You are on page 1of 38

Bahan Kuliah Manajemen Pemasaran.

Menurut Susanto dan Wijanarko


(2004), dalam menghadapi persaingan yang ketat, merek yang kuat
merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan,
menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu
dalam strategi pemasaran (p. 2). Keller (1993) juga menyatakan bahwa
brand equity adalah keinginan dari seseorang untuk melanjutkan
menggunakan suatu brand atau tidak. Pengukuran dari brand equity
sangatlah berhubungan kuat dengan kesetiaan dan bagian pengukuran dari
pengguna baru menjadi pengguna yang setia (p. 43).

Beberapa pengertian brand equity adalah:

1. Susanto dan Wijanarko (2004), ekuitas merek adalah seperangkat aset


dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan
simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu
barang atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan (p. 127).

2. East (1997), “Brand equity or brand strength is the control on purchase


exerted by a brand, and, by virtue of this, the brand as an asset that can be
exploited to produce revenue” (p. 29).

Artinya ekuitas merek atau kekuatan merek adalah kontrol dari pembelian
dengan menggunakan merek, dan, kebaikan dari merek, merek sebagai aset
yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan.

3. Kotler dan Armstrong (2004), “Brand equity is the positive differential


effect that knowing the brand name has on customer response to the
product or service” (p. 292).

Artinya ekuitas merek adalah efek diferensiasi yang positif yang dapat
diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa.

Jadi brand equity adalah kekuatan suatu brand yang dapat menambah atau
mengurangi nilai dari brand itu sendiri yang dapat diketahui dari respon
konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual.

Menurut Soehadi (2005), kekuatan suatu merek (brand equity) dapat diukur
berdasarkan 7 indikator, yaitu:

1. Leadership: kemampuan untuk mempengaruhi pasar, baik harga maupun


atribut non-harga.
2. Stability: kemampuan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan.

3. Market: kekuatan merek untuk meningkatkan kinerja toko atau distributor.

4. Internationality: kemampuan merek untuk keluar dari area geografisnya


atau masuk ke negara atau daerah lain.

5. Trend: merek menjadi semakin penting dalam industri.

6. Support: besarnya dana yang dikeluarkan untuk mengkomunikasikan


merek.

7. Protection: merek tersebut mempunyai legalitas (p. 147).

Menurut Susanto dan Wijanarko (2004) yang mengadaptasi teori Aaker,


brand equity dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori:

a. Brand awareness

Beberapa pengertian brand awareness adalah sebagai berikut:

° Brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk


mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian
dari kategori merek tertentu.

° Menurut East (1997), “Brand awareness is the recognition and recall of a


brand and its differentiation from other brands in the field” (p. 29).

Artinya brand awareness adalah pengakuan dan pengingatan dari sebuah


merek dan pembedaan dari merek yang lain yang ada di lapangan.

Jadi brand awareness adalah kemampuan konsumen untuk mengingat suatu


brand dan yang menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan brand
lainnya.

Ada 4 tingkatan brand awareness yaitu:

1. Unaware of brand (tidak menyadari merek)

Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek,


dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.

2. Brand recognition (pengenalan merek)


Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat seorang
pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian.

3. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merek)

Pengingatan kembali terhadap merek didasarkan pada permintaan


seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk.

Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena


berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk
memunculkan merek tersebut.

4. Top of mind (puncak pikiran)

Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan


pengingatan dan orang tersebut dapat menyebutkan satu nama merek,
maka merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan puncak
pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari
berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen.

Ada 4 indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh


konsumen aware terhadap sebuah brand antara lain:

1. Recall yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengingat ketika ditanya


merek apa saja yang diingat.

2. Recognition yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengenali merek


tersebut termasuk dalam kategori tertentu.

3. Purchase yaitu seberapa jauh konsumen akan memasukkan suatu merek


ke dalam alternatif pilihan ketika akan membeli produk/layanan.

4. Consumption yaitu seberapa jauh konsumen masih mengingat suatu


merek ketika sedang menggunakan produk/layanan pesaing.

b. Perceived quality

Didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau


keunggulan suatu produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang

diharapkan.

c. Brand association

Adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah produk.


Asosiasi ini tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan.

Keterikatan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak
pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya.

d. Brand loyalty

Merupakan ukuran kesetiaan seorang pelanggan pada sebuah merek.


Loyalitas memiliki tingkatan sebagaimana dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

1. Tingkat loyalitas yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal atau sama
sekali tidak tertarik pada merek-merek apapun yang ditawarkan. Dengan
demikian, merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian.
Pada umumnya, jenis konsumen seperti ini suka berpindah-pindah merek
atau disebut tipe konsumen switcher atau price buyer (konsumen lebih
memperhatikan harga di dalam melakukan pembelian).

2. Tingkat kedua adalah para pembeli merasa puas dengan produk yang
digunakan, atau minimal tidak mengalami kekecewaan. Pada dasarnya, tidak
terdapat dimensi ketidakpuasan yang cukup memadai untuk mendorong
suatu perubahan, terutama apabila pergantian ke merek lain memerlukan
suatu tambahan biaya. Para pembeli tipe ini dapat disebut pembeli tipe
kebiasaan (habitual buyer).

3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun memikul biaya


peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau resiko sehubungan
dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek lain. Kelompok ini
biasanya disebut dengan konsumen loyal yang merasakan adanya suatu
pengorbanan apabila melakukan penggantian ke merek lain. Para pembeli
tipe ini disebut satisfied buyer.

4. Tingkat keempat adalah konsumen benar-benar menyukai merek


tersebut.

Pilihan konsumen terhadap suatu merek dilandasi pada suatu asosiasi,


seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakannya, atau kesan
kualitas yang tinggi. Para pembeli pada tingkat ini disebut sahabat merek,
karena terdapat perasaan emosional dalam menyukai merek.

5. Tingkat teratas adalah para pelanggan yang setia. Para pelanggan


mempunyai suatu kebanggaan dalam menemukan atau menjadi pengguna
suatu merek. Merek tersebut sangat penting bagi pelanggan baik dari segi
fungsinya, maupun sebagai ekspresi mengenai siapa pelanggan
sebenarnya(commited buyers).

e. Other proprietary brand assets

Adalah hal-hal lain yang tidak termasuk dalam 4 kategori diatas tetapi turut
membangun brand equity (pp. 127-134).

Sedangkan menurut Kim dan Kim (2004), brand equity meliputi 4 hal, antara
lain loyalitas merek, perceived quality, citra merek, dan brand awareness.

Bagi praktisi maupun orang-orang yang berkecimpung dalam dunia


pemasaran, Brand Equity adalah salah satu topik yang paling sering
dibicarakan . Bahkan, Stephen King, mengatakan bahwa: “Sebenarnya
brand-lah yang di beli konsumen dan bukannya produk atau layanan, karena
pada umumnya konsumen memiliki hubungan emosional yang kuat dengan
‘brand’ dan bukan pada produk atau layanan“. Selain itu Brand juga
membantu konsumen mengurangi kebingungan dalam memilih suatu produk
atau layanan.

Sebuah brand dapat dikatakan memiliki Ekuitas yang tinggi jika brand
mampu mengkapitalisasi pendapatan atau “cash flow” jauh lebih baik
dibanding jika tidak adanya brand. Dari penelitian Davis (2000), disimpulkan
bahwa –untuk brand yang dipilihnya–ternyata 72% konsumen mau
membayar harga lebih mahal 20%.

Lalu, bagaimana brand equity suatu produk dapat ditingkatkan?. Keller


(2000) mengajukan sebuah model “Customer-Based Brand Equity“. Model ini
di dasarkan pada 4 pertanyaan utama:

1.

Sejauh mana perusahaan mampu secara jelas dan detail merumuskan


“identitas” brand? (who are you)
2.

Sejauh mana perusahaan mampu mengembangkan suatu asosiasi yang


bagi konsumen mempunyai arti tertentu (what are you)

3.

Bagaimana tanggapan konsumen terhadap asosiasi yang brand


tawarkan? (what about you)

4.

Bagaimana interaksi yang terjadi antara brand dan konsumen yang


menyebabkan ikatan antara keduanya menjadi lebih kuat (what about you
and me)

Pertanyaan pertama terkait dengan bagaimana perusahaan mampu


merumuskan identitas brand secara jelas dan tepat. Identitas brand yang
tepat akan sangat penting karena berpengaruh pada brand awarenes. Untuk
itu beberapa hal yang berkaitan dengan peningkatan brand awareness
menjadi penting, seperti: Sejauh mana sebuah brand mudah dingat dan
dikenal? jenis ‘cues‘ dan ‘reminders‘ apa yang dipergunakan? apakah brand
mudah diucapkan? pada tataran yang lebih besar, keberhasilan membangun
brand awareness sangat tergantung sampai sejauh mana konsumen
mengerti bahwa brand tersebut dibuat sebagai pemenuhan kebutuhan
mereka.

Contohnya: rokok A Mild, dari sejak awal peluncurannya, identitas yang


digunakan adalah “Rokok yang tar-nya paling rendah“. Dari identias yang
dilekatkan ke brand A Mild tersebut, perokok yang memperhatikan
kesehatan di harapkan akan beralih membeli rokok dengan tar terendah,
yakni A Mild.
Ada 2 buah pendekatan yang dapat dipakai untuk mengembangkan identitas
brand, yaitu:

Fungsi utama dari brand itu sendiri.

Sampai sejauh mana brand itu mampu merepresentasikan personifikasi


dirinya.

Kedua pendekatan diatas dapat dijalankan secara bersama-sama. Contohnya


merek BMW. Pada satu sisi BMW di identifikasikan sebagai “The Ultimate
Driving Machine“, disisi pendekatan fungsi manfaat/ produk. Tetapi disisi
lain, merek BMW juga diidentifikasikan sebagai “Mobilnya Orang Sukses dan
Berjiwa Muda“.

Pertanyaan kedua terkait dengan sejauh mana konsumen mengerti serta


mempunya asosiasi yang positif terhadap brand. Asosiasi dapat dibentuk
dengan pendekatan performa produk / layanan (brand ferformance) atau
melalui pendekatan emosi / personifikasi (brand image). Kinerja sebuah
produk / layanan berdampak terhadap pengalaman apa saja yang dialami
oleh konsumen pengguna produk tersebut, apa yang mereka dengar tentang
produk tersebut, dan apa yang disampaikan oleh perusahaan kepada
konsumen tentang produk tersebut.

Mengkomunikasikan suatu produk atau layanan yang mampu memenuhi


kebutuhan konsumen adalah prasyarat penting untuk berhasil atau tidaknya
strategi marketing. Dan untuk dapat menciptakan loyalitas terhadap sebuah
brand, maka suatu produk / layanan harus melewati harapan dari target
pelanggannya. Ini berarti value equity merupakan dasar untuk membangun
brand equity yang kuat.
Jika brand ferformance berkaitan dengan kinerja /atribut yang melekat pada
produk / layanan, sedangkan brand image berkaitan dengan persepsi / style
dan tidak berkaitan langsung dengan produk atau layanan. Untuk contohnya:
profil pengguna dapat dipakai sebagai representasi dari citra ideal yang
diinginkan oleh target konsumen. Joshua kecil digambarkan oleh merek
Sakatonik ABC sebagai representasi anak yang cerdas dan berhasil. Brand
personality juga sering dipakai untuk mengekspresikan identitas dari si
konsumen. Pemilik Harley Davidson adalah mereka yang mengekspresikan
kejantanan dan kebebasan.

Terlepas dari pendekatan apa yang akan dipergunakan, asosiasi brand yang
akan dirumuskan harus dapat memenuhi 3 kriteria utama, ayitu:

Sejauh mana atribut yang dikembangkan mampu memperkokoh asosiasi


brand (strength).

Sejauh mana atribut yang dipakai mempunyai nilai dan disukai oleh
target market? (favourable)

Sejauh mana atribut itu dapat dibedakan dari asosiasi yang


dikembangkan oleh kompetitor (uniqueness).

Supaya dapat menciptakan brand equity, brand harus mempunyai asosiasi


yang kuat/ strength, disukai/ favourable dan unik/ uniqueness. Brand yang
kokoh biasanya memenuhi ketiga kriteria tersebut. Sebagai contoh: mobil
“kijang” secara konsisten terus memenuhi ketiga kriteria diatas dengan
menawarkan atribut antara lain: kelegaan, serbaguna, kenyamanan, pilihan
terbaik ekluarga, mesin yang bandel, jaringan servis yang luas dan yang
menarik adalah harga jual kembali yang tinggi.

Pertanyaan ketiga berkaitan dengan bagaimana reaksi konsumen terhadap


stimulus yang ditawarkan oleh brand. Informasi tentang reaksi konsumen ini
menjadi pertimbangan perusahaan dalam merumuskan asosiasi brand. Ada
dua macam reaksi atas brand, yaitu: atas apa yang dipikirkan konsumen
(brand judgements) dan apa yang dirasakan konsumen (brand feeling). Ada
4 Variabel yang dipakai pelanggan dalam mengevaluasi brand, yaitu:

1.

Kualitas;

2.

Kredibilitas; sejauh mana brand tersebut kredibel atas dasar tiga


pertimbangan, yaitu: memiliki keahlian (expertise), dapat dipercaya
(truthworthiness) dan disukai (likeability).

3.

Pertimbangan kebutuhan; yaitu konsumen mempertimbangkan apakah


brand tersebut sesuai dengan kebutuhannya atau tidak.

4.

Superior; sejauh mana keunikan brand tersebut dan dibandingkan


dengan brand lain apakah jauh lebih baik atau tidak.
Pertanyaan keempat lebih menekankan pada hubungan interaksi yang
positif diantara brand dan konsumennya (brand resonance). Interaksi
seperti ini diharapakan dapat mendorong pembelian ulang yang pada
akhirnya akan menghasilkan brand loyality. Jika konsumen terdorong untuk
melakukan pembelian ulang, maka semakin banyak orang yang melihat
bahwa brand tersebut dipergunakan, dan hal ini tentu akan menarik orang
lain untuk mencoba brand tersebut juga. Dan akan semakin banyak
konsumen yang juga pada akhirnya melakukan permbelian berulang
terhadap brand atau produk tersebut. Jika suatu produk / brand ternyata laris
manis di pasaran maka akan membuat pemilik toko untuk menyimpan lebih
banyak produk/ brand tersebut ditokonya sebagai persediaan stok, dan hal
ini akan membuat brand tersebut makin mudah di dapat dan tersedia
dimana-mana.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa untuk meningkatkan brand


equity, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh perusahaan. Brand yang
identitasnya jelas dan arti yang tepat akan meyakinkan konsumen bahwa
brand tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Brand yang kuat membuat ada
ikatan antara brand dengan konsumennya, dan pada tingkat lanjut akan
membuat konsumen menjadi “duta promosi” yang akan menularkan
pengalamannya kepada orang lain.

Mesti Konsisten dan Fleksibel

“Merek-merek besar berhubungan dengan emosi. Emosi-emosilah yang

mendorong semua keputusan kita. Merek mampu menjangkau luas karena


sebuah

pengalaman yang mengikat kuat. Merek memiliki hubungan yang lebih dari

sekadar sebuah produk.”


-Scott Bedbury

Dunia pemasaran tidak akan bisa lepas dari yang apa disebut sebagai merek
(brand).

Segala teori dan praktik dalam marketing selalu berawal dan berujung pada
merek.

Bahkan, bila suatu perusahaan sedang membangun sebuah brand miliknya


bisa

diartikan pula bahwa ia sedang membangun jati dirinya. Merek yang kuat
akan

menjadi top of mind, selalu muncul pertama dalam benak konsumen. Dan,
apabila

perusahaan mampu mengembangkan merek hingga menjadi top of mind,


bisa

dipastikan dia akan mampu mempertahankan diri dari serangan pesaing.

Sebelumnya, ada baiknya apabila kita menengok ke belakang mengenai


definisi

merek. Dan bila mengambil dari pemaparan American Marketing Association,

merek adalah nama, istilah, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal
tersebut,

yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang


atau

sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.

Pada perkembangannya, merek tidak sekadar sebagai simbol atau pembeda


dari

merek lain saja. Merek yang unggul juga mampu berperan sebagai asosiatif,
yaitu
mengasosiasikan kualitas atau jaminan kualitas bagi konsumennya. Bahkan,
menjadi

asosiasi lain yang mungkin tidak berkaitan langsung dengan produknya.


Misalnya,

merek yang peduli pada dunia olahraga justru didominasi oleh produk rokok.
Contoh

lain, Sony akan mudah diasosiasikan berteknologi tinggi dan jaminan mutu,
maka

hal-hal itulah yang harus diproyeksikan Sony dalam strategi branding-nya.

Merek menjadi lebih dari sekedar simbol karena adanya enam level
pengertian yang

terkandung di dalamnya, meliputi: atribut, manfaat, nilai, budaya,


kepribadian, dan

pemakai. Kotler mengatakan, tantangan dalam pemberian merek adalah

mengembangkan satu pengumpulan makna yang lebih dalam terhadap


merek

tersebut. Pemasar harus menentukan pada level mana dia akan


menanamkan

identitas merek.

Pelanggan Loyal

Merek yang sudah menjadi simbol, berasosiasi pada sesuatu yang positif,
dan

menjadi top of mind merupakan merek yang sukses. Merek tersebut


mengandung

banyak value dan kekuatan, atau dianggap memiliki ekuitas merek (brand
equity)
yang tak ternilai.

Aaker dalam Kotler (2000) menyebutkan bahwa ekuitas merek adalah brand
asset

dan liability yang berhubungan dengan sebuah merek tertentu. Hal ini
berkaitan

dengan tingkat pengakuan merek, mutu merek yang diyakini, asosiasi


mental dan

emosional yang kuat, serta aktiva lain seperti hak paten, merek dagang, dan

hubungan saluran distribusi.

Ada banyak langkah untuk mendapatkan ekuitas merek yang bagus. Antara
lain

meningkatkan brand awarenes, membentuk brand association, menciptakan


brand

loyalty, membuat brand perceived quality, membangun quality services, dan


lainlain.

Kesemuanya itu ujung-ujungnya adalah membuat dan mempertahankan


pelanggan

loyal. Ada lima level sikap pelanggan terhadap merek, mulai dari level
terendah

sampai tertinggi:

1. Pelanggan akan mengganti merek terutama karena alasan harga, tidak


ada

kesetiaan merek.

2. Pelanggan puas, tidak ada alasan untuk berganti merek.

3. Pelanggan puas dan merasa rugi bila berganti merek.

4. Pelanggan menghargai merek itu dan menganggapnya sebagai teman.


5. Pelanggan terikat kepada merek itu.

Sederhananya, ekuitas merek akan sangat berkaitan dengan seberapa


banyak

pelanggan berada dalam level 3, 4, dan 5. Merek yang menarik dan


mempertahankan

pelanggan terbaik bakal lebih mampu men-charge lebih besar, menjual lebih
banyak

dan lebih sering.

Dengan demikian, brand equity akan mampu memperbaiki margin dan

menciptakan tabungan pendapatan di masa depan. Potensi yang diciptakan


oleh

pelanggan loyal kepada merek inilah yang sering kali dinamakan brand
equity.

Menurut Kotler, keuntungan kompetitif yang dapat diperoleh dari tingginya


ekuitas

merek adalah:

1. Merek tersebut memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang

kompetitif.

2. Lebih mudah meluncurkan perluasan merek karena kredibilitasnya tinggi.

3. Mampu menetapkan harga lebih tinggi dari pesaing karena adanya


keyakinan

konsumen terhadap kredibilitas barang tersebut.

4. Posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer
sebab

pelanggan berharap memiliki merek tersebut.


5. Menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena tingkat kesadaran
dan

kesetiaan merek konsumen tinggi.

Akan tetapi, brand equity tidak bisa tercipta dalam sekejap. Ini merupakan
proses

yang membutuhkan waktu dan melibatkan semua lini dalam perusahaan.


Mulai dari

product development, financial, distribution, dan tentu saja tim marketing.


Para

sales di lapangan, customer services, hingga CEO adalah mesin-mesin yang


akan

menciptakan brand equity.

Setiap tahap atau proses dalam menciptakan ekuitas merek mesti sesuai
dan seirama

dengan langkah lainnya. Sehingga, diperlukan sebuah “brand road map”


atau tahaptahap

pencapaian merek. Dalam setiap tahapan itu harus selalu ada kontrol dan

evaluasi.

Supaya pencapaian itu sesuai dengan target, maka peran seorang CEO
(yang

diibaratkan sebagai dirigen) adalah vital sekali. Seorang top leader harus
selalu tahu

apakah merek yang ia tangani berjalan sesuai dengan rancangan atau


bahkan

melenceng. Ia harus menyinergikan peran semua bagian dalam


perusahaannya
sehingga bisa seirama. Misalnya, meyakinkan bagian financial planning akan

pentingnya sebuah program promosi yang tidak terukur (intangible). Di sisi


lain,

peran para pemegang saham juga penting dalam penciptaan brand equity
ini.

Frederick W Smith adalah contoh leader yang sukses menciptakan brand


equity.

Siapa tidak tahu FedEx? Perusahaan pengiriman tercepat sekarang ini. Ada
asosiasi

yang kuat antara FedEx dengan kecepatan dan ketepatan. Smith juga
mampu

mempertahankan ekuitas mereknya dari ancaman pemogokan massal para


pilot di

perusahaannya. Dia bergerak cepat dan mendapat dukungan dari karyawan


lain,

sehingga pemogokan batal. Bila benar-benar terjadi, bisa dibayangkan


dampak

negatifnya pada merek FedEx.

Ketika pada suatu titik merek sudah menjadi kuat, ia tidak akan saja
mempengaruhi

profit. Tetapi, juga mempengaruhi perilaku semua unsur yang ada di


perusahaan

tersebut. Sebab proses untuk mencapai brand equity yang tinggi melibatkan
unsur

emosi dan perilaku semua orang yang mendukung proses tersebut.


Satu lagi contoh merek yang memiliki nilai tertinggi saat ini adalah Google.
Tahun

2006 merek ini menghasilkan keuntungan iklan sebesar US$ 10,492 miliar.

Wajarlah kalau Microsoft tergiur untuk membeli saham perusahaan search


engine

ini.

Beberapa tahun terakhir, Google getol mengeluarkan produk-produk baru.


Mulai

dari Froogle (comparison shopping), Gmail (free email), Google Earth (online

mapping), Google Talk (instant messaging), Google Base (classified ads),


Google

Print (book search), Google Desktop (desktop utilities), Google Spreadsheets


(online

spreadheets) dan produk-produk baru lainnya. Google juga melakukan


sejumlah

akuisisi untuk memperluas jalur produknya seperti akuisisi terhadap Picassa


(online

photo sharing) dan Writely (online word processor).

Google kini sudah tidak bisa lagi disebut sebagai search engine saja. Ia
merambah

ke banyak bidang lain sehingga boleh dibilang telah melakukan


repositioning.

Namun, repositioning adalah perangkap berbahaya bila tidak dijalankan


dengan

benar karena bisa berdampak terhadap runtuhnya brand equity yang sudah

terbangun.
Meski melakukan repositioning, Google memilih untuk tidak beranjak terlalu
jauh

dari asosiasi semula terhadap kata search engine. Pergantian positioning


dari search

engine ke information organizer masih dalam tahap yang wajar karena


konsumen

dengan mudah menarik hubungan antara keduanya.

Sebenarnya Google bisa saja mereposisi dirinya menjadi web portal atau
web

applications. Tetapi, langkah tersebut tidak ditempuh karena Google sadar


bahwa

repositioning ke arah sana terlalu jauh dan kata web portal sendiri sudah

diasosiasikan dengan Yahoo!.

Jadi, perlu ditekankan di sini tentang pentingnya menjaga konsistensi merek


dan

mengikuti perubahan yang terjadi. Langkah ini sangat penting dalam ekuitas
merek.

Konsistensi merek menjadi critical dalam menjaga kekuatan dan keunggulan

asosiasi merek bagi konsumen. Beberapa pemimpin merek kelas dunia,


seperti Coca-

Cola dan IBM, berhasil mempertahankan ekuitas mereknya dalam waktu


yang tidak

singkat. Kunci sukses dalam hal ini adalah adanya dukungan aktivitas
pemasaran

yang secara konsisten menjaga merek tersebut.


Konsisten, menurut Kotler, tidak berarti statis tapi cenderung bersifat
fleksibel

mengikuti perubahan yang terjadi sepanjang waktu—untuk meningkatkan


brand

awareness, brand association, brand acceptability sampai pada level brand


loyalty.

Yang jelas, meski merek akan selalu mencari kekuatan sumber-sumber baru
yang

potensial untuk ekuitas merek, namun prioritas utama tetaplah melindungi


dan

mempertahankan sumber-sumber ekuitas merek yang telah ada. Idealnya,


sumber sumber

kunci dari ekuitas merek akan menjadi nilai yang berkelanjutan dan abadi.

MEREK DAN ANALISIS EKUITAS MEREK

Pengertian Merek:

* label yang tepat dan layak untuk menggambarkan suatu objek yang
dipasarkan

* nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi dari


keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa
dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari
kompetitornya (American Marketing Association/Kotler)
* nama, istilah, simbol atau disain khusus atau beberapa kombinasi unsur-
unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasikan barang/jasa yang
ditawarkan oleh penjual (Stanton)

Merek merupakan alat penanda bagi produsen bisa berupa nama, logo,
trademark, atau berbagai bentuk simbol lainnya yang berguna untuk
membedakan satu produk dengan produk lainnya, juga akan mempermudah
konsumen dalam menganali dan mengidentifikasi suatu produk.

Peran Merek

* menjadi alat kunci bagi pelanggan dalam menetapkan pilihan pembelian


karena menggambarkan value yang ditawarkan perusahaan

* Merupakan ‘payung dari keseluruhan strategi pemasaran yang


dijalankan

strategi pemasaran apapun sesungguhnya merupakan bagian dari


keseluruhan upaya perusahaan membangun merek

The ultimate achievement dari upaya pemasaran adalah merek (Kertajaya)

* Merupakan representasi atas produk dan layanan, inti dari aktivitas


komunikasi pemasaran

merupakan janji dari produsen untuk secara konsisten terus menyampaikan


seperangkat keistimewaan, keuntungan, dan pelayanan kepada konsumen.
Tingkatan Pengertian Merek:

1. Atribut: setiap merek memiliki atribut

Atribut perlu dikelola dan diciptakan agar pelanggan dan mengetahui


dengan pasti atribut-atribut yang terkandung dalam merek

2. Manfaat: merek juga memiliki serangkaian manfaat

Konsumen tidak hanya membeli atribut tetapi juga manfaat. Produsen harus
menterjemahkan atribut menjadi manfaat fungsional maupun manfaat
emosional

3. Nilai: menyatakan suatu nilai bagi produsen

Merek yang mempunyai nilai yang tinggi dipandang sebagai merek yang
berkelas (berkualitas) à merupakan ‘value indicator’ sebuah produk

4. Budaya: merek mewakili budaya tertentu

Merek dapat mencerminkan budaya dari masyarakat tertentu. Misal produk


Mercedez buatan Jerman mencerminkan produk dengan cara kerja efisien
dan berkualitas tinggi

5. Kepribadian: merek memiliki kepribadian


Merek juga dapat merepresentasikan kepribadian tertentu dari
konsumennya

6. Pemakai: menunjukkan jenis pemakai merek tersebut

Merek seringkali diasosiasikan dengan orang-orang tertentu yang terkenal


(public figure)

Persyaratan Merek

1. Merek harus khas atau unik

2. Merek harus menggambarkan manfaat produk dan pemakaiannya

3. Merek harus menggambarkan kualitas produk

4. Merek harus mudah diucapkan, dikenali, dan diingat

5. Merek tidak boleh mengandung makna buruk pada budaya tertentu

6. Merek harus dapat menyesuaikan diri dengan produk-produk baru yang


mungkin ditambahkan ke dalam lini produk

Manfaat Merek
Dari sisi Konsumen:

1. Merek dapat mempermudah pembelian

konsumen tidak perlu mengidentifikasi atau mengevalusi setiap produk


ketika akan melakukan pembelian

2. Merek dapat memperteguh keyakinan

konsumen yakin terhadap kualitas yang konsisten dari produk tertentu.

Dari sisi Produsen:

1. Merek dapat dipromosikan

2. Merek dapat dipakai untuk mengurangi perbandingan harga

3. Merek memudahkan penjualan dan menekan adanya permasalahan

4. Merek secara hukum melindungi produsen dari pemalsuan produk

5. Merek memungkinkan terciptanya kesetiaan konsumen

6. Merek dapat membantu proses segmentasi


7. Merek merepresentasikan citra perusahaan

EKUITAS MEREK DAN ANALISIS EKUITAS

Ekuitas merek:

kekuatan sebuah merek: seberapa banyak konsumen yang mampu


mengingat merek, menganggap merek positif, dan memiliki loyalitas
terhadap merek.

pengenalan konsumen terhadap sebuah merek beserta asosiasi merek yang


mendukung, kuat dan unik

merek yang kuat mempunyai nilai ekuitas yang tinggi

Ekuitas merek tinggi, berarti:

- daya tarik produk tinggi

- minat konsumen untuk membeli juga tinggi

- perusahaan mudah menciptakan pasar baru

- strategi komunikasi pemasaran lebih unggul


- menguasai pasar lebih lama

Manfaat Pengukuran Ekuitas Merek:

1. Hasil pengukuran dapat digunakan sebagai benchmark terhadap market


leader dan atau kompetitor lain.

2. Hasil pengukuran dapat dijadikan guidance untuk penyusunan strategi


komunikasi pemasaran

3. Membantu dalam pelaksanaan manajemen perusahaan.

Dimensi-Dimensi Ekuitas Merek

1. Kesadaran Merek (Brand Awareness)

seberapa nama merek mampu disebutkan oleh konsumen atau kemampuan


sebuah merek untuk muncul dalam benak konsumen ketika mereka sedang
memikirkan kategori produk tertentu

Mencakup:

- Pengenalan terhadap merek (brand recognition): mencerminkan tingkat


kesadaran yang dangkal

- Kemampuan mengingat merek (brand recall): mencerminkan kesadaran


yang lebih dalam
1. Citra Merek (Brand Image)

jenis asosiasi yang muncul pada konsumen ketika mengingat sebuah merek
tertentu.

Jenis asosiasi mencakup:

1. Atribut

Hal-hal yang berhubungan dengan produk: warna, ukuran, disain

Hal-hal yang tidak berhubungan dengan produk: harga, kemasan, pemakai,


citra penggunaan.

Manfaat

berkaitan dengan keuntungan yang diperoleh konsumen dari konsumsi


merek.

Jenis manfaat:

1. Manfaat fungsional: produk dapat me3nyediakan solusi bagi masalah


konsumsi atau potensi masalah yang dihadapi konsumen, seperti
kenyamanan atau keamanan
2. Manfaat simbolis: berkaitan dengan keinginan konsumen dalam upaya
memperbaiki diri, dihargai sebagai anggota kelompok, afiliasi, dan rasa
memiliki à asosiasi kegunaan merek dengan kelompok, peran, atau citra diri
yang diinginkan.

3. Manfaat pengalaman: konsumen merupakan representasi dari keinginan


mereka akan produk yang dapat memberikan rasa senang, pengalaman
baru, keanekaragaman, dan stimulasi kognitif.

4. Evaluasi keseluruhan (sikap)

evaluasi yang memuaskan secara keseluruhan terhadap suatu merek atau


sikap yang mendukung terhadap suatu merek.

1. Loyalitas Merek (Brand Loyalti)

sikap senang terhadap produk yang direpresentasikan dalam bentuk


pembelian yang konsisten terhadap merek sepanjang waktu.

menjadi dasar untuk memprediksi seberapa besar kemungkinan konsumen


pindah ke merek lain.

penciptaan dan peningkatan loyalitas merek akan menghasilkan


peningkatan nilai-nil;ai kepercayaan terhadap merek

Berkaitan dengan loyalitas merek, perlu dicermati adanya 5 kategori


pembeli:

1. Switcher/price buyer
pembeli yang berpindah-pindah, pada umumnya berkaitan dengan faktor
harga

2. Habitual buyer

pembeli yang bersifat kebiasaan, tidak pernah mengalami ketidakpuasaan


dalam mengkonsumsi produk, biasanya berkaitan dengan preferensi,
budaya.

3. Satisfied buyer

pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi, mempunyai


pertimbangan yang lebih rasional ketika memilih merek

4. Likes the brand buyer

pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tertentu. Rasa suka


didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan pengalaman menggunakan
merek itu dan juga merek lain sebelumnya.

5. Commited buyer

pembeli setia/mempunyai komitmen, merupakan tingkatan teratas dalam


kategori pembeli dalam loyalitas merek. Mereka bangga dalam
menggunakan merek tertentu.

bounce study
Aaker (1997) menyatakan ekuitas merek adalah “Seperangkat aset dan
liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek dan nama yang
menambah atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa
kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan". Pendapat lainnya
Keller (1993) dalam Kim, dkk (2006) menyatakan bahwa ekuitas merek
dapat dipandang sebagai nilai tambah terhadap suatu produk.

Selanjutnya agar aset dan liabilitas dapat berperan mendasari ekuitas


merek, keduanya dihubungkan dengan nama dan symbol merek yang secara
bersama-sama keduanya dikelompokkan ke dalam lima dimensi kategori,
yaitu; pertama loyalitas merek (brand loyality), kedua kesadaran merek
(brand awareness), ketiga kesan kualitas (perceived quality), keempat
assosiasi merek (brand association) dan yang terakhir adalah asset hak milik
lainnya (otherbrand assets).

Namun perlu diketahui bahwa dimensi loyalitas merek merupakan inti dari
ekuitas merek dan keempat dimensi ekuitas merek lainnya bisa berperan
menguatkan loyalitas merek karena terdapat interelasi diantara dimensi-
dimensi ekuitas merek tersebut. Pengertian contoh interaksi tersebut adalah
kesan kualitas bisa dipengaruhi oleh kesadaran merek, loyalitas dapat
dipengaruhi oleh kesadaran merek, loyalitas dapat dipengaruhi kesan
kualitas dan seterusnya sating terkait satu dengan lainnya diantara dimensi-
dimensi ekuitas merek lain.

Pandangan kedua dari brand equity adalah korelasi antara brand dan brand
extension (Pitta and Katsanis, 1995; Rangkuti 2004) mengatakan bahwa
brand equity diukur berdasarkan kemampuan merek tersebut mendukung
perluasan merek yang dilakukan.
Pandangan ketiga berkaitan dengan perspektif konsumen tentang brand
equity (Pokorny, 1995; Rangkuti, 2004) dengan melihat perilaku
pengambilan keputusan pembelian, manajer pemasaran dapat menentukan
seberapa jauh persepsi brand equity yang dimiliki oleh pelanggan terhadap
suatu merek.

Menurut Durianto (2004) defenisi merek adalah nama, istilah, tanda, symbol
desain, ataupun kombinasinya yang mengidentifikasikan suatu produk/jasa
yang dihasilkan oleh suatu perusahaan.

Pendekatan Pengukuran Ekuitas Merek

Sedikitnya ada lima pendekatan lain (Aaker, 1996) untuk mengukur nilai
ekuitas suatu merek, yaitu :

a. Pengukuran dengan harga optimum

Pendekatan ini juga dikenal dengan dollarmatric, di dapat dari pengamatan


tingkat harga suatu merek di pasar, sangat dipengaruhi oleh selisih harga
yang dikeluarkan oleh kompetitornya, tingkat depresiasi dalam setahun,
elastisitas harga yang direspon oleh konsumen. Adanya kenyataan bahwa
harga optimum aset tahun bisa diperoleh dari rata-rata setahun dikalikan
volume unit penjualan setahun, dengan mengabaikan arca kas jangka waktu
yang sama.

b. Pengukuran dengan merek dan preferensi konsumen

Untuk kelas produk dan jasa tertentu pengukuran harga optimum tidak bisa
menjadi cara yang jitu, sehingga perlu digunakan pendekatan lain yang lebih
objektif, salah satunya dengan menghitung dampak merek terhadap
evaluasi konsumen atas merek yang diukur dari referensi konsumen,
menyangkut sikap, tujuan membeli dan menggunakan suatu merek.

c. Pengukuran dengan penggantian biaya

Perspektif yang digunakan adalah berapa jumlah biaya yang sudah


dikeluarkan untuk suatu produk atau merek dengan tingkat kemungkinan
sukses ditentukan lebih dahulu, biaya yang sudah dikeluarkan dan mencapai
kemungkinan sukses tersebut sebagai nilai dari ekuitas merek.

d. Pengukuran pada nilai harga saham

Penggunaan harga saham sebagai dasar untuk mengevaluasi nilai ekuitas


merek, asumsinya pasar modal akan menyesuaikan harga perusahaan untuk
proyeksi prospek masa depan atas merek tersebut. Pendekatan dimulai
dengan nilai pasar sebuah perusahaan yang merupakan fungsi dari harga
saham dan jumlah saham yang beredar dan model ini beroperasi pada
perusahaan publik dengan merek dominan.

e. Pengukuran perolehan laba bersih masa depan

Pendekatan ini menggunakan estimasi laba bersih lancar (current earnings)


dan menerapkan, multiplier laba bersih (earning multiplier) keduanya
kemudian diestimasikan pada penilaian laba bersih masa depan, dengan
mencari nilai multiplier actual dalam suatu periode tertentu dan
dibandingkan, industri dikelasnya, dengan mengabaikan hutanghutang yang
sangat besar.

Pengelolaan Ekuitas Merek


Beberapa faktor (Acker, 1996) yang dapat dilihat indikator kurangnya
perhatian serius dari para manajer dalam upaya membangun dan mengelola
ekuitas merek perusahaan, indikator tersebut adalah

a. ketidakmampuan manajer untuk mengidentifikasi asosiasi merek dengan


kekuatan asosiasi perusahaan itu sendiri dengan tepat

b. Rendahnya tingkat pengetahuan mengenai kesadaran merek dari


sebagian besar karyawannya.

c. Tidak adanya ukuran yang sistematis, handal, peka dan valid mengenai
kepuasan serta loyalitas customer.

d. Tidak adanya kesungguhan dalam upaya melindungi ekuitas merek itu


sendiri.

e. Tidak adanya mekanisme yang dapat mengukur serta mengevaluasi


elemen program pemasaran merek.

f. Belum adanya strategi jangka panjang dalam upaya pengembangan


manajemen merek.

g. Belum adanya strategi jangka panjang dalam upaya pengembangan


manajemen merek.

Philip Kotler (2000) sebagai analis melihat umur merek melebihi produk,
karena merek selalu dilihat sebagai aktiva perusahaan yang paling bertahan
lama dan semua merek yang kuat mewakili sekelompok pelanggan yang
setia, oleh karenanya aktiva dasar yang menjadi fondasi utama ekuitas
merek adalah ekuitas pelanggan (customer equity), hal ini menunjukkan
bahwa fokus dari perencanaan pemasaran yang tepat adalah
memperpanjang nilai seumur hidup pelanggan setia (loyal customer lifetime
value), dengan pengelolaan merek berperan sebagai alat pemasar utama.

Selanjutnya penjelasan mengenai skema konsep ekuitas merek menurut


Aaker (1996) terdapat lima elemen dimensi kategori yang membentuknya,
seperti tampak pada Gambar 2.2 menunjukkan ekuitas merek mempunyai
hubungan kausal komparatif terhadap dimensinya dan dirumuskan sebagai
sebuah variabel yang bersifat multidimensional yang telah ada dulu sebagai
dasar menentukan arah kausalitasnya (Kuncoro, 2003). Variabel ekuitas
merek tidak bisa diukur secara langsung, tetapi dibentuk melalui
pengukuran dimensinya.

Ekuitas merek yang tinggi (Kotler, 2000) memberikan sejumlah keuntungan


kompetitif diantaranya adalah :

a Perusahaan akan menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena


kesadaran dan kesetiaan merek konsumen yang tinggi.

b Posisi perusahaan menjadi lebih kuat dalam negosiasi dengan mitra bisnis.

c Perusahaan dapat menetapkan premium price, daripada pesaingnya


karena merek tersebut memiliki kualitas yang diyakini lebih tinggi oleh
pelanggan.

d Perusahaan lebih mudah untuk melancarkan perluasan merek karena


merek yang mempunyai kredibilitas tinggi.

e Merek yang kuat dapat melindungi perusahaan dari persaingan harga yang
tidak sehat atau stabil.
Dimensi Ekuitas Merek

a. Kesadaran Merek

Masyarakat cenderung bertransaksi dengan produk atau merek yang dikenal


karena di bawah sadar merek yang tidak terkenal mempunyai sedikit
peluang untuk diingat konsumen, sesuai pendapat Aaker (1996)
mendefenisikan brand awareness sebagai: “The ability of a potential buyer
to recognize or recall that a brand is number of a certain product category"

Penjelasan dari keempat nilai tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tempat kaitan (jangkar) asosiasi-asosiasi lain

Suatu merek yang kesadarannya tinggi akan membantu asosiasi-asosiasi


melekat pada merek tersebut karena daya jelajah merek tersebut menjadi
sangat tinggi dibenak konsumen.

2) Familiar/rasa suka

Jika kesadaran merek kita sangat tinggi, konsumen akan sangat akrab
dengan merek kita, dan lama kelamaan akan timbul rasa suka yang tinggi
terhadap merek yang kita pasarkan.

3) Sebagai tanda substansi.

Kesadaran merek dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang


sangat penting bagi suatu perusahaan. Jadi jika kesadaran akan merek
tinggi, kehadiran mereka akan selalu dapat kita rasakan. Sebuah merek
dengan kesadaran konsumen tinggi biasanya disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain; (1) diiklankan secara luas, (2) eksistensi yang sudah teruji
oleh waktu, (3) jangkauan distribusi yang sangat luas, (4) merek tersebut
dikelola dengan baik. Oleh karena itu jika kualitas merek akan menjadi faktor
yang menentukan dalam keputusan pembelian.

4) Mempertimbangkan merek

Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi merek


yang dikenal dalam suatu kelompok untuk dipertimbangkan dan diputuskan
merek mana akan dibeli. Merek dengan top mind yang tinggi mempunyai
nilai pertimbangan yang tinggi, jika suatu merek tidak tersimpan dalam
ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan, dalam benak
konsumen.

Kesadaran merek menggambarkan keberadaan merek di dalam pikiran


konsumen, yang dapat menjadi penentu dalam beberapa kategori dan
biasanya mempunyai peranan kunci dalam brand equity. Meningkatkan
kesadaran adalah suatu mekanisme untuk memperluas pasar merek.
Kesadaran juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Kesadaran merek
merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk keadaan
lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan
bahwa ekuitas mereknya juga rendah.

Menurut Aaker (Dudanto, 2004) piramida kesadaran mereka dari tingkat


terendah sampai tingkat tertinggi adalah sebagai berikut :

1) Unaware of brand (tidak menyadari merek) adalah tingkat paling rendah


dalam piramida kesadaran merek, dimana konsumen tidak menyadari suatu
merek.
2) Brand recognition (pengenalan merek) adalah tingkat minimal kesadaran
merek, dimana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan
pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall).

3) Brand recall (pengingatan kembali terhadap merek) adalah pengingatan


kembali terhadap merek tanpa bantuan (unaided recall).

4) Top of mind (puncak pikiran adalah merek yang disebutkan pertama kali
oleh konsumen atau yang pertama kali muncul dalam benak konsumen.
Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai
merek yang ada dalam benak konsumen.

b. Kesan Kualitas Merek (Brand Perceived Quality)

Cleland dan Brono (Simamora, 1996) memberikan pengertian tiga prinsip


tentang perceived quality yaitu:

1) Pertimbangan konsumen atas suatu produk berdasarkan multi-attribut


mencakup tiga aspek utama yaitu sensivitas terhadap tingkat harga, ukuran
produk standar, dan kelengkapan fungsi, desain, garansi, reputasi dan
layanan.

2) Quality exists only is perceived by customers (kualitas itu ada jika ada
dalam persepsi konsumen), sehingga jika persepsi konsumen rendah atas
suatu produk, maka kualitas produk menjadi rendah apapun realitanya.

3) Perceived quality diukur secara relative terhadap pesaingnya, artinya


apabila produk A bentuknya sederhana, namun ternyata kompetitornya jauh
lebih sederhana maka A dianggap mempunyai kualaitas relative lebih baik.
Aaker (1997) mengungkapkan umumnya merek yang mempunyai perceived
quality yang tinggi memiliki return of investment yang tinggi pula.

Untuk penerapan strategi jangka panjang, faktor tunggal yang paling penting
dalam mempengaruhi kinerja suatu unit bisnis adalah kesan kualitas dari
produk dan jasa, terhadap kinerja dari pesaing (Buzzell and Gale, 1987).

Dijelaskan bahwa kualitas merek dapat menciptakan profitabilitas, karena


dapat mempengaruhi pasar, harga mempunyai dampak langsung pada
profitabilitas, tidak memberikan pengaruh negatif pada biaya.

Terdapat perbedaan kesan kualitas dan kepuasan, dimana kesan kualitas


lebih kepada persepsi customer dibandingkan dengan keseluruhan kualitas
atau keunggulan produk, (Zeithamal, 1998) mendefenisikan perceived
quality sebagai “The customer's perceptionof the overall quality or superioty
of a product or services with respect or its intended purpose, relative to
altematives", berarti perceived quality tidak dapat ditentukan secara
obyektif, karena menyangkut penilaian atas persepsi yang dianggap penting
oleh pelanggan dan sifatnya sangat relatif terhadap suatu keinginan.

c. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Pengertian loyalitas merek (Rangkuti, 2004) adalah ukuran dari kesetiaan


konsumen terhadap suatu merek, karena loyalitas adalah inti dari brand
equity dan selalu menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Peningkatan
loyalitas akan mengurangi kerentanan pelanggan dari serangan kompetitor,
sehingga dapat dipakai sebagai indikator tingkat perolehan laba mendatang,
karena loyalitas merek dapat diartikan penjualan di mesa depan.

Dalam Tjipto (2005) menurut pandangan aliran stokastik atau perspektif


behaviorial loyalitas merek diartikan sebagai pembelian ulang suatu merek
secara konsisten oleh pelanggan. Acker (1997) perasaan suka terhadap
merek dan komitmen dapat digunakan untuk mengukur loyalitas merek,
untuk perasaan suka tersebut diukur dari liking, respect, friendship dan trust,
Loyalitas erat kaitannya pengalaman dari pengguna merek dan tidak bisa
terjadi tanpa adanya pengalaman sebelumnya, penekanan loyalitas merek
hanya tertuju pada merek tertentu dan sulit dialihkan perhatiannya pada
simbol lain tanpa adanya pengorbanan dalam nilai yang besar.

d. Kepercayaan

Doney dan Cannon (1997) dalam Kim, dkk (2006) menyatakan bahwa
kepercayaan adalah keadaan yang dapat dipercaya (kredibilitas) dan
kebaikan dari pihak sasaran. Dimensi pertama memfokuskan pada tingkat
kepercayaan yang objektif dari mitranya, sebagaimana dalam suatu
ekspektansi yang mana kita dapat menyandarkan perkataan mitra kita atau
pernyataan tertulis mitra kita. Dimensi kedua merupakan tingkat dimana
mitra sungguh tertarik dalam motivasi untuk mencari kemanfaatan.

e. Kepuasan pasien

Ekuitas merek dapat menambah atau sebaliknya jika salah pengelolaannya


justru mengurangi kepuasan pasien. Aset-aset bisa membantu pasien
menafsirkan, berproses dan menyimpan informasi dalam jumlah besar
mengenai layanan rumah sakit.

Hal senada dikemukankan oleh Simamora: 2001 yang menyatakan bahwa


merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil
keputusan karena masa lalu dalam menggunakannya maupun kedekatan
terhadap merek dengan aneka ragam karakteristiknya.

You might also like