You are on page 1of 4

BEYOND IMAGINATION(1)(2)(3)

Widya Sawitar
Planetarium & Observatorium Jakarta

I. The Sky
For thousands of years, people have looked up at the beauty and mistery of the night-time
sky. Before the invention of movies, etc., people entertained them selves by observing the heavens.
Astronomy, the study of the heavens, is the oldest science known to humankind. Before we had
atlases, etc., the stars were our maps and even our calendars. They guided travellers through
mountains and deserts, and told us what time of the year it was. Even today, say – the sailors -, guide
them through vast oceans.
In constantly changing world, the stars reassure us because they ‘virtually never change’.
Tonight, when you look into the sea of stars, you will see the same stars which have awes people for
thousand years. At first glance, you see stars in no particular pattern. Just scatter across the sky.
Even, people in different parts of the world saw different pictures in the stars. But – however – people
since thousand years ago have indeed seen pattern made especially by the bright stars – known as
constellations. Joined up the stars – make line, like dot pictures – to tell stories of heroes, fantastic
beast or mythical encounters.
Sekedar cukilan dari cakrawala leluhur dalam kisah Manikmaya, “ Lumaksana sekar sarkara
‘mrih, pininta maya-maya ‘nggeng ulah, kang minangka pituture, duk masih awang uwung, ru-rung
ana bumi langit, nanging Sang Hyang Wisesa, ... saprakara dadya bumi langit, saprakarane teja dan
cahya, Manik Maya katigane, ...” yang dapat diterjemahkan bebas “Dibimbing oleh tembang sarkara
(dhandang gula), berharap keindahan dalam setiap (ulah/olah) laku atau kerja, kondisi saat masih
awang uwung (there is no thing, emptiness, but there is something rather than nothing), ... dst, ...
terjadilah bumi dan langit, teja dan cahaya, Manik dan Maya. Manik lebih dikenal dalam cerita wayang
sebagai Sang Hyang Guru (Manikmaya; sebutan untuk hari Kamis adalah hari Batara Guru);
sementara Maya adalah Sang Hyang Ismaya atau lebih dikenal sebagai Semar. Dari sini lahirlah
Batara Surya (Dewa Matahari; hari Minggu atau Raditya), Batara Candra (Dewa Bulan; hari Sari
Soma atau Senin), Bima (lahirnya istilah Bima Sakti dalam cerita Nawaruci), Kalarahu dalam mitos
gerhana Matahari dan gerhana Bulan, dsb.
Most of the names we use today are those which the Greeks gave them. For example, like the
Zodiac. But as a note – the observations of the ancient provided the foundation of modern astronomy.
And every parts of the world have their own cultural observations.
Pada batas cakrawala tertentu, harus diakui sudah banyak ragam benda langit dikenal di
segenap pelosok alam raya. Namun, jagad raya yang hanya dua kata ini ternyata mengandung bukan
sekedar ujud fisik semata. Unsur keindahan - harmoni yang dikandung pada ujudnya begitu terasa.
Ragam bentuk dan warna menyiratkan nuansa seni tiada banding. Belum lagi bila menyimak aneka
aspek lainnya. Tulisan singkat ini sekedar memperkenalkan sezarah aspek dari gagasan mengenai
awal ke-terjadi-an alam semesta; sebagai sebuah undangan untuk kontemplasi, untuk minimal lebih
mengagumi dan menghirup dalam-dalam aroma samudra rahmat yang begitu indah.

II. Star Meditation


What do you see on the Moon – the closest to our beautiful planet – the Blue Planet? One of

1
Tulisan ini jauh dari sebuah makalah, sekedar catatan perjalanan dari sebuah pencarian,
sekedar sezarah usaha untuk berkontemplasi ataupun menangkap gema permenungan.
2
Adapun bahannya telah disampaikan pada Amateur Astronomy Workshop and Training for
High School and Star Party in Conjunction with The 9th ASIAN-PASIFIC IAU REGIONAL
MEETING (APRIM 2005) dan digabung dengan makalah Premana W. Premadi, PhD (font:
Script). “Alam Semesta dan Eksistensi Manusia: Sebuah Undangan Untuk Kontemplasi”
yang disampaikan di kuliah umum di ITB bulan Mei 2007 dan dalam Kurikulum Pendidikan
untuk Membangun Pola Pikir Saintifik (Educational Curricula and Universe Awareness)
serta artikel “Sekilas Kosmologi – Sebuah Undangan untuk Kontemplasi” 2008. Sementara itu
tentang Manikmaya: Wayang – Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Ir. Sri Mulyono, CV
Haji Masagung, 1989, p.181
3
Disajikan dalam acara “100 Hours of Astronomy – IYA2009 Cornerstone Project” yang
diselenggarakan atas kerjasama Planetarium Jakarta dengan Himpunan Astronomi Amatir
Jakarta (HAAJ) di Planetarium dan Observatorium Jakarta pada tanggal 4 April 2009.
the most quietly electrifying experiences is to go outside – look at the Moon. Then realize that men
have been there – walking on the Moon.
There is nothing quite as awesome as lying on your back on a clear evening to gaze at the
sea of myriads of stars in the heaven. Imagine billions sparkles of heaven’s candles like fireflies. Seen
like spread of powder. Pick a comfortable spot outdoors and keep warm in a sleeping bag or blanket.
Look at the sky and feel the smallness of your body resting on our spinning world – the Earth. Feel the
power and warmth of each star. Imagine how big they are, how bright indeed. What possible other
solar systems might exist around. What energy has created this universe? Is the universe actually
infinite or just only very large? What role do you play in all this activity? At this time, at that time, at one
time, at the same time. What time is it? Please, - tell me about time. Yap, ... time will tell.
Imagine now, we are in the late of night and start to see a new day dawning. The sky’s starting
bright because the Sun will rise – means the day is coming. The Sun shine so brightly that all fireflies
to be disappeared. So, I will say “Good morning”.
But, one night in the early 1600s Galileo got excited of using his telescope to spot and pointed
it to the heavens. Suddenly the Moon had mountains, ‘the Medicean Stars’ a fleet of moons encircled
Jupiter. Since this moment, people would never again gaze at night sky in the same way. Like open
the windows of the sky, there’s the hidden universe. This is one of most fascinating chapters in history
of astronomy. Saw ‘great, unusual and remarkable spectacles’ such as no man had seen before.
“Selalu ada rasa terpesona saat kita memandang langit malam yang bertabur bintang dan rasa
ini telah membangkitkan berbagai inspirasi yang artistik maupun spiritual sepanjang peradaban
manusia. Namun, ketika kita paksa pandangan kita untuk menerobos lebih dalam dan mengikuti
bentangannya, alam semesta kita menampakkan dirinya sebagai sosok yang maha luas, dingin, gelap,
dan terlalu jauh untuk punya hubungan apapun dengan kita.”

III. The Solar System


The Solar System is the Sun’s family. Against the ‘fixed’ background of stars, ancient
astronomers observed the Sun, the Moon, and five ‘wandering star’ termed planets – fellow members
of the Solar System. We can see them all by our naked eyes. The stars seem to twinkle, but the
planets have steady glow. The Solar System also contains bodies of lesser importance – about 166
moons or satellites, among them is our Moon. Also sometimes, there’re stars with tails named comets
which are not really stars. Some other time, you can see streaks of light appeared across the sea of
stars, what we call shooting stars or falling stars, known as meteors. The other members of the
Kingdom of the Sun, like asteroids or minor planet, and a great deal of interplanetary dust, etc.

IV. Space Travel


What stars are like? In fact, they are really big. They are bodies like our Sun, made up of very
hot glowing gas. They give energy as light, heat, and other forms of radiation. The only reason stars
appear to be so tiny is because they are so far away.
Some stars look brighter than others. But a star that looks bright may not really be brighter
than a star that looks dim. The star that looks dim might be a truly bright star that is a long. The star
that looks bright might be a truly dim star that is quite close to us.
Now imagine you could ride in a star-ship that could travel at the speed of light, about 300.000
kilometres per second. It would take you just eight minutes and 11 seconds to travel to the Sun. But it
would take you more than 4 years to reach the nearest star in Alpha Centaury System. It is said, the
distance of this star is about 4 light years. Or you could make a scale. If the distance between the Sun
and the Earth is 1 meter, so the dwarf planet – Pluto is about 40 metres. And the nearest star Alpha
Centaury is about 280 kilometres ... Wow!.
Now, you could imagine like this. Astronaut Neil Armstrong planted the first footprint on the
Moon on 20 July 1969. This Manned Spacecraft to the Moon – known as Apollo 11 went to the orbit
around our satellite after three-day journey from Earth. But if you would take the same spacecraft to
the nearest star, you have to build the room within the spacecraft, furnished with some sofas which are
so comfortable. You could enjoy your breakfast, experience a superb lunch, afternoon tea, or a
romantic dinner accompanied by live music – just for 100.000 years ... Ufps!
“Nyatanya, memang untuk menjelajahinya bukan hanya memerlukan dana yang luar biasa
besar, tetapi juga kerap meminta nyawa sebagai taruhannya, karena kita tak tahu, di luar Bumi di mana
lagi manusia dijamin dapat hidup aman. Memperhatikan persepsi ini, sebagian kalangan pemikir
berpendapat bahwa alam semesta tidak memiliki arti, bahkan merupakan antitesis dari kehidupan di
Bumi, yang menurut mereka hanyalah suatu produk sesaat dari serentetan proses alami yang juga tidak
memiliki arti dalam alam semesta ini. Proses-proses itu sendiri tampak tidak peduli pada nilai

2
produknya; proses-proses itu seolah-olah hanyalah serangkaian urutan kerja yang mekanistik semata.
Sepanjang abad ke-20 diakumulasi banyak hasil pengamatan astronomi yang mengkonfirmasi
bahwa alam semesta ini sangat kaya dan memang sangat besar, dan masih terus mengembang.
Galaksi-galaksi pengisi alam semesta bergerak menjauh satu dari yang lain mengikuti
mengembangnya alam semesta, dengan kecepatan yang semakin besar dengan bertambahnya jarak
antar mereka. Artinya, ukuran besar alam semesta ini berasosiasi dengan umurnya. Bahwasanya alam
semesta sekarang sangat besar menunjukkan ia sudah sangat tua. Apa hubungan antara ukuran dan
umur alam semesta yang belasan milyard tahun ini dengan eksistensi manusia?”

V. The Boundless
The Sun as a star – like all of us – has many friends. No astronomers have been exactly able
to count them. Just estimate, may be 400 billions stars. Make a group or family known as Milky Way
Galaxy. This is also the name of the white band of faint light that arched across the heaven that could
be seen with the naked eyes. We can see on a really dark night, free from air and light pollutions.
Now you could imagine about how big the Milky Way? If you take a non-stop journey, in
straight line path, with maximum speed with Apollo 11 from one edge across to the other edge (the
diameter), you need indeed 2.5 billion years.
From our corner of the universe, we really see the islands of stars. Universe, indeed, made up
of galaxies travelling through space – billions of them, spread all over the universe.
Many astronomers believe that the universe was born about 12 billion years ago. Started with
a gigantic explosion, and known as the Big Bang. Since then, the universe is expanding and still
expanding even this time.
”Ukuran alam semesta yang amat besar ini memang terasa terlalu besar untuk kehidupan kita
di Bumi. Bisa jadi hidup manusia akan tetap nyaman seperti sekarang seandainya ukurannya hanya
sebesar galaksi Bima Sakti (Milky Way). Namun, waktu yang dibutuhkan alam semesta untuk
mengembang hingga seukuran Milky Way hanyalah sekitar satu bulan. Dalam umur alam semesta
yang hanya satu bulan ini sama sekali belum sempat terjadi pembentukan bintang, apalagi untuk
memulai reaksi termonuklir di dalam bintang. Bintang memerlukan 10 milyard tahun untuk
menjalankan proses ini, artinya alam semesta minimal berumur 10 milyard tahun, dan selama itu alam
semesta terus mengembang dan suhunya menurun. Walhasil, tidak mengherankan bahwa alam
semesta tampak besar, tua, dan dingin. Alam semesta memerlukan belasan milyard tahun semenjak
saat lahirnya untuk mempersiapkan dirinya menerima kehidupan, kita semua ini, di dalamnya. Di titik
ini kita berhenti sebentar untuk membayangkan sekaligus refleksi: betapa istimewanya kehidupan;
begitu luar biasa persiapan alam semesta sebelum dapat membentuk kehidupan dan menyediakan
akomodasi yang layak bagi kehidupan.”

VI. The Living Void ? Sebuah Pertimbangan


The possibility that other life-forms may exist in the universe – and that we may one day
contact them – has been staple of science fiction novels for a century or more. But now, however, the
subject has moved out of the realms of fiction. By asking question about the formation of planets,
astronomers hope to learn more about the nature of life and the chances of its recurrence elsewhere.
We hope to see all of these at all the corners of the universe through all the windows of the
sky – after that we could see a wonderful metaphor for bridging unimaginable magical moment in the
universe. Likes you are opening a cosmic filing cabinet.
Dari hasil di atas tampak bahwa alam semesta begitu dinamis. Penemuan demi penemuan
terus terjadi. Inipun tentu alam semesta yang sekedar dapat diamati oleh manusia dengan segala
peranti yang ada pada saat sekarang. Bahkan kumpulan data yang telah diperoleh, baru sedikit yang
bisa diolah. Masih begitu banyak data yang menanti untuk diteliti. Berharap dengan semakin
berkembangnya iptek, termasuk jaringan kerjasama yang terkait dengan astronomi dan berbagai
bidang keilmuan lain, tentunya rasa optimis untuk semakin menambah wawasan mengenai jagad raya
dengan segala isi dan fenomenanya serta ragam aspek yang menyertainya seharusnya perlu
dikedepankan pada generasi masa yang akan datang. Namun, satu hal yang tidak bisa
dikesampingkan bahwa seluas-luasnya jagad raya tentunya tidak mungkin lebih luas dari luasnya
kekuasaan yang menciptakannya.
Dalam taraf ini, dari sekian rajutan temuan yang semakin mencengangkan, dapat dikatakan
hanyalah sebagai satu langkah awal pemikiran ke tahap yang terasa begitu agung ataupun wacana
yang penuh misteri tentang eksistensi kehidupan kita semua. ”Temuan ini membongkar lagi ide
tentang alam semesta yang tidak memiliki arti. Lebih dari itu, temuan ini justru menghidupkan lagi

3
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sejak dulu ditanyakan manusia: asal-muasal alam semesta dan
hubungannya dengan manusia. Alam semesta yang keadaan awalnya, sampai batas tertentu, dapat
ditelusuri, dan segala macam proses di dalamnya menunjukkan keteraturan yang terpelihara,
mengindikasikan adanya kaidah yang fundamental yang dipatuhi oleh alam semesta. Adanya kaidah
ini mengundang ide akan kehadiran sesuatu yang kedudukannya normatif dan menggiring ide kepada
sesuatu yang transendental. Pertanyaan tentang Tuhan, dalam hubungannya dengan penciptaaan alam
semesta, pertanyaan tentang maksud adanya alam semesta, dan hubungannya dengan kehidupan
manusia, bangkit kembali, dan diajukan dengan membuka koridor pemikiran yang baru. Temuan-
temuan saintifik tidak meniadakan pertanyaan tentang Tuhan dan iman religius, tetapi justru
menyediakan gagasan-gagasan penajaman dalam substansi mendasar secara investigatif dan universal.
Para astrofisikawan memperhatikan segala sesuatu yang indah yang tampak dalam alam
semesta ini, dan mencari pertanda-pertanda di antaranya yang dapat menghantarkan ke pemahaman
akan kaidah yang fundamental, hakiki, yang melatarbelakangi itu semua. Sementara pekerjaan harian
di muka Bumi memanfaatkan kaidah fisika untuk keperluan kehidupan manusia di Bumi, astronomi
justru ingin menelusuri kaidah itu sampai ke akarnya. Proses pencarian dan pengenalan yang
kompleks, yang acapkali membentur manusia pada eksistensinya sendiri, dan memaksa kita untuk
menerima batasan realita yang dapat kita akses dan deskripsikan. Walaupun demikian, sungguh
mengesankan dan mengagumkan bahwa alam semesta yang besar ini, hingga batas tertentu, dapat
dideskripsikan, bahkan dapat diformulasikan dengan logis dan lugas. Tidak kalah mengesankannya
adalah bahwa manusia memiliki kesadaran serta kemampuan untuk merasa dan menalar. Kenyataan
ini menjadi konsiderasi penting bahwa alam semesta ini, termasuk kita, ada dengan tujuan untuk
dimengerti. Sains menawarkan jalan menuju ke pemahaman ini, mendorong terungkapnya dimensi-
dimensi yang masih tersembunyi, untuk menalar realita sebatas domain kerjanya. Selebihnya, terserah
pada kita, bagaimana kita manfaatkan sains sebagai basis dan kita aktifkan fungsi transendental kita
untuk menggapai Yang Maha Mulia yang ilmuNya tidak tertampung bahkan dalam alam semesta yang
maha luas ini.” Pada tahapan ini, mungkin untaian kata (atau rumusan) menjadi tidak bermakna,
karena pada ujungnya adalah ”feel amazement” seperti yang diekspresikan oleh Einstein berikut:

The fairest thing we can experience is the mysterious.


It is the fundamental emotion which stands at the cradle of true science.
He who knows it not, and can no longer wonder,
no longer feel amazement, is as good as dead.
(Albert Einstein)

- - - - - Salam WR - - - - -

You might also like