Professional Documents
Culture Documents
KEKERABATAN
1
karik - ba'ik; dua-duanya dari kata Arab; karib - ba'id (dekat dan jauh), dalam
hubungan kerabat dekat dan kerabat jauh dalam banyak sisi dan arah..
kelahiran disebut induak bako atau yang pihak yang
dilahirkan, disebut anak pisang (lihat Gambar A dan C)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.( Q.S. 103-al'Ashr/3)
Untuk selalu saling menasehati dalam menegakkan kebenaran dan
saling tegur sapa dengan dan dalam kesabaran.
Lalu dalam pergaulan terwujud pula nan mudo dikasihi - nan tuo
dipamulia, samo gadang lawan baiyo, dan selalu bersekadu berbuat
kebaikan, mencegah hal-hal yang tak baik seperti yang diajarkan
oleh Rasulullah saw. "Bukanlah dari golongan kami, mereka yang
tidak menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menyuruh
berbuat baik, melarang berbuat kemungkaran ". (HR Turmudzi dan
Ahmad).2
NILAI KEKERABATAN
ilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat
N
dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau
yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan
yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak
dini oleh orang tua-tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga
seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai
bagian dari serta dapat dibanggakan oleh kerabatnya. Bila seorang
lelaki (mamak) merasa gagal menjadi sosok yang diperlukan dalam
kaumnya, bukan tak ada yang dengan sukarela meninggalkan
kampung halaman dalam sebutan ma itaman korong jo kampuang
2
DR Sayyid M. Nuh; terjemahan jilid 2, halaman 267.
sebagai tindakan baralah. Dengan demikian paham individualistis
(nafsi-nafsi) pada setiap orang Minangkabau akan terdesak
kebelakang bila orang sudah merasa bagian yang tak terpisahkan
dari kelompoknya dan iapun memerlukan kelompok tersebut, baik
sebagai tempat berlindung atau tempat uji coba kemampuan.
Ungkapan baralah atau mengalah dalam budaya Minangkabau
bukanlah kata tanpa makna sekaligus indikasinya. Setiap orang tua
(termasuk mamak) akan menanamkan sifat baralah atau
mengalah pada anak-anak/kemenakannya bila masalahnya
berhadapan dengan saudara-saudaranya yang lebih muda atau
yang belum memahami bagaimana mempergunakan hak-hak
individu dalam kelompoknya. Dan sering terjadi antara saudara lelaki
menghadapi saudara perempuannya. Namun pada saat yang sama
menanamkan juga pentingnya rasa kebersamaan di antara mereka
yang sekaum, sepusaka, sepandam sepekuburan tersebut. Bahwa
seseorang adalah bagian dari lainnya. Baik di dalam nan
saparinduan, (yang sekaum sepusaka - sepandam sepekuburan)
atau yang sepesukuan (yang sepayung penghulu), yang se surau, se
sasaran maupun yang se korong kampung – se tepian tempat
mandi, yang se nagari dan seterusnya bisa meluas ke yang
ba kuduang - nan bakaratan, basapiah nan babalahan
dalam kadar yang wajar.
Antara mereka yang berkerabat seperti itu, sudah
ditanamkan juga sejak kecil apa itu nan sa raso jo pareso, sa
ino sa main. Bahwa hanya saudara-saudaranya itulah
sebagai kerabat, yang akan membela kepentingannya bila
berhadapan dengan pihak luar. Seperti terungkap tagak di
korong mamaga korong, tagak di suku ma maga suku, tagak
di nagari mamaga nagari. Pepatah yang sering juga di salah
artikan, seolah memberikan pembelaan kepada saudara
atau kaum kerabat, meskipun yang bersangkutan ternyata
salah menurut ukuran umum. Sehingga masa kini pun
masih kita saksikan terjadinya cakak ba kampuang, ba
nagari hanya karena soal kecil. Rebutan sarang burung atau
buah jengkol, pesepadan dan sebagainya. Padahal untuk
memahami adagium itu perlulah merujuk pada kaidah
induknya yaitu: syarak mangato - adat mamakai. Sesuai
patron Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah. Dan
itu akan ditemukan dalam hadits Rasulullah saw.:
3
Sunan Al Tiimidzi; Hadits No. 2356, dengan nilai sahih.
4
Sahih Muslim; hadits no. 2213. teguran Nabi saw. dalam kasus perkelahian seorang
pemuda Muhajirin dengan pemuda Anshar, dan yang lainnya saling bersorak memberi
semangat mendukung kelompoknya masing-masing seperti masa jahiliyah.
terbuka) kepada korong, kampung, suku atau nagari, bila
menghadapi perlakuan sewenang-wenang dari pihak lain. Dan hadits:
Siapa saja diantara kamu yang melihat terjadinya sesuatu yang tidak
balk (sebuah kemungkaran) hendaklah ia mengubahnya dengan
kemampuan yang ada pada (tangan / kekuasaan) nya.5 termasuk
dalam pengertian ini.
Rasa malu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
budaya orang Minangkabau. Pas seperti yang diajarkan Islam, bahwa
malu adalah bahagian -yang tak terpisahkan dari iman-. Selain itu,
budaya Minangkabau ditegakkan juga di atas fundasi raso jo pareso
dan salang tenggang dalam pergaulan. Bahkan budaya
Minangkabau telah mengidentikkan tidak bermalu sama dengan
binatang. Ini dapat dilacak dari sebutan "co kambiang mangawan"6
terhadap lelaki-perempuan yang bergaul bebas secara terbuka di
tempat umum.
Di masa lalu, bila orang melihat seseorang berperangai tak
senonoh akan disebut indak bataratik Lalu orang akan menanyakan
kemenakan siapa, bukan anak siapa. Karena adalah tugas mamak
(kaum, korong, tungganai) untuk mendidik anak kemenakannya
bataratik atau kenal sopan santun. Dan 'rang semenda akan diberi
teguran oleh mamak rumah7 nya secara kias, bila anak-anaknya
berperilaku tak keruan (apalagi di tempat umum, memberi malu
mamak) supaya mendidik anak-anaknya selaku urang sumando
niniak mamak, bukan rang sumando apak paja (sekedar penyebab
kelahiran dalam korong orang).
Selain hal-hal diatas, nilai dan hubungan kekerabatan dapat juga
dideteksi dari berbagai adagium (pribahasa; pepatah; petitih;
bidal), a.l: di cancang pua8 - ta garik andilau9; (di cencang puar,
tergerak -tergoyang, tersinggung- andilau);
5
Ibidem No. 1540.
6
"co kambiang mangawan" (bagai kambing turut kawan, kejar-kejaran cari pasangan di
manapun).
7
mamak rumah; sebutan terhadap saudara lelaki istcri dari sisi seorang suami (rang
semenda) di suatu kaum, baik sekandung atau hanya sepesukuan.
8
pua; puar; sejenis kapulaga (banyak variasinya), dibeberapa nagari disebut salo.
9
andilau atau endilau; pohon dengan nama tatinnya Commersonis bartramia MERR.
Maksudnya adalah bila seorang anggota kaum dijadikan gunjiang
(disebut-sebut secara negatif; gosip) oleh pihak lain (misalnya
dalam tingkat kecamatan), maka seluruh anggota kaumnya,
bahkan kaum ayahnya dan anak pisangnya, termasuk orang
senagarinya akan merasa digunjing dan beroleh malu. Orang dari
suku lain pun sudah berhak memberikan teguran. Bila digunjing
dalam nagari, orang sesuku walau tidak sekaum dan sepusaka
dengannya akan tersinggung sehinga menumbuhkan hak
melakukan teguran. Radius atau lingkaran yang merasa tersinggung
akan meluas atau menyempit, tergantung tingkat apa sosok atau
tokoh yang digunjing. Jika sudah jadi tokoh nasional, maka yang
akan merasa malu adalah semua orang Minang atau yang merasa
turunan Minang. Kini bisa juga orang se Sumatera Baratnya.
Sebaliknya, ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi buah mulut, idola
dan tumpuan harapan banyak orang, ternyata adalah orang Minang
meskipun lahir di perantauan atau anak pisang dari orang Minang
yang sudah lama hilang menjadi Sutan Batawi, Rajo Medan atau
Rajo Palembang dsb.nya, akan menumbuhkan rasa bangga
meskipun dalam kadar yang berbeda di antara sesama orang
Minang. Tergantung hubungan jauh dekatnya dengan sumber
gunjingan.
Juga tergambar dalam pepatah: ilalang nan ta baka - si cerek10 ta bao
rendong; (hilalang yang terbakar, sicerek terbawa rendong);
Maksudnya, bila sesosok orang berbuat ulah. baik secara hukum
nasional (melakukan kejahatan) atau secara moral (melompat
pagar, menempuh rusuk jalan), maka seluruh kerabat atau sanak
famili yang bersangkutan pun merasa mendapat hukuman,
meskipun dalam bentuk menanggung malu. Namun perlulah
diungkapkan, bahwa maksud pepatah ini sama dan sebangun
dengan Firman Allah Swt:
(Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya secara khusus
10
sicerek (clausena cxavata); nama pohon kecil, daunnya biasanya dijadikan obat
tradisional;
menimpa mereka yang zalim (pelaku kejahatan) saja dari
kalangan (sekitar) kamu 11.
Nash yang menjadi dasar hukum untuk memberi kewajiban
(hak) kepada teman atau tetangga untuk melakukan nasehat,
teguran bahkan pencegahan secara langsung. Prinsip ini juga
terlihat dianut oleh Hukum Pidana12 yang berlaku di Indonesia,
meskipun warisan kolonialis Belanda. Akan dituduh dengan tindak
pidana membiarkan, bagi siapa yang melihat suatu kejahatan
dilakukan tanpa mencegah atau melaporkan pada yang berwajib.
Kedua pepatah di atas secara jelas mengabarkan pada kita
bahwa dalam hal dan kadar tertentu kita sebagai anggota kaum,
dalam suatu kekerabat yang luas atau sempit, bisa saja memikul
beban emosional, akibat suatu perbuatan pihak lain yang secara
pribadi bahkan tidak kita kenal pun. Dan kita bisa saja mendapat
beban risiko pahitnya, hanya yang karena yang menjadi sumber
masalahnya adalah orang Minang, anak pisang, induak bako, atau
mereka yang bersamaan suku atau nagari dan sebagainya.
Oleh karena dampak masalahnya begitu luas, maka setiap
individu orang Minang, baik sebagai orang sesama Minang, se
propinsi, se kabupaten, se kecamatan, se nagari, se suku dan
sebagainya beroleh hak penuh (secara moral dan alami) untuk
menyampaikan teguran atau nasehat supaya tidak mendatangkan
rasa malu pada pihak lainnya. Demikian dapat kita simak dari
pepatah salah basapo, sasek batunjuak-an, takahk bajagokan,
lupo manganakan dan seterusnya.
Dari hal-hal yang dikemukakan tersebut, kita akan melihat
adanya garis lurus hubungan budaya Minangkabau tersebut
dengan ajaran Islam sebagai sendi tempat tegaknya yang
menyebut bahwa pada diri kita ada hak orang lain.
11
Q.S. 8-al Anfal/25
12
Menurut catatan sejarah ilmu hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ini,
semula adalah konkordans dari KUHP Negeri Belanda, bersumber dari Code Napoleon,
sebelumnya di kutip dari Hukum-Hukum yang berlaku di Cordoba yang Islam.
dirimu sendiri punya hak atas tubuhmu, keluargamu punya hak
atas dirimu. Maka tunaikanlah dengan benar -semua- hak-hak
tersebut". (HR Bukhari)13 Atau dalam formula Minang akan disebut:
"nagari ka samo kito uni, jalan ka samo kito tampuah ". Maksudnya
adalah untuk mengingatkan masing-masing kita agar saling menjaga
diri dan prilaku supaya pihak lain tidak dirugikan.
Untuk menjaga ada dan ujudnya nilai-nilai kekerabatan dimaksud,
budaya Minangkabau memperlihatkannya dalam berbagai lambang
materi. Seperti rumah gadang (sebagai rumah tua milik bersama,
rumah asal, tidak hams beratap gonjong), pandam pakuburan,
sasok, surau, untuk kelompok kaum yang sepusaka atau
sepesukuan, balai adat, tapian, masjid dan sebagainya untuk
kelompok yang lebih luas tanpa ikatan rurunan. Malah
Singgalang, Merapi dan Kode Plat mobil (BA) pun dijadikan
lambang pengikat orang Minang secara keseluruhan.
Ill
ANCAMAN, TANTANGAN DAN PELUANG
1 . Ancaman Dan Tantangan.
ebelum ini, sudah dikemukakan bagaimana pola yang
terbentuk dan cara orang tua-tua masa lalu memelihara
hubungan kekerabatan menurut budaya - adat
Minangkabau, yang dilandasi pada raso jo pareso, sa ino samalu.
Atau dalam kalimat yang lebih lugas, tenggang-manenggang.
Dimasa lalu, hubungan kekerabatan itu cukup dapat dikawal oleh
ninik mamak peraangku adat, melalui berbagai instrumen
tradisional. Antara lain terpusatnya sumber mata pencaharian
anggota kaum (berupa harta pusaka), tatacara mencarikan jodoh
(suami) atau menerima lamaran (untuk isteri) bagi anak-kemenakan,
sekaligus sebagai ipar besan bagi kaum ada pada kewenangan
Mamak Kepala Wans. Dan hubungan kekerabatan yang dipelihara
13
Sayyid Muhammad Nuh; Aafaatvn 'Alath-Thariq; Darul Wafa, Mesir, Cet.V 1413 H/1993
M; sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Pcnyebab Gagalnya
Dakwah"; lihat jilid 1 halaman 30.
untuk membuat setiap individu dalam kerabat itu merasa, aman
dan diperlukan. Selain untuk mempertahankan diri sendiri dalam
kebersamaan, juga untuk melindungi serta keutuhan
kebersamaan dalam kekerabatan tersebut.
Tuah manusia sepakat, pai sabondong, pulang satampuah, barek
samo dipikua, ringan sanio dijinjiang. Begitu antara lain ungkapan
yang sering kita ucapkan dan diyakini sebagai patron kekerabatan
masyarakat Minangkabau. Dan nampaknya sejalan dengan ajaran
Islam atau memang bersumber dari ajaran Islam yang mengajarkan
betapa pentingnya kebersamaan umat., bila kita simak hadits Nabi
saw: