You are on page 1of 8

Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

MENGENANG 100 TAHUN SURAU INYIK


DJAMBEK
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947)

Oleh : H Mas’oed Abidin

Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah ulama pelopor pembaruan


Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dilahirkan pada tahun 1860 di
Bukittinggi, dan wafat pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H) Beliau
anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya
berasal dari Betawi.

Nama Muhammad Djamil lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh


Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, karena memang beliau
memelihara dengan rapid an teratur jambang yang menghiasi wajah beliau,
yang oleh masyarakat Minang disebut Djambek.

Ia memperoleh pendidikan di sekolah rendah yang mempersiapkan


pelajar untuk Kweekschool (sekolah guru). Sampai umur 22 tahun ia berada
dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau
mengganggu kehidupan keluarga, tetap hidup bebas dengan aturan-aturan
persaudaraan yang ketat, bukan kehidupan pareman (freeman) sebagai
kehidupan banyak anak muda zaman sekarang.

Pergaulan masa mudanya amat luas, dan saling harga menghargai satu
sama lainnya, seperti layaknya satu penghidupan di dalam dongeng, saling
membantu dan saling menjaga rahasia. Kehidupan anak muda masa itu
dibumbui dengan berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam
pencak dan silat.

1 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

Ketika telah berumur 22 tahun, Muhammad Djamil mulai tertarik pada


pelajaran agama, dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang,
Pariaman dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada
tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun

Di sana, ia mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara


lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh
Ahmad Khatib el Minangkabawy. Beliau tertarik untuk mempelajari ilmu
tarekat, tapi dia disadarkan oleh gurunya.

Djambek secara intensif, walaupun diam-diam, adalah tentang ilmu


tarekat serta mendalami suluk di Jabal Abu Qubais, yang di masa itu banyak
guru-gurunya dari India dan lainnya. Dengan pendalaman tersebut Syekh
Muhammad Djambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh
ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-
muridnya, ketika kelak beliau kembali ke tanah air, terdapat beberapa guru
tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djambek dihormati sebagai Syekh
Tarekat.

Ilmu Falak

Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya yang
membuat Syekh Muhammad Djamil Djambek terkenal adalah tentang ilmu
falak. Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu
falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau. Keahlian Muhammad Djamil
Djambek di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh
sebab itu, ketika masih berada di tanah suci Ketika pembelajaran di Mekkah
(1896-1903), Muhammad Djamil mengajarkan ilmunya itu kepada para
penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim

2 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah


(pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).

Inyik Djambek dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka di Nusantara,


dan menjadi rujukan semasa hidupnya, dan dalam hal ini beliau memulai
menghitung waktu shalat dan masuknya awal bulan melalui hisab, yang
pada masanya belum lagi di lazimkan karena kebanyakan ulama baru
memakai sistim rukyah.

Ketika mulai kembali ke Indonesia, beliau mulai mengajarkan ilmu beliau


kepada murid2nya banyak murid dari seluruh pelosok ranah Minangkabau
dan bahkan dari Riau, Siak Sri Inderapura dan Aceh, juga dari Malaysia yang
belajar ilmu falak kepada beliau, di antara muridnya, Arius Syaikhy dari
Limopuluah Koto, Harun el Ma’any dari Luhak nan Tuo, di Tanah Datar, dan
Sa’aduddin Djambek, anak kandung beliau, dan banyak lagi lainnya.

Sepeninggal Inyik Djambek ilmunya menjadi rujukan dalam menerbitkan


imsakiyah Ramadhan di Minangkabau, Mandahiling, Riau dan Aceh, Tapak
Tuan. Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, dan menerbitkan
Natijah Durriyyah.

Secara langsung

Pada tahun 1903, Sepulangnya Syekh Muhammad Djamil Djambek dari


Mekah, beliau mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional. Murid-
murid awalnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Kemudian ia
meninggalkan Bukittinggi dan kembali mendekati teman-temannya dalam
kehidupan parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di
bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19.

3 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

Syekh Muhammad Djamil Djambek memilih mengamalkan ilmunya


secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang
ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah
Sawah Bukittinggi, yang kelak menjadi Surau Inyik Djambek, didirikan
1908 sampai sekarang.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat


mulai berubah. Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada
tarekat.

Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna


membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang
Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia
"berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dalam menjelaskan kepada umat tentang pemahaman beliau yang
jernih terhadap tarekat ini, maka beliau menulis buku mengenai kritik
terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-
Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri
atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat
Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh
Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh
takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Buku
lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.

Tabligh

Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya


disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang
dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya ditujukan untuk
meningkatkan iman seseorang. Sejak itu sebenarnya Inyik Djambek

4 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

telah mengubah tradisi basurau menjadi tradisi ilmu melaluli tabligh


dan diskusi, di samping belajar buku agama secara spesialisasi,
misalnya ilmu fikih pada Inyik Parabek, ilmu tasawwuf pada Inyik
Candung dan Inyik Syekh Mudo, ilmu bvalaghah pada Inyik Syekh
Muin, dan sebagainya. Agaknya inilah untuk pertama kalinya,
metode ceramah dipakai di Minangkabau.

Inyik Djambek mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan


kalangan guru Kweekschool, dan sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial
Belanda, sampai beliau dianugerahi bintang ilmu oleh Koningklijke
Amsterdam. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan
orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang
tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1918 ia mendirikan pusat
kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama
Surau Inyiak Djambek di Tengah Sawah, sejak 1908 di Bukttinggi.
Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam .

Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan


kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan
pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia
begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga
kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan
Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan
Inyik Djambek.

Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk


meningkatkan iman. Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian
besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna
bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena
pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam

5 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik


mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan


keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad
Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan
cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-
pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang
menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi


Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig
yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga
dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca
kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa
saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih
bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Djamil Djambek menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk


keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap
tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal
sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk
masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum
tradisionalis.

Organisasi

Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif


dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan

6 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan


yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama
tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi
ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak
turut lagi dalam perusahaan itu. Syekh Djamil Djambek secara formal tidak
mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan
Thawalib. Tetapi ia memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam
dengan membantu organisasi-organisi tersebut.

Inyik Djambek juga tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru


Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar. Akan
tetapi secara umum Inyik Djambek bersikap tidak ingin bermusuhan dengan
adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek
mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau
dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat
setempat. Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam
terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya.

Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi
Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya
dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh
Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di
Bukittinggi.

Wafat

Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap

7 H Mas’oed Abidin
Mengenang 100 Tahun Surau Inyik Djambek

hidup sejak 1905 sampai sekarang, walaupun suraunya yang dikenal


“Surau Inyik Djambek” baru dibangun 1908. Beliau di makamkan di
samping Suraunya itu di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
Semasa itu, Inyik Djambek adalah salah seorang anggota Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), di masa kepemimpinan Presiden Soekarno.

Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366
H), teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud
Rasyidy, yang terkenal dengan panggilan Inyik Daud, ayah dari Buya HMD
Datuk Palimo Kayo, meninggal dunia di Surau Inyik Djambek di Tangah
Sawah ini, ketika beliau mengimami shalat maghrib, dan besoknya
dikuburkan di samping makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai
sekarang ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek
ini.**

Padang, 25 Muharram 1429 H/ 3 Februari 2008

Dimuat dalam Surat Kabar Independen SINGGALANG,(ISSN-0215-4686), No.11.890,


Senin 4 Februari 2008, 26 Muharran 1429 H, hal. 1, bersambung ke hal.11.

8 H Mas’oed Abidin

You might also like