You are on page 1of 10

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia
yang tercantum dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPKK)
yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Perkembangan luas
panen, produktivitas, dan produksi kedelai nasional ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Nasional


Tahun 1993-2009
Luas Panen Produktivitas Produksi
Pertum-
Tahun Pertum- Pertum-
(Ha) buhan (Ton/Ha) (Ton)
buhan (%) buhan (%)
(%)
1993 1.468.316 - 1,16 - 1.707.126 -
1994 1.406.038 -4,24 1,11 -4,31 1.564.179 -8,37
1995 1.476.284 5,00 1,14 2,70 1.679.092 7,35
1996 1.277.736 -13,45 1,19 4,39 1.515.937 -9,72
1997 1.118.140 -12,49 1,21 1,68 1.356.108 -10,54
1998 1.094.262 -2,14 1,19 -1,65 1.304.950 -3,77
1999 1.151.079 5,19 1,20 0,84 1.382.848 5,97
2000 824.484 -28,37 1,23 2,5 1.017.634 -26,41
2001 678.848 -17,66 1,22 -0,81 826.932 -18,74
2002 544.522 -19,79 1,24 1,64 673.056 -18,61
2003 526.796 -3,26 1,28 3,22 671.600 -0,22
2004 565.155 7,28 1,28 - 723.483 7,73
2005 621.541 9,98 1,30 1,56 808.353 11,73
2006 580.534 -6,60 1,29 -0,77 747.611 -7,51
2007 459.116 -20,91 1,29 - 592.534 -20,74
2008 590.956 28,72 1,31 1,55 775.710 30,91
2009* 782.200 32,36 1,33 1,53 966.469 24,59
Sumber : www.bps.go.id (2010, diolah)
Ket : * adalah Angka Ramalan III

Tabel 1 memperlihatkan produksi kedelai yang cenderung mengalami


penurunan dari tahun 1993 sampai 2009, dengan laju penurunan rata-rata 2,27
persen, meskipun produktivitas meningkat rata-rata 0,88 persen selama kurun
waktu tersebut. Pada tahun 1995 areal tanam kedelai paling luas mencapai
1.476.284 ha dan mencapai luas terendah pada tahun 2007 seluas 459.116 Ha,
dengan laju penurunan luas panen rata-rata 2,52 persen.
Menurut Soekartawi (2002), luas lahan akan mempengaruhi efisien atau
tidaknya usaha pertanian. Secara umum dikatakan, semakin luas lahan yang
digarap, semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut.
Sebaliknya, semakin kecil luas lahan yang digarap akan menghasilkan jumlah
produksi yang semakin menurun. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yang
memperlihatkan produksi kedelai nasional yang cenderung menurun akibat luas
panen yang cenderung menurun pula. Tingkat produktivitas yang cenderung
stabil, produksi dan luas areal tanam akan berjalan seiring. Hal ini berarti
besarnya kenaikan produksi ditentukan pula oleh peningkatan luas areal tanam.
Dengan kata lain, tingkat produksi kedelai yang menurun disebabkan oleh makin
berkurangnya luas areal tanam.
Berdasarkan penelitian Sayaka (1992) dalam buku Ekonomi Kedelai
(1996), bagi petani kedelai merupakan tanaman sampingan dari tanaman utama
(padi dan jagung), sehingga pembudidayaan kedelai belum seoptimal tanaman
utama. Ditambah lagi luas lahan semakin menurun yang mengakibatkan
berkurangnya luas panen, sehingga petani berupaya memaksimumkan pendapatan
usahataninya melalui usaha yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan
menurunnya rasio penerimaan dengan pengeluaran (R/C) petani kedelai.
Di sisi lain, kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri tetap harus
dipenuhi. Walaupun konsumsi kedelai di dalam negeri dari tahun 1998 sampai
2008 dapat dikatakan stabil pada angka konsumsi 2 juta ton per tahunnya, namun
produksi kedelai nasional seperti ditunjukkan pada Tabel 1 cenderung mengalami
penurunan. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara produksi kedelai
dengan kebutuhan kedelai di dalam negeri. Untuk memenuhi kesenjangan antara
produksi dan kebutuhan kedelai di dalam negeri, maka pemerintah memenuhinya
dengan melakukan impor kedelai. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan
semakin meningkatnya angka impor kedelai. Data produksi, konsumsi dan impor
kedelai di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2008, ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1999-2008

Produksi Konsumsi Impor Persentase impor terhadap


Tahun
(ton) (ton) (ton) konsumsi (%)
1998 1.305.640 1.649.000 344.050 20,86

2
1999 1.382.848 2.684.000 1.301.152 48,48
2000 1.017.634 2.264.000 1.276.366 56,38
2001 826.932 1.960.000 1.133.068 57,81
2002 652.755 2.017.000 1.343.944 66,63
2003 672.000 2.016.000 1.344.400 66,69
2004 723.483 2.015.000 1.291.517 64,10
2005 808.353 1.987.469 1.086.177 54,65
2006 747.611 2.022.516 1.078.420 53,32
2007 592.534 2.059.000 1.199.839 58,27
2008 775.710 2.095.000 1.371.465 65,46
Sumber : www.litbang.deptan.go.id (2010)

Ketergantungan kedelai impor yang cukup tinggi dapat terlihat pada tahun
2008 yang menunjukkan persentase impor terhadap konsumsi kedelai sebesar
65,46 persen dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya yang berkisar di angka
50 persen (Tabel 2). Hal ini membuat harga kedelai di dalam negeri dipengaruhi
dengan kondisi perdagangan negara asal pengekspor kedelai. Impor kedelai
Indonesia berasal dari negara Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Swiss,
Malaysia, Singapura dan lain-lain. Pada Tabel 3 menunjukkan persentase proporsi
kedelai impor dari negara asal.

Tabel 3 Impor Kedelai Menurut Negara Asal Tahun 2005


No. Negara Asal Impor (%)
1. Amerika Serikat 82,7
2. Argentina 13,3
3. Kanada 2,6
4. Swiss 0,9
5. Malaysia 0,3
6. Singapura dan lainnya 0,1
7. Lainnya 0,1
Sumber : www.bps.go.id (2010, diolah)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa sebagian besar kedelai impor berasal dari
Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang relatif tinggi
terhadap kedelai asal Amerika. Ketika harga kedelai di Amerika Serikat
mengalami peningkatan, akibat adanya kenaikan harga sejumlah barang pangan
termasuk kedelai di tingkat internasional karena dipindahkannya sebagian
penggunaan kacang-kacangan dan ketela untuk pembuatan biodiesel dan methanol
sebagai alternatif untuk mengatasi harga minyak yang semakin mahal, maka

3
dampaknya harga kedelai di dalam negeri turut meningkat. Data peningkatan
harga kedelai lokal dan impor ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan Harga Kedelai Lokal dan Kedelai Impor Tahun 2005
hingga 2008

Harga kedelai Perubahan Harga Kedelai Perubahan


Tahun
lokal (Rp/kg) (%) Impor (Rp/kg) (%)
2005 3.500 - 2.000 -
2006 3.500 0,00 2.600 30,00
2007 3.400 (2,86) 3.200 23,08
2008 7.500 120,58 7.500 134,375
Sumber : www.bps.go.id (2010)

Tabel 4 memperlihatkan harga kedelai impor yang melonjak tajam lebih dari
100 persen, dari tingkat harga Rp 3.200 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada
tahun 2008. Masih besarnya tingkat ketergantungan Indonesia akan kedelai impor,
membuat harga kedelai lokal turut mengalami kenaikan lebih dari 100 persen pula
ketika harga kedelai impor meningkat (harga kedelai lokal naik dari tingkat harga
Rp 3.400 pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 pada tahun 2008).
Awal Januari 2007, harga eceran kedelai telah mencapai Rp 3.450 per kg.
Awal November 2007, harga kedelai mencapai Rp 5.450 per kg. Akhir Desember
2007, harga komoditi kedelai menjadi Rp 6.950 per kg. Hingga pada awal Januari
2008, harga kedelai menjadi Rp 7.250 dan bahkan pernah mencapai Rp 7.500 per
kg1.
Kenaikan harga kedelai ini disebabkan kenaikan harga sejumlah barang
pangan termasuk kedelai di tingkat internasional sebagai akibat dipindahkannya
sebagian penggunaan kacang-kacangan dan ketela untuk pembuatan biodiesel dan
methanol akibat harga minyak yang semakin mahal. Kenaikan harga kedelai dunia
naik dari US$ 350 per ton menjadi US$ 600 per ton 2. Padahal pada tahun 1999,
harga kedelai dalam negeri hanya sebesar Rp 2.300 per kg, sedangkan harga
kedelai impor lebih rendah yaitu dijual sebesar Rp 1.700 per kg3.

1
Impor Kedelai Bebas Bea. www.suaramerdeka.com. [15 Januari 2010]
2
Pemerintah Turunkan Bea Masuk Kedelai. www.tempointeraktif.com. [15 Januari 2010]
3
Produksi Kedelai 2008 Mampu Meningkat 200 Ribu Ton. www.antara.co.id. [15 Januari 2010]

4
Berdasarkan data BPS (2007) dalam Roni (2008), kedelai di dalam negeri
dikonsumsi menjadi produk bukan makanan sebanyak 0,7 persen dari total
produksi, sebanyak 2 persen digunakan sebagai bibit, kemudian sebanyak 5
persen merupakan kedelai yang tercecer, dan 92,3 persen kedelai dikonsumsi
menjadi berbagai bentuk olahan pangan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk
pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu: (i) pangan yang diolah
melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco dan kecap; (ii) pangan
yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai
rebus.
Produk kedelai yang paling dikenal oleh masyarakat adalah tempe. Tempe
merupakan makanan tradisional yang pada umumnya terbuat dari kedelai kuning
yaitu kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih atau hijau, yang bila
dipotong melintang memperlihatkan warna kuning pada irisan keping bijinya
(Santoso, 1994). Kedelai kemudian difermentasikan menggunakan kapang
Rhizopus sp. Kegiatan fermentasi melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu : bahan
baku yang diolah (kedelai), mikroorganisme (jamur tempe), dan lingkungan
tumbuh. Kapang Rhizopus sp. Pada saat fermentasi membentuk massa yang
proyek padat dan kompak.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan
menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak lima puluh persen dari konsumsi
kedelai yang diolah menjadi bahan pangan di Indonesia dilakukan dalam bentuk
tempe, empat puluh persen dalam bentuk tahu, dan sepuluh persen dalam bentuk
produk lain (seperti tauco, kecap, dan produk lainnya). Adapun rata-rata konsumsi
kedelai dan hasil olahannya (tempe, tahu, kedelai, oncom, tauco) di Indonesia
sebanyak 49,1 g/kapita/hari)4.
Kedelai yang dapat diolah menjadi berbagai macam olahan pangan seperti
telah disebutkan sebelumnya, dikelola oleh industri kedelai yang menurut skala
usaha dan legalisasinya tergolong menjadi golongan industri kecil dan industri
rumah tangga. Industri kecil pada umunya sudah tergabung menjadi anggota
Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), sedangkan industri rumah tangga

4
Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. www.ui.ac.id.
[3 Desember 2009]

5
masih ada yang berbentuk non formal walaupun sudah ada pula yang tergabung
dalam KOPTI.
Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan dalam Ratnasari (2008),
Industri Kecil dan Menengah kedelai sebanyak 92,4 ribu unit usaha, terdiri dari
Industri Kecil dan Menengah (IKM) tempe sebanyak 56,76 ribu unit usaha, IKM
tahu sebanyak 28,6 ribu unit usaha, IKM kecap sebanyak 1,5 ribu unit usaha, IKM
tauco sebanyak 2,1 ribu unit usaha dan keripik serta unit olahan kedelai lainnya
sebanyak 3,43 ribu unit usaha.
Berdasarkan data Disperindag (2008), dalam tiga tahun terakhir terjadi
pertumbuhan jumlah usaha industri tahu dan tempe sebesar 0,5 persen per tahun
yang banyak dilakukan oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM). Pada 2004
jumlah industri tempe mencapai sekitar 84,1 ribu unit usaha dengan produksi
sebesar 2,39 juta ton, dan naik menjadi 84,5 ribu unit usaha pada 2005 dengan
produksi sekitar 2,56 juta ton. Pertumbuhan masih terjadi pada 2006 dengan
jumlah unit usaha mencapai 84,9 ribu unit usaha dan produksi mencapai 2,67 juta
ton. Saat ini sebanyak 115.000 pedagang tempe dan tahu masih menghadapi
kendala bahan baku kedelai, lebih dari enam puluh persen masih tergantung pada
kedelai impor. Saat ini setidaknya ada 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia
diantaranya 40.000 anggota Kopti yang terdiri dari berbagai wilayah Jakarta, Jawa
Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung, Palembang,
Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Bali5.
Berdasarkan proporsi alokasi kedelai asal impor yang disalurkan oleh Badan
Urusan Logistik (BULOG) beberapa tahun terakhir, sekitar lima puluh lima
persen kedelai tersebut disalurkan kepada pengrajin tahu dan tempe yang
tergabung dalam Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), dan empat puluh
lima persen disalurkan kepada perusahaan-perusahaan lainnya.
Pada Lampiran 2 terlihat bahwa banyaknya anggota KOPTI yang identik
dengan unit perusahaan atau pengrajin tahu dan tempe, sebagian terbesar atau
Sembilan puluh enam persen diantaranya berada di lima provinsi di Pulau Jawa,
sisanya (empat persen) berada di luar Jawa.

5
Omset Rp 43 Miliar per Hari, Perajin Tahu Tempe Terkendala Bahan Baku.
www.mediaindonesia.com. [15 Januari 2010]

6
Anggota KOPTI di Pulau Jawa, salah satunya terdapat di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Kebutuhan kedelai untuk lima wilayah di DKI
Jakarta sebanyak 9.192.940 kg per bulan atau 70,38 kg per hari. Dengan
perincian, kebutuhan kedelai di Jakarta Pusat mencapai 1.344.150 kg per bulan
atau 48,02 kg per hari. Jakarta Selatan 1.600.000 atau 49,47 kg per hari. Jakarta
Utara 1.097.975 kg per bulan (52,51 kg per hari). Jakarta Barat 2.422.770 kg per
bulan (97,65 kg per hari), dan Jakarta Timur 2.777.645 kg per bulan (111,02 kg
per hari).
Wilayah Semanan di Jakarta Barat menjadi salah satu sentra produksi
tempe di Jakarta. Sentra yang dibangun tahun 1992 ini adalah relokasi dari para
produsen tempe-tahu di lima lokasi di Jakarta Barat, yaitu di Tambora I dan
Tambora II, Kebon Jeruk, Cengkareng, serta Grogol. Rata-rata setiap hari sentra
yang sudah dilengkapi dengan dapur pengolahan bersama ini membeli tunai
kedelai 35 ton yang menghasilkan tempe (delapan puluh persen) dan tahu (dua
puluh persen) sebanyak 70 ton. Namun secara individu, tingkat pembelian kedelai
per harinya sangat beragam, mulai dari 25 kg hingga 210 kg bahkan lebih.
Tingkat perputaran uangnya mencapai Rp 2,5 miliar setiap hari. Untuk seluruh
Jakarta mencapai sedikitnya Rp 10 miliar setiap hari6.
Harvita (2007) menjelaskan, pada umumnya industri tempe lebih
menyukai kedelai impor karena lebih mudah diperoleh di pasaran, harga relatif
stabil, ukuran kedelai lebih besar (panjang 71 mm, lebar 6.8 mm, tebal 6.0 mm),
kering (kadar air 10-12.5%), dan kadar kotoran rendah (kandungan benda-benda
asing 0.8-2%). Adapun industri tahu dan tempe di daerah sentra produksi seperti
di Surabaya, lebih menyukai kedelai lokal, karena lebih murah dan rendemennya
lebih tinggi (Lampiran 1). Sebaliknya industri tahu dan tempe di Jakarta lebih
menyukai untuk menggunakan kedelai impor lebih dari lima puluh persen karena
harganya relatif lebih murah, pasokan lebih kontinyu dan lebih menguntungkan.
Kecenderungan untuk menggunakan kedelai impor inilah yang membuat
usaha produsen tempe di Semanan Jakarta Barat menjadi dipengaruhi oleh
kenaikan tingkat harga kedelai impor. Terlebih lagi Sembilan puluh persen
pengrajin tempe menggunakan modal sendiri yang berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2

6
Tempe Tahu Menghilang. www.kompas.com. [28 Januari 2010]

7
juta untuk membeli bahanbaku dan peralatan industri dan pada umumnya
pengrajin tempe tidak melakukan pinjaman dengan alasan prosedur peminjaman
yang sulit dan adanya ketakutan tidak mampu mengembalikan pinjaman dalam
jangka waktu yang ditentukan. Berdasarkan uraian di tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai usaha produksi pada industri tempe, terkait dengan
kenaikan harga kedelai sebagai bahanbaku utama produksi tempe.

1.2 Perumusan Masalah


Kedelai menjadi bahan baku utama bagi produksi tempe dan merupakan
komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengrajin dalam memproduksi tempe.
Jumlah penggunaan kedelai bahkan dijadikan ukuran besar skala produksi bagi
pengrajin tempe. Berdasarkan penggunaan kedelainya, pengrajin tempe dibedakan
menjadi pengrajin skala kecil, menengah, dan besar.
Adanya kecenderungan peningkatan harga kedelai, membuat biaya
produksi pengrajin tempe cenderung meningkat sehingga membuat keuntungan
pengrajin tempe menurun. Dampak peningkatan harga kedelai menyebabkan
beberapa pengrajin tempe di sentra industri tempe Wilayah Semanan, Jakarta
Barat, mulai menghentikan usahanya. Namun demikian hingga saat ini masih ada
pengrajin tempe yang mampu untuk bertahan dengan usahanya.
Berdasarkan jumlah penggunaan kedelainya, pengrajin tempe di sentra
industri tempe wilayah Semanan terbagi menjadi tiga skala produksi. Masing-
masing skala tentu memiliki perbedaan dalam berproduksi, baik itu dari biaya
produksi yang dikeluarkan maupun dari respon pengrajin terhadap kenaikan harga
kedelai.
Diduga bahwa pengrajin skala kecil akan terkena dampak paling besar
akibat adanya kenaikan harga kedelai, dibandingkan dengan pengrajin skala
menengah dan besar. Berdasarkan uraian tersebut, maka ada beberapa hal yang
dapat dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah struktur biaya usaha produksi tempe?
2. Bagaimanakah dampak kenaikan harga kedelai terhadap penggunaan input
pada pengrajin tempe?

8
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,
penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Menganalisis struktur biaya pengrajin tempe.
2. Menganalisis respon pengrajin tempe terhadap kenaikan harga kedelai,
dilihat dari dampak kenaikan harga kedelai terhadap penggunaan input
produksi tempe.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi:
1. Bagi pengusaha tempe di Semanan Jakarta Barat, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan tambahan informasi dan masukan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait dengan kegiatan
operasional dan pengembangan usaha.
2. Bagi pemerintah, analisis ini dapat digunakan sebagai masukan penentuan
kebijakan dan evaluasi untuk pertimbangan dalam pengembangan unit
usaha produksi tempe di Jakarta Barat.
3. Bagi penulis, merupakan pengalaman yang sangat berharga dan sebagai
sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh selama
kegiatan perkuliahan.
4. Bagi pembaca, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi
mengenai produksi tempe dan sebagai referensi untuk melakukan
penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup


Kegiatan penelitian ini terbatas pada subsistem pengolahan kedelai
menjadi tempe pada sentra produksi tempe di wilayah Semanan, Jakarta Barat.
Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dampak kenaikan harga bahan baku
utama yaitu kedelai yang hingga saat ini masih tergantung dengan kedelai impor.
Dampak tersebut dianalisis pengaruhnya terhadap penggunaan input produksi dan
struktur biaya produksi pada pengrajin tempe berskala kecil dibandingkan dengan
pengrajin tempe berskala menengah, dan besar.

9
10

You might also like