Professional Documents
Culture Documents
A. Latar Belakang
John Friedman (1987) dalam Planning in The Public Domain menyatakan
bahwa arena publik meliputi praktek administrasi, birokrasi, politik, sistem
transformasi sosial dan sistem nilai. Dengan lingkup tersebut, Friedman
mengajukan tiga tipe sistem perencanaan dan penyelenggaraan urusan publik,
yaitu perencanaan alokasi (alocative planning), perencanaan inovatif (innovative
planning), dan perencanaan radikal (radical planning). Perencanaan alokasi
berfokus pada pengaturan sumber daya yang terbatas seperti dana, lahan,
pekerjaan dan sebagainya; perencanaan inovatif berfokus pada perubahan
institusional pada sistem sosial, dan perencanan radikal berfokus pada semangat
pengorganisasian kekuatan rakyat agar dapat memperkuat posisinya ke arah
transformasi sosial. Lebih jauh, menurut Friedman, bahwa sebenamya
perencanaan merupakan akumulasi dari perkembangan tiga konsep dasar, yaitu
political philosophy yang dihantarkan oleh Arendt (1858), macro sociology yang
dihantarkan oleh Etzoni (1968) dan Social Transformation yang diwarnai oleh
Marxisme dan Utopian Tradition.
Menurut Stephen Grabow dan Allen Heskin yaitu Foundations for a Radical
Concept in Planning (1973), menjelaskan bahwa “Perencanaan Radikal” adalah
sebuah perencanaan yang melibatkan: (1) sebuah kritik terhadap keadaan tetap
dalam saat tertentu (status quo) pada perencanaan pada umumnya
(mainstream); (2) argumen yang berpendapat bahwa pendekatan untuk
merencanakan telah dibutuhkanbukan berdasarkan pada dominansi (kekuasaan)
atau keseimbangan, namun berdasar pada dialektika baru yang berdasar pada
penolakan pada pengakuan dualism sebagai basis dari kondisi manusia; (3)
proposal dari sebuah alternative, sebuah paradigma perencanaan radikal yang
berdasarkan pada perubahan system, sosietas yang ter-desentralisasi, sosietas
komunal, fasilitasi dari pembangunan manusia dan kesemuanya yang tercakup
dalam konteks etika yang bersifat ekologi (lingkungan). Pada intisari yang
pertama, dimana perencanaan radikal adalah sebuah kritik terhadap
perencanaan mainstream mengklasifikasikan cirri-ciri perencanaan mainstream,
yaitu: (1) merencanakan berarti sebuah proses meng-elit-kan, (2) merencanakan
berarti melakukan pemusatan, dan (3) merencanakan berarti melakukan
penahan terhadap perubahan.
Sandercock juga mengemukakan 6 (Enam) prinsip dasar perencanaan
radikal (2003):
1. Greater reliance on practical wisdom.
Perencanaan radikal lebih memperlihatkan sebuah praktis dari kearifan
dan kebijaksanaan lokal.
2. Planning is less document oriented and more people-centered, with more
negotiated, political and focused plans.
Perencanaan lebih mengedepankan manusia daripada hanya sebuah
dokumen perencanaan, melalui lebih banyak lagi negosiasi dan kebijakan
yang difokuskan terhadap rencana.
3. Planners need to access other ways of knowing, examining experiential,
intuitive and contextual knowledges articulated through stories and other
media.
Perencana radikal mengedepankan pluralistik masyarakat, sehingga
seorang perencana radikal dituntut untuk lebih kreatif dalam melihat suatu
tema, topik dan akar permasalahan dari seluruh aspek atau pandangan
kondisi sosial masyarakat tersebut.
4. Greater community-based planning geared to empowerment and a
movement away from top-down approaches.
Erikson Roy Pratama S.
(NIM L2D 606 009) “Perencanaan Radikal”
Namun, dalam pembahasan paper ini, hasil analisis yang dilihat adalah
kritisi terhadap kelebihan dan kekurangan dari perencanaan radikal yang
disajikan dalam bentuk tabel berikut:
B. Penerapannya Di Indonesia
Melalui UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang, pemerintah
mulai didorong untuk menggalakkan perencanaan yang melibatkan peran
masyarakat (bottom-up), baik dalam perencanaan, pemanfaat hingga
pengendalian. Perencanaan radikal di Indonesia dibutuhkan perencana-
perencana yang bersifat kritis, kreativitas dan inovatif, serta dukungan penuh
oleh pemerintah.
Terlepas dari konsepsi diatas, praktek penyelenggaraan urusan publik
acap menciut ke arena-arena teknis atau -banyak orang menyebutnya sebagai-
blue print oriented yang tidak sensitif terhadap norma kemanusiaan. Selain itu,
banyak pihak meragukan apakah perencanaan publik itu benar-benar pernah ada
di negeri ini. Mengingat dalam realitanya, urusan publik acap menjadi bahan lobi-
lobinya para elit saja, yang kadang-kadang hanya tefokus pada pemenuhan
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Prosesnya sendiri nyaris tidak ’terjamah’
oleh kalangan masyarakat luas, khususnya kelompok marjinal. Sebagaimana
yang dipaparkan di atas, seluruhnya adalah manifestasi dari siklus politik-
ekonomi dan ideologi yang terjadi.
Banyak pihak yang optimis terhadap penerpan perencanaan radikal dalam
beberapa tahun terakhir ini. Indonesia berada di masa yang sangat bersejarah
dalam kehidupan sebuah bangsa. Setelah bertahun-tahun di bawah dominasi
penguasa, kini proses demokrasi telah dimulai. Harapan masyarakat agar suatu
masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis dapat diwujudkan, sangatlah
besar. Memang, mahal harganya yang harus ditebus bangsa ini untuk sampai
pada siklus saat ini. Meskipun demikian, kondisi tersebut telah memberikan celah
bagi setiap pihak di negeri ini untuk memulai perubahan. Fokus p43werhatian,
dalam hal ini, banyak dicurahkan kepada usaha-usaha perubahan untuk
memperkuat posisi rakyat atau publik yang selama ini hanya menjadi objek
alineasi negara. Sebuah perubahan yang dapat menjamin rakyat, terlebih
kelompok marjinal, memiliki ’tempat' yang adil dalam struktur sosial dan politik-
ekonomi.
C. Kesimpulan
Perencanaan radikal mengacu pada akar permasalahan (roots of
problems), dasar, topik, tema mengacu pada permasalahan yang dihadapi oleh
suatu masyarakat. Oleh karena itu, perencanaan radikal menolak dan tidak
melihat grand theory sehingga perencanaan radikal bertentangan dengan
perencanaan secara konvensional. Pelajaran yang dapat diambil dari
Perencanaan radikal adalah tahapan-tahapan yang tegas dan mengambil
keuntungan dari berbagai segi, tetap keras pada pengembangan visi namun
fleksibel pada pelaksanaannya, pengamatan yang menyeluruh dan berfokus
pada masyarakat, penggabungan antara ilmu dengan cerita sekitar (fakta di
lapangan) dan pengetahuan tradisional yang diutamakan, dan pembelajaran
kembali dengan melihat proses-proses yang telah terjadi. Hal ini menjadikan
Perencanaan Radikal adaptatif dan inovatif dan memiliki banyak kelebihan
disbanding model perencanaan lainnya