You are on page 1of 16

TAFSIR AL-BAQARAH AYAT 1-10

A. TEKS AYAT
            
       
        
         
        
          
          
         
        
          
      

B. TERJEMAH
1. Alif laam miin.
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi
mereka yang bertakwa,
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.
6. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman.
7. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman.

1
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, namun
mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.
10. Dalam hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambah penyakit
mereka. Bagi mereka siksa yang menyakitkan, disebabkan mereka
berdusta.

C. PENDAHULUAN

Surah ini diturunkan di Madinah dan seluruhnya terdiri dari 286

ayat. Nama al-Baqarah (sapi betina) sendiri diambil dari cerita yang terdapat

dalam surat tersebut tentang sapi betina pada masa Nabi Musa. Surah Al-

Baqarah merupakan surah yang terpanjang di antara berbagai surat dalam

Alquran. Di samping itu, Surah al-Baqarah juga mengandung macam-macam

hukum yang tidak terdapat di dalam surat yang lain. Karena itulah, Khalid bin

Ma’adan menamakannya dengan Fusthath al-Quran (Tenda Besar Al-

Qur’an).Di dalam riwayat lain, Al-Baqarah juga disebut dengan nama Sanam

al-Qur’an (Punuknya Al-Qur’an).1

Surah ini juga memiliki beberapa keutamaan. Dalam salah satu

hadis, Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti

kuburan. Sungguh, setan akan lari dari suatu rumah yang di dalamnya

dibaca Surah Al-Baqarah.”2 Di samping itu, di dalam surah al-Baqarah, juga

terdapat ayat al-Kursi yang memiliki banyak keutamaan. Tentang ayat al-

Kursi ini, Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu hadisnya, “Pemimpin

ayat Al-Qur’an adalah ayat Kursi.”3 Selain ayat Kursi, kedua ayat terakhir di

dalam al-Baqarah juga memiliki banyak keutamaan. Dalam hal ini, Nabi
1
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 191.
2
Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih (Shahih
Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt),hadis no 1860, juz, hal. 188.
3
Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-
Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hadis 3030, juz 1, hal. 286.

2
SAW bersabda, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari Surah

al-Baqarah di dalam hari, maka kedua ayat itu akan mencukupkan dirinya.”4

D. TAFSIR

 
1. Alif laam miin.
Ayat ini terdiri dari tiga huruf, yaitu alif, lam, dan mim yang dibaca

secara terpisah meski tertulis dalam bentuk satu kata. Ayat yang terletak di

awal surah seperti ini disebut pula dengan huruf at-tahajji (huruf abjad).

Model ayat seperti ini terdapat di terdapat 19 surah,5 seperti, alif laam raa,

alif laam miim shaad dan sebagainya. Para ahli tafsir berbeda pendapat

tentang ayat-ayat seperti ini. Menurut as-Suyuthi, pendapat yang tepat adalah

bahwa ia termasuk ayat mutasyabih (samar) yang mengandung rahasia Allah

yang hanya diketahui oleh-Nya.6 Sebagian ulama seperti Ibnu Abbas

berpendapat bahwa ayat (‫ )امل‬dan ayat lain yang sejenis merupakan singkatan

dari kalimat tertentu. Ayat ( ‫ )امل‬misalnya dimaknai sebagai singkatan dari ‫أنا‬

‫( اهلل أعلم‬Akulah Allah yang Maha Mengetahui). 7


Menurut Qatadah, huruf-huruf tersebut merupakan nama-nama Al-

Qur’an. Sedangkan menurut Mujahid dan Ibnu Zaid, huruf-huruf itu adalah

nama-nama surah. Dikatakan nama surah karena jika Fulan membaca,

misalnya ‫ املص‬, maka pendengar pun mengetahui bahwa Fulan sedang

membaca sebuah surat yang dibuka dengan ‫املص‬. Dalam kesempatan lain, Ibnu

4
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’
al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), juz 12, hal. 498.
5
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1391 H), juz 1, hal. 165.
6
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, 1974), juz 1, hal. 190
7
Ibid.

3
Abbas mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah sumpah. Lebih lanjut al-

Akhfasy menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan huruf-huruf tersebut.8

Sedangkan at-Tustari berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut adalah

nama Allah yang mengandung berbagai makna dan sifat-Nya. Jika ayat

tersebut dipisah-pisahkan, maka huruf alif berarti susunan yang diciptakan

Allah. Dia menyusun segala sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki.

Sedangkan huruf lam berarti ‫( ُلْطفُُه ْا َلق ِدْيُم‬kelembutan-Nya yang abadi). Huruf
mim berarti ‫ج ُدُه ْالعَِظْيُم‬
ْ َ‫( م‬kedermawanan-Nya yang agung). Ayat-ayat

demikian juga jika digabungkan dengan satu sama lain akan menjadi kata

yang bermakna nama Allah, seperti ayat ‫ حم‬,‫الر‬, dan ‫ن‬, akan menjadi ‫الرمحن‬
(ar-Rahman) yang berarti Maha Pengasih.9

Masih banyak pandangan ulama yang berupaya untuk menafsirkan

tentang ayat-ayat demikian. Namun seperti pandangan Ibnu Katsir,

pandangan-pandangan tersebut mungkin untuk dikompromikan, yaitu bahwa

ayat-ayat tersebut merupakan nama-nama surah dan nama-nama Allah yang

dipergunakan untuk mengawali suatu surah. Setiap huruf dalam ayat-ayat

tersebut menunjuk kepada salah satu nama dari nama-nama Allah serta

menunjuk kepada suatu sifat dari berbagai sifat-Nya. Hal itu sesuai dengan

kebiasaan Alquran yang membuka awal surat dengan ungkapan pujian

(tahmid), pensucian (tasbih), dan pengagungan (ta’zhim) kepada Allah. 10

Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu

gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al-

Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari

Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf. Jika mereka tidak
8
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-
Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 59.
9
At-Tustari, Tafsir at-Tustari, Juz 1, hal. 5.
10
Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), juz 1, hal. 158.

4
percaya bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad

s.a.w. semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al-Quran itu.11

         


2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa,

Dalam at-Tafsir al-Muyassar, ayat di atas ditafsirkan bahwa inilah

Alquran yang merupakan kitab yang agung. Tak ada keraguan bahwa ia

berasal dari Allah. Tak satu pun dari orang bertakwa yang boleh meragukan

penjelasannya. Orang-orang yang bertakwa bisa mengambil manfaat darinya,

baik berupa ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Mereka itulah orang-orang

yang merasa takut kepada Allah dan rela mengikuti hukum-hukum-Nya.12

Bagi orang-orang yang bertakwa, Alquran memang kitab suci yang

tak diragukan otentisitas dan kebenaran pesan yang dikandungnya. Ia menjadi

petunjuk (huda) bagi orang-orang yang bertakwa dalam menjalani hidup ini.

Namun bagi orang-orang yang tidak bertakwa, Alquran bisa jadi diragukan

kebenaran dan keasliannya. Hal inilah yang terjadi pada sebagian orang Islam

yang tergoda dengan para orientalis. Mereka teracuni pemikiran-pemikiran

para orientalis yang meragukan kebenaran Alquran. Keraguan-keraguan

tersebut akhirnya menggerogoti keimanan. Pada gilirannya, mereka pun tak

lagi meyakini Alquran sebagai kitab suci dari Allah yang pasti benar. Mereka

bahkan menganggap Alquran hanya sebagai naskah kitab suci biasanya yang

bisa dikritik dan diragukan kebenarannya.

     


  

11
Ibid., juz 1, hal. 160.
12
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar, hal. 16.

5
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya tentang siapa

yang dimaksud dengan orang yang bertakwa. Ayat ini lantas menjelaskan

bahwa orang-orang yang bertakwa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1)

beriman kepada yang gaib; 2) mendirikan shalat; dan 3) dan menyumbangkan

sebagian rezekinya kepada orang-orang yang berhak.

Dari ciri-ciri tersebut, bisa ditanyakan kembali apa yang dimaksud

dengan iman? Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan

ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah

mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

Yang ghaib ialah sesuatu yang tak dapat ditangkap oleh pancaindra.

Percaya kepada yang gaib yaitu, meyakini adanya sesuatu yang maujud yang

tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, karena ada dalil yang menunjukkan

kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan

sebagainya.

Shalat menurut bahasa Arab berarti doa. Menurut istilah syara',

shalat adalah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan

disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan

kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya

dengan teratur, dengan melengkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-

adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusyuk, memperhatikan

apa yang dibaca dan sebagainya.

Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya.

Menafkahkan sebagian rezeki berarti memberikan sebagian dari harta yang

telah diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang ditentukan oleh agama,

6
seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak

yatim, dan lain-lain.13

        


   
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

Setelah ayat sebelumnya menyebutkan tiga ciri orang yang

bertakwa, ayat ini menyebutkan dua ciri berikutnya, yaitu (4) meyakini

Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab

yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil, dan

semua kitab lainnya; (5) dan meyakini kehidupan akhirat yang mengakhiri

kehidupan dunia atau mengakhiri penciptaan.14

Dalam ayat ini, terdapat persoalan bagaimana Alquran diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW. Imam ar-Razi menjelaskan bagaimana proses

pewahyuan itu terjadi. Menurutnya, sebelum diturunkan kepada Nabi

Muhammad, Jibril mendengar langsung Kalam Allah di langit. Jika


ditanyakan, bagaimana cara Jibril mendengar Kalam Allah? Padahal Kalam

Allah tidak terdiri dari huruf dan suara seperti yang dikenal manusia. Dalam

hal ini, terdapat beberapa kemungkinan.15

Pertama, Allah bisa saja menciptakan pendengaran bagi Jibril guna

mendengar Kalam-Nya langsung, lantas Allah memberikan kemampuan

kepada Jibril untuk mengungkapkannya dalam bentuk ungkapan tertentu dari

Kalam-Nya yang qadim tersebut. Kedua, Allah menciptakan tulisan dalam

susunan tertentu di Lauh Mahfuz lantas Jibril membaca dan


13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang, Tanjung
Mas Inti, tt), hal. 8-9.
14
Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam, juz 1, hal. 11.
15
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 2, hal. 30.

7
menghafalkannya. Ketiga, Allah menciptakan suara-suara terpisah yang

menggambarkan susunan kalimat tertentu yang muncul pada jasad tertentu,

lantas Jibril menangkap suara-suara tersebut. Selanjutnya, Allah memberikan

pengetahuan kepada Jibril bahwa ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan

makna yang dikandung dari Kalam-Nya yang qadim itu.

Dalam ayat di atas juga disebutkan tentang keyakinan terhadap

kehidupan akhirat sebagai salah satu ciri orang-orang bertakwa. Adanya

kehidupan akhirat adalah sebuah konsekuensi logis dari prinsip keadilan

Tuhan sebagaimana yang diuraikan oleh kalangan Mu’tazilah. Allah telah

menjanjikan kebahagiaan di akhirat bagi orang-orang yang mengikuti aturan-

aturan-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam kesengsaraan di akhirat bagi

orang-orang yang tidak sudi mengikuti aturan dan larangan-Nya.

Dengan demikian, jika hari akhirat yang dijanjikan Tuhan itu tidak

ada, maka berarti Tuhan tidak adil, padahal Allah tidak mungkin berbuat

tidak adil. Hal itu karena orang-orang yang membangkang terhadap aturan

dan larangan Allah telah menikmati berbagai kenikmatan di dunia. Sementara

orang-orang yang taat kepada-Nya justru tidak menikmati sebagian

kenikmatan dunia karena mengikuti perintah-Nya. 16

        



5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung.

Ayat-ayat sebelumnya telah menyebutkan lima ciri-ciri orang

bertakwa. Selanjutnya pada ayat ini, orang-orang yang bertakwa disebut

sebagai orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan sebagai

orang-orang yang beruntung. Dengan kata lain, ayat ini merupakan penegasan
16
Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, hal. 8.

8
tentang ganjaran yang akan diperoleh orang-orang bertakwa, yaitu petunjuk

dari Allah dan keberuntungan.

Keberuntungan yang diperoleh orang-orang bertakwa itu tidaklah

didapat dengan mudah. Ia bukanlah seperti keberuntungan orang yang

mendapat hadiah tanpa usaha dan kerja keras. Namun keberuntungan itu

harus diperoleh dengan kerja keras. Karena itulah kata dasar yang digunakan

dalam ayat di atas adalah al-falh (‫)الفلح‬, yang berarti membelah dan

memotong. Dalam bahasa Arab, petani disebut fallaah (‫)فَالََّح‬, karena seorang

petani harus bekerja keras dengan membelah atau membajak tanah.17

       


   
6. Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka. Kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman.

Setelah diuraikan tentang golongan orang beriman, ayat ini

menyebutkan golongan orang kafir. Sekilas ayat di atas menunjukkan bahwa

seolah tidak ada gunanya berdakwah terhadap orang-orang kafir. Toh,


hasilnya tetap sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka tetap tidak

beriman. Namun, sebenarnya hal itu karena kekafiran yang begitu

mendalamlah sehingga membuat mereka tidak jua sudi beriman. Di samping

itu, Allah memang memberikan hidayah kepadanya.

Tentang golongan kafir ini, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar

mengklasifikasikan menjadi tiga macam. Pertama, orang yang mengetahui

kebenaran namun ia dengan sengaja mengingkarinya. Jumlah orang kafir

inilah yang paling sedikit. Kedua, orang yang tidak mengetahui kebenaran,

namun tidak ingin mengetahuinya dan tidak suka untuk mengetahuinya.


17
Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi,
tt.), juz 1, hal. 45.

9
Mereka bersikap masa bodoh dan tidak peduli dengan kebenaran. Ketiga,

orang yang telah sakit jiwa dan hatinya. Ia tidak merasakan nikmatnya

kebenaran. Tak ada ketertarikan di dalam hati mereka untuk menemukan

kebenaran. Hati dan jiwa mereka telah dipenuhi dengan keinginan-keinginan

duniawi dan kenikmatan jasmaniah semata. Akal dan pikiran mereka

dicurahkan untuk memperoleh keuntungan material saja. Ketiga macam orang

kafir seperti itulah yang hasilnya sama saja. Diberi dakwah atau tidak, mereka

tetap tak beriman. 18

          


   
7. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang amat berat.

Ayat ini merupakan penjelasan lanjutan mengapa orang-orang kafir

sama hasilnya: diberi peringatan atau tidak, mereka tetap tak jua beriman. Hal

itu karena kekafiran mereka sudah betul-betul kuat dan kokoh. Saking kuat

dan kokohnya sehingga seolah Allah menutup hati mereka. Karena itulah,

hidayah pun tak jua sampai ke dalam hati sanubari mereka. Allah seolah

meletakkan suatu penutup di pendengaran mereka sehingga tidak bisa

mendengar ayat-ayat Allah, serta janji dan ancaman-Nya. Petunjuk-petunjuk

kebenaran tidak berpengaruh ke dalam hati mereka.

Allah seolah melemparkan penutup mata bagi mereka, lantas

mencopot kemampuan mereka untuk melihat dengan gamblang dan jelas.

Karena itulah mereka pun terus saja berada dalam kekafiran. Dengan

kekafiran itu pula, mereka diganjar dengan siksaan yang dahsyat dari Allah.19

18
Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manaar), (Mesir:
al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), juz 1, hal. 119.
19
As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir, juz 1, hal. 14.

10
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang kafir yang telah tertutup hati,

telinga, dan mata mereka itu adalah orang-orang Yahudi, seperti Ka’ab bin al-

Asyraf, Huyay bin Akhthab, dan Juday bin Akhthab. Namun ada juga yang

berpendapat, mereka adalah orang-orang musyrik Mekkah, seperti Utbah,

Syaibah, dan al-Walid. 20

Dalam realitas di masyarakat, kita bisa menemukan orang yang

telah tertutup mata hati, telinga, dan matanya. Apapun nasihat dan anjuran

kebenaran yang diberikan kepadanya, tak jua mempan untuk membuatnya

sadar dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu terjadi saat seseorang

melakukan keburukan dan kemaksiatan secara berulang-ulang dan terus-

menerus. Karena begitu seringnya keburukan dan kemaksiatan ia lakukan,

hati nuraninya jadi tertutup. Ia tak lagi merasa berdosa dan gundah saat

melakukan kejahatan dan keburukan.

         
 
8. Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian.” Namun mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman.

Setelah sebelumnya disebutkan penjelasan tentang golongan

beriman dan kafir, ayat ini menyebutkan tentang golongan ketiga manusia,

yaitu golongan orang munafik. Hal itu selaras dengan penjelasan Imam al-

Khazin, bahwa ayat ini memang diturunkan untuk orang-orang munafik,

seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, Ma’tab bin Qusyair, Jad bin Qais, dan

lain-lain. Secara verbal, mereka menyatakan keislaman mereka agar mereka

selamat dari Nabi Muhammad dan para sahabat. Namun sebenarnya mereka

merahasiakan kekafiran mereka. Kebanyakan mereka berasal dari kalangan

20
Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hal 3.

11
Yahudi. Sifat orang munafik bisa dikenali dari sikap mereka yang tidak

konsisten. Mereka menyatakan Islam, namun hati mereka mengingkari Islam.

Pagi hari mereka menyatakan suatu sikap tertentu, tapi di sore hari mereka

menyatakan sikap yang berbeda.21

Sikap munafik tidak terjadi sebelum peristiwa hijrah kaum muslim

dari Mekkah ke Madinah. Setelah hijrah dan kemenangan umat Islam dalam

Perang Badar, barulah muncul sikap munafik. Kemenangan itu membuat

pamor kaum muslim di Madinah menjadi meningkat. Saat itulah, orang-orang

non Muslim di Madinah menjadi merasa gentar. Mereka pun memilih untuk

menampakkan keislaman karena merasa takut dan sekedar pura-pura. Hal itu

mereka lakukan agar keselamatan nyawa dan harta mereka tetap terjamin. 22

       


  
9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal
mereka hanya menipu diri sendiri namun mereka tidak menyadarinya.

ِ ‫ ُيخ‬bisa dibaca dengan cara lain.


Dari aspek qiraat, kata ‫ادعُ ْو َن اهلل‬ َ
Qiraat yang paling banyak digunakan memang demikian. Namun Abdullah

dan Abu Hayat membacanya dengan ‫خَي ْ َدعُ ْو َن اهلل‬, tanpa diberi huruf alif pada

huruf kha.23 Sedangkan kata ‫ وما خيدعون إال أنفس هم‬juga memiliki dua cara

membaca. Penduduk Kufah, Hamzah, ‘Ashim, dan al-Kisa’i membacanya

dengan ‫ خَِي ْ َدعُ ْو َن‬tanpa huruf alif pada huruf kha. Sementara yang lain
ِ ‫ ُيخ‬tambahan huruf alif pada huruf kha. Meski
membacanya dengan ‫ادعُ ْو َن‬ َ

21
‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani
at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 1, hal. 32.
22
Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam ar-Mannan,
(tk: Muassasah ar-Risalah, 2000), hal. 10.
23
Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz 1 , hal. 51.

12
terdapat sedikit perbedaan cara membaca, kata tersebut relatif memiliki

makna yang sama.24

Ayat ini merupakan lanjutan penjelasan tentang jati diri orang-

orang munafik. Ungkapan “mereka hendak menipu Allah” tentu saja bukan

makna yang sebenarnya, karena Allah pasti Maha Mengetahui dan Kuasa.

Allah tidak akan bisa ditipu oleh siapapun. Di dalam tafsir al-Qurthubi,

ungkapan tersebut ditafsirkan, bahwa “mereka menipu Allah menurut

pandangan atau dugaan mereka saja.”25 Karena itulah, ungkapan tersebut

dilanjutkan dengan ungkapan berikutnya: “mereka hanyalah menipu diri

sendiri.”

          
  
10. Dalam hati mereka, terdapat penyakit, lantas Allah menambah penyakit
mereka. Bagi mereka siksa yang menyakitkan, disebabkan mereka berdusta.

Ayat ini menjelaskan penyebab orang-orang termasuk golongan

munafik. Hal itu karena di dalam hati mereka terdapat penyakit, syak

wasangka dan iri hati. Sakit terbagi dua macam, sakit fisik dan sakit psikis.

Secara denotatif (hakiki), sakit fisik terdapat di anggota badan yang

mengakibatkan seseorang tidak mampu melakukan berbagai perbuatan

sebagaimana biasanya. Sedangkan secara konotatif (majazi), sakit psikis

terdapat di dalam hati seseorang sehingga mengurangi kesempurnaan

perbuatannya, seperti kebodohan, jeleknya akidah, dengki, pemarah, suka

maksiat, dan lain-lain. Penyakit-penyakit hati ini bisa mencegah seseorang

untuk bisa meraih keutamaan hidup, atau menghalanginya dalam mencapai

24
Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), juz 1, hal. 52.
25
Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub,
2003), juz 1, hal. 195.

13
kehidupan hakiki yang abadi. Ayat di atas mengandung pengertian sakit, baik

secara fisik maupun psikis sekaligus. Namun mayoritas ulama

menafsirkannya sebagai sakit secara psikis. 26

Ungkapan “Allah menambah sakit mereka” adalah dikaitkan

dengan turunnya Alquran. Bagi orang-orang munafik, setiap kali ayat

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad, mereka pun mengingkari

kebenaran ayat tersebut. Pada saat itu, semakin bertambah pula rasa syak

wasangka dan kedengkian dalam diri mereka. Dengan demikian, rasa sakit

dalam hati mereka juga kian bertambah. 27

Meski bertambahnya penyakit dalam hati mereka adalah karena

ulah orang munafik itu sendiri, namun ayat tersebut menggunakan ungkapan

“Allah menambah sakit mereka.” Hal itu karena memang Allah yang

menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini. Allah pula yang menciptakan

dan mewujudkan terjadinya sakit mereka yang semakin bertambah. 28

26
Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tt), juz 1, hal. 26.
27
Ibid.
28
Ibid.

14
BIBLIOGRAFI

‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi (al-Khazin), Lubab at-
Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).

Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, et.al, at-Tafsir al-Muyassar.

Abdurrahman bin Nashir bin as-Sa’di, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir


Kalam ar-Mannan, (tk: Muassasah ar-Risalah, 2000).

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi al-
Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar ath-
Thauq an-Najah, 1422 H).

Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandi, Bahr al-Ulum,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt).

Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).

Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh:


Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997).

Ahmad Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah al-


Babi al-Halabi, tt.).

As’ad Humaid, Aysar at-Tafasir.

At-Tustari, Tafsir at-Tustari.

Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).

Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas.

Ibnu Abd as-Salam, Tafsir Ibnu Abd as-Salam.

Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994).

Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah


al-‘Ammah li al-Kitab, 1974).

Muhammad bin Abdullah Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak


‘ala ash-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990).

Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Riyadh: Dar


Alam al-Kutub, 2003).

15
Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, tt).

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,


(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).

Muhammad bin Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-
Manaar), (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990).

Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi.

Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih


(Shahih Muslim), (Beirut: Dar al-Aufaq al-Jadidah, tt).

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alquran, Alquran dan Terjemahnya,


(Semarang, Tanjung Mas Inti, tt).

16

You might also like