Professional Documents
Culture Documents
Ia tidak menyangka hal itu akan terjadi. Itu adalah yang pertama baginya, sejauh yang ia
ingat. Ia hanya mengatakan, “Baiklah, sampai jumpa,” ketika Pria itu meninggalkannya
dengan kecupan di kening. Tentunya dengan sedikit gemetar dan senyum yang
mengembang, tapi masih canggung. Dinar Logaya tercenung sejenak, memikirkan bahwa
pagi itu ia makan singkong dengan sambal sehingga, mungkin, hal itu yang menyebabkan
sekarang ini perutnya jadi mulas. Ia benar-benar tercenung sampai bisa mendengarkan
detak jantungnya yang lebih cepat dari bunyi tik-tik-tik jam tangannya dan perasaan yang
sesak bahkan setelah turun dari angkutan umum dengan pria itu beberapa waktu lalu. Kini,
ia sedang akan menuju Jember, tapi masih menunggu sinyal petugas sehingga kereta yang
ditumpanginya dapat segera berpacu ke stasiun berikutnya. Dinar melambai kearah pria
yang mengantarnya itu dengan senyum yang masih canggung, tidak secara langsung
menatap matanya, tapi hanya selintas. Sedangkan pria itu hanya mengangguk pelan dan
melambai dua kali dari balik jaket biru tuanya yang tebal, hari itu cuaca agak mendung dan
angin sedang berhembus kencang. Dinar kemudian merapihkan tempat duduknya dari
sampah plastik— botol aqua dan bekas makanan ringan— lalu duduk tenang dengan
membaca cerita latin yang belum diselesaikannya sejak beberapa minggu lalu selama
berada di Madiun. Ia disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga dan beberapa hal yang
membuatnya tidak bisa meneruskan cerita latinnya, tapi malah sibuk kesana-kemari
mengantar pesanan tapé ketan yang merupakan bisnis kecil-kecilan neneknya. Matanya
memindai cepat tulisan-tulisan yang tertera dalam cetakan itu, tapi pikirannya sedang
menerawang bersama pria tadi. Seseorang yang dikenalnya sejak lama, tapi hanya sebatas
kenal-temu saja, tidak pernah berbicara bahkan menyapa hanya dengan anggukan. Tadi, ya
baru tadi, malah memintanya untuk tidak membiarkan jari manisnya diselubungi cincin dari
pria manapun. Awalnya ia ingin menimpali dengan guyonan apakah pria itu berencana
menjadiknnya model toko emasnya yang baru dibuka, namun lidahnya tiba-tiba kelu dan
Tentu saja kejadian itu berlangsung beberapa jam sebelum kereta Logawa terguling dan
menewaskan hampir sepuluh orang, termasuk Dinar. Saat itu ia tidak pernah memikirkan
tentang kematian. Ia hanya ingin pulang ke Jember dan menyelesaikan skripsinya yang
tertunda karena harus ke Madiun gara-gara neneknya terkena asam urat dan minta dijenguk.
Entah karena Dinar satu-satunya cucu perempuan yang belum berkeluarga, sehingga
neneknya bisa memanggilnya kapanpun ketika sedang sakit, atau karena neneknya tahu
bahwa Dinar juga membutuhkan alasan supaya bisa ke Madiun dan bertemu Banyu
sebelum pria itu menjadi perjaka terakhir di desa yang belum juga meminang siapapun,
termasuk dirinya. Konon, Banyu sering menanyai nenek Dinar perihal cucunya itu dan
meminta saran bagaimana cara memulai bisnis supaya bisa menghasilkan uang. Ia sampai
menjual motor dan membuka usaha toko emas, dengan tambahan pinjaman dari Bank atas
saran nenek Dinar, demi menghidupi keluarga di masa datang. Pria sebatang kara itu
memang ulet bekerja. Sebelumnya, ia menjadi kurir pos dan bisa membeli sepeda motor,
karena kebutuhan hidupnya memang tidak seberapa, hanya menghidupi diri sendiri dan
membayar sewa kamar yang sudah dihuninya selama sepuluh tahun sejak tamat SMP.
Banyu bukan tipe pria yang ceria, wajahnya terlihat sendu, ia tidak suka memakai warna-
warna cerah, termasuk baju, apalagi untuk cat kamarnya. Warna paling cerah yang ia suka
hanyalah biru tua. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali kulitnya yang cokelat dengan
kelebihan hormon testosteron yang membuat pertumbuhan pada jaringan rambutnya begitu
cepat. Suaranya yang dalam, otot-otot yang menonjol dan tulang pipinya yang keras
terkadang menakutkan bagi anak kecil namun terlihat sensual bagi wanita-wanita puber.
Tidak jarang remaja SMA yang terlihat melintas di depan kamar sewaannya selama
beberapa kali, terutama di sore hari, ketika ia sedang menyiram tanaman. Pernah juga ada
ibu-ibu hamil yang ngeyel supaya bisa dipeluk olehnya dan mendengar detak jantungnya di
kandungan mereka dengan alasan ngidam. Namun, wanita hamil yang berhasil mengelabui
Dinar tidak pernah tau dan tidak peduli, bahkan, ketika ada ibu-ibu yang mengumpatnya
karena pernah terlihat duduk berdua dengan Banyu ketika sedang menyiram tanaman.
Nenek Dinar, meski harus berjalan tertatih-tatih karena menderita asam urat, balik
mangumpat ibu-ibu itu dan berteriak “garong” padanya, yang membuat ibu-ibu lain
mencibir dan menggunjingnya, dan kemudian mencoretnya dari daftar arisan. Bahkan,
nama Nenek pun tidak diikutsertakan lagi di kocokan berikutnya meskipun tidak pernah
absen menyetor. “Biar kapok, wong seenaknya sendiri!” salah satu ibu-ibu yang selalu
menjadi panutan dalam berbagai hal, termasuk cara berpakaian dan menggunakan kosakata
baru di tiap kesempatan mereka berkumpul sewaktu arisan, berkomentar. Ibu-ibu yang lain
menyepakati, meski ada yang bilang kasihan, tapi yang lain langsung mencibirnya dan
mengancam akan mendapat perlakuan yang sama seperti Nenek. Ibu tadi pun diam saja dan
melanjutkan menjahit kancing.
Banyu sudah lupa bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya sejak lima belas
tahun lalu. Dan kali ini ia akan selalu ingat, karena tubuhnya blingsatan diluar kendalinya.
Ia membanting apapun yang ada dihadakpannya: gelas, piring berisi pisang goreng, meja,
kursi, televisi. Ia mengamuk dan berteriak-teriak histeris. Peluhnya bercampur dengan
airmata dan ingus, membanjir. Pandai emas memanggili tetangganya dan menenangkannya
dengan bantuan tujuh orang yang masing-masing mengunci tangan, kaki dan pinggul
Banyu. Amukan Banyu berakhir dengan kejang-kejang selama beberapa menit. “Ambil
sendok! Gigit sendoknya, le!!” seorang wanita tua meneriakinya setelah memerintah si
pandai emas untuk mengambilkan sendok agar Banyu tidak menggigit lidahnya. Anak
pandai emas itu bertanya mengapa harus menggigit sendok, tapi bapaknya tidak begitu
peduli dan hanya menyodokkan sendok itu ke mulut Banyu sambil mengomel tentang
kerusakan juga tentang tidak bisa membangunkan anaknya sembayang. Tetangganya yang
lain masih mencengkeram tangan, kaki dan pinggul Banyu agar berhenti bergerak
blingsatan, dan menuruti saran wanita tua tadi agar mengendorkan celananya dan membuka
kancing kemeja agar ia bisa bernafas.
“Biar dia tidak mati menggigit lidahnya, le” wanita tua itu berpaling ke anak si pandai emas
tadi dan mengelus rambutnya.
“Hush! Sampeyan mbok jangan bikin tambah panik, memangnya Dinar sedang naik kereta,
apa? Wong paling juga lagi pacaran sama Banyu!”
“Lha siapa tau, lha kalo iya gimana? Wes, aku mau ngabari Mbah Kamti dulu!” ibu itu
meninggalkan benang jahitnya dan menyebrang jalan menuju rumah Nenek Dinar.
Saat itu, Nenek Dinar masih tidur. Tidak ada yang menyahuti salam Bu Parmin, sampai
tetangga sebelahnya memberitahunya bahwa Nenek Dinar sedang tidak enak badan dan
kemungkinan sedang tidur. Kemudian Bu Parmin menanyakan tentang Dinar, ia menjawab
bahwa Dinar sedang pergi dengan Banyu. Bu Parmin terlihat lega, ia lantas langsung
mohon diri karena menganggap bahwa dugaannya salah. Ternyata Dinar memang sedang
pacaran sama Banyu, seperti yang dikatakan tetangganya tadi. Ia kemudian menyebrang
jalan menuju ke rumah Bu Aminah, tempat diselenggarakannya arisan ibu-ibu, dan
membantu Pak RT menenangkan warga yang masih panik, tanpa meneruskan menjahit
kancing baju pramuka anaknya.