You are on page 1of 5

Nama : RIZKY NUR ROHMAN

NIM : 0910310111

Kelas : H

Administrasi Pada Jaman


Mesir Kuno

Bangsa Mesir Kuno yang hidup di sekitar Sungai Nil pada


tahun sekitar 2000 – 2788 SM menunjukan telah banyak
perkembangan perkembangan administrasi yang diketahui. Hal
ini disebabkan karena pada masa itu peninggalan sejarah
sudah banyak ditemukan dan masih banyak ahli yang mampu
membaca tulisan Mesir Kuno, sehingga banyak yang
diinterpretasikan.

Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota


lainnya di Mesopotamia dalam masa yang sama, dikenal
sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal
sebagai negara terorganis-asi dengan tatanan sosial paling
maju di zamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan dan
menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta
memanfaatkan Sungai Nil dan terlindung dari berbagai bahaya
dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah negeri tersebut,
sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban
mereka.

Mesir diperintah oleh seorang raja (Pharaoh) yang


terkenal, yaitu Fir’aun dan memerintah dengan kekuasaan
yang mutlak. Pada masanya sudah diatur system
pemerintahan, perpajakan, perhubungan, militer dan pertanian,
termasuk juga irigasi. Bidang hukum sudah mendapat
perhatian besar. Pada jaman Mesir Kuno ini juga dibangun
perpustakaan besar yang mengoleksi buku-buku dan berbagai
cabang ilmu. Demikian juga dibangun piramida-piramida besar
sebagai tempat makam raja-raja.

Hanya saja pada masa pemerintahan Fir’aun proses


administrasi dijalankan hanya untuk kepentingan Fir’aun dan
keluarganya, bukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini
disebabkan karena Fir’aun memang dianggap dan diperlikan
sebagai dea, sehingga apapun keputusannya harus berlaku
mutlak.

Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari keseluruhan


negara dan wilayah-wilayahnya, para fir'aun ini dianggap
sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam
kepercayaan Mesir Kuno yang politeistik dan menyimpang.
Administrasi tanah rakyat Mesir, pembagian, penda-patan
mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi
dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir'aun.
Absolutisme dalam rezim tersebut melengkapi
pemerintahan fir'aun dengan kekuasaan yang
memungkinkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Pada
saat penegakan dinasti pertama, kala Menes yang menjadi raja
Mesir pertama dengan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir,
Sungai Nil disalurkan kepada penduduk melalui saluran-
saluran air. Di samping itu, seluruh produksi berada di bawah
kontrol dan seluruh barang dan jasa diberikan untuk sang raja.
Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang dan jasa
dalam proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit
bagi raja, yang telah menggalang kekuasaan sedemikian besar
di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam ketun-dukan. Raja
Mesir, atau kelak disebut fir'aun, dipandang sebagai makhluk
suci yang memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua
kebutuhan rakyatnya: dan ia dipandang sebagai tuhan.
Akhirnya, para fir'aun percaya bahwa mereka memang Tuhan.

Mesir terbagi menjadi 42 distrik administrasi yang disebut


dengan nomes. Setia nomes dipimpin oleh seorang pimpinan
yang disebut nomarch. Semasa Fir’aun Pepi II berkuasa,
pemerintah pusat menjadi lemah karena persaingan di antara
nomarch. Setelah Pepi II meninggal, Mesir menjadi terpecah
belah dan menandai berakhirnya masa Kerajaan Mesir Kuno.

Masa kerajaan mesir pertengahan (2040 – 1640 SM)


diawali oleh keberhasilan Fir’aun Mantuhotep dari Thebe
menaklukan Herakleopolis. Mesir dipersatukan kembali dengan
ibukotanya Thebe.

Raja Amenemhet I berhasil menggulingkan Mantuhotep IV


dan ibukota Mesir dipindahkan ke Itjawy, dekat Memphis. Raja
Fir’aun Sanusret III melakukan reorganisasi dalam
pemerintahannya, yakni dengan menghapus Nomarch.
Kemudian Mesir dibagi menjadi tiga daerah administratif yang
disebut dengan Waret.

Sejak pemerintahan Ratu Sobek-Nefuru, pemerintahan


pusat semakin lemah. Mesir kembali terpecah belah. Akhir
kerajaan Mesir ditandai oleh serangan Hyksos dari Timur
Tengah. Kemudian Mesir diperintah oleh bangsa dari Rumpun
Kemit, dan ibukotanya dipindahkan ke Awaris.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa terdapat tali


sejarah yang merakit perkembangan administrasi negara. Apa
yang dicapai dan diberikan oleh administrasi negara sekarang,
tidak lepas dari upaya-upaya yang tidak kenal lelah yang telah
dilakukan oleh para peletak dasar dan pembentuk administrasi
yang dahulu. Administrasi modern penuh dengan usaha untuk
lebih menekan jabatan publik agar mempersembahkan segala
kegiatannya untuk mewujudkan kemakmuran dan melayani
kepentingan umum. Karena itu, administrasi negara tidak
dipandang sebagai administrasi "of the public", tetapi
sebaliknya adalah administrasi “for the public".
Ide ini sebenarnya bukanlah baru. Orientasi semacam ini
telah dicanangkan dengan jelas dalam ajaran Confusius dan
dalam "Pidato Pemakaman" Pericles, bahkan dalam kehidupan
bangsa Mesir kuno. Bukti - bukti sejarah dengan jelas
membuktikan upaya-upaya yang sistematis, yang dikobarkan
oleh tokoh-tokoh seperti Cicero dan Casiodorus. Selama abad
ke-16 - 18 tonggak kemapanan administrasi negara Jerman
dan Austria telah dipancangkan oleh kaum Kameralis yang
memandang administrasi sebagai teknologi. Administrasi
negara juga memperoleh perhatian penting di Amerika,
terutama setelah negara ini merdeka.

Apa yang dikemukakan oleh Cicero dalam De Officiis


misalnya, dapat ditemukan dalam kode etik publik dari
kerajaan-kerajaan lama. Hal yang umum muncul di antara
mereka adalah adanya harapan agar administrasi negara
melakukan kegiatan demi kepentingan umum dan selalu
mengembangkan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain,
administrasi negara tidak seharusnya mengeruk kantong
kantornya (korupsi) demi kepentingan dirinya sendiri.

You might also like