You are on page 1of 6

Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu :

1. Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajad
hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil
bumi, dan lain sebagainya.
2. Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan
pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi
kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni
pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling
mendukung.
3. Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh
semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
4. Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas
kekeluargaan antar sesama manusia.
Tambahan :
Dalam sistem ekonomi pancasila perekonomian liberal maupun komando harus
dijauhkan karena terbukti hanya menyengsarakan kaum yang lemah serta mematikan
kreatifitas yang potensial. Persaingan usaha pun harus selalu terus-menerus diawasi
pemerintah agar tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan.
PELAKSANAAN SISTEM EKONOMI PANCASILA DI TENGAH PRAKTEK
LIBERALISASI EKONOMI DI INDONESIA

Pendahuluan
Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-
hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral
Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat
nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau
kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak medio
delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri
terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan
sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan
pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi
ketimbang pemerataan hasil-hasilnya.

Trilogi Pembangunan
Sebenarnya sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15 Januari 1974,
slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi teori
ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan . Trilogi pembangunan
terdiri atas Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan
Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini
justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa
minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi
yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor asing untuk
ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para investor asing ini ketika
melambat karena jatuhnya harga minyak dunia , selanjutnya dirangsang ekstra melalui
kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan
investor yang menjadi sangat liberal ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri
sehingga seorang tokoknya mengaku kecolongan dengan menyatakan:
Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani
menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang
Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang paling liberal di
dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling liberal. (Radius
Prawiro. 1998:409)

Himbauan Ekonomi Pancasila


Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM
“menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan
melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu
ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan
perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai
pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka ekonom-ekonom UGM
melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar
dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966
menyatakan bahwa dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila
terakhir, keadilan sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan
mengacu pada kelima-limanya sebagai berikut:
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak
membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan
sosial;
Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi
terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha
kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan
desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi
pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi
tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang
berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik,
ekonomi, sosial, dan moral.

Globalisasi atau Gombalisasi


Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997),
Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and Its
Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena globalisasi yang jelas-
jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang justru menjadi semakin miskin
(gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain
merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat
penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar
dalam negeri negara-negara industri maju.
Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a
transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional structure set up
to serve and advance the interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11)
Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia
dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan
menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah
berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah
terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan
pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup
mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia
melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru
harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena mengandalkan
pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon 1997 terbukti
keropos.

Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial


Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002
yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun
putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan
sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal
34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan
masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat
3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran
sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan
pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai
APBN dan APBD.
Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial
ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total
atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita
yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas.
Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang semuanya
dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan
wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.

Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila


Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi
Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem
ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa
ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah
karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik
Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde
Baru yang terbukti gagal.
Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM
mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara
serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di
Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila
yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan
secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya
keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada
ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila,
pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga
terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi
kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan
hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.

Penutup
Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik”
bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998)
sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu
pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis,
dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari
penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan
ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah
satu sumber utama krisis moneter tahun 1997.
Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan
(yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi
slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak
kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja.
Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi
kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan
ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi
Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.

Di dunia ini sistem ekonomi yang ada dapat dibagi atas tiga, sistem ekonomi
kapitalis yang berorientasi pada kebebasan dan penumpukkan modal, sistem
ekonomi sosialis yang fokus pada pemerataan dan kesejahteraan bersama, serta
sistem ekonomi campuran yang merupakan gabungan dari dua sistem ekonomi di
atas.

Sistem ekonomi kapitalis banyak dianut oleh negara-negara barat seperti Amerika
dan beberapa negara di Eropa. Sistem ekonomi sosialis banyak dianut oleh
negara-negara komunis seperti Rusia, China, Korea Utara dan sebagian
negara-negara Eropa Timur. Sedangkan sistem ekonomi campuran banyak dianut oleh
negara-negara di Asia seperti Jepang, Singapura, Indonesia termasuk
negara-negara Islam.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sejak lama
sudah mencoba menerapkan sendi-sendi ekonomi islam (sistem ekonomi campuran)
dalam praktek-praktek pembangunan ekonominya. Sistem ekonomi campuran
memberikan kebebasan terbatas kepada masyarakatnya dalam menguasai
barang-barang modal. Hal ini tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi
bahwa kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak akan
diserahkan kepada swasta melainkan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Dalam
hal ini ada pembatasan dalam pemilikan barang modal di Indonesia. Tidak bebas
sebebas-bebasnya seperti yang diterapkan di negara-negara kapitalis.
konsep intervensi negara yang
begitu jauh dalam mengatur masyarakatnya dalam hal kepemilikan, jika tidak
hati-hati cenderung mengarahkan pembaca pada pemikiran bahwa sistem ekonomi
sosialis yang banyak dianut oleh negara-negara komunis lebih baik dibandingkan
dengan sistem ekonomi Pancasila yang dianut Indonesia saat ini. Di dalam
ekonomi Islam sendiri selagi tidak bertentangan dengan syari'at kepemilikan
modal bukanlah hal yang dilarang, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri adalah
seorang pengusaha yang sukses.

Sistem ekonomi kerakyatan yang banyak diperjuangkan oleh para pemikir ekonomi
di Indonesia selama ini, menurut saya dapat menjawab kegundahan yang melanda
fikiran Sdr. Donny Irawan dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia. Dalam
konsep ini, individu tidak dilarang dalam memiliki barang-barang modal sama
sekali, namun negara dalam hal ini mengarahkan pembagian kepemilikan tersebut
kepada masyarakat-masyarakat yang selama ini bergerak di sektor-sektor informal
dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dengan begitu diharapkan pertumbuhan ekonomi
tetap terjaga pada tingkat yang diharapkan sekaligus ketimpangan distribusi
pendapatan perlahan-lahan dapat diperkecil. Namun, konsep ini banyak
disalahartikan ketika berada pada tataran praktek sehingga tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.

Persoalan kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah klasik yang selalu


dihadapi oleh negara ini. Ketika bicara tentang kemiskinan kita sering terjebak
pada pemikiran bahwa permasalahan kemiskinan hanyalah masalah ketimpangan
ekonomis seperti contohnya pemenuhan kebutuhan pokok saja
Selain ketimpangan ekonomis tersebut masih ada lagi
ketimpangan kekuasaan, prestise, status, jenis kelamin, kepuasan kerja, kondisi
kerja, tingkat partisipasi, kebebasan memilih dan sebagainya, yang kesemuanya
erat kaitannya dengan komponen fundamental dari hakikat konsep pembangunan,
yakni upaya menegakkan harga diri dan kebebasan memilih. Jadi walaupun
kebutuhan pokok masyarakat secara ekonomis sudah terpenuhi dengan baik, namun
ketimpangan non-ekonomis seperti yang disebutkan di atas masih belum terpenuhi,
apakah sudah bisa dikatakan rakyat tersebut sudah sejahtera (tidak miskin)?

Jadi permasalahan kemiskinan bukanlah sebuah permasalahan sederhana dalam


tataran pemenuhan kebutuhan ekonomis saja, namun merupakan sebuah masalah
kompleks yang melibatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-ekonomis lainnya.
Masalah kompleks ini tidak akan selesai dengan sendirinya jika cuma dipecahkan
dengan konsep ekonomi Islam
Masalah
utamanya di sini bukan pada konsep dan sistem yang berjalan tapi lebih kepada
praktek dan komitmen dari orang-orang yang menjalankan sistem tersebut.
Indonesia secara de-facto sebenarnya sudah lama menerapkan konsep ekonomi islam
walaupun dengan nama yang berbeda (Ekonomi Pancasila), namun kenyataannya
permasalahan kemiskinan yang ada selama ini bahkan semakin parah.

You might also like