You are on page 1of 66

DIKLAT POST CLEARANCE AUDIT (PCA)

MODUL

MATERI
PSIKOLOGI PEMERIKSAAN

OLEH :

TIM PENYUSUN MODUL PUSDIKLAT BEA DAN CUKAI

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA
2009
DAFTAR ISI
MODUL – PSIKOLOGI PEMERIKSAAN
Hal
1. Pendahuluan
1.1. Deskripsi Singkat ............................................................................... . 1
1.2. Tujuan Pembelajaran Umum .............................................................. 1
1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus.............................................................. 2

2. Kegiatan Belajar (KB) 1


PSIKOLOGI PEMERIKSAAN
2.1. Uraian contoh dan non contoh.............................................................. 3
2.2. Latihan ................................................................................................. 25
2.3. Rangkuman ......................................................................................... 26

3. Kegiatan Belajar (KB) 2


KOMUNIKASI
3.1. Uraian contoh dan non contoh............................................................... 27
3.2. Latihan ................................................................................................. 45
3.3. Rangkuman........................................................................................... 45

4. Kegiatan Belajar 3
WAWANCARA
4.1. Uraian contoh dan non contoh ............................................................. 46
4.2. Latihan ................................................................................................. 58
4.3. Rangkuman .......................................................................................... 58

5. Test formatif ................................................................................................ 60

6. Kunci Jawaban ........................................................................................... 64

7. Umpan Balik .............................................................................................. 64

==============
MODUL
PSIKOLOGI PEMERIKSAAN

1. Pendahuluan
1.1. Deskripsi Singkat
Dalam proses pemeriksaan, dari awal sampai akhir, seorang pemeriksa
senantiasa berhubungan dengan orang lain, yaitu obyek yang diperiksanya. Hubungan
antara pemeriksa dengan obyek yang diperiksa merupakan hubungan antar manusia
yang mengarah pada satu kerja sama agar proses pemeriksaan dapat berjalan lancar.
Baik pemeriksa maupun obyek yang diperiksa adalah individu yang
mempunyai ciri-ciri, sifat-sifat ataupun kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang
membedakannya dari individu-individu lain. Di samping persamaan-persamaan yang
mungkin mereka miliki. Dalam interaksi yang terjadi pada pemeriksaan maupun
obyek yang diperiksa mengembangkan ciri-ciri, sifat-sifat ataupun kebiasaan-
kebiasaan melalui tingkah laku yang mereka tampilkan. Sehingga memahami segala
sesuatu hal mengenai tingkah laku manusia dalam pemeriksaan dirasakan penting.
Karena adakalanya interaksi yang terjadi antara pemeriksa dengan obyek yang
diperiksa tidak berlangsung harmonis dan mengganggu kelancaran tugas-tugas
pemeriksaan.
Dalam hal ketidakharmonisan hubungan yang terjadi antara pemeriksa
dengan obyek yang diperiksa, diperlukan suatu ketrampilan khusus dari pemeriksa
untuk mengadakan pendekatan yang lebih baik secara psikologis maupun
komunikatif. Pengetahuan psikologi dan komunikasi yang akan dibahas dalam buku
ini bertujuan agar para pemeriksa dapat mempelajari langkah-langkah dan cara-cara
yang dapat ditempuh untuk dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan obyek
yang diperiksanya. Namun demikian, sebelumnya perlu dikemukakan lebih dahulu
mengenai pengertian psikologi maupun komunikasi, agar kita memperoleh
pengertian yang sama mengenai kedua istilah tersebut.

1.2. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)


Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu memahami dan
menjelaskan tentang psikologi pemeriksaan.
1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Bahan ajar atau Modul ini dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan
dan keahlian petugas Bea dan Cukai sehingga memiliki kompetensi yang tinggi dalam
melakukan pemeriksaan. Diharapkan juga peserta diklat nantinya mengetahui ciri
khas yang berbeda-beda terhadap individu-individu sebagai pihak yang diperiksa dan
meningkatkan keterampilan dalam menghadapi orang-orang yang menjadi obeyek
pemeriksaannya. Bermanfaat bagi peserta didik dan/atau peserta Diklat sebagai
pedoman dalam mengikuti ujian, evaluasi pembelajaran dan nantinya berguna dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya sesuai bidang spesialisasinya.
2. KEGIATAN BELAJAR (KB) 1

PSIKOLOGI PEMERIKSAAN

2.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Pengertian Psikologi
Secara harfiah psikologi berarti “ilmu jiwa”. Namun pengertian ini masih
kabur sekali. Apa yang dimaksud dengan jiwa tidak ada seorangpun tahu dengan
pasti, karena jiwa bersifat abstrak.
Jiwa manusia tidak dapat diamati secara langsung, tetapi jiwa mempunyai
”tempat” di dalam badan atau jasmani manusia. Oleh karena itu ada kaitan yang erat
antara jiwa dan badan manusia, misalnya terkejut membuat jantung berdebar-debar,
malu membuat merah paras muka, dan lain sebagainya. Selain itu, kehidupan
kejiwaan manusia selalu tampil dalam bentuk tingkah laku baik tingkah laku yang
tampak maupun tingkah laku yang tidak tampak. Tingkah laku yang tampak adalah
tingkah laku yang segera dapat dilihat oleh orang lain, seperti makan minum, tertawa,
menangis dan sebagainya. Sedangkan tingkah laku yang tidak tampak adalah tingkah
laku yang hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui alat-alat atau metode-
metode khusus, misalnya berpikir, melamun, sedih, takut dan lain sebagainya. Jadi,
tingkah laku yang hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui alat-alat atau
metode-metode khusus, misalnya berpikir, melamun, sedih, takut dan lain sebagainya.
Jadi, tingkah laku mempunyai arti yang lebih kongkret daripada jiwa manusia. Karena
lebih kongkrit maka tingkah laku lebih mudah dipelajari dan melalui tingkah lakunya
kita dapat mengenal seseorang.
Setiap tingkah laku manusia selalu mempunyai arti meskipun kadang-kadang
tidak disadarinya dan mempunyai tujuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya
di dalam lingkungan, yaitu tempat di mana ia hidup, menyesuaikan diri dan
mengembangkan dirinya. Jadi manusia berinteraksi dengan lingkungannya.
Dari uraian di atas, maka psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. (Sarlito
Wirawan Sarwono, 1982)
Manusia sebagai individu merupakan kesatuan yang integral yang tidak dapat
dipisah-pisahkan antara aspek-aspek fisiologis, psikologis dan sosial. Aspek fisiologis
mencakup organisme dengan seluruh masalah biologis serta fungsinya seperti fungsi
penginderaan, fungsi kelenjar, fungsi susunan syaraf pusat, peredaran darah, dan
sebagainya.
Aspek psikologis adalah segala fungsi dari kemampuan psikis seperti
pengamatan, perasaan, pikiran dan sebagainya. Sedangkan aspek sosial mencakup
penghayatan kedua hal tersebut, dalam interaksinya dengan lingkungan atau dunia
luar, baik secara pasif maupun aktif.
Dalam setiap tingkah laku aspek-aspek tersebut memainkan peranannya
sendiri-sendiri. Namun dalam keadaan tertentu salah satu aspek mungkin lebih
menonjol dari pada aspek lainnya, dan untuk dapat mengerti makna tingkah laku
semua aspek itu harus diperhitungkan peranannya.
Dalam proses perkembangan yang normal, aspek psikologis bekerja
berdasarkan aspek fisiologis yang sehat dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan
sosial, fasilitas sekitarnya, serta nilai-nilai kehidupan yang ada. Kesatuan dari ketiga
aspek ini dalam perkembangannya pada setiap orang tidak selalu sama karena setiap
orang memiliki pengalaman-pengalaman dan aspirasi-aspirasi yang berbeda. Hal ini
kemudian menjadikan ciri khas perorangan atau perbedaan individu. Jadi manusia di
samping memiliki persamaan-persamaan, sekaligus juga memiliki perbedaan-
perbedaan. Oleh karena itulah sering dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
unik, tidak ada dua manusia yang sama persis.
Hal-hal tersebut di atas dijelaskan dengan maksud agar para pemeriksa yang
dalam tugasnya selalu berhubungan dengan individu-individu sebagai pihak yang
diperiksa mengetahui adanya ciri khas yang berbeda-beda pada setiap individu dan
hal ini adalah merupakan hasil dari perkembangan yang berbeda-beda pula, sehingga
diperkirakan keterampilan dalam menghadapi orang-orang yang menjadi obyek
pemeriksaannya.

A. Fungsi Psikis Manusia


1. Persepsi
Obyek-obyek disekitar kita, ditangkap melalui alat-alat indera dan
diproyeksikan pada bagian tertentu di otak sehingga kita dapat mengamati obyek
tersebut. Hasil pengamatan ini memungkinkan kita memberi tanggapan atau
penilaian, membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, dan lain
sebagainya, mengenai segala sesuatu hal yang dihadapi. Kemampuan ini disebut
sebagai kemampuan mengorganisasikan pengamatan atau persepsi.
Seorang pemeriksa seharusnya tampil sebaik mungkin dihadapan obyek
yang diperiksanya, sehingga akan menimbulkan persepsi yang baik dari obyek
yang diperiksa terhadap pemeriksa. Pemeriksa yang berpenampilan rapi, sopan
santun, gaya bicaranya wajar, akan meninggalkan kesan yang baik, sehingga jalan
untuk menjalin hubungan yang baik mudah terbuka.
Satu obyek yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Perbedaan dalam persepsi dapat disebabkan oleh beberapa hal:
a. Perhatian
Biasanya kita tidak menangkap seluruh rangsang yang ada disekitar kita
sekaligus, tetapi kita memfokuskan perhatian kita pada satu atau dua obyek
saja. Perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya, menyebabkan
perbedaan persepsi antara mereka. Misalnya dua orang pemeriksa datang di
suatu instansi untuk melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama
memfokuskan perhatiannya pada cara penerimaan obyek yang diperiksa yang
bersikap ramah tamah. Pemeriksaan yang kedua memfokuskan perhatiannya
pada keadaan ruang kantor yang dilihatnya penuh dengan buku dan berkas-
berkas yang berantakan dengan debu di atasnya, akan mempersepsikan obyek
yang diperiksanya sebagai orang yang kurang rapi dan agak jorok.
b. Set
Set adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul. Perbedaan set
akan menyebabkan perbedaan persepsi. Misalnya, A biasa membeli sepatu
seharga Rp. 7.500, dan B biasa membeli sepatu seharga Rp. 15.000. Pada
suatu saat mereka berdua membeli sepatu seharga Rp. 10.000. Bagi A sepatu
tersebut terlalu mahal sedangkan bagi B harga sepatu tersebut murah.
c. Kebutuhan
Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang, akan
mempengaruhi persepsi orang tersebut. Dengan demikian kebutuhan-
kebutuhan yang berbeda, akan menyebabkan pula perbedaan persepsi.
Misalnya, A dan B berjalan-jalan di kompleks pertokoan. A, yang kebetulan
lapar mempersepsikan pusat restoran-restoran berisi makan lezat. Sedangkan
B, yang ingin membeli baju mempersepsikan pusat pertokoan tersebut sebagai
tempat yang penuh toko pakaian.
d. Sistem Nilai
Sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat dapat mempengaruhi pula
persepsi anggota masyarakatnya. Misalnya, X adalah seorang wanita muda
yang cantik murah senyum dan banyak bicaranya, dipersepsikan sebagai
wanita yang genit oleh A yang hidup dalam masyarakat di mana wanita
semacam ini dianggap demikian. Sedang B mempersepsikan X adalah wanita
yang supel dan ramah, karena masyarakat di mana ia tinggal memang
menyebutnya demikian.
e. Ciri kepribadian
Ciri kepribadian seseorang akan berpengaruh pula pada persepsi. Misalnya, A
dan bekerja di satu kantor yang sama di bawah pengawasan satu orang atasan.
A yang pemalu dan penakut, akan mempersepsikan atasannya sebagai tokoh
yang menakutkan dan perlu dijauhi, sedangkan B yang punya lebih banyak
kepercayaan diri, menganggap atasannya sebagai tokoh yang dapat diajak
bergaul seperti orang biasa lainnya.

2. Berpikir dan belajar


Belajar adalah suatu proses di mana suatu tingkah laku ditimbulkan atau
diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi (atau rangsang) yang terjadi.
Misalnya, seseorang yang selalu gagal dalam pekerjaannya lalu mencari jalan
dengan meminta petunjuk rekannya yang selalu berhasil, kemudian ia mengikuti
petunjuk-petunjuk dari rekannya tadi sampai ia juga berhasil.
Pada manusia proses belajar tidak hanya menyangkut aktifitas fisik saja,
tetapi terutama sekali menyangkut kegiatan otak, yaitu berpikir. Dalam hal ini ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses belajar:
a. Waktu istirahat
khususnya kalau mempelajari sesuatu yang meliputi bahan yang banyak, perlu
disediakan waktu-waktu tertentu untuk beristirahat. Bahan yang banyak tidak
dapat dipelajari sekaligus. Dalam waktu istirahat sebaiknya tidak bayak
kegiatan yang mengganggu pikiran sehingga bahan yang sudah dipelajari
punya cukup kesempatan untuk mengendap dalam ingatan.
b. Pengetahuan tentang materi yang dipelajari secara menyeluruh. Dalam
mempelajari sesuatu, adalah baik kalau pertama-tama kita pelajari lebih
dahulu materi atau bahan ang adasecara keseluruhan, dan baru setelah itu
dipelajari dengan lebih seksama bagian-bagiannya. Walaupun demikian, kalau
memang seseorang merasa kurang mampu dengan cara ini, maka lebih baik
baginya untuk mempelajari terlebih dahulu detail-detailnya dan baru kemudian
menyatukannya ke dalam suatu keseluruhan.
c. Pengertian terhadap materi yang dipelajari.
Kalau kita mempelajari sesuatu, maka kita harus mengerti apa yang kita
pelajari itu. Tanpa pengertian, maka usaha belajar kita akan menemui banyak
kesulitan. Misalnya 2 orang yang disuruh menghafal sajak bahasa Inggris.
Orang yang pertama mengerti bahasa Inggris, sedangkan orang kedua tidak
mengerti bahasa Inggris, maka bahan yang sama akan dihafal lebih cepat oleh
orang yang pertama.
d. Pengetahuan akan prestasi sendiri
Kalau tiap kali dapat mengetahui hasil prestasi kita sendiri, yaitu mengetahui
mana perbuatan-perbuatan kita yang masih salah maka akan lebih mudah bagi
kita memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, daripada kalau kita harus meraba-
raba terus. Dengan demikian pengetahuan akan prestasi sendiri akan
mempercepat kita dalam mempelajari sesuatu.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam belajar terkait
juga aktifitas berpikir. Kegiatan berpikir dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Berpikir asosiatif, yaitu proses berpikir di mana suatu ide merangsang timbulnya
ide lain. Jalan pikiran dalam proses berpikir asosiatif tidak ditentukan atau
diarahkan sebelumnya. Jadi ide-ide timbul secara bebas. Jenis-jenis berpiikir
asosiatif adalah:
a. Asosiasi bebas : satu ide akan menimbulkan ide lain mengenai hal lain,
yaitu hal apa saja tanpa ada batasnya. Misalnya, ide tentang makanan dapat
merangsang timbulnya ide tentang dapur atau tentang restoran atau tentang
nasi atau apa saja.
b. Asosiasi terkontrol : satu ide tertentu akan menumbuhkan ide mengenai
hal lain dalam batas-batas tertentu. Misalnya, ide tentang membeli mobil akan
merangsang ide-ide lain tentang harganya, atau pajaknya, atau biaya
pemeliharaannya, atau mereknya, atau lain-lain yang berkaitan dengan mobil.
2. Berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan
diarahkan kepada sesuatu biasanya diarahkan kepada pemecahan persoalan. Dua
macam berpikir terarah yaitu:
a. Berpikir kritis: yaitu membuat keputusan atau pemilihan terhadap suatu
keadaan.
b. Berpikir kreatif: yaitu berpikir untuk menentukan hubungan-hubungan
baru antara berbagai hal, menemukan pemecahan baru dari suatu soal,
menemukan sistem baru dan sebagainya.
3. Emosi
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari didasari oleh perasaan-
perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai
perbuatan-perbuatan kita sehari-hari. Perasaan ini kadang-kadang kuat, kadang-
kadang lemah, atau samar-samar saja. Dalam hal perasaan-perasaan menjadi lebih
mendalam, lebih luas dan lebih terarah, perasaan seperti ini disebut emosi.
Beberapa macam emosi antara lain: gembira, sedih, marah, takut, terkejut, jemu,
benci, bahagia, was-was dan lain sebagainya.
Membedakan satu emosi dari emosi lainnya dan menggolongkan emosi-emosi
yang sejenis ke dalam golongan atau satu tipe adalah sangat sukar dilakukan
karena hal-hal yang berikut ini:
1. Emosi yang sangat mendalam (misalnya sangat marah atau sangat takut)
menyebabkan aktifitas badan yang sangat tinggi, sehingga seluruh tubuh
diaktifkan, dan dalam keadaan seperti ini sukar untuk menentukan apakah
seseorang sedang takut atau sedang marah.
2. Satu orang dapat menghayati satu macam emosi dengan berbagai cara.
Misalnya, kalau marah ia mungkin gemetar di tempat, tetapi lain kali mungkin
ia memaki-maki, dan lain kali lagi mungkin ia lari.
3. Nama yang umumnya diberikan kepada berbagai jenis emosi biasanya
didasarkan pada sifat rangsangannya, bukan pada keadaan emosinya sendiri.
Jadi, ”takut” adalah emosi yang timbul terhadap suatu bahaya, ”marah” adalah
emosi yang timbul terhadap sesuatu yang menjengkelkan.
4. Pengenalan emosi secara subyektif dan introspektif, juga sukar dilakukan
karena selalu saja akan ada pengaruh dari lingkungan.
4. Motif
Motif atau motive berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Jadi istilah
motifpun erat hubungannya dengan ”gerak”, yaitu dalam hal ini gerakan yang
dilakukan oleh manusia atau disebut juga perbuatan atau tingkah laku. Motif
dalam psikologi berarti rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi
terjadinya suatu tingkah laku.
Semua tingkah laku manusia pada hakekatnya mempunyai motif.
Termasuk di sini adalah tingkah laku refleks yang berlangsung secara otomatis,
walaupun maksud itu kadang-kadang tidak disadari oleh orang itu sendiri. Jadi
motif manusia bisa berlangsung secara sadar dan secara tidak sadar.
Gerungan (1983) mengatakan bahwa untuk memahami tingkah laku
manusia, kita perlu memahami dan mengerti terlebih dahulu apa dan
bagaimanakah motif dari tingkah lakunya atau apa yang dilakukannya, bagaimana
ia melakukannya serta mengapa ia melakukan hal itu. Sebagai contoh, apabila
seorang pemeriksa yang mendapat pelayanan kurang sopan, sinis dan tidak mau
terbuka, dari pihak yang diperiksa, maka pemeriksa perlu mengetahui motif dari
orang tersebut. Mungkin penyebab kurang baiknya pelayanan adalah karena ia
baru mendapat musibah, atau baru saja dimarahi atasannya atau mungkin pernah
mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan dengan pemeriksa terdahulu,
atau mungkin juga karena ada unsur kesengajaan yaitu menyembunyikan sesuatu
dan lain-lain. Dalam hal ini apabila kita tidak mengetahui motif dari tingkah
lakunya, maka kita akan sukar untuk memahami tingkah laku seseorang.
Disamping istilah motif dikenal pula dalam psikologi istilah motivasi.
Motivasi merupakan istilah yang lebih umum, yang menunjuk kepada seluruh
proses gerakan manusia, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul
dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan
atau akhir daripada gerakan atau perbuatan.

B. Memahami Diri Sendiri Sebagai Pemeriksa


Seorang pemeriksa yang akan terjun ke lapangan sebaiknya mempersiapkan
dirinya sebaik mungkin. Ia harus dapat memahami betul siapa dirinya, bekal apa yang
dimilikinya untuk melaksanakan tugas dan bagaimana sifat atau kebiasaannya, dan
lain sebagainya. Dengan mengetahui ini akan lebih mudah baginya untuk selalu
meningkatkan diri dan mengontrol dirinya agar tidak bertindak sembarangan.
Ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kesan pihak yang
diperiksa kepada pemeriksa, dan hal ini dapat mempengaruhi hubungan antara
pemeriksa dengan pihak yang diperiksa.
1. Penampilan pemeriksa
Masalah penampilan dari seorang pemeriksa kelihatannya masalah yang sepele
dan sering diabaikan oleh sebagian pemeriksa. Padahal, tidak jarang masalah ini
menjadi penyebab tidak langsung ataupun langsung dari hubungan yang kurang
harmonis antara pemeriksa dengan pihak yang diperiksa. Hal-hal yang perlu
mendapat perhatian dalam penampilan pemeriksa adalah:
a. Cara berdandan
Pakaian yang dikenakan orang dapat menggambarkan macam-
macam suasana orang yang memakainya. Misalnya, seseorang yang memakai
pakaian serba hitam biasanya menunjukkan ia akan melayat orang meninggal
(berkabung), seseorang yang memakai bikini menunjukkan ia akan berenang,
dan lain sebagainya. Hal ini berarti pakaian bisa memberikan suasana atau
maksud dari pemakainya. Seorang pemeriksa sebaiknya memakai pakaian
yang rapi dan bersih sesuai dengan kelaziman, sehingga menimbulkan kesan
yang baik, sopan dan berwibawa.
Rambut yang tersisir rapi dan bersih akan lebih enak dipandang
daripada rambut yang acak-acakan yang menimbulkan kesan seperti baru
bangun tidur.
Demikian pula apabila memerlukan penggunaan
perhiasan/assesories, pergunakanlah seperlunya dan disesuaikan dengan
suasana kerja.
b. Gaya bicara
Orang yang berbicara dengan orang lain dengan berkacak pinggang,
akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut sedang marah atau menantang,
angkuh sok mau menang sendiri dan kesan buruk lainnya. Dalam pemeriksaan
hal ini sebaiknya dihindari, termasuk misalnya menunjuk-nunjuk orang yang
diajak berbicara pada saat marah, atau menunjukkan sesuatu dengan kaki.
Berbicaralah dengan gaya yang wajar, jangan berlebih-lebihan. Sebaliknya
pemeriksa yang kelihatan takut-takut dalam menghadapi orang yang diajak
bicara, akan dapat menimbulkan kesan bahwa pemeriksa tersebut kurang
berpengalaman, merasa rendah diri atau penakut. Hal semacam ini juga harus
dihindari.
c. Bahasa tubuh
Kadang-kadang orang tidak menyadari bahwa gerakan dari bagian
tubuhnya dapat diartikan macam-macam oleh orang lain. Sebagai contoh,
seseorang yang mengangkat alisnya sambil membelalakkan matanya sewaktu
mendengar sesuatu pembicaraan, bisa diartikan bahwa orang tersebut
terperanjat atau merasa heran terhadap isi pembicaraan itu. Contoh lain
misalnya,seseorang yang seringkali mengerutkan dahinya sewaktu berbicara
dengan orang lain, dapat memberi kesan bahwa ia kurang suka dengan isi
pembicaraannya. Hal-hal semacam ini dapat menyebabkan orang yang diajak
bicara menjadi takut atau engganberbicara. Oleh karena itu ciptakanlah kesan
yang baik pada waktu berbicara dengan tidak menunjukkan raut muka yang
bisa menimbulkan kesan buruk.
d. Nada suara
Nada suara pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan dengan pihak
yang diperiksa akan dapat juga menimbukan kesan bermacam-macam dan
dapat juga menimbulkan reaksi bermacam-macam dari pihak yang diperiksa.
Nada suara yang terlalu tinggi, dapat ditafsirkan sebagai orang yang sedang
marah atau kesal, sedangkan nada suara yang terlalu rendah dapat ditafsirkan
sebagai orang yang gugup karena ketakutan atau apatis. Dengan demikian,
nada suara yang baik adalah nada suara yang sedang-sedang saja, wajar
dengan pengungkapan yang tenang tetapi jelas. Nada suara semacam ini dapat
menciptakan suasana yang aman dan dapat menimbukan kepercayaan yang
besar dari pihakyang diperiksa terhadap pemeriksa, serta bisa menimbulkan
rasa saling menghormati, saling pengertian dan hubungan persahabatan yang
obyektif.
Untuk menciptakan kebiasaan berbicara dengan nada suara yang baik
memang tidak dapat dengan cepat terwujud. Hal ini perlu dipelajari dan dilatih
secara teratur. Membiasakan diri untuk berbicara dengan tenang, jelas,
menarik dan kata-kata yang digunakan mudah ditangkap oleh lawan bicara
kita, perlu dilakukan oleh orang yang dalam tugasnya banyak berhubungan
dengan orang lain, termasuk para pemeriksa.
e. Cara duduk
Dalam melakukan wawancara atau pertemuan dengan pihak yang
diperiksa, cara duduk seseorang akan dapat menimbulkan kesan atau penilaian
yang bermacam-macam. Duduk dengan badan melorot ke bawah akan
menimbukan kesan kurang menghargai orang yang diajak berbicara. Demikian
pula duduk dengan kaki yang dinaikkan terlau tinggi,duduk dengan
menggoyang-goyangkan kaki terus menerus, akan mengganggu konsentrasi
orang diajak bicara, dan juga menimbulkan kesan yang kurang baik. Duduk
dengan tenang, tidak banyak bergerak, sopan dan baik akan menimbulkan
kesan yang baik pada orang tersebut. Orang yang diajak bicara akan senang,
merasa dihargai dan dihormati, apalagi kalau gaya dan nada suaranya juga
baik.

2. Kemampuan dan keahlian


Seorang pemeriksa sebaiknya harus dapat mengenali seberapa jauh
kemampuan dan keahlian yang dimilikinya sebagai bekal untukmenjalankan
tugasnya. Pemeriksa yang mawas diri akan selalu berusaha untuk meningkatkan
kemampuannya, untuk mencapai tingkat keahlian yang lebih tinggi, sehingga
tugas-tugas yang dipikulnya dapat terselesaikan dengan baik. Sebaliknya
pemeriksa yang kurang mampu dan tidak mau meningkatkan diri dalamhal
kemampuan dan keahliannya, akan sering mengalami hambatan. Hal ini dapat
menurunkan kepercayaan dirinya, takut akan gagal atau justru bertindak secara
berlebihan untuk menutupi kekurangannya.
Untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian ini ada berbagai cara
yang dapat ditempuh seperti, belajar secara formal, belajar dari literatur,
berdiskusi dengan sesama pemeriksa atau orang-orang yang kompeten dalam
bidangnya dan dapat juga melalui penyerapan pengalaman baik pengalaman
pribadi maupun pengalaman orang lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa meningkatkan
kemampuan dan keahlian tidak hanya terbatas pada bidang teknis pemeriksaan
saja, melainkan juga bidang-bidang lain yang erat kaitannya dengan tugas-tugas
pemeriksaan.
3. Etiket pergaulan
Seorang pemeriksa juga sebaiknya memahami berbagai macam etiket
dalam pergaulan, sehingga ia dapat menjalin hubungan dengan orang lain dari
berbagai lapisan dengan cara yang tepat. Memahami etika pergaulan bukanlah
berarti membatasi hubungan yang ada sehingga menjadi kaku dan penuh
formalitas. Suasana santai, bahkan dengan sedikit gurauan kadang-kadang juga
diperlukan, asalkan pemeriksa tahu persis kapan hal itu dibutuhkan dan jenis
gurauan yang bagaimana yang tepat. Suasana akrab harus dapat dicapai tanpa
harus mengorbankan prinsip-prinsip dan melanggar etika pergaulan.

4. Sifat-sifat kepemimpinan pemeriksa


Seorang pemeriksa seharusnya juga memiliki sifat-sifat kepemimpinan.
Hal ini disebabkan karena seorang pemeriksa harus dapat memberikan saran-saran
perbaikan kepada pihak yang diperiksa. Adapun sifat-sifat kepemimpinan yang
dimaksud adalah:
a. Dapat dipercaya
Seorang pemeriksa dalam melaksanakan kewajibannya harus berlaku jujur,
meskipun sedang tidak diawasi.
b. Disiplin
Pemeriksa dalam segala perilakunya yang berhubungan dengan pekerjaan-
pekerjaan pemeriksaan harus taat akan segala peraturan dan ketentuan yang
berlaku. Ketentuan dan kepatutan itu hendaknya dilakukan dengan kesadaran,
karena sebagai seorang pemeriksa ia sepantasnya juga menjadi teladan bagi
masyarakat.
c. Berkemauan keras
Seorang pemeriksa seharusnya tidak mudah putus asa karena kegagalan dalam
merealisasikan suatu maksud yang telah diyakini. Bila mudah putus asa, maka
informasi penting tidak nampak secara terbuka atau sulit ditemukan.
d. Keuletan
Keuletan adalah usaha yang tekun dan terus menerus sampai suatu tujuan
tertentu dicapai. Dengan usaha yang terus menerus untuk mendapatkan
kebenaran informasi, dan ditambah kemauan yang keras pantang menyerah
dalam menghadapi hambatan, maka pemeriksa akan berhasil memperoleh apa
yang diharapkan.
e. Kepercayaan pada diri sendiri
Seorang pemeriksa seharusnya memiliki kepercayaan atas kemampuan
bertindak dengan bekal yang ada pada diri sendiri. Namun demikian
kepercayaan pada diri sendiri ini akan luntur apabila pemeriksa tidak
membekali diri dengan persiapan-persiapan yang memadai seperti
pengetahuan yang luas mengenai hal-hal yang menyangkut pemeriksaannya.
f. Penuh inisiatif dan kreatif
Seorang pemeriksa harus dapat melihat apa yang perlu segera dikerjakan dan
memulai sesuatu tanpa selalu harus diberi tahu atau diperintahkan dan mampu
melanjutkan dengan mengatasi segala kesukaran. Inisiatif dan kreatifitas
sangat diperlukan sehingga jalan untuk mencari temuan-temuan tidak pernah
mengalami hambatan. Apabila ada hambatan pada suatu masalah, maka ia
akan cepat menemukan jalan keluarnya.
g. Ketelitian
Seorang pemeriksa sangat dituntut untuk selalu teltii, yaitu bersikap untuk
selalu memperhatikan hal-hal yang kelihatannya remeh tetapi sesungguhnya
justru besar arti dan pengaruhnya. Ketelitian ini selain dalam hal perhitungan-
perhitungan, juga dalam pencarian atas penelusuran ketidakberesan.
Pemeriksa yang kurang teliti akan mengesankan sebagai seorang yang
ceroboh. Selain itu keadaan ini bisa mengesankan juga bahwa pemeriksa itu
ingin cepat-cepat melepaskan tanggung jawabnya.
h. Luwes
Sifat yang luwes berarti dapat bergaul dengan siapa saja. Orang-orang pada
tingkat bawahan sampai ke orang-orang yang memegang posisi penting di
kantor biasanya dapat membantu pemeriksa untuk memperoleh informasi yang
diharapkan, sehingga seorang pemeriksa dituntut untuk pandai menyesuaikan
diri dengan semua pihak, baik pegawai kecil ataupun pimpinan tertinggi suatu
instansi. Seorang pemeriksa tidak boleh menganggap sepele pegawai kecil
yang diperintahkan untuk menemuinya. Sebaliknya,seorang pemeriksa juga
jangan rendah diri apabila menghadapi pimpinan pihak yang diperiksanya.
C. Mengenal Perilaku Yang Diperiksa
1. Motivasi manusia
Sasaran kebutuhan manusia dalam bertindak dapat disusun dalam urutan
sebagai berikut, sesuai dengan urutan mulai dari tingkat yang paling urgen:
a. Kebutuhan primer/dasar
Sasaran ini adalah yang paling utama. Pertama-tama seseorang melakukan
sesuatu yang perlu adalah untuk memelihara badannya. Kebutuhan jasmani
atau badani adalah kebutuhan primer yang harus terpuaskan. Misalnya;
kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan ini terutama menyangkut
pertahanan hidup.
b. Kebutuhan akan rasa aman
Sasaran dari kebutuhan ini adalah adanya rasa aman baik secara fisik maupun
psikis. Misalnya, rasa aman para pegawai saat ini adalah apabila ia
mendapatkan dan tetap mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang tetap
pula.
c. Kebutuhan sosial
Adanya keinginan seseorang untuk menjadi anggota kelompok dan untuk
diterima, memiliki, mencintai serta untuk dicintai adalah tingkat motivasi yang
berikutnya. Dorongan yang kuat ini dapat dimanfaatkan untuk membangun
kerjasama dalam kelompok kerja, dimana di dalamnya terdapat sumber
kepuasan bagi anggota-anggota kelompok itu.
d. Kebutuhan akan penghargaan
Penghargaan ini merupakan tingkat kebutuhan-kebutuhan yang terdiri dari
beberapa komponen.
1. Penghargaan dihubungkan dengan keinginan percaya pada kemampuan
diri sendiri. Adanya kemampuan pada diri sendiri menyebabkan adanya
penghargaan atau pengakuan orang lain pada dirinya. Dengan demikian ia
merasa mempunyai kekuatan untuk bisa menentukan sesuatu.
2. Penghargaan dihubungkan dengan adanya keinginan orang-orang
untuk mengurangi pengawasan seseorang pada mereka, sehingga tumbuh
rasa penghargaan dan kepercayaan pada diri mereka.
3. Penghargaan dihubungkan dengan adanya keinginan untuk
”mengetahui”, memahami apa yang terjadi di dunia ini, karena adanya
suatu anggapan bahwa ”pengetahuan adalah suatu kekuasaan”. Tidak
mengetahui mengenai sesuatu hal yang terjadi dan banyak diketahui oleh
masyarakat luas akan dapat menimbukan perasaan frustasi kepada
seseorang.
4. Penghargaan dari pihak lain merupakan hal yang penting yang juga
merupakan suatu prestise. Seseorang bukan hanya ingin menjadi anggota
suatu kelompok saja, tetapi ia juga ingin menjadi anggota yang menonjol
dan terpandang. Misalnya, seorang pemeriksa dalam tugasnya dapat
menemukan temuan yang cukup berarti, maka akan timbullah keyakinan
pada dirinya sendiri apabila ada penghargaan dari atasannya terhadap
prestasinya itu. Hal ini juga akan mendorong pemeriksa tersebut untuk
mempunyai keinginan berprestasi lebih lanjut agar terpandang oleh
lingkungannya.
e. Aktualisasi diri
Hal ini merupakan sasaran motivasi yang tertinggi, bilamana kebutuhan-
kebutuhan lainnya telah terpuaskan. Di sini ada dorongan untuk menjadi orang
yang terbaik yang ingin dicapai seseorang untuk kemudian menjadi orang
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Sasaran-sasaran kebutuhan ini selalu ada pada diri seseorang, walaupun
tingkatannya tidak sama, sesuai urutannya. Hal-hal ini perlu dipahami karena
merupakan dasar dari seseorang untuk bertingkah laku.
Dalam bertingkah laku seseorang tidak selamanya bisa seperti apa yang
diharapkannya, yaitu berhasil dan diterima oleh masyarakat. Adakalanya sasaran
yang dituju dalam bertingkah laku mengalami hambatan dan akhirnya menemui
kegagalan. Jika dalam menghadapi kegagalan ini orang tersebut tidak bisa cepat-
cepat mengalihkan persoalan ke hal-hal yang lebih bermanfaat maka kegagalan itu
akan berlangsung berlarut-larut, sehingga akhirnya bisa menimbulkan frustasi.
Frustasi yang dialami seseorang tidak selalu sama dengan yang dialami
oleh orang lain. Reaksi frustasi yang dialami seseorang ini ada beberapa macam,
antara lain:
a. Meninggalkan persoalan/situasi
Seseorang yang menghadapi persoalan/situasi yang dianggapnya tidak
menyenangkan dan ia merasa tidak mampu untuk menyelesaikannya, maka ia
justru meninggalkan persoalan/situasi tersebut.
b. Menarik diri
Dalam menghadapi kegagalan atau persoalan yang tidak bisa diselesaikannya,
seseorang menempuh jalan dengan menarik diri dari realitas dan masuk ke
dalam dunia khayalnya. Orang ini menjadi pemurung dan sering melamun dan
kalau dibiarkan berlarut-larut maka kemungkinan akan kehilangan kontak
dengan realitas, semakin jauh ia tenggelam dalam dunia khayalnya.
c. Mempertahankan diri dengan tingkah laku berbelit-belit
Tindakan berbelit-belit ini dilakukan untuk berusaha menutupi persoalan yang
sebenarnya, sehingga kesalahan atau kegagalannya tidak dikenali lagi,
misalnya dengan berpura-pura sakit dan sakitnya ini dijadikan alasan
kegagalannya.
d. Tingkah laku agresif
Dalam menghadapi kegagalan seseorang dapat mengerahkan semua energi
dalam dirinya dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan atau ucapan-
ucapan yang biasanya bersifat eksplosif (meledak-ledak) untuk meringankan
perasaannya yang kacau. Tindakan ini dapat ditujukan pada orang lain atau
pada dirinya sendiri.
Dalam menghadapi keadaan yang frustatif, tidak semua individu akan
menghayatinya secara sama. Ketegangan yang ditimbulkan dapat berbeda
tergantung kepada derajat toleransinya. Toleransi terhadap frustasi adalah
kemampuan individu untuk mengatasi ketegangan dalam dirinya akibat
penundaan pemuasan motif atau konflik tertentu. Seseorang yang mempunyai
toleransi tinggi terhadap frustasi adalah seorang yang tabah, dapat berpikir
panjang dalam menghadapi kekecewaan, kegagalan atau lain-lainnya. Sebaliknya
orang yang kurang toleransi terhadap frustasi adalah seorang yang mudah kecewa
dan mudah putus asa.

2. Tipe-tipe manusia
Untuk memahami tingkah laku seseorang selain perlu dipelajari motif
daripada tingkah lakunya, maka tipe-tipe manusia perlu juga diketahui agar dapat
memahami lebih luas lagi perbedaan-perbedaan yang ada pada tiap-tiap orang.
Banyak sekali psikologi yang membahas tipe-tipe manusia dengan sudut
pandang yang berbeda-beda. Ada yang menghubungkannya dengan raut muka,
ada yang menghubungkannya dengan bentuk tubuh, ada yang menghubungkannya
dengan kwantitas cairan-cairan tubuh, dan lain sebagainya. Yang akan
dikemukakan di sini adalah teori seorang ahli, Jung CS yang membedakan
manusia menjadi dua golongan menurut arah perhatiannnya. Jika perhatiannya
terutama ditujukan ke luar, yakni sekelilingnya, dinamakan tipe extraverse. Dan
orangnya disebut extravert. Seorang extravert lebih mementingkan lingkungannya
daripada dirinya sendiri, lebih mengutamakan kepentingan umum daripada
kepentingannya sendiri. Orang macam ini umumnya berhati terbuka, gembira,
ramah tamah, lancar dalam pergaulan dan memancarkan sikap hangat sehingga
mudah mendapat kawan.
Golongan kedua adalah orang yang perhatiannya terutama diarahkan ke
dalam dirinya sendiri. Dia disebut tipe introverse dan orangnya dinamakan
Introvert. Orang bertipe ini lebih mementingkan dirinya sendiri daripada
kepentingan umum. Dirinya sendiri menjadi primer, lingkungannya sekunder.
Seorang Introvert biasanya pendiam, egoistis, suka merenung dan mengasingkan
diri, sukar bergaul. Cara menghadapi orang-orang semacam ini agak sulit, karena
biasanya dibutuhkan waktu relatif lama untuk dapat menjalin hubungan yang baik
dengannya, dan diperlukan sikap yang aktif dan ekstra hati-hati.
Pada kenyataannya perbedaan ekstrim kedua tipe terebut hanya terdapat
pada sebagian kecil manusia saja, sebab antara kedua golongan itu ada golongan
yang merupakan campurannya, yakni tipe ambiverse dan orangnya disebut
ambivert. Dan ternyata orang-orang ambivert jauh lebih banyak daripada orang-
orang extravert dan introvert.

3. Sikap manusia
Sikap atau attitude diartikan sebagai kesediaan beraksi terhadap suatu hal.
Sikap ini selalu diarahkan terhadap sesuatu hal atau obyek, tidak mungkin ada
sikap tanpa obyeknya. Obyek yang dijadikan arah dari sikap manusia itu adalah
benda-benda, orang-orang, juga peristiwa-peristiwa, norma-norma, pemandangan-
pemandangan, nilai-nilai, peraturan-peraturan dan lain-lain.
Dibawah ini dikemukakan pembagian sikap:
a. Sikap sosial
Sikap ini dinyatakan dengan cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang
terhadap obyek sosial sikap ini dinyatakan tidak hanya oleh satu orang saja
tetapi bisa juga oleh sekelompok orang atau masyarakat. Contoh dari sikap
sosial ini adalah adanya perayaan hari Kartini, hari Kemerdekaan, dan lain-
lain.
b. Sikap individual
Sikap ini dimiliki oleh seorang saja. Sikap ini berhubungan dengan obyek-
obyek, orang-orang, dan lain-lain, atas dasar kesukaan atau ketidaksukaan
pribadi. Sikap individual turut dibentuk oleh sifat-sifat pribadi orang yang
bersangkutan.
Ciri-ciri sikap:
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan obyek sikap.
b. Sikap dapat berubah-ubah, sehingga sikap ini dapat dipelajari.
c. Sikap itu terbentuk dan berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek
tertentu.
d. Sikap itu bisa berhubungan dengan satu obyek saja, tetapi juga bisa
berhubungan dengan sederetan obyek yang serupa. Misalnya, bukan hanya si
A saja yang rajin, tetapi seluruh tim si A itu rajin.

Pembentukan sikap dan perubahannya


Sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Pembentukannya biasanya
dipengaruhi oleh suatu proses perkembangan manusia yang berlangsung dalam
interaksi manusia. Pergaulan sosial yang melibatkan bermacam-macam manusia
dengan sifat dan pandangan yang berbeda-beda, pengaruh berita-berita surat
kabar, radio, tv dan pengetahuan-pengetahuan yang didapat seseorang yang telah
terbentuk. Namun demikian pengaruh-pengaruh ini tidak akan langsung
mempengaruhi perubahan seseorang, tetapi pengaruh itu akan diproses dulu, ada
kemungkinan pengaruh itu ditolak atau diterima, sehingga ada proses pemilihan
dalam diri seseorang sesuai pribadinya, minatnya dan perhatiannya.
Jadi pembentukan dan perubahan sikap itu dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari luar dan dari dalam orang itu sendiri. Sikap dapat diubah atau dibentuk dalam
dua situasi seperti berikut:
a. Situasi interaksi kelompok
Dalam interaksi kelompok antara seseorang dengan orang lain
berlangsung secara timbal balik. Interaksi antara seseorang dengan orang lain
itu dapat terjadi dalam suatu kelompok, atau bisa juga terjadi antara seseorang
dari satu kelompok dengan orang dari kelompok lain.
Perubahan sikap dapat terjadi disebakan oleh pengaruh kelompok
referensi, yaitu kelompok yang mempunyai norma, nilai-nilai sosial, kebiasaan
dan lain-lain, yang dianggap paling sesuai oleh seseorang untuk dijadikan
pegangan atau pedoman hidupnya.
Lawan dari kelompok referensi adalah ”kelompok keanggotaan”,
yaitu kelompok di mana seseorang secara formal menjadi anggotanya.
Contohnya, D dalam lingkungan tempat tinggalnya menjadi anggota
masyarakat kelompok RT/RW yang sama dengan E (pemeriksa), berarti D
adalah tetangga E. Tetapi, dalam hubungan resmi di kantor D adalah kepala
dari instansi yang diperiksa E. Dalam hal ini sikap sehari-hari di rumah akan
berbeda dengan sikap sewaktu berada di kantor. Hal ini terjadi akibat adanya
pergeseran kelompok referensi.
b. Situasi komunikasi bermedia
Pembentukan dan perubahan sikap dapat pula terjadi dalam situasi
komunikasi dengan menggunakan media massa. Media komunikasi yang
dapat mengubah sikap adalah : surat kabar, radio, tv, majalah, film, dan lain-
lain. Dalam proses komunikasi ini, perubahan sikap ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu:
1. Faktor komunikator
Komunikator akan mengubah sikap seseorang atau sejumlah orang,
apabila ia merupakan pusat kredibilitas, yaitu yang mendapat kepercayaan
penuh dari orang banyak (khalayak). Bagaimanapun juga pentingnya atau
benarnya pesan yang dikomunikasikan, apabila komunikatornya tidak
merupakan orang yang dipercaya, maka ia tidak akan dapat mengubah
sikap orang-orang itu.
2. Faktor pesan komunikasi
Pesan tidak akan begitu saja diterima oleh sasaran komunikasi, apabila isi
komunikasi tidak sesuai dengan kerangka referensi, yaitu kerangka psikis
yang mencakup pandangan, pedoman, pengertian dan perasaan dari
sasaran komunikasi yang bersangkutan. Pesan harus menyangkut
kepentingan dan sesuai dengan kerangka referensi komunikasi.
3. Faktor media komunikasi
Mental seseorang akan berbeda-beda sewaktu ia menerima pesan dari
berbagai media (radio, tv, buku, koran, majalah, dan lain-lain). Karena itu
media massa harus mengolah pesan-pesan yang akan disebarkan sesuai
dengan sifat-sifat sasaran komunikasi. Dengan demikian media massa
akan dapat mengubah sikap masyarakat luas.
4. Faktor penerima pesan
Penerima pesan ini adalah orang-orang yang sifatnya heterogen. Masing-
masing akan memilih pesan yang sesuai dengan kepentingan atau
minatnya. Hal-hal di luar itu biasanya akan luput dari perhatiannya.
Dengan demikian apabila akan mengkomunikasikan sesuatu pesan maka
sebaiknya pesan itu adalah yang berguna atau menjadi minat sasaran
komunikasi.

4. Sifat-sifat manusia
Dalam menghadapi seseorang, kita seharusnya bertitik tolak dari
pandangan bahwa dalam diri seorang manusia itu terdapat dua kecenderungan
yang saling bertentangan, yaitu sifat-sifat yang positif dan sifat-sifat yang negatif.
Atau dalam diri manusia terdapat sifat-sifat baik yang mengandung kekuatan dan
sifat-sifat buruk yang mengandung kelemahan. Sifat yang positif ini perlu dikenali
untuk diarahkan dan dikembangkan sehingga menjadi pendorong yang kuat dalam
mencapai tujuan bersama. Sedangkan sifat-sifat yang negatif perlu dicegah
sehingga tidak menjadi faktor penghalang yang menonjol.

5. Gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah cara khas seorang pemimpin melakukan
kegiatannya dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, dan mengerahkan
para pengikutnya atau bawahannya kepada suatu tujuan tertentu.
Gaya kepemimpinan ini perlu diketahui oleh para pemeriksa karena
dalam tugas seorang pemeriksa tidak jarang ia harus berhadapan dengan pimpinan
dari instansi yang diperiksanya. Di mana pimpinan tersebut mungkin
membawakan gaya pimpinan yang diterapkannya dalam organisasi kepada situasi
pemeriksaan.
Pada umumnya gaya kepemimpinan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis seperti yang akan diuraikan berikut ini:
a. Kepemimpinan otokratik (outocratic/authoritarian leadership)
Kepemimpinan otokaratik adalah kepemimpinan berdasarkan kepada
kekuasaan mutlak. Pimpinan menganggap dirinya serba tahu, paling berkuasa
dan semua keputusan ada ditangannya. Pimpinan semacam ini menentukan
dan menginstruksikan apa yang harus dilakukan anak buahnya tanpa ia sendiri
terlibat dalam interaksi kelompok. Setiap keputusan yang diambilnya
dianggap sah, dan anak buah harus menerimanya tanpa banyak pertanyaan
apalagi saran.
Para anak buahnya kebanyakan tidak merasa senang, dan merasa
bahwa apa yang mereka hasilkan adalah berdasarkan keharusan bukan karena
motivasi. Frustasi, rasa takut, rasa tidak puas dan konflik dalam situasi seperti
ini cepat timbul dan mudah berkembang.
b. Kepemimpinan demokratik (democratic/participative leadership)
Kepemimpinan demokratik adalah kepemimpinan berdasarkan
demokrasi, dalam arti cara yang dilaksanakan pimpinan dalam memimpin
anak buahnya adalah secara demokratis. Pimpinan melakukan kegiatannya
sedemikian rupa sehingga setiap keputusan merupakan keputusan bersama.
Setiap anggota kelompok ikut berperan aktif, bebas mengeluarkan pendapat,
saran-saran dan gagasannya, tetapi mereka wajib tunduk kepada keputusan
mayoritas. Oleh karena itulah kepemimpinan semacam ini disebut juga
kepemimpinan partisipatif, karena para anggota kelompok itu berpartisipasi
dalam kegiatan mencapai tujuan organisasi. Pimpinan di sini berfungsi sebagai
koordinator yang mengarahkan proses pengambilan keputusan.
Tipe kepemimpinan demokratik sering dibedakan dengan tipe open
management. Dalam tipe ini, sebenarnya hampir sama dengan tipe
demokratik. Perbedaannya hanya terletak pada pengambilan keputusan. Dalam
open management keputusan ada ditangan pimpinan, meskipun pimpinan tetap
memberikan kesempatan kepada para anggota untuk memberikan saran-saran.
Dalam open management pimpinan sekaligus bertindak sebagai
decisionmaker atau pengambil keputusan.
c. Kepimpinan bebas (free-rein/laissez faire leadership)
Seorang pimpinan dengan gaya kepimpinan bebas melakukan
peranannya secara pasif. Ia berada ditengah-tengah bawahannya, tetapi ia
sendiri tidak melakukan apa-apa, segalanya diserahkan kepada bawahannya, ia
memberikan kebebasan yang cukup kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan atau langkah-langkah dalam menghadapi segala sesuatu.

D. Human Relation
“Human Relation” berorientasi kepada kegiatan, dilakukan dengan sengaja
untuk mencapai tujuan tertentu, yakni mengubah sikap, pandangan, atau perilaku.
Hubungan semacam inilah yang terjadi antara pemeriksa dengan pihak yang
diperiksanya, jadi bukan hanya sekedar hubungan antara manusia biasa sebagai
konsekuensi kodrati manusia.
”Human Relation” berkaitan dengan upaya menghilangkan hambatan
komunikasi, mencegah salah pengertian, dan mengembangkan segi konstruktif dari
sifat manusia (Norman R F Mair, dikutip dari Drs. Onong Uchjana E, MA, 1988)
adanya ”Human relation” yang baik menyebabkan:
a. Individu memperoleh kesediaan kerjasama yang harmonis dari orang lain dengan
siapa ia bekerja.
b. Individu memperoleh kemungkinan berproduksi dan berprestasi lebih tinggi dan
lebih baik lagi.
c. Individu memperoleh kemungkinan bekerja dan memperoleh kepuasan dalam
hasil.
Jadi ”human relation” perlu dipelajari oleh pemeriksa supaya diperoleh
kerja sama yang baik, harmonis dengan orang-orang yang diperiksanya.
Faktor penting dalam kegiatan ”human relation”, adalah:
a. Etika
Etika tidak menyangkut nilai-nilai benar atau salah, melainkan dikaitkan dengan
nilai-nilai baik atau buruk yang disesuaikan dengan bagaimana yang seharusnya.
Jadi di sini ada unsur kesengajaan. Perbuatan seseorang dikatakan baik atau buruk
dikaitkan dengan bagaimana yang seharusnya dan apakah perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja. Dikatakan tidak etis, sejauh perbuatannya tidak sesuai
dengan yang seharusnya, terlebih lagi bila dilakukan dengan sengaja. Jadi etika
mendorong kehendak seseorang untuk berbuat baik dan ini harus dilandasi dengan
niat yang suci.
b. Empati
Sikap empatik harus dimiliki oleh seseorang yang akan melaksanakan ”human
relation”. Theodor Lipps, menegaskan bahwa dengan empati seseorang
memproyeksikan pikiran dan perasaannya ke dalam obyek pengalamannya.
Jadi seseorang berada dalam hubungan empatik dengan orang lain apabila yang
pertama tadi dapat menghayati dan memberi tanggapan terhadap apa yang
dipikirkan dan dirasakan oleh orang kedua.
c. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses untuk memindahkan informasi atau
pengertian-pengertian dari seseorang ke orang lain. Komunikasi itu akan lengkap
kalau informasi, pengertian, ide, atau pesan sudah sampai pada penerima dan
ditanggapi oleh penerima dengan baik sesuai dengan maksud sebenarnya.
Komunikasi yang terjadi antara dua orang, akan bisa menimbulkan
hubungan antara keduanya, dan ini akan bisa timbul suatu empati. Empati di sini
berarti tanda bahwa orang lain itu mampu untuk mengerti atau menanggapi pesan-
pesan atau informasi yang disampaikan teman bicaranya. Dengan timbulnya
empati ini komunikasi akan semakin lancar, karena diantara keduanya sudah
terjalin hubungan yang semakin baik.
Keberhasilan komunikasi dalam pemeriksaan terletak pada kepandaian
pemeriksa menanamkan dan menumbuhkan kepercayaan orang lain padanya.
Komunikasi juga akan berhasil baik bila segala informasi, ide, pesan atau
pendapat itu mudah ditangkap, mudah diingat, mudah dikerjakan orang lain,
mudah dicapai dan mudah ditiru oleh orang lain.
Dalam komunikasi ada dua pola komunikasi, yaitu:
1. Komunikasi satu arah
Di sini soerang pembicara berbicara dan pendengar mendengarkan
tanpa ada komunikasi timbal balik antara keduanya. Pembicaraan di sini tidak
mendapatkan umpan balik atau respons dari pendengarnya.
Dalam komunikasi ini, pembicara lebih cepat selesai sampai kepada
pendengar, tetapi ketepatan dari isi pembicaraan tidak dapat dipastikan, karena
pembicara tidak bisa memastikan apakah pendengar sudah memahami hal-hal
yang telah disampaikan.
2. Komunikasi dua arah
Di sini antara pembicara dengan pendengar terjadi saling tukar
pendapat, hasil pembicaraan didiskusikan bersama, dari sini pembicara bisa
mendapatkan respons dari pendengar, sehingga pembicara dapat mengetahui
apakah pendengar bisa memahami isi pembicara atau tidak.
Bila seseorang pemeriksa, komunikasi ini sangat penting. Dengan
komunikasi dua arah seorang pemeriksa dapat berusaha menjalin hubungan
baik dengan orang yang diajak bicara, sehingga akan menumbuhkan
kepercayaan untuk memberikan informasinya secara lengkap dan tetap.
d. Partisipasi
Faktor lain dalam ”human relation”adalah partisipasi yang berfungsi
sebagai dorongan yang bisa menimbulkan semangat orang lainuntuk aktif bekerja
dalam meningkatkan produktifitasnya.
Dalam suatu perusahaan supaya suasana lingkungannya itu bisa
harmonis, pimpinan hendaknya ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
bawahannya walaupun keikutsertaannya ini tidak penuh, tapi keterlibatannya
dalam kegiatan bawahan akan memberikan semangat bawahan dalam bekerja.
Dalam pemeriksaan partisipasi ini lebih banyak diwujudkan dalam
bentuk keterlibatan pemeriksa dengan tugas-tugas pihak yang diperiksanya,
misalnya, dalam pengecek fisik pemeriksa berbuat seolah-olah sedang ikut serta
menjadi pengawas lapangan yang sedang bertugas atau juga dapat ditunjukkan
dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam pembicaraan dengan pihak
yang diperiksa.

2.2. Latihan 1
1. Apa yang anda ketahui tentang psikologi?
2. Jelaskan penggolongan kegiatan berpikir dalam fungsi psikis manusia!
3. Sebutkan beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kesan pihak yang
diperiksa kepada pemeriksa!
4. Bagaimanakah sifat-sifat kepemimpinan yang sebaiknya dimiliki oleh seorang
pemeriksa?
2.3. Rangkuman
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam
hubungan dengan lingkungannya.
Kegiatan berpikir dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Berpikir asosiatif, yaitu proses berpikir di mana suatu ide merangsang
timbulnya ide lain. Jalan pikiran dalam proses berpikir asosiatif tidak ditentukan
atau diarahkan sebelumnya. Jadi ide-ide timbul secara bebas
2. Berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan
diarahkan kepada sesuatu biasanya diarahkan kepada pemecahan persoalan.
3. Emosi
4. Motif
Sifat kepemimpinan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemeriksa:
a. dapat dipercaya
b. disiplin
c. berkemauan keras
d. ulet
e. percaya pada diri sendiri
f. penuh inisiatif dan kreatif
g. teliti
h. luwes
3. KEGIATAN BELAJAR (KB) 2

KOMUNIKASI

3.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari
kata latin Communication dan bersumber dari kata Communis yang berarti ”sama”.
”Sama” di sini maksudnya adalah satu makna. Percakapan antara dua orang akan
dikatakan komunikatif bilamana keduanya selain mengetahui bahasa yang
dipergunakan juga mengerti makna dari yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa belum
tentu dapat menimbulkan kesamaan makna dari yang dipercakapkan, jadi mengerti
bahasanya belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Tetapi
komunikasi yang diuraikan atas sifatnya dasar, dalam arti kata bahwa komunikasi itu
harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Kegiatan
komunikasi bukan hanya supaya orang lain bersedia menerima suatu faham atau
keyakinan, melainkan sesuatu kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain.
Menurut Carl I. Hovland (dikutip dari Drs. Onong UE. MA), ilmu
komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas
penyampaian pembentukan pendapat dan sikap. Dengan demikian definisi di atas
menunjukkan bahwa yang dijadikan obyek studi ilmu komunikasi bukan hanya
penyampaian informasi tetapi juga pembentukan pendapat dan sikap yang dalam
kehidupanan sehari-hari memainkan peranan yang amat penting.
Dari uraian tersebut di atas maka dapatlah dikatakan bahwa membekali diri
dengan pengetahuan psikologi dan komunikasi besar manfaatnya bagi seorang
pemeriksa. Karena pemeriksa dalam pekerjaannya akan sering berhadapan dengan
bermacam-macam sifat atau ciri-ciri manusia. Dengan bekal pengetahuan psikologi
dan komunikasi seorang pemeriksa diharapkan dapat memilih cara-cara yang tepat
untuk menghadapi pihak yang diperiksa, di mana setiap orang satu sama lain
mempunyai ciri-ciri, sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda. Selain itu
pemeriksaan juga dapat mempelajari sikap dan cara-cara yang baik dalam menjalin
hubungan dengan pihak yang diperiksa, agar tugas yang dibebankan padanya menjadi
lancar, dan informasi yang di peroleh juga cepat, tepat dan lengkap.
Manusia adalah makhluk sosial yang paling sering mengadakan interaksi
dengan lingkungannya dimana ia berada, salah satunya yaitu dengan komunikasi,
sejak manusia bangun dari tidurnya, hampir tiga perempat (75%) kegiatan manusia
sehari-hari waktunya adalah untuk berkomunikasi, apakah itu terjadinya dirumah,
ditempat kerja, di pasar, di bus kota atau dimana saja baik dilakukan dengan secara
lisan maupun tertulis. Tetapi apakah sesungguhnya komunikasi itu?. Apabila bagi
seorang pemeriksa yang kegiatannya sehari-hari bertugas untuk menyampaikan
informasi dan memperoleh yang tentunya akan selalu menghadapi manusia lainnya,
sehingga tujuan semula dari tugas suatu pemeriksaan dapat dicapai. Dengan bekal
ilmu komunikasi yang akan diuraikan berikut diharapkan dapat membantu para
petugas pemeriksa dalam memperlancar tugasnya.
Pada bab ini akan dibahas mengenai komunikasi dalam pemeriksaan yang
berupa peranan komunikasi dalam ilmu pemeriksaan yang berupa unsur-unsur serta
proses komunikasi agar komunikasi menjadi efektif. Faktor-faktor penghambat
komunikasi, diikuti oleh peranan dari masing-masing unsur dalam komunikasi yang
terakhir akan dibahas adalah mengenai komunikasi lisan maupun tertulis yang biasa
digunakan dalam ilmu pemeriksaan.

A. Komunikasi Dalam Ilmu Pemeriksaan


1. Peranan komunikasi dalam ilmu Pemeriksaan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan yaitu mengenai pengertian
komunikasi, bahwa komunikasi memegang peran yang amat penting dalam
kehidupan sehari-hari, baik kehidupan politik, sosial, budaya dan pendidikan,
ekonomi. Begitu pula dalam ilmu pemeriksaan, komunikasi memegang peranan
yang cukup penting selain observasi yang dilakukan selama kegiatan pemeriksaan.
Bagaimana pemeriksa dapat menyampaikan informasi dan memperoleh informasi
yang diperlukan bilamana ia tidak mempunyai cukup bekal untuk melakukan
komunikasi dengan baik. Untuk itulah sebagai pemeriksa hendaknya benar-benar
dapat memahami arti dan melaksanakan komunikasi yang sesungguhnya sehingga
dapat turut menunjang dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan.
Yang perlu mendapat perhatian utama dalam melakukan komunikasi
adalah faktor manusianya itu sendiri, hal ini diperlukan karena dalam
berkomunikasi itu seseorang akan menghadapi manusia lainnya sebagai individu.
Rogers bersama D Lawrence Kincaid (dalam Cangara, 2000) mendefinisikan
komunikasi sebagai suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau
melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya
akan tiba pada saling pengertian yang mendalam. Rogers mencoba
mengkhususkan hakekat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran
informasi, di mana ia menginginkan adanya perubaan sikap dan tingkah laku serta
kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut
serta dalam suatu proses komunikasi.
Secara sederhana komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan manusia
untuk menyampaikan pesan, informasi, berita, ide dari satu pihak kepada pihak
lain, dalam usaha mendapatkan saling pengertian serta untuk mengubah pikiran,
perasaan atau perilaku orang lain.
Dalam kenyataannya, komunikasi sering kali sulit untuk dilakukan,
apalagi bila pihak yang diajak komunikasi itu adalah orang yang lebih tinggi
kedudukannya, lebih pintar, lebih kaya, sedang sedih, sedang frustasi, sedang
kesal, berbeda kebudayaan dan bahasa, jauh tempatnya, banyak jumlahnya,
orangnya memang kurang memiliki kemampuan untuk mengutarakan pikiran dan
pendapatnya atau bahkan pula orang yang kita ajak komunikasi memang memiliki
latar belakang kepribadian yang introvert (tertutup). Atau sebaliknya ciri-ciri itu
berada pada pihak kita sebagai orang yang akan menjalin komunikasi, yang jelas,
untuk usaha apapun hal itu dilakukan, yang mutlak harus ada adalah pengertian
yang sama diantara mereka yang terlibat komunikasi.
Begitu pula dalam pemeriksaan, selain kita memang harus sudah
mempersiapkan diri dengan apa yang hendak dikomunikasikan baik secara lisan
maupun tulisan atau apakah itu berlangsungnya secara formal maupun non formal,
yang harus diperhatikan adalah cara pendekatan kepada siapa yang harus kita
hadapi. Sebagai pemeriksa perlu mengetahui mengenai kepribadian manusia, yang
menurut ilmu psikologi manusia adalah sesuatu hal yang unik, dalam arti setiap
individu yang kita temui adalah akan berbeda dalam tingkah laku atau perangai.
Jadi tidak ada individu yang akan persis sama dengan individu lainnya dalam
segala kepribadiannya. Begitu pula dalam melakukan komunikasi dengan orang
yang hendak minta/beri informasi, mereka adalah individu yang berbeda dengan
individu lainnya walau memiliki status sosial ataupun kedudukan yang sama.
Setelah pemeriksa mengenal seperti yang telah diuraikan diatas, yang
harus dilakukan oleh seorang pemeriksa dalam melakukan komunikasi adalah
dapat menciptakan suasana psikologis sedemikian rupa, sehingga orang yang
dimintai informasi merasa berada dalam lingkungan yang nyaman, merasa aman
dan tidak merasa terancam dalam memberikan informasi sehingga ia dapat bebas
dalam mengemukakan fakta-fakta yang diperlukan oleh pemeriksa serta relevan
dengan tujuan pemeriksaan, pemeriksa tidak boleh bersikap merasa lebih tahu
atau merasa kedudukannya lebih tinggi dari yang diperiksa, bahkan sebagai
pemeriksa harus mampu menjaga suasana psikologis yang telah tercipta dengan
baik dari awal sampai berakhirnya tugas pemeriksaan.
Dalam melakukan pemeriksaan, janganlah menggunakan cara seolah-
olah menginterogasi pihak yang diperiksa dan seolah-olah mencari-cari kesalahan
sehingga dapat menimbulkan rasa takut bahkan menunjukkan tidak suka atas
kedatangan pemeriksa, dengan terciptanya suasana psikologis yang baik serta
dapat menjaga situasi ini, maka niscaya hal ini akan sangat menunjang kegiatan
tugas sebagai pemeriksa.
Selanjutnya dalam komunikasi lisan (misalnya wawancara yang akan
dibahas pada bab berikutnya), yang harus diingat adalah pemeriksa harus tanggap
terhadap situasi maupun jawaban yang diberikan oleh pihak yang diperiksa.
Dengan secara cepat harus dapat mengevaluasi setiap jawaban dalam pikiran
seorang pemeriksa, sehingga dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya dengan lancar yang pada akhirnya dapat memberikan interprestasi
terhadap informasi yang masuk dan dapat memberikan kesimpulan yang obyektif
sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Jadi keahlian maupun ketrampilan sebagai
pemeriksa tetaplah menjadi persyaratan yang utama dalam mencari informasi,
jangan sampai menimbulkan kesan yang meragukan dari pihak yang di periksa
terhadap seorang pemeriksa.

2. Unsur-unsur dan Proses Komunikasi


Dalam komunikasi terdapat beberapa unsur komunikasi yang merupakan
persyaratan utama untuk terjadinya komunikasi. Unsur-unsur tersebut adalah:
- Kom : Orang yang menyampaikan pesan
unikator : Pernyataan yang didukung oleh lambang
- Pesan : Orang yang menerima pesan
- Kom : Sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
unikan komunikasi jauh tempatnya atau banyak jumlahnya.
- Medi : Dampak sebagai pengaruh dari pesan
a

- Efek
Kelima unsur ini merupakan unsur komunikasi yang mutlah harus ada dalam
setiap prosesnya.
Terdapat beberapa macam pandangan tentang banyaknya unsur atau elemen yang
mendukung terjadinya komunikasi. Ada yang menambahkan umpan balik dan
lingkungan selain kelima unsur di atas. Umpan balik dapat merupakan salah satu
bentuk dari pengaruh yang berasal dari penerima dapat juga berasal dari unsur lain
seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima. Sedangkan
lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi
jalannya komunikasi, yaitu lingkungan fisik, sosial budaya, psikologis dan
dimensi waktu.
Dengan demikian, proses komunikasi adalah cara atau seni penyampaian
suatu pesan yang dilakukan seorang komunikator sedemikian rupa sehingga
menimbulkan efek atau dampak tertentu pada komunikasi, pesan yang
disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai paduan, pikiran dan
perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, himbauan, anjuran dan
sebagainya. Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya adalah
bahasa. Ada pula lambang lain, yaitu berupa gerak-gerik, ekspresi wajah, gambar,
warna dan isyarat lainnya.
Yang paling utama perlu mendapat perhatian dalam komunikasi adalah
bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat
menimbulkan dampak atau efek tertentu pada diri komunikan. Dampak atau efek
yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Efek Kognitif adalah efek yang berkaitan dengan pikiran, nalar atau rasio,
misalnya komunikan yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak
mengerti menjadi mengerti.
b. Efek Afektif adalah efek yang berhubungan dengan perasaan, misalnya rasa
senang dan tidak senang terhadap suatu pesan atau informasi.
c. Efek Konatif adalah efek yang dapat menimbulkan kecenderungan untuk
bertingkah laku tertentu dalam arti kata melakukan suatu tindakan atau
kegiatan yang bersifat fisik atau jasmaniah. Misalnya pihak yang diperiksa
yang tadinya enggan untuk memberikan berkas pemeriksaan menjadi mau
bertindak untuk memberikan berkas yang diperlukan oleh seorang pemeriksa.
Ketiga jenis efek atau dampak ini adalah hasil proses psikologis yang berkaitan
erat satu sama lainnya yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Bilamana ketiga efek
ini telah timbul dalam suatu proses komunikasi, barulah dapat dikatakan bahwa
komunikasi itu efektif.
Tetapi nyatanya untuk menimbulkan ketiga jenis efek itu tidaklah mudah, bahkan
seringkali mengalami kegagalan dalam suatu proses komunikasi.
Kegagalan komunikasi yang tidak menimbulkan efek yang diharapkan
dapat disebabkan oleh karena; (dikutip dari Onong Uchjana Effendi).
a. Komunikator tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, awam mengenal
pesan yang disampaikan, diragukan kredibilitasnya dan lain-lain.
b. Pesan yang dikomunikasikan tidak menarik bagi komunikan atau tidak
menyangkut kepentingan komunikan.
c. Media yang digunakan tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi proses
komunikasi dan kondisi komunikan.
d. Komunikan yang satu dengan komunikan yang lain serta komunikan dengan
komunikator menunjukkan ketidakserasian secara sosiologis, antropologis
atau psikologis.
e. Lingkungan sosial tidak mendukung komunikasi yang dilancarkan karena
faktor politik, hukum, kebudayaan, keamanan dan lain-lain.
Sementara itu, scot M. Cultip dan Allen H. Cen dalam bukunya Effective
Public Relation, (dikutip dari Ig. Wursanto) mengemukakan faktor-faktor yang
dapat mendukung berhasilnya komunikasi yang efektif.
Faktor-faktor itu disebut dengan The Seven CS Communication, sebagai berikut:
a. Credibility (keterpercayaan)
Dalam komunikasi antara komunikator dengan komunikan harus saling
mempercayai, kalau tidak ada unsur saling mempercayai, komunikasi tidak
akan berhasil, tidak adanya rasa saling percaya akan menghambat komunikasi.
b. Context (perhubungan, pertalian)
Keberhasilan komunikasi berhubungan erat dengan situasi atau kondisi
lingkungan pada waktu komunikasi berlangsung. Misalnya situasi atau
keadaan yang sedang kacau, maka komunikasi akan terhambat sehingga
komunikasi tidak berhasil.
c. Content (kepuasan akan isi berita)
Komunikasi harus dapat menimbulkan rasa kepuasan, antara kedua belah
pihak. Kepuasan ini akan tercapai apabila isi berita dapat dimengerti oleh
pihak komunikan dan sebaliknya pihak komunikan mau memberikan reaksi
atau respons kepada pihak komunikan dan sebaliknya pihak komunikan mau
memberikan reaksi atau respons kepada pihak komunikator.
d. Clarity (kejelasan)
Kejelasan yang dimaksud disini adalah kejelasan akan isi berita, kejelasan
akan tujuan yang hendak dicapai, kejelasan istilah-istilah yang dipergunakan
dalam mengoperan lambang-lambang.
e. Continuity and consistency (kesinambungan dan konsistensi)
Komunikasi harus dilakukan secara terus menerus dan informasi yang
disampaikan jangan bertentangan dengan informasi terdahulu.
f. Capability of audience (kemampuan pihak penerima berita)
Pengiriman berita harus disesuaikan dengan kemampuan dan pengetahuan
pihak penerima berita. Janganlah mempergunakan istilah-istilah yang
kemungkinan tidak dimengerti oleh pihak penerima berita.
g. Channels of distribution (saluran pengiriman berita)
Agar komunikasi berhasil, hendaknya dipakai saluran-saluran komunikasi
yang sudah biasa dipergunakan dan sudah umum.
Dari beberapa uraian diatas, sebagai pemeriksa kita dapat
memperhitungkan didalam segi apa kita mengalami kegagalan dalam
berkomunikasi, apakah kelemahan itu berada pada pihak pemeriksa ataukah
berada pada pihak yang diperiksa. Sehingga bila nyatanya kelemahan itu berada
pada pihak pemeriksa hendaknya segera diperbaiki dan bila kelemahan itu berada
pada pihak yang diperiksa sebagai pencari informasi dapat turut membantu dan
mau mengerti akan keadaan komunikan, dengan turut membangkitkan motivasi
serta dapat menciptakan suasana psikologis yang baik yang akhirnya sangat
membantu dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan.
Selanjutnya dalam proses komunikasi lisan yang biasa dilakukan dengan
wawancara yang bertujuan memperoleh informasi dalam kegiatan pemeriksa ini,
seorang pemeriksa dapat bertindak sebagai komunikator, sebagai komunikan atau
sebaliknya pula pihak yang diperiksapun dapat sebagai komunikator maupun
komunikan tergantung kepada proses komunikasi itu dilaksanakan.
B. Faktor-faktor Penghambat Komunikasi
1. Hambatan Sosio-antro-psikologis
Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional. Hal ini berarti seorang
komunikator harus dapat memperhatikan situasi ketika komunikasi itu
dilangsungkan, sebab situasi sangat berpengaruh terhadap jalannya komunikasi,
terutama situasi yang berhubungan dengan faktor sosiologis, antropologis dan
psikologis.
a. Hambatan sosiologis
Menurut Ferdinand tonnies seorang sosiolog, dikemukakan bahwa hubungan
manusia dalam masyarakat selalu bersifat Gemeinschaftlich atau
Gesellschaftlich. Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama dimana
anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat
alamiah, serta bersifat kekal, yang didasari atas rasa cinta dan persatuan batin
yang memang telah dikodratkan dalam suatu kehidupan manusia. Hubungan
gemeinschaft dapat dijumpai didalam kelompok keluarga, rukun tetangga,
kelompok kekerabatan dan sebagainya, sedangkan, Gesellschaft merupakan
ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek dan bersifat
sebagai suatu bentuk pikiran belaka.
Hubungan Gesellschaft dapat dijumpai didalam perjanjian yang berdasarkan
ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara orang-orang dalam suatu organisasi
di suatu perusahaan ikatan antara pedagang dan lain sebagainya.
Berkomunikasi secara hubungan Gemeinschatft seperti dengan istri, adik,
anak, bapak, RT tidak akan banyak menjumpai hambatan karena sifatnya
personal atau pribadi sehingga dapat dilakukan secara santai. Berbeda dengan
komunikasi secara Gesellschaft,bersifat tak pribadi, dinamis dan rasional,
seseorang yang bagaimanapun tinggi kedudukannya yang ia jabat, ia akan
menjadi bawahan orang lain, seperti dalam konteks kegiatan suatu
pemeriksaan yaitu seorang anggota pemeriksa harus patuh pada ketua timnya,
ketua tim harus patuh kepada pengawasnya dan pengawas itu harus patuh
kepada seorang penanggung jawab pemeriksaan yang tentu dalam
mengkomunikasikan hasil pemeriksaan yang dilakukan akan berbeda antara
komunikasi ke atasan dengan bawahan.
Demikianlah masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan
yang menimbulkan perbedaan dalam status sosial, agama, ideologi, tingkat
pendidikan, tingkat kekayaan dan lain sebagainya yang kesemuanya dapat
menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
b. Hambatan Antropologis
Manusia walaupun satu dengan lainnya sama sebagai makhluk sosial, tetapi
dapat berbeda dalam banyak hal. Berbeda dalam warna kulit, postur tubuh dan
kebudayaannya, gaya hidup, norma, kebiasaan dan bahasa.
Seperti telah diuraikan di muka bahwa komunikasi akan berjalan dengan
lancar apabila apa yang dikomunikasikan dapat diterima dan dipahami dengan
baik oleh komunikan. Pengertian dapat diterima dan dipahami disini ialah
diterima dalam pengertian received atau secara inderawi, dan dalam
pengertian accepted atau secara rohani. Agar yang dikomunikasikan dapat
diterima dan dipahami dengan baik, maka kita harus mengetahui dengan siapa
kita berkomunikasi. Pengertian baik disini adalah kita dapat mengetahui ras,
bangsa, suku apa sehingga dapat kita kenali kebudayaan gaya hidup, norma
kehidupan, kebiasaan dan bahasa dari orang yang kita ajak berkomunikasi,
sabagai contoh bila kita akan melakukan pemeriksaan, petugas pihak yang kita
akan melakukan pemeriksaan, petugas pihak yang kita periksa adalah orang
yang berasal dari suku jawa tentunya akan berbeda bila yang kita hadapi
adalah orang yang berasal dari suku batak baik gaya bicara, kebiasaan ataupun
kebudayannya. Demikian pula sebaliknya.
c. Hambatan Psikologis
Faktor psikologis seringkali menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini
seringkali komunikator kurang dapat memperhatikan kondisi psikologis
komunikan. Kondisi psikologis tersebut dapat berupa kondisi komunikan yang
sedang sedih, sedang bingung, sedang frustasi, sedang marah, sedang kecewa
dan kondisi psikologis lainnya. Untuk mengatasi hal itu sebaiknyalah seorang
pemeriksa mengetahui terlebih dahulu motif-motif yang mendasari pihak
komunikan sehingga dapat timbul kondisi diatas yang tentunya dapat
menyulitkan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan. Selain itu, faktor prasangka
(prejudice) juga merupakan salah satu hambatan dalam komunikasi, karena
dengan sikap ini akan dapat menimbulkan emosi sehingga kesimpulan yang
dibuat bisa menjadi tidak rasional sifatnya dan tidak obyektif lagi bahkan
dapat menjurus kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Prasangka sebagai faktor
psikologis dapat disebabkan oleh aspek antropologis dan sosiologis yang
berdasarkan pengalaman yang tidak enak yang pernah dialami oleh pihak
komunikan.

2. Hambatan Semantis
Pada hambatan sosio-antropologis, hambatan adalah terdapat pada diri
komunikan. Sedangkan pada hambatan semantis terdapat pada diri komunikator.
Faktor semantis adalah menyangkut bahasa yang dipergunakan oleh
komunikator sebagai alat untuk menyalurkan pikiran, ide ataupun perasaannya
kepada komunikan. Faktor semantis ini dapat disebabkan oleh karena kesalahan
dalam pengucapan ataupun dalam penulisan yang dapat mengakibatkan apa yang
dimaksud oleh komunikator, ditafsirkan berbeda oleh komunikan sehingga dapat
timbul salah pengertian yang pada akhirnya akan menimbulkan kesalahan dalam
berkomunikasi hal ini biasanya terjadi dikarenakan komunikator sering salah ucap
akibat bicaranya terlalu cepat sehingga ketika pikiran dan perasaan yang belum
mantap terformulasikan, sedangkan kata-kata sudah terlanjur keluar.
Hambatan semantis lainnya dapat disebabkan oleh karena aspek
antropologis, yakni suatu kata-kata yang sama bunyinya tetapi mempunyai makna
yang berbeda. Misalnya kata ”atos” dalam bahasa sunda akan mempunyai makna
yang berbeda seperti yang dimaksudkan dalam bahasa jawa. Hambatan lainnya
dalam komunikasi dapat berupa penggunaan kata-kata yang tidak tepat atau kata-
kata yang tidak biasa dipakai oleh umum, sebagai contoh penggunaan kata
merialitas yang dalam ilmu pemeriksaan adalah kata yang umum digunakan, akan
tetapi akan sulit dimengerti oleh orang yang tidak mengetahui ilmu pemeriksaan.
Bila kita akan memakai kata-kata seperti tersebut diatas, sebaiknya dijelaskan apa
yang dimaksud sebenarnya sehingga tidak terjadi salah tafsir.
Jadi, untuk menghilangkan hambatan semantis dalam komunikasi
seorang komunikator harus mengucapkan pernyataannya dengan jelas dan tegas,
memilih kata-kata yang tidak menimbulkan persepsi yang salah, dan disusun
dalam kalimat yang logis.

3. Hambatan Mekanis
Hambatan mekanis akan dijumpai bilamana komunikasi mempergunakan suatu
media. Misalnya ketika kita sedang berkomunikasi dengan mempergunakan
pesawat telepon atau band frekwensi, dimana terdapat gangguan berupa suara
yang gemerisik atau suara dari saluran orang lain yang masuk kepada media
komunikasi yang kita gunakan sehingga dapat mengganggu jalannya komunikasi
yang sedang kita lakukan. Untuk mengatasinya, kita dapat menelepon kembali
beberapa saat kemudian, atau memindahkan frekwensi lain pada band frekwensi.
Hambatan yang juga dapat kita jumpai yaitu huruf ketika yang buram
atau hilang hurufnya atau foto copy yang buram atau kurang jelas sehingga tidak
terbaca dan lain-lain. Untuk mengatasinya, dapat digunakan cara seperti pengganti
pita mesin tik atau memfoto copy ulang agar didapat hasil yang jelas dan dapat
dibaca.
Yang penting dalam komunikasi ialah pesan komunikasi dapat diterima
secara rohani (accepted) yang terlebih dahulu harus dipastikan dapat diterima
secara inderawi (received), dalam arti kata bebas dari hambatan yang bersifat
mekanis.

4. Hambatan Ekologis
Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh karena adanya gangguan dari
lingkungan pada saat terjadinya komunikasi. Contoh dari hambatan ekologis
adalah misal seorang pemeriksa yang meminta keterangan kepada bagian produksi
di pabrik, suara mesin di pabrik dengan sendirinya akan mempengaruhi
komunikasi yang sedang berlangsung, atau seorang pemeriksa yang ingin
mengetahui harga pasar mengenai suatu barang dengan cara menanyakan
langsung ke pasar, riuhnya pasar akan dapat menimbulkan terganggunya jalannya
komunikasi. Guna mengatasi hambatan itu, dapat dilakukan dengan
menghindarinya seperti mengajak komunikan ketempat yang jauh dari gangguan
ekologis tersebut.

C. Peranan Dari Masing-masing Unsur Dalam Komunikasi


Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif, dimuka telah diuraikan yaitu
yang dapat menimbulkan efek kognitif, efek konatif dan efek conasi, maka sangatlah
perlu untuk mengetahui peranan dari masing-masing unsur komunikasi sehingga
mendapatkan hasil yang diharapkan.
1. Peranan komunikator
Seperti telah dikatakan semula bahwa fungsi komunikator adalah
menyampaikan pesan yang berupa ide, gagasan, pikiran ataupun perasaan dengan
tujuan untuk mengubah sikap, pendapat ataupun perilaku dari komunikasi. Untuk
itu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam diri komunikator adalah:
1.1. Etos Komunikator
Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai
diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi
Kognisi : Proses yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar
Conasi : Aspek psikologi yang berkaitan dengan perbuatan
Dengan demikian, informasi atau pesan yang disampaikan komunikator
kepada komunikan akan komunikatif bila terjadi proses psikologis yang sama
antara orang-orang yang terlibat dalam proses itu. Beberapa faktor yang dapat
mendukung timbulnya etos adalah:
a. Kesiapan
Seorang komunikator harus menunjukkan bahwa ia telah mempersiapkan
diri sebelum komunikasi dilakukan, yaitu persiapan yang matang tentang
materi yang akan disampaikan sehingga ia tidak ragu-ragu lagi dalam
menyampaikan materi itu.
b. Kesungguhan
Bila seorang komunikator terlihat sungguh-sungguh dalam penyampaian
materi dalam komunikasi, maka dapat menimbulkan kepercayaan dari
pihak komunikan kepadanya.
c. Ketulusan
Di sini seorang komunikator harus memberikan kesan bahwa ia berhati
tulus dalam niat maupun perbuatannya, harus hati-hati dan selalu berusaha
menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada keadaan yang
mencurigakan.
d. Kepercayaan
Komunikator harus selalu dapat menguasai diri dengan segala situasi
dengan secara sempurna. Ia harus selamanya siap dalam menghadapi
segala situasi.
e. Ketenangan
Komunikator harus selalu tenang dalam penampilan dan tenang dalam
mengutarakan kata-kata. Hal ini harus diperlihara dan selalu ditunjukkan
pada setiap peristiwa komunikasi.

f. Keramahan
Komunikator harus selalu terlihat ramah yang dapat ditunjukkan dengan
ekspresi wajah, maupun dalam gaya dan cara pengutaraan paduan pikiran
dan perasaannya.
g. Kesederhanaan
Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik saja,
tetapi juga dalam hal penggunaan bahasa sehingga komunikan mengerti
akan apa yang dikomunikasikannya.
1.2. Sikap Komunikator
Sikap seorang komunikator tentulah sangat mempengaruhi keberhasilan suatu
komunikasi. Untuk itu terdapat beberapa sikap yang perlu diperhatikan oleh
seorang komunikator.
a. Reseptive
Yaitu sikap bersedia untuk menerima gagasan dari orang lain, berhati
terbuka, yang mana gagasan ini dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi
suatu gagasan yang sangat bermanfaat.
b. Selektif
Dalam menerima gagasan, harus selektif dalam menyerap gagasan ataupun
informasi yang diterima.
c. Dijestif
Merupakan kemampuan komunikator dalam mencernakan gagasan
ataupun informasi dari orang lain sebagai bahan bagi pesan yang akan
dikomunikasikannya dengan memahami makna yang lebih luas dan lebih
dalam.
d. Transmisif
Kemauan seorang komunikator dalam memilih kata-kata yang fungsional,
mampu menyusun kalimat secara logis, mampu memilih waktu yang tepat,
sehingga komunikasi yang ia lancarkan dapat menimbulkan efek yang
diharapkan.
2. Peranan Pesan
Agar peran yang disampaikan dapat dengan mudah dimengerti oleh pihak
komunikan, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi yaitu:
a. Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga pesan
itu dapat menarik perhatian pihak komunikan.
b. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang didasarkan pada pengalaman
yang sama antara pihak komunikator dengan pihak komunikan.
c. Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi.
d. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang
layak bagi yang dapat memberi dorongan kepada pihak komunikan untuk
berespon.

3. Peranan Media
Media komunikasi ikut menentukan dalam keberhasilan suatu komunikasi. Media
ini digunakan biasanya bilamana hubungan komunikator dan komunikan
berjauhan tempatnya, komunikan terlalu banyak dan dapat kedua-duanya. Media
ini dapat berupa telepon, surat, komputer terminal, radio, televisi, koran, majalah
dan lain-lain.
Dalam Ilmu Pemeriksaan, media yang sering dipergunakan untuk menunjang
kegiatan pemeriksaan yaitu surat (misalnya: konfirmasi), telepon, laporan hasil
pemeriksaan, Kertas Kerja Pemeriksaan.

4. Peranan Komunikan
Menurut Cutlip dan Center dalam bukunya Effective Public Relations (Dikutip
dari Onong Uchjana Effendi), untuk berhasilnya suatu komunikasi terdapat
beberapa faktor dalam diri komunikan yang harus diperhatikan oleh komunikator,
yaitu:
a. Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup bekerja, dan bermain
satu sama lain dalam jaringan lembaga sosial. Oleh karena itu setiap orang
adalah subyek dari berbagai pengaruh di antaranya adalah pengaruh dari
komunikator.
b. Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, menonton komunikasi yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi secara mendalam.
c. Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikan harus
menguntungkan bagi komunikan, kalau tidak ia tidak akan memberikan
tanggapan
Sementara itu, Chester I. Barnard menegaskan bahwa komunikan akan menerima
pesan yang disampaikan kepadanya kalau terdapat empat kondisi berikut ini
secara serempak, yaitu:
a. Ia benar-benar mengerti pesan yang disampaikan padanya.
b. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai
dengan tujuannya.
c. Pada waktu ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa putusannya itu berkaitan
dengan kepentingan pribadinya.
d. Ia mampu untuk menepatinya, baik secara mental maupun secara fisik.
Demikianlah uraian dari masing-masing peranan unsur komunikasi,
sehingga kita sebagai pemeriksa dapat melakukan introspeksi diri mengenai apa
yang telah dilakukan selama ini dalam berkomunikasi dengan pihak yang
diperiksa dan berupaya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar lebih
mudah memperoleh informasi atau fakta-fakta yang akurat, demi tercapainya
tujuan pemeriksaan.

D. Komunikasi Lisan
Komunikasi lisan adalah suatu bentuk komunikasi dimana dalam
menyampaikan pesan yang berupa ide, informasi, atau pikiran dengan menggunakan
lambang bahasa serta dilakukan secara tatap muka. Dalam ilmu pemeriksaan,
komunikasi lisan ini biasanya dilakukan dengan melalui wawancara ataupun dengan
menggunakan media pesawat telepon.
Keuntungan dari komunikasi lisan yang dilakukan secara tatap muka ialah:
a. Umpan balik berlangsung seketika, di sini komunikator dapat mengetahui
tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga. Hal ini dapat diketahui dari
jawaban yang diberikan, juga dapat diketahui dari ekspresi secara fisik yang dapat
menerjemahkan pikiran seseorang.
b. Komunikan dapat menanyakan pada komunikator bila terdapat masalah yang
tidak atau kurang dimengerti. Begitu pula sebaliknya, sehingga kesalahpahaman
dihindari.
c. Ada kejelasan antara kedua belah pihak sehingga merasa puas.
d. Dapat menimbulkan suasana kerja yang penuh keakraban sifatnya, kekeluargaan
dan demokrasi.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang komunikator
dalam komunikasi lisan ini, yaitu:
a. Bersikap empatik dan simpatik
b. Perlihatkanlah sebagai komunikator yang terpercaya
c. Berlaku sebagai pembimbing dan bukan pendorong
d. Kemukakanlah fakta dan kebenaran
e. Bercakaplah dengan sikap mengajak
f. Jangan bersikap super, lebih tahu, sok tahu
g. Jangan mengkritik
h. Jangan emosional
i. Bersikaplah secara meyakinkan.
Telah dikatakan di atas bahwa selain wawancara, telepon juga merupakan
alat untuk melakukan komunikasi secara lisan secara tidak langsung, karena
dipisahkan oleh jarak. Tetapi komunikasi ini dapat dikatakan kurang efektif dalam
rangka pencarian informasi yang diperlukan bagi kegiatan pemeriksaan karena
sifatnya terbatas, dalam arti sebagai komunikator kita kurang mampu untuk
menangkap ekspresi fisik ketika komunikasi itu dilancarkan yang dapat membantu
untuk menterjemahkan pikiran seseorang.

E. Komunikasi Tertulis
Dalam ilmu pemeriksaan, komunikasi tertulis ini dipergunakan biasanya
dalam surat (misalnya konfirmasi), pembuatan laporan, Kertas Kerja Pemeriksaan,
memo.
Berikut akan diuraikan mengenai hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam
pembuatan surat dan pembuatan laporan secara tertulis, dan yang berlaku secara
umum.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian itu adalah:
1. Penulisan Surat Yang Baik
Mengingat surat mempunyai peranan yang sangat berarti dalam kegiatan
pemeriksaan (misal untuk konfirmasi), maka dalam penulisan surat harus
diusahakan agar tidak menimbulkan salah pengertian yang dapat menjadi
rintangan dalam melakukan komunikasi. Penulisan surat dapat dikatakan baik
andaikata memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Surat ditulis dalam bentuk yang menarik
b. Surat mempunyai maksud dan tujuan
c. Surat ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti
d. Pakailah bahasa yang baik dan benar, baik susunan katanya, kalimatnya
maupun alineanya
e. Pergunakanlah bahasa sesuai dengan kemampuan pihak
penerima/pembaca
f. Surat harus dapat mencerminkan pengertian terhadap masalah-masalah
yang dihadapi oleh orang yang dituju
g. Hindarilah penggunaan kata, kalimat yang dipandang kurang perlu yang
dapat membingungkan pihak penerima atau pihak pembaca
h. Surat hendaknya menunjukkan budi bahasa serta kewibawaan pengirim
surat

2. Penulisan Laporan
Prosedur yang perlu diperhatikan dalam penyusunan laporan ialah:
a. Pengumpulan informasi, data
b. Pengolahan data
c. Perencanaan bentuk laporan yang akan dipergunakan
d. Penyusunan laporan, termasuk di dalamnya cara penulisan laporan,bentuk
susunan laporan
e. Pengiriman laporan yang dapat dilakukan melalui : pos, kurir, melalui alat
komunikasi lainnya, misalnya teleks.

Bagian-bagian laporan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan laporan tertulis


ialah:
a. Setiap laporan harus diberi nama, judul yang harus disesuaikan dengan materi
yang dilaporkan
b. Tanggal laporan, kepada siapa laporan itu akan disampaikan
c. Isi laporan
d. Penanggung jawab laporan, terdiri dari unsur-unsur:
- tanda tangan
- nama terang
- nama jabatan
- nomor NIP (khusus untuk Pegawai Negeri)

Cara membuat laporan yang baik yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai
berikut:
a. Laporan harus dibuat secara obyektif kebenarannya untuk itu diperlukan suatu
data processing
b. Laporan harus dibuat tetap waktunya sehingga mempunyai nilai tepat guna
c. Laporan sebaiknya ditulis singkat tetapi jelas
d. Pergunakanlah bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan materi yang
dilaporkan.
e. Urutan laporan harus diurut secara sistematis, secara kronologis, mudah
dibaca, mudah dicari dan mudah dimengerti
f. Berilah penjelasan seperlunya
g. Bila perlu, pergunakanlah gambar-gambar, skema, tabel, dan grafik seperlunya
h. Laporan hendaknya dibuat oleh pegawai yang mempunyai pengetahuan
tentang:
- masalah yang dilaporkan
- teknik membuat laporan yang baik dan yang benar

selain yang telah diuraikan diatas, dalam kegiatan pemeriksaan sering pula
digunakan Memo sebagai media komunikasi tertulis, yang biasanya digunakan
sebagai:
- Instruksi dari atasan langsung
- Menulis data yang yang diminta pihak pemeriksa kepada pihak yang
diperiksa
- Pesan singkat dari telepon
- Penegasan tentang sesuatu masalah
3.2. Latihan 2

1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi? Dan apa peranannya dalam


ilmu pemeriksaan?
2. Sebut dan jelaskan persyaratan utama untuk terjadinya komunikasi!
3. Apa penyebab terjadinya kegagalan komunikasi?
4. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penghambat komunikasi?

3.3. Rangkuman
Ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara
tegas asas-asas penyampaian pembentukan pendapat dan sikap.
Dalam komunikasi terdapat beberapa unsur komunikasi yang merupakan
persyaratan utama untuk terjadinya komunikasi. Unsur-unsur tersebut adalah:
- Kom : Orang yang menyampaikan pesan
unikator : Pernyataan yang didukung oleh lambang
- Pesan : Orang yang menerima pesan
- Kom : Sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
unikan komunikasi jauh tempatnya atau banyak jumlahnya.
- Medi : Dampak sebagai pengaruh dari pesan
a

- Efek
Kelima unsur ini merupakan unsur komunikasi yang mutlah harus ada dalam
setiap prosesnya.
Kegagalan komunikasi yang tidak menimbulkan efek yang diharapkan
dapat disebabkan oleh karena; (dikutip dari Onong Uchjana Effendi).
f. Komunikator tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, awam mengenal
pesan yang disampaikan, diragukan kredibilitasnya dan lain-lain.
g. Pesan yang dikomunikasikan tidak menarik bagi komunikan atau tidak
menyangkut kepentingan komunikan.
h. Media yang digunakan tidak tepat atau tidak sesuai dengan situasi proses
komunikasi dan kondisi komunikan.
i. Komunikan yang satu dengan komunikan yang lain serta komunikan dengan
komunikator menunjukkan ketidakserasian secara sosiologis, antropologis
atau psikologis.
j. Lingkungan sosial tidak mendukung komunikasi yang dilancarkan karena
faktor politik, hukum, kebudayaan, keamanan dan lain-lain.
4. KEGIATAN BELAJAR (KB) 3

WAWANCARA

4.1. Uraian, Contoh dan Non Contoh


Wawancara merupakan suatu proses interaksi yang sering dilakukan dengan
komunikasi secara lisan dengan menggunakan suatu medode tanya jawab yang
mempunyai tujuan. Dalam kegiatan pemeriksaan, selain observasi yang dilakukan
oleh petugas pemeriksa, wawancara juga selalu digunakan untuk mendapatkan data
ataupun fakta yang diperlukan untuk mencapai tujuan pemeriksaan.
Berikut ini akan dibahas mengenai: pengertian dari wawancara beserta fungsi
wawancara. Suasana psikologis antara Interviewer dan interviewee serta cara menjalin
relasi yang baik antara interviewer dengan interviewee. Selanjutnya akan dibahas pula
mengenai beberapa pedoman untuk melakukan wawancara dengan baik, menentukan
orang-orang yang hendak diwawancarai serta mengatur waktu wawancara, serta yang
terakhir adalah mengenal pedoman wawancara (interview guide), cara-cara dalam
mengajukan petanyaan dan beberapa faktor yang turut mendukung keberhasilan
wawancara.

A. Pengertian Wawancara
Metode wawancara atau metode interview mencakup cara yang dipergunakan
kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas, mencoba mendapatkan keterangan atau
pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan
muka dengan orang itu. Dalam hal ini, suatu percakapan meminta keterangan yang
tidak untuk tujuan suatu tugas tetapi hanya untuk tujuan ramah tamah, untuk sekedar
tahu saja, atau untuk ngobrol saja, tidak disebut wawancara. Juga kalau ada seorang
anak bertanya-tanya kepada orang tuanya mengenai aneka warna hal, biasanya juga
tidak disebut wawancara.
Wawancara adalah merupakan alat yang sangat baik untuk memperoleh
informasi, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, masa depan ataupun tanggapan
seseorang mengenai sesuatu hal. Juga berguna untuk menangkap aksi reaksi
seseorang dalam bentuk gerak-gerik dan ekspresi seseorang dalam pembicaraan
sewaktu tanya jawab sedang berjalan. Untuk itu sebagai orang yang mencari
informasi, seorang pemeriksa harus mengetahui dengan sungguh-sungguh dari pihak
yang diperiksa sehingga dapat turut membantu dalam pencarian informasi yang akan
diperoleh.
Selanjutnya, dalam proses wawancara selalu ada dua pihak yang masing-
masing mempunyai kedudukan yang berlainan, pihak yang satu dalam kedudukan
sebagai pencari informasi (information hunter, inrviewer), sedang pihak lain dalam
kedudukannya sebagai pemberi informasi (informan, interviewee)

1. Fungsi Wawancara
1.1. Sebagai metode primer
Bilamana wawancara dijadikan satu-satunya alat pengumpul data, atau
sebagai metode diberi kedudukan yang sama dalam serangkaian metode
pengumpulan data lainnya, maka ia dinamakan memiliki ciri sebagai metode
primer.
1.2. Sebagai metode pelengkap
Bila wawancara digunakan sebagai alat untuk mencari informasi yang tidak
dapat diperoleh dengan cara lain, ia akan menjadi metode pelengkap
1.3. Sebagai kriterium
Bila wawancara digunakan orang untuk tujuan menguji kebenaran dan
kemantapan suatu data yang telah diperoleh dengan cara lain seperti
observasi, daftar pertanyaan, testing.
Jadi, dengan ketiga fungsi di atas, kita dapat simpulkan bahwa wawancara adalah
merupakan alat yang kaya untuk memperoleh informasi ataupun data yang kita
perlukan.

2. Suasana Psikologis antara Interviewer dan Interviewee


Agar memperoleh informasi ataupun data yang sesuai dengan tujuan
pemeriksaan serta obyektif, maka pihak pemeriksa tidak boleh mengadakan
wawancara dengan sikap hanya beranjak dari kepentingan diri pribadi, tanpa
memperhitungkan situasi psikologis pihak yang diperiksa. Untuk menciptakan
situasi psikologis ini, ia tidak boleh mengabaikan perasaan dan reaksi pihak yang
dihadapi. Karena interviewee juga adalah seorang manusia yang juga mempunyai
sikap simpati dan antipati, serta bisa saja mempunyai kebebasan untuk menjawab
ataupun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Ia dapat saja
tersinggung oleh sikap dan kata-kata yang kurang baik dari pemeriksa, dapat
berbuat acuh tak acuh atau bahkan pula memberikan jawaban yang tidak
semestinya. Oleh sebab itu bukanlah pada tempatnya jika pencari informasi tidak
mau tahu menahu terhadap kenyataan itu, bahkan ia tetap mengharapkan
informasi yang sebanyak-banyaknya dan sebaik mungkin dari pihak yang
diperiksa.
Suasana psikologis dalam interview ditandai dengan suasana kerja sama
yang baik, penuh persahabatan, ramah tamah, saling menghargai, saling
mempercayai merasa aman, nyaman dan tidak merasa terancam. Suasana ini
penting diciptakan dalam suatu interview, karena hanya dalam suasana seperti
inilah informasi dapat diperoleh secara baik dan adekwat.
Dalam hal ini, tugas seorang interviewer tidak terbatas untuk
mendapatkan informasi saja, melainkan juga mencari jalan ke arah pembentukan
suatu wawancara yang sebaik-baiknya.

3. Cara Menjalin Relasi Yang Baik Dengan Pihak Yang di Wawancarai


Untuk dapat menciptakan suasana psikologis serta memperoleh informasi
yang optimal, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam wawancara:
3.1 Penampilan
Penampilan pewawancara akan menimbulkan kesan baik/buruknya pihak
pewawancara dari pihak yang diwawancara. Penampilan seorang pemeriksa
dalam berpakaian hendaknya disesuaikan dengan norma yang telah ditentukan
dan lazim berlaku. Kesan pertama dari penampilan pewawancara, yang
pertama-tama diucapkan dan dilakukan oleh pewawancara dan yang dilakukan
peawancara, sangatlah penting untuk merangsang sikap kerja sama dari pihak
yang diwawancarai. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pihak yang
diwawancarai lebih ingat akan pewawancara dan cara mewawancarai daripada
isi wawancaranya itu sendiri.
3.2 Adakan pembicaraan-pembicaraan pembukaan yang ramah tamah pada
permulaan wawancara.
3.3 Kemukakan tujuan daripada wawancara dalam bahasa yang mudah dimengerti
oleh interviewee dan kemukakan dengan segala kerendahan hati dan
bersahabat.
3.4 Tariklah minatnya ke arah pokok-pokok persoalan yang akan ditanyakan.
3.5 Timbulkanlah suasana yang bebas sehingga interviewee tidak merasa tertekan
baik oleh pertanyaan yang diajukan maupun oleh suasana wawancara yang
berlangsung. Di sini pihak pewawancara serta mengadakan rapport. Rapport
ialah situasi psikologis yang menunjukkan bahwa pihak yang diwawancara
bersedia bekerjasama, bersedia menjawab pertanyaan dan memberi informasi
sesuai dengan pikiran dan keadaan yang sesungguhnya. Sehingga dengan
adanya hubungan yang baik ini akan menunjukkan bahwa pihak yang
diwawancara merasa bebas untuk mengutarakan pandangan maupun
informasi. Dengan suasana wawancara seperti ini, maka pihak yang
diwawancara tidak hanya merasa bebas untuk memberikan informasi, bahkan
terangsang untuk berbicara.
3.6 Pewawancara tidak boleh memperlihatkan sikap yang tergesa-gesa, sikap
kurang menghargai jawaban atau sikap kurang percaya.
3.7 Berikanlah dorongan kepada pihak yang diwawancarai yang dapat
menimbulkan perasaan bahwa ia adalah orang yang penting dan diperlukan
sekali dalam kerjasamanya serta bantuannya untuk memecahkan suatu
informasi.

B. Beberapa Pedoman Untuk Melakukan Wawancara


1. Pertanyaan-pertanyaan Pembukaan
Pada taraf permulaan dari wawancara, hendaknya, pertanyaan berkisar
pada masalah yang netral dan ringan. Pertanyaan yang ’to the point’ dapat
mengejutkan pihak yang diwawancara, begitu pula pertanyaan yang terlalu berat.
Hal ini dapat mengakibatkan pihak yang diwawancara menjadi terkejut dengan
bersikap menarik diri, melawan atau bahkan menolak. Hal ini tentunya harus
selalu dihindari dalam suasana wawancara.
2. Gaya Bicara
Gaya bicara hendaknya tersusun menurut maksudnya, jangan berbelit-
belit. Karena kebanyakan orang yang kita interview akan selalu waspada dengan
siap mereka berhadapan. Lagi pula gaya bicara yang berbelit-belit dapat
menimbulkan pihak yang diwawancara untuk berbuat hal yang sama, ia akan
memberikan jawaban yang berbelit-belit dan berputar-putar sehingga dapat
mengalami kesukaran dalam menangkap ujung pangkal dari isi pembicaraannya
serta dapat kurang dipercaya kebenarannya. Akan sangat baik sekali bila pihak
interviewer berbicara dengan terus terang, dengan kalimat yang tersusun dengan
baik, secara sederhana dan memokok.

3. Nada dan Irama


Kata-kata yang monoton, tidak ada nadanya dapat menimbulkan suasana
yang membosankan dalam interview. Nada berfungsi agar orang yang kita
interview dalam keadaan ’bangun’, juga dapat mengisyaratkan bagian mana dari
pembicaraan yang penting dan meminta perhatian yang lebih banyak. Selain nada,
irama bicara juga dapat membantu dalam kelancaran wawancara. Jangan bicara
terlalu lambat ataupun terlalu cepat sehingga kesannya mendapat pertanyaan yang
bertubi-tubi yang akibat lebih jauhnya lagi pihak yang diwawancara kurang
memiliki kesempatan untuk menyelesaikan suatu jawaban secara lengkap.

4. Sikap Bertanya
Sikap wawancara idealnya adalah suasana yang dapat menimbulkan
suasana penuh keakraban, suasana yang bebas dan tidak kaku serta penuh
kehangatan. Suasana ini tidak akan diperoleh bilamana:
a. Pewawancara bersikap sebagai seorang polisi yang
menginterogasi seorang tertuduh.
b. Pewawancara bersikap sebagai seorang maha guru yang sedang
memberikan ceramah.
c. Pewawancara bersikap kurang menghargai, kurang percaya atau
berulang-ulang memberikan celaan terhadap jawaban yang kurang disenangi.

5. Mengadakan Paraphrase
Dalam melakukan wawancara tidak jarang akan kita jumpai seorang
pihak yang diwawancarai mengalami kesukaran untuk merumuskan isi pikirannya
dengan secara teratur, lengkap dan sistematis. Peranan pewawancara di sini adalah
harus dapat membantu pihak yang diwawancara agar dapat merumuskan
keterangannya dalam kata-kata yang lebih tepat dan berarti. Interviewer di sini
seolah-olah sebagai penterjemah bebas baik terhadap pihak yang diwawancarai
maupun terhadap dirinya sendiri. Tetapi hal ini harus dilakukan secara hati-hati,
jangan sampai mengubah hitam menjadi putih atau sebaliknya. Karena dengan
melakukan paraphrasing ini dapat menggiring orang ke suatu kesimpulan yang
tidak ia maksudkan, tanpa orang itu menyatakan keberatan. Karena itu dalam
paraphrasing orang tidak boleh bermaksud lain kecuali mengadakan paraphrase
itu sendiri. Paraphrase bukanlah berarti menarik suatu kesimpulan, karena dalam
wawancara tidak pernah mengandung kesimpulan untuk pihak yang diwawancara.

6. Mengadakan Probing
Probing adalah penggalian yang lebih dalam suatu wawancara. Hal ini
dapat dilihat bilamana si interviewee telah memberikan pernyataan/jawaban yang
cukup jelas, akan tetapi pihak pewawancara ingin mengetahui lebih dalam lagi
mengenai jawaban yang telah diberikan itu. Dengan melakukan probing dapat
diperoleh keterangan yang lebih mendetail dan selengkap-lengkapnya melalui
pertanyaan-pertanyaan yang memokok.

7. Membuat Catatan
Buatlah catatan dari hasil wawancara yang diperoleh agar mendapatkan
data yang seobyektif mungkin bilamana situasinya memungkinkan untuk
melakukan pencatatan. Karena memang ada orang yang tidak menginginkan hasil
wawancara dicatat itu dicatat secara teliti serta ada pula yang merasa bahwa hal
ini dapat mengganggu kelancaran jalannya wawancara, yang akibat lebih
lanjutnya pihak yang diwawancara dapat bersikap curiga dan ragu-ragu untuk
menjawab setiap pertanyaan. Begitu pula dalam penggunaan alat perekam,
sebaiknya sebagai pihak pewawancara terlebih dahulu harus permisi lebih dahulu
agar tidak menimbulkan kesan yang tidak baik dan kesan mencurigakan.
Kekurangan-kekurangan dari tidak adanya pencatatan seketika:
7.1 Dari pihak interview
a. Dapat menjadi beban yang sangat berat untuk mengingat semua
pembicaraan, sehingga data yang diperoleh dapat terlupakan, hilang.
b. Kecuali terlupakan, data yang dicatat dari ingatan juga sering kehilangan
sarinya, karena pewawancara melakukan pencatatan dari ingatan yang
cenderung untuk menyingkat dan memadatkan data.
c. Data yang dicatat dari ingatan, terutama dengan waktu antara yang agak
lama, akan banyak mengandung banyak kesalahan.

7.2 Dari pihak interviewee


Dapat menimbulkan kesan bahwa jabatan-jabatan yang diberikan tidak penting
dan tidak berharga.

8. Menilai Jawaban
Ketelitian daripada pencatatan dan paraphrase bergantung kepada
ketepatan penilaian interviewer terhadap jawaban-jawaban ataupun informasi
yang diberikan interviewee. Perlu tidaknya meniadakan probing atau tepat
tidaknya suatu probing dilakukan bergantung juga kepada baik buruknya
interviewee dalam menilai jawaban. Oleh karena itu, keberhasilan dari hasil
interview tercermin dari kebenaran menilai jawaban, dan juga oleh karena tidak
semua interviewer maupun interviewee dapat menangkap dengan tepat isi
pembicaraan orang lain, maka sudah sewajarnyalah penilaian jawaban yang tepat
adalah merupakan kunci dari suksesnya buat interview.
Terdapat 2 hal penting sehubungan dengan menilai jawaban, yaitu:
8.1 Sikap phenomenologik
Artinya kesediaan untuk ”menanggalkan” semua preconceptions, prejudice,
dan motiv-motiv subyektif lainnya.
8.2 Sikap Faktual
Artinya tidak terkurung oleh jalan reasoningnya sendiri serta tidak menarik
kesimpulan tanpa dasar sesuatu fakta yang obyektif. Orang yang terikat oleh
jalan berpikirnya dalam menerima informasi serta tidak menarik kesimpulan
tanpa dasar sesuatu fakta yang obyektif, menandakan bahwa ia telah
meletakkan kerangka-kerangka berfikir dan mengharapkan. Jika ada
pernyataan yang begini, tentu alasan atau kelanjutannya adalah begitu. Sikap
seperti itu dapat menimbulkan kesimpulan penilaian yang salah. Baik jalan
berfikir maupun isi, alasan, serta kesimpulannya dalam interview sebagai
metode pengumpulan fakta harus diserahkan sendiri kepada interviewee.

C. Menentukan Waktu dan Orang Yang Hendak diwawancarai


1. Menentukan Waktu
Sebelum melakukan wawancara, tentulah antara pihak yang akan
diwawancarai harus membuat janji terlebih dahulu. Dalam membuat janji ini
sebaiknya pewancara menyerahkan pada pihak yang hendak diwawancara kapan
ia mempunyai waktu untuk diwawancarai dan bila telah ditetapkan maka
pewawancara harus menepati janji tepat pada waktunya. Dan sekiranya
pewawancara berhalangan datang, hendaknya pihak yang diwawancarai diberitahu
jauh-jauh hari sebelum waktu yang telah ditentukan supaya pihak yang akan kita
wawancarai tidak kecewa dan tidak menimbulkan kesan menyepelekan pihak
yang akan diwawancarai. Ketika pemberitahuan itu dilakukan sebaiknya
ditentukan hari pengganti. Untuk kasus-kasus tertentu memang diperlukan suatu
kedatangan yang mendadak tanpa membuat janji terlebih dahulu (khususnya
dalam pemeriksaan yang sifatnya memerlukan pendadakan).

2. Menentukan orang yang akan diwawancara


Sebagai orang yang hendak mencari informasi, sudah selayaknyalah
untuk menyeleksi terlebih dahulu orang-orang yang dapat diandalkan/kompeten
untuk memberikan informasi yang dapat diandalkan sehingga tujuan dari tugas
pemeriksaan dapat dicapai.

D. Pedoman Wawancara (Interview Guide)


Wawancara tentunya dapat lancar bila pewawancara dapat merumuskan
pertanyaannya dengan sempurna, dan hal itu tergantung dari isi pertanyaannya.
Sedangkan isi dari pertanyaan erat hubungan dengan pengetahuan pencari informasi
tentang pokok permasalahan wawancara. Seorang pencari infromasi yang tidak
menguasai pokok permasalahan kadangkala juga dapat juga mengalami kehabisan
pertanyaan yang mengakibatkan jalannya wawancara akan mengalami kemacetan.
Reaksi yang dapat dilakukan oleh pewawancara ialah dapat dengan melihat kembali
catatannya, dan menanyakan kembali salah satu atau beberapa pertanyaan yang sudah
ditanyakan, ditambah dengan permintaan untuk lebih banyak memberikan keterangan
secara mendetail. Sehingga dengan demikian ia bisa mengambil waktu untuk
memikirkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dan menyambung wawancaranya
kembali. Bila hal seperti ini sering dilakukan tentu dapat memberikan kesan yang
kurang baik dari pihak yang diwawancara, seolah-olah pewawancara kurang
teramping dalam melakukan wawancara.
Untuk menghindari gejala kehabisan pertanyaan, maka sudah sewajarnyalah
pewawancara mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan suatu daftar dari pokok-
pokok yang sebaiknya ditanyakan yang berhubungan dengan pokok permasalahan
disesuaikan dengan tujuan tugas semula. Catatan yang mengandung daftar dari
pokok-pokok mengenal permasalahan yang ditanyakan dinamakan pedoman
wawancara (interview guide).

Dengan demikian, fungsi dari interview guide adalah:


1. Memberikan bimbingan secara memokok mengenai permasalahan
yang akan ditanyakan.
2. Menghindari kemungkinan lupa akan beberapa persoalan, yang
berhubungan dengan masalah yang akan diperiksa.
3. Meningkatkan interview sebagai suatu metode yang hasilnya
memenuhi prinsip komparabilitas. Interview guide biasanya hanya dalam bentuk
catatan-catatan garis besar dan singkat tentang apa-apa yang akan ditanyakan.
Inteview guide ini kadang-kadang perlu dihafalkan di luar kepala. Walau
demikian seorang pemeriksa perlu melihat kembali guide itu setiap saat. Materi
soal yang akan ditanyakan tergantung kepada tujuan dari pemeriksaan, dan untuk
menyusun guide ini seorang pemeriksa harus benar-benar menguasai ruang
lingkup pemeriksaan dan telah mempunyai gambaran yang tegas dan konkrit
mengenai permasalahan yang akan diperiksa.

E. Cara-cara Mengajukan Pertanyaan


Setelah seorang pemeriksa menyusun interview guide sebelum terjun ke
lapangan, maka selanjutnya terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mengajukan pertanyaan. Beberapa hal tersebut adalah:
a. Jangan mengajukan pertanyaan yang mungkin dijawab ”Ya”,
”tidak”, ”boleh”.
Untuk menghindari jawaban-jawaban seperti itu mulailah pertanyaan itu dengan
kata-kata:
- Bagaimana...
- Apakah...
- Mengapa...
Walaupun demikian dalam hal-hal tertentu yang sifatnya meminta, penegasan,
dapat saja pertanyaan diawali dengan kata-kata, misalnya benarkah ... dan
seterusnya.
b. Jangan mempertentangkan hanya mencari informasi yang
sifatnya menuduh. Ingat tugas pemeriksa hanya mencari informasi yang
berhubungan dengan kegiatan pemeriksaan
c. Jangan mempertentangkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh
pihak interviewee.
d. Jangan memotong pembicaraan ataupun memberi komentar-
komentar. Meskipun demikian, dalam hal tertentu dapat dibenarkan. Umpamanya
pembicaraan yang berbelit-belit atau menyimpang dari pokok permasalahan yang
ditanyakan dan bilamana hal ini terjadi, maka pemeriksa dapat melakukannya
dengan secara sopan.
e. Sebaiknya tidak mengajukan pertanyaan yang banyak
mengandung persoalan. Usahakanlah agar satu pertanyaan hanya mengandung
satu persoalan. Tetapi ada kemungkinan untuk melakukan hal itu, jika pertanyaan
berkaitan. Misalnya: mengapa hal itu terjadi, dan bagaimana penanggulangannya?
f. Kesan sok tahu harus dihilangkan, hal ini haruslah dijaga
walaupun seorang pemeriksa memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah
yang diungkapkannya.
g. Keterlibatan dalam kegiatan ini tidak boleh terlalu aktif, sehingga
menimbulkan kesan seperti diskusi.
h. Suasana santai harus tetap diperlihara.
i. Menguasai terlebih dahulu bahan pertanyaan dan masalah yang
erat hubungannya dengan pokok permasalahannya. Beberapa bahan pertanyaan
yang telah ada selanjutnya dapat dibuat bentuk-bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Pertanyaan untuk menentukan atau penolakan
Pertanyaan ini digunakan untuk menyatakan agar yang diperiksa
melanjutkan penjelasannya, atau untuk menolak agar dikemukakan penjelasan
lain.
Misalnya : ”Saya setuju dengan apa yang telah Bapak/Ibu katakan, tetapi
mengapa hal itu bisa terjadi?””
”Apa yang Bapak/Ibu katakan adalah benar, tetapi maksud
saya adalah ...?”
b. Pertanyaan diajukan sebagai statement penjelasan untuk
menstimulir perasaan
Pertanyaan ini lebih merangsang perasaan, pengertian dan pentingnya
ucapan-ucapan yang diperiksa. Pertanyaan ini sebetulnya lebih bersifat
statement (pernyataan) dari jawaban yang diberikan oleh pihak yang diperiksa,
dengan maksud untuk menegaskan kembali ucapan dari pihak yang diperiksa
sehingga informasi yang diperoleh dapat diyakini kebenarannya.
c. Pertanyaan-pertanyaan dalam Cross examination
Bentuk pertanyaan ini biasanya digunakan dalam suatu
penyelidikan,yang biasanya digunakan oleh Jaksa reserse untuk
menginterogasi seorang tertuduh. Bentuk pertanyaan ini sewaktu-waktu dapat
juga digunakan dalam ilmu pemeriksaan. Tetapi sejauh masih ada cara lain
sebaiknyalah bentuk pertanyaan ini dihindari oleh pemeriksa, karena dengan
bentuk pertanyaan ini dapat menimbulkan ketegangan sehingga dapat
mengganggu suasana psikologis yang seharusnya dapat dibentuk dengan baik.
Contoh pertanyaan ini sebagai berikut:
“Berapa penjualan barang A bulan ini?”, ”berapa piutang?”, ”Beberapa PPn-
nya?”, ”Berapa sudah dilunasi?” Tenggang waktu antara satu pertanyaan
dengan pertanyaan berikutnya harus cepat, sehingga tidak memungkinkan bagi
pihak yang diwawancara mengatur jawaban yang dipalsukan. Cara ini dapat
efektif untuk pemeriksaan yang sifatnya tertentu saja, tetapi tidak menutup
kemungkinan pihak yang diwawancarai menutup penjelasan berikutnya.
Dengan demikian uraian cara-cara dalam mengajukan pertanyaan
haruslah diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh seorang pemeriksa,
sehingga informasi yang diperoleh akan sesuai dengan tujuan pemeriksaan.

F. Beberapa Faktor Yang Mendukung Kelancaran Wawancara


Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh seorang pemeriksa
sebagai pewawancara, yaitu:
1. Kode Etik Pewawancara:
1.1 Jujur dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pertanyaan tidak
menyimpang dari tujuan pemeriksaan.
1.2 Cermat.
1.3 Obyektif dalam menyampaikan pertanyaan, netral, tidak mempengaruhi
interfviewee dalam menangkap maksud pertanyaan maupun penjawabnya.
1.4 Jujur dalam mencatat jawaban yang diberikan oleh pihak interviewee.
1.5 Tulislah jawaban interviewee selengkapnya, seperti yang diucapkannya.
Tulisan jelas, terbaca oleh siapapun.
1.6 Menaruh perhatian dan penuh pengertian terhadap interviewee.
1.7 Sanggup membuat pihak interviewee tenang dan bersedia untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan.
1.8 Hargailah interviewee. Apapun tanggapan seorang pemeriksa tentang
interviewee harus dilupakan, karena ia sangat penting bagi pemeriksa.

2. Sikap Pewawancara
2.1 Netral
Tugas seorang pewawancara adalah merekam informasi tanpa menghiraukan
apakah keterangan itu baik, tidak baik, menjemukan atau menyenangkan bagi
pemeriksa, tidak menentang ataupun beraksi terhadap jawaban interviewee,
baik dengan kata-kata ataupun dengan gerakan, misalnya menyatakan tidak
setuju, heran, merendahkan dan sebagainya. Faktor sugesti harus dihindarkan.
2.2 Adil, tidak memihak. Sopan dan hormat kepada pihak yang diwawancara.
Semua pihak yang kita wawancara harus diperlakukan baiknya, siapapun dia.
Sehingga dengan sikap tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pihak
yang diwawancara dalam menyatakan pendapatnya.
2.3 Hindarkan ketegangan. Wawancarailah secara obrolan. Hindarilah kesan
seolah-olah pihak yang diwawancara sedang diuji. Namun harus hati-hati,
jangan sampai interviewee bercerita kian kemari serta harus sopan dalam
mengembalikan perhatiannya kepada pertanyaan semula.
2.4 Ramah. Sikap ramah sangat penting, bermuka cerah, tidak malas sehingga
dapat memberikan kesan yang baik bagi pihak yang diwawancarai
3. Taktik Wawancara
3.1 Usahakan tidak ada orang lain dalam ruangan ketika wawancara sedang
berlangsung, baik pihak yang diwawancara ataupun pewawancara tidak perlu
membawa teman.
3.2 Jawaban pertama atau reaksi pertama terhadap satu pertanyaan yang diberikan
adalah pendapat yang sesungguhnya. Bilamana interviewee berubah pendapat
setelah pindah ke pertanyaan lain, jawaban atas pertanyaan tadi jangan
dihapus.
3.3 Jangan terburu-buru dalam menuliskan jawaban ”tidak tahu” tetapi
sebenarnya interviewee sedang berfikir karena itu interviewer harus sabar
menunggu.
3.4 Pada jawaban “ya” atau “tidak”, sering interviewee menambahkan keterangan
“ya”, kalau ... ”, “ya”, tetapi tidak ...”, dalam hal ini harus ditulis pula.
3.5 Semua komentar interviewee harus ditulis dengan lengkap.
3.6 Jawaban interviewee harus dimengerti maksudnya sebelum dicatat, bilamana
belum jelas harus ditanyakan lagi. Jawabannyapun harus yang bersifat khusus
jangan yang bersifat umum dan mempunyai dua atau lebih arti.
3.7 Sedapat mungkin diusahakan interviewer sambil menulis tetap berbicara serta
berikan pertanyaan yang mengajak interviewee untuk berfikir, karena dengan
membiarkan interviewee menunggu terlalu lama dapat menimbulkan
kebosanan.
3.8 Sebelum selesai wawancara dan berpamitan, teliti kembali apakah semua
pertanyaan sudah diajukan ataukah belum, karena kemungkinan ada pula yang
terlewati.

4.2. Latihan 3
1. Jelaskan, apa yang dimaksud dengan wawancara!
2. Jelaskan fungsi dari wawancara!
3. Bagaimana cara menjalin relasi yang baik dengan pihak yang diwawancarai?
4. Jelaskan beberapa pedoman untuk melakukan wawancara!

4.3. Rangkuman
Wawancara adalah merupakan alat untuk memperoleh informasi, pendapat,
keyakinan, perasaan, motivasi, masa depan ataupun tanggapan seseorang mengenai
sesuatu hal.
Fungsi Wawancara
 Sebagai metode primer
Bilamana wawancara dijadikan satu-satunya alat pengumpul data, atau
sebagai metode diberi kedudukan yang sama dalam serangkaian metode
pengumpulan data lainnya, maka ia dinamakan memiliki ciri sebagai metode
primer.
 Sebagai metode pelengkap
Bila wawancara digunakan sebagai alat untuk mencari informasi yang tidak
dapat diperoleh dengan cara lain, ia akan menjadi metode pelengkap
 Sebagai kriterium
Bila wawancara digunakan orang untuk tujuan menguji kebenaran dan
kemantapan suatu data yang telah diperoleh dengan cara lain seperti
observasi, daftar pertanyaan, testing.
5. TEST FORMATIF

Pilihlah salah satu jawaban yang tepat!


1. Di bawah ini adalah unsur-unsur komunikasi, kecuali . . .
a. Komunikator
b. Komunikan
c. Etika
d. Media
e. Efek
2. Seorang komunikator harus dapat menguasai diri dengan segala situasi secara
sempurna serta siap menghadapi segala situasi. Hal tersebut merupakan salah satu
faktor dalam etos komunikator, yaitu . . .
a. Keramahan
b. Kesederhanaan
c. Kesungguhan
d. Ketenangan
e. Kepercayaan
3. Budi gagal menyampaikan pesan karena dia kesulitan untuk menyampaikannya
dalam bahasa yang mudah dipahami. Hal tersebut menunjukkan bahwa ia belum
memiliki salah satu sikap komunikator yang baik, yaitu . . .
a. Reseptif
b. Selektif
c. Dijestif
d. Transmisif
e. Komunikatif
4. Setelah mendengar penjelasan rekan satu tim, Agus mau merenungkan kembali dan
sadar bahwa sikapnya selama ini kurang berkenan di hati rekan-rekan yang lain.
Namun demikian, dia masih enggan untuk merubah sikapnya tersebut. Pesan yang
diterima Agus membawa efek pada . . .
a. Emosi
b. Kognitif
c. Afektif
d. Konatif
e. Tingkah laku
5. Komunikasi dua orang pegawai yang berbeda kedudukan pada bagian yang berbeda
merupakan contoh komunikasi . . .
a. Ke bawah
b. Lateral
c. Horizontal
d. Diagonal
e. Vertikal
6. Seseorang yang meiliki kedudukan tinggi suatu saat akan menjadi bawahan orang
lain. Situasi tersebut seringkali menjadi penghambat komunikasi,yaitu hambatan . . .
a. Sosiologis
b. Psikologis
c. Antropologis
d. Ekologis
e. Mekanis
7. Faktor keberhasilan komunikasi berhubungan dengan situasi atau kondisi
lingkungan pada waktu komunikasi berlangsung, dikenal dengan istilah . . .
a. Contex
b. Continuity
c. Content
d. Clarity
e. Credibility
8. Seseorang menyampaikan sesuatu dengan emosi meledak-ledak. Hal tersebut adalah
reaksi frustasi yang berupa . . .
a. Menarik diri
b. Meninggalkan persoalan
c. Meninggalkan situasi
d. Mempertahankan diri
e. Tingkah laku agresif
9. Dorongan untuk menjadi yang terbaik merupakan wujud dari kebutuhan . . .
a. Aktualisasi diri
b. Penghargaan
c. Sosial
d. Rasa aman
e. Primer
10. Dorongan untuk menjadi yang terbaik merupakan wujud dari kebutuhan . . .
a. Komunikator
b. Pesan Komunikasi
c. Media Komunikasi
d. Penerima Pesan
e. Gaya Kepemimpinan
11. Dua faktor penting dalam human relation adalah . . .
a. Etika dan simpati
b. Etika dan empati
c. Imitasi dan sugesti
d. Etika dan sugesti
e. Imitasi dan empati
12. Mengucapkan kalimat secara jelas dan logis merupakan salah satu upaya untuk
mengurangi hambatan . . .
a. Sosiologis
b. Psikologis
c. Antropologis
d. Ekologis
e. Semantis
13. Wawancara merupakan satu-satunya cara untuk mengumpulkan data merupakan
fungsi wawancara sebagai . . .
a. Kriterium
b. Metode Primer
c. Metode Sekunder
d. Metode Pelengkap
e. Content
14. Di bawah ini adalah sikap pewawancara yang baik, kecuali . . .
a. Ramah
b. Menghindari ketegangan
c. Netral
d. Memihak
e. Adil
15. Tidak menarik kesimpulan tanpa dasar fakta yang obyektif merupakan cerminan
sikap . . .
a. Phenomenologik
b. Probing
c. Paraphrase
d. Faktual
e. Netral
6. KUNCI JAWABAN TEST FORMATIF
1. C 6. A 11. B
2. E 7. A 12. E
3. D 8. E 13. B
4. C 9. A 14. D
5. D 10. E 15. C

7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Cocokkan hasil jawaban dengan kunci yang terdapat di bagian belakang modul ini.
Hitung jawaban Anda dengan benar. Kemudian gunakan rumus untuk mengetahui
tingkat pemahaman terhadap materi psikologi pemeriksaan.

Jumlah Jawaban Yang Benar


TP = x 100%
Jumlah Keseluruhan Soal

Apabila tingkat pemahaman Anda dalam memahami materi yang sudah dipelajari
mencapai

91% s.d. 100% : Amat Baik


81% s.d. 90% : Baik
71% s.d. 80,99% : Cukup
61% s.d. 70,99% : Kurang

Bila tingkat pemahaman belum mencapai 81% ke atas (kategori “Baik”), maka
disarankan mengulangi materi.

You might also like