Bangsa Mesir Kuno yang hidup di sekitar Sungai Nil pada
tahun sekitar 2000 – 2788 SM menunjukan telah banyak perkembangan perkembangan administrasi yang diketahui. Hal ini disebabkan karena pada masa itu peninggalan sejarah sudah banyak ditemukan dan masih banyak ahli yang mampu membaca tulisan Mesir Kuno, sehingga banyak yang diinterpretasikan.
Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota
lainnya di Mesopotamia dalam masa yang sama, dikenal sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai negara terorganis-asi dengan tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan dan menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta memanfaatkan Sungai Nil dan terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah negeri tersebut, sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban mereka.
Mesir diperintah oleh seorang raja (Pharaoh) yang
terkenal, yaitu Fir’aun dan memerintah dengan kekuasaan yang mutlak. Pada masanya sudah diatur system pemerintahan, perpajakan, perhubungan, militer dan pertanian, termasuk juga irigasi. Bidang hukum sudah mendapat perhatian besar. Pada jaman Mesir Kuno ini juga dibangun perpustakaan besar yang mengoleksi buku-buku dan berbagai cabang ilmu. Demikian juga dibangun piramida-piramida besar sebagai tempat makam raja-raja.
Hanya saja pada masa pemerintahan Fir’aun proses
administrasi dijalankan hanya untuk kepentingan Fir’aun dan keluarganya, bukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini disebabkan karena Fir’aun memang dianggap dan diperlikan sebagai dea, sehingga apapun keputusannya harus berlaku mutlak.
Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari keseluruhan
negara dan wilayah-wilayahnya, para fir'aun ini dianggap sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir Kuno yang politeistik dan menyimpang. Administrasi tanah rakyat Mesir, pembagian, penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir'aun. Absolutisme dalam rezim tersebut melengkapi pemerintahan fir'aun dengan kekuasaan yang memungkinkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Pada saat penegakan dinasti pertama, kala Menes yang menjadi raja Mesir pertama dengan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil disalurkan kepada penduduk melalui saluran- saluran air. Di samping itu, seluruh produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang dan jasa diberikan untuk sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang dan jasa dalam proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam ketun-dukan. Raja Mesir, atau kelak disebut fir'aun, dipandang sebagai makhluk suci yang memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan ia dipandang sebagai tuhan. Akhirnya, para fir'aun percaya bahwa mereka memang Tuhan.
Mesir terbagi menjadi 42 distrik administrasi yang disebut
dengan nomes. Setia nomes dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut nomarch. Semasa Fir’aun Pepi II berkuasa, pemerintah pusat menjadi lemah karena persaingan di antara nomarch. Setelah Pepi II meninggal, Mesir menjadi terpecah belah dan menandai berakhirnya masa Kerajaan Mesir Kuno.
Masa kerajaan mesir pertengahan (2040 – 1640 SM)
diawali oleh keberhasilan Fir’aun Mantuhotep dari Thebe menaklukan Herakleopolis. Mesir dipersatukan kembali dengan ibukotanya Thebe.
Raja Amenemhet I berhasil menggulingkan Mantuhotep IV
dan ibukota Mesir dipindahkan ke Itjawy, dekat Memphis. Raja Fir’aun Sanusret III melakukan reorganisasi dalam pemerintahannya, yakni dengan menghapus Nomarch. Kemudian Mesir dibagi menjadi tiga daerah administratif yang disebut dengan Waret.
Sejak pemerintahan Ratu Sobek-Nefuru, pemerintahan
pusat semakin lemah. Mesir kembali terpecah belah. Akhir kerajaan Mesir ditandai oleh serangan Hyksos dari Timur Tengah. Kemudian Mesir diperintah oleh bangsa dari Rumpun Kemit, dan ibukotanya dipindahkan ke Awaris.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa terdapat tali
sejarah yang merakit perkembangan administrasi negara. Apa yang dicapai dan diberikan oleh administrasi negara sekarang, tidak lepas dari upaya-upaya yang tidak kenal lelah yang telah dilakukan oleh para peletak dasar dan pembentuk administrasi yang dahulu. Administrasi modern penuh dengan usaha untuk lebih menekan jabatan publik agar mempersembahkan segala kegiatannya untuk mewujudkan kemakmuran dan melayani kepentingan umum. Karena itu, administrasi negara tidak dipandang sebagai administrasi "of the public", tetapi sebaliknya adalah administrasi “for the public". Ide ini sebenarnya bukanlah baru. Orientasi semacam ini telah dicanangkan dengan jelas dalam ajaran Confusius dan dalam "Pidato Pemakaman" Pericles, bahkan dalam kehidupan bangsa Mesir kuno. Bukti - bukti sejarah dengan jelas membuktikan upaya-upaya yang sistematis, yang dikobarkan oleh tokoh-tokoh seperti Cicero dan Casiodorus. Selama abad ke-16 - 18 tonggak kemapanan administrasi negara Jerman dan Austria telah dipancangkan oleh kaum Kameralis yang memandang administrasi sebagai teknologi. Administrasi negara juga memperoleh perhatian penting di Amerika, terutama setelah negara ini merdeka.
Apa yang dikemukakan oleh Cicero dalam De Officiis
misalnya, dapat ditemukan dalam kode etik publik dari kerajaan-kerajaan lama. Hal yang umum muncul di antara mereka adalah adanya harapan agar administrasi negara melakukan kegiatan demi kepentingan umum dan selalu mengembangkan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, administrasi negara tidak seharusnya mengeruk kantong kantornya (korupsi) demi kepentingan dirinya sendiri.