You are on page 1of 27

BAB I

Pendahuluan
Latar Belakang

Kabupaten Cilacap termasuk wilayah yang memiliki banyak


potensi wisata. Sepanjang pantai selatan terdapat sejumlah
lokasi wisata pantai sampai perbatasan dengan wilayah
Kabupaten Kebumen (Gua Jatijajar dan Pantai Ayah, Pantai
Logending). Diantaranya adalah Pantai Teluk Penyu,
Widarapayung, Jetis, Bunton, Selok, dan Karangkandari yang
sudah disulap menjadi tempat berdirinya Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU). Di sejumlah titik sepanjang pantai tersebut
juga berdiri kokoh beberapa Tempat Pelelangan Ikan hasil
tangkapan nelayan. Salah satu yang terbesar adalah Pelabuhan
Perikanan Nasional Cilacap.

Di sepanjang pesisir selatan Nusakambangan terdapat


eksotisme pantai pasir putih, permisan dan cagar alam Karang
Bandung. Keangkeran Nusakambangan juga menyimpan sejuta
pesona dan eksotisme alam yang menarik. Di pulau penjara
tersebut, masih banyak gua yang penuh dengan stalaknit dan
stalaktit. Seperti di Gua Putri, Gua Ratu, Gua Masigit Sela, Gua
Penimbang, Gua Sikempis, Gua Lawa, dan masih banyak lainnya.

Pesisir menjadi wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan


manusia di bumi. Edgreen pada tahun 1993 memperkirakan
bahwa sekitar 50-70% dari 5,3 milyar penduduk di bumi
sekarang ini tinggal di kawasan pesisir (Kay R, 1999). Sebagai
wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan
ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini
khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Salah satu agenda
dalam Pertemuan Johannesburg tahun 2002 yang
diselenggarakan oleh Badan Dunia, menyebutkan bahwa wilayah
pesisir merupakan sumberdaya alam yang perlu dilindungi dan
dikelola berlandaskan pada pembangunan ekonomi dan sosial.

Nusa Kambangan adalah nama sebuah pulau di Jawa


Tengah yang lebih dikenal sebagai tempat terletaknya beberapa
Lembaga Pemasyarakatan (LP) berkeamanan tinggi di Indonesia.
Pulau ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap
dan tercatat dalam daftar pulau terluar Indonesia. Untuk
mencapai pulau ini orang harus menyeberang dengan kapal feri

1
dari pelabuhan khusus yang di kelola oleh Departemen
Kehakiman R.I. yaitu dari Pelabuhan Sodong menyebrang ke
Cilacap, Jawa Tengah selama kurang-lebih lima menit dan
bersandar di Pelabuhan feri Wijayapura di Cilacap. Feri
penyebrangan khusus ini juga di nakhodai dan di awaki oleh
Petugas Pemasyarakatan (pegawai LP), bukan dari Departemen
Perhubungan, khusus untuk kepentingan transportasi
pemindahan narapidana dan juga melayani kebutuhan
tranportasi pegawai LP itu sendiri beserta keluarganya.

Secara tradisional, penerus dinasti Kesultanan Mataram


sering melakukan ritual di pulau ini dan menjadikannya sebagai
"hutan ritual". Di bagian barat pulau, di sebuah gua yang terletak
di areal hutan bakau, ada semacam prasasti peninggalan zaman
VOC. Di ujung timur, di atas bukit karang, berdiri mercu suar
Cimiring dan benteng kecil peninggalan Portugis. Berbagai
macam tumbuhan khas ritual budaya Jawa ditanam di sini. Nusa
Kambangan tercatat sebagai pertahanan terakhir dari tumbuhan
wijayakusuma yang sejati. Dari sinilah nama pulau ini berasal:
Nusa Kembangan, yang berarti "pulau bunga-bungaan".

Pulau Kambangan, yang berstatus sebagai cagar alam,


selain sering digunakan untuk latihan militer, juga merupakan
habitat bagi pohon-pohon langka, namun banyak yang telah
ditebang secara liar. Saat ini yang tersisa kebanyakan adalah
tumbuhan perdu, nipah, dan belukar. Kayu Plahlar
(Dipterocarpus litoralis)yang hanya dapat ditemukan di pulau ini
banyak dicuri karena setelah dikeringkan, mempunyai kualitas
yang setara dengan kayu dari Kalimantan.

Selain itu, laguna yang pada 1960 hingga 1970-an, masih


dikelilingi hutan bakau yang hijau, kini sudah jauh berubah.
Bahkan, sudah berada di ambang ke punahan. Perubahan laguna
Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, utamanya disebabkan
sedimentasi
yang dibawa sungai-sungai yang bermuara di kawasan itu.
Tiap tahunnya, tidak kurang dari 760 ribu meter kubik endapan
lumpur dari sejumlah sungai, terutama Sungai Citanduy dan
Cimeneng.
Akibat sedimentasi yang berlangsung bertahun-tahun,
membuat berjuta-juta endapan lumpur semakin menyempitkan
luas laguna. Data yang ada di Badan Pengelola Kawasan Segara
Anakan (BPKSA) Cilacap, menyebutkan laguna di area itu sudah
menyusut sampai 90%. Sebab, 1900 silam, luas laguna mencapai

2
6.460 hektare (ha), pada 2000 hanya tinggal 1.200 ha, dan kini
tersisa 600 ha.

Sedimentasi di Segara Anakan tidak hanya membuat laguna


semakin menyempit, tetapi juga pelan-pelan mengubah
ekosistem di area tersebut. Lumpur-lumpur yang menjadi tanah
timbul menjadi kematian bagi flora pada hutan mangrove.

Sebab, dengan munculnya tanah timbul tersebut akan


mengakibatkan perubahan lingkungan yang tidak cocok dengan
tanaman mangrove. Jika pada 1970 silam, luas hutan mangrove
mencapai 15 ribu ha, kini hanya tinggal tersisa sekitar 8.000 ha
saja.

1.2. Perumusan Masalah

Wilayah pesisir memiliki keunikan ekosistem. Wilayah ini


sangat rentan terhadap perubahan, baik karena diakibatkan oleh
aktifitas daerah hulu maupun karena aktifitas yang terjadi di
wilayah pesisir itu sendiri.

Dari perumusan masalah diatas, maka muncul pertanyaan


penelitian bagaimana karakteristik ekosistem pesisir wilayah
kabupaten Cilacap?

1.3. Tujuan dan Sasaran

1.4. Ruang Lingkup

Secara administratif dalam hirarki pemerintahan


kabupaten, terdapat satuan wilayah administrasi yang lebih
rendah yaitu wilayah kecamatan pesisir dan wilayah desa pesisir.
Kriteria kecamatan pesisir adalah kecamatan yang wilayahnya
memiliki ekosistem pesisir atau berbatasan langsung dengan
perairan laut, sedang kriteria untuk desa pesisir adalah desa
yang memiliki garis pantai atau desa yang memiliki ekosistem
pesisir.

Berdasarkan kriteria wilayah kecamatan yang memiliki


ekosistem pesisir atau berbatasan langsung dengan perairan
laut, maka di Kabupaten Cilacap terdapat 10 Kecamatan pesisir
yaitu : Cilacap Selatan, Cilacap Utara, Cilacap Tengah, Adipala,

3
kawunganten, Nusawungu, Binangun, Patimuan, Jeruklegi, dan
Kesugihan.

Dari 10 Kecamatan pesisir yang ada, tiga kecamatan yaitu


Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap Tengah dan Cilacap Utara
memliki derajad kepesisiran bernilai 100% karena seluruh
Kelurahan didalam kecamatan tersebut masuk sebagai kelurahan
pesisir. Kecamatan Adipala, Nusawungu, Binangun dan
Kawunganten memiliki nilai derajad kepesisiran 30 – 55%,
sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah kecamatan pesisir
sedang, sedang Kecamatan Patimuan, Kesugihan dan Jeruklegi
dikategorikan sebagai wilayah kecamatan pesisir rendah karena
nilai derajad kepesisiran berkisar 15 – 25%. Meskipun demikian
tidak menutup kemungkinan desa-desa yang tidak masuk
sebagai desa pesisir di masing-masing memiliki kontribusi di
dalam mempengaruhi dan menjaga kelesatarian wilayah pesisir
Kabupaten Cilacap.

Desa / Kelurahan di Kabupaten Cilacap yang dikategorikan


sebagai desa pesisir berjumlah 43 desa/kelurahan yang tersebar
di 10 Kecamatan. Desa pesisir ini dicirikan dengan terdapatnya
ekosistem pesisir dan atau memiliki garis pantai. Desa/Kelurahan
Pesisir di kabupaten Cilacap yang memiliki wilayah paling luas
adalah Kelurahan Tambakreja Kecamatan Cilacap Selatan
dengan luas 11.636.6 ha. Luas Kelurahan Tambakreja mencakup
Pulau Nusakambangan yang pengelolaannya di bawah
Departemen Kehakiman dan HAM. Sedang Desa/Kelurahan
pesisir yang memiliki jumlah penduduk paling besar adalah
Kelurahan Sidanegara Kecamatan Cilacap Tengah dengan
penduduk sebanyak 30.329 jiwa.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Batasan Pengertian Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir masih menjadi perdebatan banyak


pihak mengingat sulitnya membuat batasan zonasi wilayah
pesisir yang dapat dipakai untuk berbagai tujuan kepentingan.
Robert Kay, 1999 mengelompokkan pengertian wilayah pesisir
dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan
dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan Ketchum,
1972 dalam Kay 1999 mendefinisikan wilayah pesisir sebagai
sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses
dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi
oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari
sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari

4
garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan.
Definisi ini tergantung dari issue yang diangkat dan faktor
geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai
(Hildebrand and Norrena, 1992 dalam Kay,1999). Pengelolaan
wilayah pesisir menyangkut pengelolaan yang terus menerus
mengenai penggunaan wilayah pesisir dan sumberdaya
didalamnya dari area yang telah ditentukan, dimana batas-batas
secara politik biasanya dihasilkan melalui keputusan legislatif
atau eksekutif (Jones and Westmacott, 1993 dalam Kay 1999).

1.5.2. Lingkungan Ekosistem Pesisir

Tipologi ekosistem pesisir berdasarkan sifatnya dapat


dikelompokkan dalam ekosistem alami dan ekosistem buatan
(Dahuri, R, 2001). Ekosistem pesisir di Indonesia sebagai daerah
tropis adalah sebagai berikut ;

Hutan mangrove merupakan tipe hutan khas tropika


yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan
tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan
salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan
mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara
sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan
terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah
sebagai sebagai sumber makanan bagi berbagai macam hewan
laut. Sistem perakaran yang kokoh akan melindungi pantai dari
erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove juga
merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan
(spawning ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.

Padang lamun merupakan tumbuhan yang hidup


terbenam di perairan dangkal yang agak berpasir. Secara
ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi
daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer,
sumber makanan penting bagi organisme, dengan sistem
perakaran yang rapat menstabilkan dasar perairan yang lunak,
tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi
beberapa spesies, sebagai peredam arus gelombang dan sebagai
tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun
sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur
air laut, salinitas, substrat dan kecepatan arus.

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem khas


di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-
endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh
organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang

5
mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, dalam Dahuri 2001).
Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang
tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti
ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang
memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang
juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari
tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat
ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, temperatur,
salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan sedimentasi.

Estuaria adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup,


tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria
didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik
dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria.
Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan air
tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di
estuaria relatif sedikit. Pantai pasir terdiri dari kwarsa dan
feldspar, yang merupakan sisa-sisa pelapukan batuan di gunung
yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk
oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh
ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil
bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di
pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir
sering dijadikan beberapa biota (seperti penyu) untuk bertelur.
Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang
mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan
angin yang mengangkut pasir ke arah darat.

Pantai Berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai


dengan batu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air.
Batuan yang terbenam ini menciptakan zonasi kehidupan
organisme yang menempel di batu karena pengaruh pasang.
Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah
pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.

Pulau-pulau Kecil (Small Island) merupakan pulau yang


berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dengan pulau
induknya. Pulau kecil ini akan memiliki karakteristik ekologi yang
bersifat insular karena terisolasi dengan pulau induknya.

Permasalahan Wilayah Pesisir

Potensi dan permasalahan wilayah pesisir telah banyak


dikemukakan oleh para pakar kelautan dan pesisir. Issue – issue
permasalah wilayah pesisir secara global berdasarkan hasil
kajian di berbagai wilayah pesisir di dunia dikemukakan oleh

6
Robert Kay (1999). Pokok permasalahan dalam pengelolaan
wilayah pesisir menurutnya adalah sebagai berikut :
pertumbuhan penduduk khususnya di negara miskin dan
berkembang,

pemanfaatan wilayah pesisir, dampak lingkungan dari


kegiatan manusia dan kelemahan administratif. Permasalah
wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Rohmin Dahuri (2001)
merupakan permasalah umum wilayah pesisir yang banyak
dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalah wilayah
pesisir meliputi : pencemaran, kerusakan habitat pantai,
pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai,
konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalah-
permasalahn tersebut sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas
kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun
yang berada di luar kawasan.

1.5.3. Obyek Hak Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil


(P3K)

Di dalam berbagai publikasi ilmiah maupun populer, seringkali


disebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat luas,
dan dua pertiga dari luas keseluruhan adalah perairan. Dengan
berbekal berbagai potensi yang disebutkan, strategi pengelolaan
sumberdaya di Indonesia hampir tidak memperhatikan kendala
yang ditimbulkan oleh keberadaan perairan dan pulau-pulau
kecil di seluruh wilayahnya. Tentu saja bukan kendala mahalnya
investasi infrastruktur maupun sistem transportasi yang harus
disediakan pemerintah, tapi juga kendala dalam menerapkan
pengaturan penguasaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah
tersebut. Jika sebelumnya telah disebutkan bahwa pemahaman
akan fungsi dan ketersediaan sumberdaya komunal dan para
pemanfaatnya di wilayah P3K, maka bagian ini akan mencoba
mendeskripsikan komponen-komponen dari sumberdaya di
wilayah P3K yang dapat menjadi obyek hak.

Secara logika, wilayah P3K terdiri dari 2 komponen, yaitu


ekosistem dan komoditi. Ekosistem dengan fungsi yang berbeda-
beda dalam wilayah ini dibagi menjadi9:

1. Daerah di atas 100 meter dari titik surut ke arah darat;


biasanya digunakan sebagai pemukiman, berdirinya
bangunan-bangunan fungsional lainnya seperti pelabuhan,
pabrik, tempat wisata, serta lokasi sumber air tawar.

7
2. Mangrove; suatu ekosistem yang merujuk pada beberapa jenis
pohon yang dapat hidup di daerah dengan tanah bersalinitas
dan berair asin. Selain pemanfaatan kayu dari batang, akar
dan hasil madunya, ekosistem ini merupakan habitat berbagai
jenis kerang-kerangan, kepiting, udang, ikan-ikan kecil dan
menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis ikan yang bernilai
tinggi.

3. Muara, laguna dan teluk. Ketiganya adalah ekosistem


berbentuk badan air yang di daerah pesisir yang memiliki air
dangkal dan landai. Muara biasanya merupakan pertemuan air
tawar dari sungai dan air laut. Laguna merupakan badan air
yang biasanya sering ‘terpotong’ dari laut karena bentukan
pasir. Teluk merupakan badan air yang menjorok ke arah
daratan sehingga biasanya digunakan untuk menyandarkan
perahu, menjadi lokasi pelabuhan. Ketiga badan air ini
berperan dalam siklus kehidupan beberapa jenis ikan dan
kerang-kerangan karena sebagai media pengantar nutrisi dan
bahan organik ke laut, sebagai habitat beberapa jenis ikan,
maupun menyediakan kebutuhan dari berbagai jenis ikan
migrasi.

4. Padang lamun (seagrass bed), menjadi sumber nutrisi bagi


ikan-ikan konsumsi yang bernilai penting dan beberapa jenis
kerang.

5. Terumbu karang, merupakan ekosistem yang menjadi


pemeran utama bagi keanekaragaman hayati dan produktifitas
laut. Ekosistem ini menjadi sumber makanan laut bagi
manusia dan penyedia makanan bagi ikan, pemecah ombak
alami untuk menghindari abrasi, serta obyek wisata menarik
bagi wisatawan.

6. Pulau kecil, yang kerap dianggap sebidang tanah di atas


permukaan laut sesungguhnya merupakan ekosistem
tersendiri karena kekhasan dan keterbatasannya. Ancaman
yang dihadapi pulau kecil adalah abrasi dan persediaan air
tawar (terutama untuk pulau yang berpenghuni). Fungsi pulau
kecil, selain sebagai penyedia air tawar, tempat nelayan
berlindung saat badai atau ombak tinggi, juga sebagai habitat
bagi berbagai jenis burung endemik dan migrasi.. Untuk
beberapa pulau kecil tertentu, bahkan menjadi persinggahan
berbagai berbagai spesies laut migrasi seperti penyu, lumba-
lumba, paus.

8
Perlu juga dipahami ada fungsi-fungsi ruang yang tidak terbatas
pada salah satu ekosistem tertentu, seperti:

1. Daerah penangkapan ikan (fishing ground), daerah ini bisa


berada di wilayah mangrove, terumbu karang, muara, laguna,
teluk, maupun laut lepas. Hal yang perlu diperhatikan adalah
juga subyek hak yang melekat pada tiap ekosistem, misalnya
perempuan dan anak-anak yang lebih sering mencari ikan,
kerangkerangan maupun bibit ikan di daerah yang dekat
dengan garis pantai seperti mangrove, estuari, laguna, sampai
dengan padang lamun bahkan di wilayah tertentu di daerah
terumbu karang (ukurannya adalah lokasi tersebut dapat
dijangkau dengan berjalan kaki). Selain yang alami, ada juga
lokasi yang memang sengaja dibuat misalnya dengan
pemasangan rumpon (fish aggregating device) atau terumbu
karang buatan (artifical reef) yang kemudian hak
penggunaannya melekat pada individu atau kelompok yang
membuatnya. terdapat pada beberapa wilayah yang dihuni
oleh masyarakat Bajo, yang biasanya rumahrumahnya berada
di atas air laut.

2. Daerah pemijahan ikan (spawning aggregation area), yang


biasanya berada di lokasi mangrove, padang lamun, terumbu
karang, dan estuari. Mengapa daerah ini menjadi penting,
khususnya untuk perlakuan konservasi, karena menjadi daerah
reproduksi jenis-jenis ekonomis hewan laut seperti ikan,
kerang-kerangan, dan berbagai jenis udang dan kepiting.

Untuk obyek hak yang berupa komoditi, dapat sangat beragam


dari mulai yang menetap sampai dengan obyek bergerak seperti
ikan pelagis. Maksud bergerak di sini adalah apabila obyek
tersebut dapat melakukan perpindahan dari satu tempat ke
tempat lain dalam jarak yang relatif jauh (migratory species
seperti tuna dan berbagai ikan pelagis lainnya). Oleh karena itu
secara sederhana, terjemahan nelayan lokal terhadap fenomena
ini dikenal dengan musim (musim tongkol, musim teri, dsb).

Obyek hak berupa komoditi pasti berkorelasi dengan ruang


dengan fungsi tertentu, seperti:

1. Ikan, bisa yang dikategorikan ikan karang dengan wilayah


jelajah tetap atau ikan pelagis dengan wilayah jelajah
berpindah (migrasi)

2. Kerang-kerangan

9
3. Udang (bisa hasil tangkapan dan budidaya)

4. Produk dari mangrove (kayu, madu, kepiting, kerang, aren)

5. Garam

6. Hasil hutan dan pohon seperti kelapa, cengkeh dan pohon


produktif lainnya

1.5.3. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir

Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan


konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang
mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah
pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan
pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan,
pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana
contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai
target. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah
pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu
sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir
adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi,
lingkungan, ekonomi dan sistem sosial.

Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam


filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan
dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep
keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.

Gambar 1. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan


wilayah pesisir (Kay, 1999. p.62)

10
1.5.4. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan
wilayah pesisir pada akhir abad 20 (Kay,1999). Young pada
tahun 1992 memperkenalkan sejumlah tema yang mendasari
konsep berkelanjutan yaitu; integritas lingkungan, efisiensi
ekonomi, dan keadilan sosial (Kay,1999). Dari tiga prinsip
pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir
dapat diuraikan bahwa :

0 1. bahwa instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi


instrumen pengambilan keputusan, yang memasukkan
parameter lingkungan untuk melihat ke depan melalui
analisis biaya manfaat;

1 2. didalam pembangunan berkelanjutan issue lingkungan


seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi
perhatian utama dalam pengambilan keputusan;

2 3. dalam pembangunan berkelanjutan sangat


memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat
sekarang dan masa yang akan datang.

2 Dalam pengelolaan wilayah pesisir, kata integrasi


menjadi begitu penting. Beberapa kelompok integrasi yang harus
dilakukan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Cicin-Sain,
1993)adalah: Integrasi antar sektor di wilayah pesisir, integrasi
antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir,
integrasi antar pengelola tingkat pemerintahan, integrasi antar
negara, dan integrasi antar berbagai disiplin

11
BAB II

GAMBARAN UMUM

Daerah Segara Anakan terletak diantara rangkaian Pegunungan


Selatan Jawa Barat (Kalipucang-Nusakambangan) dengan
rangkaian Pegunungan Serayu Selatan (Majenang) yang dikenal
dengan sebutan depresi Segara Anakan. Segara Anakan ini
terbentuk sebagai produk tektonik, yaitu melalui proses
pembentukan Zona Depresi Citanduy, yang dibatasi oleh sesar-
sesar atau patahan-patahan besar. Zona ini terbentang luas dari
Pedataran Banjar sampai Cilacap, dengan bentangan arah Barat
Laut-Tenggara sepanjang kurang lebih 50 km dan lebar sekitar
15 km. Akibat proses pengangkatan (up lift) yang terus menerus
berlangsung, kawasan-kawasan perairan maupun daratan yang
berada di dalam Zona Depresi Citanduy semakin terangkat dan
meninggi elevasinya bahkan perairan mengering. Proses yang
menyertai dinamika perubahan ekosistemnya tidak luput dari
gerak-gerak patahan aktif, gempa, pengangkatan (up lift) dan
perpindahan sungai-sungai, yang berakhir dengan pendangkalan
Segara Anakan sendiri sehingga membentuk daratan-daratan
yang sekarang dikenal sebagai Kampung Laut.

Kecamatan Kampung Laut merupakan kecamatan yang terletak


di perairan Segara Anakan.

Wilayahnya seluas 14.519 ha merupakan tanah daratan yang


berasal dari tanah timbul akibat pengendapan lumpur di laguna
Segara Anakan dan perairan yang banyak ditumbuhi dengan
hutan bakau / mangrove. Pola penggunaan tanah masih
cenderung belum produktif bagi masyarakat Kecamatan
Kampung Laut, hal ini disebabkan karena sebagian besar tanah
yang ada merupakan tanah timbul yang baru terbentuk dan
masih mepunyai struktur tanah endapan serta belum
mempunyai unsur hara yang cukup bagi pertunbuhan tanaman.
Selain itu kondisi ketinggian lahan yang masih relatif datar dan
hanya berkisar 1-1,5 m diatas permukaan laut (dpl)
menyebabkan lahan yang ada akan terendam air laut apabila
terjadi air pasang. Air pasang yang menggenangi daratan ini
mengakibatkan kandungan garam pada lahan penduduk menjadi
tinggi, sehingga hanya tanaman-tanaman tertentu saja yang
dapat tumbuh dengan subur.

12
Kondisi wilayah Kawasan Segara Anakan termasuk didalamnya
Kecamatan Kampung Laut merupakan wilayah pengembangan
Sungai Citanduy bagian hilir berada diantara Pantai Selatan Jawa
Tengah bagian barat dengan Pulau Nusakambangan. Segara
Anakan merupakan perairan payau karena percampuran air
tawar yang mengalir dari Sungai Citanduy, Cibeureum, Donan
dan Sungai Cikonde / Cimeneng serta beberapa sungai kecil lain
yang bermuara langsung di Segara Anakan dan bercampur
dengan air laut dari Samudera Indonesia. Laguna Segara Anakan
merupakan daerah penangkapan ikan, udang dan kepiting serta
sebagai daerah asuhan bagi larva udang dan ikan serta sebagai
tempat berkembangbiaknya biota perairan tersebut. Fenomena
pendangkalan Segara Anakan yang merupakan sumber
penghidupan biota laut maupun masyarakat dapat
mengakibatkan berkurangnya pendapatan penduduk terutama
karena sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan.

Kondisi sosial masyarakat merupakan suatu penghambat bagi


laju pertumbuhan pengembangan Kawasan Segara Anakan, hal
tersebut dapat dilihat dengan tingginya pertumbuhan penduduk,
rendahnya kesadaran masyarakat dan tingkat pendidikan serta
pengetahuan tentang pelestarian lingkungan. Kondisi sosial
tersebut berakibat pada permasalahan kemiskinan pada
penduduk, sehingga pemanfaatan sumberdaya yang ada
dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhitungkan
keberlanjutannya.

Sesuai dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian


sebagian besar penduduk adalah sebagai nelayan dengan
daerah kegiatan :

• Perikanan Daerah Payau Segara Anakan (Inshore Fishery)

Perikanan ini merupakan perikanan rakyat. Hasil tangkapan pada


usaha perikanan di daerah payau sebagian besar (75 %) terdiri
dari campuran antara rebon (drysidasea) dan udang penacid
(juveniledaen) yang banyak dipergunakan sebagai bahan baku
dalam pembuatan terasi. Selain itu perairan ini juga potensial
menghasilkan jenis ikan blanak dan jenis-jenis clupaid. Rata-rata
untuk produktifitas udang Segara Anakan setiap tahunnya
berkisar 450 kuintal. Di perairan Segara Anakan juga potensial
menghasilkan kepiting dan rajungan dengan produksi mencapai
60 ton per tahun.

• Perikanan Laut (Offshore Fishery)

13
Kabupaten Cilacap yang terletak di pesisir pantai selatan Pulau
Jawa merupakan pangkalan perikanan yang terbesar. Daerah
tangkapannya meliputi perairan laut Teluk Pangandaran (Jawa
Barat) disebelah barat, Teluk Penyu (Cilacap) dan sampai ke
Yogyakarta di sebelah timur. Daerah tersebut mempunyai
hubungan dengan Segara Anakan yang banyak dipengaruhi oleh
aliran sungai yang bermuara di daerah tersebut, namun
kehidupan para nelayan dari tahun ke tahun semakin sulit dan
mereka beralih profesi dari nelayan menjadi petani tambak /
sawah, mengingat hasil produksi ikan semakin menurun
berkaitan dengan semakin dangkal dan menyempitnya laguna
Segara Anakan.

2.1. Satuan Ekosistem Pesisir Kabupaten Cilacap

Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap yang memiliki panjang


garis pantai 103.023 km, yang membentang arah timur – barat
memiliki karakteristik ekosistem pesisir sebagai berikut :

2.1.1. Estuari Laguna Segara Anakan

Laguna Segara Anakan seluas ± 388.000 ha merupakan


kawasan estuari yang terbentuk dari pertemuan sungai Citandui
dengan anak-anak sungai Cibereum, sungai Tiramsabuk, sungai
Cimeneng, dan sungai Sapuregel. Terbentuknya ekosistem
estuaria laguna Segara Anakan juga dipengaruhi oleh
keberadaan Pulau Nusakambangan yang berada tepat di muara
sungai berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh gelombang
laut secara langsung. Didalam ekosistem estuaria laguna Segara
Anakan dicirikan oleh keberadaan hutan mangrove, pulau-pulau
timbul dan endapan sedimen muara sungai. Karena proses
akumulasi transport material sungai yang kontinue menjadikan
kawasan Segara Anakan menjadi kawasan ekosistem pesisir
yang berubah sangat dinamis. Di dalam ekosistem Laguna
Segara Anakan juga dihuni oleh penduduk yang tinggal di dalam
kawasan dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan petani
yang memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di dalam
kawasan.

2.1.2. Pulau Nusakambangan

Pulau Nusakambangan di Kabupaten Cilacap seluas


±46.721 ha memiliki identitas secara nasional sebagai tempat
pemasyarakatan narapidana yang telah ada sejak jaman Kolonial

14
Belanda. Sebagai sebuah ekosistem pulau kecil, Pulau
Nusakambangan memiliki peranan yang sangat penting sebagai
pengatur tata lingkungan kawasan Segara Anakan. Di samping
itu keberadaan hutan hujan dataran rendah di Pulau
Nusakambangan memiliki kekayaan habitat berbagai jenis satwa,
seperti macan kumbang (Panthera pardus), landak (Hystrix
brahyura), trenggiling (Manis javania), ular sanca (Python sp) dan
berbagai jenis burung seperti rangkong (Buceros sp) dan burung-
burung merandai (Suwelo IS, 2003).

2.1.3. Kota Pantai Cilacap

Kota Cilacap merupakan satu-satunya kota pantai yang


ada di pantai selatan Jawa. Kota ini telah tumbuh menjadi kota
industri dan kota bahari. Keberadaan pelabuhan niaga, industri-
industri besar Pertamina, Semen Nusantara dan industri lainnya
sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan dinamika kota
ini. Kota Cilacap pada jaman pemerintahan kolonial Belanda
digunakan sebagai salah satu wilayah pertahanan maritim.
Banyak peninggalan bersejarah dari pemerintah kolonial Belanda
yang saat ini dijadikan obyek wisata sejarah oleh pemerintah
kabupaten.

2.1.4. Dataran Pantai Berpasir

Dataran pantai berpasir membentang dari Kota Cilacap ke


arah timur sampai muara Kali Ijo yang berbatasan dengan
Kabupaten Kebumen sepanjang ±45 km. Terbentuknya dataran
pantai berpasir ini disebabkan oleh terangkutnya material pasir
gunung yang diangkut melalui Sungai Serayu dan Sungai Ijo
yang masuk kelaut. Di beberapa tempat dijumpai danau-danau
kecil yang berair payau. Pada lahan pantai berpasir ini telah
dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata seperti Teluk Penyu, dan
tempat tambat bagi perahu-perahu yang mencari ikan di
perairan laut Samudera Indonesia. Desa-desa di wilayah pantai
ini pada umumnya dicirikan oleh dominasi liputan pertanian
sawah, pemukiman dan kebun.

2.1.5. Perairan Laut Kabupaten Cilacap

Perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai merupakan


batas pengelolaan wilayah perairan laut kabupaten seperti yang
ada di dalam UU no. 22 tahun 1999. Luas wilayah pengelolaan
perairan laut Kabupaten Cilacap seluas ±57.000 ha yang
membentang dari perbatasan dengan Kabupaten Ciamis di
bagian barat dan Kabupaten Kebumen di bagian timur. Perairan

15
laut ini merupakan area penangkapan hasil sumberdaya laut
berbagai jenis ikan dan udang bagi nelayan-nelayan Kabupaten
Cilacap. Salah satu keunggulan dari wilayah perairan adalah
perairan berbentuk teluk yang relatif tenang karena keberadaan
Pulau Nusakambangan dan pegunungan karts Logending di
Kabupaten Kebumen yang menjorok ke arah laut.

2.2. Permasalahan Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap

Potensi permasalahan wilayah pesisir Kabupaten Cilacap


yang dapat diidentifikasi antara lain :

1 a. Pendangkalan estuaria laguna Segara Anakan akibat


sedimentasi yang diangkut dari daerah hulu sungai
Citandui dan sungai lainnya yang bermuara di kawasan
tersebut.

2 b. Perubahan fungsi lahan (konservasi) hutan mangrove


menjadi lahan budidaya seperti pertanian padi sawah
atau pemukiman maupun eksploitasi kayu hutan
mangrove.

3 c. Pencemaran perairan pesisir akibat limbah industri,


tumpahan minyak dari limbah kapal, limbah rumah
tangga, limbah rumah sakit maupun limbah pertanian.

4 d. Berubah-ubahnya salinitas perairan pesisir karena


tidak kontinunya pasokan air tawar dari sungai-sungai
yang masuk ke perairan akibat banjir ataupun
keperluan irigasi.

Berdasarkan perangkat kebijakan yang telah dan sedang


dibuat, Pemerintah Kabupaten Cilacap telah memberi perhatian
besar terhadap pengelolaan wilayah pesisir khususnya di wilayah
Segara Anakan. Sedang kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap
dalam penataan ruang kawasan pesisir, meskipun belum disusun
dalam bentuk peraturan daerah (Perda) akan tetapi wacana ini
telah disosialisasikan sejak tahun 2003. Dari perangkat kebijakan
yang ada terlihat telah tersedianya mekanisme koordinasi secara
horisontal antar dinas sektoral dan antar wilayah kabupaten,
juga koordinasi vertikal dengan pemerintahan propinsi maupun
dengan pemerintah pusat.

Isu-isu / permasalahan pengelolaan wilayah pesisir yang


dihadapi Kabupaten Cilacap adalah (Bappeda Kabupaten Cilacap,
2003) sebagai berikut :

16
1. Belum termanfaatkannya potensi sumberdaya pesisir
secara optimal dalam mendukung otonomi daerah, baik
digunakan untuk pariwisata maupun budidaya perikanan
laut

2. Adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus


pada konflik kepentingan dan konflik penggunaan ruang
antar sektor serta stakeholder lainnya.

3. Lemahnya peraturan perundangan dalam hal pengaturan


pengelolaan, dimana masih ada pertentangan dalam
kewenangan pengelolaan kawasan pesisir, yaitu menurut
UU nomor 22 tahun 1999 pasal 10 ayat 3 bahwa
kewenangan daerah kabupaten di wilayah laut sepertiga
dari batas laut daerah propinsi (12 mil), tetapi pada
kenyataannya pengelolaan kawasan tersebut masih
ditangani oleh pemerintah propinsi.

4. Kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir akibat


pengelolaan yang tidak terkendali (sedimentasi, erosi,
pencemaran) dan masih minimnya peranan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan
wilayah pesisir.

5. Belum adanya rencana tata ruang pada wilayah pesisir,


laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Cilacap, kegiatan
yang dilakukan masih sebatas pada studi pemetaan
wilayah dan inventarisasi sumberdaya pesisir.

6. Keterbatasan dana

7. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku


pembangunan (stakeholder) di kawasan pesisir

8. Kemiskinan masyarakat pesisir yang mengakibatkan


terjadinya eksploitasi sumberdaya hayati laut

9. Masih kurangnya data dan informasi potensi sumberdaya


kelautan

10. Belum adanya kejelasan tentang kewenangan pengelolaan


Pulau Nusakambangan, sehingga kerusakan lingkungan di
pulau tersebut belum dapat diatasi secara optimal

11. Belum adanya kesepakatan antara pemerintah daerah


yang berbatasan dalam pengelolaan pesisir seperti

17
pengelolaan Segara Anakan antara Pemerintah kabupaten
Cilacap dan Pemerintah Kabupaten Ciamis.

2.3. Perangkat Kebijakan

Dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir,


Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap telah mengeluarkan
kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan daerah sebagai
berikut :

1. Perda Kabupaten Cilacap No.14 Tahun 1994 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Cilacap

2. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 10 Tahun


1997 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Cilacap

3. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 23 Tahun


2000 tentang Penetapan Batas Kawasan Segara Anakan

4. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2001


tentang Tata Ruang Kawasan Segara Anakan

5. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.17 Tahun 2001


tentang Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Segara
Anakan

6. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.16 Tahun 2001


tentang Pengelolaan Perikanan di Kawasan Segara Anakan

7. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 1 Tahun 2003


tentang Kepelabuhanan

8. Rancangan Keputusan Presiden (Rakeppres) tentang


Penataan Ruang Kawasan Konservasi Pacangsanak
(Pangandaran, Kalipucang, Segara Anakan dan Nusa
kambangan).

18
BAB III

ANALISA

3.1 Analisa Lingkungan Ekosistem Pesisir

Tipologi ekosistem pesisir berdasarkan sifatnya dapat


dikelompokkan dalam ekosistem alami dan ekosistem buatan
(Dahuri, R, 2001). Ekosistem pesisir di Indonesia sebagai daerah
tropis adalah sebagai berikut ;

Hutan mangrove merupakan tipe hutan khas tropika


yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan
tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan
salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan
mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara
sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan
terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah
sebagai sebagai sumber makanan bagi berbagai macam hewan
laut. Sistem perakaran yang kokoh akan melindungi pantai dari
erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove juga
merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan
(spawning ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.

Padang lamun merupakan tumbuhan yang hidup


terbenam di perairan dangkal yang agak berpasir. Secara
ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi
daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer,
sumber makanan penting bagi organisme, dengan sistem
perakaran yang rapat menstabilkan dasar perairan yang lunak,
tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi
beberapa spesies, sebagai peredam arus gelombang dan sebagai
tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun
sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur
air laut, salinitas, substrat dan kecepatan arus.

Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem khas


di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-
endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh
organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, dalam Dahuri 2001).
Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang
tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti
ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang

19
memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang
juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari
tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat
ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, temperatur,
salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan sedimentasi.

Estuaria adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup,


tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria
didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik
dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria.
Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan air
tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di
estuaria relatif sedikit. Pantai pasir terdiri dari kwarsa dan
feldspar, yang merupakan sisa-sisa pelapukan batuan di gunung
yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk
oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh
ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil
bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di
pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir
sering dijadikan beberapa biota (seperti penyu) untuk bertelur.
Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang
mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan
angin yang mengangkut pasir ke arah darat.

Pantai Berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai


dengan batu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air.
Batuan yang terbenam ini menciptakan zonasi kehidupan
organisme yang menempel di batu karena pengaruh pasang.
Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah
pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.

Pulau-pulau Kecil (Small Island) merupakan pulau yang


berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dengan pulau
induknya. Pulau kecil ini akan memiliki karakteristik ekologi yang
bersifat insular karena terisolasi dengan pulau induknya.

20
Kawasan pertanian
Kawasan pertanian

Kawasan
permukiman

Hutan Mangrove

Kawasan pertanian

21
3.2 Analisa Pendangkalan Segara Anakan

Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria terdiri dari


beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat. Ekosistem ini
meliputi wilayah perairan terbuka, tanah timbul, rawa air asin
dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan habitat bagi
kehidupan berbagai flora dan fauna yang sangat berharga.
Laguna Segara Anakan terbukti memainkan peranan yang
sangat penting dalam produktifitas perairan pantai selatan Pulau
Jawa. Laguna ini telah menyumbang produksi perikanan pantai
lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun dan akan semakin
meningkat seiring dengan makin berfungsinya ekosistem Segara
Anakan. Sumberdaya hayati di dalam laguna mampu menopang
kehidupan masyarakat setempat berupa hasil perikanan payau.
Selain itu hutan mangrove di dalamnya telah memberi habitat
dan tempat bertengger dan bertelur bagi sejumlah burung yang
melakukan pergerakan dan perpindahan. Nilai hutan mangrove
tersebut mencapai sekitar 1.400 US dollar per Ha, artinya
semakin luas mangrovenya semakin tinggi nilainya.

Luas perairan Segara Anakan semakin berkurang, hal itu


menandakan sedimentasi terus terjadi dan meningkat, secara
lebih jelas dapat dilihat dalam grafik berikut

22
Grafik Kecenderungan Penurunan Luas Permukaan Segara
Anakan

Berdasarkan perubahan luas perairan tersebut yang disebabkan


adanya pendangkalan, diperkirakan tahun 2000 luas laguna
Segara Anakan tinggal 500-600 Ha saja. Pada tahun 1992,
penelitian menyebutkan bahwa laguna Segara Anakan
mengalami penyusutan rata-rata 1.000.000 m3/tahun.
Sementara pada tahun 1999 penyusutan volume laguna menjadi
500.000 m3/tahun dengan perhitungan menurunnya tingkat
penyusutan diakibatkan karena laguna mulai mendekati kondisi
keseimbangan.

23
BAB IV

KESIMPULAN

Segara Anakan merupakan ekosistem estuari yang terdiri


dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat.
Ekosistem ini meliputi wilayah perairan terbuka, tanah timbul,
rawa air asin dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan
habitat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna yang sangat
berharga. Laguna Segara Anakan terbukti memainkan peranan
yang sangat penting dalam produktifitas perairan pantai selatan
Pulau Jawa. Laguna ini telah menyumbang produksi perikanan
pantai lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun dan akan
semakin meningkat seiring dengan makin berfungsinya
ekosistem Segara Anakan. Sumberdaya hayati di dalam laguna
mampu menopang kehidupan masyarakat setempat berupa hasil
perikanan payau.

Selain itu hutan mangrove di dalamnya telah memberi habitat


dan tempat bertengger dan bertelur bagi sejumlah burung yang
melakukan pergerakan dan perpindahan. Nilai hutan mangrove
tersebut mencapai sekitar 1.400 US dollar per ha, artinya
semakin luas mangrovenya semakin tinggi nilainya.

Segara Anakan sebagai muara dari beberapa sungai besar


membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air kedalam
laguna. Limpasan air dari sungai-sungai ini dengan kondisi
upland yang sudah memperihatinkan menyebabkan tingginya
tingkat erosi pada air sungai tersebut. Kelanjutan dari masalah

24
ini menyebabkan secara langsung menyebabkan adanya
angkutan sedimen. Sebagian sedimen yang dibawa aliran air
sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian
terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan dapat
menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya badan
sungai dan luas perairan serta adanya tanah timbul.

Tingkat sedimentasi yang tinggi di kawasan Segara Anakan


sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan tersebut, karena sebagian besar penduduk di
kawasan tersebut khususnya kecamatan Kampung Laut sangat
menggantungkan hidupnya dengan beraktivitas di kawasan
Segara Anakan. Masalah yang ditemui yaitu dengan adanya
sedimentasi menjadikan jumlah tangkapan ikan masyarakat
kecamatan Kampung Laut menjadi berkurang karena luas
permukaan perairan kawasan Segara Anakan yang semakin
menyempit. Hal tersebut secara langsung memukul tingkat
pendapatan mereka yang kemudian berdampak pada penurunan
kesejahteraan.

25
DAFTAR PUSTAKA

_____________, UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah. Kantor Sekretariat Negara RI
_____________, UU nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Kantor Sekretariat Negara RI
_____________, UU nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati serta Ekosistemnya. Kantor
Sekretariat Negara RI
_____________, UU nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Kantor Sekretariat Negara RI
Partomiharjo, Tukirin & Ubaidillah, Rosichon, 2004. Daftar Jenis
Flora dan Fauna Pulau Nusakambangan, Cilacap Jawa
Tengah.

_____________, Kompas, 21 Oktober 2008

_____________, Kompas, 28 April 2000

_____________, Semiloka Pengelolaan & Pemanfaatan Pulau


Nusakambangan Sebagai Sisa-sia Hutan Hujan
Dataran Rendah Berupa Ekosistem Kepulauana di Era
Otonomi, Mapala Silvagama

26
Daftar Isi

BAB I...................................................................................................1

Pendahuluan.......................................................................................1

Latar Belakang.................................................................................1

1.2. Perumusan Masalah .................................................................3

1.3. Tujuan dan Sasaran..................................................................3

1.4. Ruang Lingkup..........................................................................3

1.5. Tinjauan Pustaka ......................................................................4

BAB II................................................................................................ 12

GAMBARAN UMUM............................................................................12

2.1. Satuan Ekosistem Pesisir Kabupaten Cilacap .........................14

2.2. Permasalahan Wilayah Pesisir Kabupaten Cilacap .................16

2.3. Perangkat Kebijakan ..............................................................18

BAB III...............................................................................................19

ANALISA............................................................................................19

3.1 Analisa Lingkungan Ekosistem Pesisir.....................................19

3.2 Analisa Pendangkalan Segara Anakan.....................................22

BAB IV...............................................................................................24

KESIMPULAN......................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................26

Daftar Isi...........................................................................................27

27

You might also like