You are on page 1of 4

ADA APA DIJALAN RAYA KITA?

Oleh: Rahardi Ramelan 


Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember/ITS,
Surabaya

Kejadian kecelakaan lalulintas yang terjadi pada tanggal 17 Nopember 2004 di Jalan
Tol Jagorawi telah menjadi polemik. Polemik ini terjadi kerena peristiwa ini
melibatkan perangkat pengamanan kepresidenan dan kepolisian. Dan sampai
sekarang masih dijadikan analisa dari berbagai aspek. Tanpa menguraikan lebih rinci
peristiwa tersebut, kita semua mengetahui dan melihat dengan kasat mata apa
sebenarnya yang terjadi dijalan raya kita sehari-hari. Tidak semuanya terungkap
dalam media. Perilaku dari kebanyakan pengendara, pengatur dan pengawas lalu
lintas jauh dari yang diharapkan sebagai pelaku dan petugas, dan etika yang
seharusnya menjadi pegangan semua yang terlibat dalam penggunaan jalan, sudah
jauh ditinggalkan. DISIPLIN.
Kemacetan lalulintas setiap hari dihadapi oleh hampir semua pengguna jalan raya,
terutama pemakai kendaraan. Beberapa pemancar radio yang khusus menyiarkan
keadaan lalulintas selalu memberikan laporan langsung kemacetan. Atau juga
dibacakan SMS yang dikirim oleh masyarakat yang kesal menghadapi kemacetan.
Kenyataan menunjukan dari waktu ke waktu hampir tidak ada perubahan.
Kemacetan rasanya sudah tidak terbatas lagi pada waktu-waktu tertentu yang
disebut dengan peak hour atau rush hour. Kemacetan juga tidak hanya terjadi pada
jalur-jalur tertentu, kelihatannya sudah meluas kemana-mana. Bukan hanya didalam
kota-kota besar saja. Kalau kita melaju keluar dari kota besar, kemacetanpun terjadi
baik di jalan bebas hambatan maupun dijalan antar kota. Kemacetan jalan yang
harus dihadapi setiap hari sudah bikin kesal. Kemacetan sudah seperti penyakit yang
kronis. Tetapi didiamkan saja. Sebetulnya apa yang terjadi? Siapa yang harus
mengatasi?

Keheranan muncul sewaktu penerapan ketentuan keharusan pemakaian sabuk


pengaman bagi mereka yang duduk dideretan pengemudi didalam kendaraan.
Kepolisian kemudian mengadakan operasi ketaatan pemakaian sabuk pengaman
tersebut. Sabuk pengaman memang sangat menolong pemakainya kalau terjadi
kecelakaan. Banyak yang menyadari hal itu. Tapi lebih banyak lagi yang
menganggapnya hanya sebagai peraturan atau perintah penguasa yang harus ditaati
atau nampak seperti ditaati. Kita melihat sabuk pengaman bohong bohongan,
sekedar diikatkan dikursi, untuk mengelabui petugas kepolisian atau dinas lalu lintas.
Dijalan-jalan antar kota dan daerah, serta pedesaan, pelaksanaan peraturan ini jauh
dari kenyataan. Mirip dengan kejadian sewaktu keharusan pemakaian helm untuk
pengendara sepedamotor diterapkan. Disisi lain hampir setiap hari dijalan tol kita
masih terus melihat kendaraan dengan bak terbuka dipadati oleh penumpang.
Contohnya diruas Cibubur Semanggi, jalan tol Jagorawi, setiap sore, malam dan
dinihari kita melihat pick-up dengan bak terbuka, pengangkut sayuran dari Pasar
Induk Kramatjati, dipenuhi sejumlah karung berisi sayuran, dan diatasnya duduk atau
berbaring ibu-ibu pedagang sayur dalam kantuk atau tertidur lelap. Mereka dibiarkan
lewat dijalan tol dengan bebas. Bukankah itu lebih berbahaya dibandingan dengan
tidak memakai sabuk pengaman? 
Kita menyadari bahwa semuanya itu penting, tetapi ada hal tertentu yang lebih
mendesak.

Kasus lain adalah kesiapan pengguna jalan raya dan kendaraannya dijalan raya.
Terutama masalah yang membahayakan pengguna jalan lainnya. Sepeda motor yang
melaju tanpa lampu dimalam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa. Apalagi
dijalan-jalan yang agak jauh dari pengawasan polisi. Angkutan umum bis dan minibis
dijalan tol pun kita temui meluncur tanpa lampu. Mereka melalui tol-gate dengan
leluasa tanpa teguran. Pengguna jalan raya juga dibingungkan dengan lampu
belakang kendaraan yang dirubah warnanya, sehingga sukar bagi pengendara
dibelakangnya untuk mengetahui kemana arah kendaraan didepannya. Lampu rem
yang dirubah dengan lampu halogen yang menyilaukan. Begitulah keadaan jalan raya
dimalam hari. Mirip karnaval jalan dengan beraneka ragam warna lampu. Tanpa
aturan?
Kita pernah membaca dan mendengar berita disurat kabar, sebuah bis yang
diseruduk truk, kemudian terbakar dan penumpangnya hangus didalam bis tersebut.
Kemudian diterbitkan peraturan yang mengharuskan setiap kendaraan bis umum
mempunyai palu pemecah kaca jendela dan alat pemadam kebakaran. Apakah
pernah diadakan percobaan sejauh mana sebuah alat pemadam kebakaran yang ada
didalam bis dapat memadamkan api kebakaran? Apa betul itu solusinya? Satu
keputusan yang reaktif saja.
Hal serupa terjadi kembali dengan kecelakaan tanggal 17 Nopember 2004 dijalan tol
Jagorawi. Kita lihat sekarang ada rambu lalulintas baru terpasang dijalan tersebut
dan jalan tol lingkar kota. Jalan ditutup smentara. Ada perjalanan VIP. Dimana lagi
akan dipasang rambu serupa? Siapa VIP itu? Apa disemua ruas jalan mereka akan
lewat akan ada rambu serupa? Kembali dipertanyakan apa itu solusinya?

Lain halnya yang ini. Kita amati berbagai jenis kendaraan mengadakan modifikasi
bumper depannya untuk menyelamatkan dirinya kalau terjadi tabrakan. Bumper
adalah bagian kendaraan yang diperuntukan untuk meredam energi kalau terjadi
tabrakan, agar kerusakan akibat tabrakan tersebut bagi kendaraan dan
penumpangnya dapat diminimalisir. Tapi apa kenyataannya yang kita lihat dijalan
raya kita. Banyak truk besar telah memasang bumper depan dengan struktur besi
baja yang sangat kekar, solid dan rigid. Menyerupai bagian depan dari alat berat
(bulldozer) atau tank. Sangat mengerikan kalau berkendaraan disebelahnya, pasti
semua yang tertubruk akan hancur. Akibatnya kendaraan yang ditubruk beserta
isinya harus meredam energi yang terjadi karena benturan. Semacam senjata yang
berkeliaran dijalan raya. Sungguh mengerikan. Ini adalah salah satu faktor yang
banyak menyebabkan fatalnya suatu tabrakan. Tanpa aturan?

Kasus lain yang mengganggu pengguna jalan raya adalah keadaan macet atau
tersendatnya arus atau laju lalu lintas ditempat-tempat tertentu. Penyebabnya
sangat beragam. Pasar tumpah, pedagang kaki lima, pangkalan ojeg atau angkot,
terminal bayangan, angkutan umum yang ngetem, dan macam-macam lagi. Rambu
lalu lintas tanda dilarang berhenti (S) dan dilarang parkir (P), sudah tidak dihiraukan.
Petugas kepolisian dan dinas lalu lintas yang berada didekatnya dianggap tidak ada.
Pernah saya bertanya kepada beberapa orang pengemudi angkot, mengapa senang
mangkal diluar terminal. Jawabnya sangat lugas, diluar terminal hanya bayar sekali
kepada preman, didalam terminal bayar dua kali, kepada preman dan kepada
petugas terminal. Terminal bayangan terjadi selain karena hal tersebut diatas, juga
disebabkan karena penumpang lebih nyaman atau praktis menunggu kedatangan
kendaraan angkutan umum ditempat tersebut. Pelanggan adalah raja, jadi dituruti
saja oleh para pengemudi angkutan umum. Petugas kepolisian dan dinas lalu lintas
sibuk meniup peluit dan melambaikan tangan mengatur yang jalan. Mungkin ini
kekeliruannya, sebab yang sedang meluncur tidak perlu terlalu diatur, karena mereka
juga ingin cepat. Seharusnya yang diatur adalah kendaraan yang berhenti seenaknya,
dengan menegakkan peraturan. DISIPLIN. Sering kita lihat bahwa petugas kalah galak
dengan tukang parkir dan preman. Siapa yang mempunyai kewenangan (kekuasaan)?

Keganjilan-keganjilan dijalan raya ini kalau ditulis bisa menjadi buku kumpulan cerita
pendek atau dijadikan sinetron. Berbagai peraturan telah kita miliki. Tapi bagaimana
penerapannya. Banyak masalah lalu lintas yang penting untuk diselesaikan, tapi tidak
mungkin diselesaikan semuanya sekaligus. Penguasa harus pandai melihat apa yang
paling mendesak. Bicaralah dengan stakeholders pemakai jalan raya. Jangan dilihat
hanya dari sisi pengaturan. Sebuah peristiwa jangan hanya dilihat dari akibatnya, tapi
yang lebih penting adalah apa penyebabnya untuk menghindarkan agar kejadian
serupa tidak terjadi lagi. Jangan cari kambing hitam, tapi carilah kebenaran. Perlu
penyelesaian yang komprehensif. Tapi dasarnya adalah DISIPLIN.

Jakarta, Desember 2004.

You might also like