Indonesia 2008 – Complete Debt Registration
43
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
‐ 16 ‐
‐ 17 ‐
Foto: Magnus Flacké
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA OMBAK DI JAWA
KASUS
Pada tahun 1995 perusahaan Norwegia Indonor A/S menandatangani kontrak senilai 53
juta NOK dengan Departemen Riset dan Teknologi Indonesia, untuk pengiriman sebuah
pembangkit listrik tenaga ombak di Pantai Baron di Jawa. Norad memiliki kontribusi
dana 10 juta NOK, sedangkan GIEK memperoleh jaminan komponen pinjaman sebesar
37 juta NOK. Teknologi tersebut terbukti tidak cocok untuk Norwegia. Pembangkit ini
tidak pernah terealisasikan, dan Indonesia dibatasi dalam penggunaan teknologi karena
adanya hak kepemilikan intelektual milik Norwegia. Namun, Indonesia masih harus
membayar 2/3 dari jumlah pinjaman, membebani penduduk dengan 3,5 juta USD utang.
Saat ini Indonesia masih memiliki tunggakan utang sebesar 2,5 juta USD sebagai akibat
dari keberadaan proyek ini.
Proyek listrik tenaga ombak di Pantai Baron sudah lama dalam proses
pengerjaan ketika akhirnya kontrak pinjaman ditandatangani pada Desember
1995. Kontak antara pejabat Indonesia dan Norwegia tentang proyek listrik
tenaga ombak telah dilakukan sejak tahun 1989. Pada tahun tersebut, GIEK
dan badan pembangunan Norwegia Norad telah memberikan komitmen
pelaksanaan kepada Indonor A/S mengenai pembiayaan bersama proyek
tersebut. Sebagaimana ditunjukkan dalam teks berikut, komitmen diberikan
atas dasar keraguan dan didasarkan pada kondisi persyaratan tertentu.
Penerimaan tersebut diberikan berdasarkan studi kelayakan dari NECOR44,
berdasarkan laporan yang tersedia dan hasil dari percobaan pembangkit
listrik Norwave A/S di Toftestallen, Norwegia45. Mantan Sekretaris Negara di
Departemen Perindustrian, Karin Stoltenberg, juga telah memberikan
penilaiannya mengenai proyek, setelah kunjungan resminya ke Indonesia
pada tahun 198846. Ini terjadi delapan tahun sebelum kunjungan anaknya
Jens Stoltenberg ke Indonesia untuk melakukan penilaian tentang proyek
yang sama.
44
The Norwegian Engineering Council on Oceanic Resources
45
Tilsagn til bølgekraftprosjekt - Norad
46
Norads post journal
‐ 18 ‐
Norwegia telah menghabiskan sejumlah besar sumberdaya untuk
mengembangkan teknologi listrik tenaga ombak penghasil energi sepanjang
pesisir Norwegia. "Senter for Industriforskning" mengembangkan teknologi
Tapchan yang digunakan di Indonesia. Even Mehlum, mantan tunangan Gro
Harlem, adalah pemegang hak kekayaan intelektual tekhnologi Tapchan. Dia
mendirikan Norwave A/S agar Tapchan tersedia secara komersial. Setelah
bertahun-tahun melakukan penelitian dengan dukungan sekitar 45 juta NOK
dari Departemen Perminyakan dan Energi, penelitian menghasilkan sebuah
proyek percontohan di Toftestallen yang terletak di luar Bergen. Pembangkit
tersebut kemudian dihancurkan badai musim dingin pada tahun 1988. Selain
itu hasil penelitian juga menunjukkan Tapchan tidak kompetitif secara
komersial sebagai penghasil energi di Norwegia47. Tetapi ada kemungkinan
Tapchan bisa dijadikan alternatif di daerah dengan kondisi gelombang yang
lebih baik? Indonor A/S sesungguhnya didirikan dengan tujuan semata-mata
untuk mengekspor teknologi Tapchan ke Indonesia.
NECOR juga mengakui materi data sebagai dasar dari laporan kurang layak.
"Untuk melindungi kepentingan komersialnya, Norwave tidak mau
mengungkapkan dokumentasi tersebut. Angka yang disajikan di sini (dalam
laporan NECOR) berdasarkan informasi secara informal dari Norwave dan
asumsi yang tidak diverifikasi."
Mengapa Indonesia masih tertarik dengan teknologi ini, dan mengapa Norad
memutuskan tetap mendukung teknologi yang tidak kompetitif? Menurut
Tore Wise-Hansen, pemegang saham mayoritas Indonor, dibandingkan
dengan Norwegia, sepanjang pantai Indonesia sampai Samudera Hindia
memiliki iklim dengan gelombang yang menguntungkan sebagai penghasil
45 Tilsagn til bølgekraftprosjekt – Norad
48
Tilsagn til bølgekraftprosjekt – Norad
49
NECOR Appraisal of Wave Energy Plant in Indonesia
‐ 19 ‐
energi gelombang. Sementara Norwegia memiliki gelombang badai kuat,
Indonesia memiliki gelombang yang lebih konstan dan stabil. Begitu juga
pulau-pulau terpencil di kepulauan Indonesia, hanya ada sedikit alternatif
untuk menghasilkan energi.
B.J. Habibie
BPPT sebagai badan teknologi yang dipimpin BJ Habibie memiliki visi besar
untuk melompat maju dan membuat Indonesia menjadi bangsa dengan
teknologi maju, merupakan pembeli dari Indonesia. Tujuan BPPT membeli
teknologi Tapchan bukan sekedar untuk kepentingan jangka pendek yaitu
sebagai penghasil energi, melainkan juga agar Indonesia menjadi bangsa
yang berdikari dalam hal energi di masa depan. Departemen Riset dan
Teknologi tertarik dengan teknologi tersebut karena pembangkit berada di
darat sehingga tidak menjadi kendala bagi lalu lintas laut. Hal ini juga
membuat lebih mudah membawa energi yang dihasilkan ke dalam jaringan
listrik50.
50
Interview Wisnu Martono, former project coordinator
51
Interview Tore Wiese-Hansen, Indonor
‐ 20 ‐
lebih tinggi yaitu daya saing ekonomi. Hal ini sesuai dengan Asia-Plan
dimana Norad menganggap proyek ini sebagai eksperimen lingkungan yang
dalam jangka panjang akan kompetitif. Perkembangan tekhnologi ini menjadi
penting dari sisi sumber daya dan lingkungan. Komitmen Norad
mensyaratkan kondisi sampai sisa kontrak akan jaminan kualitas dan tingkat
produksi yang memuaskan. Norad juga merekomendasikan persetujuan
akhir hanya bisa diberikan jika pembeli menerima jaminan bahwa proyek
benar-benar akan dapat direalisasikan52.
52
Tilsagn til bølgekraftprosjekt - Norad
53
Tilsagn til bølgekraftprosjekt – Norad
54
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
55
Interview BAPPENAS, Jakarta
‐ 21 ‐
sebagai proyek bantuan teknis, oleh karenanya tidak akan dibiayai melalui
APBN.
Terdapat hubungan pribadi yang erat antara staf Indonor dan pejabat tinggi
di BPPT. Hubungan sangat erat dengan Wakil Ketua BPPT, MT Zen, yang
telah berjalan sejak sebelum dimulainya proyek. Norad menyadari hubungan
ini dan sudah mengekspresikan keprihatinan mereka pada tahun 1989 akan
dampak yang mungkin terjadi bagi pengaturan kontrak56.
Pada tahun 1993, tiba-tiba proyek tersebut terdaftar sebagai proyek bantuan
modal dalam Buku Biru. Wakil Ketua Zen menulis surat kepada Menteri
Perindustrian dan Energi Norwegia, Finn Kristensen:
Proyek telah tercantum dalam Biru Buku tahun ini dan memiliki
peringkat A. Hal itu berarti proyek menempati prioritas utama.
Percayalah Yang Mulia, ini semua adalah hasil perjuangan keras, lobi
serta menjelaskan lagi dan lagi pada banyak orang. Akhirnya proyek
tersebut sekarang diterima. Saya mohon bantuan anda untuk
memperlancar dan mempercepat semua prosedur administratif di
pihak anda - jika kita terlalu lamban, proyek ini akan dihapus dari Buku
Biru. - Waktunya telah tiba bagi kita untuk bertindak mewujudkan ide,
harapan, dan impian kita57.
56
Norad’s Post Journal, dokumen internal
57
Norad’s Post Journal, dokumen internal
58
Perjanjian Pinjaman, BPPT - Indonor
‐ 22 ‐
pembangkit listrik. Bukan untuk membuat lebih banyak laporan. Studi
pendahuluan sudah selesai dilakukan, yang bukan bagian dari kontrak”, kata
perwakilan dari departemen riset dan teknologi.59
Temuan baru ini menjadi sumber serius dari sejumlah sengketa dan
memperlambat pelaksanaan proyek. Sejak awal proyek ini tidak diharapkan
memiliki nilai ekonomis, sehingga untuk menyepakati siapa yang harus
membayar biaya ekstra untuk proyek yang berpotensi kehilangan uang,
sangatlah sulit.
Sebelum perjanjian baru tercapai, Krisis Asia melanda Indonesia pada tahun
1997. Pada bulan Juni di tahun tersebut, Indonesia masih berada dalam
periode pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Negara memiliki surplus
perdagangan besar, cadangan devisa lebih dari 20 milyar USD dan
dianggap memiliki sektor perbankan yang stabil. Indonesia merupakan
contoh yang bersinar dari apa yang disebut "Keajaiban Ekonomi Asia".
Kehancuran datang mendadak dan Indonesia bersama Thailand dan Korea
Selatan, menjadi salah satu negara yang paling terpengaruh akibat krisis.
Kurs antara Rupiah Indonesia dan USD jatuh ke seperempat kurs yang ada
sebelum krisis.
59
Interview dengan Andri Subandriya dan Wisnu Martono, BPPT
60 Interviewdengan Tore Wiese-Hansen, Indonor
61
Ketika mengunjungi lokasi SLUG mengamati sebuah rekahan besar di tebing yang menurut
nelayan setempat hal itu akibat dari gempa bumi besar tahun 2006 di wilayah tersebut
‐ 23 ‐
Pada titik ini, karena informasi tentang lokasi dan estimasi biaya yang baru,
BPPT mencurigai Indonor mencari alasan keluar dari kontrak tanpa harus
mengganti jumlah yang sudah dibayar. Setelah krisis, dengan anggaran baru
membuat mustahil bagi Indonesia menutupi biaya tambahan yang
disebabkan karena salah perhitungan. Karena tidak ada solusi yang
ditemukan, para pihak setuju menunda proyek. Indonor mencoba menyebut
krisis keuangan sebagai force majeure62, sementara BPPT tidak setuju
keberadaan krisis dikualifikasikan sebagai force majeure63.
62
Force majeure adalah klausa yang umum dalam banyak kontrak yang membebaskan
kedua pihak dari kewajibannya ketika kejadian atau kondisi yang luar biasa terjadi yang
berada di luar kendali para pihak yang tidak dapat diprediksi atau direncanakan, yang
menghalangi salah satu atau kedua pihak untuk memenuhi kewajibannya.
63
Interview dengan Subanrdiya, Rustiono dan Ontowirjo, BPPT
64
Interview dengan Tore Wiese-Hansen
65
Interview dengan Subanrdiya, Rustiono dan Ontowirjo, Martono dan Wiese-Hansen
66
Kontrak proyek
‐ 24 ‐
menuntut pihak lain melalui pengadilan arbitrase. Untuk membawa kasus ini
ke pengadilan dengan cara lain akan memakan biaya yang terlalu mahal dan
waktu yang terlalu lama. Sebaliknya, BPPT ingin mendapatkan sesuatu
sebagai imbalan atas pengeluaran mereka, dirumuskan tiga pilihan yang
mereka berikan pada Norad dan Indonor67:
1. Merealisasikan proyek
2. Menghapuskan utang
3. Membiarkan BPPT menggunakan teknologi
Pada tahun 2003, para pihak belum mencapai kesepakatan. Tiga perwakilan
dari BPPT pergi ke Norwegia untuk mengadakan pertemuan dengan para
mitra yang terlibat; Indonor, Eksportfinans dan Norad. Pada pertemuan
tersebut mereka menunjukkan 3,5 juta USD telah dicairkan, tanpa
mendapatkan imbalan apa pun, dan Indonor tidak memenuhi kewajiban
mereka sesuai kontrak. Mereka juga membawa data ilmiah baru mendukung
klaim BPPT bahwa proyek masih bisa melanjutkan tanpa dana tambahan
terlalu banyak, karena perubahan arah ombak hanya karena faktor musiman
saja. Setelah diskusi dengan Norad, mereka kembali dari kunjungannya dan
merasa yakin proyek ini akan dapat terwujud, atau mereka akan
memperoleh kompensasi. “Norad setuju membantu mencari solusi, tetapi
hanya secara lisan, bukan dalam perjanjian tertulis”, kata Andir Subandriya
dari BPPT68.
Indonor sejak saat itu menyadari teknologi tersebut telah ketinggalan jaman
dan terlalu mahal mewujudkan proyek tersebut. Norad, setelah berkonsultasi
dengan ahli teknis, sepakat membelanjakan lebih banyak uang untuk
mewujudkan proyek ini bukan solusi yang baik. Semua saran dari para ahli
dengan jelas menyarankan tidak membuang uang lebih banyak lagi setelah
proyek yang buruk69.
67
Interview dengan Wisnu Martono, BPPT, Tore Wiese-Hansen - Indonor, Morten Svelle -
Norad
68
Interview dengan Andri Subandriya, BPPT
69
Interview dengan Morten Svelle, Direktur Norad Asia dan kemudian direktur Seksi
Pembangunan Lingkungan dan Industri
70
Interview dengan Morten Svelle, Direktur Norad Asia dan kemudian direktur Seksi
Pembangunan Lingkungan dan Industri
71
Solidaritas Kreditor – Kreditor tidak boleh memakai syarat dan kondisi selain yang
tercantum dalam perjanjian Paris Club. Dari http://www.giek.no
‐ 25 ‐
tiga tahun sebelum keputusan membatalkan sisa utang dari Kampanye
Ekspor Kapal.
Dua tahun telah berlalu, tetapi tidak terjadi apapun. Pada tahun 2005 BPPT
menghubungi Norad menanyakan apakah mereka bisa memberikan
konfirmasi apa yang BPPT anggap sebagai perjanjian lisan, janji bahwa
salah satu dari tiga opsi yang diberikan akan diterima. Pada tahun yang
sama Norad mengunjungi Pantai Baron bersama-sama dengan BPPT. Kali
ini pesannya, ini bukan lagi menjadi tanggung jawab Norad karena sekarang
kasusnya antara Indonor dan BPPT.73 Sebaliknya, Norad datang dengan
rencana memberi satu juta USD sebagai bantuan bilateral, untuk digunakan
bagi taman-energi baru di lokasi yang sama di mana pembangkit listrik
tenaga ombak yang seharusnya dibangun di Pantai Baron. BPPT
menafsirkan hal ini sebagai pengakuan bersalah, dan Norad membayar satu
juta USD untuk memperlancar hubungan Norwegia-Indonesia. Secara resmi,
Norwegia mengirim surat ke BAPPENAS menjamin hibah yang diberikan
tidak ada kaitannya dengan proyek listrik tenaga ombak yang gagal.74
Norad juga menegaskan hibah baru adalah pengakuan atas investasi yang
gagal. Ada dua alasan di balik hibah, kata Morten Svelle, yang bertanggung
jawab atas seksi pengembangan lingkungan dan industri pada saat
pertemuan. Dia menjelaskan salah satu alasan di balik pemberian hibah itu
untuk memberikan kompensasi kepada departemen. “Pertama, anda
memiliki komponen pil gula. Kedua kita ingin mereka mendapatkan jalan
72
Interview dengan Tore Wiese-Hansen
73
Interview dengan Andri Subandriya dan Wisnu Martono, BPPT
74
Interview dengan BAPPENAS
75
Interview dengan Kedutaan Besar Norwegia, Jakarta
‐ 26 ‐
lain. Daripada menghabiskan uang yang lebih banyak pada teknologi usang,
kami ingin mendukung teknologi energi baru”76.
Pada awal tahun 2000, evaluasi FAFO menyimpulkan proyek itu gagal:
[…] dan,
‐ 27 ‐
dan kemauan politik mendukung proyek-proyek yang melibatkan teknologi
lingkungan, khususnya di Asia Tenggara, lobi-lobi intensif dari para
pemangku kepentingan Norwegia dan Indonesia, serta visi besar rezim
Suharto untuk menjadikan kekuatan teknologi dengan mengadopsi teknologi
canggih, keraguan yang sehat ini tidak dihiraukan.
Pelanggaran kontrak?
Proyek kredit ekspor yang terlalu mahal
Proyek dibiayai di bawah skema kredit campuran, dan proyek lainnya yang
menerima jaminan kredit ekspor memiliki kecenderungan yang terlalu mahal.
Ada beberapa alasan untuk hal ini, yang mencakup biaya administrasi1. Satu
contoh adalah studi kontrak listrik di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa
sebagian besar proyek transmisi listrik yang dibiayai lembaga kredit ekspor asing
memerlukan biaya rata-rata 37% lebih tinggi dibandingkan proyek yang telah
mengalami tender internasional2. Hal ini sesuai dengan temuan serupa oleh
Transparency International yang mengungkapkan praktek yang umum bagi nilai
kontrak ECA telah membengkak antara 10% dan 20%, yang digunakan untuk
memperhitungkan “komisi” yang diperlukan untuk menjamin kesepakatan3.
-----
1
FAFO 2000 Evaluation of the Norwegian Mixed Credit Programme
2
Foreign funded power projects marked up – PLN, Jakarta Post 10/17/00
3
Frisch, Dieter “Export Credit Insurance and the Fight Against International Corruption”.
Transparency International Working Paper, feb 26, 1999
78
Interview dengan Andri Subandriya, BPPT
‐ 28 ‐
‐ 29 ‐
SEAWATCH
Pada hari yang sama saat perjanjian Indonor ditandatangani, Oceanor dan
Indonesia menandatangani kontrak sebesar 105 juta NOK bagi transfer dan
implementasi sistem Seawatch. Seawatch adalah sistem pemantauan
lingkungan kelautan, peramalan dan informasi yang maju, yang dihasilkan oleh
perusahaan Norwegia Oceanor. Norad berkontribusi dengan hibah sebesar 30
juta NOK, sementara GIEK menjamin komponen pinjaman sebesar 61,8 juta
NOK. Pihak pembeli melaporkan pelatihan tidak memadai, sebagian dari
hardware dan software sudah tidak dapat berfungsi sejak awal, dan Oceanor
tidak menjalankan pekerjaanya sesuai dengan kontrak. Biaya pemeliharaan dan
operasional ternyata jauh lebih tinggi dari yang diharapkan karena kondisi laut
yang berbeda di perairan tropis. Proyek tersebut terhenti sekitar tahun 2000, dan
“fase dua” proyek yang direncanakan tidak pernah dimulai. Terhitung per
Desember 2008, Indonesia telah mengakumulasi utang 8,8 juta USD dari proyek
ini.
Harapan tinggi
‐ 30 ‐
bisa dibuat segera setelah kunjungan Brundtland81. Selama berpidato di
Norwegia-Indonesia Business Council, Brundtland mempromosikan
teknologi Seawatch: Pemerintah Norwegia telah menyiapkan dana
pembangunan yang tersedia untuk pengenalan program monitoring air laut
yang dikenal sebagai Seawatch Indonesia, yang akan memberikan
kontribusi memperkuat pengelolaan lingkungan maritim Indonesia82.
Berbeda dengan proyek Indonor, sebenarnya ada beberapa bukti fisik dari
proyek Seawatch. Pada tahun 1996, sepuluh dari dua belas pelampung
telah ditambatkan dan dilakukan proses pemasangan. Namun, hal ini juga
merupakan cerita lain dari perencanaan yang tidak memadai, teknologi yang
tidak sesuai dan kepentingan bisnis Norwegia. Pada tahun 2000, ketika
FAFO melakukan evaluasi proyek, sebagian besar pelampung telah diambil
ke darat dan sejak saat itu belum operasional.
81
NorWatch 15.01.1999 Forskere hardt ut mot Seawatch i Indonesia og Thailand: -Alvorlig
mangel på kompetanse
82
Gro Harlem Brundtland’s Address At The Inauguration of the Norway – Indonesia Business
Council, Jakarta 18. September 1995
‐ 31 ‐
14 tahun setelah kunjungan Brundtland, dan sembilan tahun setelah
evaluasi FAFO, proyek telah terbukti mengalami kegagalan total. Saat ini,
semua pelampung tidak dapat beroperasi, dan fase berikutnya dari proyek
ini tidak pernah dimulai. Seorang pakar Norad ditanya pendapatnya
mengenai proyek dalam artikel Ny Tid pada tahun 2005, menyebut proyek
tersebut sebagai “proyek terbodoh dari semua proyek pembangunan”.83
83
Norsk miljøteknologi feid på land, Ny Tid 14.01.2005
84
Interview dengan Heru Subagio, BPPT
85
Seawatch Indonesia homepage: http://seawatch.50megs.com/index.html
86
Seawatch Indonesia Final Report 1999
‐ 32 ‐
Proyek kredit ekspor yang terlalu mahal
Salah satu program yang termasuk dalam proyek tersebut adalah HIRLAM,
sistem peramalan prakiraan cuaca numerik. Dalam anggaran, harga
pengiriman dan pelatihan dari software ini diperkirakan sebesar 4,5 juta
NOK. BPPT menjelaskan bahwa mereka kemudian menemukan HIRLAM
adalah sebuah program open source, tersedia secara gratis di internet89.
Namun hal ini belum dikonfirmasi jika program ini sebenarnya tersedia
secara gratis. Oceanor menandatangani perjanjian-kerja sama dengan
Institut Metrologi di Universitas Oslo pada tahun 1996, untuk melatih dua
87
Interview dengan Agus Setiawan dan Heru Subagio, BPPT
88
Interview dengan Agus Setiawan, BPPT
89
Interview dengan Agus Setiawan, BPPT
‐ 33 ‐
orang dari Indonesia mempelajari cara mengoperasikan program HIRLAM.
Menurut staf di Institut, HIRLAM adalah sistem pemodelan yang sangat
canggih yang memerlukan personil yang berkualitas tinggi untuk
mengoperasikannya. Adalah tidak realistis berpikir bahwa mitra Indonesia
dapat mengambil manfaat dari program ini hanya dengan jumlah pelatihan
yang terbatas. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Indonesia, salah satu staf mereka berpartisipasi dalam pelatihan HIRLAM di
Oslo pada tahun 1998, tetapi pelatihan tersebut tidak mencukupi90.
90
Interview Prabowo Sugarin, BMKG
91 Interview Agus Setiawan and Heru Subagio, BPPT
92
Interview dengan Agus Setiawan
‐ 34 ‐
mengembangkan teknologi Seawatch, tetapi masih memiliki defisit anggaran
yang besar setiap tahunnya sebelum perjanjian dengan Indonesia
ditandatangani93. Inisiatif untuk mendanai proyek di Indonesia tidak berasal
dari Indonesia, tetapi dari Norwegia. Dukungan terhadap industri ekspor
Norwegia, bukan pembangunan Indonesia, adalah tujuan awal dibalik
pemberian subsidi proyek Seawatch.
93
Norwatch: Ministry of Foreign Affairs order to NORAD: - Seawatch-India must be
supported!:
http://www.norwatch.no/199706151011/english/archives/ministry-of-foreign-affairs-order-to-
Norad-seawatch-india-must-be-supported.html
94
NorWatch. Oceanor received NORAD aid despite expert warning - Scandalous export of
technology to Indonesia 15.10.1996:
http://www.norwatch.no/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=986&itemid=79
95
NorWatch. Oceanor received NORAD aid despite expert warning - Scandalous export of
technology to Indonesia 15.10.1996:
http://www.norwatch.no/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=986&itemid=79
‐ 35 ‐
tanpa pemeliharaan”96, sehingga tidak beralasan berharap bahwa hal ini
seharusnya sudah diperhitungkan oleh BPPT. Saat ini (2008), pemerintah
baru Indonesia harus mengalokasikan uang secara langsung dari anggaran
negara untuk membayar tunggakan utang sebesar 8,8 juta USD.
KESIMPULAN
Baik proyek listrik tenaga ombak maupun proyek Seawatch tidak memiliki
dampak perkembangan yang positif bagi masyarakat. Proyek-proyek
tersebut beresiko tinggi, proyek eksperimental. Proyek tersebut tidak dimulai
secara lokal dan tidak sebagaimana yang digariskan oleh pedoman OECD98,
mula-mula dipadukan dalam rencana pembangunan daerah, Buku Biru
Indonesia. Tidak ada satupun kontrak yang diperoleh melalui tender
internasional. Jelas sekali bahwa proyek-proyek ini merupakan kebijakan
pembangunan yang gagal, dan Norwegia harus mengakui tanggung jawab
kreditor atas utang tersebut.
Selain itu, pinjaman tersebut diberikan kepada rezim yang sangat menindas,
dan salah satu rezim yang paling korup dalam sejarah. Pinjaman tersebut
tidak menguntungkan rakyat, dan rakyat tidak memberikan persetujuannya
terhadap pinjaman. Hal ini cukup beralasan untuk mengharapkan bahwa
kreditor menyadari hal ini selama periode proyek. Oleh karena itu utang ini
tidak sah, dan tidak masuk akal mengharapkan rakyat Indonesia untuk
melunasi utangnya. Norwegia harus mengambil tanggung jawab sebagai
pemberi pinjaman dan membatalkan sisa utang 11,3 juta USD dari kedua
proyek tersebut99.
‐ 36 ‐
proyek lainnya yang merupakan paket Kredit Campuran ke Indonesia,
dengan jumlah total kredit sebesar sekitar 100 juta USD, akan menjadi titik
awal yang baik. Jumlah ini hanya merupakan persentase yang minimal dari
total utang luar negeri Indonesia, tetapi jika Norwegia mengakui tanggung
jawab kreditor, hal ini akan mengirim sinyal yang kuat kepada para kreditor
lainnya bahwa mereka juga harus melakukan audit utang terhadap klaim
mereka atas tunggakan utang Indonesia.
‐ 37 ‐
Referensi
Aas-Hansen, J & T. G. Hugo, 2008. Etikk på kreditt, SLUG
Abildsnes, K. 2007. Why Norway took Creditor Responsibility – the case of the Ship
Export Campaign. SLUG
Afrodad 2007. The Case of Illegitimate Debt in Indonesia
Frisch, D. 1999. Export Credit Insurance and the Fight Against International
Corruption. Transparency International Working Paper, Feb 26, 1999
Ministry of Foreign Affairs, Press release 2nd of October 2006. Sletting av gjeld fra
den norske skipseksportkampanjen & Vedlegg til Pressemelding
‐ 38 ‐
NorWatch 15.01.1999. Forskere hardt ut mot Seawatch i Indonesia og Thailand: -
Alvorlig mangel på kompetanse
SLUG & Jubilee Debt Campaign, 2008. Slett ikke ferdig – Ti år med gjeld på
dagsorden
World Bank 2006. Making the New Indonesia Work for the Poor.
www.eca-watch.org
www.giek.no
‐ 39 ‐
‐ 40 ‐