You are on page 1of 4

KETIKA KEMATIAN MEMBAWA BERKAH

Oleh M.YUNIS

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang, begitulah pepatah Minang. Setiap
daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda, walaupun tujuan mereka sama akan tetapi
cara mereka dalam mengekspresikan budaya tersebut penuh dengan kreasi, yang mereka
pandang mulia dan baik, walaupun tidak sesuai dengan kelogisan.
Di ranah Minang ditemukan tradisi-tradisi yang tergolong unik dan penuh kreasi.
Tradisi-tradisi ini berupa upacara-upacara perkawinan, upacara kematian, pengangkatan
penghulu dan lain sebagainya, yang tentunya menempati posisi yang sangat penting bagi
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Namun tulisan kali ini akan membahas
tadisi upacara perkawinan yang harus dipandang dengan pemikiran terbalik, dan bukan
melihat untung ruginya melaksanakan upacara tersebut.
Dari dahulu Minangkabau, terkenal dengan kebudayaannya yang unik tetapi
bersahaja. Salah satu keunikan dapat kita perhatikan dalam memperingati upacara
kematian yang masing-masing Nagari yang berbeda, mempunyai cara dan corak yang
berbeda pula untuk merealisasikannya. Di Nagari Toboh Gadang (kesatuan wilayah
terkecil dalam kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Nagari) Pariaman misalnya, dalam
memperingati upacara kematian, terkenal dengan ’’sahari manamaik (hari pertama),
manduo hari (hari kedua), manigo hari (hari ketiga), manujuah hari (hari ketujuh), duo
kali tujuah (hari keempat belas), 40 hari dan 100 hari’’. Upacara ini, merupakan rentetan-
rentetan pelaksanaan upacara kematian di Nagari tersebut, yang mana dilaksanakan
setelah mayat disemayankan.
Pada pelaksanaan upacara pertama hingga upacara selanjutnya, dilantunkan ayat-
ayat suci Al-Qur’an, dengan memuja dan memuji kebesaran Allah ta’ala. Uapacara ini,
dilakukan dengan mengundang ‘’urang siak’’ yaitu perangkat-perangkat surau (mesjid) di
antaranya Tuanku, Imam, Labai, Khatib dan Bilal, serta diikuti oleh pegawai-pegawai
surau lainnya. Mereka inilah nantinya yang akan membacakan ayat-ayat suci tersebut,
mereka diundang selama tiga malam pelaksanan upacara ini yaitu malam pertama, kedua
dan ketiga. Lantunan-lantunan ayat Al-Qur,an terus dibacakan hingga mencapai zikir
kemudian ditutup dengan makan bersama. Sebelum mereka pulang ketempat masing-
masing, terlebih dahulu mereka diberi sedekah berupa uang yang berkisar Rp 10.000,00
per orang.
Setelah hari kematian anggota keluarga tersebut mencapai 7 hari, para urang siak
diundang kembali untuk melaksanakan upacara manujuah hari. Setelah 14 hari kematian
mereka diundang untuk melaksanakan upacara duo kali tujuah (14 hari ), begitu juga
dalam pelaksanan upacara 40 hari dan 100 hari kematian.
Meskipun rentetan-rentetan upacara tersebut bertujuan sama, yaitu meminta do,a
keselamatan kepada Allah SWT terhadap kerabat yang sudah meninggal, namun
pelaksanaanya berbeda satu sama lainnya. Pada saat sahari manamaik (pada hari pertama
kematian), pemfokusannya lebih banyak kepada pembacaan ayat Al-Qur,an hingga zikir
duduk dan selesailah upacara pertama. Orang yang mengahadiri upacara ini adalah
kerabat-kerabat dekat saja, yang diakhiri dengan makan bersama, kemudian para urang
siak diberi sedekah berupa uang.
Pada malam kedua upacara kembali dilanjutkan. Pada saat ini, upacara sudah
mulai dihadiri banyak orang, termasuk masyarakat sekitar yang ikut berkabung.
Pelaksanaan upacara ini, sama halnya dengan yang di atas, akan tetapi ada sedikit
tambahan, ‘’urang siak’’ melaksanakan zikir dari duduk hingga zikir dengan berdiri.
Upacara ini, juga ditutup dengan makan bersama, akan tetapi pada malam ini urang siak
tidak diberi sedekah.
Pada malam ketiga, persiapan upacara ini dipermatang lagi. Pada siang harinya
dilakukan pembuatan lemang (beras yang dimasak di dalam bambu) oleh tuan rumah dan
dibantu oleh masyarakat sekitar. Tujuannya ialah untuk dihidangkan pada malam hari
pelaksanaan. Pelaksanannya lebih kurang sama dengan upacara sebelumnya.
Pada pelaksanan menujuh hari juga dilakukan pembuatan lemang. Di dalam
pelaksanaannya semakin jauh berbeda dengan di atas. Sebelum upacara dibuka
dilakukanlah pidato Ada yang dinamakan dengan Pasambahan antara tuan rumah dengan
urang siak , tapi diwakili oleh satu orang saja baik dari pihak uarang siak mau pun tuan
rumah. Dalam pidato ini, tuan rumah mengemukakan tujuannya mengundang urang siak.
Setelah pidato selesai, maka dimulailah upacara mengaji (melantunkan ayat-ayat
Alquran) tersebut hingga zikir, baik zikir duduk maupun zikir berdiri. Setelah selesai
makan bersama, upacara juga ditutup dengan pidato Pasambahan kembali, kali ini pidato
berasal dari urang siak, mereka mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah untuk
pulang ke rumah masing-masing.
Begitu juga dengan upacara 14 hari, 40 hari, dan 100 hari. Perbedaannya hanya
terletak pada undangan yang datang, karena undangan tersebut sudah berasal dari
daerah-daerah yang jauh, tetapi masih berkerabat dengan anggota keluarga yang
meninggal. Bagi tuan rumah yang mempunyai banyak dana, upacara ini dilanjutkan
dengan ‘’badikia’’ yaitu sautau cara memuji kebesaran tuhan yang disampaikan dengan
bahasa Arab, dengan irama khas islami (penelitian tanggal 10 juli 2005 di Pariaman).
Pelaksanaan upacara di atas intinya adalah sama, yaitu meminta do’a kepada
Allah SWT, agar sang mayat diberi ampunan dan keringanan azab kubur. Namun di balik
uapacara ini, tersimpan makan-makna sosial yaitu mempertebal solidaristas di antara
masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar. Karena tamu di sini tidak hanya sekedar
datang, makan lalu pulang, akan tetapi mereka membawa buah tangan berupa uang, beras
yang tujuanya meringankan beban tuan rumah.
Sejalan dengan itu, upacara ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi di antara
kerabat yang tingal berjauhan, apalagi mereka yang tingal di daerah perantauan, sebab
sesulit apa pun keadaan kerabat di rantau maisih sempat meluangkan waktu pulang
kampung guna untuk menghadiri upacara ini. Bagi kerabat yang belum saling mengenal,
maka pada saat inilah mereka memperkenalkan diri kepada sanak-saudara mereka yang
ada di kampung halaman.
Di pandang dari segi sejarahnya, tradisi ini sudah berkembang sebelum agama
islam masuk ke Minangkabau. Tradisi ini, pada awalnya ialah acara berbalas pantun
dengan bahasa Minang, tetapi setelah islam berkembang di Minangkabau tradisi ini terus
dilaksanakan, tetapi pantun-pantun tersebut di tukar dengan pembacaan ayat Al-Qur’an
yang juga berpantun oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, dengan tujuan pengembangan
ajaran islam itu sendiri (Suryadi dalam Syair Sunur 2004). Jadi Syeh Burhanuddin
Ulakan memanfaatkan pendekatan kebudayaan dalam mengembangkan ajaran islam di
Pariaman. Trik-trik tersebut selalu dipergunakannya untuk memasuki suatu kebudayaan
masyarakat di Minangkabau, sehingga Islam cepat berkembang di Minangkabau pada
waktu itu.

You might also like