You are on page 1of 15

http://student-research.umm.ac.id/index.

php/department_of_syariah/article/view/6996
Sudah jelas di dalam al-Quran disebutkan bahwa perkawinan itu adalah untuk
menciptakan kehidupan keluarga antara suami isteri dan anak-anak, serta orang tua agar
tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah), pergaulan yang saling
mencintai (mawaddah) dan saling mengasihi (rahmah) dan dalam UU Perkawinan
No.1/1974 (pasal 1) disebutkan bahwa perkawinan itu ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa juga disertai
dengan tujuan-tujuan yang ingin di ciptakan dengan berlangsungnya perkawinan ini
adalah bentuk ideal yang ingin di ciptakan di dalam berlangsungnya suatu rumah tangga.
Masalah perkawinan termasuk masalah yang fundamental bagi setiap manusia yang
sudah dewasa dan akibat dari padanya sangat mempengaruhi pula kepada kehidupan
manusia pada umumnya, sebab rumah tangga itu merupakan unit kecil dari masyarakat.
Aman tenteramnya suatu negara banyak di pengaruhi oleh aman tenteramnya setiap
kelompok itu. Untuk memenuhi segalah kebutuhan yang bertalian dengan masalah
perkawinan yang pada dasarnya tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan saja
melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan
yang mana dalam hal ini adalah pengaturan dan pembagian harta kekayaan dalam
perkawinan setelah perkawinan itu putus.
Dalam suatu perkawinan haruslah ada suatu harta yang digunakan untuk menunjang
kehidupan mereka yaitu seorang yang di perlukan untuk menunjang hidup dan kehidupan
sepanjang perkawinan mereka, oleh karena itu diadakanya pembagian harta kekayaan
dalam perkawinan. Masalah harta kekayaan bersama dalam perkawinan memerlukan
pemikiran dalam tiga dimensi, sebelum perkawinan yang menyangkut harta kekayaan
yang di bawa masing-masing ke dalam perkawinan adalah mengenai harta kekayaan yang
di dapat oleh suami isteri selama dalam perkawinan. Sedangkan setelah perkawinan yaitu
pembahasan mengenai kedudukan masing- masing terhadap kekayaan tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas dalam penulisan Tugas Akhir ini,
penulis ingin mengkaji mengenai pembagian harta bersama dan perkawinan yang
dikemas dalam suatu rumusan : a) Bagaimana kedudukan harta bersama menurut hukum
Islam. b) Bagaimana kedudukan harta bersama menurut hukum positif. c) Bagaimanah
pembagian harta tersebut pasca perceraian menurut hukum Islam maupun hukum positif.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : Hanya untuk
mengetahui apa akibat hukumnya terhadap harta bersama dan hukumnya masing-masing
pasca perceraian.
Dari hasil penelitian dapat kita ketahui bahwa pengaruh hukum Islam kedalam lembaga-
lembaga hukum keluarga, dalam suatu perkawinan terdapat beberapa jenis harta benda
yaitu : harta bawaan, harta bersama, harta yang diperoleh karena hadiah dan harta yang
diperoleh karena warisan dari beberapa jenis harta tersebut mempunyai status hukum
yang berbeda satu dengan yang lainnya kerena memang dalam Islam tidak dijelaskan
mengenai harta bersama tersebut tetapi ada beberapa aturan hukum yang bisa dimasukan
dalam syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama
masa adanya perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri atau atas usaha
mereka bersama-sama.
Begitupun mengenai harta kekayaan usaha sendiri-sendiri sebelum perkawinan dan harta
yang berasal bukan dari usaha salah seorang mereka atau bukan dari usaha mereka
berdua tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus untuk mereka
masing-masing dapat tetapi menjadi milik masing-masing baik yang diperolehnya
sebelum perkawinan maupun yang diperolehnya sesudah mereka dalam ikatan, tetapi
dapat pula mereka syirkahkan dan dalam hal syirkah harta bersama suami isteri ini dalam
Islam digolongkan dalam syirkah abdan Mufawadhah yaitu perkongsian tenaga dan
perkongsian tak terbatas.
Ketika terjadi perceraian antara suami isteri tersebut maka antara suami dan isteri
mempunyai hak yang sama terhadap harta bersama dalam arti apabila terjadi perceraian
maka harta bersama dibagi dua secara rata antara suami berdasarkan rasa kekeluargaan
dan kekerabatan ?an tharodhin? yaitu dibagi 1:1 meskipun sering terjadi pembagian
secara musyawarah kerabat lebih banyak, tidak lain hal ini merupakan pengaruh hukum
waris Islam.
Pada akhir penulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk siapa saja yang menganut Agama Islam yang seharusnya konsekwen
dengan ajaran agamanya dan menempatkan secara proporsional antara hukum Islam
maupun hukum positif dalam kehidupan hukum di masyarakat.
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/status-perkawinan-dan-harta-perkawinan.html
A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945 dan telah memiliki
landasan dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun,
sampai sekarang pengaruh hukum Belanda masih mendominasi dalam sistem
perundang-undangan nasional. Contoh yang paling konkrit adalah di dalam
bidang hukum privat, Indonesia masih menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Tetapi dalam rangka pembentukan hukum
nasional, beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku, seperti
dalam bidang hukum kebendaan yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta hukum
perorangan dan kekeluargaan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu bagian yang diatur didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah tentang harta benda perkawinan. Menurut Undang-undang No.
1 Tahun 1974 macam-macam harta perkawinan dibagi menjadi:

* Harta pribadi, yaitu harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
* Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
maupun bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Status Harta Perkawinanpun menjadi berbeda ketika adanya suatu ikatan maupun
tidak adanya ikatan dengan tali perkawinan, oleh karena itu, status harta
perkawinan dibagi menjadi 2, yaitu::

* Pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena


perkawinan.
* Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentkan lain
dalam perjanjian perkawinan.

Adapun tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan:

* Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya
sendiri.
* Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya
yang ada padanya.
* Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.
* Apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-
masing. Hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi
dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri
apabila masih belum mencukupi.

Status harta bersama dalam perkawinan poligami:

* Masing-masing isteri memiliki harta bersama secara terpisah dan sendiri-


sendiri.
* Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah
yang kedua, ketiga atau yang keempat.

Pembagian harta bersama:

* Jika terjadi cerai mati maka separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama.
* Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan pengaturan di dalam KUHPerdata menyatakan bahwa semua harta


bawaan yang berasal dari bawaan suami maupun harta bawaan isteri dengan
sendirinya menjadi satu kekayaan bersama yang menjadi milik bersama dari
suami isteri tersebut, kecuali diadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan
dilangsungkan.

Perbedaan pengertian harta perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun


1974 dan pengertian harta perkawinan menurut KUHPerdata inilah yang
membuat terjadinya pertentangan dalam kasus yang akan dibahas dalam makalah
ini.
http://bedahukum.blogspot.com/2010/02/harta-gono-gini-menurut-kompilasi-hukum.html
Sebelum membahas mengenai harta gono-gini berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
(selanjutnya KHI) ada baik kita mengenal lebih dekat tentang KHI. KHI adalah
kumpulan hukum materiil yang dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen yustisia
atau buku sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan
Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya (penjelasan KHI). KHI berlaku dengan terbitnya Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Dimana Instruksi Presiden ini
merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989.

Berdasarkan KHI, harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai
dengan Pasal 97 pada Buku I (satu). Menurut pengertiannya harta kekayaan dalam
perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun (Pasal 1 huruf f Bab
Ketentuan Umum).

Persoalan harta perkawinan seringkali rumit dan berlarut-larut. Inilah salah satu
pertimbangan KHI memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk mengadakan
perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas
kedudukan harta dalam perkawinan sehingga nantinya menimbulkan pemisahan hak
kepemilikan yang jelas atas harta-harta yang diperoleh maupun yang dibawa sebelum
melakukan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi,
pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing
untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mengingat pentingnya
eksistensi dan pengaturan perjanjian perkawinan, KHI mengaturnya dalam Bab tersendiri
dan menguraikannya dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya UU Perkawinan), KHI juga memberikan batasan bahwa
tidak ada proses percampuran harta dalam sebuah perkawinan. Ini berarti bahwa harta
kekayaan yang dibawa sebelum perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak
yang membawanya. Perkawinan tidak merubah status kepemilikan hak atas harta
kekayaan tersebut menjadi hak milik bersama. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya. Adapun harta tersebut dapat berupa hadiah, hibah, sodaqah atau lainnya
yang merupakan pemberian khusus untuk salah satu pihak dalam ikatan perkawinan.

Harta bersama perkawinan menurut KHI (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (3)) dapat berupa :
1. Benda berwujud termasuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak serta surat-
surat berharga;
2. Benda tidak berwujud termasuk hak dan kewajiban.
Pertanggungjawaban atas harta bersama dalam perkawinan adalah ada pada kedua belah
pihak. Baik suami dan isteri memiliki tanggung jawab memelihara dan menjaganya.
Demikian pula apabila harta bersama tersebut dalam penguasaan salah satu pihak, maka
pertanggungjawaban atas harta bersama tersebut melekat pada pihak yang bersangkutan.
Tidak dapat seorang suami maupun isteri mengalihkan penguasaan maupun hak
kepemilikannya ke pihak lain, terkecuali dengan persetujuan bersama (isteri/suami).

Dalam hal terjadinya hutang, KHI menjelaskan pada dasarnya pertanggungjawaban ada
pada masing-masing pihak yang melakukan hutang. Namun apabila hutang tersebut
digunakan untuk kepentingan dan keperluan keluarga maka pertanggungjawaban
dibebankan pada harta bersama. Sedangkan apabila harta bersama tidak mencukupi untuk
melunasi hutang tersebut, maka suami ikut menanggungnya dengan menggunakan harta
pribadinya. Harta isteripun akan disertakan dalam pertanggungjawaban hutang tersebut
apabila ternyata harta suami tidak ada atau juga tidak mencukupi sebagai pelunasan.

Untuk perkawinan suami yang dilakukan lebih dari satu kali atau suami beristri lebih dari
satu, masing-masing harta bersama dari setiap perkawinan tersebut adalah terpisah dan
berdiri sendiri. Ini berarti harta bersama baik sebagian maupun secara keseluruhannya
pada perkawinan pertama, tidak dapat sekaligus menjadi harta bersama di perkawinan
kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan keberlakuan harta bersama disetiap perkawinan
ialah dihitung sejak saat berlangsungnya akad perkawinan, baik itu pada perkawinan
kedua, perkawinan ketiga dan seterusnya.

Mengenai besaran harta gono-gini dari harta bersama perkawinan yang bercerai karena
kematian, Pasal 96 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Pada dasarnya hal
ini sama dengan besaran untuk janda atau duda cerai biasa yang diatur dalam Pasal 97
yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Demikian tulisan terkait harta bersama atau syirkah berdasarkan KHI, yang pada garis
besarnya tidak banyak berbeda dengan UU Perkawinan. Semoga bermanfaat.
http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/harta-kekayaan-dalam-perkawinan-
dan-perceraian/

Harta Bawaan

Harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami atau istri sebelum
terjadinya perkawinan. Misalnya, seorang wanita yang pada saat akan melangsungkan
perkawinan telah bekerja di sebuah perusahaan selama empat tahun dan dari hasil
kerjanya itu ia mampu membeli mobil. Maka ketika terjadi perkawinan, mobil tersebut
merupakan harta bawaan istri. Menurut UU Perkawinan harta bawaan tersebut berada di
bawah penguasaan masing-masing suami dan istri. Masing-masing suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bawaannya tersebut. Namun meski demikian, UU Perkawinan juga memberikan
kesempatan kepada suami istri untuk menentukan lain, yaitu melepaskan hak atas harta
bawaan tersebut dari penguasaannya masing-masing (misalnya: dimasukan ke dalam
harta bersama). Pengecualian ini tentunya harus dengan perjanjian – Perjanjian
Perkawinan.

Harta Bersama

Harta bersama berarti harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik oleh
suami maupun istri. Harta bersama misalnya gaji masing-masing suami dan istri, atau
pendapatan mereka dari usaha-usaha tertentu, atau mungkin juga deviden dari saham
yang ditanam di sebuah perusahaan oleh salah satu pihak. Harta bersama tersebut berada
di dalam kekauasaan suami dan istri secara bersama-sama, sehingga penggunaannya
harus dilakukan dengan persetujuan kedua pihak.

Harta Perolehan

Harta perolehan adalah harta yang diperoleh suami atau istri selama masa perkawinan
yang berupa hadiah atau hibah atau waris. Seperti halnya harta bawaan, masing-masing
suami dan istri juga memiliki kekuasaan pribadi atas harta perolehan tersebut. Masing-
masing suami dan istri memiliki hak sepenuhnya terhadap harta yang diperolehnya dari
hadiah, warisan, maupun hibah. Pengecualian keadaan ini dapat diadakan oleh suami istri
dengan persetujuan masing-masing – Perjanjian Perkawinan.

PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian diantara calon suami dan calon istri
mengenai harta perkawinan. Isi Perjanjian Perkawinan terbatas hanya untuk mengatur
harta kekayaan dalam perkawinan dan tidak dapat mengatur hal-hal lain yang berada di
luar harta perkawinan – misalnya tentang kekuasaan orang tua terhadap anak. Perjanjian
Perkawinan tentang hal-hal diluar harta perkawinan adalah tidak sah.

Perjanijan Perkawinan hanya dapat dibuat “pada waktu” atau “sebelum” perkawinan
berlangsung. Perjanjian Perkawinan yang dibuat “setelah” dilangsungkannya perkawinan
menjadi tidak sah dengan sendirinya – batal demi hukum. Syarat lain Perjanjian
Perkawinan adalah harus dibuat “dalam bentuk tertulis”. Perjanjian dalam bentuk tertulis
ini harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Dengan dilaksanakannya
pencatatan tersebut maka isi Perjanjian Perkawinan baru dapat mengikat pihak ketiga
yang lain yang bersangkutan dengan apa yang diperjanjikan.

Suatu Perjanjian Perkawinan baru berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan.


Perjanjian tersebut tidak mengikat para pihak sebelum dilangsungkannya perkawinan,
demikian juga perjanjian tersebut tidak lagi mengikat setelah terjadinya perceraian.
Selama dalam masa perkawinan, Perjanjian Perkawinan tidak dapat dirubah kecuali ada
persetujuan kedua belah pihak. Selain adanya persetujuan kedua belah pihak, persetujuan
tersebut juga tidak boleh merugikan pihak ketiga yang berkepentingan.

AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP PERKAWINAN

Pustunya suatu perkawinan dapat terjadi baik karena “kematian”, “putusan pengadilan”
maupun karena “perceraian” (pasal 38 UU Perkawinan). Dengan terjadinya kematian
salah satu pihak suami atau istri, maka otomatis perkawinan mereka menjadi putus.
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi misalnya karena ada
tuntutan ke pengadilan dari pihak ketiga yang menghendaki putusnya perkawinan
tersebut, yaitu misalnya pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang pasangan suami istri, atau
suami/istri yang masih terikat dengan suatu perkawinan.

Putusnya perkawinan karena “perceraian” dapat terjadi karena salah satu pihak
mengajukannya ke pengadilan. Jika suami yang mengajukan perceraian maka pengajuan
itu disebut “Permohonan Thalak”, sedangkan jika istri yang mengajukan maka
pengajuannya disebut “Gugatan Cerai”. Menurut pasal 39 UU Perkawinan, percerian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Perceraian itu diajukan dengan
alasan-alasan yang cukup, yaitu bahwa suami-istri yang bersangkutan tidak dapat lagi
hidup rukun. Sebelum pengadilan menyidangkan runtutan percerian, maka hakim wajib
berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Sebuah perceraian tentu saja menimbulkan akibat terhadap harta kekayaan dalam
perkawinan, baik terhadap harta bawaan, harta bersama, maupun harta perolehan
berdasarkan hukumnya masing-masing. Bagi orang yang beragama Islam, pengaturan
tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam yang telah diakomodir dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Secara umum, apabila tidak diadakan Perjanjian Perkawinan
terhadap harta perkawinan, maka sebuah perceraian akan mengakibatkan:

1. Terhadap Harta Bersama

Harta bersama dibagi dua sama rata diantara suami dan istri (gono-gini).

2. Terhadap Harta Bawaan


Harta bawaan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang membawanya – kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

3. Terhadap Harta Perolehan

Harta perolehan menjadi hak masing-masing istri dan suami yang memperolehnya –
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
http://www.tanyahukum.com/keluarga-dan-waris/108/harta-bersama-dalam-perkawinan/

Hukum perorangan dan kekeluargaan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dan satu bagian yang diatur didalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 adalah tentang harta benda dalam perkawinan. Pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang tentang Perkawinan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Maksudnya adalah sepanjang
dalam ikatan perkawinan tidak terdapat perjanjian mengenai pemisahan harta atau
perjanjian harta terpisah, suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan
perbuatan hukum mengalihkan hak kepemilikannya kedalam bentuk apapun. Bilamana
ketentuan pasal di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang tidak sah secara hukum, yang artinya perbuatan hukum
dimaksud dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Didalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga dikenal adanya harta bersama, yang diatur pada Pasal 1 huruf (f) yakni bahwa
harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Dalam menyikapi harta bersama ini,
masing-masing pihak memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga dan
memanfaatkannya dan kedua belah pihak juga tidak dapat melakukan perbuatan hukum
tanpa ada persetujuan dari yang lainnya dalam hal ini si suami atau si isteri.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Harta Bersama adalah harta benda yang
diperoleh selama perkawinan. Pada ayat (2) dikatakan, bahwa Harta bawaan dari masing-
masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, juga berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para
pihak tidak menentukan lain. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 tersebut dapat
diartikan bahwa sejak dimulainya perkawinan dan selama perkawinan berlangsung,
secara hukum, berlaku percampuran harta kekayaan antara suami dan istri, baik harta
bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan ada dikemudian
hari. Selain daripada itu kedudukan harta bawaan yang diperoleh dari pewarisan atau
hibah tetap berada dibawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang suami dan istri
dimaksud tidak mengaturnya secara tegas dalam sebuah perjanjian tertulis.

Terkait isi Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta
bersama dan harta bawaan dalam prakteknya memang memberatkan kedua belah pihak
untuk menikmati hak milik atas harta yang merupakan hasil perolehannya sendiri, dan
ketentuan Pasal-Pasal tersebut tentunya dapat merugikan hak-hak kedua belah pihak baik
suami maupun isteri yang beritikad baik atas harta bersama karena pada umumnya dalam
sebuah perkawinan, harta yang diperoleh melalui usaha masing-masing dari mereka
dimasukkan begitu saja dalam perkawinannya. Olehkarenanya terhadap masalah
persetujuan yang dapat mengakibatkan batalnya perbuatan hukum suami atau istri
terhadap harta bersama, sedikit banyaknya telah mematikan hak-hak kenikmatan suami
atau istri terhadap harta yang diperolehnya. Dan bila dikaitkan dengan ketentuan hak
milik sebagaimana diatur dalam Pasal 570 KUHPerdata, sudah jelas ketentuan klausul
dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama
dan harta bawaan sangat bertentangan, karena Pasal 570 KUHPerdata menyatakan bahwa
hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan
untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Ketentuan tersebut juga diperkuat dengan Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama. Namun demikian, dalam hal terjadinya
perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan, maka harta benda diatur
menurut hukumnya masing-masing. Jika terjadi cerai mati maka separuh dari harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sedangkan Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak atas setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Dan sama halnya menurut Pasal 97 ketentuan
Kompilasi Hukum Islam bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak ½
(seperdua) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
http://www.bajubusanamuslim.com/artikel/35/harta-gono-gini-dalam-islam.html
Secara ringkas, yang dimaksud harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan
istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Misalnya rumah yang dibangun dari hasil kerja
suami dan istri, harta yang dihibahkan kepada mereka berdua atau dibeli dengan uang
mereka berdua. Menurut pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah "Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama." Ada beberapa hal yang
bisa memperjelas pengertian di atas, sebagai berikut:

Pertama: Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur,
kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal
ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan
kepada suami secara khusus.

Kedua: Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas
diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya,
atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut walaupun
dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam
harta gono-gini.

Ketiga: Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu
khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta
gono-gini.

Konsep harta dalam Islam


Di dalam Islam, konsep harta dalam rumah tangga dijelaskan dalam beberapa ayat:

Pertama: Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaiman firman
Allah: "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan." (Qs An Nisa': 5)

Kedua: Kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut:
Pertama: memberikan mahar kepada istri. "Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu
nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)." (Qs An Nisa': 4)
Kedua: memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah: "Dan kepada
ayah berkewajiban memberi nafkah yang layak kepada istrinya." (Qs Al Baqarah: 233)
Ketiga: Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhanya, "Jika
mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka
kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik
akibatnya." (Qs An Nisa': 4)
Keempat: Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut:
1 - Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan seksual dengan
suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar
telah ditentukan, dalam hal ini Allah berfirman: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri." (Qs
An Nisa': 20-21).
2 - Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan seksual dengan
suaminya dan mahar telah ditentukan. "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu." (Qs Al Baqarah: 237)
3 - Istri mendapat mut'ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan seksual
dengan suaminya dan mahar belum ditentukan. "Tidak ada kewajiban membayar (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu, memberi menurut kemampuannya dan
orang yang miskin memberi menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu, merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
(Qs Al Baqarah: 236)

Bagaimana pembagian harta gono-gini menurut Islam?


Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini. Islam
hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam menyelesaikan masalah bersama,
diantaranya adalah:

Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di
dalam Al Qur'an disebut dengan istilah "As Shulhu" yaitu perjanjian untuk melakukan
perdamaian antara kedua belah pihak (suami-istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT
berfirman: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (Qs An Nisa': 128)

"Perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud, ibnu Majah,
dan disahihkan oleh Tirmidzi). Di dalam mencari kesepakatan, adakalanya satu atau kedua
belah pihak harus merelakan haknya. Sebab, akan sangat sulit mencapai kata sepakat jika
masing-masing bersikeras menuntut. Kesepakatan ini bisa dilakukan antar suami dan istri
atau juga dengan mengikutsertakan pihak ketiga. Dengan pihak ketiga sebagai pihak netral,
diharapkan masalah bisa terselesaikan dengan baik. Memang di dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, disebutkan bahwa pembagian harta gono-gini harus
50:50. Hanya saja, ketentuan ini tidak ada dalam hukum Islam. Wallahu A'lam.
http://majalah.hidayatullah.com/?p=1287

Harta bersama atau disebut harta goni gini pada dasarnya tidak dikenal dalam rujukan syariat Islam. Kitab fikih
klasik maupun kontemporer tidak memuat secara khusus mengenai soal ini, sebab dalam Islam didapati asas
pengakuan kepemilikan harta secara individual, bukan kolektif. Atas dasar pengakuan kepemilikan individual
itulah, maka ada kewajiban suami menafkahi isteri dan anaknya.

Harta gono gini adalah harta bersama antara suami istri yang mereka peroleh setelah perkawinan. Harta seperti
ini sudah mendapat pengakuan secara adat dan sangat populer di beberapa suku bangsa Indonesia, dari Aceh
hingga Papua. Oleh karena itu, maka soal harta bersama gono gini tersebut diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
bab VII, pasal 35, 36, dan 37.

Sebagian ulama, terutama ulama Indonesia cenderung dapat menerima keberadaan harta gono gini, karena
dalam prakteknya banyak suami istri dalam masyarakat Indonesia bersama-sama membanting tulang mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Penerimaan ulama Indonesia itu didasarkan pada kaidah ushul fikih, ”Ats-tsbitu bil ’urfi katsaabit bisy-syar’i”
(apa yang lazim menurut kebiasaan berlaku lazim menurut syara’).

Pendapat ini diperkuat lagi dengan tidak tertutup kemungkinan adanya syirkah (kerjasama) antara dua pihak,
baik syirkah dalam harta maupun usaha. Dua pihak itu dimungkinkan antara suami dan istri. Perkongsian
semacam ini biasa disebut syarikah abdan mufawadah (perkongsian tenaga dan kemitraan usaha tak terbatas).
Dengan berlakunya perkongsian seperti ini, maka semua harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah milik
bersama, kecuali harta yang bersumber dari warisan atau hibah khusus.

Untuk membagi harta gono gini suami istri, terlebih dahulu harus dimulai dari verifikasi harta milik bersama
tersebut, agar tidak terjadi percampuran kepemilikan yang tidak jelas.

Pada umumnya asal usul harta yang diperoleh suami istri berasal dari empat sumber, yaitu (1) harta waris atau
hibah yang diperoleh salah seorang suami/ isteri, (2) harta yang berasal dari hasil usaha sebelum menikah, (3)
harta yang diperoleh saat perkawinan atau karena pernikahan, dan (4) harta yang diperoleh selama perkawinan.

Harta jenis 1 dan 2 tetap menjadi milik masing-masing, sedang harta jenis 3 ada yang menjadi milik isteri, ada
menjadi milik suami, ada juga yang menjadi milik orangtua. Adapun harta jenis 4, yaitu harta yang diperoleh
selama perkawinan adalah harta gono gini. Sesuai namanya, ia menjadi milik bersama ketika suami istri masih
terikat dalam ikatan keluarga, tapi harus dibagi ketika bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati.

You might also like