You are on page 1of 3

Bunuh Diri Menurut Pandangan Psikologi

Teori-teori psikologi tentang bunuh diri, fokus pada


pikiran dan motivasi dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh
diri (Barlow & Durand, 2002). Teori-teori psikologi humanis-eksistensialis
misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan persepsi tentang hidup
yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan
yang pasti. Beck (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) mengatakan bahwa
bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh
ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres.
Shneidman (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) menyatakan bahwa
individu yang mencoba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk
mengkomunikasikan rasa frustrasinya kepada seseorang yang dianggap
penting oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam
tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekatan teori
psikodinamik, teori kognitif-behavior dan teori gangguan mental.
Teori Psikodinamik;Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang individu adalah merupakan masalah
depresi klasik, dalam hal ini, seseorang yang mempunyai agresifitas
yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri (Meningger, dalam Meyer &
Salmon, 1998). Konsep Freud tentang insting mati (death instinct),
thanatos, merupakan konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi
pencetus bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Teori
Psikodinamik menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu,
menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri (Meyer &
Salmon, 1998).

Freud menyatakan jika depresi adalah kemarahan seseorang yang


ditujukan kepada dirinya sendiri. Secara spesifik, ego yang terdapat
pada seseorang yang berada pada kondisi seperti hal tersebut,
dihadirkan kepada orang yang telah meninggalkannya. Kemarahan akan
menjadi lebih besar jika orang yang depresi berharap untuk menghapus
kesan atau sosok dari orang yang meninggalkannya. Penghapusan atau
penghilangan kesan atau gambar tersebut dilakukan kepada dirinya
sendiri dengan jalan bunuh diri.

Teori ini menyatakan jika bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi
kemarahan kepada orang lain. Teori psikodinamik menyepakati atau
menghendaki orang-orang yang bunuh diri jangan mengekspresikan
kemarahannya ke dalam catatan atau surat, karena mereka tidak akan
bisa mengekspresikan emosi tersebut dan mengembalikan perasaan
tersebut kepada diri mereka.

Aliran-aliran psikodinamik terbaru yang muncul, masih terfokus pada


kemarahan pada diri sendiri sebagai inti permasalahan atau penyebab
terjadinya tindakan bunuh diri atau usaha bunuh diri (Maltsberger, dalam
Hoeksema, 2001).

Teori Kognitif-Behavior

Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan


sikap-sikap memberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh
diri. Konsistensi prediksi yang tinggi dari variabel kognitif terhadap
bunuh diri adalah kehilangan harapan (hopelessness), perasaan jika
masa depan sangatlah suram dan tidak ada jalan untuk menjadikan hal
tersebut menjadi lebih baik atau positif (Beck, dkk., dalam Hoeksema,
2001). Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking),
kekakuan dan ketidak luwesan dalam berpikir menjadi penyebab
seseorang bunuh diri. Kekakuan dan ketidak luwesan tersebut
menjadikan seseorang kesulitan dalam menemukan alternatif
penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang
dirasakan oleh orang tersebut menghilang.

Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab


seseorang melakukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini
(impulsif), akan semakin berisiko jika terkombinasikan dengan gangguan
psikologis yang lain, seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan
potensi untuk menghasilkan stres yang tinggi (Hoeksema, 2001).

Gangguan Mental

Hampir 90 % individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh
diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental (Jamison.,
NIMH., dalam Hoeksema, 2001., Wikipedia____). Gangguan mental
yang paling sering dialami oleh orang yang melakukan bunuh diri adalah
depresi (Wulsin, Valliant & Wells, dalam Hoeksema, 2001). Paling
kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri
(Mental Health.Net). Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi,
dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya
bunuh diri (Keliat, 1994). Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul
setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku,
suasana hati, dan pikiran individu yang melakukan bunuh diri didasarkan
atas laporan dari keluarga dan teman-teman inidividu tersebut serta
tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data yang ada, 40 individu
yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya
didiagnosa mengalami gangguan depresi (Petronis., dkk, dalam
Hoeksema, 2001).

Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika


depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison
(dalam Hoeksema, 2001) mengatakan jika setengah dari individu
dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan
kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan
psikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan
usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan narkoba
(Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis
atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh
diri.

You might also like