You are on page 1of 65

APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Being normal doesn’t mean you have to be a stereotype.


Being a normal doesn't mean you need to follow the others' rule.
Being a normal means you need to choose for his best - not for yours.

APRIL
NOVEL KEDUA KARYA
KEZIA GABRIELLA AGUSTA

It's not about what you do. It's about who you are.
It's not about who you are right now. It's about who you could be.
It's not about what could go wrong. It's about what will go right.
It's not about listening. It's about getting up and dancing.

1
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

PROLOG
Alta Bates Summit Medical Center, Oakland, California | April 2011
“SHE got multi-fragmentary fractures.” Ucap Dokter Paul kalem. Ia memijat pelan lutut
April yang sudah dibebat dengan perban. Wajah April meringis menahan sentuhan yang
menimbulkan gelenyar sakit tersendiri di lapisan setelah kulit dan perban.
Kecelakaan sial. Batin April jengkel. Patah tulang? Dan herannya di Foothill Boulevard
yang sepi begitu, bisa aja dia main tabrak.
Bimo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menekan pelipisnya dengan resah. “Is that
a serious problem, doctor?”
“Are you asking, Bim?” kata Giselle ngeri. “Multi-fragmentary is a super serious one. The
bone splitting into multiple pieces. The prognosis1 (istilah medis untuk menggambarkan
kemungkinan hasil suatu penyakit) is complicated.”
“Gi, percuma juga lo ngomong belibet gitu sama kakak gue. Dia nggak akan ngerti.” Sahut
April enteng. Ia hanya memperhatikan bentuk kakinya yang terlihat aneh. “Dan jangan ceritain
efek menakutkan dari patah tulang ini. Ini kan patah tulang doang kan?”
“I think Miss Liebene have known the considerations of fracture care.” Dokter Paul meraih
beberapa kertas di atasnya dan menunjukkan hasil x-ray. “You can see, it‟s like April got the
tranverse fracture* (Patah tulang dengan sebuah rekahan yang berada pada sudut kanan
terhadap sumbu panjang tulang itu) one.”
“Does April need a surgical care?”
Dokter Paul menggeleng – dan gelengan itu membuat April menghela nafas lega. “Better
you used the Ilizarov method.”
Dahi Giselle mengernyit mendengar kata asing tersebut. “What‟s that?”
“It‟s a a form of external fixator. Sutter Health* (Research center of Alta Bates Summit)
has found the best procedure to use it.”
Mata Bimo hanya melirik Giselle dengan bingung. Pembicaraan antara Dokter Paul yang
sudah senior di Sutter Health, dengan koasisten baru yang terampil bernama Giselle Lauryn
alias pacar Bimo sendiri – selalu membuatnya mati gaya.
Dokter Paul mengeluarkan sebuah rangka yang mirip dengan penyangga kaki polio. Rangka
tersebut berbentuk bingkai dengan bahan besi, melingkari kaki seseorang. April bergidik ngeri
melihatnya. “Hmm… Gi, apa gue harus pakai…” April pelan-pelan menunjuk bingkai kaki
tersebut sambil menelan ludah. “… penjara kaki itu?”
“What should I say, Pril?” Giselle menatapnya iba. “You prefer face an ugly truth to a
beautiful lie, right?”
2
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“How to use it, doc?”


“Simple. You just need to use this Kirschner wires*. They will help April to lengthen the
tendon to accommodate the longer bone length. Apparatus provides complete support while
the bone is recovering so April can remain active aiding recovery.”
April masih ternganga melihat bingkai itu. Bangkai, eh bingkai Iliza… whatever its name itu
punya pin yang seakan menempel terus di kakinya. Ia menelan ludah. And how could I…
How could I dance?
“Doc, after this recovery, am I still able to dance?” April bertanya buru-buru.
“Of course, dear.” Doctor Paul menatapnya hangat. “I can‟t wait to watch the uniqueness of
your traditional dance. But the recovery need 18 months.”
“18 MONTHS???” Seru April kaget. “How can I…” quit dancing for 18 months?
Bimo paham tatapan sendu adiknya itu. Ia menepuk kepalanya lembut. “Gue nggak pernah
lihat seorang April langsung menyerah. Jangan putus asa, oke?”
“Gimana gue nggak putus asa, Bim?” April mengeluh lirih. “Biasanya waktu gue dapat
masalah, tarian selalu membuat gue hanyut untuk kembali menjalani langkah baru. Sekarang
gue nggak bisa melangkah!”
April merasakan Bimo dan Giselle memeluknya hangat. Giselle berbisik pelan kepadanya,
“Take a time for yourself, April. Ada waktunya untuk kamu berpikir ulang mengenai kehidupan
kamu, menata yang berantakan, dan menurunkan ambisi. Siapa tau dengan berpikir lagi,
mimpi-mimpimu bisa teraih…”
Penari muda itu hanya bisa terisak dan tenggelam dalam tangis. Giselle menghampiri
Dokter Paul dan bertanya pelan. “Can we use electrical bone growth stimulation* or
osteostimulation* or something instant?”
“My suggestion is… No.” ucap Dokter Paul tegas. Detik berikutnya, Dokter Paul langsung
menangkap raut kecewa di wajah Giselle. “It‟s not effective for your sister-in-law candidate,
Giselle. I know that you really want April to be cured in a total way. She‟s a dancer, that‟s why
she needed it.”
Giselle pasrah mengangguk, menuruti perintah Dokter Paul. Tubuh besar itu meninggalkan
ruangan dan membiarkan Bimo, Giselle, serta April sendirian.
“Bim, itu artinya gue juga nggak bisa ke Inggris? Nggak bisa transfer study?”
Dengan air wajah penuh sesal, Bimo terpaksa menggeleng. Dan ia langsung melihat bulir-
bulir air menjalar di wajah adiknya dengan deras.
***

3
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER ONE
The Art Institute of California, San Francisco, California | September 2011
“THE defect cripple is coming.” Dari belakang, April bisa mendengar suara Keane, salah
satu mahasiswi yang masuk people-who-should-be-invited-to-a-party-list terkekeh-kekeh
bersama gerombolannya. April melengos seraya menyibakkan rambut hitam sebahunya. Sudah
hampir setengah tahun ia menggunakan penyangga Ilizarov di kakinya. Penyangga ini memang
memudahkannya untuk melakukan aktivitas seperti biasa – belajar di The Art Institute dengan
ejekan-ejekan setiap hari. Walaupun sudah memakai penyangga, tetap saja cara berjalan April
tidak bisa normal. Permasalahannya, April menari – ia penari. Penari tidak bisa menari tanpa
kedua kakinya. Bahkan April nyaris sudah lupa empat posisi dasar Tari Sepen. Indonesian
traditional dances are her specialities. Karena bakat menarinya itu, April bisa pergi ke pelosok
dunia untuk menampilkan budaya negaranya. Walaupun begitu…
Tanpa kakinya, kemana ia bisa melangkah?
“Shut up.” Potong Bernadine kesal. “Come on, Pril. Just take some walk. Anywhere, except
next to this slutty girl.” Sahabatnya menarik lengan April cepat untuk segera pergi.
“Berisik lo.” Keane membalas kesal. “Dine, tolong ya, temen lo itu tuh…” Keane menekankan
ucapannya di kata „temen‟. “… Masih ngotot mau nari. Jelas-jelas, dia itu pincang! Jangan
kebanyakan mimpi deh lo! Masih berharap juga keterima di Trinity.”
April masih menatap Keane dengan tatapan kosong. Akhirnya April memutuskan untuk
melangkah pergi – meninggalkan Keane dan Bernadine. Trinity is my chance, if I don‟t need to
feel the hurt of this fracture.
Why life is so unfair?
“At least, I still have an idealism to conserve a treasure named art of dance…” Bisiknya
pelan. Ia berjalan pelan-pelan kembali ke studio, tanpa seorangpun yang tau.
“Bisakah ada orang yang tidak menghina harapan gue?”

***

The Westlake Village Apartment, San Francisco | September 2011


“Aduh, Pril. Tolong banget deh, bisa nggak sih sekaliiiiiii aja lo nurut sama ucapan gue?”
ucap Bimo kesal. Ia baru saja mengunjungi adiknya yang tinggal di San Fransisco dan
membuahkan encok bokong yang lumayan parah. April memang memutuskan untuk tinggal di
apartemen yang dipinjamkan oleh college-nya sementara ia menimba ilmu di Amerika.

4
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Sementara Bimo tinggal di University Village di Berkeley. Dan pacarnya, Giselle, tinggal di
Lakeside Apartments District – Oakland. Biasanya, ia tidak punya masalah besar untuk naik
trem dari Berkeley ke San Francisco. Tapi kali ini kasusnya lain. Dia harus bolak-balik
Woodstock-Oakland karena Giselle sedang menjadi salah satu panitia Woodstock Festival – yes
that biggest muddy music event in the world. Entah apa yang merasuki Giselle sampai si dokter
muda itu pengin juga ikutin main lumpur.
“Woodstock is a history, the mud is a mistery!”
Whatever she said. Batin Bimo gemas. Jangan sampai bikin pinggang gue pegel-pegel
begini lagi! Gila aja, 7 jam gue menghabiskan waktu di jalan.
April cuek saja mendengarkan ocehan kakaknya. Ia malah sibuk mengotak-atik penyangga
Ilizarov yang dia pakai. Kegiatan itu jelas membuat Bimo makin melotot.
“Eh… eh, mau lo apain itu penyangga?”
“Dilepas.” Ucap April ketus. “Ganggu tau nggak.”
“Lah, emang lo bisa apa jalan tanpa penyangga itu?”
One thing Bimo always forgets, April has a deep sensitivity about her feets after that
accident. April langsung bungkam dan berhenti mengutak-atik penyangga itu. Ia melengos
lelah, menatapi Bimo pasrah. “Apa gue emang beneran nggak bisa jalan tanpa penyangga ini,
Bim? Gue pengin hidup seperti orang normal!”
“Lo normal, Pril.” Balas Bimo yakin. Dia ikut duduk di low bed milik April. “Lo sangat
normal. Apanya lo sih yang nggak normal?”
“Ya… Begini!” Kata April lirih. Matanya tidak bisa terlepas dari rangka Ilizarov itu. “Pakai
rangka Ilizarov begini… Everyone treats me as I am a helpless person. And the hopeless one.
Definitely… abnormal.”
Kadang Bimo suka merasa hatinya disayat-sayat setiap kali April berbicara. Sebelum
kecelakaan yang cukup parah itu, April adalah penari yang sangat berdedikasi. Dia dulu masuk
tim modern dance dan selalu menjadi panitia acara sekolahnya. In a short nick, April is one of
the most popular person list on her social life. Siapa sih yang nggak kenal dengan Aprillia
Sherlyne Anggara? Penari handal, sudah nyaris keliling dunia di umur muda, cerdas, berjiwa
seni, dan eksis. Setiap orang mengenali April sebagai salah satu orang yang berkonotasi „gaul‟,
walaupun April selalu menyanggah statement tersebut.
Gaul itu cuma kiasan penghiburan diri sendiri. Semua orang gaul kok – di lingkungan
mereka masing-masing. Itu hiburan yang kira-kira jadi apresiasi masa muda, toh akhirnya
nggak akan predikat “Murid Tergaul” bisa masuk CV?

5
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Adiknya dulu optimis dan ceria. Tapi kini? Seakan masih diliputi trauma, April selalu
histeris kalau naik mobil. Karena itu ia memutuskan untuk tinggal di San Francisco saja, yang
lebih dekat dengan sekolahnya sehingga ia hanya perlu berjalan kaki kalau mau kemana-mana.
Tapi kebiasaan jalannya itu yang membuat banyak orang merasa April terlalu muluk – sudah
cacat, masih maunya banyak. Di mata Bimo, adiknya hanya mau diperlakukan sebagai orang
normal. She treat everyone as normal, and she also want to be treated as a normal too.
Gerakan adiknya yang berusaha membuka rangka tersebut membuat Bimo panik. “Aprillia!”
“What?” Tanyanya dengan wajah tidak bersalah.
“Berhenti. Jangan sampai gue harus bilang ke dokter Paul kalau lo itu bandel. Lo pengin
sembuh total kan?”
“Gue pengin!” Seru April kesal. “Tapi nggak kayak begini caranya. Kenapa harus gue? Di
saat gue memimpikan untuk bisa ke Trinity, gue malah dilanda musibah! Bahkan yang keterima
malah Keane! Damn it, lo tau kan, Bim, gue bisa menari lebih bagus dari Keane!”
Ini yang Bimo selalu sesali. Trinity yang dimaksud April adalah Trinity College, salah satu
college terbaik untuk bidang performing art. Amerika sangat menghargai keahlian April untuk
membawakan tarian Indonesia – mulai dari Tari Pendet, Tari Tortor, Tari Saman, sampai Tari
Jaipong. Bahkan sudah banyak universitas-universitas performing art yang menawarinya
beasiswa untuk kuliah nanti, tapi si kecil satu itu masih ngotot pengin ke London. Walaupun
dalam masa penyembuhan seperti ini, April masih saja dilirik oleh banyak sekolah. Sayangnya,
dia tidak bisa ikut audisi yang diadakan dua bulan yang lalu di ACT (American Consevartory
Theater) untuk transfer study sekolah di London.
“Trinity bukan satu-satunya jalan lo kok, Pril. Buktinya, San Francisco Opera mau hire lo
jadi salah satu penarinya kalau lo udah sembuh lagi. Performing in The War Memorial Opera
House is one of the most wanted thing to do for dancer, you know.” Hibur Bimo. Ia
memperhatikan pakaian yang dipakai adiknya itu. “Eh, perasaan baju lo kok aneh. Lo habis
ngapain sih?”
April hanya diam dan membuang muka, menatapi pemandangan Westlake dengan tatapan
malas. Bimo masih memperhatikan baju April dan menyadari sesuatu.
Ini bukannya baju untuk latihan nari ya? Batin Bimo terkejut. Baju gombrong, bandana,
legging hitam… April selalu memakai seragam ini setiap selesai latihan menari di Zellerbach
Playhouse, Spieker Plaza yang berlokasi di seberang Haas Pavillion Berkeley, tempatnya
mengeksplor tarian dulu waktu ia belum mendapat kecelakaan itu. “Pril… Lo nari?”
“Hah?”
“Itu…” Bimo menunjuk pakaian April. “Lo… habis routine?”

6
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

April kembali membuang muka. “Bukan urusan lo.”


Dan ia mendengar kakaknya itu menghela nafas. “Lo masih aja paksain diri, Pril… Kapan lo
mau sembuh? Dokter manapun sudah bilang, menunggu dengan sabar dan menggunakan
Ilizarov itu secara tekun bisa bikin kaki lo kembali. Bukannya itu sudah cukup jelas? Please, gue
kakak lo. I‟m care about you. Jangan sakitin diri lo lebih lagi…”
“Bim, please.” Kini April berbalik menatap Bimo tajam. “Dancing is the only passion I had.
Dan sekarang nasib merenggut itu dari gue. Gue punya apa?” Katanya lirih. “It‟s the thing I
enjoy the most. I‟m good on dancing. Dancing is my own heaven. Gue nggak bisa ngebiarin
hari-hari gue kosong tanpa step-step seperti biasa. Bukannya gue menari juga buat Indonesia?”
“Gue capek ngomong sama lo, Pril. Keras kepala banget. Minggu depan gue mau lo check up.
Di tempat yang deket aja, mungkin San Francisco General Medical Center. Nggak usah ketemu
dokter Paul biar gue dan Giselle juga terhindar dari amukan.” Bimo beranjak dari kasur dan
menuju pintu keluar. “Gue cuma mau lo inget, dengan lo maksain kayak begini terus, lo bisa
kehilangan kaki lo untuk selamanya. Selamanya, tanpa menari.”

***

Jack London Square, Oakland, California | September 2011


“Akhirnya pacarku bisa jadi normal lagi.” Cibir Bimo kesal. Ia masih menatapi piring
berisikan club sandwich di depannya dengan bosan. Jarinya masih membalik-balik buku teks
tebal yang akan jadi bahan quiz besok. Giselle melirik geli dari balik buku menu.
“Memangnya akhir-akhir ini aku nggak normal ya?”
“Enggak. Mana ada koasisten yang sudah nyaris profesional main-main di lumpur?” Sembur
Bimo langsung. “Terus ngerepotin orang lagi. Pakai disuruh bolak-balik Berkeley-Oakland-
Woodstock-Oakland-Frisco. Kasian bener ya ini bokong.”
Tawa Giselle langsung pecah. “Ya ampun… Sori deh. Lagipula tadi juga sinyalnya nggak
dapet, jadinya susah ngehubungin kamu.”
Bimo masih mangkel dengan tragedi tadi sore. Dia sudah capek-capek balik lagi dari Frisco
ke Woodstock, dan begitu sudah sampai di konser musik gila-gilaan itu, Giselle malah nggak
bisa dicari. Bimo harus rela teriak-teriak kayak orang aneh sendiri di tengah konser dan dijepit
banyak orang sampai kotor-kotoran di lumpur demi mencari si dokter satu itu. Apalagi masalah
April juga masih membuatnya keki.
“Ya udah.” Giselle menepuk pipi Bimo lembut. “Jangan cemberut melulu, jelek tau. Kan aku
udah bilang sori dari tadi sore, masa kamu juga nggak mau baikan sih?”

7
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Bukan masalah kamu, Gi.” Bimo menggenggam jari-jari Giselle hangat. “Tapi April.”
“Tadi kamu jadi ke San Francisco?”
Bimo mengangguk. “She‟s dancing again.”
“Really?” Mata Giselle membesar. “The legs are okay?”
“Bolot!” Sergah Bimo geli. “Maksudku, dia maksain diri buat nari lagi. Kayaknya dia lagi
depresi deh. You know, April will do routine if she felt a big pressure. Tapi aku nggak tau dia
lagi kenapa. Kayaknya dia masih aja benci banget sama Ilizarov itu.”
Mereka berdua menghela nafas. “Mau gimana lagi, Bim? Kalau aku bisa, aku pasti sudah
operasi. Tapi mau pakai bone growth stimulation juga tetep butuh masa pemulihan. Dan nggak
ada yang cepet.” Giselle meneguk kopinya pelan. “Yang dibutuhkan cuma waktu dan ketegaran.
April bisa bersabar, tapi aku suka merasa dia nggak ingin kuat untuk melihat kakinya seperti
itu. She‟s still April, walaupun pakai penyangga.”
“Dia kehilangan jati diri, Gi.”
Giselle diam. Ia memandangi mata Bimo yang memancarkan kesedihan. “April hanya bisa
gembira karena hidupnya terisi dengan musik saat menari. Tapi sekarang dia nggak bisa
menari, dia kehilangan nilai itu, dia seperti krisis identitas…” Bisik Bimo getir.
“Aku yakin April pasti bisa melalui ini semua.” Sahut Giselle akhirnya. Ia merapikan rambut
yang berjatuhan di dahi Steven R. McQueen Jawanya itu. “Kakaknya saja bisa menembus jarak
dan waktu, masa adiknya nggak? Makanya, semangat dong!”
Seulas senyum hangat muncul di bibir Bimo. “Thank you.”

***

Forst Mason Center, Marina District, San Francisco, California | September 2011
“I‟m sorry to ask you to go to here, April.” Ucap Mrs. Patricia saat April menghampiri
mejanya di salah satu urban café Forst Mason Center. Marina District merupakan salah satu
tempat yang ramai dikunjungi oleh banyak seniman modern yang sedikit „keluar‟ dari jalur
idealis seni. Di San Francisco, orang-orang tersebut dianggap sebagai pembuat kreativitas di
bidang baru – seperti membuat 3d street art, mural hippies, dan jalur sepatu roda. “I have no
time to get back. But I need to inform you as soon as possible.”
Mrs. Patricia adalah salah satu guru di SF Art Institute. Beliau juga adalah pihak berwajib
dari audisi beasiswa untuk Trinity College. Sejak April datang ke Frisco, Mrs. Patricia sudah
menyukai tariannya – dia juga salah satu orang yang sangat sedih dengan keadaan kaki April.
“No problem, Mrs. Pat. Nowadays, I can use shuttle bus.”

8
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Baguslah. Coba kamu hilangkan trauma kamu. Kalau susah, coba hubungin Highland
Hospital. Mereka pasti bisa bantu.” Lanjut Mrs. Patricia. “Oh ya, ada kabar dari Trinity College
buat kamu. Karena itu saya harus sampaikan eyes-on-eyes.”
“Bukannya saya sudah nggak bisa ikut audisi?”
“Itulah.” Mrs. Patricia membenarkan letak kacamatanya dengan satu jari. “Mereka baru saja
menonton pertunjukkan perdana kamu di Filmore. Ingat kan, waktu kamu bikin konser jalanan
kecil-kecilan sama anak-anak lainnya? Saya juga kaget waktu tau, tapi mereka mau kasih kamu
kesempatan dan membantu pemulihan kaki kamu di sana.”
“Di sana?”
“Trinity, darling! You have accepted!”
Nafas April tertahan. Keterima di Trinity? Bagaimana caranya?
Seakan bisa membaca pikiran April, Mrs. Pat melanjutkan kalimatnya. “Katanya, mereka
nggak ada masalah dengan kaki kamu yang pakai penyangga. Kamu tetap bisa ikut exercise
ringan dengan mereka serta belajar teori dasar. Apa kamu masih mau untuk ke Trinity? Ini
kesempatan bersejarah, April!”
Jangan paksain diri sendiri. Ingat, kamu bisa berhenti menari seumur hidup.
Ini Trinity, April. Impian kamu di depan mata. Mereka nggak peduli kamu cacat. Mereka
“menganggap” kamu. Tunggu apa lagi?
Suara-suara yang bertolak belakang mulai menghantui kepala April. Ia menatap Mrs.
Patricia ragu. “Apa mereka nggak akan melecehkan saya dengan kaki saya ini?”
“Mereka mau membantu kesembuhan kamu.” Kata Mrs. Patricia tegas. “Kamu berbakat,
mereka tau itu. Karenanya, tunjukkan sampai pelosok dunia! Kamu mau, April?”
Kamu berbakat. Karenanya, tunjukkan sampai pelosok dunia!
Tanpa berpikir dua kali lagi, April mengangguk mantap.

***

Bi-Rite Creamery, Mission Dolores, San Francisco, California | September 2011


Salah satu kegiatan yang bisa menghilangkan stress underpressure di kepala April ada dua,
yang pertama adalah nonton bioskop dan duduk di bagian pojok, yang kedua adalah
menghabiskan satu cup medium es krim rasa cokelat. Berbeda dengan Bernadine – sahabatnya
lebih suka nongkrong-nongkrong di Mission Dolores yang lumayan menarik. Distrik bagian
selatan memang selalu unik, salah satunya toko es krim kesukaan April ini. Walaupun ramai, es
krim Salted Caramel – tepat sekali, es krim ini dipadu dengan garam – memang selalu menjadi

9
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

guilty pleasure-nya. Menu yang masuk list 100 Things to Try Before You Die ini memang bikin
nagih. Tapi rasanya es krim ini jadi agak sedikit garing kalau bersanding dengan nongkrong
bareng bersama Bimo yang sudah melototin dia. Apalagi Giselle, orang yang sudah April anggap
sebagai kakak kandungnya, juga sudah geleng-geleng kepala pasrah dicampur kesal yang
tertahan.
“Aprillia Sherlyne Anggara! Gue perlu bilang apalagi sih supaya otak lo itu nggak kebalik?!”
Akhirnya kemarahan itu meluap. April hanya menyipitkan matanya. Bukan kenapa-kenapa, dia
tidak suka melihat raut kakaknya saat marah. Seakan dia ini sangat amat salah. Padahal ya…
apakah ini benar-benar salah? Apa keputusannya ini tidak benar?
April ingin menunjukkan bahwa orang cacatpun bisa menari. Dia normal, seperti penari-
penari lainnya. Hanya saja, kehidupan memberikan jalan yang tidak terlalu mulus baginya.
Someone said life is an unfair thing, tapi ada kesempatan yang bisa kamu ambil untuk merebut
hal yang harusnya jadi milik kamu. Seharusnya.
“Sudahlah, Bim.”
“Ayolah, Gi, masa kamu sekarang tetap mau mendukung dia untuk pergi ke London?” Bimo
menyenderkan tubuhnya kesal. “Dia nggak bisa. Kita harus jagain dia. Kaki dia…”
“Sudah. Kata „sudah‟ itu berarti benar-benar sudah, Bimosaka.” Giselle berucap tegas.
Ucapan Giselle itu membuat Bimo diam dan menatapnya bingung. Gadis yang tenang itu
menghela nafas dan menatap April yang sudah merasa kikuk. “Aprillia, sebenarnya kamu yakin
bahwa Trinity inilah yang kamu inginkan?”
Dengan jujur, April mengangguk. Memang ini yang ia inginkan bukan?
“Kamu sudah memikirkan konsekuensinya? Nggak semua orang bisa berpandangan seperti
aku dan Bimosaka, lho.”
“Konsekuensi… apa?”
“Memandang kamu sebagai orang normal. Benar-benar sebagai penari.”
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut April. Apa sekarang Giselle juga ingin mengejek
kecacatannya?
“Semua orang ke Trinity untuk belajar tentang seni. Kamu punya bakat seni tari, kamu ke
sana untuk belajar menari – untuk menari. Tapi kamu punya perbedaan yang tidak orang lain
miliki, April…”
“Gue tau, Gi. Gue cacat. Itu kan?” Sergah April jengkel. Dia tau dirinya cacat, lalu kenapa?!
Sebegitu tidak tau dirinya-kah dia? Apakah salah untuk bermimpi? Bukannya dulu dia juga
bisa menari dengan bebas? Kenapa?!

10
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Bukan itu.” Giselle menggeleng. “Kamu mendapat sebuah tantangan yang mereka tidak
punya. Kamu sedang diasah menjadi pahlawan. Tapi nggak semua orang bisa menatap kamu
sebagai pahlawan. Seseorang yang jatuh juga bisa dianggap sebagai korban, bukan?”
April tertegun. “Gi… Gue hanya mau menjadi normal…” Ucapnya getir. “Gue mau dipandang
kayak dulu. Gue bisa melakukan ini, gue bisa menari. Dan ini udah waktunya buat gue
nunjukin… Gue capek diejek dan dibandingin terus…”
“Semua orang – termasuk aku, berharap kamu untuk bisa seperti dulu. Bisa menari dengan
bebas. Menjadi kupu-kupu lagi. Tapi ada waktunya kupu-kupu itu harus hinggap di balik bunga
demi mencari makan. Lalu dia akan terbang lagi. Semuanya kalau sudah siap.” Giselle
tersenyum lembut. “Apa kamu sudah siap untuk terbang? Dengan segala persiapan kamu?
Kamu sudah tidak takut dengan apa yang ada di luar sana?”
Siapkah gue terbang lagi? Apa sayap ini sudah pulih? “Gue merasa sudah.”
“Kalau begitu, kamu bisa bermimpi lagi.” Kali ini senyum Giselle tidak hangat, tapi penuh
misteri. Dia mengucek-ngucek rambut April gemas. “Siapa tau, kamulah satu-satunya penari
yang tidak memerlukan kaki. Kamu punya sayap.”

***

11
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER TWO
San Francisco International Airport, San Mateo County | Oktober 2011
About confession, April juga membenci dua hal. Yang pertama adalah bandara. Setiap kali
melihat orang banyak menyeret-nyeret kopor, suara panggilan ini-itu, barang-barang bagasi,
serta kaca-kaca yang tinggi menampilkan sederet burung besi raksasa – April selalu merasa
parno. April tidak takut ketinggian atau takut terbang. Dia harus mengikuti perkembangan
zaman, seperti para binatang New York Zoo di Madagascar 2. Ini zaman dimana banyak slogan
„who said penguin can‟t fly‟ dan „everybody can fly‟ – seperti slogan maskapai penerbangan
lainnya. Tapi April benci bandaranya. Padahal pekerjaan sampingannya sebagai salah satu
penari dari Indonesia mewajibkan untuk pergi ke penjuru dunia. Bandara seakan menjadi pusat
perpisahan dan akhir dari segala sesuatu. Call it traumatic case, sewaktu kasus 11 September di
World Trade Center, April memang ada di Amerika bersama dengan ayahnya. Sementara ibunya
dan Bimosaka ada di Indonesia. Akibat kejadian itu, ia tidak bisa pulang ke Indonesia untuk
beberapa hari karena penerbangan jadi kacau balau – apalagi pemeriksaan barang menjadi
diperketat. Bandara juga menjadi perpisahan akan dua belah pihak kalau di film-film. Dan
lagi… April berpisah dengan Pamung di bandara. Mungkin inilah alasan utama kenapa April
membenci bandara. Sangat amat benci.
Pamung adalah murid teladan sewaku April bersekolah di Indonesia. As a perfect couple,
Pamung merupakan anggota International Student Representatives di Indonesia, satu-satunya
perwakilan dari sekolah April. April sendiri koreografer utama untuk tim modern dance dan
menjadi penari dari Indonesia untuk menampilan tari daerah di berbagai negara berkat
bantuan UNESCO. When the prince charming and the most popular girl in the school meet up,
you always know what happened. April dulu sering berandai-andai bahwa hidupnya memang
seperti Beverly Hills 90210 – cantik (Bukan narsis, everyone said her face is as same as
Caroline Sieber), populer (Somehow, hampir semua anak muda di Jakarta mengenali dia), gaul
(Hanging out in Social House, Capoccacia, The Edge, it‟s a must – definitely, weekly activity),
trendsetter, ramah, dan memiliki kriteria yang nyerempet-nyerempet “it girl” whatever it called
banget. Kalian tau, seperti gadis-gadis modern yang punya „geng‟ ngumpul sendiri, punya meja
khusus di kantin, dan punya dagu yang selalu terangkat. You might think April sucks by being a
snob in the popular class.
Tapi Aprillia bukan versi yang seperti itu.
Kalian pernah membayangkan, ada seorang it girl yang hobinya petantang-petenteng di kaki
lima blok S? Itu pasti April. Atau setia duduk di lantai dan menghabiskan waktu berjam-jam

12
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

untuk baca buku di Takashimaya? April banget. Mungkin sekedar mengajar tari di
Jayasuprana? April melakukan itu semua. Dia benci harus menjadi “tim populer” yang
membeda-bedakan kasta pergaulan – the dork, the geek, the psycho, the freak, the (sok) gaul
people, the popular, the genius, the invisible… High school life. Apalagi satu hal yang ia tidak
suka dengan masuk tim populer, kawan-kawannya itu hanya berani banyak bacot kalau lagi
sama-sama dan punya “teman” protes. Kalau sendiri? Ciut. Karena itu April memutuskan untuk
cabut dari geng – yang menurut April – nggak waras itu. Dia lebih suka menyendiri di studio
atap sekolahnya dan mempelajari „dunia‟-nya, yaitu menari.
Pamung tertarik dengan April karena sifat rebelnya.
Semua orang menganggap April adalah salah satu bagian dari snobbish team karena ia suka
nongkrong-nongkrong di Rooftop (Sekolah April punya rooftop garden yang dikhususkan
untuk para murid „hebat‟), padahal April sendiri merasa itu hanya kewajiban kecilnya untuk
blend in di pergaulan. Karena ia masuk tim modern dance yang dibilang sebagai kasta populer,
April terpaksa menjalankan aturan-aturan aneh itu. Begitu April keluar, sejarah skandal terbaru
muncul. Ia dimaki-maki sebagai orang aneh yang mengambil keputusan meninggalkan
kelompok yang diinginkan semua orang. Semua orang kecuali April. Dan karenanya,
Pamungkas – the one of most wanted cute guys at school – menyukainya. Tapi cerita mereka
tidak bertahan lama. April menyukai Pamung yang pengertian dan mengerti sifatnya yang lebih
suka menyendiri. The it guy and it girl going steady, such a lame-o story. Beberapa bulan
kemudian, kisah mereka kandas di bandara. Pamung harus meninggalkan April untuk beasiswa
keluar negeri.
April bukan penganut long distance relationship – kakaknya, Bimo, juga bukan. Tapi otak
nggak waras kakaknya itu bisa saja membuat mimpi-mimpinya untuk bersama Giselle menjadi
kenyataan (baca buku sebelumya: Whereupon) walaupun terpaut jarak dan waktu. April kadang
tidak habis pikir, kenapa kakaknya masih saja mau berjuang untuk sesuatu yang tidak bisa ia
lihat? Aha, one more difference between her and her greatest talented brother. Bimo sangat
optimis akan segala sesuatu. Ia berbakat melukis dan bakatnya diakui oleh pelukis-pelukis
senior. Semua orang menyukai lukisannya dan Bimo selalu mengikuti standar yang ada untuk
urusan pergaulan. Banyak yang menganggap kakaknya itu terlalu „nyeni‟ – jadi keanehan yang
kakaknya lakukan masih dianggap normal. Tapi dirinya?
Dirinya dianggap gila karena meninggalkan sebuah zona yang tidak ia sukai. Apakah salah
meninggalkan apa yang diinginkan orang lain? Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Well, untuk menjadi „normal‟ di mata mereka, memang dibutuhkan sedikit usaha. Kalau
memang yang dianggap „normal‟ oleh dunia adalah yang seperti itu – April menurut. Dia akan

13
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

membuktikan bahwa Aprillia – the it girl – akan menjadi sesuai dengan bayangan mereka. It‟s
better to be another person than called as abnormal. April hanya ingin hidup biasa.
Dia tidak bisa seoptimis kakaknya. Dia memang pesimis, jadi apa daya?

***

San Francisco International Airport, San Mateo County | Oktober 2011


Pikiran aneh-aneh April membungkus kepalanya sampai ia tidak mendengar panggilan
Bernadine.
“APRILLIA!”
“Hah?”
“Ayolah, lo kenapa malah sedih begitu sih? Berangkat sana!” Ucap Bernadine semangat.
“Tuh, pesawat lo udah mau boarding, gokil. Hus hus!”
“Aduh.” Buru-buru April berdiri. “Sori-sori, tadi kebanyakan bengong. Gue berangkat dulu
ya, Dine. Baik-baik! Jangan lupa bawain oleh-oleh dari Haight Street kalau lo ke London
sewaktu-waktu. Biasa… apa gitu dari Coco Luxe atau Ambience.”
Bernadine terkekeh. Haight Street adalah distrik yang masih kental dengan nuansa
bohemian dan hippies, juga punya berbagai tempat nongkrong yang nggak kalah menarik dari
Union Square. “Boleh. Tapi nanti waktu gue dateng, lo harus siapin cowok Inggris ya. Minimal
orang Irlandia deh, atau Hugh Grant gitu.”
“Beh. Kalau gue udah dapat Hugh Grant, nggak bakal gue bagi-bagi ke lo, tau.”
“Pelit.” Cibir Bernadine. “Cowok band Glastonbury juga nggak masalah deh.”
“Idih, gue sih ogah ya ikut konser yang penuh lumpur begitu.” April menyeret kopornya
malas. “Slogannya aja The Mud, The Music, The Madness…”
“Lebih mending kok dari Woodstock. Calon kakak ipar lo aja jadi panitia, lo malah nggak
ikutan. Nggak mau mingle sih lo.”
Nah kan, satu lagi ucapan menusuk tentang popularitas.
“April!”
April menoleh. Ia mendapati kakaknya dan Giselle lari ke arahnya dengan nafas tersengal.
“Hei. Belum telat kok.”
“Sori ya, mepet banget kita datengnya. Maklum si nyonya sibuk ini emang lama kalau udah
ngurusin proyek.” Bimo menyenggol Giselle dengan gerakan lucu. Kekasih kakaknya itu hanya
manyun-manyun kesal.
“Yaelah, itu kan memang ada urusan mendesak, kalau nggak…”

14
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Udah. Gue mau pergi, ini sejoli masih aja berantem.” Potong April menengahi
pertengkaran kecil mereka. Kedua wajah di depannya langsung menunduk malu bersamaan.
Kadang April geli sekaligus iri dengan pasangan yang akrab dengannya ini. Bimo dan Giselle
selalu mau berkorban satu sama lain dan percik sweetness selalu ada, chermistry-nya kentara
banget. Walaupun sama-sama sibuk, nama masing-masing seakan menempel lekat di pikiran
mereka. Betapa sempurnanya pasangan ini. Kalau menurut Bimo, itu karena mereka sudah
pernah kehilangan dan nyaris mengusaikan segala kisah mereka. Mereka jadi bisa lebih
menghargai apa yang pernah mereka sesali. Her brother story is such a fairytale. But what
else? They made it come true, they COULD made it true.
Darn, betapa irinya April dengan kakaknya. Mereka punya tujuan yang jelas, sementara dia?
Dia harus mengikuti hal-hal yang tidak ia inginkan. Nggak adil. April melengos gemas dan
menarik kopornya.
“San Francisco, gue berangkat dulu ya.”
“Hati-hati, Pril.” Giselle melambaikan tangan. “Makanan London nggak enak, lho!”
“Juga jagain itu kaki, jangan maksa!”
“Kuat ya, tekanan dan tantangan itu ada karena lo memang spesial!”
“Satu lagi, jangan cari pacar orang Inggris yang lebih ganteng dari kakak lo yang udah
ganteng ini!” Ucapan terakhir Bimo mendapat toyoran dari Giselle dan membuat April terkekeh
geli.
“Ngaku-ngaku ganteng. Adikmu bahkan bisa dapet cowok yang ganteng kayak di film… apa
itu lanjutannya The Devil Wears Prada?”
April semakin pergi menjauh dan masuk di dalam kerumunan. Semua dongeng indah yang
kakaknya berhasil ukir itu…
Tidak akan pernah dimilikinya. Setidaknya, Bimo belum pernah menjadi penari yang tidak
punya kaki. Sama seperti Forrest Gump yang tidak bisa berlari. Forrest Gump bukan Forrest
kalau tidak bisa lari.
April bukan April kalau tidak bisa menari.

***

London Heathrow Airport, Hillingdon, London | Oktober 2011


Talking for another trauma, April takut naik mobil. Ia mendapat patah tulang karena
ditabrak oleh sebuah mobil ngebut di Oakland. April benci mengakuinya, tapi karena trauma itu
ia benci naik mobil. Kecelakaan itu mengerikan. Dia masih ingat bagaimana lututnya dilindas

15
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

dan ketakutannya waktu mobil itu menghantam dirinya. Semuanya seakan tidak bisa hilang.
Juga nyerinya waktu ia merasa seakan tidak punya kaki – trauma itu membuat April menjadi
parno dengan mobil. Apalagi kecelakaan itu yang membuatnya harus memakai penyangga berat
dan mengakibatkan suara bisik-bisik setiap kali dia lewat. The it girl is being more abnormal.
She‟s a defect cripple. She‟s a cripple dancer.
Dulu waktu April sempat mengambil internship di Aurora Theatre Company – salah satu
affiliated group DPC* Berkeley – ia sering berbincang-bincang dengan Lisa Wymore, salah
seorang assistant professor untuk modern dance technique dan choreography. Ms. Wymore
sering menceritakannya tentang berbagai jenis filsafat tarian internasional. April jatuh cinta
pada tari Jazz karena Ms. Wymore – tapi toh pada akhirnya April tidak bisa menari satu
tarianpun. Walaupun begitu, Ms. Wymore sering berkata padanya sebuah kalimat.
“Sherlyne, the girl next door Taylor Swift said „if you‟re lucky enough to be different from
everybody else, don‟t change‟. Even a star could be fall, that‟s why there‟s shooting star.
Shooting star make the wish come true, you‟re a shooting star. Make the wishes real!”
Ha. April tau sekali itu hanya kalimat hiburan. Ms. Wymore menganggap dia bintang jatuh
– memang bintang jatuh membuat segala impian itu jadi kenyataan – but that‟s a shooting star,
not a falling star. Siapa yang tau kalau bintang jatuh juga tidak ingin jatuh?
When you fail, it‟s a step to winning something. Bullshit. Some said you have nothing to
lose. Yes, because I have lost everything.
“Ms. Sherlyne?”
April menoleh. Ia mendapati seorang pemuda tinggi menatapinya sambil tersenyum. “Hello,
I‟m Mark Griffith from Trinity. You must be… Aprillia Sherlyne, right? Patricia has told
everything about you.” Tanpa diduga-duga, ia langsung menatapi kaki April yang dibalut
rangka Ilizarov. Spontan, April langsung merasa sensi.
“Is it okay with these legs?” Todong April langsung.
“Never be a problem, Miss.” Sahut Mr. Griffith buru-buru. “Kita siap untuk membantu
kamu. You are a talented lady, indeed.”
Giselle, ini yang aku sebut sebagai „dunia‟-ku. Di sini, aku diterima.

***

24th Street, Noe Valley, San Francisco | Oktober 2011


“Tonight, we will talk about the weirdo people.” Erin membuka pembicaraan. “Tapi orang-
orang aneh itu kreatif, taukah kalian?”

16
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Sekumpulan cewek-cewek langsung cekikan. “Mereka kreatif dengan menjadi aneh.”


Bernadine ngangguk-ngangguk saja sok setuju. Setelah melepas kepergian April beberapa
hari yang lalu, Bernadine serasa kehilangan soulmate-nya. Selama ini, April selalu ada untuk
Bernadine – mulai dari menghadiri Summer of Love di Haight sampai makan habis-habisan di
E‟Tutto Qua dan menikmati Japantown Sundae bareng. Bernadine dan April selalu menyukai
hal-hal yang mirip. Barang-barang vintage, Michael Bublé, show So You Think You Can Dance,
terutama shoes – things that become most of girls shop list. Mereka juga agak-agak sangsi
untuk memakai heels, dengan alasan sepatu itu bisa bikin varises di hari tua. Lebih nyaman
menggunakan flat atau canvas shoes untuk berjalan-jalan di distrik San Francisco. Mengingat
kota ini dipilih sebagai “most walkable city” versi Walkscore, jadi kemana-mana lebih enak
berjalan kaki. Being a winning shopper never easy dan sepatu hak merupakan salah satu
sumber kekalahan waktu rebut-rebutan barang belanja. Ini teori dari April.
Teman-teman Bernadine mengangkat gelasnya yang berisikan macam-macam island*, most
of them order lord od ring ice tea – with vodka, gin, white rum, kahlua liqueur, and err… coke
martini. Thought it equal with 3 shots tequila. Ia sendiri sudah merasa fitted in dengan menu
minuman andalan April, nutella daiquri. Have no liquor – just rum, bailey‟s, nutella, and
noisette syrup – tetap megang rasa yummy khas Frisco!
Lagi-lagi April. Memang kehilangan sahabat itu seperti kehilangan satu kepingan puzzle.
Ada yang bilang, a friend is just like a puzzle. Mereka punya bermacam-macam karakter – yang
di tengah benar-benar melindungi kamu, yang di pinggir seperti sekadar teman nongkrong,
kira-kira seperti itu. Sementara April…
“Hey, Dine, siapa orang paling aneh yang pernah lo kenal?” Tanya Sasha yang sepertinya
sudah sedikit mabuk. Ia tertawa-tawa dengan Rico yang duduk di sampingnya dan memesan
segelas cointreau lagi. “Ahh… gue tau, orang paling aneh itu pasti si pincang kan?”
Bernadine tertegun. Pincang yang dimaksud oleh Sasha adalah April, satu-satunya siswi
pincang di SF Institute. Hampir semua orang selalu berkomentar akan kepincangannya.
Mungkin karena kepincangannya itu tidak memadai dengan wajah dan popularitas April.
Everyone want to find the weakness of the star, right? Semua orang mau menjatuhkan April.
Even worse, mereka seakan tidak peduli Bernadine sahabat April. Bahkan ketika April sudah
jauh di London, mereka masih saja membicarakan gadis muda itu. Seperti membicarakan kasus
Anang dan Krisdayanti. No wonder April called as a diva. She is. She made an infotainment.
“Kenapa lo bilang si April aneh?”
Erin melirik Sasha gemas. “Sha, tolong. April itu teman kita juga, ngapain sih lo ngomong-
ngomongin dia juga?”

17
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Ah, sok alim lo, Rin!” Seru Sasha. Mendadak wajahnya terlihat marah. “Rin, gue juga tau
kalo lo sama si pincang itu sama-sama dari Indonesia, tapi kalo emang dia aneh, mau gimana
juga? Atau emang orang Indonesia aneh-aneh?!”
“Jaga omongan lo!” Ucap Erin defensif. Erina memang murid pindahan dari Indonesia,
sama seperti April. “April itu dapat musibah dan kita sebagai temannya, harusnya mendukung
dia dong! Iya nggak, Dine?”
Bernadine mengangguk kecil. “Sudahlah, kayak begini aja kok…”
“Dine, temen lo itu aneh tau nggak.” Sasha ketawa. Kayaknya dia memang sudah setengah
sinting gara-gara mabuk. “Dia cakep, eksis, tapi nggak kepengin gaul. Ditawarin ikut geng kita
malah nolak mentah-mentah. Bahkan kita dikatain belagu by doing the gap-ing. So what, it‟s
life you know. We have some classes in society!”
“Lo mabuk, Sha…”
“Berisik!” Sasha berteriak kesal. “Gue… pokoknya gue dendam kesumat sama April. Gue
taulah muka dia nyaingin artis Hollywood, tapi nggak usah pakai jual mahal ke Phill sampai
nolak dia segala dong! Kagak tau diri ya tuh anak, orang kayak Phill aja ditolak?!”
“April nolak Phill?” Tanya Amelie kaget. “Seorang Phill?”
Phill ini bukan Pria Idaman Lain lho – halah. Phill Duncane, another Frisco‟s handsome
guy. Bernadine merasa April menolak Phill bukan karena dia kurang ganteng atau apa. Phill itu
ganteng pakai banget, memenuhi isi dasa dharma kriteria lelaki tiap perempuan. Royal? Check.
Charming? Check. Prince wannabe? 50%. Kind? Perfect. Understanding? It‟s a wow. And fyi,
he‟s driving Mitsubishi Pajero Sport. Kriteria yang Phill punya sudah melebihi keinginan cewek
manapun. Dia mengirimkan pesan-pesan manis di meja April tiap hari, meminjamkan segala
keperluan April, mau menemani April kemana-mana, dan catat – April dinilai cacat. Tapi Phill
seakan nggak peduli. In this case, for the girls, April is unfair. Dia seakan nggak bisa menilai
„barang bagus‟ dan kesempatan berharga ini.
Tapi April memang nggak mau. Sejak berpisah dari Pamung, April nggak pernah ingin
dating atau benar-benar mengenal cinta lagi. Banyak banget American yang senang dengan
April, tapi April nggak pernah mau menggubrisnya. Tambah lagilah capnya – jual mahal, sok
kecakepan, nggak tau diri, dan lain-lain. Semakin dikatain begitu April semakin menutup diri.
It‟s like seeing someone ignoring Logan Lerman or Taylor Lautner.
“Ya, seorang Phill ditolak. Dia aneh, nggak waras.” Kata Sasha emosi. “Dia nggak tau ya, kalo
gue jadi dia, gue nggak akan deh sok-sok nggak mau kayak April! Dasar nggak tau diri, nggak
tau dia kalo gue suka banget sama Phill!”

18
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Teman-teman Sasha hanya terdiam. Bernadine segera mengambil alih pembicaraan. “Udah,
tolong banget berhenti bicara soal April. Sha, lo mabuk… makanya lo jadi kacau begini…”
“Apa sih. Hik! Maybe I am Beyonce‟s step sister.” Ucapnya meracau. “I am… Sasha Fierce!”
Lalu Sasha bersama teman-temannya asyik berjoget mengikuti musik yang dimainkan DJ.
Bernadine hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Kamu tau, Pril. Mungkin kamu memang orang teraneh yang pernah gue kenal. Lo punya
ciri khas.”
She got the talent, the beauty, the fashion sense, the brain, the popularity… But why she
always seems unhappy with those things?

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011


“Wow.” Hanya itu yang bisa April ucapkan saat memasuki gedung Royal Albert Hall.
Gedung yang sering dipakai untuk pertunjukkan musik ini memang memiliki arsitektur yang
indah sangat berbau klasik. Ukiran kayunya esentrik dan berkesan kuno – membuat estetika
gedung konser ini semakin kentara. Apalagi, Royal Albert Hall memiliki pipe organ terbesar di
UK. Suasana gedung ini dingin sekaligus bebas. Ia mengikuti Mr. Griffith berjalan ke arah
panggung. Siang itu, gedung konser ditutup karena ada persiapan untuk konser murid-murid
Trinity yang berkolaborasi dengan Royal College dan Guildhall School.
“April, may I introduce Hortace, the concert master from Trinity in tonight‟s concert.”
Ucap Mr. Griffith. April cukup menyetujui nama Mr. Griffith yang berarti rambut merah –
rambut Mr. Griffith memang benar-benar seperti api yang berkobar. Ia tersenyum kecil pada
Hortace.
“Aprillia Sherlyne.”
“Hortace.” Sahut cowok itu sambil menjabat tangan April mantap. Pembawaan pemuda itu
berwibawa dan sangat tegas, cocok sekali dengan posisinya sebagai concert master. “Ini ya yang
dibilang dapat beasiswa khusus? Beruntung sekali kamu.” Katanya terus terang. “Biasanya
Trinity pelit untuk kasih beasiswa.”
Mr. Griffith tertawa. “Dasar kamu, Hortace. Dia memang berbakat, makanya diberikan
beasiswa. Tunggu sampai kamu melihat penampilan April.”
“Kamu ambil jenis performing art apa? Broadway drama? Directing?” Tanya Hortace.
April tertegun. “Hmm… Dance.”

19
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Jawaban singkat April membuat Hortace bengong. Ia melirik ke bawah, ke arah kaki April
yang disangga Ilizarov. “No offense… But?”
“Yeah, I know.” Potong April cepat. “Memang sedikit nggak waras. Tapi memang ini
panggungku untuk bisa menunjukkan bahwa aku bisa menari lagi.”
“Such a brave girl.” Hortace tersenyum kecil. “Anyway, welcome to Trinity College! We will
try to make you as warm as your home. Ngomong-ngomong, kamu orang mana?”
“Indonesia.”
“Seriously?”
“Yap.” April mengangguk. “Spesialisasi tarianku juga tarian daerah Indonesia.”
“Aku belum pernah lihat. Di Trinity hanya ada 1 orang Indonesia. Kamu yang kedua
ternyata…” Hortace mengangguk-angguk. “Angkasa, ada orang Indonesia juga di sini.”
April menoleh ke arah orang yang dipanggil „Angkasa‟. Ia tertegun. Wajah di depannya…
seperti familier. Seperti wajah Pamung. Kulitnya agak gosong, matanya sipit, dan rambutnya
ikal. Angkasa balas memperhatikan postur April yang mungil.
“Kenalin, Pril. Ini Angkasa, salah seorang violinist* di Trinity.” Angkasa mengangguk sopan
ke arah April. Hortace melanjutkan kalimatnya. “Dan Angkasa, ini April. Dia penari baru yang
dapat beasiswa khusus bersejarahnya Trinity.”
“Oh, itu dia?” Mata Angkasa terbelalak. “Selamat ya. Hebat sekali.” Ucapnya tulus.
“Terimakasih.” April tersenyum sopan.
“Kamu ikut nonton konser ini, April?” Tanya Mr. Griffith. April menatap wajah salah
seorang gurunya itu dengan bingung.
“Harus nggak?”
“It‟s up to you. But it‟s a big regret to skip the performance of Angkasa. He‟s doing solo
tonight.” Tambah Mr. Griffith lagi. April spontan menoleh ke Angkasa yang sudah berdiri di
sampingnya sambil tersenyum ramah.
“Hari ini aku tampil sendiri. Main lagu Winter-nya Antonio Vivaldi. Kamu tau?”
April menggeleng jujur. “Aku nggak tau banyak soal musik klasik.”
“Kalau gitu, biar aku kenalin aja. Makanya kamu nonton ya?”
Entah apa efek besar dari si wajah Pamung ini untuk April, April akhirnya mengangguk.
April tidak suka musik klasik. Menurutnya, mendengarkan musik klasik membuatnya mudah
mengantuk – classic is a lullaby song. Tapi Pamung seakan benar-benar ingin membuatnya
mengenal musik klasik yang ia banggakan.
Aprillia, nama dia Angkasa, bukan Pamung.

20
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011


Ini bukan pertama kalinya April menghadiri sebuah konser. Dulu, Bimo juga pernah
mengajaknya datang ke sebuah konser piano. Hasilnya? April dengan sukses tertidur dan
memerlukan waktu setengah jam untuk membangunkannya. Classical music is boring, for
God‟s sake. But this is Europe. You know, Eropa sangat menjunjung lagu klasik dari zaman
klasik romantis sampai zaman baroque atau apapunlah namanya. And the center of classical
music is in Vienna, Austria – sangat Eropa. Mungkin terdengar bodoh, April adalah seorang
penari yang tidak bisa menikmati musik klasik. Dia menari tanpa pernah berurusan dengan
musik. Bagi April, musik dan tarian adalah dua hal yang berbeda. Tarian Indonesia tidak terlalu
memusingkan musik, yang penting adalah ketukan. Lalu kenapa musik sebelum tidur ini harus
dia dengarkan?
April memutuskan untuk menatap para pemain musiknya saja daripada dia harus terlelap di
kursi. Nggak etis juga, mengingat yang tampil di konser malam ini adalah (calon) teman-
temannya di Trinity, masa dia dengan enaknya cuek bebek dan angkat sauh untuk ke pulau
kapuk? Dia menatapi para pemain yang ada di panggung. Dari jauh, April bisa melihat sosok
Hortace yang duduk di paling kiri memegang biola. Di samping Hortace ada… Angkasa.
Have you seen an Indonesian playing violin? Tanpa banyak kata, Angkasa terlihat sangat
gagah dan menguasai „dunia‟-nya di atas biola. Gesekan bow-nya sangat anggun dan lembut,
tapi suaranya bisa menaungi satu hall. April semakin memperhatikan Angkasa yang terlihat
sangat bersahaja dengan jas dan dasi kupu-kupu.
I think I have found the idea to love classical music.
April mengalihkan pandangannya ke arah pemain musik di belakang orkestra biola. Ada
saxophone, cello, contrabass, organ, flute…
Pandangan April berhenti pada orang di balik grand piano di tengah-tengah panggung.
April bisa mendengar lamat-lamat sentuhan berbagai nada yang dilantunkan orang itu.
Permainannya lembut sekaligus tegas. Suaranya seperti menyuarakan keinginan akan
keberadaan. Sentuhan piano itu…
Seperti menyentuh permukaan perasaan Giselle yang paling bawah.
Gosh, is this the thing named magic of music?

***

21
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER THREE
Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011
“What do you think? Do you think it‟s good enough?”
“Are you saying good?” April bertanya balik seraya tersenyum pada Angkasa. “It‟s amazing!
Ini pertama kalinya aku kenal dengan keajaiban musik. Your solo is an awesome performance.”
Angkasa tersenyum senang. Ia menatap cewek mungil di hadapannya dengan tatapan
sedikit kecewa. “Sayangnya, yang tadi itu akan jadi yang pertama dan terakhir. Kayaknya aku
nggak akan dapat solo lagi.”
“Lah, kenapa?”
“It‟s a competition, Pril. Di Trinity, banyak sekali musisi hebat lainnya. Kita bersaing
bersama-sama untuk meraih kesempatan solo atau duet. Banyak sekali siswa yang lebih
berbakat daripada aku sudah pernah tampil solo – bahkan di Cadogan Hall. Ada juga yang
pernah berkolaborasi dengan Royal Philharmonic Orchestra. Kayak aku tadi, itu masih awam
banget.”
“Awam? Awam aja yang nonton udah segitu banyak, apalagi kalau profesional?” Tanya April
kaget. Ia serius, penonton konser tadi memenuhi satu hall penuh. Benar-benar tidak ada kursi
kosong yang tersisa. Dan itu untuk konser seorang… awam?
“Kamu juga lagi. Nanti waktu kamu ikut kelas tarinya, kompetisinya lebih ribet lagi. We
have main dancer, yang biasanya jadi penampil utama di London. Actually not only London,
kamu bisa tampil sampai Edinburgh. Bahkan ada juga yang ke Vancouver.”
“Really? Itu yang dibilang main dancer?”
“Ya, yang bisa menari paling bagus. Bukan hanya tariannya saja, nilai akademisnya harus
cemerlang dan punya prestasi menari sendiri. Prestasi yang bukan hanya dari Trinity, tapi di
luar Trinity.”
“Memang main musician Trinity siapa?”
“Itu, si Hortace.”
“Oh.” April nyengir lebar. “Itu sih udah diduga. Tapi bukannya sebentar lagi Hortace lulus
ya? Dia kemana?”
“Hortace mau ambil musik di Vienna. Katanya udah nggak betah di Inggris.” Angkasa
melirik Hortace yang sedang merapikan biolanya sambil membawa karangan bunga. Pemuda
kaku itu diselamati oleh banyak orang yang lewat. Memang bangkotan Trinity tersebut sudah
sangat ahli dalam memainkan dawai biola. “Makanya tahun ini kita ada pemilihan main
musician lagi. Mirip dewan siswa gitu deh. Gede-gedean banget pemilihannya.”

22
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Wah, asyik juga ya ada pemilihannya gitu.”


“Nanti waktu kepilih, tiap main musician, main actrees, main actor, main dancer, main
choreographer, main author, main director, sampai pengurusan stage management dan
skripnya akan bekerja sama untuk bikin performance yang termasuk penampilan terbesar di
London. Trinity punya acara seperti itu tiap setahun sekali. Aku pengin banget tuh jadi main
musiciannya. Penampilan para main section itu selalu memukau!”
April suka melihat binar yang muncul di mata Angkasa setiap ia mengungkapkan obsesinya.
“Memang pemilihan nominasi main musician kapan?”
“Enam bulan lagi.” Ucapnya pelan. “Sainganku berat banget.”
“Oh ya?” April mendongak, menatap Angkasa bingung. “Rasanya ya, Ka, aku nggak lihat ada
pemain musik junior lagi yang lebih jago daripada kamu.”
“Kamu terlalu memuji.” Ujar Angkasa kalem. Ia membuka kotak biolanya dan
membersihkan tepi-tepi alat musik anggun itu. “Kamu memang belum kenal ya si orang kayu di
pojok itu?”
“Mana?” April melayangkan pandangan ke tiap pojok panggung. Ada yang sedang tertawa-
tawa dengan sesama peniup flute, ada yang terlihat keberatan membereskan contrabass, ada
yang…
Di pojok kiri, ada seorang pemuda yang berwajah jutek sedang duduk di balik piano. April
tidak bisa mempercayai matanya.
Apakah itu orang yang sama dengan yang memainkan keajaiban piano tadi? April
membatin dalam hati. Apa yang dia mainkan kok beda ya dengan kesan karakternya?
“Itu, si boneka kayu.” Kata Anggara seraya tertawa kecil. “Nggak heran sih kamu belum
kenal dia. Yang main piano itu.”
“Dia mainnya jago.” Ucap April lugas. “Aku suka permainannya.”
“Itu dia. Tiap orang – bahkan yang nggak ngerti musik klasikpun, merasa bahwa permainan
boneka kayu itu memukau dan bagus. Heran banget, orangnya seakan benar-benar nggak sesuai
dengan musik mengalun yang dia mainkan.”
Ada setitik pertanyaan yang mengganjal di benak April. “Kenapa dia dipanggil boneka
kayu?”
“Have you heard the nutcracker story?”
April mengangguk. “I know. The story has a dance, too.”
“Dia itu kaku banget, kayak nutcracker yang ada di cerita itu. Dan memang dia selalu
berurusan dengan kayu.”

23
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

***

Royal Albert Hall, London, United Kingdom | Oktober 2011


Performing in a concert is such like turning back to the 16th century period. Bagi Emil,
nuansa kaku yang ada dalam sebuah konser membuatnya muak. Dia tidak suka menggunakan
tuxedo suit seperti ini – apalagi harus Zegna. Emil juga tidak menyukai bagaimana formalitas
orang-orang yang tidak menyukai musik klasik sok-sok menyukainya supaya mendapat kenalan
baru. Begitu ditanya tentang Beethoven…
Dia bukannya lahir di Budafest ya?
Gila. Jauh kemana-mana ya, Budafest mah tempat si MJ konser. Yes, there‟s a big concert
too in Budafest, but it was performed „Beat It‟, „Man in the Mirror‟, or „I Just Can‟t Stop Loving
You‟. Yang jelas bukan konser Moonlight Sonata. Kalau memang mereka tidak menyukai musik
klasik, ya sudah. Emil juga tidak pernah memaksa mereka menyukai penampilannya kok. Ia
bermain piano sesuai dengan apa yang ia rasakan. Seperti kekecewaannya akan musik.
Kekesalannya. Bagaimana ia harus dipaksa mencintai musik itu seperti Beethoven.
Dipaksa mencintai sesuatu membuatnya kehilangan rasa cinta sebenarnya.
Emil mencintai piano. Sejak umur 7 tahun, Emil sudah menyukai dentingan tuts piano itu
saat ditekan. Nada-nadanya menggugah pikiran Emil. Dan satu hal yang Emil sukai dari piano,
hanya dari 7 tangga nada, Emil bisa memainkan berbagai jenis penyatu nada lainnya. Dari satu
menjadi banyak sekali. Tapi sejak ibunya tidak ada, ayahnya memaksa Emil untuk berlatih
siang-malam bersama piano di rumahnya. Karena itu, Emil benci piano.
Ia benci tapi ia harus melakukan. Sekaligus ia juga mencintainya.
Dia benci harus diajar oleh ayahnya sendiri di sekolah. Dia tidak suka ada di Trinity. Teman-
temannya memuja dia seakan dia dewa atas musik klasik, tapi Emil hanya ingin hidup normal.
Kebenciannya terhadap hari-harinya ia tumpahkan dengan membuat lagu-lagu tersendiri untuk
konsernya – tapi ayahnya tidak menyukainya.
Emil berhenti memainkan nada-nada sederhana yang dilantukan pianonya. Gedung Royal
Albert sudah semakin sepi. Yang tersisa hanya siswa-siswi Trinity yang sedang membereskan
alat musiknya. Matanya menyapu panggung yang besar itu dan berhenti di satu sosok asing.
Sosok itu. Emil pernah melihatnya ada di foto yang dipegang ayahnya. Waktu itu ayahnya
berkata bahwa perempuan yang ada di foto tersebut sangat berbakat menari. Hampir tiap
universitas di Amerika ingin mengajak anak itu turut ambil bagian dalam studi di sekolah
mereka. Tapi perempuan mungil itu mengatakan ingin masuk ke Trinity – sampai sebuah
kecelakaan menimpa kakinya.

24
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Ayahnya tidak tinggal diam. Ayahnya selalu ingin meraup seluruh anak berbakat di pelosok
dunia. Mungkin si mungil ini salah satu korbannya ayahnya. Emil sudah bersiap-siap untuk
pergi dari kursi piano, tapi ada sesuatu yang menahannya. Tatapan Emil berhenti di kaki
perempuan tersebut.
Cacatkah? Batin Emil heran. Kalau cacat, kenapa dia masih ingin menari? Ingin masuk
Trinity untuk menari? Tanpa kakinya?
Dalam hening, Emil terus memperhatikan gerakan kecil yang dibuat oleh gadis betubuh
kurus tersebut. Kenapa dia mau ada di sini? Bukannya dia tau itu tidak mungkin?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011


“Jadi kamu yang dibilang anak baru itu?”
April langsung menoleh. Seminggu di Trinity ini dia lebih sering berkumpul dengan anak-
anak musik – tentunya berkat Angkasa. April senang berbicara dengan Angkasa, pemuda itu
selalu menatapnya tajam dengan gestur yang selalu ia sukai. Apalagi para pemusik di Trinity
juga ramah padanya. April hampir mengenali semua anggota orkestra Trinity yang bernama
Fugue – kecuali satu orang.
Si pianis yang dipanggil Nutcracker oleh teman-temannya itu. April sama sekali belum
pernah berbicara dengannya. Dengar-dengar, nama pemuda itu adalah Emil, dia anak dari salah
seorang guru besar di Trinity.
Ia hanya mengangguk kecil sambil memandangi gadis langsing semampai yang
menggunakan romantic tutu* dan pointe shoes*. Dari gayanya, April menyimpulkan bahwa ia
adalah salah satu siswi senior di Trinity College of Dance.
“Ya, kenapa?”
“Kalau kamu tau kamu anak baru, ngapain siap-siap di sini?” Ujarnya galak. “Ini untuk
senior, kamu tau itu?”
“Maaf. Saya nggak tau.”
“Karena itu saya kasih tau.” Tukasnya tegas. Ia berbalik dan pergi ke daerah depan
panggung. April memperhatikan sesuatu yang selama ini luput dari pikirannya. Matanya
memicing khawatir seraya memperhatikan kostum yang dipakai teman-temannya.
Gue udah banyak lupa soal tari balet! Pikirnya panik.
“So, Sherlyne, are you ready to take a warming up?” Tanya Madame Wildoff, guru tarinya
di Trinity. “Hurry up, wear your tutu. It‟s in the locker.”

25
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

April hanya mengangguk kecil – ia sangat amat ragu. Satu hal yang ia lupakan.
Bukankah ia penari tradisional, bukan ballerina?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011


“Dia bisa dapat beasiswa, tapi kenapa nggak bisa menari? Bahkan port de bras* saja dia
nggak tau. Kamu kasih uang berapa supaya bisa masuk sini, hah?”
Hati April seakan ditusuk-tusuk. Tadi penampilan singkatnya memang hancur lebur sampai
tidak layak untuk dianggap sebuah „tarian‟. Ia menari tetap menggunakan rangka besi sial itu
dan langsung ditertawakan para siswa-siswi Trinity. Dan di antara kerumunan orang banyak,
April bisa melihat Keane juga menahan tawa.
“Kalau memang nggak bisa menari, ya nggak usah masuk sini.” Cetus Cathlin lugas. Gadis
berambut pirang halus itu masih menyindir April tajam seraya membereskan tutu dan pakaian
baletnya. April hanya menggigit bibir perlahan.
Fokus gue memang bukan di balet, jadi bagaimana?
“Apa saya nggak bisa menarikan tarian yang saya bisa?”
Ucapan April yang sangat naif langsung disambut tawa ngakak.
“Kamu mimpi?” Cathlin menahan tawa gelinya. Ia merapikan rambutnya yang sangat indah
bak model iklan shampo. “Kalau kamu nggak bisa menari balet, buat apa kamu di sini?
Lagipula…” Ia melirik kaki April dengan jijik. “… Dancer always has legs.”
Kalimat terakhir yang dilontarkan Cathlin benar-benar membuat kepingan hati April tidak
bersisa. April menghela nafas panjang dan berbalik badan, masih lengkap dengan seragam
baletnya. Dia sudah tabah dengan ejekan semacam ini… Ejekan penari yang tidak punya kaki, si
pincang, nggak tau malu, dan…
April mengepalkan kedua tangannya menahan panas yang mulai naik ke dada. Ia terduduk
di pojok panggung, dekat grand piano Trinity Guildhall. Dan panas yang ada di dadanya mulai
membentuk bulir-bulir air yang membasahi wajahnya.
Kenapa nggak biarkan gue bermimpi dulu, mencoba merealisasi mimpi itu?
Kenapa langsung mimpi itu dihancurkan?

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011

26
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Nafas Emil menderu lelah. Ia memijat keningnya dengan wajah penuh peluh. Tidak, ia tidak
habis bermain hockey ataupun ikut jogging dengan anak-anak Fugue. Even he‟s skipping the
leisure time to watch Chelsea, his favorite football team. For God‟s sake, this isn‟t what he
wanted to.
Kalau saja latihan sial itu nggak ada. Maki Emil kesal. “Dikira saya nggak capek apa…
latihan melulu demi sekolah. Kenapa harus saya? Angkasa lebih menginginkan latihan itu
daripada saya.”
Langkah Emil yang sedang menelusuri lorong Guildhall terhenti.
Guildhall sudah sepi, dan tujuan Emil ke sini memang bukan untuk konser ataupun
orchestra routine. Emil merasa seluruh tubuhnya penat. Biasanya di saat seperti ini, dia lebih
suka „kabur‟ ke Notting Hill – tapi kali ini dia disekap oleh jadwal yang tidak leluasa. Sehabis ini
dia harus latihan duet bersama dengan Angkasa, uji coba cello baru, dan…
Pikiran Emil masih terpaku pada sosok yang sedang melepas rangka kakinya. Rangka itu
terlihat berat dan keras, sehingga sosok itu menunjukkan mimik kewalahan. Emil sudah
berinisiatif membantu, tapi akhirnya rangka tersebut lepas juga sebelum ia sempat beranjak.
Ia memperhatikan gerakan sosok tersebut dari jauh. Emil belum pernah melihat kuda-kuda
ini sebelumnya. Kuda-kuda tarian ini aneh, tidak dengan adagio* yang membutuhkan
keseimbangan untuk mengendalikan kaki ke posisi tinggi. Gerakannya pelan sekaligus penuh
arti – memukau setiap sapuan pandangan Emil. Suasananya…
Emil terkesiap. Belum pernah ia melihat sebuah gerakan sederhana yang menyentil
perasaannya sebegini rupa. Matanya terus memperhatikan gadis yang masih memainkan jemari
tangannya dengan lentik, membuat suatu gerakan lembut yang cepat.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011


Kaki April terasa sedikit ngilu setelah mencoba beberapa gerakan simpel dari Tari
Ronggeng. Walaupun tidak terlalu banyak menggunakan gerakan kaki, April merasa kakinya
terlalu lemah tanpa tumpuan Ilizarov. Ia tersenyum kecut.
Sebegitu tergantungkah gue terhadap rangka maksiat ini?
Dalam beberapa detik, April hanya terdiam memandangi Guildhall yang sudah kosong. Ia
mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mulai menarikan apa yang sesungguhnya ia
tarikan di London. Ballet. Sesuatu yang tidak pernah ia pelajari. Intuisi menyuruh April untuk

27
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

segera mengupas tarian bernama balet yang disesuaikan dengan apa yang ia rasa sebagai
„tarian‟. Sesuatu yang dapat ia gubah sendiri.
Dunia sedang tidak melihat kamu, Pril. Menarilah!
Dengan satu tarikan nafas, April bersiap menggerakan kakinya membentuk posisi en
dedans* (Gerakan membentuk lingkaran dengan satuan tendu – kaki yang dipindahkan dari
arah depan, samping, belakang). Lancar. Ia mulai mengayunkan kakinya lagi untuk membantuk
gerakan relevé (Posisi untuk menyeimbangkan gerakan apapun lalu berjinjit), tiba-tiba nyeri
mulai menyerang lututnya, merambat menekan persendian, dan menusuk otot.
Satu posisi lagi.
April menarik nafas dan mulai melompat secara horizontal dan mengambil jarak yang
panjang. Posisi grand jeté. Tangannya ia ayunkan ke depan dada dan kepalanya mendongak.
Tiba-tiba nyeri di kakinya berubah menjadi ngilu dan tumpuan tubuhnya terasa lemas.
GEDUBRAK!

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | Oktober 2011


Kepala April seakan tidak berkepala. Saking nyerinya, rasanya seperti mati rasa.
Mata April seakan bisa melihat ada burung pipit, burung murai, burung jalak putih, bahkan
cendrawasih mengelilingi kepalanya. Semua berputar tidak terarah dan terlihat kabur. April
memegangi kepalanya dan kembali merebahkannya ke sesuatu yang keras di belakang tubuh
April. Ia mengernyitkan dahinya. Bukan hanya kakinya yang kini berdenyut-denyut, tapi terasa
seribu jarum menusuk segala syaraf yang ada dalam kepalanya.
Baru saja April ingin memejamkan matanya kembali, sebuah suara terdengar.
“Are you okay, Aprillia?”
April mendongak. Di hadapannya ada seorang James Marsden – kalau penglihatannya
masih benar – yang sedang berjongkok seraya mencopot pointe shoes-nya. Pemuda di depannya
terlihat sangat terampil membereskan perlengkapan keramat para penari balet. Penari balet –
dan jelas penari balet bukanlah dirinya.
Dancing ballet isn‟t a good idea indeed. Keluh April dalam hati. Ia masih memegangi
kepalanya yang serasa mau pecah. Entah sewaktu tadi ia jatuh apa yang ditabrak kepalanya.
Yang jelas ia sempat tidak sadar sebentar.
Ngomong-ngomong, seorang penari yang sedang melakukan tarian mudah itu jatuh.
Mending penari awam. Ini penari yang sedang dibicarakan mendapat beasiswa spesial dari

28
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Trinity – one of best performing art schools in the world. Dan April – si penari yang
dibicarakan itu – jatuh tepat di hadapan seorang James Marsden yang kini sedang terlihat
menahan tawa. Air muka pemuda itu seperti menikmati raut kesal April.
“Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa gimana?” Sembur April. “Kalau nggak apa-apa, saya nggak akan sampai
nggak bisa berdiri begini.”
James Marsden itu masih memandangi kaki April yang polos tanpa rangka. Ia hanya
mendapati sebuah bebatan perban di lutut. “Kaki kamu nggak apa-apa?”
“Agak ngilu…”
Refleks, cowok itu memijit pergelangan kaki April. Tapi April tidak menjerit sakit.
Sepertinya pemuda itu mengerti titik-titik tumpuan yang menggila di kaki April.
“Kamu tukang urut?”
Sosok di depan April terlihat menahan tawa dengan bibir tetap terkatup. Rautnya tidak
rileks, sangat kaku dan dingin. “You are so full-mouthed.”
“Salah satu kelebihanku, anggap saja begitu.” Ucap April pelan. Matanya memperhatikan
jari-jari pemuda itu yang sedang menekan beberapa titik di kakinya. Jari-jarinya panjang dan
kurus, seperti jari seorang pianis.
April baru menyadari sesuatu. Dia adalah pianis jutek itu! Si Nutcracker!
“Kamu Emil kan?”
Emil tercengang. “Kamu kok tau namaku?”
“Sudah banyak yang ngomongin.” April tersenyum hangat. Ia menyodorkan tangannya.
“Aprillia. New comer.”
“Emil.” Balasnya tanpa ekspresi. Bahkan Emil tidak melirik tangan yang diulurkan oleh
April. Ia membiarkan tangan April tergantung di udara dan masih sibuk mengurut kaki April.
“Hei!” April berseru tidak terima. Ia meraih tangan Emil dan membuat cowok itu tersentak
kaget. Spontan, April menyalami tangan Emil dengan usahanya sendiri. “Dasar kamu orang
Eropa. Tapi masa budaya „salam‟ begini juga nggak tau sih?”
Sebuah senyum geli merekah di wajah Emil. April masih saja sibuk ngomel-ngomel sendiri.
“Nah, kalau nggak tau, saya kasih tau ya. Ada tradisi yang namanya salaman. Jadi kalau ketemu
orang baru dan kenalan, harus kasih salam. Apalagi kalau…”
“I know it, April.” Tukas Emil halus. April menoleh dan memandangi sorot mata dalam
pemuda di depannya. “Saya tau maksud kamu.”
“Terus kenapa kamu nggak respon?”
“Kaki kamu sudah mendingan?”

29
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Wajah April merengut. Ia benci seseorang mengalihkan pembicaraan seperti tadi. “Sudah.
Terimakasih ya.” Ucapnya seraya bergegas berdiri. Baru beberapa detik April bertumpu dengan
kakinya, ia langsung terhuyung dan nyaris jatuh.
Detik berikutnya, wajah April terbenam di tubuh seseorang.
“Kamu…” Emil berucap lirih. Entah suruhan darimana, ia tiba-tiba langsung berdiri untuk
memegangi usaha April yang ingin segera berdiri. “… jangan maksain diri kamu.”
Jangan maksain diri kamu.
Baru saja Emil ingin membenarkan posisi April, gadis mungil yang bermata besar itu
menatapnya dengan tatapan bening. Emil balas menatapnya ragu.
“That‟s me, Mil…” Bisik April lirih. “Lucu ya, saya nggak bisa menari. Nggak punya kaki.
Terus untuk apa saya ada di sini?”
Emil hanya diam. Mungkinkah kamu ada untuk saya? Dia membantu April untuk berdiri
tegak dan mengambil rangka yang dicopot oleh April sebelum latihan. April menghela nafas dan
membiarkan Emil memasang rangka itu pada kakinya.
“Sebelum kamu bisa bebas…” Emil berkata seraya membetulkan rangka tersebut. “… Kamu
butuh tumpuan dulu. Tapi jangan berhenti mencoba.”

***

St. Christopher’s Place, Oxford Street, London | Oktober 2011


“Kamu bicara dengan si nutcracker?”
“Kenapa dipanggil nutcracker sih?” Potong April sebelum menjawab pertanyaan Angkasa.
“Gatel tau dengarnya. Seakan dia nggak punya nama aja. Namanya kan Emil!”
“Iya. Aku tau.” Angkasa terkekeh geli mendengar protes April. Ia menyesap teh english
breakfast-nya cepat lalu langsung mengernyit. “Hm. Kayaknya tinggal di London selama 3
tahun tetap tidak bisa mengubah selera lidahku.”
Tawa April langsung menyembur. “Kamu nggak suka…” Ia menunjuk beberapa penganan di
depannya. “…Semua makanan ini?”
“Suka itu relatif. Kalau dibandingkan dengan makanan lain, mungkin aku nggak suka.
Misalnya kalau dibandingkan dengan masakan Padang.”
“Itu kasus berbeda. Tapi perlu diakui, makanan Inggris memang hambar. Kata calon kakak
iparku, makanan Inggris serasa seperti sarapan tiga kali. Menunya rata-rata sama!”
“Jelas.” Angkasa mengangguk setuju. Mulutnya masih sibuk mengunyah sepotong
shepherd‟s pie (kue pai dengan isi daging kambing) lalu menelannya cepat. “Tapi ada beberapa

30
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

restoran yang memang enak juga. Kayak restoran di Tower 42. Selain makanannya enak,
pemandangannya juga bagus. Sayangnya…”
“Mahal.” Sahut April cepat. Mulutnya menganga lebar, siap memasukkan sepotong
fishcakes serta scampi (hidangan udang digoreng dilapisi tepung roti) lalu menelannya bulat-
bulat dengan cuek. Angkasa mengatupkan mulutnya menahan tawa. Tapi pada dasarnya
memang sifat April yang sarkatis serta sensi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan
bayangannya – April langsung menoleh kesal.
“Apa?”
“Hehehehe. Nggak. Kamu mau tahu, nggak? Kamu itu perempuan pertama yang pernah aku
temuin dengan gaya makan jauh dari kriteria table manner.”
“Maksudnya? Aku memang nggak terlalu ngurusin gaya makan sih.” April mengelap
mulutnya dengan serbet. Ia tidak menatap wajah Angkasa, malah memperhatikan meja-meja
yang ada di Oxford Street. Christopher‟s Place mempunyai tipe restoran outside dining, lengkap
dengan suasana London yang dingin serta penampilan musik akustik. Udara pagi ini terasa
„sejuk‟ – menurut Angkasa – sehingga si pemain biola itu menyeret April untuk berjalan-jalan
santai menikmati hari Minggu di daerah pusat makanan yang terkenal di London. Tapi
mengingat kulit Angkasa sudah akrab dengan udara London selama 3 tahun, kata „sejuk‟-nya
sudah memiliki arti lain. Angin yang berhembus membuat bulu kuduk April berdiri.
“Kamu juga perempuan pertama yang nggak terus-menerus menatap aku saat bicara.”
Tambah Angkasa tanpa menjawab pertanyaan April sebelumnya. Ia merapikan mantelnya dan
mendeham. “Kebanyakan cewek-cewek… Selalu bawel dan berisik kalau sedang bicara dengan
aku. Lucunya, mereka seperti tebar pesona.”
Saat Angkasa bicara seperti itu, April baru sadar akan satu kesimpulan penting.
Angkasa memang memiliki wajah khas Indonesia yang apik. Matanya segar tanpa terlihat
lelah, suaranya bening, apalagi dengan sentuhan rambut ikal dan kulit gosong (kalau menurut
April sendiri, kulit Angkasa lebih dianggap sebagai „tan‟ di Inggris. Every European guy must
be envying this tan skin!) – Angkasa bisa masuk kategori cakep. Tidak memukau dari kejauhan,
tapi lekuk wajahnya memang menarik. April mengikik tertahan.
“Kamu banyak penggemar ya, Ka?”
“Entahlah.” Angkasa mengangkat bahunya tidak acuh. “Kalau menurut Hortace… Mereka
itu bisa dikategorikan sebagai penggemar. Cewek-cewek berisik. Apalagi Cathlin…”
“Cathlin?!” ulang April sambil ketawa. “Cathlin? Si pirang yang langsing-idaman-badan
model-seksi-jago menari-eksis-fashionable dan bla bla bla itu? Naksir kamu?”
“Jangan kayak kereta api dong ngomongnya. Iya, Cathlin yang itu.”

31
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“WAH!” April langsung terbahak. “Kalau begitu, kualitas kamu sebagai single guy di London
tidak perlu diragukan lagi. Selamat selamat, kamu sudah membawa nama Indonesia jadi lebih
naik. Memang susah kalau genetika fisiknya bagus.”
“Kata siapa aku single?”
April melotot. “Kamu punya pacar?”
“Nggak. Tapi mungkin akan segera punya.”
“Idih. Terlalu percaya diri si Abang satu ini. Batal deh pujian yang tadi. Cabut! Cabut!
Turunkan si Bapak High-Quality Jomblo!”
Angkasa tersenyum penuh kemenangan lalu menepuk topi wol yang digunakan April
hangat. “Biasanya aku bisa mendapatkan perempuan manapun yang aku mau hanya dalam
jentikan jari, Pril. Tapi perempuan ini berbeda… aku seperti nggak mau memilikinya dengan
mudah. Dia punya dunia lain yang perlu dikembangkan sebelum membaginya dengan aku. Dan
aku hanya ingin… menyayanginya. Bukan memilikinya.”
Mulut April sudah gatal ingin membalas lagi, tapi ada esensi dalam kalimat Angkasa yang
membuat lidahnya frigid – tidak bisa bicara. Kata-kata yang ingin ia lontarkan langsung April
telan kembali. Tangannya menyentuh tangan Angkasa yang masih memegangi topinya, lalu
menaruhnya kembali ke atas meja. “Kamu…”
“Ya, April?”
Pamung. “Kamu… kayak E. E. Cummings.”
Sebuah senyum terulas di bibir Angkasa. “Aku kira… kamu mau ngomong apa.” Kemudian
April merasakan tangannya menghangat. Angkasa menggenggam tangannya.
Jari-jari Angkasa naik-turun di atas telapak tangan April, seperti mencoba untuk menelusuri
kemana pikiran April berkelana. Rambut hitam April jatuh menutupi mata April yang juga
hitam legam. Dan ketika Angkasa baru saja ingin merapikannya, sekelebat kejadian yang sama
muncul seperti film di kepala April.

***

“Aprillia.”
Nada keras itu. Tapi nada tersebut tidak pernah membuat April merasa kesal ataupun marah.
Nada yang selalu sama setiap hari – memanggilnya galak – tapi membuat April serasa selalu
mengetahui bahwa ada orang yang hadir untuknya.
“Sudah hampir larut. Mending berhenti latihan aja deh.” Pamung duduk bersimpuh di lantai kayu
dan menatapi sosok April yang masih mengulangi gerakan koreografi terbaru untuk penampilan
pentas seni minggu depan. April tetap cuek dan tidak menggubris larangan Pamung, ia malah

32
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

memencet tombol „play‟ di tape dan menarikan sebuah gerakan dengan lagu Supermassive Blackhole-
nya Muse. Wajah Pamung langsung merengut melihatnya. Dengan cepat, ia menarik tangan April
sehingga ia jatuh terduduk tepat di pangkuan Pamung.
“Apa-apaan sih?!” April mendongak, menatapi mata Pamung yang sipit seraya cemberut. Wajah
April merona kesal sekaligus lelah, dahinya berkeringat, dan rambut hitamnya mencuat kemana-mana
di atas pangkuan Pamung. Dengan gemas, Pamung menepuk kedua pipi April lembut tanpa
membiarkan gadis itu bangun dari posisinya.
“Pamung…” Kalimat April terpotong. Wajah pacarnya hanya menatap April penuh sayang dan
seperti tidak menginginkan interupsi apapun menganggu mereka. Maka Aprilpun memutuskan untuk
diam saja, berusaha agar tidak membuat Pamung lebih naik darah.
“Aku kan sudah bilang… istirahat.” Ucap Pamungkas lambat. Dia meraih rambut April yang
berjatuhan di dahi dan merapikannya dengan lembut. Telinga April dapat menangkap bahwa lagu
Muse yang dimainkan sudah selesai, sementara otaknya terus berputar karena terganggu dengan
kedekatan wajah Pamung… menatap April sedekat ini.
“Aku butuh latihan, Pamung.” Jawab April lugas. Ia balas memainkan anak rambut Pamung.
“Kamu tau, ini tugas penting. Aku mengemban tanggung jawab…”
“Jangan maksain diri.” Potong Pamung tegas dan singkat. Ia menghela nafas. “Kamu bukan James
Bond yang harus terus-menerus ditekan seperti ini. Kamu BUTUH istirahat, bukan perlu lagi. Tolong
ngertiin aku, April.”
“Ngertiin… apa?”
“Kalau kamu sakit, kamu nggak bisa mahamin gimana khawatirnya aku?”
April tertegun. Ia lupa kalau masih ada sosok yang begitu menatapnya seakan ia adalah dunia.
“Maaf, Pamung. Aku…”
“Aku ngerti.” Pamung memencet hidung April. “Tapi sekarang istirahat, oke?”
Kepala April mengangguk. Tapi kepalanya masih diam, bersandar dalam pangkuan Pamung.
Pemuda itu hanya tersenyum damai dan mendekatkan wajahnya ke wajah April – mengecup lembut
dahi kekasihnya. Dengan sabar, ia menyodorkan secangkir susu hangat yang ia bawa dari dapur
rumah April. Kebiasaan Bimo dan April yang sering ditinggal orang tua membuat pacarnya sedikit cuek
dengan hal-hal yang menurutnya „remeh‟, contohnya… kesehatan. April bangkit dari posisi tidurnya
dan duduk dengan kedua kaki tertekuk, wajahnya jatuh di antara kedua lutut seraya menyeruput susu
cokelat hangat yang dibuatkan Pamung.
“Kamu belum mau pulang?” Tanya April sambil menoleh ke arah Pamung. Walaupun pemuda itu
mengaku belum lelah, air wajahnya berkata lain. Matanya seperti menahan kantuk dan capek yang
mengganjal – mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Pamungkas hanya menggeleng pendek. “Kamu belum tidur.”
“Masa kamu baru mau pulang kalau aku sudah tidur? Kamu tau sendiri, aku sering bisa tidur pagi.
Terus kamu juga mau ikut tidur pagi?”
“Kalau kamu memang mau tidur pagi, hayok.”
April menggeleng tidak percaya. “Yang seriuslah, Mung.”

33
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Aku serius, April. Aku di sini juga nungguin kamu tidur. Tadi udah janji kan mau istirahat?”
“Aku sudah besar. Aku bisa mengurus diri aku sendiri, bisa tau kapan harus tidur dan kapan harus
latihan. Aku punya waktu istirahat untuk tubuhku sendiri, Mung.”
“Aprillia.” Pamung berucap penuh urgensi. “Tubuh kamu sebenarnya nggak kuat. Tapi karena
terlalu sering kamu paksa, jadinya kamu merasa seakan kamu kuat. Nggak kasihan apa, tiap hari
tidur cuma tiga-empat jam?”
Akhirnya April hanya bisa mengangguk kecil dengan mulut manyun. “Ya sudah, aku tidur sebentar
lagi. Aku juga nggak mau kamu sakit, muka kamu sudah capek banget gitu.”
Detik-detik berikutnya, alunan nada lembut Concerning Hobbits dalam album Fellowship of the
Ring berjingkrak di tangga-tangga waktu – menemani tatapan yang ada di antara Pamung dan April.
April buru-buru berdiri dan menarik tangan Pamung.
“Pril? Loh, April? Kamu…” Pamung mengernyit heran. Jari-jari lentik April membimbing tangan
kanan Pamung ke pinggang April, sementara tangan kanannya menggenggam tangan April yang
satunya. April hanya tersenyum penuh rahasia dan mulai melangkahkan kakinya.
“April?”
“Sst… Sudah, ikutin langkahku saja. Rasakan nadanya. Perhatikan iramanya.” April mendekatkan
wajahnya ke telinga kiri Pamung. “Dan tarikan seakan dunia memang nggak melihat.”
Pamung terpaksa menurut. Dia mengikuti irama lagu yang dimainkan dan bergerak lambat. Wajah
kekasihnya malah terlihat menikmati sehingga April memejamkan mata – sementara Pamung sendiri
merasa mati gaya. Berdansa? Haduh, otaknya selama ini ada di dalam buku administrasi dan
organisasional seperti keluaran Princeton. Tapi… nada yang berlari dan melangkah dalam malam,
meniti pita-pita bayangan mimpi, serta membuahkan senyum nyaman di wajah April – Pamung rela
berdansa 7 hari 7 malam non stop. Walaupun berparas manis, April jarang tersenyum. April juga jauh
dari kategori perempuan ramah, dia tidak akan menyapa kalau tidak disapa. Berbeda dengan April
versi bersama Pamung, gadis yang menjadi tambatan hatinya selalu menimbulkan efek tertentu
dalam batin Pamung setiap kali April memamerkan luapan senangnya. Terutama saat menari.
Walaupun Pamung tidak pernah mengerti kebahagiaan sebuah tarian.
Ketika lagu mulai mengalun semakin pelan, April berhenti berputar dan mendekatkan tubuhnya
kepada Pamung. Pamung hanya menahan nafas dengan damai, menikmati distraksi indah di
depannya. Lalu mendadak, April membenamkan wajahnya ke dada Pamung. Tempatnya berpulang
selama ini… tempatnya untuk terus beristirahat. Dengan heran, Pamung balas memeluk April yang –
tidak biasanya – mengekspresikan rasa sayangnya.
“Terimakasih sudah ikut melangkah denganku… Pamung.”

***

34
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER FOUR
St. Christopher’s Place, Oxford Street, London | Oktober 2011
“April?”
“Hah?”
“Kamu kok bengong?” Tanya Angkasa lembut. “Masih mikirin soal balet?”
Sontak mood April langsung berubah. Tatapannya kembali serius dan jutek mengingat
tarian hancurnya kemarin. Dia langsung menggumam. “Balet… aku merasa agak aneh. Kemarin
aku mencoba beberapa step dasar balet dan langsung gagal total.”
“Gagal gimana?”
“Jatuh.” Sembur April tanpa tedeng aling-aling. “Jatuh gedubrak, dan di depan aku ada si
Emil. Mana pakai acara kepala kepentok sesuatu lagi. Bisa-bisa benjol kalau begini.”
“Ada Emil?” Mata Angkasa membulat. “Emil… di Guildhall?”
“Iya. Memang kenapa?”
“Kemarin kan nggak ada latihan orkestra atau musik. Kemarin Guildhall memang seratus
persen dipinjam untuk kelas menari. Ngapain ya dia ke sana? Memang boneka kayu satu itu
selalu sulit dimengerti.” Angkasa geleng-geleng kepala. Matanya berpaling ke arah jalanan
Christopher‟s Place yang mulai ramai dipenuhi warga yang berlalu-lalang mencari sarapan.
Embun-embun fajar mulai menghilang, kembali ke bentuk angin yang bertiup tanpa perasaan.
Pantas saja Emil memiliki tingkat kemampuan bermain piano yang tinggi. Jangan-
jangan Emil suka latihan seharian di Guildhall, pantas saja nggak ada yang pernah lihat dia
latihan… Atau…
“Kenapa boneka kayu siiiih?” Tanya April gemas. “Dia sama sekali nggak kayak boneka kayu
kok. Benar-benar baik, dan herannya dia lumayan tahu soal balet.”
“Yang bener?” Balas Angkasa tidak percaya. “Dia itu… anti sosialnya banget-bangetan lho,
Pril. Kalau nggak ditanya, nggak bakal bicara. Kaku banget. Dan dinginnya… benar-benar
seperti bapaknya. Memang buah apel jatuhnya nggak jauh dari pohonnya.”
“Memang ayahnya Emil itu siapa?”
“Colbert Durward.”

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011

35
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Dalam bahasa Inggris kuno, Colbert dapat diartikan sebagai tenang dan dingin. Sementara
family name Durward diadaptasi dari bahasa Anglo Saxon yang berarti penjaga. Mendengar
desas-desus yang mengatakan bahwa ayah kandung Emil merupakan guru musik horor yang
pelit kata, pujian, sekaligus… nilai – membuat April sedikit parno. Apalagi melihat arti nama
beliau, rasanya kesan horor memang patut jadi ciri khasnya. April belum pernah bertemu wajah
dengan Mr. Durward, tapi dari bayangannya – Mr. Durward bertubuh tinggi kekar dan
berwajah garang layaknya pemain rugby. Yang jelas, April agak-agak ngeri kalau harus
berurusan dengan ayahnya anak… hmm, apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan
Emil dengan dirinya? Tukang pijat dengan pasien pijat?
“Masih latihan lagi, April?”
April mendongak. Panjang umur! Seru April dalam hati. Dengan malas, ia mengangguk
kecil. Tangannya masih sibuk memasang pointe shoes dan mencopot rangka ilizarov yang
menganggu kakinya. Tanpa basa-basi, Emil ikut berjongkok dan membantu April mencopot
rangka tersebut. Gerakan tiba-tiba Emil membuat April terkesiap dan menjauhkan wajahnya.
“Kenapa?” Tanya Emil tanpa menatap wajah April yang agak malu.
“Nggak.” Ucap April sok cuek. Dia menaruh rangka yang sudah dicopot di pojokan panggung
Guildhall dan mulai membuat suatu hitungan untuk step echappe. Lompatan posisi tiga sangat
sempurna – tanpa terlihat bahwa April menahan sakit. Sambil menahan nafas, April
mempersiapkan kekuatan sendinya dan mulai melompat, meluruhkan tiap kekuatannya dari
kedua kaki yang kini bebas seperti kupu-kupu…
Kupu-kupu bersayap satu.
Tahap kedua: Arabesque. April menyiapkan posisi kaki sebelah kirinya setinggi mungkin,
satu tangan lurus, dagu terangkat dan wajah berada segaris dengan bahu. Baru saja April
membusungkan dadanya, detik berikutnya beberapa titik di kaki kanan April serasa tidak
bertulang. Dalam satu ketukan, April langsung jatuh terjerembab. Dan lantai tepat menghantam
wajahnya dengan keras.
“APRIL!”
Rasanya April pengin memaki kakinya yang tidak berguna ini sekeras mungkin.
“Aprillia, kenapa sih kamu masih aja… mau jatuh terus-terusan?” Emil datang menghampiri
dengan wajah cemas. April meringis ngilu, ia merasakan lututnya seperti ditekan benda tajam
dan betisnya serasa diikat erat. Tak terasa, kasus jatuh keduanya membuahkan sebuah baretan
panjang di betisnya. Emil menggelengkan kepalanya. “Ini harus dibersihkan dulu.”
“Nggak usah, Mil. Saya pakai celana panjang, jadi nggak akan keliha…”

36
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Kalimat April terhenti. Bukan kenapa-kenapa, tapi raga April seakan terserap ketika ditatapi
Emil intens seperti sekarang. Emil bukanlah tipe orang yang suka menatap lawan bicaranya –
tapi kini ia benar-benar menatap April tajam seperti mata pisau yang baru diasah dengan batu
topaz. “Bukan masalah lukanya dilihat atau tidak, Aprillia. Tapi infeksi dan bahayanya.”
“Tapi kalau lukanya kelihatan, saya pasti akan diledek oleh siswa lainnya, Mil.”
“Apakah pendapat orang lain itu penting bagi kamu?”
Wajah gadis di hadapan Emil menandakan bahwa ia kaget – sekaligus terkesiap. April buru-
buru menggeleng. “Kan mereka juga ikut menilai. Maksud saya… rasanya aneh. Saya masuk ke
Trinity karena beasiswa spesial yang membuktikan bahwa saya penari handal. Karena itu, nggak
lucu kalau saya tiba-tiba keluar dengan luka panjang dan ditertawai mereka.”
“Sepertinya di pikiran kamu hanya ada menari, menari, dan menari. Apa memang ambisi
kamu itu cuma menari, April?”
Mendengar ucapan sarkatis Emil, April langsung memandangnya sebal. “Bisa nggak sih
kamu nggak kasar? Dasar nggak punya perasaan.” Semprotnya.
“Saya bertanya baik-baik.” Ucap Emil dengan tatapan lucu. Jemarinya menelusuri kaki April
menekan beberapa titik. “Tapi untuk urusan kasar, mungkin sudah jadi keturunan. Dalam
darah saya sudah mengalir jiwa seperti itu. Latar belakang sifat ras Arya – mungkin.”
“Kamu orang Jerman?” Tanya April kaget. Ia memutuskan untuk memulai percakapan saja
daripada harus menahan salting merasakan pijatan Emil pada kakinya. Kenapa ya orang ini
kok mau jadi tukang pijat…
“Bukannya sudah ketahuan ya?” Emil balas bertanya. “Emil sendiri kan nama Jerman. Ibu
saya kelahiran Düsseldorf, tapi saya memang besar di Inggris. Saya bukan Inggris tulen, kok.”
Sekarang April bisa menyimpulkan dengan jelas darimana Emil mendapat paras seunik ini.
Rambutnya pirang dengan sentuhan kemerahan, kulitnya putih dan tidak pucat, sementara
matanya berwarna hazelnut lembut. Ujung rambut Emil seperti jambul disertai potongan rapi
dan berkesan formal – ciri khas musisi. Angkasa juga memiliki potongan rambut yang rapi.
Hanya saja Emil sama sekali tidak memiliki segi klimis di rambutnya, sementara rambut
Angkasa agak klimis. Berbeda dengan kakaknya, Bimo, yang punya rambut tapi seakan tidak
pernah salaman dengan sikat rambut.
“Pantesan kamu cakep.” Ucap April asal. Tetapi kalimat itu ditanggapi dengan buahan suara
tawa yang dalam dan gagah.
“Kamu bisa memuji juga ternyata.” Emil tertunduk, masih sibuk menekan beberapa titik di
kaki April. “Permasalahannya, kamu mendapat beasiswa spesial bukan perkara kamu adalah
penari handal. Bagi saya, kamu tidak masuk kategori „handal‟ tersebut.”

37
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Apa?!” April berseru kesal. “Maksud kamu apa?! Aku bisa berbagai jenis tarian! Mulai dari
salsa, tango, flamenco, chachacha, belly, swing, jazz, tradisional, folk…”
“Kecuali balet.” Potong Emil. Ucapan yang dilontarkan pemuda ini memang tidak memiliki
toleransi ataupun kompromi. Begitu jujur, lugas, dan tajam. Menusuk.
“Ya, kecuali itu…” Bisik April pasrah. Ia menghantam pergumulan rasa kesal dan amarah
karena kenyataan pahit yang menerkamnya. “Kecuali balet… Apa karena itu aku bukan penari
handal? Seharusnya aku nggak masuk ke Trinity?”
“Sudah saya bilang, orang yang mendapat beasiswa bukan karena mereka sudah hebat.”
Ucap Emil seraya meluruskan kaki, ikut duduk memandangi Guildhall yang kosong dan luas.
“Mereka mendapat beasiswa karena mereka dipersiapkan menjadi yang hebat. Kalau mereka
sudah hebat, mereka nggak butuh belajar lagi. Karenanya, di dunia ini nggak ada orang yang
sudah hebat. Sekali saja mereka mematikan keinginan belajar mereka – semuanya selesai. Pasti
akan ada yang lebih hebat lagi menyusul mereka.”
Kepala April tertunduk pelan, berusaha memahami ucapan Emil yang – sesungguhnya –
sangat-amat menyentil dan menyindir April. Mau tidak mau, April cukup merasa setuju dengan
kesimpulan Emil. “Hidup memang nggak adil…”
“Kenapa?”
“Ya, misalkan seperti saya.” April membenarkan posisi duduknya menjadi sangat tegap,
bersiap-siap menceritakan apapun yang mengganjal di lubuk pikiran. “Di Indonesia, saya
termasuk dalam tim yang dianggap „populer‟.” Tangan April membentuk tanda kutip, gerakan
sederhana yang menimbulkan sebuah lesung pipit muncul di pipi Emil. “Semua siswa
menganggap saya layak untuk dipuja. Bagi saya, bukan masalah memuja-memuja itu sih yang
penting – tapi karena kemampuan saya menyusun koreografer dan gerakan saya yang dinilai
sangat menjiwai nilai-nilai tertentu. Tapi semuanya hancur ketika saya mendapat kecelakaan
yang menyebabkan kaki saya patah.”
“Tapi toh kamu bisa sampai ke Trinity juga?”
“Itu kasus lain.” Tambah April lagi. “Saya tetap nggak bisa ikut audisi, hanya saja ada
kesempatan yang membuat saya bisa sampai ke sini – beasiswa spesial itu. Kalau kaki saya
nggak patah, saya bisa menunjukkan kalau saya MEMANG bisa menari. Bahkan lebih hebat dari
tarian Keane. Sebenarnya saya bisa menari lebih baik dari dia…”
“Lalu dimana sisi tidak adilnya?”
“Kaki.” Aku April dengan tatapan sedih. “Kalau kaki saya tidak begini, mungkin saya bisa
dianggap lebih layak untuk menerima beasiswa.”

38
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Kamu tau…” Emil menatap April hangat – tatapan yang membuat April merasakan ada
sebersit kekagetan di ujung jalan hatinya. Bagai setetes madu di atas lidah yang terasa hambar.
“Mungkin ada juga orang yang bisa menari sebaik kamu, hanya kurang satu poin lagi untuk
menyusul kamu – kalau kita memakai prinsip poin. Tetapi dia tidak bisa mendapatkan beasiswa
spesial ke Trinity, malahan kamu yang menurutnya tidak punya kaki – bisa diterima! Dia pasti
juga akan berpikir „Yang benar saja! Kenapa bisa tidak adil seperti ini? Seharusnya penari yang
tidak punya kaki tidak boleh mengalahkan saya. Bukankah yang punya kaki yang lebih layak
untuk mendapatkannya?‟ Kurang lebih seperti itu.”
“Jadi… maksudnya.” Kalimat April membuat Emil mendongak dan merasakan aura galau
yang terpancar dari tatapan April. “Sebenarnya… dalam pandangan di sisi lain, aku juga
dianggap tidak adil? Maksudku… ada orang lain yang juga menganggap bahwa hidup tidak adil
karena aku…?”
“Ya. Bukannya malah jadi pandangan yang berantai? Sesuatu yang sebenarnya tidak cocok
disebut „tidak adil‟, malah menjadi benar-benar „tidak adil‟ karena memang tiap orang
menganggap seperti itu.” Suara Emil berubah intonasi menjadi agak rendah. “Perkara
kehidupan bukan antara benar-salah, baik-buruk, atau adil-tidak adil. Segala stempel sifat-sifat
yang diberikan itu terus-menerus abstrak kalau pembuatnya adalah para manusia. Manusia
nggak akan pernah menjadi sebuah kebenaran, April. Mereka bukan patokan hidup kamu.
Patokan hidup kamu adalah diri kamu sendiri, kepada siapa kamu mau melangkah?”
“Kayaknya aku memang merasa mulai nggak beres.” April mendesah lelah. Ia menekuk
lututnya dan bersandar pada salah satu piano. “Memang manusia itu nggak pernah jadi absolut.
Tapi kita kan tetap hidup berdasarkan standar tertentu, kalau kita mau blend in…”
“Pertanyaanku, apakah dengan blend in kamu merasa „menemukan‟ tujuan kamu?”
Pertanyaan yang sangat tepat sasaran. Pertanyaan ini sangat April butuhkan. “Tapi
formalitas tetap dibutuhkan, Mil…”
“Formalitas hanya menjadi topeng, selamanya. Kalau saya, saya lebih memilih untuk
menjauh dari tiap formalitas daripada menjadi seorang munafik.”
Munafik. 7 huruf yang sangat menghantam relung April. Dengan sengit, ia langsung melotot
pada Emil. “Kamu menuduh?!”
“Tidak. Itu hanya pendapat pribadiku, April.”
“Mil…” April beranjak berdiri, berpegangan pada tiang piano. “… Kadang kejujuran kamu
juga butuh batas. Aku mengusulkan seperti itu. Kalau nggak, kamu akan selamanya dipanggil
„nutcracker‟. Kamu memang kaku sekali, dan terlalu dingin. Bagaimanapun juga kamu butuh
teman pergaulan.”

39
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Saya butuh teman…” Emil meringis getir mendengar kata „nutcracker‟ terucap oleh April.
Saya pengin kamu yang bisa mengubah ini, Sugar Plum Fairy? “… Teman yang bisa menerima
saya. Bukan saya yang harus mencocokkan diri. Saya mengungkapkan apa yang saya rasa benar,
dan mereka nggak berhak untuk menilai benar-salah. Mereka juga manusia, tapi mereka bukan
saya… Mereka nggak berhak menentukan apa yang saya inginkan.”
“Tapi nggak tiap orang bisa menerima kebenaran itu sendiri, Mil. Karena itu kan ada
psikologi, psikologi bisa menyampaikan kebenaran dengan halus.”
“Kamu nggak mengerti.” Emil ikut beranjak berdiri dan meraih rangka ilizarov milik April.
“Kalau mereka nggak bisa mengakui kebenaran, mereka nggak layak hidup.”
“Emil!”
“Aku serius, April.” Emil masih memaikan rangka tersebut tanpa menatap mata April yang
sudah berapi-api. “Karena itu, saya harap kamu tetap melangkah sesuai tujuan kamu. Dengan
cara kamu sendiri. Jangan memaksakan aturan-aturan yang ada.”
“Tapi, Mil.” Mata April terasa panas. Ingin sekali ia menyemburkan ucapan kesal pada Emil
yang dengan santainya mengungkapkan kebenaran… uh, sesuatu yang membuat lidah April
sangat pahit. Bukan hanya lidah, tetapi juga nurani April. “Aku harus menari balet. Sementara
aku nggak bisa. Aku HARUS menjadi balerina untuk menunjukkan aku bisa menari, di atas
panggung ini! Dan jelas, ini nggak adil. Nggak ada penari yang bisa tampil dengan kaki
pincang!”
“Lihat ke arah kursi banyak itu.”
“Apaan sih?!” Seru April kesal. Dia masih menunduk, menatapi Emil yang bersimpuh di atas
panggung dan menatapi Guildhall yang luas.
“Lihat dan perhatikan.”
Ada gelenyar yang menggelitik ketika angin pendingin ruangan menyapu wajah April.
Pandangannya terus tertumbuk pada kursi-kursi berbahan velvet warna merah yang memenuhi
tiap pojok dan baris dalam Guildhall. April bisa menatap luasnya dan bebasnya segala
penampilan yang bisa ditabur di atas panggung megah yang ia pijaki. Intuisinya meminta agar
April menghirup nilai asli seni yang dipertunjukkan, membayangkan riuhnya penonton yang
bertepuk tangan, sehingga – tanpa aba-aba – April menunduk, seakan membari hormat pada
tiap individu dalam bayangannya. Emil hanya tersenyum geli menatap April yang asyik sendiri
dengan dunia di balik mimpi pribadinya.
“Kebebasan…” Helaan nafas April seperti melepas beban berat. “Seakan tidak ada lagi
langkah-langkah yang harus aku persiapkan harus dihadirkan di hamparan manusia ini.
Semuanya bergaris sempurna dan prima… Tuntutan profesi – semuanya hilang!”

40
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Sama seperti saya.” Balas Emil tenang. “Saya juga merasa memiliki kebebasan sendiri
untuk mengupayakan seni musik dalam piano di hamparan kursi kosong ini. Sama seperti kamu
ketika menari.” Emil menoleh, mendalami wajah mungil April yang terlihat naif. “Ketika kamu
menari, yang diperhatikan oleh masyarakat bukanlah siapa yang menarikan, April. Bukan nama
April yang dilihat – jadi kamu tidak harus peduli dengan kakimu. Bukan apa yang kamu tarikan
– mau balet, kontemporer, ballroom… tapi yang mereka lihat adalah bagaimana cara kamu
membawakan tarian tersebut. Itulah seni, sesuatu yang berakar pada hal yang tetap dan
bertahan lama, tapi kita memiliki cara tersendiri untuk mengembangkannya. Sesuai dengan
jiwa yang haus kebebasan dan sedang terkunci di sel berjudul „aturan‟.”
“Kamu…” April menatap Emil dengan binar yang seakan baru saja dibersihkan. Tatapannya
bening dan jujur, ingin sekali April mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena segala
ucapan Emil. “Saya tidak tahu bagaimana caranya mengucapkan terimakasih.”
Postur kaku itu hanya menyunggingkan sebelah lesung pipit, memproyeksikan senyum kecil
yang tidak lagi berkesan dingin. Lalu ia mendorong pundak April lembut. “Ayo, kalau begitu
menarilah sebagai ucapan terimakasihnya. Menari sesuai dengan tarian yang ingin kamu
tarikan. Dunia tidak menatap seorang „April‟, tapi tarian bernama „April‟.”
Tapi perasaan April berkata lain. Wajahnya terasa hangat ketika sentuhan dingin yang
singkat itu hadir di atas permukaan kulitnya. Tidak mustahil bahwa banyak kupu-kupu
menerjang lambung April – karena kini ia merasa seperti habis menelan biji durian. Baru saja ia
melangkahkan kakinya ke tengah panggung, perasaannya menyuruh April itu kembali berbalik.
Apa lagi yang kamu mau lakukan, April? Otak bertanya kebingungan. Kembali, hadapi
panggung dengan gerakan tarianmu.
Emil ada di sana, Aprillia…
Dengan hitungan cepat, April memeluk Emil yang tidak siap erat-erat. Emil hanya menatap
April kaget, kaku, sementara tangannya melayang – saking tidak tahu harus berbuat apa. Ketika
April melepas pelukannya, gadis Indonesia itu hanya menatap Emil dengan pandangan aku-
sudah-tidak-tahu-harus-berkata-apa.
“Please, dance for me.” Would you dance with me?
“Terimakasih banyak ya, Emil…” April mengeja kalimatnya lambat. Terimakasih yang ia
maksud bahkan benar-benar „terimakasih‟ yang lebih dan lebih lagi. Ia kembali berbalik dan
menyambut panggung dengan tarian daerahnya. Lagu tortor daerah Batak mengalun memenuhi
tiap tingkap dalam Guildhall. Tepat di tengah-tengah panggung, ada sesosok mungil yang
menari dengan lucunya.

41
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Sementara dalam pojok di bawah piano, Emil – si nutcracker yang kaku – duduk dengan
senyum mengembang, menikmati tiap alunan lagu dan gerakan yang terkandung dalam
penampilan unik April. Penampilan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya – penuh gelora,
semangat, dan kebahagiaan akan dunianya sendiri. Emil ingin melebur dalam senyum dan tawa
sumringah tersebut.

***

42
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER FIVE
Dance History Class, Room 154, Trinity College, London | November 2011
“Kamu bisa menari.”
Kalimat singkat yang membuat April terkesiap. Itu bukan pertanyaan sinis seperti yang
sering ia terima selama berada di Inggris – melainkan pernyataan jelas. Dirinya bisa menari.
April langsung menoleh ke belakang kursinya, menatapi wajah segar dengan make-up warna
nyentrik. Alisnya tegas berwarna kemerahan, bibir tipisnya dipoles warna nude, sementara
rambut gadis muda ini berombak model pixies. Alis April menyatu bingung – ia dan Bimo,
kakaknya, memang memiliki jenis alis yang terlihat menyambung. Sudah genetika dari awal
mulanya seperti itu. Dan kini, alisnya semakin rapat melihat sosok tidak dikenal berbicara
tentang tari-menari pada… seorang penari cacat.
“Who are you?”
“Kamu Aprillia, bukan?”
Entah ini budaya orang Inggris atau bukan, yang jelas April selalu heran – mengapa setiap
kali ia bertanya, selalu jawabannya juga berupa pertanyaan. Tapi ia memutuskan untuk
mengangguk saja dan bertanya ulang, “Kamu siapa?”
“My name is Paige.” Gadis itu tersenyum angkuh seraya menyodorkan tangannya. “Saya
baru lihat kamu menari kemarin. Saya tidak tahu apa jenis tarian yang kamu tarikan – and I
never see it either. But, I know you‟ve the talent. The dancer‟s sense.”
“Kamu kemarin ada di Guildhall?” Mata April terbelalak. “Kenapa saya tidak melihat
kamu?”
“Guildhall itu luas, darling.” Ucap Paige pendek. “Saya duduk di pojokan. Saya juga melihat
Emil sedang bersama-sama dengan kamu.”
Nada itu. Sekilas April merasa terdorong untuk merasakan kegetiran dan aura cemburu dari
suara Paige, tapi April lebih tertarik dengan kata „Emil‟ itu sendiri. Ini salah satu spesies
pertama yang menyebut Emil bukan sebagai „nutcracker‟. “Ya, dia memang ada di sana
kemarin. Bersama saya.”
“Kamu bisa menari.” Ulang Paige lagi. “Kenapa kamu tidak menampilkan tarian balet
sewaktu kita sedang latihan di Guildhall? Kamu bisa kok.”
“Technique.” April berkata lirih. Kelas sudah mulai ramai dipenuhi beberapa siswa-siswi
Trinity, bersiap-siap mempelajari berbagai glossary dan teori penemu-penemu tarian seperti
George Balanchine, serta unsur-unsur teknik koreografi ala John Butler yang suka

43
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

bereksperimen secara out of the box – melanggar berbagai jenis pakem balet dan menciptakan
jenis balet baru. “Saya tidak bisa menari balet. Itu saja.”
“Kamu mau saya ajarkan?” Tanya Paige lagi. “Saya juga punya kenalan, seseorang yang juga
sangat expert dalam balet.”
“Dia tidak di kelas ini?” April mengecilkan suaranya, dia mulai merasakan ada tatapan
sarkatis dari depan kelas – tatapan Cathlin. Entah kenapa, si pirang yang populer di Trinity itu
selalu saja ingin membuatnya kesal. Baik hanya melalui tatapan, maupun hinaannya. Hello,
Cathlin Ludwinia has anything that every girls want! Cathlin tidak berbeda jauh dengan
dirinya – dengan April. Bedanya, Cathlin punya kaki normal dan bisa menari balet. So why that
angel of heaven must keep upset on her? April tidak merasa adanya persaingan antara dirinya
dengan Cathlin. Kalau memang Cathlin punya kelebihan yang tidak ia miliki, apa yang bisa April
lakukan?
Kepala Paige menggeleng kecil, membuat rambut pixie-nya sedikit acak-acakkan. Jemarinya
langsung merapikan rambut merah itu hingga kembali cepak. “Dia senior kita. Berbeda tingkat.”
“Oh.”
“Kamu mau bertemu dia?”
Benak April berpikir sejenak. “Apakah dia sehebat itu? Bisa membuat saya menari lagi?”
“Without him, you already have that talent. With him, you‟ll fly.” Paige tersenyum geli
memandangi mimik naif yang ada di hadapannya.
“So… he‟s a guy.”
“Ya, namanya Hayes. Kita akan pergi ke kediaman pertapaannya nanti sore.”

***

Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011


Dalam benak April, yang dimaksud Paige sebagai „pertapaan‟ adalah benar-benar goa
berbatu tajam dan menanjak ke arah gunung. Ia sudah nyaris senang kalau-kalau ia diajak
keluar London oleh seorang warga Inggris. Tapi ternyata, tempat pertapaan „Hayes‟ yang
dimaksud Paige adalah jalanan yang cocok untuk hanging out – tak lain adalah Leicester
Square.
“Dia suka bertapa di sini?”
“Hayes. Bukan dia.” Ralat Paige. “Ya, Hayes suka bertapa di sini. Bukan bertapa sebenarnya,
tapi ia suka merenung dan kadang menampilkan beberapa jenis tarian baru ciptaannya sendiri.”
“Menampilkan?”

44
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Ya. Kamu tau, seperti street dance. Ia dan teman-temannya – tapi seringkali tarian yang
ditampilkan berupa permak langsung atas balet kontemporer.”
Baru saja langkah mereka berdua terhenti, pandangan April langsung tertumbuk pada
kerumunan orang di tepi jalan. April menyipitkan matanya – sekilas mimiknya mirip dengan
ekspresi serius Bimo. “Itu… Hayes?”
Paige mengangguk. Ia menggandeng tangan April dan mengajaknya bergabung di dalam
kerumunan tersebut. “Ayo kita gabung.”
“Gabung?”
“Ikut menari.”
“H-hah?” April berseru kaget. “Yang benar saja, Paige! Kamu nggak lihat, aku…”
“Kamu bisa menari.” Kata Paige lagi. “Bukankah aku sudah bilang? Kalau di Guildhall kamu
bisa menari, kenapa di sini tidak? Ayo!”
Buru-buru Paige membantu April melepas rangka ilizarov dari kakinya dan bergegas
menuju ke arah kerumunan. Di dalam kerumunan orang-orang yang sedang menonton action
trio dance berbentuk battle di tepian Irving Street. Paige langsung menepuk pemuda tinggi
yang menggunakan cap, dagunya ditumbuhi jambang halus, serta tubuhnya sangat atletis –
macho dan kekar. “Hayes.”
“Don‟t call me me with that name.” Balas Scott jutek. “Scott.”
“Oke oke, Scott. Tapi kamu nggak tahu, kalau dipanggil „Hayes‟, tiap orang pasti langsung
menoleh.” Paige terkekeh. “Kecuali satu orang…”
“Ada yang nggak menoleh?” Ucapan itu tidak berkesan sombong, melainkan murni kaget. Ia
menatap Paige heran. “Who?”
“Here. Introduce my new friend… April.” Paige menarik April ke depan tubuhnya. April
hanya mengangguk kecil lalu tersenyum.
“Hello. I‟m April.”
“Oh, hi. I‟m Scott. Scott Hayes.” Dengan sengaja, Scott mengucapkan nama belakangnya –
sekaligus memperhatikan perubahan mimik April. Tapi April tetap tersenyum, tidak terlihat
kaget atau tidak percaya. Scott jadi semakin heran. Tidak tahukah gadis ini mengenai Hayes?
Keluarga besar Hayes? Scott merasa ada sesuatu yang menggelitik ketika ia menatap tatapan
clueless gadis itu.
“Jadi ini… Hayes yang kamu bilang jago nari itu, Paige?”
“Panggil saja Scott, April.” Potong Scott buru-buru. Ia langsung mendelik ke arah Paige –
pasti cewek tengil satu itu yang menyodokkan bola putih supaya April memanggilnya dengan

45
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

sebutan „Hayes‟. Scott tidak suka jadi pusat perhatian, karenanya ia memilih untuk selalu
dipanggil bukan dengan nama keluarga.
“Nah, Scott. Si April aku ajak ke sini untuk menari bareng kita.” Paige melirik April yang
wajahnya mendadak pucat. “Jadi silakan dijadikan eksperimen.”
“Wah, penari juga?” Binar mata Scott langsung cerah. Ia menggamit tangan April dan
mengajaknya ke spot, bersama-sama dengan penari lainnya. “Kamu mau menari apa?
Kontemporer? Country? Modern? Salsa?”
“Kayaknya kalian sukanya menari hip-hop ya?” Tanya April menyelidik.
“Kebanyakan suka menari hip-hop. Tapi aku nggak kok. Aku suka segala jenis tarian.” Scott
tertawa renyah. April suka nada tawanya, seperti menikmati sepotong Lindt. Lembut dan
kental. “Aku pengin menari salsa habis ini. Kamu mau jadi pasanganku?”
“Tentu.” Ucap April seraya tersenyum sumringah. Hail to April, dance spot!

***

Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011


“Ayo, habis ini giliran kamu.” Paige menyenggol lengan April. Teman barunya hanya
tertunduk malu sambil digandeng oleh Scott.
“Yakin nih, tidak apa-apa?”
“Pasti. Aku yakin gerakanmu akan memukau mereka.”
“The next dance is… Salsa! We introduce you our dancer… Scott and April!” Seru salah
seorang teman Scott. Jalanan semakin penuh sesak begitu mendengar nama „Scott‟ diserukan.
April melirik pasangan menarinya ini. Siapa gerangan penari muda ini?
Lagu Salsa Merengue yang dinyanyikan Elvis Crespo membahana dan memantul di seluruh
jalanan Irving Street. Dengan gerakan cepat, Scott langsung memasuki posisi tarian salsa jenis
pertama. April mengikutinya dan mereka berdua bergerak cepat, berayun dalam hitungan tarian
latin yang menggelora.
April menggoyangkan kedua tangan dan berputar, lalu mendekat ke arah Scott – melakukan
gerakan berpasangan yang memasuki posisi lima. Ketika wajah April dan Scott saling
berdekatan, April baru menyadari ada yang salah.
Wangi pemuda di hadapannya sangat membius.
Seraya menari, April juga memperhatikan lekuk paras Scott Hayes. Scott memiliki tampilan
yang sangat berkelas, gerakannya juga sangat lentur sekaligus mempesona. Cekatan tapi juga
penuh estetika – seakan Scott memang benar-benar menguasai wiraga tarian Salsa. Salsa

46
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

bukanlah tari yang sangat April dalami, tapi April cukup menyukai bagaimana tarian ini selalu
membuatnya menarik nafas kagum.
Dan mata hijau di hadapannya tidak henti menatapnya tajam. Kepala April tertunduk,
mendadak wajahnya merasa panas.
Kenapa ia jadi malu sendiri?

***

Stockpot, Irving Street, South of Leicester Square, London | November 2011


Garis lingkaran tajam yang membentuk bulan bulat sudah hinggap di tingkap langit. Sambil
mengurut beberapa titik yang biasa dipijat oleh Emil, April menatapi jalan-jalan yang semakin
ramai. Kerumunan penari sudah mulai sepi karena mereka sedang mencari santapan makan
malam. Paige menatap April dengan berseri-seri, tidak henti-hentinya ia berdecak kagum.
“Kamu punya bakat.” Ucap Paige akhirnya.
Memang. Batin April dalam hati. Tapi mengingat percakapannya dengan Emil kemarin,
April memutuskan untuk belajar lebih membumi. “Masih banyak yang lebih berbakat.”
“Tapi kamu punya ciri khas, itu yang dibutuhkan oleh penari, April. Oleh semua seniman.”
Mata Paige mengerjap. “Tidak biasanya Scott mau menari bersama orang lain. Apalagi
perempuan. Hebat juga kamu.”
“Apa?”
“Scott.” Paige mengulang. Ia mendecak kagum. “Biasanya, Scott lebih suka menari solo. Dia
sedikit cuek terhadap orang lain, dan sedikit gengsi untuk menari bersama perempuan.
Walaupun dia sering menarikan berbagai jenis tarian berpasangan – tapi seringkali tarian
berpasangan ia ubah menjadi tarian solo, dasar perombak gila.”
“Jadi… tapi dia mau kok menari sama aku.”
“Itu dia maksud aku. Dia mau menari bersama seorang Aprillia.”
“Dan dia memang hebat dalam urusan menari berpasangan.” April berusaha tidak
memedulikan tanggapan Paige sebelumnya. Ia harus mengakui, Scott memang memukau. Tapi
apakah itu karena… dirinya? Dengan gusar, ia menyeruput darjeeling tea yang baru ia pesan.
“Memangnya selama ini Scott tidak pernah menari dengan orang lain – seorang perempuan?”
“Nyaris tidak pernah.” Paige mengerutkan dahinya. “Selama aku mengenal Scott, jarang
sekali ada perempuan yang bisa akrab dengannya.”
“Kamu akrab dengannya.”

47
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Gadis tomboi itu tergelak. “Aku beda kasus, April. Dan mohon dicatat, aku tidak pernah
berdansa dengan Hayes.”
“Bukannya dia tidak ingin dipanggil „Hayes‟?” Tanya April keheranan. “Aku heran, kalian ini
– para orang Inggris, memang suka memanggil seseorang dengan nama yang tidak mereka
inginkan ya? Seperti Emil yang dipanggil nutcracker.”
“Mungkin kita memang menganut ucapan Shakespeare, „apalah arti sebuah nama‟.” Sebuah
senyum terulas di bibir cantik Paige. “Tapi yah, aku tidak pernah memanggil nutcracker, aku
suka nama Emil. Lebih baik daripada pejuang boneka kayu itu.”
“Tentu.”
“Setidaknya, kembali ke kasus ini. Scott benar-benar tidak pernah berdansa dengan
perempuan. Dia benci berdansa berpasangan. Kamu tahu… di Eropa ada kebiasaan bahwa
setelah berdansa, kamu harus…”
Kalimat Paige terhenti. April mendongak dan menatapnya penasaran. “Harus… apa?”
“Itu…” Paige meringis geli sekaligus canggung. “… kiss your partner.”
“Do what?!” April bertanya kaget. “Yang benar saja? Tapi Scott tidak…”
“Tapi dengan ia mau berdansa denganmu saja sudah bagus, April. Terakhir kali Scott
berdansa… ia berdansa dengan Enfys.”
“En… who?”
“The spelling is hard enough.” Ucap Paige. Ia mengaduk-aduk ice lemon tea yang sudah
dipesan 30 menit yang lalu. “It‟s Welsh accent. E-n-f-y-s.”
“Oh. Oke. Siapa itu Enfys?”
“Mantan kekasih seorang Scott. Dan Scott sangat susah melupakan orang itu.”
“Benarkah?”
“Ya. Semua orang tau itu. Bagaimana gengsinya Scott meminta Enfys untuk kembali. Enfys
salah satu gadis beruntung yang bisa berpacaran dengan Scott. Si gengsian itu tipe yang terlalu
loyal – karenanya dia sulit menjadi pengganti Enfys.”
“Memang… dia sudah berpisah berapa tahun?”
“5 tahun. Bayangkan!” Paige berseru tidak habis pikir. “Antara loyal dan tidak wajar
bedanya tipis.”
“Wow.” Baru saja April ingin bertanya tentang gosip ini lebih lanjut, sosok yang mereka
bicarakan langsung duduk di sebelahnya tanpa permisi.
“Kalau menurut dugaanku, Paige pasti sedang mengajakmu bergosip ya, April?” Tanya Scott
sinis. Yang disindir hanya ketawa terkekeh saja, pura-pura tidak peduli terhadap sindiran tajam
si penari di samping April. “Kamu mau makan malam?”

48
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Tentu. Kamu juga mau kan Paige?”


“Eh…” Dalam hati, Paige sudah merencanakan sesuatu. Ia bisa membaca gelagat Scott –
sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Gerak-gerik Scott yang berusaha mengenal April sudah
sangat gamblang di mata Paige, sehingga ia memutuskan untuk segera angkat kaki saja. Kapan
lagi si orang tidak wajar ini bisa menggapai sebuah kesempatan mengecap kisah cinta lagi? “…
Aku ada urusan. Kayaknya harus pergi sekarang, April.”
“Urusan?” Dahi April mengernyit. “Kita nggak ada kelas kan?”
Kepala Paige menggeleng, tetapi wajahnya memancarkan sebuah rahasia tertentu yang
membuat April semakin gelisah. “Urusan penting. Kamu di sini aja ya.”
“Kalau gitu aku ikut.” Tambah April seraya menarik tasnya. Baru saja ia mau beranjak,
tangannya ditahan oleh seseorang. April menoleh, menatap Scott bingung.
“Please, stay here. Bisa temani aku makan malam?” Scott memohon dengan tatapan yang
membuat April seperti lumer. Mata hijaunya menatap April dengan hangat, seperti meminta
sesuatu yang tidak pernah ia minta pada orang lain. Hanya ia minta pada April.
Dalam lubuk hatinya, tetap ada rasa ragu untuk mengiyakan permintaan Scott. Tapi demi
kesopanan, akhirnya April mengangguk juga. Paige menghela nafas lega – rencananya sukses!
Ia ingin sekali melihat Scott sekali-sekali mencoba menghabiskan waktu berdua bersama gadis
lain selain Enfys. Siapa saja – selain terus terpuruk pada satu orang itu. Paige melambaikan
tangannya dan mulai pergi menjauh dari tempat mereka duduk. Sementara April…
Gadis itu meremas tangannya gelisah, rasanya suasana ini sangat canggung. Nuraninya
terkesiap setiap kali ujung matanya melirik paras Scott di sebelahnya. Dan parahnya, pemuda
itu malah beranjak ke hadapan April – duduk berhadapan sambil terus menatapnya.
“Jadi kamu di Trinity?”
April mengangguk. “Ya, aku di seni tari.”
“Cocok. Tarian kamu tadi hebat sekali, Apri.” Scott tersenyum ramah. “Aku menikmati
sekali tarian tadi. Kamu penari hebat. Ini juga pertama kalinya aku menari dengan orang lain.”
“Paige sudah cerita.” Bisik April lirih. “Memang ada apa dengan Enfys?”
Scott terkesiap. Ini juga pertama kalinya – ada seseorang yang baru saja ia kenal, dan
langsung menanyakan mengenai masa lalunya tanpa diplomasi lain. April menatap Scott
dengan tatapan yang tidak mudah dimengerti. Akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk
kecil dan mengisahkan kulit luar tentang Enfys pada gadis yang baru saja ia ketahui namanya.
“… Dia seperti masih ada di sebelahku.”
“Oh.” Hanya itu yang bisa April ucapkan. “Jadi… kesimpulannya sekarangpun juga ada
Enfys? Di depanku?”

49
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Tawa gelak Scott terdengar. “Kamu lucu sekali. Bukan itu maksudku, maksudnya…”
“Nggak kok. I‟m just joking.” Potong April cepat-cepat. “Aku mengerti. Banyak orang yang
seperti kakakku.” Yang selalu punya kisah cinta negeri dongeng. Yang selalu membuat
kenangan sebagai jenis harta warisan. Jenis-jenis orang yang… percaya keajaiban?
“Memang kakakmu kenapa?”
“Dia… bisa hidup dalam masa lalu. Lebih tepatnya, dia pernah punya keberanian untuk
bermimpi. Tipe-tipe orang yang percaya keajaiban.”
“Aku percaya keajaiban.” Scott mengangguk. “Memang kamu nggak?”
Aku percaya keajaiban, kalau saja kaki ini bisa menari lagi. April membatin kesal dalam
hati. Dengan jujur ia menggeleng. “Keajaiban hanya ada di cerita. Kisah-kisah gila yang niat
banget memperjuangkan segala sesuatunya. Dimana keadilan bisa didapat, padahal dunia ini
nggak adil. Ini kan bukan Hogwards.”
Mata Scott terus menatap April dalam-dalam. Ia tersenyum geli, berusaha menahan tawa.
“… Aku bisa membuat keajaiban untuk kamu.”

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011


“Hari ini kamu praktek balet lagi? Ada kelas?”
Suara yang setiap sore selalu terdengar. Nada dingin yang dalam, sama sekali tidak memiliki
unsur ramah yang layak didengar. April mengangguk kecil. Raut datar Emil memang selalu
sama, mimiknya seperti permukaan air yang beku, dan kata-kata yang dipilihnya selalu
membuat hati April serasa bergetar. Begitu sarkatis, ketus, dan tidak bisa dibaca.
“Kamu yakin?”
“Yakin apa?”
“Menari.” Kata Emil seraya duduk di kursi piano. “Kalau nanti jatuh?”
“Memang kapan saya nggak jatuh, Mil?”
Walaupun April tidak bisa membaca ekspresi Emil, sebenarnya Emil sendiri merasa geli
sekaligus khawatir dengan tanggapan cuek itu. Saya nggak pengin April jatuh kalau saya
nggak ada di sana.
“Lama-lama kamu pasti nggak jatuh.”
April memutar kedua bola matanya – meremehkan ucapan Emil. “Jelas. Karena saya sudah
keseringan jatuh, makanya lama-lama jatuhpun tidak terasa.”

50
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Bibir yang biasa melontarkan ucapan kasar itu sempat tertarik sebentar. “Tidak. Maksud
saya benar-benar tidak akan jatuh lagi.”
“Mungkin… 12 bulan lagi.”
“Kenapa?”
“Sekitar 11-12 bulan lagi kaki saya sudah bisa normal.”
“Pasti bisa lebih cepat.”
“Kamu optimis sekali sih.” April hanya tertawa mendapati Emil – yang tidak biasanya –
berbicara lumayan banyak pada dirinya. “Kamu tidak ada kelas?”
April sedang berdiri membelakangi Emil, karena itu ia tidak melihat pemuda di belakangnya
menggeleng. Buru-buru Emil melanjutkan. “Kalau saya ada kelas, saya nggak akan ada di sini.”
“Kamu setiap sore ada di sini.”
“Berarti saya tidak ada kelas.”
“Tapi kamu nggak pernah ngapa-ngapain di sini.” Tukas April lagi.
“Saya ngapa-ngapain.” Sergah Emil kalem. “Saya menonton kamu latihan menari.”
“Hanya itu?”
“Tidak.” Lagi-lagi Emil menggeleng. British face-nya terlihat damai melihat April mulai
melakukan pemanasan. “Saya juga harus memijat kamu.”
“Itu bukan kewajiban kamu.”
“Memang bukan.”
“Lalu kenapa kamu mau melakukannya?”
“Karena saya ingin.”
Walau April tetap diam, sebenarnya batin dan kepala April sudah terkesiap saking herannya.
Ia bahkan tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. “… Kenapa kamu ingin?”
“Apakah yang saya lakukan adalah perbuatan yang salah?”
Kepala April menggeleng, tapi raut Indonesianya masih tampak penasaran. Berbicara
dengan Emil memang serasa menjadi Watson – harus membantu memecahkan misteri di
kepala si Sherlock Holmes alias Emil sendiri.
“Kalau apa yang saya lakukan tidak salah, berarti lumrah kan kalau saya ingin
melakukannya?”
“Ya, tapi kenapa? Kenapa mau menonton saya menari? Ini bukan penampilan final, hanya
latihan yang disertai jatuh berulang kali.”
“Saya senang menonton kamu menari.”
Kejujuran terucap dari mulut yang sering mengucapkan kata-kata dingin tersebut. Mau
tidak mau, April merasa tersanjung juga karena Emil – si boneka kayu ini – suka menontonnya

51
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

menari. Tapi untuk menghilangkan wajah meronanya, April langsung mengalihkan


pembicaraan. “Saya ingin menonton kamu bermain piano.”
“Kamu suka piano?”
“Tidak.” April memutar kedua bola matanya. “Saya tidak begitu mengerti musik klasik. Tapi
ya, saya kadang suka mendengar permainan piano. Piano punya nada-nada yang bening dan
tersusun dalam harmoni yang cantik.”
“Yang bukan klasik ya…” Gumam Emil memecah buih-buih kekakuan. Ia mengangguk
setuju. “Ayo, kamu bisa dengar permainan piano saya.”
“Kamu mau?” April terperangah. Luar biasa, si manusia dingin ini mau saja mengabulkan
permintaan remehnya. “Kamu mau… bermain untuk saya?”
“Tentu saja. Kenapa saya harus menolak?”
“Kamu kan… pemain piano hebat. Bukankah harusnya kamu tidak sembarangan
menampilan permainan piano?”
Emil tergelak. “Saya bermain piano terserah kemauan saya. Bukan untuk penilaian atau
formalitas. Dan terserah saya – untuk siapa saya akan memainkannya.” Ia mengajak April
untuk ikut duduk di kursi piano, menatapinya memainkan jemarinya di atas tuts hitam-putih.
Sebelum jemarinya menekan tuts, Emil menarik nafas panjang. Ada yang masih mengganjal,
rasa yang terbit ketika ia sedang ada di depan piano. Entah kenapa ia harus merasakan hal ini –
dia pianis, kenapa rasanya aneh?
“Mainkan apa yang paling kamu suka saja, Mil.”
Dahi Emil berkerut. “Yang saya suka?”
“Ya. Apa saja. Kalau kamu memang suka klasik, mainkan saja. Walaupun saya juga nggak
mengerti banyak.” April nyengir kuda. “Filosofi musik klasik terlalu dalam.”
“Baiklah. Bagaimana kalau saya…” Emil memainkan beberapa nada kecil di pianonya.
Ekspresinya tetap datar, tapi ada binar asing yang belum pernah April lihat ketika ia meminta
Emil untuk memainkan lagu kesukaannya saja. “… Kalau lagu Michael Bublé?”
Tawa April langsung pecah membahana, menggema di sepanjang Guildhall. “Kamu
bercanda? Serius? Atau bagaimana?”
“Kenapa?” Tanya Emil kaget. Tidak ia sangka tanggapan April akan seantusias ini. “Kamu
benci sekali dengan lagu-lagu Michael Bublé?”
“Kamu suka Michael Bublé?” April ganti bertanya.
Emil mengangguk. Rautnya datar, tapi terdapat sedikit rasa penasaran dan khawatir yang
tersirat. April kembali mengulum tawa.
“Penyanyi yang paling saya suka itu…” Mata April melirik Emil cepat. “… Michael Bublé.”

52
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Yang benar? Kok bisa sama?” Kali ini Emil ikut kaget. “Saya pikir kamu suka yang tipe-tipe
Jennifer Lopez atau Fergie.”
“Karena saya penari?”
Anggukan Emil sangat naif, membuat April memainkan beberapa nada juga di atas piano –
berusaha menyembunyikan rona senangnya. “I hate Louboutin.” Ucap April ketus.
“Hahaha, that song. Jlo loves it, every girls want it. Kenapa kamu tidak?”
“Orang pincang nggak cocok pakai sepatu hak tinggi.”
“Kata siapa?” Emil menoleh dan menatap April dalam. “Di mata saya, kamu cocok pakai
apapun. Yang penting, dalamnya „April‟ selalu sama.”
Detik demi detik terlewati dengan tatapan Emil yang intens. April mendadak kaku, merasa
terbius dan mati rasa karena tatapan Emil yang menembus bola matanya. Ia tidak berpaling – ia
tidak ingin berpaling dari mata dingin di depannya. Dingin, tapi tidak membuatnya kedinginan.
April malah merasa… damn, ini aneh. Ia ingin meleburkan rasa dingin tersebut.
“Kamu mau lagu yang mana?” Akhirnya Emil yang memutuskan untuk berpaling. April
merasa seperti mendapat nafasnya kembali, mengingat dalam detik sebelumnya ia terus terpaku
pada sepasang bola mata dingin.
“Kamu suka yang mana?”
Alis Emil bertaut. “Hmm… jangan-jangan sama lagi.”
“Yuk, ucapin sama-sama.” Tantang April dengan raut tertarik. “Satu, dua…”
“Quando Quando Quando.” Ucap mereka bersamaan. Sejenak, mereka hanya saling
menatap lagi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Lalu tawapun pecah.
“Sama lagi.”
“Kalau gitu, saya akan mainkan untuk kamu.”
April tersenyum. Ia terus memperhatikan tangan kurus Emil menari-nari di atas tuts piano.
Paras Inggris Emil terlihat sangat bersahabat ketika ia mulai menyenandungkan lagu kesukaan
mereka dan diiringi langkah-langkah nada piano. Dalam lubuk April, ia sadar bahwa senyum ini
bukanlah senyum yang biasa ia tunjukkan. Tapi April tidak ingin menggubrisnya, pentingkah
memikirkan sebuah rasa lagi di saat ia harus fokus untuk ambisinya?

Tell me when will you be mine?


Tell me quando quando quando
We can share a love divine
Please don‟t make me wait again

53
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

When will you say yes to me?


Tell me quando quando quando
You mean happiness to me
Oh my love please tell me when

Every moments a day


Every day seems a lifetime
Let me show you the way
To a joy beyond compare

I can‟t wait a moment more


Tell me quando quando quando
Say it‟s me that you adore
And then darling tell me when

“Saya nggak nyangka…” Kata April seraya melirik Emil. Pemuda di sampingnya masih
menyenandungkan beberapa nada dalam lagu Quando Quando Quando.
“Nggak sangka apa?”
“Kamu suka lagu lembut seperti ini.”
“Kenapa tidak?” Emil masih terpaku dengan dentingan piano. “Lagipula, saya suka apapun
yang kamu suka. Kalau saya tidak suka, mungkin saya akan belajar menyukainya.”
“Kamu mau belajar menari?”
“Eh?” Sesaat raut Emil terlihat bingung. “Belajar… menari?”
“Ya. Saya suka menari, kamu juga suka?”
“Kurang. Saya nggak tau banyak soal tarian.”
“Kalau begitu…” April mengernyitkan dahinya, mendadak mendapat ilham cemerlang. “…
Kalau kita bertemu lagi, saya akan mengajak kamu menari.”
“Besok kamu akan ke sini lagi?”
“Ke Guildhall?”
Sesaat Emil terlihat termangu, lalu ia mengangguk. “Ya, ke Guildhall. Kamu ke sini?”
“Tentu saja.”
Secercah rasa lega terpampang di mata hazelnut Emil, kemudian ia menghela nafas. “…
Kalau begitu, saya akan tampilkan lagu spesial untuk kamu.”
***

54
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

CHAPTER SIX
Trinity Dance Class Studio, London, United Kingdom | November 2011
“Hurry, hurry. We need to start out lesson now.” Mr. Griffith menepuk kedua tangannya,
mengomando agar para siswa-siswi segera cepat berkumpul di studio. “Hari ini, kita akan
mempelajari beberapa posisi balet untuk penampilan akbar yang sudah kalian tunggu.”
Beberapa mata terlihat berbinar dan terdengar tarikan nafas membayangi angin yang
berhembus dalam ruang studio. April menoleh penasaran – ada apa gerangan yang membuat
mereka terlihat sangat bersemangat, acara apa?
“Kita akan segera memilih main dancer.”
Dalam sekejap, studio langsung riuh rendah – penuh dengan segala macam tebakan dan
seruan akan pemilihan ini.
“Para guru sudah berdiskusi…” Mr. Griffith membuka lembaran buku catatannya. Ia
memperbaiki letak posisi kacamata di pangkal hidung sebelum membaca. “… Kemungkinan
besar, main dancer akan menjadi tokoh utama dalam kisah yang kita tarikan.”
“Kisah apa, Mr. Griffith?”
“Masih belum pasti, tapi ada beberapa pilihan.” Pengajar berambut merah itupun beranjak
dari kursinya, menorehkan beberapa kata di atas papan tulis hijau dengan sepotong kapur. Tiap
mata langsung menatapi kata-kata tersebut lekat-lekat, tidak sabar dengan hasil keputusan
dalam rangka persiapan acara akbar Trinity College – The Final Stage!
April memicingkan matanya, menatapi tulisan Mr. Griffith dengan nafas tertahan.
Dance of Giselle, Swan Lake Parade, The Sleeping Beauty, Nutcracker,
Cinderella, Spring Waters, The Harlequinade, Peter Pan.
“… Most of them use the pas de deux*, it would be fun.” Suara Cathlin memecah
keterpanaan para siswa ketika menatap tulisan Mr. Griffith.
Benak April tidak menangkap kata-kata Cathlin. Ia masih terpaku pada judul-judul tarian
yang Mr. Griffith pilih – para guru Trinity pilih. Yang pernah ia ketahui hanya Swan Lake,
Sleeping Beauty, Nutcracker, dan Cinderella. Sisanya? Tanda tanya. Bahkan dari yang ia
ketahui, tidak ada satupun yang pernah ia tarikan!
“Saya mengusulkan Les Amours de Diane.”
Apalagi itu?

55
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Hmm… karya Marius Petipa ya. Zaman keemasan Tsar Kandavl.” Mr. Griffith mengangguk-
angguk. “Tarian yang anggun, hanya saja Les Amours de Diane adalah Russian. Kita mau pakai
tipe Italian atau French, rata-rata tetap pakai tahap Checchetti* atau Vaganova*.”
Anak-anak mengerang malas, tahap Checchetti adalah teknik persiapan balet yang terlalu
sering digunakan para pebalet Inggris – biasanya membutuhkan pelatihan khusus yang tidak
hanya mengandalkan kelenturan tubuh, tapi juga isi otak akan pemahaman penampilan. Setiap
hari, para penarinya harus mempelajari satu langkah dalam hitungan 3 x 8 yang merupakan
potongan tarian tertentu. Jangka waktu yang digunakan metode Checchetti sangat lama, karena
prosesnya mendetil untuk fisik maupun batin. “Ayolah, Mr. Griffith. Royal Ballet School dan
Royal Academy of Dance sudah menggunakan teknik itu terlalu sering. Trinity harus buat
gebrakan berbeda.” Ujar salah seorang penari di pojokan yang April kenali sebagai Ignacia –
one of the Americans.
“Checchetti is British ballet main-leading method. And it always makes us control the
relation to whole body properly.” Ucap Mr. Griffith, menolak segala protes. “Karena itu, kita
juga butuh banyak latihan. Ayo, kita mulai sekarang.”
Lantai studio berderak karena gerakan para murid Trinity yang bersiap-siap pemanasan.
April sendiri masih bingung, apa pula tahap persiapan tari yang disebut checchetti ini?
“Karena hari ini saya ada urusan dengan Royal Ballet School, kalian bisa latihan dengan
orang lain.”
Dua puluh pasang mata menatap Mr. Griffith bingung, sebelum beliau melanjutkan
kalimatnya. “… Ada orang lain yang menggantikan saya untuk hari ini. Hayes, just come in.”
Seketika, seluruh keheningan dalam studio terganti oleh bisik-bisik yang penuh decak
kagum. April sendiri hanya bisa bengong, mendapati pemuda bermata hijau yang ia temui
beberapa hari yang lalu di Irving Street dengan gaya apa adanya, kini terlihat sangat formal.
Rambut Scott disisir ke belakang dengan rapi, tidak lagi jabrik seperti waktu ia menari di Irving
Street. Tapi senyumnya masih sama. Dan kini senyum itu dengan sangat gamblang ia tujukan
pada April. Dengan kikuk, April hanya menunduk menatapi kakinya yang kini polos tanpa
rangka. Rangka keramatnya baru saja dicopot, dan hari ini dia sudah berdoa sepuluh kali agar
tidak jatuh seperti waktu latihan.
“So, shall we start the lesson?” Scott menarik tiang latihan routine, ia tersenyum kecil –
lagi-lagi – pada April. Senyum Scott selalu sederhana, tetapi seakan membuat orang yang
disenyumi terkesiap. Seperti keadaan April sekarang. Dari belakang tengkuknya, April bisa
merasakan Paige berbisik menggoda dirinya.
“Cie cie, disenyumin tuh.”

56
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Ih. Jangan ngomong yang aneh-aneh ya, Paige.”


“Aih, sirik aku.” Paige berkedip-kedip genit. “Scott kan jarang obral keramahan.”
“Di sini dia dipanggil Hayes.”
“Memang kamu benar-benar tidak tau kenapa dia dipanggil Hayes?”
April menggeleng, membuat Paige tidak bisa menahan rasa geli yang menyusup. “Kalau
begitu, kamu tanya Scott aja nanti.”
“Kalau saya lihat, tarian yang dipersiapkan untuk final stage bertipe pas de deux – tidak lain
tarian duet, jadi kita membutuhkan sepasang penari utama. Perempuan dan laki-laki.” Scott
mendeham. “Ada dari kalian yang ingin mencalonkan main dancer?”
Cathlin Ludwinia langsung mengulum senyum kemenangan. Dan detik berikutnya, Eynon –
salah seorang Welsh yang juga cs-nya Cathlin – mengacungkan tangan. “I think Cathlin would
be awesome to perform Odette.”
“Or Odille. Setidaknya dia belum suci-suci amat kayak tokoh utama di Swan Lake. Tapi jadi
orang yang kepingin jadi Odette kan bisa – contohnya jadi Odille.” Cetus Regina sinis. Cathlin
langsung memelototinya dengan kesal.
“Oke, Cathlin ya.” Scott menuliskan nama Cathlin di papan tulis. “Ada yang lain?”
“Untuk tokoh cowoknya, Pascal mungkin cocok. Terutama kalau kita menampilkan Peter
Pan.” Ignacia mengusulkan. “Untuk Harlequinade juga bagus.”
“Tarian yang romantis. Sebenarnya aku suka Spring Waters. Nggak harus fokus dengan
kisah romance yang terkandung, tapi lebih kepada estetika tariannya. Apalagi ritme Spring
Waters lebih cekatan dibandingkan yang lain. Terutama di adegan terakhir, adagio-nya benar-
benar indah.” Komentar Paige. Di depan, April menangkap Scott seperti mengangguk
menyetujui ungkapan Paige.
“Bagaimana kalau… Paige juga ikut dicalonkan?” Ucap Kay malu-malu. Dengan segera,
Paige langsung memelototi pemuda bertubuh kerempeng di belakangnya. “… Maksudku, Paige
cocok untuk menari di Spring Waters. Lagipula aku juga suka musik Rachmaninov. At least,
kalau menarikan Spring Waters, kita jadi berganti genre, mirip Bolshoi Ballet.”
“Kay, tolong banget. Gue nggak sehebat Andrey Konkin* (Penari balet yang meniti karir
kesuksesannya dalam penampilan Spring Waters pada tahun 2007).” Balas Paige ketus. April
memutuskan untuk diam saja, mengingat dia masih dalam kategori anak „baru‟ dan tidak tau
apa-apa tentang ini!
“Masih ada yang mau menarikan Harlequinade?” Tanya Cathlin malas. “Vaganova Academy
baru saja memilih itu sebagai final performance mereka. Lebih baik kita pilih yang lain. Yang
memang cocok untuk aku.”

57
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Berarti nama Paige juga dimasukkan ya sebagai calon?” Kata Scott mesem-mesem. Ia
langsung mendapat pelototan dari Paige yang seakan berkata kalau-mau-bercanda-jangan-di-
tempat-ini. “Hmm… ada yang mau mencalonkan lagi?”
“Aku!” Paige langsung mengacungkan tangan. “Aku mau mencalonkan…”
Rasanya April langsung mengetahui apa yang ada di otak temannya ini.
“Aprillia Sherlyne.”
“Ow.” Scott berucap kalem. “Oke, April.”
“DIA?” Cathlin berseru heran. “Gila, Paige. Kamu mau bikin final stage kita hancur? Dia
mana bisa menari duet? Attitude* (Gerakan dengan posisi jinjit dan kaki menekuk ke belakang,
diangkat tinggi. Dada tetap membusung dan keseimbangan harus terjaga. Salah satu gerakan
tersulit dalam balet) saja belum tentu bisa tahan. Pas de deux always uses attitude!”
“Dia PASTI bisa. Tunjukkin kita apa yang kamu bisa, Pril.” Tambah Paige. “Kalau bingung,
Scott pasti mau mengajarkan.”
April ingin sekali mencekik Paige saat ini juga.

***

Hall of Trinity College of Music, London, United Kingdom | November 2011


“Lagu apa yang mau lo mainkan?” Angkasa menghampiri sosok yang lebih sering hanyut
dalam diam di pojok. Emil hanya menoleh, tapi jemarinya masih menari di atas tuts piano.
“Belum tau. Mungkin Piano Concerto Nomor 1. Frédéric Chopin. Atau beberapa dari 21
nocturnes* (Komposisi musik yang dibuat dengan ilham dari sesuatu/seseorang). Tergantung,
kalau sampai anak-anak balet mau menampilkan A Midsummer Night‟s Dream, terpaksa harus
cari lagu Mendelssohn.”
Dengan ritme bicara yang sepotong-sepotong dan sangat membekukan jiwa, Angkasa hanya
menghela nafas. “Mau Chopin ya? Nggak berminat John Field?”
Emil hanya terkekeh halus. “Nggak. Romantic nocturne-nya John Field agak-agak sulit
dimengerti. Beliau juga pakai cantabile* (Istilah musik untuk menggambarkan suara-suara
alami yang bisa dinyanyikan. Untuk komposer modern – terutama dalam musik piano,
cantabile menunjukkan gambar dari satu baris musik tertentu terhadap iringan tersebut) yang
rumit daripada arpeggio*(Bahasa Italia untuk akord di mana nada dimainkan secara berurutan,
naik turun, satu demi satu, daripada dering secara bersama-sama).”
“Kalau gitu mungkin gue yang harus pakai arpeggio. Kebanyakan orang tidur kalau
dengerin gue main harpa dengan tempo klemer-klemer kayak biasanya.” Murray datang

58
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

menghampiri Emil, masih juga menggotong harpa raksasanya. “Lagu apa ya yang kayaknya bisa
dimainin harpa. Catatan, nggak bikin ngantuk.”
“Bach.” Sebuah senyum muncul di bibir Emil. Walaupun kadang ia suka dijauhi karena sifat
dingin dan sarkatis yang muncul setiap kali berbincang-bincang, banyak orang yang tetap ingin
bicara dengan si „dewa‟ musik Trinity karena membutuhkan saran dalam pemilihan musik serta
teori dan praktik mudah. Emil seakan hafal di luar kepala tentang musik klasik dan para
teorinya – mulai dari tone color, nada interval, oktaf yang sesuai, dan macam lainnya. Telinga
Emil memang dianugerahi kepekaan khusus untuk menilai estetika nada. Dia langsung
mengetahui apa yang salah saat mendengarkan musik. Angkasa ikut mendecak saat mendengar
musisi kesukaannya disebut.
“Benar juga. Kok gue nggak kepikiran ya? Harusnya gue main Bach aja.”
“Nggak mau nungguin anak-anak balet kasih konfirmasi dulu?”
“Loh, tumben.” Tukas Murray heran. “Biasanya kan lo langsung tancap gas aja, Mil. Nggak
peduli mereka mau ngomel atau nggak. Setiap kali kan terserah kita aja lagunya, soalnya Fugue
lebih cepat ambil keputusan. Lihat aja, si Cathlin sampai sekarang masih ngurusinnya soal
pemilihan main dancer melulu. Mikirin kek, tarian yang lebih kreatif apa. Saingan Cathlin
banyak tuh sekarang.”
“Iya.” Angkasa mengangguk. “Ada Keane. Anak baru dari US. Tarian dia juga bagus, cuma
lebih kontemporer. Mirip neo-classical balet begitu.”
“Makanya sekarang Cathlin kebakaran jenggot. Tapi tetap aja cantik.” Murray mesem-
mesem. Kini tangannya sibuk mengelap pinggiran harpa raksasa yang bersepuhkan kuningan
kinclong. Bagi Murray, harta terbesarnya ya harpa ini. Bukan hanya karena ukuran harpa yang
lebih besar dari badannya semata, tapi juga harga harpa yang membuat mata Murray minta
dicolok.
“Mau lo aja tuh.” Cibir Angkasa.
“Iya sih, sebenarnya Ignacia juga tariannya bagus. Cuma emosional banget. Hmm…
mungkin Cathlin juga ada saingan baru.” Emil tersenyum sendiri menatapi lembaran kertas not
yang masih tak bergerak di atas piano. “Namanya April.”
Murray hanya ber-ooo ria saja, sementara Angkasa tidak bergeming mendengar nama itu
disebut. April bukanlah nama yang spesial, sangat tidak kreatif – hanya menirukan nama bulan
keempat di dalam 365 hari. Tapi Angkasa tidak bisa berkelit bahwa ia merasa terganggu –
bahkan penasaran, mengapa nama itu bisa terlontar dari mulut seorang yang dingin bernama
Emil. Satu-satunya musisi Fugue yang nyaris tidak pernah bicara kalau tidak diminta, tapi

59
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

keterampilan musiknya sangat luar biasa dan punya hearing sense sejak kecil. Seakan baik
ucapan dan kepalanya memang sama-sama dingin – terlalu hidup dalam kesunyian.
Mengapa nama gadis bawel yang cuek itu bisa terlontar?

***

Hall of Trinity College of Music, London, United Kingdom | November 2011


Sejujurnya dalam hati Emil, ia sedikit bermasalah dengan nickname „nutcracker‟ yang
dicetusi oleh Murray. Dia nggak sekaku yang seringkali orang bayangkan – ia hanya lebih suka
diam saja daripada berbicara sesuatu yang nggak diperlukan. Berbeda dengan rekan musisinya,
si violinis yang sangat menjadi pujaan banyak kaum hawa dan bahan iri-irian cowok-cowok.
Angkasa tidak pernah diam saja seperti dirinya, dia bisa membicarakan sesuatu yang penting
dengan gestur komunikatif. Mudah saja bagi Angkasa untuk mendapat lawan bicara.
“Lo kenal Aprillia, Mil?”
Emil mengangguk. Lagi-lagi, ia memilih untuk mengangguk daripada harus berkata „ya‟.
Body language speaks better, doesn‟t it?
“Kenal dimana?”
“Guildhall.”
Akhirnya patung ini bicara juga. Angkasa ikut diam, ingin melihat perubahan reaksi Emil.
Apakah nutcracker ini akan bicara lagi, tetap diam, lalu…
“Memang kenapa?” Bravo, satu pertanyaan.
“Nggak.” Angkasa menggeleng. “Di Guildhall? Memang ada apa?”
“Dia menari.” Gumam Emil pelan.
April… menari? Sekilas, Angkasa tetap menampakkan ekspresi tenang tidak terusik,
padahal nuraninya seperti disentil. April selalu berkata padanya kalau ia terus-menerus gagal
menggerakan posisi tarian – terutama balet. Tapi kalau lidah Emil berkata bahwa April
menari…
“Tapi dia jatuh.” Wah hebat, tanpa harus ditanya, Emil bisa menambahkan beberapa kata.
Dahi Angkasa merengut, ia menunjukkan wajah tidak senang. “Oh begitu.” Waktu dia jatuh,
kamu ngapain bodoh?
“Dan tiap kali saya cuma membantu dia berdiri lagi.”
Ada yang tidak beres, mengapa Emil menggunakan kata „cuma‟? Ini seperti percakapan
antara seorang pacar dengan selingkuhan pacarnya – or another cheesy movie.

60
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“Oke. Terimakasih sudah memberi tahu.” Tukas Angkasa dan langsung berbalik pergi. Baru
saja ia menjajaki dua langkah, ia menoleh lagi. “Kamu belum membuat dia menangis kan?”
Menangis? Emil tertegun. Dia memang dingin, tapi ia BELUM pernah mendapatkan
tuduhan absurd seperti ini. Memang kapan ia membuat seseorang menangis? Apakah ia sejahat
itu? Emil ingin sekali menyemprot Angkasa dengan emosi yang kini tumpah-ruah di dadanya,
tapi pada akhirnya ia hanya menggeleng. Tanpa perlawanan apapun.
Dalam hening yang memang selalu melingkupi tingkap 24 jam dalam hidup Emil, ia terus
menatap punggung Angkasa yang beranjak pergi.
Lihat, ini perbedaan yang selalu Emil maksud. Bagaimana dinginnya dan tidak benarnya
ungkapan yang Angkasa lontarkan, Angkasa tidak pernah dipanggil „nutcracker‟.
Angkasa memang ada di atas, sementara Emil harus selalu tertinggal di bawah. Siapa yang
peduli ia punya otak brilian dengan sejuta pengetahuan dan ilmu yang tidak terlampaui? Siapa
yang mau memiliki hearing sense menggila yang membuatnya tidak bisa tidur tenang akibat
bisa mendengar suara halus sekecil apapun? Angkasa bahkan bisa membuat dawai biolanya
bergerak dalam lorong halus bernama musik, Angkasa merubah musik ngantuk berubah
orientasi untuk membangunkan jiwa-jiwa yang seringkali terlupakan.
Sementara Emil memainkan musik penggugah harapan dengan harapan kosong.

***

Trinity Dance Class Studio, London, United Kingdom | November 2011


“Pas de deux selalu punya empat unsur yang tidak bisa diubah, yaitu entree, adagio, dua
variasi (satu untuk masing-masing penari), dan sebuah koda. Biasanya variasi merupakan
estetika yang paling menancap tegap di benak para penikmati tarian.” Jelas Scott di depan
kelas. Teman-teman April masih menatap struktur wajah Scott – bukan papan tulis – dengan
rasa tidak percaya. April hanya melengos dan memelototi tulisan Scott tentang pas de deux.
“Ada beberapa pas de deux yang sangat melegenda, misalkan mistisnya duet di lokasi ketiga
tarian Swan Lake, tidak lain The Black Swan yang menggunakan tokoh Odile…”
“Cocok tuh buat Cathlin.”
Scott mendeham dan melanjutkan penjelasannya. “… Sebenarnya kepikiran juga untuk bikin
variasi pas de deux seperti koreografi Dwight Rhoden dan Desmond Richardson di SYTYCD (So
You Think You Can Dance, sebuah serial lomba menari di saluran TV kabel). Ada yang bisa
bantu membuat variasi?”

61
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

“April pasti bisa. Dulu dia pernah diajar oleh Lisa Wymore. You know that famous
lecturer?” Cetus Paige tiba-tiba.
“Kamu dari Berkeley?” Cathlin bertanya kaget sekaligus tidak percaya.
“Bukan. Maksudnya…” Lirikan April langsung membuat Paige meralat kata-katanya.
“Kakaknya April sekolah di Berkeley, jadi April sempat kenal dengan beberapa guru DPC
Berkeley.”
“Wow.” Scott menggumam kagum. “Lisa Wymore is amazing.”
“Really?” Mata April membulat. Ia jadi teringat kata-kata beliau tentang shooting star dan
Taylor Swift.
“Jelas. Dia pernah bergabung juga dengan English National Ballet.”
“Yuk, kita mulai latihan saja, Hayes.” Ignacia beranjak berdiri. “Mau mulai dari step di
Spring Waters?”
“Ya.” Scott membenarkan seragam latihan baletnya – kaus senam dan celana ¾. Kaus
hitamnya dibordir dengan tulisan „Scott Hayes‟ kecil di sisi kiri dan „Trinity Main Dancer‟ di
bagian kanan. Kaus kebanggaan para siswa-siswi Trinity yang pernah terpilih sebagai main
section representatives. Dan dalam enam bulan, April bersama hampir 50 penari lainnya harus
bersaing demi mendapatkan posisi tertinggi di kalangan pelajar seni tari seluruh London. “Kita
mulai dari entrée, mudah kok. Misalkan kita pakai contoh ya…” Scott tersenyum lagi. Mata
hijaunya terlihat seperti sebutan Indonesia di pergaulan internasional – Zamrud Khatulistiwa.
“… April, kamu mau bantu aku kasih contoh?”
Ingin rasanya April langsung pingsan saat ini juga, menatapi Scott yang masih mengulurkan
tangan. Setiap mata di dalam studio langsung tertumbuk pada si mungil yang duduk di
pinggiran, merapat ke jendela. Ada apa gerangan seorang Hayes yang ternama meminta seorang
April – si pincang yang anti sosial, untuk menari bersama? Mau tidak mau, April hanya bisa
pasrah menyambut uluran tangan Scott.
Que sera sera… mau jatuh gedubrak lagi, mau jeduk-jedukin kepala ke tembok, mau
kepleset sampai guling-guling di lantai…
Lagu Rachmaninov Op. 14 dipasang sehingga ruangan langsung senyap dari suara-suara
ganggu para murid. April hanya mencoba memutar lagi beberapa gerakan yang pernah ia tonton
di youtube, lalu mulai melangkah. Scott ikut melangkah bersama April, mengikuti ketukan
musik yang terpantul. Perlahan, ia mendekap gadis mungil di depannya hangat seraya
membentuk gerakan berputar.
“Habis ini, kamu langsung jinjit saja. Ingat, terus saja melakukan en pointe dan adagio,
sisanya ikuti dengan perasaan. Aku akan menuntun kamu…”

62
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Bisikan Scott benar-benar membuat konsentrasi April terbuai. Tapi ayunan tangannya tetap
saja ia sesuaikan dengan gerakan Scott. Scott memegangi pinggangnya, memutar tubuhnya, dan
April hanya melakukan en pointe serta ayunan tangan sesuai dengan beberapa dasar balet.
Sampai kira-kira masuk ke posisi variasi, April menghela nafas.
“Aku nggak bisa variasi…” Bisiknya pelan.
“Bisa, lakukan saja sesuai dengan apa yang intuisi suruh.”
Dengan perasaan kalut, April akhirnya membuat gerakan relevé, lalu melompat tinggi. Scott
dengan santai menangkap tubuhnya yang gemulai, lalu memposisikan kaki April di atas
sementara kepala April berada nyaris dekat lantai. Tangan Scott yang kuat menjadi penopang
atas tubuh April, sementara dengan lentur April membiarkan tangan dan kepalanya bergerak
mengikuti iringan musik. Setelah posisi mereka kembali seperti biasa, Scott dan April saling
menjauh – membuat beberapa gerakan echatta (Gerakan melompat kecil beberapa kali tanpa
berpindah tempat) dan pada hitungan berikutnya, Scott sudah membuai ayunan langkah April
dengan mengangkat tubuh April tinggi, lalu kembali lagi membumi. April dapat melihat dari
ekor matanya, para siswa-siswi Trinity menahan nafas kagum melihat adagio yang ia lakukan.
Tinggal posisi koda.
Baru saja April mengambil kuda-kuda dan mendapatkan pencerahan untuk membuat Keane
– yang duduk di sebelah Cathlin – mencabut kata-katanya tentang bakat menari.
Aprillia bisa menari.
Tapi baru saja ia ingin membuat posisi attitude terakhir, tanpa ada Scott yang
memeganginya, seketika itu juga langkahnya terhenti.
Wajah seseorang terlihat samar di benaknya.
Bukan karena April tidak mau menari, tidak mau melanjutkan posisi terpenting dalam pas
de deux – yaitu attitude. Tapi kakinya menolak, lagi-lagi tulangnya terasa hilang.
Seketika itu juga, April jatuh terjerembab tanpa melihat kelip cahaya studio seni tari. Ia
dapat mendengar lamat-lamat para siswa-siswi langsung berteriak panik, sementara organ
tubuhnya serasa mengawang dan tidak bisa digerakkan. Kakinya serasa terlindas.
Ia tidak bisa menari kalau Scott tidak memeganginya.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011


Angkasa tidak bisa mempercayai apa yang kini ia tatap.

63
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Siluet yang biasanya hanya duduk di atas kursi piano, memainkan lagu-lagu gubahan yang
sulit dipahami. Siluetnya terlihat sedih dan tidak berdaya, berulang kali sosok itu melihat jam
yang ada di pergelangan tangan kanannya. Angkasa ikut duduk di balik tembok Guildhall,
mengintip sosok yang perlahan-lahan menyentuhkan jarinya pada tuts piano.
Kunci D. Batin Angkasa. Jarang-jarang ia memata-matai si nutcracker sampai separah ini.
Tapi kenyataannya, Emil memang melakukan sesuatu di Guildhall tiap sore. Jeda sejenak,
sebelum beberapa nada mulai muncul perlahan tanpa ada intro yang lambat seperti rata-rata
musik klasik. Nadanya pilu dan menyayat hati, seperti benar-benar merindukan seseorang.
Menunggu seseorang. Tapi yang dimainkan tidak terlalu menyerupai klasik, hanya seperti
ekspresi yang terasah tajam.
Angkasa berani bersumpah, ini pertama kalinya ia merasakan prosa „panah yang menancap
di dalam hati‟ benar-benar nyata. Sangat Emil, ketajaman nada yang dipilih, kesedihan yang
teredam, sampai-sampai… rasanya detak jantung terpilin erat.

***

Trinity Guildhall, London, United Kingdom | November 2011


Jarum jam terus bergerak.
Jemari Emil masih terus terdiam di sisi tubuhnya. Tidak berminta meluruhkan satu
sidikpun di atas piano. Ia menatap benda megah di depannya malas.
Angkasa punya segala sesuatunya.
Tidak orang yang peduli seberapa dewanya kamu terhadap musik, yang penting bisa
bermain musik. Dan Angkasa bisa. Sebagaimana sempurnanya permainan musik gue, tidak
ada yang benar-benar menghargainya jiwa dan raga.
Akhirnya jari-jari Emil bergerak juga, mengikuti putaran otaknya yang juga semakin
berpikir keras. Merenungi hari-hari absurd yang ditapaki oleh hidupnya akhir-akhir ini.
Everyday feels so sucks for me. Batin Emil getir. Gue nggak suka keadaan di London, gue
harus bertemu bokap gue yang terus memaksa gue latihan piano. Bokap bisa aja selalu
bilang: "Itu untuk masa depan kamu sendiri, Mil." Bah. Kecintaan gue pada piano semakin
pudar gara-gara bokap selalu memaksa gue latihan keras tiap hari. Dia membuat gue
membenci apa yang gue cintai. Sampai satu hari absurd itu terjadi.
Tangannya meraih sebatang pensil, lalu menulis sesuatu di tumpukan kertas not yang ada di
atas piano. Beberapa lagu yang baru saja ia karyakan kemarin, dan kini Emil membuat sebuah
senyum tersendiri di wajahnya. Ia menulis:

64
APRIL – Novel Kedua Karya Kezia Gabriella Agusta

Hari yang aneh itu membuat gue terus berkunjung ke Guildhall tiap sore, menonton gadis mungil
mengambil beberapa ayunan dengan alat tubuhnya. Dia cewek paling gila yang pernah gue kenal. Lo
pernah nggak sih lihat orang yang nggak punya kaki berusaha menari? Itulah April. Tiap sore gue
nemenin dia menari dengan akhir yang selalu sama. April selalu jatuh. Dan tiap sore pula, gue jadi
tukang pijet sukarelawan. Sesuai dengan julukan anak-anak, gue disebut-sebut sebagai "The
Nutcracker". Tapi jauh dari julukan aneh tersebut, gue hanya pengin April menjadi Sugar Plum Fairy
yang bisa membuat gue nggak menjadi boneka kayu lagi.
Menyihir gue agar gue bisa memiliki hidup sendiri. Kembali mencintai apa yang seharusnya gue
cintai, agar sentuhan piano gue bisa 'menghidupi' gelora gerakan April di atas panggung kembali.
Dengan lambat, ia mulai memainkan beberapa nada yang mengaum di hatinya. Mulutnya
menyenandungkan beberapa nada lirih yang lembut – terdengar menyakitkan. Tapi hatinya
terus berucap jujur, hatinya tertumbuk oleh si pincang dengan rambut hitam lembut yang
memiliki wangi unik – mirip Tahitian Vanilla. Yang terus berkumandang di seluruh hati dan
pikiran Emil. Yang membuat gejolak aneh setiap kali namanya terdengar, terucap, dan ketika
paras mungilnya dapat tertawa lepas.
“Kapan kamu datang ke Guildhall?”
Pertanyaan Emil tidak terjawab sampai sore berganti malam. Dalam susunan gelap malam
yang terbentang, Emil bersenandung tanpa suara.
Bersenandung tentang maksud hatinya. Mungkin Angkasa juga merasakan hal yang sama
dengannya.
That's what I never got. Bisik Emil dalam hati. Ia memejamkan matanya. It takes an entire
lifetime to write the words “And we lived happily ever after”.
I am a music without pitch. Something mess without you. Something perfect with you.

***

65

You might also like