You are on page 1of 17

INFEKSI VIRUS DENGUE

PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferientiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah dengue disertai
syok (dengue shock syndrome)1,2.Manifestasi klinis yang bervariasi menunjukkan
fenomena gunung es dimana DBD dan DSS sebagai puncaknya sedangkan kasus dengue
ringan dan demam dengue merupakan dasarnya,1,2 Perjalanan penyakit sering sukar
diramalkan dimana sebagian kasus dengan renjatan berat dapat disembuhkan walau
hanya dengan pengobatan sederhana sedang sebagian lain datang dengan kasus ringan
tetapi meninggal dunia dalam waktu singkat walau telah mendapat perawatan dan
pengobatan intensif 2.

DEFINISI
Infeksi virus dengue ialah suatu infeksi Arbovirus akut, ditularkan oleh nyamuk
spesies Aedes, dan sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe di Indonesia, yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 2,4,5.
Demam dengue adalah merupakan sindrom jinak yang disebabkan oleh arbovirus
dengan karakter demam bifasik, mialgi atau athralgia, rash, leukopenia dan
limfadenopati1,4.
Demam berdarah dengue dalah suatu demam berat bahkan sering fatal yang
disebabkan virus dengue dengan karakteristik yang timbul akibat peningkatan
permeabilitas kapiler, hemostasis yang abnormal, dan pada beberapa kasus berat sindrom
syok (DSS) akibat kehilangan protein yang berhubungan dengan meningkatnya reaksi
imunologis 1,3,5.
Dengue shock syndrome adalah demam berdarah dengue yang disertai renjatan3

VEKTOR

1
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32 OC dan
kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor utama
untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang
siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00), jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan
oleh nyamuk betina yang terinfeksi.

CARA PENULARAN

Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui gigitan.
Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya seperti
makrofag, monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah putih dan
jaringan limfatik. Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah. Di tubuh manusia virus
memerlukan waktu masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit.
Nyamuk kedua akan menghisap virus yang ada di darah manusia. Kemudian virus
bereplikasi di usus dan organ lain yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah
nyamuk. Virus bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap
ditularkan kembali kepada manusia lainnya. Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik
yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).

EPIDEMIOLOGI

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse
koorts) kadang juga disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian
karena demam yang terjadi menghilang dalam 5 hari disertai dengan nyeri pada sendi,
nyeri otot, dan nyeri kepala.

2
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan kemudian
disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat
penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di
daerah pedesaan.

Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur yang


paling sering terkena ialah 5 – 14 tahun walaupun saat ini makin banyak kelompok umur
lebih tua menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-
25/100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna < 2%.

PATOFISIOLOGI
Mekanisme sebenarnya tentang patogenesis, patofisiologi, hemodinamika serta
perubahan biokimia pada DHF/DSS hingga kini belum pasti, karena sukarnya mendapat
model binatang percobaan yang dapat digunakan untuk menimbulkan gejala klinis seperti
pada manusia.
Sebagian besar ahli masih menganut The Secondary Heterologous Infection
Hypothesis atau The Sequential Infection Hypothesis yaitu demam berdarah dengue
dapat terjadi setelah seseorang terinfeksi virus dengue pertama kali mendapat paparan
ulang dengan tipe virus yang berbeda(2,3,4), dalam jangka waktu tertentu yang berkisar
antara 6 bulan-5 tahun3.
Menurut teori ini (Suvatte-1977), akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang
berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti-dengue yang rendah, maka
respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan trasformasi limfosit imun dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG
anti dengue. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi pula dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus-antibodi kompleks) yang
selanjutnya:2,3
 Akan mengaktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi
C3 dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah dan

3
menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan yang tidak
ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan , asidosis
metabolik dan berakhir dengan kematian.
 Dengan terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah akan
mengakibtkan trombosit kehilangan fungsi agregasi dan mengalami
metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh system RE dengan akibat terjadinya
trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit yang mengalami
metamorfosis akan melepaskan factor trombosit 3 yang mengaktivasi sistem
koagulasi.
 Akibat aktivasi factor Hageman (XII), yang selanjutnya juga mengaktivasi sistem
koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravascular yang meluas. Dalam
proses aktivasi ini maka plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang
berperan pada pembentukan anafilaktoksin dan penghancuran fibrin menjadi
Fibrin Degradation Product (FDP).
Disamping aktivasi factor XII akan menggiatkan juga sistem kinin yang berperan
dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. Menurunnya factor
koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan


DHF dari demam dengue ialah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni dan diatesis
hemoragik. Pada kasus berat , renjatan terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah(3,9),
Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan demam dan
mencapai puncaknya pada masa renjatan, pada renjatan berat volume plasma dapat
menurun sampai dari 30%3. Jadi perdarahan massif pada DHF disebabkan oleh
trombositopenia, penurunan factor pembekuan (akibat koagulasi intravascular
deseminata), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

4
MANIFESTASI KLINIS

Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari) 5, kepustakaan lain
1-7 hari 1. awal penyakit biasanya mendadak, disetai gejala prodromal meliputi nyeri
kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil dan malaise. Terdapat
trias yaitu demam tinggi, nyeri anggota badan dan timbul ruam 5. Ruam timbul pada 6-12
jam sebelum suhu naik pertama kali yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari,
kepustakaan lain menyebutkan 24-48 jam setelah timbul demam1. Ruam bersifat
makulopapular, generalis dan menghilang pada tekanan1,5.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala yang timbul mendadak disertai kenaikan
suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung, otot, sendi disertai rasa
menggigil. Beberapa penderita dijumpai demam bifasik atau menyerupai pelana kuda,
tetapi tidak dianggap patognomonik karena tidak dijumpai pada setiap pasien5.
Sering pula dijumpai anoreksia, obstipasi, rasa tak nyaman epigastrium disertai
nyeri kolik dan perut lembek. Dapat ditemui fotofobi, keringat bercucuran, serak, batuk,
epistaksis dan disuria. Kelenjar servikal sering dilaporkan membesar (Castelani’s sign)
dan dianggap sangat patognomonik. Manifestasi perdarahan jarang dijumpai.
Kelainan darah tepi berupa leukopeni selama periode prademam dan demam,
neutofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis pada
periode puncak penyakit dan pada masa konvalesen. Eosinofil menurun dan menghilang
pada permulaan dan pada puncak penyakit , hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama
periode demam, sel plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan
terdapatnya tombositopeni. Darah tepi menjadi normal kembali dalam satu minggu3,5.

Demam Berdarah Dengue


Ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi mendadak dan terus-
menerus, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran
darah3,5,6,7. Lama demam 2-7 hari6,7, suhu dapat mencapai 40-41°C7 Juga dapat ditemui uji
tourniket yang positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.
Epistaksis dan perdarahan gusi jarang ditemui terlebih perdarahan saluran cerna yang

5
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain seperti
perdarahan subkonjungtival kadang-kadang ditemukan. Pada masa konvalesen seringkali
ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki3,5.
Halstead dkk(1970) membatasi pada penderita dengan kelainan khas, yaitu
hipoproteinemi dan trombositopeni, sehingga tidaklah digolongkan sebagai DHF bila
penderita infeksi dengue dengan perdarahan hebat bila tidak ditemukan hipoproteinemi
dan trombositopeni3.
WHO menggunakan kriteria sebagai berikut untuk mendiagnosis demam dengue
dan demam berdarah dengue9 :
Demam dengue ditandai gejala klinis berupa demam diikuti ≥ 2 gejala : nyeri
kepala, muntah,nyeri perut, nyeri otot, nyeri sendi, rash; mungkin disertai manifestasi
perdarahan berupa uji tourniket positif dan/atau perdarahan spontan; tidak terbukti
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah, nilai hematokrit maksimal < 44%;
mungkin terdapat trombositopeni.3
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Gejala klinis berupa :5
Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet (+) dan salah satu bentuk
perdarahan lain (ptekie, purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh ndai lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤
20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg), disertai kulit
yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien
menjadi gelisah, dan timbul sianosis disekitar mulut.
Dari Laboratorium adanya peningkatan permeabilitas kapiler dengan nilai hematokrit ≥
20%; hitung trombosit mimimal ≤ 100.000/mm3.
Diagnosis pasti DBD = dua kriteria klinis pertama + trombositopenia + hemokonsentrasi
serta dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.

6
Dengue Shock Syndrome
Pada DSS setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-
tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
pada hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit
teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak
tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh
nyeri didaerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1996) mengemukakan bahwa nyeri
perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri daerah retrosternal
tanpa sebab yang jelas dapat memberi petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis yang
buruk. Disamping kegagalan sirkulasi syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil,
sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun sampai 20mmHg atau kurang dan
tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah3,5.

DIAGNOSIS
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih didasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria
laboratorik dengan syarat bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria
klinik pertama, dengan ketepatan diagnosis 70-90%2 atau 87%2345.
Kriteria Klinik 2,3,4,5,9:
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari, dengan
sebab tidak jelas dan hampir tidak dapat dipengaruhi oleh antipiretik maupun
surface cooling.
2. Manifestasi perdarahan :
1. Dengan manipulasi yaitu uji tourniket positif
2. Spontan yaitu petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
dan melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok yang ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak teraba, tekanan
nadi menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol, tekanan darah (sistolik)

7
menurun menjadi 80 mmHg atau sampai nol, disertai kulit yang teraba lembab
dan dingin terutama pada ujung jari tangan, kaki dan hidung, penderita menjadi
lemah, gelisah sampai menurunnya kesadaran dan timbul sianosis di sekitar
mulut.

Kriteria Laboratorik :
1. Trombositopeni : jumlah trombosit ≤ 100.000/mm.
2. Hemokonsentrasi : meningginya nilai hematokrit atau Hct ≥ 20% dibandingkan
dengan nilai pada masa konvalesen.

Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan
pengelolaan dan prognosis, maka WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat setelah
kriteria laboratorik terpenuhi yaitu:
Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniket positif.
Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan
lain.
Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi (sistolik ≤ 80
mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan
darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan kesadaran,
sianosis dan asidosis.
Derajat I dan II disebut DBD/DHF tanpa renjatan sedang derajat III dan IV disebut
DBD/DHF dengan renjatan atau DSS2,8

PENATALAKSANAAN
DBD derajat I
DBD derajat I tidak perlu dirawat inap, kalau orang tua bisa diajak kerjasama.
Prinsip penanganan adalah istirahat, diet TKTP, banyak minum, kalau perlu

8
antipiretik(parasetamol). Nasihat untuk kontrol, terutama bila timbul tanda yang tak
diinginkan atau panas tidak mau turun4.

DBD derajat II
DBD derajat II sebaiknya dirawat inap, mengingat kemungkinan timbulnya
perdarahan akut dan berkembangnya menjadi derajat III.4 Demam berdarah dengue tanpa
disertai renjatan pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suportif.meliputi2 :
- Pemberian cairan yang cukup. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan
dehidrasi akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita perlu diberi minum
sebanyak mungkin (1-2 L dalam 24 jam) berupa air the dengan gula, sirup atau susu.
Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit.
- Antipiretik. Seperi golongan Asetminofen, jangan memberikan golongan salisilat
karena menambah perdarahan.
- Surface cooling
- Antikonvulsan. Bila penderita kejang dapat diberikan diazepam(valium) atau
fenobarbital(luminal). Anak berumur lebih dari satu tahun diberikan luminal 75 mg dan
dibawah satu tahun 50 mg secara IM 3. bila dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti
pemberian luminal diulang dengan dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas satu tahun diberikan
50 mg dan dibawah satu tahun 30 mg dengan memperhatikan adanya depresi fungsi
vital(pernafasan,jantung).
Pemberian Intravenous fluid drip (IVFD) pada DBD tanpa renjatan dilaksanakan apabila:
1. Penderita terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberikan makanan peroral,
sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya dehidrasi dan asidosis.
2. Nilai hematokrit cenderung terus meningkat.

DBD dengan renjatan2


Prinsip pengobatan meliputi: atasi segera hipovolemi; lanjutkan penggantian
cairan yang masih terus keluar dari pembuluh darah selama 12-24 jam , atau paling lama
48 jam; koreksi keseimbangan asam-basa; beri darah segar bila ada perdarahan hebat

- Mengatasi renjatan.

9
Sebaiknya diberikan cairan kristaloid yang isotonis atau yang sedikit hipertonis.
Cairan yang dapat dipakai: Ringer Laktat(RL); Glukose 5% dalam half strength NACL
0,9%; RL-D5, dibuat dengan menambahkan 6,25 cc RL dengan 6,25 cc D40%; atau NaCl
0,9% : D10% ditambahkan Natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 2 cc/kgBB.
Plasma/plasma ekspander. Diperlukan pada penderita renjatan berat atau bila
tidak segera mengalami perbaikan dengan cairan kristaloid diatas. Bila dapat cepat
disiapkan , diberikan sebagai pengganti cairan pertama lalu setelah itu cairan pertama
dilanjutkan lagi. Bila setelah pemberian cairan pertama nilai hematokrit masih tinggi dan
hitung trombosit masih rendah. Dosis 10-20 cc/kgBB dalam 1-2 jam. Bila nadi/tekanan
darah masih jelek atau Ht masih tinggi, dapat ditambahkan plasma 10 cc/kgBB setiap jam
sampai total 40 cc/kgBB. Yang digunakan seperti Plasbumin (Human albumin 25%),
Plasmanate (plasma protein fraction 5%), plasmafuchsin, Dekstran L 40.
Dosis/kecepatan pemberian cairan kristaloid. Dosis yang biasa diberikan ialah 20-
40 cc/kgBB diberikan secepat mungkin dalam 1-2 jam. Untuk renjatan yang tidak berat,
cairan diberikan dengan kecepatan 20 cc/kgBB/jam dan dapat diulang hingga 2 kali,
bahkan bila vena kolaps dimana pemberian yang diharapkan tidak dapat dicapai, maka
dapat diberikan dengan semprit secara cepat sebanyak 100-200 cc. Untuk menentukan
guyur tidaknya pemberian cairan, maka dilakukan pengukuran central venous pressure
(CVP/JVP) dengan pemasangan kateter vena sentralis biasanya pada v. Basilica lengan
kiri atau kanan, apabila nilai kurang dari 5 maka cairan diguyur sampai nilai=5 dan
dipertahankan antara 5-8 cm H20.

- Cairan maintenance 2
Jenis cairan yang dapat diberikan:
1. D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1
2. D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10 mEq, Vitamin B
komplek dan vitamin C secukupnya
3. D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam serum tinggi
4. NaCl 0,9 : D10 aa
5. ⅔ cairan kristaloid + ⅓ cairan plasma ekspander

10
Atau cairan rekomendasi dari WHO ,berupa: 6
1. Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)
2. Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat (D5/RA)
3. NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam faali (D5/GF)

- Kecepatan/Dosis cairan maintenance


Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium
penyembuhan, maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara hati-hati karena dapat
terjadi hipervolemia, hal ini karena cairan yang terdapat di ruang ekstravaskular mulai
direabsorbsi kedalam vascular. Dosis yang sering digunakan ialah 100-150 ml/kgBB/24
jam.

- Tranfusi darah
Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis, melena atau
epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48 jam setelah pengobatan
renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi walaupun belum terlihat perdarahan; pada
kadar hematokrit yang rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20 ml/kgBB,
dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus. Pada perdarahan gastrointestinal hebat
(kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht sedang perdarahan sendiri tidak
kelihatan)3.

- Obat-obatan
Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder, sebagai
profilaksis. Dapat digunakan : Ampisilin 400-800 mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x
5mg/kgBB/hari IV.
Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin bermanfaat pada
stadium dini.
Heparin. Kho dkk.(1979) memberikan heparin pada penderita prolonged shock
dimana DIC diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan trombosit < 75000/mm³
dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB IV tiap 4-6 jam. Sedang menurut
Sumarmo (1981) pemakaian heparin kurang mengesankan.

11
Kortikosteroid. Penggunaannya belum ada kesepakatan.
Dipyridamol dan asetosal. Maksud pemberian obat ini adalah untuk mencegah
adhesi dan agregasi trombosit dalam kapiler, pula mencegah permulaan terjadinya DIC.
Sumarmo (1983) tidak menganjurkan pemakaian asetosal pada penderita dengan
kecenderungan perdarahan.
Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti menggunakan obat
ini pada penderita DSS yang disertai dengan perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara
kerja obat ini adalah menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki
aktivitas plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk. (1986)
serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan cara berikut:
Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu dengan dosis 300 mg/hari
dalam larutan RL selama 24 jam.
Hari II : infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari
Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari
Hari IV : pemberian obat dihentikan.
Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan kebocoran plasma dan
mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro dkk.(1987) di Semarang tidak mendapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan yang belum
dapat teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat. Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV
setiap 4-6 jam.
Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang amat gelisah dan
kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50
mg/kgBB Oral atau Rektal hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr)
Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS dengan muntah-
muntah hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas dan disebabkan oleh pembesaran
hati yang progresif.
Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x sehari bila ada
tanda/gejala overhidrasi.
Digitalisasi. Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan gejala/tanda
kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I

12
- Observasi penderita4
Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk mencapai
keberhasilan.meliputi :
 keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ dalam), rasa lemas,
keringat dingin, kesadaran.
 TTV dipantau tiap jam dengan chart
 Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
 Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura, pernafasan
kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
 Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal (keberhasilan therapy)
 Laboratorium
- Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin jarang sampai 1 atau 2
kali per 24 jam bila keadaan membaik.
- Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari.
- Plasma protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma
- Kemungkinan DIC : masa perdarahan, masa pembekuan, trombositopeni,
morfologi eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet cell), bila ada perdarahan
merembes.

- Kriteria Memulangkan Pasien 5


Pasien dapat dipulangkan, apabila:
 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
 Nafsu makan membaik
 Tampak perbaikan secara klinis
 Hematokrit stabil
 Tiga hari setelah syok teratasi
 Jumlah trombosit > 50.000/μl
 Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
KOMPLIKASI 2,4

13
Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok ringan/berat, syok berulang, kegagalan
pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi pleura, asites, ensefalopati dengue,
kegagalan jantung, sepsis.

PROGNOSIS 2
Tergantung dari beberapa faktor seperti : lama dan beratnya renjatan, waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan; ada tidaknya rekuren syok yang terjadi terutama
dalam 6 jam pertama pemberian infus dimulai, panas selama renjatan, tanda-tanda
serebral.

ENSEFALOPATI DENGUE

14
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan tentang penderita DBD yang
disertai gejala ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara
dan Pasifik Barat. 10

GEJALA KLINIS

Didapatkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapat disertai


5
kejang. Dari beberapa contoh kasus ensefalopati dengue yang dilaporkan, ternyata
kadangkala para dokter sangat terpukau oleh kelainan neurologis penderita sehingga
apabila tidak waspada, diagnosis DBD/DSS tidak akan dibuat. Data itu juga memberikan
suatu keyakinan bahwa DBD perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding terhadap
penderita yang secara klinis didiagnosis sebagai ensefalitis virus. Contoh kasus
ensefalopati dengue memperlihatkan betapa bervariasinya gejala klinis penderita DBD
dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh WHO (1975) tidak selalu dijumpai. 10

PATOFISIOLOGI

Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan metabolik, dan
disfungsi hati. Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan tetapi dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Kecuali kejang, gejala
ensefalopati lain tidak/jarang menyertai penderita DBD.10

PENATALAKSANAAN

Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3 dan
jumlah cairan harus segera dikurangi.
Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9 %:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis,
dexametason 0,5 mg/kgBB/x tiap 8 jam untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi
bila ada perdarahan sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati,
GDS diusahakan > 60 mg, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.

15
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. 5
Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah
dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obat-obat tersebut sudah menunjukkan tanda
resistan, maka obat ini dapat diganti dengan obat-obat yang masih sensitif dengan
kuman-kuman infeksi sekunder, seperti cefotaxime, cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat,
amoxilline+clavulanat, dan kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan
aminoglycoside. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya:
antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi
darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan
transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.5

KESIMPULAN

Tingginya persentase ensefalopati dengue pada golongan umur 1 -- 4 tahun (yaitu


pada golongan umur tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan
peningkatan kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu diperhatikan:
(1) pada setiap penderita demam disertai kejang dan penderita dengan diagnosis klinis
ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya manifestasi perdarahan, dan (2) sekiranya
penderita jatuh dalam renjatan, kita harus waspada terhadap kemungkinan DSS.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2, edisi bahasa Indonesia
edisi 15, Jakarta 1999.
2. Rampengan,TH; Laurentz,IR: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, EGC,Jakarta ,1993
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak,
Jakarta, 1985.
4. Komite medik RSUP DR SARDJITO. Standar Pelayanan Medis. Ed.2, Medika FK
UGM, Yogyakarta, 2000.
5. S, Sumarmo; Soedarmo, P; Gama H; S.H,Sri Rezeki , Ed. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi Dan Penyakit Tropis, Ed. Pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta, 2002
6. S.H, Sri Rezeki, Ed. Demam Berdarah Dengue “Pelatihan Bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak Dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Dalam Tatalaksana Kasus
Demam Berdarah Dengue”, FKUI, Jakarta, 2004.
7. www.bhj.org/journal/2001.4303.july01/review.380.htm [diakses 13 Agustus 2010]
8. www.sph.uq.edu.qu/acithn/thesis/Thein.html [diakses 13 Agustus 2010]
9. American Journal Tropical Medicine. Hyg. 70(2), 2004, pp. 172-179 [diakses 13
Agustus 2010]
10. Sumarmo, Demam Berdarah Dengue, Aspek Klinis dan Penatalaksanaan, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Cermin
Dunia Kedokteran No. 60, Jakarta, 1990

17

You might also like