You are on page 1of 5

Masih Adakah Harapan Bagi Federalisme ?

Di tengah rasa frustrasi akan kondisi bangsa yang tak kunjung membaik.

Demokrasi liberal yang dibajak oleh elit dan pialang politik. Lalu kedaulatan

ekonomi yang dikangkangi kapitalis berjubah korporasi serta beragam kerusuhan

sosial. Pemikiran ke arah federalisme selalu hidup, adakah peluang untuk itu ?

Sedari awal lahirnya republik ini, telah mengemuka perdebatan mengenai

bentuk negara. Dimulai dengan perdebatan antara unitarisme (Bung Karno, dkk)

dan federalisme (Bung Hatta, dkk). Tetapi akhirnya mayoritas dalam Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan untuk

mendirikan Negara Kesatuan Indonesia.

Perdebatan kedua yang tak kalah sengit terjadi saat sidang Dewan

Konstituante tahun 1959. Perdebatan inipun berakhir dengan konsepsi demokrasi

terpimpin ala Sukarno yang menandai bubarnya dewan ini. Selama orde baru isu

bentuk negara menjadi sesuatu yang sangat ditabukan untuk didiskusikan. Bentuk

unitarisme menjadi sesuatu yang sangat sakral bagi bangsa kita hingga tak

mungkin bisa tergantikan.

Barulah pasca tumbangnya orde baru wacana federalisme kembali

membuncat. Y.B. Mangunwijaya memulai perbincangan ini pada Agustus 1998

lewat bukunya Republik Indonesia Serikat. Kemudian wacana ini menghangat

berkat bola salju yang digulirkan Amien Rais yang ketika itu tengah menjadi

bintang di panggung politik nasional.

Perdebatan pasca orde baru itu akhirnya berakhir dengan perjumpaan di

titik tengah melalui konsep otonomi daerah. Undang-undang nomor 22 tahun

1
1999 memberi ruang yang lebih luas bagi kreatifitas dan inisiatif daerah dalam

mengelolah rumah tangganya. Kemudian, diperbaharui lagi dengan undang-

undang nomor 32 tahun 2004. Itulah perjalanan pertarungan negara kesatuan

versus federalisme.

Secara umum tulisan ini tidak akan mengupas secara detail mengenai

federalisme itu sendiri. Namun, mencoba mengajak kita untuk

mempertimbangkan kemungkinan diskusi ulang atas bentuk negara.

Menurut Robert Dahl dalam tulisannya Federalism and the Democratic

Process salah satu keuntungan terbesar federalisme adalah “It ensures that

government remains close to the people. The State governments argue that they

are more in tune with the daily needs and aspirations of the people” (dalam J.R.

Pennock dan J.W. Chapman, 1983).

Kalau kita mau jujur, beragam permasalahan nasional saat ini disebabkan

kegagalan negara mendekatkan diri dengan rakyat. Pendekatan politik yang

digunakan adalah pseudo democracy bukan pendekatan partisipasi dan politik

keberpihakan.

Sebagai contoh, kasus pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang

selalu menuai konflik antara penduduk lokal dengan pemerintah dan atau

korporasi besar. Kasus Newmont Minahasa Raya di Buyat, Freeport di Papua,

Lapindo di Sidoarjo, PT. Inco dan konflik lainnya yang mempertemukan

masyarakat lokal dengan berbagai korporasi bidang pertambangan.

Hal ini kian diperparah dengan kerugian sosial dan lingkungan yang

ditimbulkan karena pemanfaatan sumber daya alam yang rakus. Pemerataan

distribusi kesejahteraan juga menjadi masalah mendasar saat ini. Maka, konsepsi

2
yang ditawarkan Dahl lewat federalisme dimana terbuka kemungkinan pemerintah

memiliki “intimitas” dengan publik dan ruang artikulasi kepentingan tercipta

Keluar dari konteks kekinian, kita juga dengan jelas memahami bahwa

sesungguhnya bangsa ini disusun atas beragam perbedaan baik secara historis,

kultural dan juga psikologis. Maka, mengapa kita tak mencoba memberikan

kesempatan secara luas. Masing-masing entitas di lokus-lokus budaya tersebut

agar tumbuh dengan mandiri tanpa “pemaksaan” untuk menjadi seragam dalam

payung negara kesatuan.

Poin selanjutnya, secara umum kita lihat bahwa beragam kasus

perlawanan daerah atas pusat terjadi. Di Aceh, Papua, Maluku, Makasar, Riau

bahkan sempat pula mencuat di Palembang. Memang yang menjadi kekuatan

massif hanya di Aceh dan Papua setelah sebelumnya Timor Timur berhasil

melepaskan diri secara damai.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sulit untuk mempertahankan unitarisme

di tengah kondisi yang serba tidak berkeadilan. Pilihannya, kita mau kehilangan

satu persatu daerah di Nusantara atau kita “merdekakan” lokus kultural itu secara

konstitusional melalui bentuk negara yang federal.

Mungkin rasionalisasi yang disusun dalam tulisan ini tidak cukup kuat

meyakinkan banyak pihak untuk membincang ulang bentuk negara. Tetapi perlu

kita sadari bahwa proses menjadi lebih baik selalu membutuhkan perubahan.

Mengingat pencapaian unitarisme belumlah bisa disebut sebagai pencapaian final.

Para pendiri bangsa inipun mengakui bahwa masih banyak kelemahan dalam

UUD 1945, maka mengapa kita tak mencoba membincang kelemahan-kelemahan

itu ?

3
Seorang sahabat saya yang kebetulan berkecimpung dalam gerakan

mahasiswa nasionalis mengatakan, resiko terbesar bila masalah bentuk negara

diungkit adalah terjadinya pertumpahan darah. Dengan kata lain social cost yang

ditimbulkan akan sangat besar.

Namun, benarkah setelah lebih dari 61 tahun merdeka kita belum kunjung

dewasa untuk membincang masa depan republik yang lebih baik ? Jika hasil

pencapaian politik yang sifatnya tentatif dijadikan sesuatu yang sacral. Maka,

akan berdampak tertutupnya dialektika. Maka, kesepakatan membentuk negara

unitarisme harus kita pahami sebagai pencapaian politik yang sifatnya

kontekstual.

Pencapaian politik bisa diubah sesuai kebutuhan, tak ada pencapaian

politik yang sifatnya kekal. Pertanyaannya mau atau tidak kita mencoba mencari

alternatif atas kebekuan kondisi bangsa saat ini.

Mengapa kondisi bangsa saat ini saya sebut beku ? Bagaimana tidak,

demokrasi dibajak oleh segelintir elit dan pialang politik. Pemilihan pemimpin

yang serba langsung, justru membuat rakyat makin dipinggirkan. Ekonomi liberal

dengan muara pada pasar bebas membuat potensi lokal mengalami peminggiran.

Pasar bebas juga telah mengeliminir kedaulatan rakyat dan negara atas

wilayahnya sendiri.

Di sisi lain, secara kultural bangsa kita mengalami degradasi. Impor nilai

dan tatanan budaya dari luar melalui teknologi informasi telah menyapu lokalitas.

Inilah kebekuan yang dimaksud, pada akhirnya kita bisa memilih apakah mau

membincang jalan alternatif itu ?

4
Penulis : Huzer Apriansyah

Artikel ini pernah dimuat di Harian Gorontalo Pos

You might also like