You are on page 1of 5

1.

Nilai budaya masyarakat dalam era otonomi daerah


Dari perspektif kebangsaan, satu hal yang sangat jelas, ketidakaruan elite politik itu
memperlihatkan bahwa mereka telah kehilangan nilai kebudayaan. Nilai yang telah hilang itu
dapat dipetakan dalam beberapa poin (Sihotang, 2001) sebagai berikut:
Nilai pertama adalah nilai kereligiusan. Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa ini
tergolong dalam kelompok bangsa yang religius, karena negara menjamin hal itu hidup
secara maksimal sebagaimana diatur pada pasal 29 (1,2) UUD 1945. Namun de facto
penghayatan nilai-nilai kereligiusan itu tampaknya masih jauh dari kenyataan. Pertikaian
yang semakin disebarluaskan melalui komentar-komentar yang memanas-manasi, bahkan
cenderung saling menjatuhkan jelaslah tidak mencerminkan diri sebagai orang yang religius.
Padahal, agama mengajarkan agar setiap orang berperilaku dan bersikap baik terhadap
sesama manusia dan bukan bertikai, balas dendam, atau sikap destruktif.
Nilai yang kedua adalah keberadaban. Salah satu ciri dari orang beradab adalah orang
tersebut mampu mempertimbangkan akibat-akibat dari ucapan dan tindakannya terhadap
orang lain. Dengan kata lain, perilakunya selalu menyenangkan dan menghibur orang lain.
Jadi, ia selalu bersifat positif dan fair terhadap orang lain. Namun, di kalangan elite politik
dewasa ini tampaknya pertimbangan ini menghilang dari praksis. Padahal, nilai-nilai ini juga
merupakan bagian dari makna kebangsaan kita sebagaimana tertuang dalam sila kedua
Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu, setiap orang sejatinya
menjadikan nilai sila kedua ini sebagai landasan perpolitikan sebagai wujud dari demokrasi
Pancasila. Hal itu berarti bahwa tata perpolitikan kita seharusnya mencerminkan
keberadaban, bersikap fair, dan positif terhadap siapa saja termasuk lawan politik dan bukan
justru saling menjatuhkan. Namun, yang diberlakukan dalam politik sebenarnya adalah
tindakan ketidakberadaban.
Nilai lain yang telah terhapus adalah perhatian terhadap integrasi. Bila dicermati dan
diamati berbagai peristiwa nasional tiga tahun terakhir ini, ada fenomena yang sangat besar
bahwa bangsa ini mengarah pada disintegrasi. Sebabnya apa? Salah saru penyebabnya adalah
adalah ketidakadilan. Akan tetapi, sekarang nampaknya masalahnya bukan hanya pada
ketidakadilan, melainkan juga lebih pada alasan kepentingan kelompok sehingga persatuan
dan kesatuan itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Jadi, disintegrasi terjadi karena
faktor pemutlakan kepentingan partial.
Fenomena ini jelaslah tidak sesuai dengan nilai budaya yang diperjuangkan oleh
Soepomo, salah satu pendiri bangsa ini. Soepomo justru menganjurkan agar negara ini
menganut paham integralistik, dan bukan paham individualistik atau paham golongan, karena
paham integralistik cocok dengan kondisi bangsa ini. Hal itulah yang dituangkan dalam sila
ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Belakangan ini ada pembelokan terhadap nilai
kebangsaan ini dengan kecenderungan hidupnya paham-paham individualistik atau golongan,
padahal kedua paham itu sangat bertentangan dengan landasan ideal bangsa ini.
Selain nilai integrasi, kebersamaan, dan persaudaraan serta kegotongroyongan telah
pula menghilang dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Belakangan ini kita tidak
lagi melihat sesama kita sebagai saudara sebangsa, melainkan sebagai lawan. Bahkan, ada
fenomena bahwa elite politik membudayakan homo homini lupus baik di tingkat atas maupun
tingkat bawah. Juga kita tidak lagi melihat kebersamaan dan kegotongroyongan di antara
mereka. Karena itu, duduk bersama untuk memecahkan persoalan bersama sebagaimana dulu
menjadi nilai kebanggaan bangsa ini rasanya merupakan usaha yang sangat mahal, bahkan
sesuatu yang langka terjadi belakangan ini.

2. Proses akulturasi budaya


Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai arus globalisasi,
bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh
akan pentingnya makna revitalisasi budaya. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model
kebudayaan kita sekarang yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada
munculnya potensi penguasaan budaya asing yang menyebabkan hancurnya budaya bangsa
dan budaya leluhur bangsa ini.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia kebudayaan kita terpasung di
persimpangan jalan; tersisih di antara hingar-bingar ambisi budaya asing yang ingin menjadi
budaya penguasa. Kebudayaan yang mengarah pada hal-hal yang bersifat materialistis,
ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi
pekerti. Nilai-nilai budaya yang lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan
penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan
emosi. Akibatnya, apresiasi masyarakat terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran
budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah
kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan budaya mau menang
sendiri. Yang lebih memprihatinkan, proses akulturasi budaya telah menjadi alat untuk
melanggengkan polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi masyarakat liberal dan
materialistik.

3. Persepsi dan perilaku masyarakat terhadap kehadiran budaya lain


Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (2006)
bahwa kehadiran budaya asing diharapkan dapat mengarah pada: (1) mendorong terciptanya
wadah yang terbuka dan demokratis bagi dialog kebudayaan agar benturan-benturan yang terjadi
tidak melebar menjadi konflik sosial; (2) mendorong tuntasnya proses modernisasi yang dicirikan
dengan terwujudnya Negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan, dan menguatnya
masyarakat sipil; (3) revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan
etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional; serta (4) meningkatkan kecintaan
masyarakat terhadap budaya dan produk-produk dalam negeri serta memperkuat harmoni yang
ada dan mencegah tindakan-tindakan yang menimbulkan ketidakadilan sehingga terbangun
masyarakat sipil yang kokoh, termasuk membangun kembali kepercayaan sosial antarkelompok
masyarakat; dan memperkuat dan mengartikulasikan identitas bangsa.
Kehadiran budaya asing yang dimotori proses globalisasi yang ditandai dengan motto
bidang “Triple T”: Tourism, Telecomunication, dan Transportation telah mendorong berbagai
negara mengembangkan ketahanan budaya agar dapat bertahan dari terpaan globalisasi serta
mengembangkan pariwisata sebagai usaha kemajuan ekonomi bangsanya. Upaya ini dilakukan
berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia terus berupaya mengembangkan kebudayaan sebagai
salah satu andalan Pemerintah dalam memulihkan dari kondisi krisis bangsa.

4. Strategi revitalisasi budaya masyarakat dalam era otonomi daerah di Provinsi


Sulsel
Dengan mengacu pada arah kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional serta Rencana Strategis
Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional, program pembangunan kebudayaan
oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di tahun 2005 – 2009 terdiri atas 9 program pokok
yaitu:
1. Program pengembangan nilai budaya
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat
Indonesia atas nilai-nilai budaya yang tumbuh di seluruh daerah sebagai dasar dalam pengembangan
yang berwawasan kebudayaan yang dilaksanakan melalui kegiatan pokok antara lain :
a. Peningkatan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa;
b. Peningkatan Pelestarian Tradisi;
c. Pengembangan Masyarakat Adat;
d. Pelaksanaaan Kebijakan Pengembangan Nilai Budaya di seluruh wilayah Indonesia;
e. Pendukungan pengembangan nilai budaya daerah; dan
f. Pelaksanaan Koordinasi, Pelayanan Teknis dan Administrasi
pengembangan nilai budaya.
2. Program pengelolaan keragaman budaya
Program ini terutama ditujukan untuk meningkatkan peranserta dan apresiasi masyarakat
di bidang perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan seni dan film melalui kegiatan-
kegiatan pokok :
a.Pengembangan dan Pelestarian Kesenian;
b.Pengembangan Perfilman;
c.Pengembangan Galeri Nasional;
d.Pendukungan pelaksanaan festival/peristiwa budaya daerah;
e.Pendukungan pengembangan keragaman budaya daerah; dan
f . P elak s anaan K oordinas i, P elayanan Teknis dan A dminis tras i pengelolaan
keragaman budaya.
3. Program pengelolaan kekayaan budaya
Program ini bertujuan untuk meningkatkan upaya-upaya penanaman nilai-nilai kekayaan
budaya Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pelaksanaan
kegiatan-kegiatan pokok seperti :
a.Pengembangan Nilai Sejarah;
b.Pengembangan Geografi Sejarah;
c.Pengelolaan Peninggalan Bawah Air;
d.Pengelolaan Peninggalan Purbakala;
e.Pengelolaan Permuseuman;
f.Pengembangan Pemahaman Atas Kekayaan Budaya;
g. Pendukungan pengelolaan museum dan taman budaya daerah;
h. Pendukungan pengembangan kekayaan budaya daerah; dan
i. Pelaksanaan Koordinasi, Pelayanan Teknis dan Administrasi pengelolaan
kekayaan budaya.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. (2006). Rencana Strategis
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2005-2009, Jakarta.
Keesing, Roger M., (1981). Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Alih bahasa
Samuel Gunawan. Jakarta: Erlangga.
Sihotang, Kasdin. (2001). Revitalisasi Nilai Kebangsaan. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Tang, Muhammad Rapi (1992). Tolok Rumpakna Bone: Sebuah Telaah Filologis Sastra
Bugis Klasik (Tesis Magister). Bandung: Prog. Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Tang, Muhammad Rapi. (2002). Sinkretisme Budaya Sebagai Alternatif Pembangunan


Kebudayaan. Makalah Diajukan pada Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara VI, Manassa dan The Ford Foundation. Bandung.

Yusuf, Saifullah. (2008). Revitalisasi Agama Melawan Kemiskinan. www.kompas.com.

You might also like