You are on page 1of 60

40

LAPORAN PRAKTIK PERANCANGAN BANGUNAN AIR


PERANCANGAN BENDUNG IRIGASI

Disusun oleh Kelompok V:


ALFONSUS D. JOHANNES (TS/12869)
HARIO WEJOSENO (TS/12876)
DENDI HANDEKA NAINGGOLAN (TS/12889)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2009
41

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyusun laporan ini. Laporan Praktik Perancangan
Bangunan Air ini bertujuan untuk memberikan informasi dan sistematika yang
digunakan dalam Perancangan Bendung Irigasi, sesuai dengan metode dan
peraturan yang telah ada sebelumnya.
Pada laporan ini dipaparkan tahap demi tahap Perancangan bendung irigasi
pada sungai yang telah ditentukan yaitu Kali Bedog. Perancangan bendung
diawali dengan menghitung debit banjir rencana dengan memanfaatkan data hujan
harian selama 12 tahun dan kemudian dilanjutkan dengan perancangan dimensi
bendung.
Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Anastasia Yunika, ST., M.Eng, selaku dosen mata kuliah Praktik
Perancangan Bangunan Air.
2. Pengajar seluruh mata kuliah prasyarat Praktik Perancangan Bangunan
Air yang telah mengajarkan kami dasar-dasar ilmu teknik keairan (hidro).
3. Semua pihak dan teman-teman yang membantu dalam menyelesaikan
laporan ini.
Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan
laporan ini. Penyusun berharap, semoga hasil laporan ini berguna bagi kami,
rekan-rekan mahasiswa, dan para pembaca.

Yogyakarta, 15 Desember 2009

Kelompok V
42

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Bendung dan Bendung Irigasi


Masyarakat pada umumnya sering memiliki asumsi atau paradigma yang
keliru mengenai definisi bendung, orang sering menyamaratakan antara bendung
dengan bendungan. Walaupun keduanya merupakan bangunan air yang dibuat
dengan posisi melintang/memotong sungai namun keduanya memiliki fungsi dan
bentuk yang tidak sama. Secara singkat bendung dapat diartikan sebagai
bangunan air yang dibangun untuk menaikkan muka air sungai, sedangkan
bendungan dibangun dengan tujuan untuk menbendung air sungai sehingga
membentuk genangan air (danau buatan).
Menurut Standar Tata Cara Perancangan Teknik Bendung (SK SNI T-02-
1990-F), yang dimaksud dengan bendung adalah bangunan air yang dibangun
melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air sehingga air sungai dapat
disadap dan dialirkan secara gravitasi ke daerah yang membutuhkannya. Bendung
irigasi sendiri secara umum tidak berbeda dengan bendung lainnya hanya saja
dalam bendung ini direncanakan sedemikian rupa agar air sungai yang dbendung
dapat mengairi wilayah persawahan yang dikehendaki dengan seoptimal dan
seefisien mungkin.
Bendung sudah dibangun oleh manusia sejak zaman dahulu, walaupun
hanya dengan metode yang sederhana yaitu menumpukkan batu-batu kali pada
sungai. Sampai saat ini bendung tradisional yang dibangun dengan menggunakan
batu kali, trucuk ataupun dinding bambu yang diisi tanah masih dapat ditemukan
di Indonesia khususnya di daerah yang belum sepenuhnya tergapai oleh teknologi.
Perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia juga mempengaruhi
perkembangan bendung. Dewasa ini, bendung tidak hanya dibangun secara
tradisional menggunakan batu, bendung saat ini dapat dibagi berdasarkan tipe
struktur dan juga sifatnya.
43

Berdasarkan tipe struktur bendung dibagi menjadi :


1. Bendung tetap,
2. Bendung gerak,
3. Bendung kombinasi,
4. Bendung kembang kempis,
5. Bendung bottom intake.

Berdasarkan sifat bendung dibagi menjadi :


1. Bendung permanen, seperti bendung pasangan batu, beton, dan
kombinasi beton dan pasangan batu.
2. Bendung semi permanen, seperti bendung bronjong, dan cerucuk kayu.
3. Bendung darurat, seperti bendung yang dibuat oleh masyarakat pedesaan
dari tumpukan batu atau karung pasir.

Bendung-bendung tersebut dibangun menggunakan material yang berbeda-


beda mulai dari batu, beton maupun yang terbuat dari karet. Walaupun bendung
yang terbuat dari karet memiliki beberapa kelebihan dibanding material lainnya
antara lain; ringan, mudah dioperasikan dan pelaksanaannya cepat.
Kelengkapan dari sebuah bendung adalah tubuh bendung, ambang bendung
gerak, pintu bendung gerak, peredam energi, landai udik, tembok pangkal
bendung, tembok sayap udik, tembok sayap hilir, bangunan pengambil, pintu
pengatur, bangunan pembilas bawah, dinding banjir, saringan, penangkap dan
kantong sedimen, pintu air, pintu bendung gerak, tangga, jembatan, penduga
muka air, alat ukur debit, tanggul banjir, tanggul penutup, rip-rap, balok skot, atap
pelindung, dan rumah jaga, serta kelengkapan lain untuk menanggulangi masalah
tertentu yang mungkin timbul.
Di bawah ini akan dijelaskan lebih jauh tentang sebagian komponen utama
bendung, yaitu : tubuh bendung, bangunan intake, bangunan pembilas, bangunan
pelengkap. (Alfabeta, Desain Hidraulik Bendung Tetap untuk Irigasi Teknis,
2002).
44

1.1.1 Tubuh Bendung


Tubuh bendung merupakan ambang tetap yang berfungsi untuk
meninggikan taraf muka air sehingga diperoleh tinggi tekan; tinggi tekan
membantu mengalirkan air ke bangunan pengambil dan membantu pembilasan
sedimen di bangunan bilas bendung dan kantong sedimen; tubuh bendung harus
stabil dan kuat menahan beban-beban yang bekerja baik statik maupun dinamik.
(Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perancangan Umum Bendung, 1990)
Tubuh bendung terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung dengan
bangunan peredam energinya. Mercu bendung adalah bagian teratas tubuh
bendung di mana aliran dari udik dapat melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai
penentu tinggi muka air minimum di sungai bagian udik bendung, sebagai
pengempang sungai dan sebagai pelimpah aliran sungai. Letak mercu bendung
bersama – sama tubuh bendung diusahakan tegak lurus arah aliran sungai agar
aliran yang menuju bendung terbagi merata. Bentuk mercu bendung antara lain;
mercu bulat dengan satu jari – jari, mercu bulat dengan dua jari – jari, mercu tipe
Ogee,SAF, dan mercu ambang lebar. (Alfabeta, Desain Hidraulik Bendung Tetap
untuk Irigasi Teknis, 2002).

1.1.2 Bangunan Intake


Bangunan Intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi
sebagai penyadap aliran sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen serta
menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Terletak di
bagian sisi bendung, di tembok pangkal dan merupakan satu kesatuan dengan
bangunan pembilas.
Intake dibagi menjadi :
1. Intake biasa: Intake dengan pintu berlubang satu atau lebih dan
dilengkapi dengan pintu dinding banjir, dan perlengkapan lainnya. Lebar
satu pintu tidak lebih dari 2,5 m dan diletakkan di bagian udik.
Pengaliran melalui pintu bawah. Besarnya debit diatur melalui tinggi
bukaan pintu (gambar 1.1)
45

2. Intake gorong-gorong: Intake dengan pintu berlubang lebih dari satu


dengan lebar masing-masing kurang dari 2,5 m dan dileakkan di bagian
hilir gorong-gorong. Pengoperasian pintu intake dilakukan secara
mekanis (gambar 1.2).
3. Intake frontal: Intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari
bangunan pembilas/bendung. Arah aliran sungai dari udik frontal
terhadap mulut intake sehingga tidak menyulitkan penyadapan aliran.
Tetapi angkutan sedimen relatif banyak masuk ke intake, yang
ditanggulangi dengan sand ejector dan kantong sedimen (gambar 1.3).
4. Dua intake di satu sisi bendung : Pintu intake untuk sisi yang lain
diletakkan di pilar pembilas bendung. Pengaliran ke sisi yang lain itu
melalui gorong – gorong di dalam tubuh bendung. Jumlah gorong –
gorong dapat dua buah.(Alfabeta, Desain Hidraulik Bendung Tetap untuk
Irigasi Teknis, 2002)

Gambar 1.1 Gambar 1.2


Intake biasa Intake gorong - gorong

Gambar 1.3
Intake frontal
46

1.1.3 Bangunan Pembilas


Bangunan pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang
terletak di dekat dan menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk
menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan
muatan sedimen layang masuk ke intake. Bangunan pembilas dirancang pada
bendung yang dibangun di sungai dengan volume angkutan muatan sedimen dasar
relatif besar, yang dikhawatirkan mengganggu pengaliran ke intake. Tinggi tekan
yang cukup diperlukan untuk efektivitas pembilasan sehingga penentuan elevasi
mercu bendung perlu mempertimbangkan hal ini. Selain itu perlu pula diusahakan
pengaliran dengan sifat aliran sempurna melalui atas pintu bilas. Juga harus
mempertimbangkan tidak akan mengakibatkan penggerusan setempt di hilir
bangunan yang akan membahayakan bangunan.
Bangunan pembilas dibedakan menjadi :
1. Bangunan pembilas konvensional terdiri satu dan dua lubang pintu,
umumnya dibangun pada bendung – bendung kecil dengan bentang
sekitar 20 m.
2. Bangunan pembilas dengan undersluice ditempatkan pada bentang di
bagian sisi yang arahnya tegak lurus sumbu bendung.
3. Bangunan pembilas shunt undersluice digunakan pada bendung di sungai
ruas hulu, untuk menghindarkan benturan batu dan benda padat lainnya
terhadap bangunan.
Komponen bangunan pembilas terdiri dari pintu pembilas, pilar penempatan
pintu, tembok baya-baya, jembatan pelayan, rumah pintu, sponeng pintu, sponeng
cadangan, tembok pangkal, tangga. (Alfabeta, Desain Hidraulik Bendung Tetap
untuk Irigasi Teknis, 2002).
Pintu pembilas merupakan bagian dari bendung, pada umumnya dipilih
jenis pintu sorong dari kayu dengan rangka baja, atau plat besi dengan rangka
baja. Dapat dibuat satu pintu atau dua pintu (pintu atas dan pintu bawah).
47

Fungsi pintu pembilas:


1. Pintu bawah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di dalam, di udik,
dan di sekitar underslice. Pengoperasian pintu dengan cara mengangkat
pintu.
2. Pintu atas untuk menghanyutkan benda-benda padat yang terapung di
udik pintu. Pengoperasian pintu dengan cara menurunkan pintu.

Dalam mendesain pintu, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan adalah


beban yang bekerja pada pintu, alat pengangkat (tenaga manusia atau mesin),
sistem kedap air, bahan bangunan. Sedangkan untuk ukuran pintu adalah :
1. Untuk satu lubang/ruang pintu sorong yang dioperasikan dengan tenaga
manusia, lebar maksimum 2,50m. Sedangkan ukuran untuk satu balok
kayu pintu harus dihitung; biasanya berukuran 0,2 × 2,5 m.
2. Untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin dapat dibuat lebih lebar 2,5
m tapi tidak lebih dari 5 m.

Ketinggian mercu pintu pembilas ditentukan sama tinggi elevasi mercu


bendung atau 0,1m lebih tinggi dari elevasi mercu bendung; yang terakhir ini
umumnya yang digunakan dan ketentuan ini untuk pembilas tanpa dinding banjir.
Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahan-bahan kasar di
depan pembilas pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat dibilas dengan jalan
membuka pintu pembilas secara berkala guna menciptakan aliran terkonsentrasi
tepat di depan pengambilan. Pengalaman yang diperoleh dari banyak bendung dan
pembilas yang sudah dibangun, telah menghasilkan beberapa pedoman
menentukan lebar pembilas :
a. Lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi
sebaiknya sama dengan 1/6 – 1/10 dari lebar bersih bendung , untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 m.
b. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari
lebar total pengambilan termasuk pilar-pilar.
48

1.1.4 Bangunan pelengkap


Bangunan pelengkap terdiri dari tembok pangkal, sayap bendung, lantai
udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup,
penangkap sedimen, tangga, penduga muka air.

a. Tembok pangkal
Tembok pangkal adalah tembok yang berada di kiri kanan pangkal bendung
dengan tinggi tertentu yang menghalangi lupan aliran pada debit desain tertentu
ke samping kiri dan kanan. Tembok pangkal berfungsi sebagai pengarah arus agar
arah aliran sungai tegak lurus (frontal) terhadap sumbu bendung, sebagai penahan
tanah, pencegah rembesan samping, pangkal jembatan.

b. Tembok sayap hilir


Tembok sayap hilir adalah tembok sayap yang terletak di bagian kanan dan
kiri peredam energi bendung yang menerus ke hilir dari tembok pangkal bendung
dengan bentuk dan ukuran yang berkaitan dengan ukuran peredam energi.
Tembok sayap hilir berfungsi sebagai pembatas, pengarah arus, penahan
gerowongan dan longsoran tebing sungai di hilir bangunan dan pencegah aliran
samping.

c. Lantai udik
Lantai udik berfungsi untuk mengurangi bahaya rembesan yang mengalir di
bawah tubuh bendung dan bahaya erosi buluh. Dinding tirai berfungsi untuk
mempertahankan kestabilan bendung terhadap bahaya penggerusan setempat dan
degradasi dan memperbesar tekanan keatas di bagian udiknya. Penangkap
sedimen berfungsi untuk mengendalikan pemasukan sedimen ke jaringan
pengairan, baik yang berupa angkutan muatan dasar atau angkutan muatan layang.

d. Peredam energi
Peredam energi berfungsi untuk meredam energi air akibat pembendungan
agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat yang
49

membahayakan konstruksi; peredam energi harus diperhitungkan terhadap energi


potensial, energi kinetik, juga kemungkinan adanya proses degradasi di hilir
bendung, agradasi berliku di udik bendung.

e. Bangunan pengarah arus


Tipe dan dimensi bangunan pengarah arus di udik bendung harus dipilih
sesuai dengan keadaan aliran yang diperkirakan terjadi; tujuannya agar arah aliran
dapat diusahakan frontal atau tegak lurus terhadap sumbu bendung dan merata;
tinggi bangunan ditentukan setinggi muka air pada debit desain bangunan
pelimpah.

1.1.5 Penangkap sedimen


Hal yang harus diperhatikan dalam bangunan penangkap sedimen
a. Penangkap sedimen dibangun untuk:
• Menghindarkan atau mengendalikan pemasukan sedimen ke jaringan
pengairan, baik yang berupa angkutan muatan dasar atau angkutan
muatan layang,
• Penangkap sedimen sebaiknya dibangun tidak jauh dari bangunan
pengambil,
• Dimensi penangkap sedimen ditentukan dengan memperhatikan
karakteristik endapan sedimen layang, debit desain, dan efektivitas
pembilas bawah yang dipasang di udik pengambil,
• Bentuk dan tata letaknya harus didesain agar mencapai keadaan aliran
yang menunjang proses pengendapan sedimen secara efektif dan
efisien dan kemudahan pembilasan.
b. Penangkap sedimen harus dilengkapi dengan kantong endapan untuk
menyimpan endapan sementara; bentuk dan ukuran kantong harus
diperhitungkan terhadap jumlah endapan yang harus ditampung, frekuensi
pengambilan atau pembilasan endapan, dan daya bilas aliran yang cukup
lancar. (Desain Hidraulik Bendung Tetap untuk Irigasi Teknis, 2002)
50

1.1.6 Mercu Bendung


Mercu bendung yaitu bagian teratas tubuh bendung dimana aliran dari udik
dapat melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum
sungai di bagian udik bendung, sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah
aliran sungai. Letak mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan
tegak lurus arah aliran sungai agar aliran yang menuju bendung terbagi rata.

1. Bentuk mercu bendung


Bentuk mercu bendung tetap, yaitu:
a. Mercu bulat dengan satu jari-jari pembulatan.
b. Mercu bulat dengan dua jari-jari pembulatan.
c. Mercu tipe ogee, SAF.
d. Mercu ambang lebar.
Bentuk mercu bendung yang lazim digunakan di Indonesia yaitu mercu
bulat. Hal ini dikarenakan:
 Bentuknya sederhana sehingga mudah dalam pelaksanaannya.
 Mempunyai bentuk mercu yang besar sehingga lebih tahan
terhadap batu gelundung, bongkahan dan sebagainya.
 Tahan terhadap goresan atau abrasi, karena mercu bendung
diperkuat oleh pasangan batu candi atau beton.
 Pengaruh kavitasi hampir tidak ada atau tidak begitu besar asalkan
radius mercu bendung mempunyai syarat minimum yaitu 0,7h<R<h
Bentuk-bentuk mercu bendung diilustrasikan di Gambar 1.5.

Gambar 1.4 Bentuk-Bentuk Mercu Bendung


51

2. Tinggi mercu bendung


Tinggi mercu bendung yaitu ketinggian antara elevasi lantai udik atau dasar
sungai di udik bendung dan elevasi mercu. Dalam penentuan ketinggian mercu
bendung belum ada rumus atau ketentuan pasti. Hanya berdasarkan pengalaman
dengan pertimbangan stabilitas bendung. Dalam penentuan tinggi mercu bendung
maka harus dipertimbangkan terhadap:
 Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.
 Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.
 Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.
 Kesempurnaan aliran pada bendung.
 Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang akan terjadi di
bendung.

3. Panjang mercu bendung


Panjang mercu bendung atau disebut pula sebagai lebar bentang bendung,
yaitu jarak antara dua tembok pangkal bendung termasuk lebar bangunan
pembilas dan pilar-pilarnya. Ini disebut sebagai panjang mercu bruto. Dalam
penentuan mercu bendung, maka harus dipertimbangkan terhadap:
1. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi
jagaan yang cukup.
2. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang
diizinkan pada debit desain.
Pengambilan panjang mercu bendung tidak boleh terlalu pendek dan tidak
pula terlalu lebar. Bila desain panjang mercu bendung terlalu pendek akan
memberikan tinggi muka air di atas mercu, lebih tinggi. Akibatnya tanggul banjir
di udik akan bertambah tinggi pula. Demikian pula genangan banjir akan
bertambah luas. Sebaliknya bila terlalu lebar, dapat mengakinatkan profil sungai
bertambah lebar pula, sehingga akan terjadi pengendapan sedimen di udik
bendung yang dapat menimbulkan gangguan penyadapan aliran ke intake.
Panjang mercu bendung efektif yaitu panjang mercu bendung bruto
dikurangi dengan lebar pilar dan pintu pembilas. Artinya panjang mercu bendung
52

yang efektif melewatkan debit banjir desain. Panjang mercu bendung efektif lebih
pendek dari pada panjang mercu bendung bruto.
Dalam penentuan panjang mercu bendung efektif, harus diketahui
bagaimana pintu-pintu pembilas bendung dioperasikan. Sudah merupakan salah
satu ketentuan dalam pengoperasian pintu-pintu pembilas dan intake waktu banjir,
harus ditutup. Sehingga tidak ada aliran yang lewat bawah pintu pembilas. Dan
aliran yang melimpah melalui pintu pembilas atas tidak semulus dibandingkan
dengan aliran yang melimpah melalui mercu bendung. Karena itu, kapasitas
melewati atas pintu pembilas biasanya hanya diabil sebesar 80 % dari panjang
rencana, untuk mengkompensasi perbedaan koefisien debit dibandingkan dengan
mercu bendung.

1.2 Fungsi Bendung Irigasi


Bendung memiliki berbagai macam fungsi dan kegunaan, meskipun
Perancangan bendung di dalam laporan ini dikembangkan untuk mengairi wilayah
persawahan. Namun dalam kenyataannya bendung biasanya mempunyai fungsi
lain yang tak kalah pentingnya seperti menanggulangi bahaya banjir,
menyediakan air baku (air tawar) bagi penduduk sekitar dan mencegah intrusi air
laut atau merembesnya air asin dari laut ke dalam aliran sungai (apabila bendung
dibangun dihilir sungai yang dekat dengan laut).

1.3 Lokasi Bendung Irigasi


Bendung irigasi dibangun pada Sungai Bedog sesuai dengan saerah irigasi
yang telah direncanakan, tepatnya di wilayah Desa Ambarketawang, dimana
kemiringan sungai (I) adalah 0,0061 dan elevasi bendung mencapai 92,59 m dpl.
Lokasi bendung ini dipilih karena jika bendung dibangun, wilayah irigasi
yang telah direncanakan dapat diairi, selain itu lokasi ini juga cukup strategis
karena tidak terlalu curam (I< 0,03) serta tidak terletak di pertemuan sungai.
Pemilihan lokasi ini juga dipengaruhi oleh land use dari wilayah DAS
(Daerah Aliran Sungai). Dalam kasus sungai Bedog, semakin ke hilir luas areal
pemukiman semakin besar sehingga pembangunan bendung di wilayah tersebut
53

bukan merupakan suatu keputusan yang cukup tepat, karena bendung ini
diperuntukkan untuk mengairi sawah.

1.4 Data Yang Diperlukan


Dalam proses Perancangan bendung dalam laporan ini diperlukan data
mentah yang diperoleh dari Kantor Dinas Perairan Yogyakarta dan literatur
lainnya. Data tersebut yang akan dipergunakan dalam perhitungan antara lain :
1. Curah hujan harian selama 12 tahun dari (minimal) 3 stasiun yang
berbeda di wilayah DAS yang telah ditentukan sebelumnya.
Data ini dipergunakan untuk mencari curah hujan harian rata-rata daerah
untuk memperoleh nilai curah hujan daerah maksimum. Data curah hujan
daerah maksimum digunakan untuk pengujian statistika data hujan yaitu;
uji ketiadaan trend, uji stasioner dan uji persistensi serta uji kebaikan
suai, sebelum digunakan untuk menghitung debit banjir rencana.
2. DAS bagian hulu bendung, digunakan untuk menghitung curah hujan
hari rata-rata daerah dan dalam perhitungan debit banjir rencana.
3. Peta kontur dan land use dari wilayah DAS yang kemudian digunakan
untuk menghitung koefisien run off (limpasan) serta mencari elevasi di
beberapa lokasi di sungai, yang akan digunakan dalam menghitung debit
banjir rencana.
4. Data daerah irigasi yaitu; jaringan saluran dan petak serta bangunan-
bangunan. Data ini dipergunakan untuk menghitung petak tertinggi,
kehilangan energi, debit (Q) demand.
54

1.5 Langkah Perancangan Bendung Irigasi (Flowchart)

Langkah-langkah perancangan bending irigasi disajikan dalam Gambar


1.5.
55

Lokasi bendung Curah hujan harian


Uji statistika data
hujan

Batas DAS Lokasi stasiun

Uji kebaikan suai

Thiessen
Hujan harian dan CS, CV, dan CK
maksimum daerah
Luas DAS &
Bobot tiap stasiun

Panjang sungai Luas DAS Kemiringan α Rn

Q banjir

NFR Luas Sawah V (rencana)

Q demand Dimensi pintu Lebar sungai


pembilas

Dimensi saluran V saluran Lebar mercu

Dimensi intake Tinggi mercu

I saluran Elevasi m.a di sedimen Elevasi m.a di


trap bag. udik sedimen trap

Dimensi
sedimen trap

I saluran Elevasi m.a Elevasi m.a


saluran bag. udik saluran bag. hulu

Dimensi saluran
pengantar

Gambar 1.5. Flowchart Perancangan Bendung


56

BAB II
DATA PERANCANGAN BENDUNG IRIGASI

2.1 Curah Hujan Harian


Curah hujan merupakan salah satu parameter hidrologi yang sangat penting
untuk Perancangan jaringan irigasi selain evapotranspirasi, debit puncak dan debit
harian, serta angkutan sedimen. Analisis mengenai curah hujan sangat penting
dalam Perancangan bendung untuk jaringan irigasi. Salah satu elemen penting
dalam Perancangan bendung tersebut adalah mengetahui debit banjir rancangan.
Untuk menentukan debit banjir rancangan yang dimaksud, maka diperlukan data
hujan maksimum untuk beberapa tahun. Data curah hujan diambil dari Kantor
Dinas Perairan. Data yang didapat berupa soft copy data curah hujan selama 12
tahun. Dari data yang kami peroleh, ada beberapa data curah hujan yang kosong.
Untuk mengisi data curah hujan yang kosong itu kami memakai rumus Normal
Ratio Method:

1  Nx Nx Nx 
NR = Pa + Pb + ... + Pn 
n  Na Nb Nn 

NR = Data curah hujan yang hilang atau yang dicari


n = Jumlah stasiun pembanding yang dipakai
Nx = Jumlah total hujan ditahun pembanding pada stasiun yang dicari
Na, Nb, dst = Jumlah total hujan ditahun pembanding pada stasiun yang dicari
Pa, Pb, dst = Data pada tanggal yang sama distasiun yang berbeda

2.2 Daerah Aliran Sungai ( DAS )


Peta batas DAS telah diberikan sebelumnya dengan skala 1:25.000. Pertama
kali lokasi bendung ditentukan dahulu. Sehingga diperoleh batas DAS dari hulu
sampai lokasi bendung. Untuk mengetahui hujan maksimum setiap tahun dari 5
stasiun secara bersama diperlukan bobot yang dicari melalui pengukuran luas
DAS.
57

Terdapat tiga macam metode perhitungan luas DAS, yaitu Metode Poligon
Thiessen, Metode Aljabar, dan Metode Isohyet. Di antara ketiga metode tersebut
dipilih Metode Poligon Thiessen karena pengerjaannya lebih mudah dan hasil
yang diberikan lebih akurat.
Langkah-langkah perhitungan luas DAS adalah sebagai berikut:
1. Buat garis lurus yang menghubungkan setiap stasiun dan diusahakan
sedemikian rupa sehingga setiap ujungnya membentuk segitiga-segitiga
(apabila banyak stasiun) dengan sudut yang lancip dan tidak tumpul.
2. Dari bentuk segitiga tersebut untuk setiap sisinya dibuat garis tegak
lurus tepat pada pertengahan garis, maka akan didapatkan bentuk-bentuk
luasan yang dimiliki setiap stasiun.
3. Hitung luas masing-masing stasiun.
4. Hitung bobot setiap stasiun dengan cara :

Luas Stasiun ke - n
Bobot =
Luas Stasiun Total
.

Contoh perhitungan:
Dari hasil perhitungan luas, diketahui luas Stasiun Godean sebesar 10,5625 km 2,
sedangkan total luas DAS adalah 93,19025 km2. Sehingga diperoleh bobot untuk
Stasiun Godean adalah:
10,5625
Bobot Stasiun Godean = 93,19025 = 0,11334

Perhitungan bobot masing-masing stasiun disajikan dalam Tabel 2.1.


Tabel 2.1 Luas DAS dan Bobot Masing-masing Stasiun

Stasiun Luas (km2) Bobot Persentase (%)


Angin-Angin 21,9375 0,23541 23,541
Beran 25,5 0,27363 27,363
Godean 10,5625 0,11334 11,334
Kemput 27,6875 0,29711 29,711
Prumpung 7,50275 0,08051 8,051
Total 93,19025 1 100
2.3 Data Hujan Harian Rata – Rata dan Maksimum Daerah
58

Jumlah bobot harus 1 atau dalam persen harus 100%. Bobot inilah yang
kemudian dikalikan dengan data hujan harian setiap stasiun untuk setiap hari pada
setiap tahun, dari data hujan harian rata-rata daerah maka akan dihasilkan data
hujan maksimum (Hmaks) daerah setiap tahun (1988-1999). Untuk menghitung
hujan harian rata-rata daerah digunakan rumus:

( L1xR1) + ( L 2 xR 2) + ( L3 xR 3) + ... + ( LnxRn )


R=
( L1 + L 2 + L3 + ... + Ln )

Keterangan :
L1 = Luas wilayah stasiun 1
L2 = Luas wilayah stasiun 2
L3 = Luas wilayah stasiun 3
Ln = Luas wilayah stasiun ke-n
R1 = Curah hujan pada stasiun 1 pada suatu tanggal tertentu
R2 = Curah hujan pada stasiun 2 pada suatu tanggal tertentu
R3 = Curah hujan pada stasiun 3 pada suatu tanggal tertentu
Rn = Curah hujan pada stasiun ke-n pada suatu tanggal tertentu
R = Curah hujan harian rata – rata daerah pada tanggal ybs

Contoh perhitungan hujan harian rata-rata daerah pada 12 Mei 1998;


L. Godean x R Godean = 10,5625 x 7
L. Beran x R Beran = 25,5 x9
L. Prumpung x R Prumpung = 7,50275 x 0,5
L. Angin x R Angin = 21,9375 x 4
L. Kemput x R Kemput = 27,6875 x 8 +
Total = 616,43875 mm.km2
Hujan rata-rata ( R ) = 616,43875/Luas Das
= 616,43875/93,19025
= 6,6 mm
59

Maka hujan harian rata-rata daerah pada tanggal 12 Mei 1998 adalah 6,6
mm. Hitungan ini dilakukan dari tanggal 1 Januari 1988 sampai 31 Desember
1999. Data curah hujan hujan maksimum daerah didapat dengan mencari nilai
maksimum dari curah hujan harian rata-rata daerah pada setiap tahunnya.

Tabel 2.2 Hujan Harian Maksimum Daerah


No Tahun Hujan (mm)
1 1988 70.9
2 1989 69.8
3 1990 52.2
4 1991 62.2
5 1992 69.2
6 1993 52.9
7 1994 52.1
8 1995 57.6
9 1996 58.9
10 1997 71.0
11 1998 77.0
12 1999 48.4
X 61.9

2. 4 Pengujian Statistika Data Hujan


2.4.1 Uji Ketiadaan Tren
Uji ketiadaan trend dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya
trend atau variasi dalam data. Apabila ada trend maka data tidak disarankan dalam
analisis hidrologi. Data yang baik adalah data yang homogen, artinya data berasal
dari populasi yang sama jenis.
Uji ketiadaan trend dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain Uji
Korelasi Peringkat (KP) dengan Metode Spearman, Uji Mann dan Whitney, dan
Uji Tanda dengan Metode Cox dan Stuart. Laporan ini menggunakan uji
ketiadaan trend dengan menggunakan Uji Korelasi Peringkat dengan Metode
Spearman. Langkah – langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. H0 : data tidak mempunyai trend
60

2. H1 : data mempunyai trend


3. α : 0,05
4. Statistik uji : koefisien korelasi peringkat Spearman, uji t

n
6∑ dt 2
KP = 1 − i =1
; Rt − Tt = dt
n −n
3

6 x 254
KP = 1 − = 0,11189
12 3 − 12
5. Hitung nilai t
1
 n −2 2
t = KP  2 
1 − KP 
1
 12 − 2 2
t = 0,11189  2 
= 0,37545
1 − 0,11189 

6. Kesimpulan : H0 diterima / ditolak (uji 2 sisi)


Dk = n - 2 = 12 - 2 = 10
Daerah kritis : t < -t 0,975 atau t > t 0,975
Daerah penerimaan : t 0,975 < t < t 0,975
t tabel = 2,228, sehingga
Daerah kritis (penolakan H0) : t < -2,228 atau t > 2,228
Daerah penerimaan : - 2,228 < t < 2,228

tolak terima tolak

-2,228 2,228

H0 diterima H1 ditolak (data tidak mempunyai trend)


61

Tabel 2.3 Uji Ketiadaan Trend


Tahun Hmaks Tt Rt dt2 KP t
1988 70,9 1 3 4
1989 69,8 2 4 4
1990 52,2 3 10 49
1991 62,2 4 6 4
1992 69,2 5 5 0
1993 52,9 6 9 9
1994 52,1 7 11 16
1995 57,6 8 8 0 0,11189 0,37545
1996 58,9 9 7 4
1997 71,0 10 2 64
1998 77,0 11 1 100
1999 48,4 12 12 0
Total = 226

Keterangan :
KP = Koefisien korelasi
t = Nilai distribusi t, dengan dk = n-2
Tt = Peringkat dari tahun terkecil s.d terbesar
Rt = Peringkat curah hujan dari yang terbesar s.d yang terkecil
dt = Selisih antara Rt dan Tt
n = Jumlah data

Dari uji ketiadaan trend diperoleh nilai distribusi t = 0,37545. Nilai ini
dibandingkan dengan nilai yang didapat dari Tabel Nilai Kritis Sebaran t uji dua
sisi untuk dk = n – 2 = 10 dan α = 0,05, yaitu t < -2,228 atau t > 2,228. Karena
-2,228 < t < 2,228 maka dapat diambil kesimpulan bahwa data yang diuji tidak
memiliki trend dan berasal dari populasi yang sama.

2.4.2 Uji Stasioner


Uji stasioner dilakukan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata
deret berkala. Uji stasioner dilakukan dengan menggunakan metode Distribusi F.
Caranya, data dibagi dalam dua kelompok atau lebih. Setiap kelompok diuji
dengan menggunakan Distribusi F. Apabila nilai varian stabil, maka dilanjutkan
62

dengan menguji kestabilan nilai rata-ratanya. Sedangkan apabila nilai varian tidak
stabil, maka tidak perlu menguji kestabilan nilai rata-rata.
Langkah – langkah yang dilakukan sebagai berikut.
a) Kestabilan varian (F test)
1. H0 : varian stabil
2. H1 : varian tidak stabil
3. α : 0,05
4. Statistik uji :
2
n1 S1 (n2 − 1)
F= 2 ; S1 dan S2 (simpangan baku kelompok 1 dan 2)
n2 S 2 (n1 − 1)
5. Hitung F
6 x8,88559 2 (6 −1)
F = = 0,60067
6 x11,04331 2 (6 −1)

6. Kesimpulan : H0 diterima / ditolak (uji 1 sisi)


DK1 = n1 – 1, DK2 =n2 - 1
F 0,95 = 5,05
Daerah kritis (penolakan H0) : F > 5,05
Daerah penerimaan : F < 5,05

terima tolak

5,05

H0 diterima, H1 ditolak (varian stabil)

b) Kestabilan rata-rata (t test)


1. H0 : Rata – rata stabil
2. H1 : Rata - rata tidak stabil
3. α : 0,05
4. Statistik uji :
63

1/ 2
 n S 2 + n2 S 2 2 
σ =  1 1 
 ; dk = n1 + n2 – 2
 n1 + n 2 − 2 
1/ 2
 6 x8,88559 2 + 6 x11,04331 2

σ =  

 6 +6 −2 
σ = 10,822

5. Hitung t
x1 − x 2
t= 1/ 2
1 1 
σ  + 
 n1 n2 
62 ,9 − 60 ,8
t= 1/ 2
1 1
10 ,822  + 
6 6
t = 0,325

6. Kesimpulan : H0 diterima / ditolak (uji 2 sisi)


Dk =n1 + n2 – 2 = 6 + 6 – 2 = 10
t 0,975 = 2,228
Daerah kritis (penolakan H0) : t < -2,228 atau t > 2,228
Daerah penerimaan : - 2,228 < t < 2,228

tolak terima tolak

-2,228 2,228

H0 diterima, H1 ditolak (rata - rata stabil)


64

Tabel 2.4 Uji Stasioner


Hujan
No Tahun (mm) H Rerata Simpangan
1 1988 70,9
2 1989 69,8
3 1990 52,2
4 1991 62,2
5 1992 69,2
6 1993 52,9 62,9 8,88559
7 1994 52,1
8 1995 57,6
9 1996 58,9
10 1997 71,0
11 1998 77,0
12 1999 48,4 60,8 11,04331

F σ t
0,60067 10,882 0,325

Dari uji stasioner didapatkan nilai F = 0,60067 . Nilai tersebut


dibandingkan dengan nilai yang didapat dari nilai kritis Fc distribusi F untuk dk1
= 5 dan dk2 = 5 yaitu sebesar 5,05. Selain itu juga didapatkan nilai t sebesar
0,325, nilai tersebut dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari tabel nilai
kritis tc untuk distribusi t uji dua sisi untuk α = 0,05 dan dk = n1 + n2 -2 = 10
yaitu tc < -2,228 atau tc > 2,228.
Karena nilai F = 0,60067 lebih kecil dari Fc = 5,05 dan nilai -2,228 < t <
2,228 maka data curah hujan memenuhi uji kestabilan nilai varian dan rata-rata.

2.4.3 Uji Persistensi ( Keacakan )


Uji persistensi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah data yang
diuji berasal dari sampel acak atau tidak dan bebas atau tidak. Acak artinya
mempunyai peluang yang sama untuk dipilih, sedangkan bebas artinya data tidak
tergantung waktu, data yang dipilih, kejadian tidak tergantung data yang lainnya
dalam suatu populasi yang sama. Persistensi diartikan sebagai
65

ketidaktergantungan dari setiap nilai dalam deret berkala. Uji persistensi dapat
dilakukan dengan menghitung korelasi serial, misalnya dengan Metode Spearman.
Langkah – langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. H0 : data acak
2. H1 : data tidak acak
3. α : 0,05
4. Statistik uji : koefisien korelasi peringkat Spearman, uji t
n
6∑ di 2  m −2 
1/ 2

; t = KS 
KS = 1 − 1 − KS 
i =1 2

m −m
3

di : beda peringkat data ke 1 dan i+1


m = n – 1 = 11
6 x 231
KS = 1 − = −0,05
113 − 11
5. Hitung t
1/ 2
 m −2 
t = KS 
1 − KS 
2

1/ 2
 11 − 2 
t = − 0,05  2 
= -0,15019
1 − (−0,05 ) 

6. Kesimpulan : H0 diterima / ditolak (uji 1 sisi)


DK : m – 2 = n – 3 = 12 – 3 = 9
t 0,975 = 2,262
Daerah kritis (penolakan H0) : t > 1,833
Daerah penerimaan : t < 1,833

terima tolak

1.833

H0 ditolak, H1 diterima (data tidak acak pada α = 0,05)

Hasil perhitungan uji persistensi disajikan dalam Tabel 2.5.


66

Tabel 2.5 Data Uji Persistensi


Tahun Hmaks Tt Rt di2 KS t
1988 70,9 1 3 -
1989 69,8 2 4 1
1990 52,2 3 10 36
1991 62,2 4 6 16
1992 69,2 5 5 1
1993 52,9 6 9 16
1994 52,1 7 11 4 -0,05 -0,15019
1995 57,6 8 8 9
1996 58,9 9 7 1
1997 71,0 10 2 25
1998 77,0 11 1 1
1999 48,4 12 12 121
Total = 231

Dari hasil uji persistensi didapatkan nilai t sebesar - 0,15019 . Nilai ini
dibandingkan dengan nilai yang didapat dari Tabel Nilai Kritis Sebaran t uji dua
sisi untuk dk = m – 2 = 9 dan derajat kepercayaan 0,05 (5%), yaitu sebesar 2,262.
Karena - 0,15019 tidak berada di antara - 2,262 sampai 2,262, maka data curah
hujan di atas tidak memenuhi uji persistensi dan berasal dari sampel tidak acak
dan bebas, artinya tidak(mempunyai peluang yang sama untuk dipilih, dan data
tidak tergantung waktu, serta kejadian tidak tergantung data yang lainnya dalam
suatu populasi yang sama).

2.5 Estimasi Distribusi Data


Terdapat empat jenis sebaran yang ditawarkan dalam pengerjaan Praktik
Perancangan Bangunan Air, yaitu Sebaran Normal, Sebaran Log Normal, Sebaran
Gumbel Tipe I, dan Sebaran Log Pearson III. Sebelum menentukan jenis sebaran
apa yang dipakai, maka harus dicari terlebih dahulu koefisien variasi (CV),
koefisien kemencengan (CS), dan koefisien kurtosis (CK). Seperti ditampilkan
pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Pemilihan Jenis Sebaran


67

No. Sebaran Syarat


1. Normal CS = 0
CS
2. Log Normal CS = 3CV atau ≈3
CV
CS = 1,1396
3. Gumbel Tipe 1
CK = 5,4
4. Log Pearson III Tidak termasuk di atas atau CS < 0

Sebelum melakukan estimasi distribusi, dilakukan pengelompokan data


dengan langkah sebagai berikut :
1. Mengurutkan data pengamatan, dari besar ke kecil.
2. Menentukan range kelas, dengan contoh sebagai berikut :
Range = (data terbesar – data terkecil) / jumlah kelas yang diinginkan
= (77 – 48,4) / 4
= 7,15
3. Buatlah kelas dengan nilai range yang telah didapat, dimulai dari nilai
terkecil dan diakhiri di nilai terbesar.
Hasil perhitungan CV, CS, dan CK disajikan dalam tabel 2.7.

Tabel 2.7 Perhitungan CV, CS dan CK


(Xi - fi x (Xi -
Kelas fi Xi Xi x fi X)² (Xi - X)³ (Xi - X)4 X)² fi x (Xi - X)4
51,97
48.4 - 55.55 4 5 207,9 91,147 -870,186 8307,739 364,587 33230,957
55.56 - 62.72 3 59,14 177,42 5,674 -13,517 32,198 17,023 96.594
66,30
62.73 - 69.88 2 5 132,61 22,876 109,415 523,325 45,753 1046,649
73,44 220,33 1694,91 20208,31
69.89 - 77.00 3 5 5 142,156 3 2 426,469 60624,935
1 738,26 29071,57
Σ 2 5 261,853 920,626 4 853,831 94999,135

2.5.1 Koefisien Variasi (CV)


Koefisien variasi atau coefficient of variation (CV) merupakan nilai
perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung dari suatu
distribusi. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
68

∑X ∑( X ) 2
i −X S
X = ; S= i ; CV =
n n −1 X

Keterangan :
CV : koefisien variasi
S : standar deviasi
X : rata-rata hitung = Hrerata
n : jumlah data hujan = 12 tahun

Semakin besar nilai koefisien variasi, berarti datanya kurang merata


(heterogen), sebaliknya jika semakin kecil berarti semakin merata (homogen).
Perhitungan koefisien variasi adalah sebagai berikut :

853,8306
S
CV = = (12 −1) = 0,14321
X
61,52208

2.5.2 Koefisien Kemencengan (CS)


Koefisien kemencengan atau coefficient of skewness (CS) merupakan suatu
nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan (asimetri) dari suatu bentuk
distribusi. Pengukuran kemencengan adalah mengukur seberapa besar suatu kurva
frekuensi dari suatu distribusi tidak simetri atau menceng.
n 3
a=
( n −1)( n − 2)
∑Xi −X
a
CS =
S3
12
CS = × 920,626 = 0,14686
(12 −1)(12 − 2)8,810276 3

2.5.3 Koefisien Kurtosis


69

Pengukuran koefisien kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan


dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi
normal. Rumus koefisien kurtosis adalah sebagai berikut.
n2
CK =
(n −1)( n − 2)( n − 3) S 4
∑( X i − X )4

Secara teoretis apabila nilai :


CK = 3, maka disebut dengan distribusi yang mesokurtis (mesocurtic), artinya
puncaknya tidak begitu runcing dan tidak begitu datar, serta berbentuk
distribusi normal.
CK > 3, disebut dengan distribusi yang leptokurtis (leptocurtic), artinya
puncaknya sangat runcing.
CK < 3, disebut dengan distribusi yang platikurtis (platicurtic), artinya puncaknya
lebih datar.
12 2
CK = × 29071,574 = 1,31395
(12 −1)(12 − 2)(12 − 3)8.810276 4

2.6 Uji Kebaikan Suai


Dipeoleh jenis sebaran termasuk jenis Log Pearson III. Setelah diperoleh
jenis sebaran dilakukan uji kebaikan suai dengan metode uji chi-kuadrat.
Perhitungan uji chi-kuadrat dapat dilihat di Tabel 2.7 di bawah ini.
Interval dibagi empat (G = 4) dengan range 7,75. Kemudian dicari derajat
kebebasan (dk) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
dk = G – R – 1 , dengan R = 2
Maka dk = 4 – 2 – 1 = 1
Hasil perhitungan Uji Chi-Kuadrat disajikan dalam Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Perhitungan Uji Chi-Kuadrat


70

No Nilai Batas Jumlah Data (Oi-Ei)² (Oi-Ei)²/Ei


Sub
Kelompok Oi Ei
1 48.4 - 55.55 4 3 1 0,333
2 55.56 - 62.72 3 3 0 0,000
3 62.73 - 69.88 2 3 1 0,333
4 69.89 - 77.00 3 3 0 0,000
χ 2
=Σ 0,667

Dari hasil uji chi-kuadrat didapatkan nilai kritis sebesar 0,667. Nilai ini
kemudian dibandingkan dengan nilai pembanding dalam Tabel Nilai Kritis untuk
Distribusi Chi-Kuadrat pada lampiran. Pada tabel tersebut kita lihat nilai kritis
pada dk = 1 dan α derajat kepercayaan 0,05 didapatkan nilai kritis pembanding
sebesar 3,481. Karena 0,667 < 3.481 maka data memenuhi syarat.

2.7 Perhitungan Nilai Hujan Rencana Periode Ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan
100 Tahun.
Penentuan hujan (R) kala ulang ini digunakan untuk menentukan debit
banjir rencana (Q) kala ulang 2 tahun (Q2), 5 tahun (Q5), 10 tahun (Q10), 25 tahun
(Q25), 50 tahun (Q50), 100 tahun (Q100). Cara mendapatkan besarnya hujan dengan
kala ulang 2 tahun (R2), 5 tahun (R5), 10 tahun (R10), 25 tahun (R25), 50 tahun
(R50), 100 tahun (R100), adalah sebagai berikut :
1. Tentukan logaritma dari semua nilai X (curah hujan)
2. Hitung nilai rata-ratanya dengan rumus :

log X =
∑log X i

n
3. Tentukan nilai standar deviasi dari log X dengan rumus :

∑(log X ) 2
i − log X
S . log X =
n −1

4. Hitung nilai koefisien kemencengan (CS) dengan rumus :


71

CS =
(
n.∑ log X i − log X ) 3

( n −1).( n − 2).(S . log ) 3


X

Hasil perhitungan CS disajikan dalam Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Perhitungan CS


Rt Xi log Xi (log X i − log X ) (log
2
(log XX −−log
ii X))
log X
3
3

1
77 1,8865 0,0100 0,0010
2 71 1,8513 0,0042 0,0003
3 70,9 1,8506 0,0041 0,0003
4 69,8 1,8439 0,0033 0,0002
5 69,2 1,8401 0,0029 0,0002
6 62,2 1,7938 0,0001 0,0000
7 58,9 1,7701 0,0003 0,0000
8 57,6 1,7604 0,0007 0,0000
9 52,9 1,7235 0,0040 -0,0003
10 52,2 1,7177 0,0048 -0,0003
11 52,1 1,7168 0,0049 -0,0003
12 48,4 1,6848 0,0104 -0,0011
Σ = 21,4395 0,0494 -0,0001

Hasil perhitungan :
log X = 1,7866
0,0517
S . log X = = 0,0670
12 −1
3
( S . log X ) = 0,0686 3
= 0,0003

CS =
(
n.∑ log X i − log X ) 3

=
12 x ( −0,0001 )
= −0,0462
( n −1).( n − 2).(S . log ) 3
X 11 x10 x 0,0003

5. Tentukan nilai k untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun yang
didapat dari Lampiran III. 4. Tabel Nilai k Distribusi Pearson Tipe III,
berdasarkan nilai CS yang diperoleh. Jika nilai CS yang diperoleh tidak
ditemukan di Lampiran III. 4. Tabel Nilai k Distribusi Pearson Tipe III,
maka dilakukan interpolasi.
72

6. Dari tabel tersebut didapat nilai k untuk 2, 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun
masing-masing sebesar 0,00786; 0,83923; 1,27645; 1,75562; 2,02904;
2,29179.
Contoh perhitungan :
Mencari nilai k untuk periode ulang 2 tahun :
1. Nilai CS yang diperoleh -0,0462 ; berada diantara nilai CS = 0
dan CS = -0,1. Maka dilakukan interpolasi linier.
2. Nilai CS = -0,1 didapat nilai k = 0,017. Nilai CS = 0didapat
nilai k = 0. Maka –0,0462 dikalikan dengan 0,017 lalu
ditambahkan dengan selisih jarak antara -0,1
kCS = {(CS-0,1 – CS) . k0} + {(CS - CS0) . k-0,1} / (CS-0,1 - CS0)
= {(-0,1 – (-0,0462)) . 0} + {(-0,0462 - 0) . 0,017}/(-0,1 - 0)
= 0,00786
7. Masukkan nilai k tersebut pada rumus sebagai berikut:
X = X + k.S
Diperoleh nilai Rn = X, seperti ditampilkan pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Besarnya Hujan (Rn)


Peluang Periode
k log X +k ( S . log X ) Rn=X
% Ulang
50 2 0,00786 1,78715 61,256
20 5 0,83923 1,84285 69,638
10 10 1,27645 1,87214 74,497
4 25 1,75562 1,90424 80,212
2 50 2,02904 1,92256 83,668
1 100 2,29179 1,94016 87,129

2.8 Penentuan Debit (Q) dengan Kala Ulang 2 Tahun, 5 Tahun, 10 Tahun,
50 Tahun, dan 100 Tahun
73

Metode yang digunakan untuk penentuan debit adalah metode Der


Weduwen karena luas DAS kelompok kami kurang dari 100 km2. Rumus
banjir Der Weduwen didasarkan pada rumus-rumus berikut :

Rn 67 ,65
t = 0,25 LQ −0 ,125 I −0, 25 ; q= x
240 t +1,45

t +1
120 + A 4,1
t +9 ; α =1 − β q + 7
β=
120 + A

Qn = α β q A

Keterangan :
Qn = debit banjir (m3/dt) dengan kemungkinan tidak terpenuhi n%
Rn = curah hujan harian maksimum (mm/hari) dengan kemungkinan =
= tak terpenuhi n%
α = koefisien limpasan air hujan
β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan daerah aliran =
= sungai
q = curah hujan (m3/det.km2)
A = luas daerah aliran (km2) sampai 100 km2
t = lamanya curah hujan (jam)
L = panjang sungai dari hulu ke bendung (km)
I = gradien (Melchior) sungai atau medan

Langkah-langkah perhitungan banjir rencana:


74

1. Ukur jarak sungai ke bendung (L), panjang DAS dari hulu ke bendung
(L’), ketinggian di bendung dan ketinggian 0,9 L’ dari bendung. Dari
hasil pengukuran pada peta diperoleh :
L = 26,725 km
L90 = 24,0525 km
Elevasi bendung = 120,72 m
Elevasi di L90 = 707 m
2. Kemiringan (I) didapatkan dari hasil pembagian antara ΔH (selisih
elevasi sungai pada 0,9 L dengan elevasi bendung), dimana L adalah
panjang DAS sungai yang ditinjau.
ΔH = 707 – 120,72 = 586.28 m
Diperoleh nilai I sebagai berikut :
I = ΔH / L90 = 586.28 / (24,0525 . 1000)
= 0,02438
3. Asumsikan nilai Qawal, kemudian cari nilai t, β, q, dan α dengan
menggunakan rumus-rumus di atas.
4. Hitung nilai Qn.
5. Bandingkan nilai Qawal dan Qn, bila nilainya tidak sama maka ulangi
perhitungan hingga menemukan nilai Q yang sama (Metode Iterasi).

Contoh perhitungan Q2 :
Qawal = 85.8162 m3/detik
A = 93.19025 km2
Rn = 61,2563 mm
I = 0,02438
t = 0,25 L Q-0,125 I-0,25
-0,125
= 0,25 . 0,02438. 85.8162 . 0,02438-0,25
= 9,6918 jam
t +1
120 + A
β = t +9
120 + A
75

9,6918 +1
120 + x93.19025
= 9,6918 + 9
120 + 93.19025
= 0,8129

Rn 67 ,65
q = 240 x t +1,45

61,2563 67 ,65
= x
240 9,6918 +1,45

= 2,1348 m3/det.km2

4,1
a = 1 − β q +7

4,1
= 1 − 0,8129 . 2,1348 +7

= 0,5306

Qn = α . β. q . A
= 0,5306 . 0,8129. 2,1348. 66,1305
= 85,8174 m3/det

Jika Qawal 2 tahun tidak sama dengan Qn, maka perhitungan diulang dengan
menggunakan metode iterasi (trial-error). Trial-error dihentikan jika beda Qawal
dan Qn {(Qn - Qawal/Qn) . 100%} < 2%.
Hasil perhitungan Q Banjir Rencana ditampilkan dalam Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Perhitungan Q Banjir Rencana

Periode
Rn Qawal t b qn a Qn
Ulang
76

61.2563 2 85.8162 9.6918 0.8129 2.1348 0.5306 85.8174


69.6382 5 101.74 9.4877 0.8108 2.4722 0.5447 101.7482
74.4970 10 111.35 9.3813 0.8098 2.6707 0.5525 111.3511
80.2122 25 122.97 9.2656 0.8085 2.9066 0.5615 122.9732
83.6676 50 130.161 9.2000 0.8079 3.0505 0.5668 130.1661
87.1285 100 137.49 9.1372 0.8072 3.1955 0.5720 137.4924

BAB III
PERENCANAAN STRUKTUR BENDUNG
77

3.1 Kriteria Bendung


1. Tipe bendung : bendung tetap (badan bendung dari beton)
2. Tipe puncak bendung : satu jari-jari
3. Tipe pintu pembilas : tidak menggunakan lantai bawah
4. Tipe kolam olak : bak tenggelam
5. Lain-lain:
a. Tidak ada kantong lumpur (sediment trap).
b. Tanggul banjir menyesuaikan kondisi elevasi muka tanah dibanding
elevasi mercu bendung.
c. Lantai depan sesuai kebutuhan.
d. Dinding pengarah ke hulu bendung sesuai peraturan.
e. Posisi pintu pengambilan terhadap as bendung bebas ditentukan
sendiri.
f. Data kondisi tanah di tempat rencana posisi bendung adalah kerikil
halus, c = 0, Z = 0, γ = 2,65, Ø = 30˚, β = 1

3.2 Data Sungai


1. Lebar rerata sungai pada saat banjir = 30 m
2. Kemiringan dasar sungai = 0,003
3. Penampang sungai di tempat bendung
a. Elevasi puncak tebing sungai kiri (P)
= 121,72 m
b. Elevasi puncak tebing sungai kanan (Q)
= 121,72 m
c. Elevasi dasar tebing sungai kiri (R) =
116,72 m
d. Elevasi dasar tebing sungai tengah (S)
= 116,72 m
e. Elevasi dasar tebing sungai kanan (T)
= 116,72 m
78

P Q

R S T

4. Debit banjir rancangan 100 tahun (Q100) =


137,4924 m3/d

3.3 Data Jaringan dan Saluran Irigasi


1. Jenis tanah yang dominan CL
Indeks Plastisitas (IP) = 11
Nilai banding rongga = 0,85
2. Efisiensi yang dapat digunakan:
a. Saluran primer ( ep ) = 0,90
b. Saluran sekunder ( es ) = 0,90
c. Saluran tersier ( et ) = 0,80
3. Untuk menentukan elevasi mercu bendung, kondisi yang digunakan
adalah:
a. Petak tersier P mengambil air dari pintu sadap saluran sekunder
ke - 3
b. Total beda tinggi karena kemiringan saluran pintu sadap ke
bangunan pembagi = 0,5 m
c. Jumlah bangunan irigasi antara pintu sadap sampai bangunan
pembagi (bangunan terjunan tidak ada) = 4 buah
d. Bangunan pembagi pada butir b dan c adalah setelah ruas
terakhir saluran primer, yaitu setelah ruas ke - 3
e. Data saluran primer sampai dengan pintu pengambilan adalah
sebagai berikut :
• Panjang yang dilayani ruas ke-1 = 0,9 km
• Panjang yang dilayani ruas ke-2 = 1,2 km
79

• Panjang yang dilayani ruas ke-3 = 1 km


• Jumlah bangunan pada ruas ke-1 = 4 buah
• Jumlah bangunan pada ruas ke-2 = 4 buah
• Jumlah bangunan pada ruas ke-3 = 4 buah
Bangunan terjunan tidak ada
• Kehilangan pada pintu pengambilan = 0,10 m
f. Elevasi muka sawah di petak tersier P = 89 m
g. Jumlah bangunan irigasi antara sawah – pintu sadap = 4 buah
h. Total beda elevasi karena kemiringan saluran dan bangunan di
petak tersier = 1,3 m

3.4 Perhitungan Hidraulik Bendung


Untuk perhitungan hidraulik bendung, tidak semua bagian dari jaringan
irigasi diperhitungkan. Pada laporan ini hanya dilakukan perhitungan dimensi
bagian – bagian utama bendung.

3.4.1 Elevasi Mercu Bendung


Penentuan elevasi mercu didasarkan pada KP-01 dengan rumus sebagai
berikut :
P=A+a+b+c+d+e+f+g+∆ h+Z
P = Muka air di saluran primer atau sekunder
A = Elevasi di sawah = 119 m
b = Kehilangan tinggi energi dari saluran kuarter sampai sawah = 0,05
a = Lapisan air di sawah = 0,1 m
c = Kehilangan tinggi energi di boks bagi kuarter (0,05m/bangunan)
= 0,05 x 6 = 0,3
d = Kehilangan tinggi energi selama pengaliran di saluran irigasi =
kemiringan kali panjang atau I x L (di saluran tersier)
= 1,8 x 0,015 = 0,027
e = Kehilangan energi di boks bagi = 8 x 0,05 = 0,4
80

f = Kehilangan tinggi energi di gorong-gorong (5cm/bangunan) = 2 x 0,05


= 0,1
g = Kehilangan tinggi energi di bangunan sadap = 0,1
∆ h = Variasi tinggi muka air 0,18h100(kedalaman rencana) = 0,2
H100 = ∆ h/0,18 = 1,1
Z = Kehilangan tinggi energi dibangunan-bangunan tersier yang lain = 0,2

Maka berdasarkan data-data yang diketahui didapat nilai P dengan rumus :


P=A+a+b+c+d+e+f+g+∆ h+Z
= 119 + 0,1 + 0,05 + 0,3 + 0,027 + 0,4 + 0,1 + 0,1 + 0,2
+ 0,2
= 120,477 m

3.4.2 Menentukan Lebar Bendung


Untuk menentukan lebar bendung digunakan KP-02 dengan rumus :
Be = B - 2(nKp + Ka) H1
Be = Lebar efektif bendung (m)
Q100 = 137,4924 m3/dt
q = debit per satuan lebar = Q/B = 4,58308
n = Jumlah Pilar = 0
B = Lebar bendung (m) = 30 m (sama dengan lebar rata-rata sungai)
Kp = Koefisien kontraksi pilar = 0
Ka = Koefisien kontraksi panjang bendung = 0,2 = (Pangkal tembok segi
empat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran)
H1 = Tinggi energi = 4 m
Maka berdasarkan data-data yang diketahui didapat nilai Be dengan rumus:

Be = B - 2(nKp + Ka) H1
Be = 30 - 2( 2 x 0 + 0,2) 4 = 28,4 m
81

3.5 Menentukan H1 dan H2 Bendung


A. Penentuan H1
Untuk menentukan H1 (tinggi energi di atas bendung) digunakan rumus
sebagai berikut.

2 2
Q100 =C d ×B × H 3 / 2 × g
3 3

Keterangan :
Q = debit saluran (m3/dt)
Cd = koefisien debit (Cd = C0 × C1 × C2)
B = lebar efektif bendung
g = percepatan gravitasi (= 9,8 m/d2)
H = tinggi energi di atas mercu (m)

Cek tinggi air banjir (trial and error)

Pada kondisi banjir, disyaratkan H1 (aliran pada kondisi banjir) ≈ He,


karena perhitungan bendung direncanakan dalam kondisi banjir demi
keamanan dan kestabilan.

Untuk pertama kali dipilih H1 = 2,25 m.

Jari – jari Kelengkungan Mercu = 1 m


Elevasi Dasar Sungai Rata - Rata = 116,72 m
Elevasi Mercu Bendung = 120,477 m
Kemiringan 1:1
P (Elevasi Mercu - Elevasi Dasar Sungai Rata-rata) 3,757 m
82

Trial 1
Debit 100 tahun (Q100) 137.4924 m3/dt
Koefisien Debit (Cd) 1.3392162
Lebar Efektif Bendung (B) 28.4 m
Tinggi Energi di Atas Mercu (H) 1.65 m
Gaya gravitasi (g) 9.81 m/dt
H1/r 2.25 m
H1 2.25 m
P/H1 1.50

C0 C1 C2 r
1.35 0.998 0.994 1

Trial 2
Debit 100 tahun (Q100) 137.4924 m3/dt
Koefisien Debit (Cd) 1.2573
Lebar Efektif Bendung (B) 28.4 m
Tinggi Energi di Atas Mercu (H) 1.72 m
Gaya gravitasi (g) 9.81 m/dt
H1/r 1.65 m
H1 1.65 m
P/H1 2.28

C0 C1 C2 r
1.27 1 0.99 1

Trial 3
Debit 100 tahun (Q100) 137.4924 m3/dt
Koefisien Debit (Cd) 1.2672
Lebar Efektif Bendung (B) 28.4 m
Tinggi Energi di Atas Mercu (H) 1.71 m
Gaya gravitasi (g) 9.81 m/dt
H1/r 1.72 m
H1 1.72 m
P/H1 2.18

C0 C1 C2 r
1.28 1 0.99 1
83

Trial 4
Debit 100 tahun (Q100) 137.4924 m3/dt
Koefisien Debit (Cd) 1.2573
Lebar Efektif Bendung (B) 28.4 m
Tinggi Energi di Atas Mercu (H) 1.72 m
Gaya gravitasi (g) 9.81 m/dt
H1/r 1.71 m
H1 1.71 m
P/H1 2.19

C0 C1 C2 r
1.27 1 0.99 1

1. Menentukan nilai C0  dari grafik KP-02 hal. 44


H1
= 1,71  C0 = 1,27
r

2. Menentukan nilai C1  dari grafik KP-02 hal. 44


P 3,757
= = 2,19  C1 = 1
H1 1,71

3. Menentukan nilai C2  dari grafik KP-02 hal. 45


C2 = 0,99 (perbandingan kemiringan mercu diambil 1:1)
4. Menentukan nilai Cd
Cd = C0× C1×C2
= 1,2573

Q100 = 137,4924 m3/detik


2
Q100 = Cd × 2/3Be × H3/2 × g
3

2
137,4924 = 1,2573 × 2/3(28,4) × H3/2 × ×9,81
3

Syarat yang harus dipenuhi adalah He harus mendekati nilai H1.


H1 = He = 1,71 m ≈ 1,71 m  OK!
84

Jadi, perkiraan tinggi banjir sudah benar


B. Penentuan H2
Penentuan nilai H2 bendung dapat dicari dengan menggunakan
persamaan dari KP – 02. Dengan rumus-rumus sebagai berikut.

1
v1 = 2 g ( H 1 + z )
2

Q 100
q=
B ef
q
y1 =
v1

v1
Fr =
g × y1

y2 1 2
= ( 1 + 8 Fr − 1)
y1 2
2
1
Q = A× × R 3 × I
n
2/3
1  Bs × H 2 
Q = Bs × H 2 × ×   × I
0,04  Bs + 2 H 2 

Keterangan :
z = tinggi jatuh (m)
P = elevasi mercu –elevasi dasar sungai rata-rata (m)
v1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)
y1 = kedalaman air di awal loncat air (m)
y2 = kedalaman air di atas ambang ujung (m)
Fr = angka Froude
Bs = lebar Sungai
g = Percepatan gravitasi (= 9,8 m/dt2)
H1 = tinggi energi di atas ambang (m)
H2 = kedalaman air di hilir (m)
85

I = kemiringan saluran
R = jari-jari hidraulis (m)
N = 0,04 (dikarenakan sungai di Indonesia termasuk jenis sungai
= yang agak berbatu)

Pada penentuan H2 terdapat syarat yang harus dipenuhi, yaitu H2 ≥ y2


1. Cek ada tidaknya loncat air dapat dihitung sebagai berikut.
z = 3,757 ; H1 = 1,71
1
v1 = 2 g ( H 1 + z )
2

1
v1 = 2 ×9,8 × ( .1,71 + 3,757 ) = 9,5125 m/d
2

2. Kedalaman air di atas ambang ujung dihitung sebagai berikut.


Q100 137,4924
q= = = 4,58308 m2/d
B ef 30
q 4,58308
y1 = = 9,5125 = 0,4818 m
v1

v1 9,5125
Fr = = = 4,3755
g × y1 9,81 ×0,4818

y2 1 2
= ( 1 + 8Fr −1)
y1 2
1
y2 = ( 1 + 8 × 4,3755 2 −1) × 0,4818 = 2,75 m
2
karena kondisi yang diinginkan adalah y2 = h2, maka h2 = y2 = 2,75

3.6 Menentukan Panjang Bendung


86

Panjang bendung diasumsikan seperti Gambar 3.1 di bawah ini

Gambar 3.1. Dimensi Bendung


87

BAB IV
ANALISIS STABILITAS BENDUNG

4.1 Gaya yang Bekerja Pada Bangunan


Setelah selesai direncanakan, bendung harus dianalisis kestabilannya.
Adapun gaya – gaya yang bekerja pada bangunan dan mempunyai arti penting
dalam perencanaan adalah :
a. Tekanan air, dalam dan luar
b. Tekanan lumpur (sediment pressure)
c. Gaya gempa
d. Berat bangunan
e. Reaksi pondasi
Bendung yang telah direncanakan dimensi dan gambarnya harus dicek
kestabilannya terhadap empat penyebab runtuhnya bangunan gravitasi. Keempat
hal tersebut adalah :
1. Erosi Bawah Tanah (Piping)
2. Geser (Sliding)
a. sepanjang sendi horisontal atau hampir horisontal di atas pondasi
b. sepanjang pondasi atau
c. sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal dalam pondasi.
3. Guling (Overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.

4.2 Stabilitas Terhadap Erosi Bawah Tanah (Piping)


Bangunan – bangunan utama seperti bendung dan bendung gerak harus
dicek stabilitasnya terhadap erosi bawah tanah dan bahaya runtuh akibat naiknya
dasar galian (heave) atau rekahnya pangkal hilir bangunan.
Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dicek dengan jalan membuat
jaringan/flownet atau dengan metode empiris seperti; Metode Bligh, Metode Lane
88

dan Metode Koshia. Pemeriksaan stabilitas bendung terhadap erosi bawah tanah
dalam laporan ini dilakukan dengan Metode Lane.
Bendung arus memenuhi syarat CLperhitungan pada saat ada aliran dan tidak ada
aliran, yaitu harus lebih kecil dari CL berdasarkan jenis tanah dari tabel. Rumus CL
pada saat ada aliran dan tidak ada aliran adalah sebagai berikut.
1
∑LV + 3 ∑LH
CL =
H
Dimana :
CL = angka rembesan Lane
Σ LV = jumlah panjang vertikal, m
Σ LH = jumlah panjang horisontal, m
H = beda tinggi muka air, m
Harga-harga minimum angka rembesan Lane ditampilkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Harga-harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL)


Jenis Tanah CL
Pasir sangat halus atau lanau 8,3
Pasir halus 7,0
Pasir sedang 6,0
Pasir kasar 5,0
Kerikil halus 4,0
Kerikil sedang 3,5
Kerikil kasar termasuk berangkal 3,0
Bongkah dengan sedikit berangkal dan kerikil 2,5
Lempung lunak 3,0
Lempung sedang 2,0
Lempung keras 1,8
Lempung sangat keras 1,6
(Sumber : KP – 02, Halaman 157)

Perhitungan:
Jenis tanah
yang
89

digunakan adalah kerikil kasar termasuk berangkal dengan angka rembesan Lane
3,0.
Dari Gambar 4.1. bisa didapatkan Σ LV dan Σ LH.

Gambar 4.1. Dimensi Bendung

Σ LV = H + LV1-2 + LV3-4 + LV5-6 + LV 7-8


= 4 + 2 + 2 + 0,25 + 2,5
= 10,75 meter
Σ LH = 1/3 x (LH2-3 + LH4-5 + LH6-7 )
= 1/3 x 20,4
= 6,8 meter

1
∑Lv + 3 ∑Lh
CL =
H

10 ,75 + 6,8
CL = = 5,929 ≥ 3,0  OK!
4 +1,71 − 2,75

Kesimpulan :
Angka Rembesan Lane perhitungan di atas memenuhi syarat karena lebih
besar dari 3,0. Bila pada pemeriksaan di atas tidak memenuhi syarat maka harus
ditambah pudel di depan bendung atau dipasang sheet pile pada dasar bendung.
Hal ini bertujuan untuk memperpanjang panjang rembesan.
90

4.3 Stabilitas Terhadap Geser


Dalam pemeriksaan kestabilan terhadap geser harus dihitung terlebih dahulu
gaya – gaya horisontal dan gaya – gaya vertikal yang bekerja pada bangunan.
Perhitungan gaya vertikal pada bendung berdasarkan Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Pembagian Berat Bendung

Tabel 4.2 menampilkan hasil perhitungan gaya dan momen yang bekerja
pada bendung.
Tabel 4.2 Gaya dan Momen Akibat Berat Sendiri Bendung
Nama Alas Tinggi Tebal Berat Gaya Lengan Momen
Gaya (m) (m) (m) Jenis Penahan Terhadap Penahan
(ton/m3) (ton) Titik 7 (ton.m)
W1 1,5 6 1 2,4 21,6 19,65 424,44
W2 6 6 1 2,4 43,2 16,9 730,08
W3 18 2 1 2,4 86,4 9,9 855,36
W4 0,9 2,5 1 2,4 5,4 0,45 2,43
Jumlah 156,6 2012,31

Contoh perhitungan :
Gaya Penahan (W1) = volume bendung x berat jenis beton
91

= 1,5 x 6 x 1 x 2,4
= 21,6 ton
Momen Penahan = W1 x Lengan terhadap titik 7
= 21,6 x 19,65
= 424,44 ton.m

Perhitungan gaya horizontal pada saat tidak ada aliran berdasarkan Gambar
4.3.

Gambar 4.3. Gaya Horizontal pada Bendung saat Tidak Ada Aliran

Hasil perhitungan gaya dan momen yang bekerja pada saat tidak ada aliran
ditampilkan dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Gaya dan Momen Yang Bekerja Pada Saat Tidak Ada Aliran
Nama Alas Tinggi Tebal Gaya Lengan Momen
Gaya (ton/m2) (m) (m) Geser Terhadap Guling
(ton) Titik 7 (ton.m)
Ea 39,24 4 1 78,4800 5,58 437,9184
Contoh perhitungan :
γ w = 1 ton/m3, g = 9,81 m/dt2
Alas =Hxγ w xg
= 4 x 1 x 9,81
= 39,24 ton/m2

Gaya Geser (Ea) = volume prisma


92

1
= x alas x tinggi x tebal
2
1
= x 39,24 x 4 x 1
2
= 78,48 ton

Momen Guling = Ea x Lengan terhadap titik 7


= 78,48 x 5,58
= 437,9184 ton.m

Perhitungan gaya horizontal pada saat ada aliran berdasarkan Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Gaya Horizontal pada Bendung saat Ada Aliran

Hasil perhitungan gaya dan momen yang bekerja pada saat ada aliran ditampilkan
dalam tabel 4.4
Tabel 4.4 Gaya dan Momen Yang Bekerja Pada Saat Ada Aliran
Nama Alas Tinggi Tebal Gaya Lengan Momen
Gaya (ton/m2) (m) (m) Geser Terhadap Guling
(ton) Titik 7 (ton.m)
Ea1 56,0151 5,71 1 159,923 6,1500 983,5271
1
Ea2 26,9775 2,75 1 37,0941 3,1700 117,5882
93

Contoh perhitungan :
γ w = 1 ton/m3, g = 9,81 m/dt2
Alas =Hxγ w xg
= 5,71 x 1 x 9,81
= 56,0151 ton/m2

Gaya Geser (P1) = volume prisma


1
= x alas x tinggi x tebal
2
1
= x 56,0151 x 5,71 x 1
2
= 159,9231ton

Momen Guling = P1 x Lengan terhadap titik 7


= 159,9231ton x 6,1500
= 983,5271 ton.m

Perhitungan kestabilan bendung terhadap geser yang hanya dihitung


berdasarkan gesekan saja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang
terdapat dalam KP - 02 halaman 155, yaitu :

Σ( H ) f
<
Σ(V −U ) S

Dimana :
Σ (H) = keseluruhan gaya horisontal yang bekerja pada bangunan, kN
Σ (V-U) = keseluruhan gaya vertikal (V), dikurangi gaya tekan
keatas yang = bekerja pada bangunan
f = koefisien gesekan
S = faktor keamanan
94

Gaya tekan ke atas pada bendung menyebabkan berkurangnya berat efektif


bendung. Tipe pondasi yang digunakan adalah yang baik dan pejal. Rumus gaya
tekan ke atas untuk bangunan yang dibangun pada pada pondasi batuan adalah :

WU = c.γ w [h2 + 1/2.ξ .(h1 - h2)] A (KP - 02 Halaman 151)

Keterangan :
c = proporsi luas dimana tekanan hidrostatik bekerja
= (c = 1, untuk semua tipe pondasi )
γ w = berat jenis air, kN/m3 = 9,81 KN/m3
h1 = kedalaman air hulu = 5,467 m
h2 = kedalaman air hilir = 2,75 m
ξ = proporsi tekanan (proportion of net head) diberikan pada Tabel
= 6.3 (KP - 02 Halaman 151) = 0,5 ( baik,pejal)
A = luas dasar = 15,4 m2
WU = gaya tekan ke atas resultante, KN

Maka : WU = c.γ w [h2 + 1/2.ξ .(h1 - h2)] A


 1 
= 1 × 9,81 × 2,75 + × 0,5 × ( 5,71 − 2,75 )  × 20 ,4
 2 
WU = 698,4328 KN = 69,84 Ton

a. Cek saat tidak ada aliran :


78,48 0,7
<
(156,6 −69 ,84 ) 2
0,9 > 0,35  Tidak OK!
b. Cek saat ada aliran
159,9231 - 37.0941 0,7
<
(156,6 − 69 ,84 ) 2

1,4 > 0,35  Tidak OK!


95

Karena faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata
terlampaui, maka bangunan dihitung keamanannya dengan rumus yang
didalamnya memperhitungkan geser bahan beton (c = 110 Tf/m2). Rumus yang
digunakan sesuai KP - 02 halaman 155, seperti dibawah ini :

[ f × Σ(V −U ) ] + ( c × A)
Σ( H ) ≤
S Dimana :
c = satuan kekuatan geser bahan, ton.f/m2
A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2
= arti simbol – simbol lain seperti pada persamaan sebelumnya

a. Cek saat tidak ada aliran :


[0,7 ×(156,6 − 69 ,84 ) ] + (110 × 20 ,4 )
78 ,48 ≤
2

69,2343 < 1152,36  OK!

b. Cek saat ada aliran


[0,7 ×(156,6 − 69 ,84 ) ] + (110 × 20 ,4 )
159 ,9231 − 37 ,0941 ≤
2

29,75 < 362,86  OK!


96

4.4 Stabilitas Terhadap Guling


Agar bangunan aman terhadap guling, maka jumlah semua momen penahan
yang bekerja pada bendung harus lebih besar dari jumlah momen guling yang
bekerja. Stabilitas bendung terhadap guling memiliki syarat seperti dibawah ini :

ΣMp
>2
ΣMg

Dimana :
Mp = momen penahan guling ,ton.m
Mg = momen guling ,ton.m

a. Saat tidak ada aliran


2012,31
>2
437,9184

4,59 > 2  OK!

b. Saat ada aliran


2012 ,31 +117 ,5882
>2
983,5271

2,165 > 2  OK!


97

DAFTAR PUSTAKA

SK SNI T-02-1990-F, Standar Tata Cara Perencanaan Teknik Bendung


Alfabeta, Desain Hidraulik Bendung Tetap untuk Irigasi Teknis, 2002
Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perencanaan Umum Bendung,
1990
Direktorat Jenderal Pengairan, KP – 02. Bangunan Utama
Soewarno, Analisis Metode Statistik untuk Analisa Data, Jilid I, 1995
98

LAMPIRAN IV. GAMBAR TAMPAK SAMPING BENDUNG


99

LAMPIRAN V. GAMBAR TAMPAK ATAS BENDUNG

You might also like