Professional Documents
Culture Documents
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau
kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus
baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.
Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan
bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi
TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga
sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch
pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama
baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum
(KP).
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium
tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber
infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan
terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang
dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh
organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-
paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada
pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri
ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang
banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi
sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak
mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan
tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang
peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada
kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Gejala khusus
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang
disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan
penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan –
5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif,
dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
Penegakan Diagnosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah:
TUBERKULOSIS
Latar belakang
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar
8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara
berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan
pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan
munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena
TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO
mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan
saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua
golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey
prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar
puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta, praktek swasta
dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan
175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari
kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan
obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum
strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai
hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa
lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara
meluas atau multi drug resistance (MDR).
Definisi :
Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman Tuberkulosis :
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada pewarnaan,
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Cara Penularan :
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung
kebagian-nagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut.
Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.
Resiko Penularan :
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap
cukup tinggi dan berfariasi antara 1 ? 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap
tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %,
maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS.
Infeksi Primer :
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus
berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer
adalah 4 ? 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan.
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa
mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti
ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila
perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen dada.
Pembunuh massal
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan
TBC adalah bekteri pembunuh massal. WHO memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta
jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirakan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi.
Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10 persen
di antara infeksi berkembang menjadi penyakit, dan 40 persen di antara yang berkembang menjadi
penyakit berakhir dengan kematian.
Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien TBC akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap tahun, dan
1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena TBC. Perkiraan WHO, yakni 2 juta jiwa meninggal
tiap tahun, adalah berdasarkan perhitungan ini. Angka ini adalah angka yang besar, karena 2-4 orang
terinfeksi setiap detik, dan hampir 4 orang setiap menit meninggal karena TBC ini. Kecepatan
penyebaran TBC bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS dan
munculnya bakteri TBC yang resisten terhadap obat.
Selain itu migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TBC. Di Amerika Serikat, hampir 40 persen
dari penderita TBC adalah orang yang lahir di luar negeri. Mereka imigrasi ke Amerika dan menjadi
sumber penyebaran TBC. Begitu juga dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan
lingkungan yang tidak sehat sehingga memudahkan penyebaran TBC. Diperkirakan sebanyak 50
persen dari pengungsi di dunia berpeluang terinfeksi TBC.
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO (http:www.whosea.org) menunjukan bahwa TBC membunuh
sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia berada di kawasan Asia
Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita TBC terbesar di dunia, yaitu India dan
Indonesia, berada di wilayah ini. Indonesia berada di bawah India, dengan jumlah penderita
terbanyak di dunia, diikuti Cina di peringkat kedua.
Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, TBC juga menjadi pembunuh nomor satu di
kawasan ini, di mana jumlahnya 2-3 kali jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang
berada di peringkat kedua. Sementara itu, penyakit tropis seperti demam berdarah dengue (DBD)
tidak sampai sepersepuluhnya. Kita bisa membayangkan betapa seriusnya masalah TBC ini.
Karena itu, perlu kita sadari kembali bahwa TBC adalah penyakit yang sangat perlu mendapat
perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri mycobacterium tuberculosis sangat mudah menular
melalui udara pada saat pasien TBC batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara.
Satu penderita bisa menyebarkan bakteri TBC ke 10-15 orang dalam satu tahun.
Berdasarkan data Rumah Sakit "Prof DR Sulianti Saroso" (http:www.infeksi.com), di Indonesia tiap
tahun terdapat 583 ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, setiap hari
425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kalau 1 orang pasien bisa menularkan ke 10 orang,
pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8 juta orang. Karena itu, jelaslah bahwa TBC
adalah pembunuh massal yang harus diberantas.
Terapi TBC
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif
TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi
penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi
penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan
penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi
sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga
mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau
tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa
dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan
dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah
isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya
bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan
pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya
telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu.
Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat
minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya
kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar,
pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat
kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta
pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun
1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini
melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di
Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21
persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu
lebih ditingkatkan lagi.
Imunisasi
Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif
terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M
tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak
pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup
(live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus
antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu,
vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua
bulan.
Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini
berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus
waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada
dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika
Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi
mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa
terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang
rapi inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS.
Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen,
sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang
adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk
melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang
dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil
tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus
TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes
Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk
yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi
ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk
mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi.
Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi
Indonesia.
: Andi Utama (Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan Pemerhati Masalah Kesehatan)
PERANGI TBC :
10 HAL TENTANG TBC DAN PENANGGULANGANNYA.
10 FAKTA PENTING MENGENAI SITUASI TBC DI INDONESIA
Tiap tahun terdapat 583.000 kasus TBC di Indonesia
Secara nasional, TBC ?membunuh? kira-kira 140.000 orang setiap tahun
Setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Indonesia merupakan ?penyumbang? kasus TBC ke-3 di Dunia, setelah RRC dan India.
Tingkat resiko untuk terserang TBC di Indonesia berkisar antara 1,7 % - 4,4 % ( menurut data 1972-
1987 ).
Sekitar ¾ pasien TBC di Indonesia tergolong dalam usia produktif.
Tahun 1995, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi starategi DOTS (Directly Observed Tratment
Short-Course) untuk menanggulangi TBC.
Tahun 1996, obat TBC di Puskesmas diberikan dalam bentuk Kombipak.
Tahun 1999 merupakan dimulainya era penting dalam penanggulangan TBC di Indonesia, karena
dibentuknya GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TBC) yang merupakan
wujut nyata kemitraan dengan berbagai sektor yang terkait dalam penanggulangan TBC di Indoensia.
Penelitian ekonomi kesehatan di Indonesia menemukan bahwa jika pengobatan dapat diterapkan
secara dini, setiap US$ 1 yang untuk program penanggulangan TBC, maka akan dapat menghemat
US$ 55 dalam waktu 20 tahun.