You are on page 1of 4

Kepribadian

Manusia diberi beberapa potensi yang salah satunya meliputi akal dan jiwa, dan
unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar secara nyata
terkandung dalam otaknya. Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan
tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia disebut dengan kepribadiaan
(personality). Secara sederhana kepribadiaan dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau watak
seorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai
individu yang khusus. Gambaran dari ciri watak tersebut diperlihatkan secara fisik, konsisten,
dan kosekuen oleh individu. Dalam hal ini kita akan membicarakan kepribadian dalam
konteks sosial manusia, dimana kita dapat melihat pola kelakuan manusia secara umum yang
dapat mencirikan sebagai sebuah ciri khusus dalam sebuah masyarakat.

Kepribadiaan dapat pula didefinisikan sebagai karakteristik yang khas dari seseorang,
yang merupakan keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara
potensi-potensi biopsikofisikal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian
situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental
psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungannya. Setiap orang memiliki
kepribadiaan yang membedakan dirinya dengan yang lain. Kepribadian seseorang
dipengaruhi oleh faktor bawaan (genotipe) dan faktor lingkungan (fenotipe) yang saling
berinteraksi terus-menurus.

Terdapat beberapa unsur yang membangun sebuah kepribadian dalam seorang


individu. Unsur tersebut antara lain pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri.
Pengetahuan; Dalam lingkungan individu ada berbagai macam hal yang dialami melalui
penerimaan pancainderanya serta alat-alat penerima atau reseptor organismenya, sebagai
getaran eter (cahaya dan warna), geteran akustik (suara), bau, rasa, sentuhan, tekanan
mekanikal (berat-ringan), tekanan termikal (panas-dingin), yang semua masuk ke dalam sel-
sel tertentu di bagian-bagian tertentu dari otak. Di sana berbagai macam proses fisik,
fisiologis, dan psikologis terjadi, yang menyebabkan berbagai getaran dan tekanan tadi
diproyeksikan oleh individu menjadi sebuah penggambaran tentang sesuatu yang dilihat,
dirasakan, dan dialaminya. Semua kejadian tersebut dialami oleh setiap individu dalam
proses akal yang sadar, istilah tersebut sering disebut sebagai persepsi. Persepsi merupakan
seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious).
Pengambaran sebuah objek yang dilakukan oleh individu merupakan rangkaian cara
kerja akal dalam menangkap berbagai persepsi yang ada. Setiap penggambaran tersebut
tentunya ada sebagaian yang pernah tertangkap dalam memori, sehingga dalam
penggambaran selanjutnya seorang individu lebih condong untuk kembali melakukan
penggambaran baru terhadap sebuah objek, dan tentunya dengan memberikan
penjelasan/pengertian baru terhadap suatu objek yang diterimanya. Hal tersebut dalam ilmu
psikologi sering disebut sebagai “apersepsi”, yaitu penggambaran baru dengan pengertian
baru. Adakalanya suatu persepsi setelah diproyeksikan kembali oleh individu, menjadi suatu
penggambaran yang berfokus dan membuat seorang individu akan lebih intensif dalam
memusatkan akalnya, hal tersebut karena ketertarikan pada suatu bagian-bagian khusus pada
suatu objek. Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal
yang lebih intensif dalam ilmu psikologi disebut “pengamatan”.

Seorang individu juga dapat menggabungkan dan membandingkan setiap


penggambaran yang dilakukannya, berdasarkan azas-azas tertentu secara konsiten. Dengan
proses akal tersebut, individu mempunyai kemampuan untuk membentuk suatu
penggambaran baru yang abstrak yang sebenarnya dalam kenyataan tidak serupa dengan
berbagai penggambaran yang konkret ada. Penggambaran yang abstrak tersebut dalam ilmu
sosial disebut “konsep”.

Dalam usaha penggambaran oleh seorang individu dengan cara seperti terurai di atas,
maka penggambaran tentang objek tadi ada yang ditambah-tambahkan dan dibesar-besarkan,
dan ada yang dikurangi pada bagian tertentu, ada pula yang digabungkan dengan
penggambaran yang lain, dan menjadi penggambaran baru yang sama sekali tidak ada dalam
kenyataan. Penggambaran baru yang tidak realistik tersebut dalam ilmu psikologi disebut
“fantasi”. Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi
merupakan unsur-unsur pengetahuan seorang individu yang sadar, dan pada akhirnya dapat
membentuk sebuah kepribadiaan.

Unsur kedua yang membentuk sebuah kepribadian yaitu perasaan. Perasaan adalah
suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai
sebagai keadaan positif atau negatif. Suatu perasaan selalu bersifat subyektif karena adanya
unsur penilaian, dan hal tersebut menimbulkan sebuah kehendak dalam kesadaran seorang
individu. Kehendak tersebut dapat bersifat positif, dalam arti bahwa setiap individu selalu
berusaha untuk menunjukkan sebuah perasaannya dengan keras terhadap objek yang ingin
didapatkannya tersebut. Kehendak yang keras tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
“keinginan”. Suatu keinginan dapat juga menjadi lebih besar lagi sehingga menjadi sangat
besar, dan keinginan yang besar terhadap objek tersebut dapat menjadi suatu perasaan yang
keras, dalam artian keinginan yang keras terhadap objek, dan hal tersebut sering disebut
sebuah “emosi”.

Dorongan Naluri. Kesadaran manusia menurut para ahli psikologi mengandung


berbagai perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, melainkan
karena sudah terkandung dalam organismenya, dan khususnya dalam gen sebagai naluri.
Kemauan yang sudah merupakan naluri pada setiap manusia itu oleh beberapa ahli psikologi
sering disebut dorongan (drive). Setidaknya terdapat tujuh macam dorongan naluri pada
manusia, yang antara lain:

1. Dorongan untuk mempertahankan hidup. Dorongan ini memang merupakan suatu


kekuatan biologis yang juga ada pada semua mahluk di dunia ini dan yang
menyebabkan bahwa semua jenis mahluk mampu mempertahankan hidupnya.

2. Dorongan sex. Dorongan ini timbul pada setiap individu yang normal tanpa terkena
pengaruh pengetahuan, dan dorongan ini mempunyai landasan biologis yang
mendorong manusia untuk membentuk keturunan yang akan melanjutkan jenisnya.

3. Dorongan untuk mencari makan. Dorongan ini tidak perlu dipelajari, karena sudah
sejak lahir manusia telah mempunyai dorongan ini dan hal tersebut berjalan dengan
sendirinya tanpa dipengaruhi oleh pengetahuan.

4. Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia. Dorongan ini
memang merupakan landasan biologis dari kehidupan manusia sebagai mahluk
kolektif (mahluk sosial)

5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan sumber
dari adanya warna kebudayaan di antara manusia karena adanya dorongan ini manusia
mengembangkan adat yang memaksanya untuk berbuat conform dengan manusia
sekitarnya.

6. Dorongan untuk berbakti. Dorongan ini timbul dalam naluri manusia, karena manusia
merupakan mahluk yang hidup kolektif sehingga untuk dapat hidup bersama dengan
manusia lain secara serasi maka perlu mempunyai landasan biologis untuk
mengembangkan rasa simpati, rasa cinta, dan sebagainya, yang memungkinkan
manusia dapat hidup bersama. Jika dorongan untuk berbagai hal tersebut
dieksistensikan dari sesama manusia kepada kekuatan-kekuatan yang oleh
perasaannya dianggap berada di luar akalnya, maka akan timbul sebuah religi.

7. Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, suara, atau gerak.
Dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting dalam kebudayaan
manusia yaitu kesenian.

Ketiga unsur seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan unsur-unsur yang
membentuk sebuah kepribadian, baik yang terdapat dalam alam sadar kita (persepsi) maupun
dalam alam bawah sadar. Setiap manusia memiliki potensi untuk membentuk kepribadiannya,
dengan berinteraksi setiap manusia dapat menilai posisinya dalam sebuah kehidupan yang
sifatnya kolektif. Disinilah peran manusia sebagai seorang individu, dan juga sebagai mahluk
sosial berpadu dalam sebuah harmoni.

Masalah kepribadian, dalam hal ini yang berkaitan dengan akal dan jiwa, dalam
sejarahnya memang mendapat perhatian yang sangat besar dari para filsuf Yunani kuno.
Salah satu filsuf yang mengkaji tentang akal dan jiwa ini adalah Plato, beliau sering pula
disebut sebagai psikolog okupasional. Plato membagi jiwa ke dalam tiga bagian, 1) Selera
atau nafsu; seperti keinginan untuk makan dan minum, 2) Reason; manusia membutuhkan
alasan dalam berbagai hal, 3) Spirit; sesuatu seperti yang kita sebut rasa hormat atau
memiliki. Akal dan jiwa yang sehat/kuat tersebut dapat membentuk diri manusia dengan
kepribadian yang kuat.

Sebagai penutup dalam pembahasan tentang kepriadian ini, saya akan mengutip
pendapat Thomas Arnold yang mengatakan/memberi tingkatan dalam konseptual tentang diri
yang kuat, 1) Diri yang kuat dalam agama dan prinsip moral, 2) Orang yang bersifat
gentleman, 3) Orang yang memiliki kemampuan intelektual. Ketiga aspek tersebut menjadi
landasan tentang konsep diri (pribadi) yang kuat, dalam artian proporsional dalam
menempatkan atau mengembangkan representasi akal dan jiwa.

Referensi

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.


Muhammad Nuh, Sayyid. 1993. Membentuk Kepribadian Muslim: Keseimbangan
Fardiyyah-Jamaiyyah dalam manhaj Islam. Jakarta: Wacana Lazuardi.

You might also like