You are on page 1of 9

PANDANGAN PARA PEMBUAT KEBIJAKAN TERHADAP PROGRAM

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SURAKARTA:


PENERAPAN METODE AHP

LUKMAN HAKIM
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Abstract: Research target is to see Views Of Public Policy Program of Poorness mitigation in
Surakarta. City. Method of Research utilize Analytic Hirarchy Process(AHP). Result of this
study , first, most makers of policy assume that government remain responsible to overcome of
poorness program compared to corporate world and financial institution. Second, age target
receiver of poorness program benefit better be focussed to 15-55 year. Third, focus of poorness
mitigation shall be done to physical facility compared to education and healthy. Fourth,
program should focussed to problem of livelihood capital. Fifth, proposing special committee,
that responsible to manage mitigation program of poorness.
Keywords: AHP, poorness,public policy

PENDAHULUAN
Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program
Kemiskinan telah menjadi perhatian Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
utama seluruh lapisan masayarakat. Bahkan (P2KP), Pemberdayaan Daerah Mengatasi
pemerintah sejak Orde Baru sampai sekarang Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE),
berupaya mengatasinya. Berbagai upaya telah P2MPD, dan program pembangunan sektoral
dilakukan dalam rangka penanggulangan telah berhasil memperkecil dampak krisis
kemiskinan di atas, antara lain yang dilakukan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
melalui program jaring pengaman sosial dan Persoalannya adalah bagaimana melakukan
program penanggulangan kemiskinan baik sinkronisasi program-program pengentasan
melalui kebijakan struktural, regional maupun kemiskinan itu di lapangan?
khusus. Program penanggulangan kemiskinan Salah satu cara untuk menjaring
yang pernah dilaksanakan yaitu P4K, KUBE, persepsi para pembuat keputusan tentang
TPSP-KUD, UEDSP, Program Pengembangan sinkronisasi program penanggulangan
Kecamatan (PPK), Pembangunan Prasarana kemiskinan itu menggunakan pendekatan
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 35-42

Analytic Hierarchy Process (AHP). Pada respondennya adalah para ahli (expert).
prinsipnya, metode AHP ini dapat memecah- Namun dalam perkembangannya seiring
mecah situasi yang kompleks, tidak terstruktur, dengan maraknya paradigma baru dalam
yaitu menata bagian/komponen tersebut dalam pembangunan partisipatif yang
suatu hierarki; memberikan nilai numerik pada memperkenalkan konsep baru stakeholder,
pertimbangan subjektif tentang relatif maka AHP dapat menjangkau persepsi pelaku
pentingnya setiap variabel; dan mensintesis yang mempunyai keterkaitan dengan masalah
berbagai pertimbangan untuk menentukan itu secara lebih luas. Di sinilah mulai
variabel mana yang mempunyai prioritas yang dipergunakan AHP dalam melihat masalah-
lebih tinggi dan berpengaruh terhadap hasil masalah pembangunan dengan melibatkan
situasi tersebut. multi pelaku seperti dilakukan oleh Azis
Pendekatan hirarki pilihan yang (1994) dan Sarwedi, dkk (2003). Dengan
dipelopori oleh Thomas Saaty (1972) dikenal menggunakan AHP, Azis (1994) banyak
dengan metode Analytical Hierarchy Process mengkaji masalah pembangunan regional
(AHP). AHP pada dasarnya didesain untuk antara lain seperti kasus manfaat desentralisasi
menangkap persepsi orang yang berhubungan di Propinsi Riau; dampak negatif
sangat erat dengan permasalahan tertentu pembangunan jalan raya Trans-Sumatera.
melalui prosedur yang dirancang untuk sampai Sementara Sarwedi, dkk (2003) meneliti
kepada suatu skala preferensi di antara indeks pembangunan manusia di Kabupaten
berbagai set alternatif. Dengan kata lain, Jember dengan menggunakan metode AHP.
metode ini dianggap sebagai model multi-
Metode AHP
objective-multi-criteria. Untuk menggunakan
AHP dipergukanan untuk melakukan
metode ini, suatu masalah yang rumit dan tak penilaian faktor-faktor kualitatif yang
dikemukakan secara subyektif. Penilaian ini
berstruktur perlu terlebih dahulu dipecah
diberikan dengan membandingkan antar
dalam berbagai komponennya yang disusun elemen. Perbandingan tersebut dilakukan
dengan memberikan skor. Misalnya,
dalam hirarki. Berdasarkan hirarki tersebut,
perbandingan antara faktor sistem finansial
responden memberikan penilaian subyektif dan sistem politik dalam konteks efektivitas
sistem pengawasan. Apabila responden
terhadap pentingnya setiap bagian itu dalam
memberi skor 4 (empat) untuk sistem finansial
bentuk angka. Penilaian subyektif beberapa dibanding sistem politik, maka nilai untuk
sistem politik dibanding sistem finansial
responden itu disintesiskan melalui eigen
adalah ¼. Metode ini digunakan karena salah
vektor yang menghasilkan prioritas masalah satu aksioma AHP adalah reciprocal
comparison. Dengan demikian, apabila
yang dihadapi (Azis, 1994:284).
responden sudah memberikan skor 4, dia tidak
Pada mulanya AHP banyak perlu lagi mengisi skor ¼ sebagai
kebalikannya.
dipergunakan untuk pengambilan keputusan
Skoring yang digunakan adalah skala 1-9
yang bersifat strategis dan manajerial di mana dengan pengertian sebagai berikut:

2
Lukman Hakim, Pandangan Para Pembuat Kebijakan…

Skor 1 : sama-sama penting (equal aik . akj = aij


importance) ……………………………………….(3)
Skor 3 : lumayan penting (moderate ajk . aki = aji ……….
importance) ………………………………(4)
Skor 5 : lebih penting (strong
importance )
Cara lain untuk mengetahui inkonsistensi
Skor 7 : sangat penting (very strong
importance) adalah dengan menyusun rasio
Skor 9 : sangat dan sangat penting (
inkonsistensi.
extreme importance)
Skor 2,4,6,8 adalah skor pertengahan
nilai atas dan bawah
Rumus rasio konsistensi adalah sebagai
Penilaian dilakukan oleh para ahli, melalui
berikut
lembar kuiesioner. Masing-masing
RK = IK / IR
memberikan penilaian secara terpisah.
………………………………………(5)
RK = Rasio konsistensi
IK = indeks konsistensi
Setelah itu akan dicari nilai rata-rata dari
IR = indeks random
penilaian terpisah tersebut, dengan rumus:
Cara mencari indeks konsistensi dengan
n
rumus sebagai berikut:
Aw = Ö a1 x a2 x ..x an
IK = ( l maks – n) / (n-1)
……………………. (1)
…………………...........………….. (6)
Keterangan:
Aw = Rata-rata ukur
Sedangkan Indeks Random adalah
A1 = penilaian dari responden ke-1
N = jumlah responden
Uk. Matrik
3 4 5 6 7 8 9 10
Akan tetapi, reciprocal comparison ini
akan mendatangkan problem Indeks Random
inkonsistensi jawaban. Terutama apabila
elemen yang dibandingkan makin banyak. 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49

Dalam pembahasan selanjutnya


Dalam konteks ini, AHP memberikan
toleransi inkonsistensi sebesar 10%. pencarian konsistensi akan
Inkonsistensi akan ditemukan dengan
menggunakan rasio konsistensi karena
cara sebagai berikut:
C1 …Cn = level dalam hirarki lebih akurat. Dengan menggunakan
W1…Wn = bobot pengaruh
software SuperDecisions seperti yang
aij = angka yang menunjukkan
kekuatan C1 jika dibandingkan dengan Cj dipakai dalam analisis ini, semua
parameter yang diperlukan sudah
Matriks resiprokal :
A = (aij) ditampilkan.
Uji = 1/aij

Matrik A konsisten jika METODE PENELITIAN


aij . ajk = aik
………………………………………(2)

3
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 35-42

Berdasarkan pertimbangan di atas, dengan


tujuan melakukan sinkronisasi program
penanggulangan kemiskinan (PK) disusunlah
hirarki sebagai berikut. Tujuan akhir dari
model ini adalah siapa pihak yang seharusnya
melakukan sinkronisasi program
penanggulangan kemiskinan? Alternatifnya
adalah Antar Intansi; Bapeda; atau Komite
Khusus. Untuk mencapai alternatif itu
diperlukan berbagai kriteria yakni A.

kelembagaan, usia sasaran, prioritas program


dan strategi program.

B.

C. Hirarki Sinkronisasi Program Penanggulangan Kemiskinan

D. Di Kota Surakarta

Sinkronisasi Program Penanggulangan Kemiskinan


Tujuan :

Kriteria :

Lembaga
Dunia Usaha Pemerintah
Keuangan

Usia 15-55 Usia 55 <


Usia <15

Kesehatan Pendidikan Prasarana Fisik

4
Lukman Hakim, Pandangan Para Pembuat Kebijakan…

Pelatihan Pendampingan Permodalan

Alternatif:

Antar Instansi Bapeda Komite Khusus

HASIL PENELITIAN yang memang paling bertanggungjawab


terhadap program penanggulangan
Dalam studi AHP ini berhasil
kemiskinan, dunia usaha dengan kapasitas
mengumpulkan kuesioner yang berasal dari
ekonomi yang dimilikinya juga dapat
tujuh (7) Dinas di lingkungan Pemerintah Kota
mendorong pengentasan kemiskinan.
Surakarta yang membawahi program
Demikian halnya, lembaga keuangan juga
penanggulangan kemiskinan (PK). Dinas yang
dapat menjadi lembaga yang berperan aktif
membawahi program pengentasan kemiskinan
dalam penanggulangan kemiskinan.
diantaranya adalah Dinas Pertanian; Dinas
Berdasarkan survei para pembuat kebijakan,
Dikpora (Pendidikan dan Olah Raga); Dinas
44% responden berpendapat bahwa tetap
Kesejahteraan Rakyat, Pemberdayaan
pemerintah yang harus menjadi lembaga yang
Perempuan dan Keluarga Berencana
paling berperan dalam program pengentasan
(DKRPPKB); Dinas Kesehatan; Dinas
kemiskinan. Sementara dunia usaha dan
Koperasi dan UKM. Para responden itu
lembaga keuangan dipilih oleh masing-masing
diminta menjawab tentang sinkronisasi
26% dan 28% (tabel 1). Berdasarkan hasil di
program kemiskinan di lingkungan Kota
atas terlihat bahwa sebagian besar reponden
Surakarta. Secara umum hasil pengolahan
masih memilih pemerintah sebagai pihak yang
data AHP, semua hubungan yang diteliti adalah
paling bertanggungjawab terhadap
konsisten karena memiliki indeks konsistensi
pengentasan kemiskinan. Sementara itu, pihak
(CI) di bawah 10% seperti yang disyaratkan.
lain yakni dunia usaha dan lembaga keuangan
Terdapat tiga lembaga yang dapat
N Usia Nilai Rangking
menjadi instansi pelopor program pengentasan
o
kemiskinan yakni dunia usaha, lembaga 1. Usia < 15 0.307605 II
keuangan, dan pemerintah. Selain pemerintah 2. Usia 15-55 0.440649 I

5
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 35-42

3. Usia 55 < 0.251745 III Tabel 2.


CI= 0,0262 (<10%) Persepsi Responden Terhadap Usia Sasaran
dapat menjadi pendukung dari
Program PK
program penanggulangan kemiskinan itu.

Sementara itu, persepsi responden


Tabel 1.
Persepsi Responden Terhadap Kelembagaan terhadap prioritas program PK menarik untuk
Program PK dianalisis. Sebanyak 36% responden memilih

No Kelembagaan Nilai Rangking pembangunan prasarana fisik, sedangkan


1. Dunia Usaha 0.269474 III untuk kesehatan dan pendidikan masing-
2. Lembaga 0.284214 II
masing sebesar 33% dan 30%. Berdasarkan
Keuangan
3. Pemerintah 0.446312 I urutan rangking, para pembuat kebijakan
CI= 0,0075 (<10%) cenderung masih memprioritaskan perbaikan
prasarana fisik, dibandingkan bidang
Usia kelompok sasaran program
kesehatan dan pendidikan. Namun kaena
kemiskinan terbagi di bawah usia 15 tahun;
magnitude atau besarnya pilihan responden
15-55 tahun dan di atas 55 tahun. Menurut
terhadap prioritas program relatif sama yakni
paradigma baru penanggulangan kemiskinan
masing-masing sekitar 30%, berarti ketiga
menetapkan sasaran kelompok program
program PK tersebut harus mendapatkan
adalah usia 15-55 tahun. Dasar pertimbangan
perhatian yang sama (tabel 3).
pengutamaan kelompok umur itu adalah usia
produktif (15-55 tahun) dimana seharusnya
lebih diprioritaskan mendapatkan program
penanggulangan kemiskinan, dibandingkan
dengan kelompok usia lain. Dari hasil analisis
AHP itu, terlihat bahwa 44% persepsi
responden hampir memprioritaskan usia 15-55
tahun. Sementara itu, 30% responden memilih
usia di bawah 15 tahun, dan sekitar 25
responden memilih usia di atas 55 tahun.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa mayoritas reponden telah memahami
Tabel 3.
paradigma baru program penanggungalan
Persepsi Responden Terhadap Prioritas
kemiskinan yang memprioritaskan kelompok
Program PK
sasaran usia 15-55 tahun (tabel 2).

6
Lukman Hakim, Pandangan Para Pembuat Kebijakan…

No Prioritas Program Nilai Rangking


1. Kesehatan 0.331069 II Seperti telah disebutkan di muka,
2. Pendidikan 0.308097 III
3. Prasarana fisik 0.360834 I tujuan akhir dari studi ini adalah pihak
CI= 0,0363 (<10%) manakah yang dianggap mampu melakukan
sinkronisasi program PK. Responden yang
Berkaitan dengan strategi program PK,
memilih sinkronisasi program dilaksanakan
45 % responden memprioritaskan peningkatan
oleh koordinasi antar instansi dan Bapeda
permodalan. Sementara responden yang
masing-masing hanya 26%. Sementara
memilih pelatihan sebesar 31% dan
mayoritas responden atau sekitar 46%
pendampingan sebanyak 23%. Ini menandakan
berpendapat bahwa pihak yang dapat
bahwa mayoritas pembuat kebijakan melihat
melakukan sinkronisasi adalah komite khusus
bahwa masalah kemiskinan di Kota Solo
yang dibentuk untuk melakukan koordinasi
adalah bagaimana memperkuat kapasitas
program kemiskinan seperti Komite
ekonomi masyarakat miskin melalui penguatan
Penanggulangan Kemisikinan (KPK). Karena
modal. Untuk strategi pelatihan masih juga
dengan adanya komite khusus, diharapkan
diperlukan, sedangkan pendampingan sudah
penangangan program PK akan lebih terarah
dapat dikurangi (tabel 4).
dan lebih komprehensif dalam upaya
mengentaskan kemiskinan (tabel 5)
Tabel 4.
Tabel 5.
Persepsi Responden Terhadap Strategi
Persepsi Responden Terhadap Sinkronisasi
Program PK
Program PK

No Strategi Program Nilai Rangking No Sinkronisasi Nilai Rangking


1. Pelatihan 0.311444 II 1. Antar Instansi 0.265968 III
2. Pendampingan 0.236825 I 2. Bappeda 0.268165 II
3. Permodalan 0.451732 III 3. Komite 0.465864 I
CI= 0,1615 (<10%) Khusus
CI= 0,0377(<10%)

KESIMPULAN

Kesimpulan dari studi ini adalah


pertama, sebagian besar pembuat kebijakan
menganggap bahwa pemerintah lah tetap
paling bertanggungjawab terhadap
penanggulangan kemiskinan dibandingkan
dunia usaha dan lembaga keuangan. Kedua,
sasaran usia penerima manfaat program
kemiskinan sebaiknya difokuskan kepada 15-
55 tahun, dibandingkan usia <15 dan 55>

7
Region, Vol .2, No.1, Januari 2007: 35-42

tahun. Ketiga, fokus penanggulangan Ismawan, Bambang. 2000. Pemberdayaan


kemiskinan hendaknya pada prasaranan fisik Orang Miskin. Puspaswara, Jakarta.
dibandingkan kesehatann dan pendidikan. Juswala, Meherco. 1985. ”Economic
Keempat, sebaiknya program penanggulangan Development Paradigm and Their
kemiskinan difokuskan kepada masalah Converage with Communication
permodalan, dibandingkan pelatihan dan Development Paradigm”. In 35th
pendampingan. Kelima, lembaga apa yang Convention International
sebaiknya mensikronkan program Communication Association, 23-27
penanggulangan kemiskinan, sebagian besar Mei 1985.
responden mengusulkan komite khusus Kartasasmita, Ginanjar 1997. “Power dan
semacam Komite Penaggulangan Kemiskinan Empowerment: Sebuah Telaah
(KPK), dari pada Bappeda maupun antar Mengenai Konsep Pemberdayaan
instansi melakukannya sendiri. Saran dari studi Masyarakat”, Perencanaan
ini adalah seharusnya riset persepsi tidak Pembangunan, No. 07. Januari
hanya dilakukan kepada para pembuat Bappenas. Jakarta.
kebijakan, melainkan juga kepada para Nawawi, Hadari. 1985. Metodologi Penelitian
penerima manfaat maupun para stakeholder Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
yang lain seperti NGO. Press.
Partoatmodjo, Sadji.2004. “Masalah
Kemiskinan dan Kompleksitas
DAFTAR PUSTAKA Penanggulangannya”. Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan
Adelman, Irma and Morris, C.Taft. 1973. Rakyat.
Economic Growth and Social Equity Pradhan, Menno, Asep Suryahadi, Sudarmo
in Developing Countries. Stanford Sumarto dan Lant Pritchett. 2000.
University Press, California USA. “Measurements of Poverty in
Akita, Takahiro dan Jesse J.K. Szeto. 2000. Indonesia: 1996, 1999, and Beyon”.
“Inpres Desa Tertinggal (IDT) Policy Research Working Paper
Program and Indonesian Regional No.2438. World Bank, September.
Inequality”. Asian Economic Journal. Putro, Rawidyo Tetuko dan Hery Sulistyo Jati.
Vol. 14. No.2. 2005. “Upaya Pengentasan
Alatas, Vivi dan Menno Pradhan. 2003. Kemiskinan di Pulau Jawa dan Bali
“Geographic Targeting in Indonesia”. 2003”. Paper dipresentasikan dalam
The 5th IRSA International Conference, Dies ke-25 Program MSi FE UGM.
“Regional Development in a Raharjo, Dawam. 1988. Esei-esai Ekonomi
Decentralized Era: Public Service, Politik. LP3ES, Jakarta.
Poverty, and the Environment”, July Saaty, R.W. 1987. “The Analytic Hierarchy
18-19, Bandung. Process: What it is and How it Used”,
Alisjahbana, Armida S dan Arief Anshory Math Modelling, Vol.9.161-176.
Yusuf. 2003. “Poverty Dynamics in Saaty, R.W. 2003. Decision Makin in Complex
Indonesia: Preliminary Evidence from Environments: The Analytic Hierarchy
Longitudinal Data”. The 5th IRSA Process (AHP) for Decision Making
International Conference, “Regional and The Analytic Network Process
Development in a Decentralized Era: (ANP) for Decision Making with
Public Service, Poverty, and the Dependence and Feedback. Pittsburgh:
Environment”, July 18-19, Bandung. Creative Decisions Foundation.
Asmara, Hendra. 1986. Politik Perencanaan Saaty, T.L .1980. The Analytic Hierarchy
Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan, Process. New York: Mc Graw-Hill
dan Prospek. Gramedia, Jakarta. Saaty, T.L.1982. Decision Making for Leaders.
Azis, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Belmont California: Wadsworth.
Regional dan Beberapa Aplikasinya di Sarwedi, dkk. 2003. “Performance and
Indonesia. Jakarta: LPFE UI. Developing of Human Development in

8
Lukman Hakim, Pandangan Para Pembuat Kebijakan…

Kabupaten Jember: Analytic Hierarchy


Process Approach”, IRSA 2003.
Skoufias, Emmanuel, Asep Suryahadi, dan
Sudarno Sumarto. 2000. ”Change in
Household Welfare, Poverty and
Inequality During The Crisis”. Bulletin of
Indonesian Economic Studies. Vol. 36.
No.2 August.
Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi dan Alex
Arifianto. 2004.”Governance and Poverty
Reduction: Evidence from Newly
Decentralized Indonesia”. Smeru Working
Paper. March.
Sumodiningrat, Gunawan et.al. 1999.
Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan.
Impac, Jakarta.
Suryadarma, Daniel, Rima Prama Artha, Asep
Suryahadi, Sudarno Sumarto. 2005. “A
Reassessment of Inequality and its Role
in Poverty Reduction in Indonesia.”
Smeru Working Paper. January.
Suryahadi, Asep Wenefrida Widyanti, Rima
Prama Artha, Daniel Perwira, Sudarno
Sumarto. 2005. “Developing a Poverty
Map for Indonesia: A Tool for Better
Targeting in Poverty Reduction and Social
Protection Programs (Book 1: Technical
Report)”. Smeru Working Paper.
February.
Susanto, Hari. 1996. ”Pemanfaatan Dana IDT:
Upaya Pemberdayaan dan Pengentasan
Masyarakat”. Sintesis. Cides.Jakarta.
.

You might also like