You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Geografi


Pada asalnya geografi bararti “ uraian atau gambaran” (graphe) mengenai
“bumi (geo)”, tetapi sekarang disamping berpegang pada definisi yang sederhana
geografi difahamkan berbagai definisi berikut ini: (1) pengkajian mengenai
gejalaalam sekitar terhadap kehidupan manusia (Chappell Jr. 1981); (2) suatu disiplin
yang mempelajari keberlainan kawasan (Hartshone, 1954); (3) suatu ilmu yang
mempelajari tentang organisasi keruangan kehidupan manusia (Haggett, 1965); (4)
suatu disiplin ilmu yang mengkaji ruang dari segi struktur, organisasi dan formasi
sosialnya ( Peet & Lyons,1981); (5) Suatu anggota pengetahuan mengenai alam
kehidupan manusia dalam fenomenologi ruang ( Relph, 1981); (6) mempelajari
fenomena ruang sebgai realita kehidupan manusia yang bersifat subyektiv (Guelke,
1981) dan (7) suatu ilmu yang mengkaji keruangan sebagai ekpresi keseluruhan
kehidupan sejak manusia (Samuels, 1981).
Berbagai definisi maka perkembangan selanjutnya beberapa ahli geografi
menggolongkan menjadi: (1) geografi ortodoks; (2) geografi lingkungan; dan (3).
geografi terpadu.
1. Geografi Ortodoks

Filsafat - Geomorfologi
- Hidrologi
- Klimatologi
Fisikal - Pedologi
- Lain-lain
Sistematik
- Geografi Ekonomi
Manusia - Geografi Penduduk
- Geografi Pedesaan
- Geografi Perkotaan
- Geografi
Kemasyarakatan
- Lain-lain

- Geografi Daerah
Geografi Tropika
Zone - Geografi Daerah Arid
- Geografi Daerah
Kutub
Regional - Lain-lain
- Geografi Asia
Kultur Tenggara
- Geografi Amerika
Latin
- Geografi Eropa Barat
- Lain-lain

- Kartografi
- Penginderaan Jauh
Teknik - Metode Kuantitatif
dalam Geografi
- Lain-lain

Gambar 1.1 Struktur Geografi Ortodoks


2. Geografi Terpadu

- Teori Interaksi
dalam Ruang
- Teori Difusi
Teori - Teori Jaringan
- Lain-lain
Analisa
Keruangan
- Pengembangan
Aplikasi Daerah Pengaliran Sungai
- Masalah Kekotaan
- Masalah
Kependudukan
- Lain-lain
- Struktur Lingkungan
- Ekosistem
Teori - Teori Korelasi
- Lain-lain

Geografi Analisa
Ekologi - Inventarisasi dan Evaluasi
Sumberdaya
Aplikasi - Penaggulangan Bencana
Alam
- Penanggulangan Tanah
Kritikal
- Lain-lain

- Teori Pertumbuhan
Wilayah
Teori - Teori Aliran Antar
Wilayah

Analisa
Wilayah
- Peramalan Wilayah
Aplikasi - Perancangan Wilayah
- Lain-lain

Gambar 1.2 Struktur Geografi Terpadu


3. Lingkungan Geografi

Pengaturan ruang
dan wilayah yang Geografi Kekotaan
Geografi Pedesan
sesuai dengan
Perubahan gagasan geografi
Gagasan dan
Nilai-nilai
Geografi Proses-proses
sosial, ekonomi, Geografi Sosial
Lingkungan dan sebagainya Geografi Ekonomi
Tata Laku yang bervariasi Geografi Regional
dalam pelbagai
wilayah

Pandangan dan
Pengetahuan Geografi Lingkungan
Tanggapan (pantai, gunung api,
Manusia yang
terhadap karts, dll)
Kreatif dan
Lingkungan Dinamuk terhadap
Lingkungan

Kewajaran
penyebaran – pola Tata Guna Lahan
Geografi Perencanaan
penggunaan lahan
Wujud fisikal
Lingkungan hasil campur
Geografi tangan
manusia
Pengelolaan - Geografi Lingkungan
lingkungan Geografi Perencanaan

Wujud dalam
alam yang Geografi Hayati
Geografi Tanah
dihasilkan oleh
proses organik
Lingkungan Gejala Alam
fenomena
Wujud dalam
alam yang Geomorfologi
Hidrologi
dihasilkan oleh
Meteorologi dan
proses anorganik klimatologi

Gambar 1.3 Struktur Lingkungan Geografi


Salah satu ahli geografi pada periode berikutnya yang berpengaruh adalah
“Alexxander Von Humboldt” yang kemudian dikenal sebagai “ founder of modern
geography” atau pendiri geografi modern (Rosenberg, 2006 dalan Suharsono 2006).
Pada era Hunbolt dan Ritter ditandai oleh mulai dikembangkannya geografi dalan
dua cabang, yaitu geografi manusia dan geografi fisik, dan sampai pada tahap
sinerginya, maka kombinasi kedua cabang tersebut melahirkan cabang geografi
regional. Terapan geografi regional yang dikembangkan di Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakrta perencanaan Pengembangan Wilayah Dengan
Pendekatan Analisa Sestem Informasi Geografi (GIS)

1.2. Obyek Material Geografi


Obyek material yang umum dan luas, yaitu menekankan geosfir yang
meliputi litosfir, atmosfir, hidrosfir, biosfir, pedosfir dan antroposfir.
Definisi definisi yang mekankan pada obyek material antara lain: Geosfir ini
menurut J.O.M. Broek (1965) dalam Suharsono 2006 menekankan bumi
merupakan empat hidup manusia sebagai obyek material yang dikaji didalam disiplin
ilmu geografi. Litosfir; obyek yang dikaji yaitu asal mula terbentuknya batuan, jenis
batuan sifat fisika dan kimia batuan, mineral penyusun batuan, keberadaan batuan di
suatu wilayaah serta hubungan batuaan dengan obyek material yang lain. Atmosfir;
yang dikaji meliputi temperatur, kecepatan angin, awan dan jenis awan, curah hujan,
meteorology, klimatologi, serta hubungannya dengan dengan obyek material yang
lain. Hidrosfir; obyek ini meliputi air permukaan, air tanah, air danau, air laut,
kuantitas air di suatu wilayah, kualitas air di suatu wilayah, potensi air di suatau
wilayah dan hungan hidrologi dengan obyek material yang lain.
Biosfir, kajian meliputi zoology, botani, manusia sebagai makhluk alam,
penyebarannya, interaksi intra organisme, interaksi antar organisme, interaksi
dengan obyek material yang lain serta potensi nya di suatu wilayah.
Pedosfir, kajian ditekankan pada geografi tanah dengan memperhatikan factor
pembentuk tanah, klasifikasi tanah, sifat fisika dan kimia tanah, potensi tanah untuk
pertanian dan non pertanian serta hubungannya dengan obyek material yang
geografi.
Antroposfir, peranan antropofir ini dipandang sebagai imanen dan
transenden. Sebagai imanen maka manusia adalah merupakan factor egosentris
sehingga menjadikan obyek material yang lain menjadi budanyanya. Hasil dari
egosentrisnya akan meninggalkan bentukan bentukan permukaan bumi ini menjadi
bentukan antropogenik. Bentukan tersebut akan berkembang berkelanjutan, ada yang
bersifat distruktif terhadap obyek material geografi yang lain

1.3. Obyek Formal


Obyek ini merupakan cara pandang dan cara berfikir terhadap suatu gejala
permukaan bumi, baik yang sifatnya fisik maupun social budaya yaitu sudut pandang
dari organisasi keruangan “Spatial setting”. Secara sederhana dapat diungkapkan
bahwa dalam geografi selalu ditanyakan mengenai nama gejala itu terjadi, mengapa
gejala itu terjadi, di tempat atau lokasi tersebut.Contoh Daerah yang kekurangan air;
dalam hal ini yang dipelajari bukansaja jumlah air, volume air, tetapi mengapa itu
terjadi, dilihat dari segi lokasi, dari segi fisiografi, dan kalitannya dengan lingkungan
yang lebih luas.
Mengenai obyek formal menurut Heslinga dalam bukunya “Opvatengen van
Geografi“ dalam Bintarto, dijelaskan bahwa ada tiga hal pokok yang dipelajari dari
obyek formal untuk sudut keruangan yaitu :
(1) pola dari sebaran gejala tertentu di muka bumi ( spatial patterns).
(2) Keterkaitan atau hubungan sesame antar gejala tersebut ( (spatial system)
(3) Perkembangan atau perubahan yang terdiri pada gejala tersebut (spatial
proseses); jadi secara konkrit dapat ditegaskan bahwa: a) obyek material
geografi dapat mengenai permukiman, desa kota, pariwisata, daerah aliran
sungai, bentuklahan, bentang darat, sumberdaya, industri, kependudukan,
wilayah atau region, iklim, tanah, air dan masih banyak lagi. Secara ringkas
obyek material geografi meliputi gejala yang terdapat dan terjadi di muka bumi
ini, dan b) obyek formal geografi adalah cara pandang dan cara berfikir
terhadap obyek material dari segi geografi yaitu dari segi keruangan yaitu
meliputi pola atau pattern dan system proses.
Ruangan di permukaan bumi atau wilayah sebagai fenomena permukaan
bumi dapat terbentuk mulai darisederhana sampai yang komplek (Suharsono, dkk.,
2006):
1. Ruangan permukaan bumi yang terbentuk oleh dua unsure geosfer yaitu
litosfer dan atmosfer. Contoh adalah padang pasir. Karena tidak hadirnya
hidrosfir di kawasan ini maka unsure pedosfer, biosfer dan antroposfer tidak atau
belum terbentuk.Sebagai contoh fenomena permukaan bumi yang terbentuk oleh
unsur litosfer dan atmosfer, maka padang pasir ini harus secara hati hati
dibedakan dengan fenomena lain yang terkait padang pasir, seperti perkemahan
kafilah di padang pasir apa lagi kota padang pasir. Kota padang pasir misalnya,
maka dalam konteks ini kota padang pasir harus berbeda dengan padang pasir
karena telah mencakup unsur geosfer dalam pembentukannya, dimana hidrosfer,
pedosfer, biosfer dan antroposfer telah melengkapi keberadaan litosfer dan
atmorfer.
2. Ruangan permukaan bumi yang terbentuk hanya oleh 3 (tiga) unsur geosfer,
yaitu litosfer, atmorfer dan hidrosfer. Contoh padang es/salju karena atmosfer
disini tidak mumungkinkan untuk memberi kelangsungan hidup bagi makhluk
hidup, maka pedosfer, biosfer dan antroposfer tidak dapat terwujud. Unsur
biosfer seperti manusia bukanlah komponen utama pembentuk padang es/salju,
karena keberadaanya hanya sementara di wilayah padang salju.
3. Ruangan permukaan bumi yang terbentuk hanya oleh 5 (lima) unsur geosfer
yaitu litosfer, atmosfer, hidrosfer, pedosfer dan biosfer. Contoh padang rumput,
hutan, lautan,
4. Ruangan permukaan bumi yang terbentuk oleh enam unsure geosfer yaitu:
litosfer, atmorfer, hidrosfer, pedosfer, biosfer dan antroposfer. Contoh perdesaan,
perkotaan, tempat atau kawasan untuk kegiatan rutin manusia bermasyarakat
(missal, lahan pertanian, perkebunan dan kegiatan non pertanian).
Dari cara pandang berdasarkan keruangan yang dipandang dari dua atau
lebih penyusun keruangan maka obyek formal dapat dikembangkan menjadi cara
pandang kelingkungan dan komplek wilayah atau regional komplek.
BAB II
METODE PENELITIAN GEOGRAFI

2.1. Metode, Sikap, dan Produk Penelitian Ilmiah


2.1.1 Metode Penelitian Ilmiah
Penelitian Geografi merupakan penelitian Ilmiah, maka pendekatannya
dituntut dilakukannya cara cara atau langkah-langkah tertentu dengan urutan
tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Dengan pendekatan ilmiah
orang berusaha untuk memperoleh kebenaran ilmiah yaitu pengetahuan yang
kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapapun yang ingin mengujinya
(Direktorat Jendral Pendidikan tinggi,1983).
Menurut Jujun S. Suria Sumantri (1984). Langkah-langkah metode Ilmiah
adalah sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah, merupakan pertanyaan mengenai obyek yang jelas
batas batasnya serta dapat diidentifikasi factor factor yang terkait di
dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berfikir dalam mengajukan hipotesis, merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara
berbagai factor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan
pernyataan ilmiah yang diuji kebenarannya dengan memperhatikan factor
empiris yang relefan dengan permasalahannya.
3. Perumusan hipotesis, m,erupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan- pertanyaan yang diajukan, yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka piker yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis, merupakan pengumpulan fakta – fakta yang relevan
dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat
fakta yang mendukung hipotesis atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan, merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima. Jika dalam proses pengujian hipotesis terdapat
fakta yang cukup banyak mendukunghipotesis tersebut diterima. Sebaliknya
jika tidak cukup fakta yang mendukung maka hipotesis ditolak.
Untuk lebih jelasnya metode ilmiah dapat dilihat diagram alir Gambar 3.1.

Perumusan
masalah

deduksi

Khasanah Penyusunan
Pengetahuan koheransi kerangka
ilmiah pikir

Perumusan
Prakmatisme hipotesis

Induksi
korespondensi

Pengujian
diterima hipotesis
Ditolak

Gambar 3.1 Diagram Alir Metode Penelitian Ilmiah

2.1.2 Sikap Ilmiah


Dalam bekerja dengan menggunakan metode ilmiah, para ahli melandasi
dirinya dengan sikap sikap tertentu yang disebut sikap ilmiah. Menurut siti
Maryam, dkk (1980); sikap ilmiah meliputi hasrat ingin tahu, rendah hati,
jujur, obyektif, kemauan untuk mempertimbangkan data baru, pendekatan
positive terhadap kegagalan, bersikap terbuka, tiliti dsb. Sikap ilmiah
merupakan perilaku para ahli dalam melakukan kegiatan kegiatan ilmiah.
Untuk menjadi ilmiah, seseoarang harus dapat mengidentifikasi masalah,
merumuskan hipotesis, meran-cang eksperimen, melakukan eksperimen,
mengumpulkan data, menganalisa data serta menarik kesimpulan. Sapai sejauh
mana seorang ilmuwan dapat menerapkan sikap ilmiah dilihat bagaimana ia
menggunakan metode ilmiah untuk membuat penemuan yang bermakna.

2.1.3 Poduk Ilmiah


Suatu hipotesis yang diterima setelah diuji dengan menggunakan
metode ilmiah merupakan produk ilmiah dan akan mejadi bagian ilmu
pengetahuan. Produk ilmiah dapat berupa fakta, konsep, prinsip, teori, hukum
dan sebagainya. Fakta adalah data nyata yang diperoleh dari pengamatan.
Konsep adalah suatu gagasan atau ide yang digeneralisasikan dari pengalaman
tertentu yang relevan. Prinsip adalah generalisasi dari konsep-konsep yang
saling berhubungan. Teori adalah suatu generalisasi dari prinsip ilmiah yang
saling berkaitan, yang menjelaskan gejala-gejala ilmiah. Hedro Darmodjo
(1986) merumuskan teori adalah seperangkat pengertian (konsep), definisi dan
dalil yang saling berhubungan yang menyajikan suatu pandangan yang
sistematik dari berbagai fenomena dengan mengungkapkan adanya hubungan
yang spesifik antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan meramalkan
suatu fenomena. Hukum merupakan pernyataan yang mengungkapkan adanya
hubungan antar gejala alam yang konsisten.
Untuk memberikan gambaran maka produk ilmiah dapat dilihat pada
gambar 3.2.
Penelitian-penelitian Proses-proses ilmiah Produk-produk
baru terhadap ilmiah baru
fenomena fenomena
alam

Sikap Ilmiah
Hasrat ingin tahu
Rendah hati
Jujur
Objektif
Kemauan mempertimbangkan data
baru
Pendekatan positif terhadap
kegagalan
Determinasi
Bersikap terbuka
Penelitian terhadap Teliti dan sebagainya
fenomena alam Fakta
Konsep
Metode/proses ilmiah Prinsip
objek-objek Mengidentifikasi problem
hubungan-hubungan Teori
Mengamati hukum
dan sebagainya Merumuskan hipotesis
Menganalisis
Menguji
Meramalkan
Ekstrapolasi
Mensintesis
Mengevaluasi

Gambar 3.2 Produk Ilmiah

2.2. Produk Penelitian Geografi


Penelitan geografi yaitu penelitian berkaitan dengan atmosfer, litosfer,
hidrosfer, biosfer dan atau anthroposfer yang cara pandangnya dapat berupa
keruangan, kelingkungan atau komplek wilayah. Dalam penelitian sumberdaya
lahan biasanya menggunakan pendekatan analitis, pendekatan sintatis atau
pendekatan prakmatis. Untuk lebih jelasnya lihat pada Gambar 3.
Geomorphology Landform and Terrain
Geomorphological
Processes

Analytical Survey Pragmatic Survey Synthetic Survey

Morfometri Pemetaan lereng Bentuk lahan


Morfografi Survei keterlintasan jalan Tanah/sediment
Proses Survei penutup jalan Air permukaan/air tanah
Morfogenesis Pemetaan morfo-konservasi Vegetasi alami/budaya
Morfokronologi Pemetaan hidro-morfologi Iklim
Pemintakatan bahaya banjir
Survei kekeringan

2.3. Latar Belakang Masalah


Suatu masalah selalu berada dalam jaringan gejala lain yang
menimbulkan masalah tersebut. Jaringan yang menimbulkan masalah itulah
yang merupakan latar belakang masalah. Latar belakang masalah
mengemukakan berbagai hal yang mengakibatkan munculnya masalah.
Berbagai permasalahan yang muncul tersebut harus diidentifikasikan karena
suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri, melainkan terkait dengan masalah-
masalah yang lain. Disamping itu, latar belakang masalah harus
mengemukakan penalaran tentang pentingnya pembahasana masalah atau
ulasan yang mendorong pemilihan topik. Hal lain yang harus termuat dalam
latar belakang masalah ini adalah terkait dengan persoalan Keaslian Penelitian.
Keaslian penelitian dikemukakan dengan menunjukkan bahwa masalah yang
dihadapi belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu atau dinyatakan
dengan tegas perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan.

2.4 Pembatasan dan Perumusan Masalah


Masalah merupakan problem-problem atau persoalan yang dihadapi yang
harus dipecahkan atau harus dicari jawabannya dalam penelitian. Oleh karena
itu, kompleksitas permasalahan ini bisa menyulitkan peneliti, maka peneliti
perlu melakukan pembatasan masalah agar kedalaman analisisnya tetap terjaga.
Setelah masalah dibatasi, maka langkah berikutnya adalah membuat perumusan
masalah. Masalah yang bisa dirumuskan dengan jelas sudah merupakan
separuh jalan menuju perolehan jawaban. Selain itu, perlu juga diuraikan
kedudukan masalah yang akan diteliti itu dalam lingkup permasalahan yang
lebih luas. Uraikan pende-katan dan konsep untuk menjawab masalah yang
diteliti, hipotesis yang akan diuji (kalau ada) atau dugaan yang akan dibuktikan.
Perumusan masalah secara jelas dan eksplisit harus dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan atau pernyataan sehingga bisa lebih mengundang pemikiran ke arah
jawaban yang akan dicari melalui penelitian yang dilakukan.

Catatan : apabila permasalahan penelitian sudah spesifik, mungkin tidak


memer-lukan pembatasan masalah.

2.5. Hipotesis
Hipotesis memuat pertanyaan singkat yang disimpulkan dari landasan
teori atau tinjauan pustaka dan merupakan jawaban sementara terhadap
masalah yang dihadapi dan masih harus dibuktikan kebenarannya. Jawaban
sementara itu ditemukan dari teori-teori yang dikaji dengan kerangka berpikir
tertentu diramu dan diarahkan untuk bisa dirumuskan. Hipotesis pada dasarnya
merupakan suatu dugaan. Dengan demikian, hipotesis bisa terbukti benar atau
salah.

2.6. Tujuan dan Manfaat Penelitian


a. Tujuan Penelitian merupakan upaya pokok yang akan dikerjakan di dalam
pemecahan masalah. Tujuan penelitian berisi rumusan secara spesifik
tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini. Tujuan penelitian merupakan
jawaban terhadap permasalah yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah.
Berikan pernyataan singkat mengenai tujuan penelitian. Penelitian dapat
bertujuan untuk menjajagi, menguraikan, menerangkan, membuktikan atau
menerapkan suatu gejala, konsep, atau dugaan, atau untuk menyusun suatu
prototip.
b. Manfaat Penelitian. Manfaat penelitian merupakan kegunaan penelitian. Di
sini peneliti harus menyebutkan dengan jelas kegunaan penelitian yang
akan digunakan. Kegunaan penelitian antara lain: untuk peneliti sendiri,
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, pemecahan masalah pendidikan,
pemecahan masalah sosial, pemecahan masalah pembangunan dan lain-lain.

2.7. Tinjauan Pustaka


Tinjauan pustaka memuat uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan ada hubungannya dengan penelitian
yang akan dilakukan. Penyajian tinjauan pustaka hendaknya menunjukkan
bahwa permasalahan yang akan diteliti belum terjawab atau belum terpecahkan
secara memuaskan pada penelitian terdahulu. Fakta-fakta yang dikemukan
sejauh mungkin diambil dan sumber aslinya. Semua sumber yang dipakai harus
disebutkan dengan mencantumkan nama penulis dan tahun penerbitan.
Usahakan pustaka terbaru, relevan dan asli semacam jurnal ilmiah. Uraikan
dengan jelas kajian pustaka yang menimbulkan gagasan dan mendasari
penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan pustaka menguraikan tentang teori,
temuan, dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian
lain baik yang dilakukan oleh peneliti lain maupun oleh peneliti itu sendiri
sebagai landasan bagi penelitian yang diusulkan. Uraian dalam tinjauan pustaka
dimaksudkan untuk menunjukkan segi kebaruan dan keaslian penelitian,
menunjukkan hubungan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian lain
yang sudah ada, dan untuk menyusun kerangka atau konsep yang akan
digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan. Uraikan dengan singkat dan
jelas kerangka/landasan teoritik yang digunakan sebagai dasar/acuan untuk
melakukan pendekatan terhadap perma-salahan penelitian.

2.8. Landasan Teori/Kerangka Teori


Landasan teori/kerangka teori dijabarkan dari tinjauan pustaka dan
disusun sendiri oleh mahasiswa sebagai tuntutan untuk memecahkan masalah
penelitian dan untuk merumuskan hipotesis. Landasan teori dapat berbentuk
uraian kualitatif, model matematis atau persamaan-persamaan yang langsung
berkaitan dengan bidang ilmu yang diteliti. Landasan teori pada dasarnya
merupakan arahan penalaran untuk bisa sampai pada pemberian jawaban
sementara atas masalah yang dirumuskan. Landasan teori ini dimaksudkan
untuk mengungkapkan prinsip prinsip teori yang dapat menggambarkan
langkah dan arah analisis sehingga landasan teori ini hanya memuat teori-teori
yang dipergunakan dalam suatu penelitian.

Catatan: Untuk bidang ilmu tertentu digunakan istilah kerangka pemikiran.

2.9. Rencana Penelitian


Rencana penelitian merupakan Jembatan yang menghubungkan antara hipotesis
dengan metodologi penelitian dan mengandung uraian singkat langkah-langkah
yang akan diambil untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Rancangan
penelitian, variabel yang akan diteliti, dan perkiraan kisaran nilainya diuraikan
dengan jelas.

2.10. Data dan Metode Penelitian


Salah satu komponen utama dalam penelitian ilmiah adalah adanya
metode penelitian ilmiah yang harus dijelaskan secara rinci. Uraian dapat
meliputi variabel dalam penelitian, model yang digunakan, rancangan
penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data, cara penafsiran dan
penyimpulan hasil penelitian. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif
dapat menjelaskan pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan
analisis data, proses penafsiran dan penyimpulan hasil penelitian.
Metode penelitian yang digunakan ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian metodologi penelitian mengandung uraian singkat tentang: bahan
atau materi penelitian, alat yang digunakan dalam penelitian, metode dan
teknik, variabel dan data yang akan dikumpulkan, serta analisis hasil.
a. Bahan atau materi penelitian. Bahan atau materi penelitian dapat berwujud
populasi atau sampel, atau bahan lainnya. Bahan harus dikemukakan
dengan jelas dan disebutkan sifat-sifat atau spesifikasinya.
b. Alat dan Bahan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian harus
diuraikan dengan jelas dan kalau perlu disertai dengan gambar dan
keterangan-keterangan.
c. Variabel. Variabel yang akan diteliti dan data yang akan dikumpulkan
diuraikan dengan jelas, termasuk Jenis dan kisarannya.
d. Metode dan teknik. Metode memuat uraian tentang metode yang
digunakan, misalnya: Komparatif, eksperimen, atau yang lain, sedang
teknik memuat uraian mengenai cara mengumpulkan data, misalnya:
wawancara, obeservasi, kuesi-oner, atau cara yang lain; cara menganalisis
data berisi uraian tentang model dan cara menganalisis hasil dan cara
mengambil kesimpulan.

2.11. Daftar Pustaka


Daftar pustaka merupakan daftar buku, majalah, artikel di dalam majalah atau
surat kabar, atau artikel di dalam kumpulan karangan (antologi) yang
digunakan sebagai acuan di dalam pengumpulan data, analisis/pembahasan,
atau penyusunan usulan penelitian. Daftar pustaka merupakan persyaratan
suatu karya ilmlah. Daftar pustaka ini disusun kebawah menurut abjad nama
akhir penulis pertama. Buku dan majalah tidak dibedakan, kecuali
penyusunannya ke kanan. Judul buku atau majalah diberi garis bawah atau
dicetak miring. Antara nama penulis, tahun terbit, judul buku, dan kota terbit
dipisahkan dengan tanda titik (.). Antara kota terbit dan penerbit dipisahkan
dengan tanda titik dua atau colon (:).
a. Buku Pustaka yang berupa buku ditulis secara berturut-turut: nama penulis
(tanpa gelar kesarjanaan), tahun terbit, judul buku, jilid, terbitan ke, nomor
halaman yang diacu (kecuali kalau seluruh buku), kota tempat buku itu
diterbitkan dan nama penerbit.
b. Majalah Pustaka yang berupa majalah atau jurnal ditulis secara berturut-
turut: nama penulis (tanpa gelar kesarjanaan), tahun terbit, judul tulisan,
nama majalah dengan singkatan resminya,jilid, dan nomor halaman yang
diacu. Judul artikel ditulis di antara dua tanda kutip ("......"), sedangkan
nama majalah atau jurnal ditulis dengan diberi garis bawah atau cetak
miring.
c. Buku lembaga Buku lembaga adalah buku yang dikeluarkan oleh suatu
lembaga (pemerintah, swasta, perusahaan) yang ditulis oleh suatu komisi,
panitia atau asosiasi tanpa menyebutkan penulis individu. Pustaka yang
berupa buku lembaga seperti ini disebutkan secara berturut-turut: nama
lembaga (meskipun sekaligus penerbit), tahun terbit, judul buku, kota terbit
dan penerbit.
d. Buku anonim
Buku anonim adalah sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu
tanpa menyebutkan penulisnya. Pustaka yang berupa buku anonim seperti
ini jangan disebut dengan istilah anonim melainkan langsung dengan judul,
tahun terbit, kota terbit dan nama penerbit.
Terdapat beberapa perbedaan cara penulisan daftar pustaka ini antara
bidang ilmu yang satu dengan bidang ilmu yang lain, seperti penggunaan
tanda baca yang memisahkan nama penulis, tahun terbit,judul buku dan
lain-lain. Namun demikian, prinsip prinsip yang digunakan secara garis
besar sama.
BAB III
FUNGSI PETA DAN FOTO UDARA
DALAM PENELITIAN GEOGRAFI

3.1. Fungsi Peta


Di dalam kehidupan sehari-hari, peta bukanlah sesuatu yang asing didengar,
bahkan saat ini oleh banyak kalangan atau lembaga, peta digunakan sebagai sumber
informasi mengingat kelebihan informasinya yang menyertakan unsur spatial
(keruangan) di dalamnya. Di dunia pendidikan istilah peta telah dikenalkan pada para
siswa sejak di bangku sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak. Pengenalan tentang
peta sejak dini kepada para siswa sangat bermanfaat dalam menanamkan image,
mengenai betapa pentingnya arti sebuah peta dalam menemukan atau menuju suatu
lokasi.

Peta adalah representasi gambaran unsur-unsur atau kenampakan-


kenampakan abstrak yang dipilih di permukaan bumi atau yang ada kaitannya
dengan permukaan bumi (benda-benda angkasa), yang umumya digambarkan pada
suatu bidang datar dan skalakan/diperkecil (ICA, 1973 dalam Mas Sukoco, 1985).

Peta ditinjau dari isinya dikelompokkan menjadi peta umum, peta khusus,
dan chart. Peta umum berisi gambaran umum dari permukaan bumi seperti gunung,
sungai ,bukit, dan lainnya. Peta khusus adalah peta yang memuat gambaran yang
bersifat khusus, seperti produksi pertanian, pariwisata, dan lainnya, dan chart adalah
sket permukaan bumi. Mengapa peta diperlukan? Menurut Dickinson (1973) ada
beberapa alasan tentang pentingnya penggunaan peta, yaitu : dapat menyederhanakan
dan memperjelas aspek/obyek penting yang terpilih, dapat menimbulkan daya tarik
yang lebih besar pada obyek yang ditampilkan, dapat mengungkapkan lebih singkat
penjelasan dalam uraian atau pembicaraan, dapat berperan sebagai sumber data bagi
pengguna.
Peta dapat digunakan sebagai sumber informasi/data bagi terlaksananya
program pembangunan yang diinginkan. Selain itu dari peta yang dihasilkan dapat
dilakukan evaluasi secara geografis, yaitu dapat menguraikan tentang persebaran,
jumlah dan perkembangan suatu obyek.
Oleh karena peta berperan sebagai media komunikasi, maka pembuat peta
harus dapat mengungkapkan obyek dengan benar, mudah dimengerti, dan dapat
memberikan gambaran situasi obyek, walaupun dinyatakan dengan simbol kepada
pengguna peta. Untuk keperluan tersebut maka pembuat peta perlu memperhatikan
prinsip kartografis yaitu tentang tata letak, peta dasar, penentuan simbol yang
digunakan ( Keates, 1973).
Peta sangat membantu bagi penggunanya, karena dalam peta merupakan hasil
pengecilan fenomena geografis yang sangat kompleks. Oleh karenanya dengan
menggunakan peta, maka semua data, informasi maupun potensi daerah yang
terkandung di dalamnya dapat dengan mudah dan cepat difahami.
Pada, era komputerisasi dewasa ini, teknik penggambaran peta secara manual
dengan menggunakan alat-alat konvensional (rapido, sablon, rugos d1l) dianggap
sudah agak tertinggal, walaupun masih banyak yang tetap menggunakannya. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor keterbatasan, diantaranya adalah: kemampuan,
kesempatan, ketersediaan fasilitas (sarana prasarana), biaya serta keterbatasan
informasi.
Berbicara tentang peta tentunya terkait dengan banyak hal, seperti ilmu dasar
(ilmu induk tentang peta), jenis-jenis peta, cara pembuatan dan penyajiannya. Tulisan
ini disampaikan untuk sedikit memberikan gambaran tentang beberapa konsep dasar
yang berkaitan peta yang dikemas secara singkat dan sederhana berdasarkan
beberapa rujukan dan instuisi penulis.
Konsepsi dasar yang dimaksud dalam tulisan adalah beberapa, istilah dalam
ruang lingkup pembicaraan mengenai peta. Hal ini dirasa penting agar diperoleh
suatu pemahaman yang komprehensif tentang peta, sehingga terhindar dari
kemungkinan munculnya pembiasan makna dalam mempelajari dan mengkaji peta.
Beberapa konsepsi dasar yang dimaksud meliputi; kartografi, peta, pemetaan dan
pemetaan digital.
a. Kartografi
Kartografi adalah seni, ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pembuatan
peta-peta berikut studinya sebagai dokumen ilmiah dan hasil kerja seni (ICA:
1973).
b. Peta
Peta adalah suatu representasi unsur-unsur atau kenampakan-kenampakan abstrak
yang dipilih di permukaan bumi atau yang berkaitan dengan permukaan bumi,
yang umumnya digambarkan dalam sebuah bidang datar dengan penggunaan
skala tertentu. Berdasarkan teknologi yang dipergunakan, peta dibagi menjadi
dua, yaitu peta, format manual dan peta format digital.
c. Pemetaan
Segala kegiatan yang berkaitan dengan proses penggambaran ataupun
penyusunan peta mulai dari survei awal hingga penyajian hasil, dalam hal ini
adalah peta itu sendiri, baik dilakukan dengan metode terestris atau pengukuran
langsung di lapangan menggunakan alat ukur theodolit. Berasarkan sarana/alat
yang dipergunakan, pemetaan dibedakan menjadi dua macam, yaitu pemetaan
manual dan pemetaan digital.
d. Pemetaan Digital
Pemetaan Digital adalah suatu teknik penggambaran/penyusunan peta dengan
menggunakan fasilitas komputer, baik perangkat keras/hardware (=komputer,
plotter/printer dan digitaizer) maupun perangkat lunak/software (=program:
mapinfo, arcinfo, arcview dsb) dengan produk/output informasi keruangan
(spasial) berupa peta digital yang dapat disimpan dalam suatu CD, disket
maupun harddisc. Adapun sistem yang menaungi teknologi pemetaan digital
telah dikenal secara luas dengan nama: Sistem Informasi Geografi (SIG/GIS).

3.1.1. Fungsi Peta dalam Penelitian Geografi


Peta sebagai suatu data memiliki kelebihan dibandingkan dengan
sumber-sumber data lain. Kelebihan tersebut terletak pada informasi yang disajikan,
yang menyertakan unsur spatial (keruangan) di dalamnya. Unsur spatial dalam hal ini
ditunjukkan dalam bentuk unsur site (lokasi) dari data yang bersangkutan.
Secara garis besar, arti penting peta dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu ;
arti penting umum dan arti penting khusus. Arti penting umum: peta berperan
sebagai media komunikasi, sedangkan arti penting khusus; peta dapat berperan
sebagai; media perencanaan dan pengambilan keputusan, media riset/penelitian dan
media informasi umum.

a. Peta. sebagai.Media Komunikasi


Sebagaimana layaknya manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya, tentu
memerlukan serangkaian proses dari mulai kelurnya suara atau bahasa sampai
pada suara atau bahasa tersebut diterima. Sama halnya dengan suara, peta juga
dapat berperan sebagai media komunikasi (tidak langsung).
Peta sebagai media komunikasi dapat dijabarkan sebagaimana skema pada
Gambar 5. Bagaimana agar komunikasi tak langsung melalui peta dapat berjalan
dengan baik (komunikatif ?) Jawabnya sederhana, yaitu peta digambar atau
disusun berdasarkan aturan/kaidah kartografis.

b. Peta sebagai Media Perencanaan


Pada umumnya sebagai media atau sarana perencanaan, peta, dipergunakan oleh
instansi/pejabat/planner dalam pengambilan keputusan (kebijakan), yang biasa
dikaitkan dengan pembangunan. Beberapa pointer kontribusi peta dalam
perencanaan, diantaranya adalah :
 Untuk memberikan informasi pokok dan aspek spatial (keruangan) mengenal
karaktenstik suatu daerah.
 Sebagai sarana analisis untuk menyimpulkan suatu fenomena
 Sebagai sarana. menjelaskan rencana-rencana yang diajukan kaitannya
dengan unsur ruang atau lokasi.

c. Peta sebagai Media Riset/Penelitian


Adapun sebagai media riset/penelitian/studi, konstribusi peta dapat dijabarkan
dalam beberapa hal, diantaranya adalah:
 Bahan orientasi medan untuk memperoleh gambaran/diskripsi tentang daerah
yang akan diteliti.
 Sebagai media pengeplotan data yang diperoleh dari lapangan.
 Sebagai media untuk menyajikan hasil penelitian atau studi.
 Sebagai sarana untuk menjelaskan penemuan-penemuan penelitian
 Sebagai alternatif cara menyajikan data statistik.

3.1.2. Penggunaan Peta


Peta mencerminkan berbagai tipe informasi unsur muka bumi atau yang
berkaitan dengan muka bumi. Kelebihan penyajian informasi melalui peta adalah
bahwa peta secara langsung menginformasikan pola sebaran keruangan dari unsur-
unsur yang digambarkan.
Untuk dapat menggunakan peta secara baik dan benar, sebaiknya melalui
pentahapan. Ada tiga tahap penggunaan peta, yaitu : pembacaan peta, analisis peta
dan interpretasi peta.
a. Pembacaan Peta
Pada tahap ini pengguna peta mencoba mengidentifikasi simbol atau membaca
apa arti simbol. Untuk dapat membaca arti simbol pengguna perlu mengenal
bahasa peta. Bahasa peta tercermin dalam informasi tepi peta yang meliputi :
judul, skala, orientasi arah, sumber pembuat peta, proyeksi, koordinat serta
keterangan atau legenda. Sebelum berusaha mengartikan simbol-simbol peta,
pengguna disarankan untuk mempelajari dulu informasi-informasi tepi peta,
dengan demikian begitu melihat simbol seorang pengguna peta tidak ragu lagi
tentang makna atau bentuk unsur lingkungan yang tercermin dalam peta. Suatu
langkah yang tidak benar manakala pengguna langsung berusaha
menterjemahkan arti simbol-simbol dalam suatu peta tanpa terlebih dahulu
menyimak informasi tepinya.

b. Analisis Peta
Apabila simbol peta telah dapat dimaknai oleh pengguna, maka tahap berikutnya
adalah mengukur atau mencari nilai metrik dari unsur-unsur ayang tergambar
pada peta. Unsur yang tergambar pada peta dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
Posisional (titik ketinggian, sumur, tambang, pusat pelayanan dan lain-lain),
Linier (jalan, sungai, rel KA, garis pantai dan lain-lain), Volume (volume waduk,
volume gundukan dan lain-lain).

c. Interpretasi Peta
Tahap ketiga yaitu interpretasi peta, pengguna beusaha mencari jawaban
mengapa di bagian tertentu terjadi pengelompokan (pola) yang berbeda dengan
pola pada bagian lain dari peta yang sama.

3.1.3. Peta Kartografis


Dalam konteks pembicaraan yang sederhana, arti penting peta lebih
didefinisikan sebagai media petunjuk mengenai suatu tempat/lokasi atau gambaran
tentang bagaimana suatu tempat/lokasi dapat dituju. Batasan sederhana mengenai arti
penting peta tersebut tidaklah salah, karena pada dasarnya substansi sebuah peta
adalah lokasi (agihan spasial obyek), berbicara tentang peta, maka dengan sendirinya
berbicara tentang lokasi atau letak.
Dalam perkembangannya, peta telah dimanfaatkan secara meluas dalam
berbagai bidang, baik untuk keperluan akademis maupun non akademis; tidak hanya
terbatas pada ilmu-ilmu yang berbasis kebumian saja melainkan semua disiplin yang
melibatkan unsur lokasi dapat menggunakan peta sebagai penunjang kajiannya.
Berbicara masalah pemanfaatan peta tidak akan lepas dari syarat sebuah peta dapat
dipergunakan secara baik. Ada beberapa syarat atau kaidah yang harus dipenuhi agar
sebuah peta dapat memberikan manfaat yang besar bagi pengguna, dan beberapa
syarat tersebut terangkum dalam sebuah kaidah yang dapat disebut “kaidah
kartografis”. Peta yang dibuat atau digambar dengan mengikuti aturan atau kaidah
kartografis disebut dengan Peta Kartografis.
Bagaimanakah seharusnya kriteria suatu peta agar disebut berkaidah kartografis?
Peta yang baik adalah peta yang benar penyajian datanya dan menarik visualisasinya.
Di dalam suatu peta yang baik, apapun jenis dan temanya; siapapun pembuatnya
selalu dapat dijumpai unsur-unsur peta, yang meliputi : Judul atau tema peta, skala
peta, orientasi arah utara, legenda/simbol, inset peta, batas (letak) astronomis atau
koordinat geografisnya, sumber data, dan pembuat/penyusun peta. Disamping itu
dari aspek estetika, faktor leterring penting diperhatikan sehingga visualisasinya
menarik

a. Judul atau tema peta


Peta yang memiliki tema tertentu dalam ilmu kartografi disebut dengan peta
tematik. Tema peta tercermin dalam judul peta. Judul peta mencerminkan isi peta.
Peta yang tidak mimiliki judul peta disebut peta buta dan tidak dapat dijadikan
referensi untuk menurunkan/menyusun peta-peta tematik lain. Kaidah penulisan
judul peta diantaranya adalah sebagai berikut :
- judul berisi nama (tematik) peta dan daerahnya, sering pula judul peta ditambah
unsur waktu tergantung sifat kedinamisan data yang dipetakan;
- nama (tematik) peta dibuat dengan ukuran lebih besar dari nama daerahnya;
- jenis huruf kapital dengan ukuran disesuaikan ukuran kertas atau media
penggambaran yang lain, bentuk huruf standar/baku dan tidak boleh bernuansa
“art (seni)”;
- susunan penulisan judul terpisah antara nama (tematik) peta dengan daerahnya;
- penataan baris dengan sistem ‘center’.
Contoh 1 :
PETA ADMINISTRASI
KECAMATAN JATINOM KABUPATEN KLATEN
Contoh 2 :

PETA KEPADATAN PENDUDUK


KABUPATEN KLATEN TAHUN 2005

b. Skala peta
Skala peta mencerminkan ukuran-ukuran dalam peta. Unsur-unsur metrik dalam
suatu peta, seperti : jarak dan luas tidak dapat dianalisis. Skala peta adalah
perbandingan satuan panjang (jarak) antara dua titik di peta dengan jarak riil di
lapangan. Skala peta adalah kunci analisis kuantitatif peta. Peta yang tidak memiliki
skala juga disebut peta buta, tidak dapat dijadikan referensi dan tidak dapat dijadikan
pembanding dengan peta lain. Tidak adanya skala menjadikan suatu peta terbatas
penggunannya.
Skala peta dapat disajikan dalam beragam bentuk atau cara, diantaranya adalah :
- dengan ‘kata-kata’, misal : one inch one miles, artinya tiap satu inci di peta
setara atau mewakili jarak satu mile di lapangan;
- dengan ‘perbandingan angka numeric’, misal : 1 : 100.000 atau 1 .
100.000
yang berarti 1 cm di peta mewakili jarak 100.000 cm di lapangan

- dengan ‘grafis atau garis’, misal : 1 0 2 km

1cm 2cm

skala tersebut menunjukkan 1 cm = 1 km  1 cm = 1000 meter  1 cm =


100.000 cm, sehingga skala petanya adalah 1 : 100.000; skala ini dapat pula
dihitung dari 2 cm = 2 km  2 cm = 2000 meter  2 cm = 2000 meter
atau 200.000 cm, sehingga skala petanya adalah 1 : 100.000.

Kaidah penulisan atau pencantuman skala dalam suatu peta secara umum adalah
sebagai berikut :
- skala tidak boleh diberi satuan, walaupun tidak bersatuan namun antara
pembilang dan penyebut harus berada pada satuan yang yang sama, untuk
Indonesia satuan tak tertulis tersebut adalah ‘centimeter’, misal 1 : 10.000,
skala ini sebenarnya adalah 1 cm : 10.000 cm
- pembilang pada skala peta harus ‘1’
- pencantuman skala dalam suatu peta yang lengkap adalah cara perbandingan
angka numeric selanjutnya cara grafis yang didesain di sebelah bawah skala
numeric,
contoh : 1 : 100.000

1 0 2 km
- pencantuman skala akan lebih baik jika diletakkan sehabis judul peta, atau
dengan kata lain menjadi satu kesatuan dengan judul peta
c. Orientasi arah utara
Peta dalam pandangan kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan letak, lokasi
ataupun posisi suatu tempat atau obyek. Letak atau posisi obyek di permukaan bumi
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : letak/posisi absolut dan letak/posisi relatif.
Penyebutan “sebelah timur, sebelah utara” adalah contoh dalam menyatakan letak
relatif. Penyebutan tersebut tidak mungkin dilakukan pada saat membaca peta tanpa
mengetahui orientasi arahnya. Orientasi arah juga membantu pengguna/pembaca peta
dalam menemukan lokasi yang dicari. Tidak ada kaidah baku dalam mendesain
orientasi arah.
d. Legenda
Legenda atau simbolisasi data dalam peta mutlak harus ada. Peta tanpa
legenda juga disebut peta buta. Legenda dalam suatu peta merupakan anak kunci
untuk membuka informasi yang terkandung dalam sebuah peta. Pembuatan legenda
(simbolisasi) yang baik dan benar memudahkan orang menangkap isi peta.
Legenda/simbol berfungsi sebagai sarana mengkomunikasikan data. Sarana
komunikasi antara pembuat dan pembaca/pengguna peta adalah simbol/legenda.
Berdasarkan bentuknya, ada tiga jenis simbol penyajian data dalam sebuah
peta, yaitu : simbol titik, simbol garis dan simbol area; masing-masing jenis simbol
menurut sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu : kualitatif dan kuantitatif, sehingga ada
simbol : titik kualitatif dan kuantitatif, garis kualitatif dan kuantitatif serta area
kualitatif dan kuantitatif. Bentuk dari simbol-simbol tersebut dapat dilihat pada
contoh-contoh berikut.
Contoh 1 : Legenda/simbol titik
a. Kualitatif : ◘ = kantor kecamatan, ☼ = mataair
b. Kuantitatif : = 100 = 200
Contoh 1 : Legenda/simbol garis
a. Kualitatif : = jalan, = batas propinsi
b. Kuantitatif : = 50 km/jam = 100 km/jam
Contoh 1 : Legenda/simbol area
a. Kualitatif : = sawah = hutan
b. Kuantitatif : = rendah = tinggi
Disamping model simbol di atas ada pula model lain untuk simbolisasi data-data
statistik, pada umumnya berupa diagram batang maupun lingkaran.

e. Inset peta
Inset peta adalah petunjuk letak wilayah yang dipetakan jika dilihat dari wilayah
yang lebih luas. Inset peta merupakan orientasi letak peta. Inset penting karena
membantu pembaca atau pengguna peta untuk mengetahui lokasi keberadaan
wilayah yang dipetakan dilihat dari hirarki wilayah di atasnya.
Kaidah umum pencantuman Inset dalam sebuah peta diantaranya adalah :
- inset digambar dengan skala lebih kecil dan harus meliput daerah pemetaan
- inset tidak perlu dibuat menonjol dan terlalu besar
-
Contoh inset peta : Inset peta

PETA DESA X Kec. Ceper


Skala 1 : 100.000

: desa X

f. Koordinat geografis
Pada dasarnya setiap jengkal tanah di permukaan bumi ini memiliki koordinat
geografis yang berbeda-beda, dengan kata lain satu titik di permukaan bumi memiliki
satu koordinat geografis. Koordinat geografis dalam sebuah peta berfungsi sebagai
petunjuk mengenai posisi peta (wilayah pemetaan) di permukaan bumi. Koordinat
geografis dalam sebuah peta dapat berupa letak astronomis dan koordinat UTM.
Letak astronomis dinyatakan dalam bentuk derajat bujur dan derajat lintang; untuk
wilayah Indonesia dinyatakan dengan : derajat (…°. ….’ ….”) Bujur Timur (BT) dan
derajat (…°. ….’ ….”) Lintang Selatan (LS). Adapun koordinat UTM (Universal
Traverse Mercator) dinyatakan dengan mU (mewakili arah utara ataupun ordinat)
dan mT (mewakili arah Timur ataupun absis).
Tidak adanya koordinat geografis dalam suatu peta menjadikan peta yang
bersangkutan sulit untuk dirujuk posisinya di permukaan bumi. Kaidah pencatuman
koordinat geografis dalam sebuah peta adalah :
- koordinat dicantumkan pada frame peta sesuai batas riil terluar
wilayah/daerah yang dipetakan; bilangan koordinat yang dicantuman pada
model ini pada umumnya tidak bulat, misalnya : 7° 25’ 21,15” LS.
- koordinat dicantumkan pada frame peta mengikuti grid-grid peta; bilangan
koordinat yang dicantuman pada model ini pada umumnya bulat, misalnya :
7° 25’; atau dengan koordinat UTM , misalnya : 470000 mT (peta digital
dengan koordinat UTM umumnya masuk kelompok ini.
Contoh 1 : koordinat sesuai batas riil wilayah

110° 14’ 23” BT 110° 24’ 11,5” BT


7° 24’17” LS

7° 28’22” LS
Contoh 2 : koordinat mengikuti grid peta
110° 10’ BT 110° 25’ BT
7° 20’ LS

7° 30’ LS

Contoh 3 : koordinat UTM mengikuti grid peta


465000 470000 475000 480000 mT
9200000 mU

9190000
mU

g. Sumber data
Sumber data perlu dicantumkan dalam peta agar pembaca atau pengguna peta
tahu : (1) data apa saja yang digunakan dalam penggambaran atau penyusunan peta,
(2) dari mana data diperoleh atau dikumpulkan. Informasi ini penting karena orang
akan tahu ; (1) validitas data yang disajikan, (2) peta yang dibuat tersebut apakah
hanya “disalin” (si pembuat hanya menyalin atau menggambar ulang dari sumber
yang digunakan), ataukah peta tersebut “disusun” (benar-benar merupakan hasil
karya si pembuat peta).
Kaidah umum penulisan sumber data diantaranya adalah :
- teks ditulis sebagaimana umumnya penulisan teks dalam naskah, tidak
dibenarkan penulisan dengan huruf besar semua
- jenis huruf standar/baku dengan ukuran disesuaikan dengan tempat yang
tersedia dan banyak sedikitnya jenis sumber data.

h. Pembuat peta
Informasi mengenai si pembuat peta penting dicantumkan agar peta dapat
dirujuk dan dipertanggungjawabkan isinya. Informasi tentang pembuat atau
penyusun peta pada umumnya disertai dengan tahun pembuatan.
Peta bukanlah sekedar gambar, namun gambar yang dapat memberikan atau
menyajikan informasi tentang fenomena-fenomena serta berbagai kemungkinan
saling hubungan antar berbagai fenomena di permukaan bumi. Peta akan dapat
memerankan fungsinya dengan baik dan optimal manakala peta dibuat dengan
mengikuti kaidah penggambaran peta sesuai ilmu yang manaunginya, yaitu
kartografi. Peta berkaidah kartografis, baik yang berformat manual maupun digital
akan memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan dan pembangunan. Informasi
spasial dalam bentuk peta telah diakui secara luas sebagai informasi yang sangat
berguna karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu data pada peta selalu menyertakan
unsur lokasi di dalamnya.
Dewasa ini paradigma pemetaan telah mengalami pergeseran dari manual ke
digital. Perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (GIS) sebagai perangkat
penghasil peta-peta format digital telah menyediakan berbagai fasilitas penunjang
dalam mendesain layout sebuah peta, sehingga kaidah kartografisnya dapat terpenuhi
secara baik dengan akses cepat.

3.2. Fungsi Foto Udara


Di kalangan akedemisi dan praktisi yang menggeluti bidang-bidang yang
berbasis kebumian ataupun landscape, seperti : geodesi, geologi, geografi,
pertambangan, kehutanan dan planologi, citra foto udara bukanlah sesuatu yang
asing didengar. Hal ini disebabkan foto udara merupakan salah satu sumber data
spasial yang sangat berguna bagi bidang-bidang tersebut, baik untuk keperluan
research maupun proyek.
Citra foto udara merupakan salah satu dari sekian banyak citra penginderaan
jauh yang sampai saat ini masih dimanfaatkan, mengingat kelebihannya yang dapat
menampilkan kenampakan tiga dimensi melalui pengamatan stereoskopis.
Sebenarnya kemajuan teknologi pemetaan dan penyadapan data spasial sekarang ini
telah cukup maju, dengan hadirnya citra-citra penginderaan jauh yang memiliki
resolusi spasial tinggi dengan pereode perekaman pendek, seperti : Citra Ikonos dan
Quikbird.
Penginderan jauh (remote sensing) adalah ilmu memperoleh informasi
permukaan bumi melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan obyek di permukaan bumi. Dalam ilmu
penginderaan jauh, citra dibedakan dalam berbagai kategori. Berdasarkan systim atau
tenaga perekamnya, citra dibedakan menjadi systim aktif dan pasif, sedangkan
berdasarkan wahana yang membawa alat perekamnya, citra dibedakan menjadi dua,
yaitu citra foto udara dan citra satelit. Di dalam tulisan ini citra yang akan
dibicarakan adalah foto udara.

3.2.1. Kelebihan Foto Udara


Berdasarkan panjang gelombangnya foto udara dibedakan menjai tiga, yaitu :
ultraviolet, pankromatik dan inframerah. Foto udara pankromatik sendiri dibedakan
menjadi dua, yaitu hitam putih dan berwarna. Di dalam beberapa kegiatan penelitian
geografi jenis foto udara pankromatik hitam putih sering digunakan. Ada beberapa
kelebihan yang dimiliki jenis citra ini disbanding citra foto lain, diantaranya adalah :
(1) kenampakan yang terlihat sesuai aslinya di lapangan sehingga mudah dikenali;
(2) pengamatan stereokopis terhadap citra foto ini dapat menampilkan kenampakan
tiga dimensi sehingga memudahkan identifikasi obyek di permukaan; (3) rencana
pengambilan sample di lapangan dapat dilakukan secara langsung di atas citra; (4)
obyek penelitian dapat diinterpretasi langsung di laboratorium tanpa tergantung oleh
kondisi lapangan dan keadaan cuaca; (5) foto udara memiliki resolusi temporal yang
baik sehingga mampu digunakan untuk mengkaji perkembangan obyek permukaan
bumi dari waktu ke waktu.

3.2.2. Interpretasi Foto Udara


Interpretasi adalah penafsiran, sehingga bisa benar bisa juga salah. Banyak
factor yang mempengaruhi ketepatan interpretasi seseorang terhadap obyek yang
terlihat dalam citra foto udara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah : (1)
frekuensi melakukan interpretasi; (2) pemahaman interpreter terhadap obyek kajian;
(3) penguasaan interpreter terhadap daerah kajian; (4) penguasaan interpreter
terhadap instrument intrpretasi yang digunakan. Gambar 1 dan Gambar 2 adalah
contoh foto udara pankromatik hitam putih dan kegiatan interpretasi foto udara di
laboratorium Penginderaan Jauh Laboratorium fakultas geogafi UMS.

Gambar 1. Foto udara daerah Klaten Gambar 2. Kegiatan interpretasi

4.2.3. Fungsi Foto Udara dalam Penelitian Geografi


Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa citra adalah sumber data spasial
permukaan bumi. Geografi adalah studi yang mempelajari atau mengkaji tentang
fenomena-fenomena permukaan bumi. Fenomena permukaan bumi terutama yang
bersifat fisik akan terlihat di dalam citra.
Dalam berbagai kegiatan penelitian, penggunaan foto udara sudah mulai
dilakukan pada awal penelitian, terutama bagi penelitian-penelitian yang
memanfaatkan foto udara untuk penyusunan unit analisis atau satuan pemetaan,
seperti unit lahan ataupun satuan bentuklahan. Untuk keperluan ini, terkait dengan
obyek kajian seorang interpreter dituntut memiliki pemahaman mengenai konsep
satuan pemetaan serta kemampuan dalam penyusunan petanya, sedangkan terkait
dengan cara penyadapan data dari foto udara, seorang interpreter dituntut memiliki
pemahaman dan kemampuan dalam pengamatan tiga dimensi.
Penggunaan foto udara selain untuk penyusunan unit analisis atau satuan
pemetaan, misalnya penyadapan data atau variable penelitian seperti kemiringan
lereng ataupun penggunaan lahan, seorang interpreter dituntut untuk menguasai
teknik penyadapan data sesuai karakteristik datanya. Contoh : data kemiringan lereng
hanya dapat disadap jika seorang interpreter menguasai alat slopemeter atau
penggunaan dan perhitungan paralaks bar; data penggunaan lahan hanya dapat
disadap jika seorang interpreter mengerti tentang kunci-kunci pengenalan obyek dan
kunci interpretasi.
Penggunaan citra penginderaan jauh pada umumnya dan foto udara pada
khususnya memang memiliki kelebihan dalam banyak hal, yaitu efektif dan efisien
dalam pengertian data cepat disadap, hemat beaya dan tenaga. Data yang tersadap
atau terkumpul adalah data-data hasil penafsiran interpreter yang masih
memungkinkan adanya kesalahan, sebab hanya berdasarkan pada rekaman yang
tersaji pada sebuah citra. Oleh karena itu, semua kegiatan interpretasi dengan
menggunakan citra penginderaan jauh termasuk foto udara harus dilakukan verifikasi
atau uji lapangan untuk penyempurnaan hasil interpretasi.
Daftar Pustaka

Azis, Lukman. 1977. Peta Thematik. Bandung: ITB

Bintarto, 1987. Perkembangan Pemikiran Geografi. Makalah. Fakultas Geografi


UMS

Keates, JS, 1973. Cartographic Design and Production. London: Longma Group
Ltd.

Philip,C.Muchrhe. 1978. Map Use, Reading, Analisys and Interpretation. London:


Longma Group Ltd.

Sukoco, Mas., 1985. Kartografi Dasar. Yogjakarta: Fakultas Geografi UGM.

Sinaga, M., 1997. Pengetahuan Peta. Yogjakarta: Fakultas Geografi UGM

Sutanto, 1995. Penginderaan Jauh Dasar. Yogjakarta: Fakultas Geografi UGM

Suharsono, dkk. 2006. Majalah Geografi Indonesia. Vol.20,No.2 September 2005.

You might also like