Professional Documents
Culture Documents
NILAI 1
Sejumlah ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia, sejak lama telah
tertarik dengan konsep nilai (mis, Kluckhohn, 1951; Allport, 1960; Rokeach, 1973; Schwartz,
1992, 1994; Feather, 1994, 1995). Kluckhohn (dalam Zavalloni, 1975) sebagai seorang
antropolog, misalnya, sejak tahun 1951 telah mendefinisikan nilai sebagai :
Isu penting yang menurut Zavalloni (1975) perlu diperhatikan dalam pemahaman tentang nilai
adalah, nilai seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagian
orang, atau tidak sama dengan semua orang lain. Definisi Kluckhohn di atas menggambarkan
bahwa nilai selain mewakili keunikan individu, juga dapat mewakili suatu kelompok tertentu.
Hal ini mulai mengarah kepada pemahaman nilai yang universal. Dalam perkembangannya,
Rokeach (1973) dengan tegas mengatakan bahwa asumsi dasar dari konsep nilai adalah bahwa
setiap orang, di mana saja, memiliki nilai-nilai yang sama dengan derajat yang berbeda
(menunjukkan penegasan terhadap konsep universalitas nilai). Namun penelitian yang paling
komprehensif tentang nilai-nilai yang universal (dalam arti terdapat di mana saja di semua
budaya) dimulai oleh Schwartz dan Bilsky (1987). Mereka mulai mencari nilai-nilai apa yang
universal dari 44 negara dengan sampel di masing-masing negara berkisar antara 154 sampai
dengan 542 orang.
Isu lain yang penting sebelum membahas nilai adalah tentang isi (content) dari berbagai nilai
yang dianut manusia. Berdasarkan kajiannya atas berbagai teori dari para ahli mengenai nilai,
Schwartz melihat tidak satupun dari teori tersebut yang berupaya mengklasifikasikan isi atau
muatan (content) dari berbagai nilai yang dianut oleh individu (Schwartz, 1994). Schwartz
kemudian berupaya untuk mengklasifikasikan nilai-nilai berdasarkan muatannya yang
kemudian disebut dengan tipe nilai. Dengan mempertimbangkan universalitas, isi maupun
struktur nilai yang telah dikembangkan Schwartz, maka dalam penelitian ini kerangka teori
yang digunakan adalah teori nilai dari Schwartz. Walaupun begitu, pembahasannya tidak
terlepas dari tokoh-tokoh lain yang juga tertarik dengan nilai, terutama menyangkut kaitan
nilai dengan variabel lain seperti keyakinan, sikap dan tingkah laku yang tidak dibahas lagi
oleh Schwartz. Ini menyebabkan dasar teoritis dalam mengkaitkan nilai dan tingkah laku
menggunakan teori lain, yaitu belief system theory (Rokeach, 1973; Homer & Kahle, 1988;
Grube dkk., 1994).
Teori nilai Schwartz (1992, 1994), walaupun masih berdasarkan teori sebelumnya dari
Rokeach (1973), tapi menunjukkan perbedaan yang berarti. Teori nilai Schwartz dipilih dalam
penelitian ini, memperhatikan kritiknya terhadap teori Rokeach yang banyak melakukan
tumpang-tindih antara nilai satu dengan nilai lainnya (Schwartz, 1994), bahkan antara nilai
terminal dan instrumental. Sedangkan Schwartz telah melakukan pengkategorisasian ke dalam
sejumlah tipe nilai, dimana kategori tersebut telah teruji secara konseptual maupun statistik.
Di samping itu, Schwartz juga telah menyusun struktur nilai-nilai tersebut secara spesifik dan
komprehensif, sehingga nilai seseorang dapat ditempatkan ke dalam “peta” nilai. Berbeda
dengan Rokeach yang menyebut nilai sebagai sistem, namun tidak terlalu banyak menjelaskan
hubungan dan sifat dari sistem tersebut. Sedangkan dengan “peta” nilai, kita dapat melihat
keterkaitan suatu nilai dengan nilai lainnya, sekaligus dapat menginterpretasi hubungan
tersebut.
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about
desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2)
berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi
spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-
kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu
(1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku
dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam
hidupnya.
Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu
terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe
persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :
Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai
berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan
organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987).
Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan.
Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif
(tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual
(power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya
(universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau
disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya
pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang
unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz,
1994).
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’,
di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin
dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn
dalam Rokeach, 1973). ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam
mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan
derajat kepentingannya.
Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah
apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai
(value type). Lalu masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah nilai yang lebih
khusus. Setiap tipe nilai merupakan wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi
seseorang dalam bertingkah laku. Karena itu, Schwartz juga menyebut tipe nilai ini sebagai
motivational type of value.
Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10 tipe
nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu :
1. Power
Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu
transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui
analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial
dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai
khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, wealth, preserving my
public image dan social recognition.
2. Achievement
Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai
standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu
untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai
khusus yang terdapat pada tipe nilai ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential.
3. Hedonism
Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan
dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan
untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : pleasure, enjoying life.
4. Stimulation
Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk
menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis
mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan
menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari
tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai
ini adalah : daring, varied life, exciting life.
5. Self-direction
Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent),
seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber dari kebutuhan organismik
akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan
ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious,
freedom, choosing own goals, independent.
6. Universalism
Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini
mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap
kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broad-
minded, social justice, equality, wisdom, inner harmony.
7. Benevolence
Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial
lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih
kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam
kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan
kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah
peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai
khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true
friendship, mature love.
8. Tradition
Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang
merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil
dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai
ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat,
atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my
portion in life, moderate, respect for tradition.
9. Conformity
Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan
individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Ini diambil dari
kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok
tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : politeness,
obedient, honoring parents and elders, self discipline.
10. Security
Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas
masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar
individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual
dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order,
clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging.
1. Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan
harga diri
2. Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang
terpusat pada diri sendiri
3. Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk
memenuhi kegairahan dalam diri
4. Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam
bidang baru atau menguasai suatu bidang
5. Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan
terhadap keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya keragaman
dari hakekat kehidupan
6. Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi
kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi
7. Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif
yang menunjang interaksi intim antar pribadi
8. Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu
kelompok tempat individu berada
9. Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi
harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri
10. Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan
sosial untuk memberi kepastian dalam hidup
11. Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap
aturan dan harmoni dalam hubungan sosial
12. Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman
ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya
yang ada.
Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa
tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu :
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/tipe-nilai.html
http://www.fsrd.itb.ac.id/?page_id=22
ETIKA
Belum Diperiksa
Filosofi
Cabang[tampilkan]
Epistemologi
Estetika
Etika
Filosofi politik
Logika
Metafisika
Zaman[tampilkan]
Kuno
Pertengahan
Modern
Kontemporer
Tradisi[tampilkan]
Analitik
Kontinental
Timur
Islam
Marxisme
Platonisme
Skolastisisme
Filsuf[tampilkan]
Estetikawan
Epistemologian
Etikawan
Metafisikawan
Logikawan
Filsuf politik dan sosial
Sastra[tampilkan]
Estetika
Epistemologi
Etika
Logika
Metafisika
Politik filsafat
Daftar[tampilkan]
Garis besar
Topik
Teori
Glosari
Filsuf
Daftar filsuf Indonesia
Portal l • b • s
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian
moral.[rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab.[rujukan?]
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita.[rujukan?] Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita
tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk
mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.[rujukan?]
Secara metodologi tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.[rujukan?]
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.[rujukan?]
Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah
tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga
tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari
sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[2]
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi
penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).[rujukan?]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Jenis Etika
o 1.1 Etika Filosofis
o 1.2 Etika Teologis
o 1.3 Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
2 Reference
3 Pranala luar
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan
berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah
bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.
[rujukan?]
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga
mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:[3]
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan
hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya
masing-masing.[rujukan?] Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum,
karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan
dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.[4]
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika
filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah
etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta
memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.
[rujukan?]
Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan
etika teosentris.[6] Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara
umum, yaitu tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit
berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk,
sesuai dengan kehendak Allah.[7]
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan
menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan
yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.
[rujukan?]
Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang
dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]
Revisionisme[rujukan?]
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis
bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
Sintesis[rujukan?]
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika
filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan
mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika
filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi
lapisan atas yang bersifat khusus.
Diaparalelisme[rujukan?]
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika
teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat
diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya.
[10]
Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling
menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?] Selanjutnya diharapkan dari hubungan
yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia
dalam bagaimana ia seharusnya hidup.
[sunting] Reference
1. ^ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]
2. ^ Etika, 24-25
3. ^ Etika, 27-29
4. ^ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 94.]
5. ^ [Paul L. Lehmann. 1963. Ethics in a Christian Context. New York: Harper & Row Publishers,
25.]
6. ^ [J.A.B. Jongeneel. 1980. Hukum Kemerdekaan Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 15-16.]
7. ^ [J. Verkuyl. 1982. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 17.]
8. ^ Ethics in a Christian Context, 254
9. ^ Ethics in a Christian Context, 254
10. ^ Hukum Kemerdekaan Jilid 1, 38.
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
ESTETIKA
2. Catatan Tentang Makna dan Lingkup dari Bidang Estetika dan Ilmu- ilmu Seni
Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan
yang berkaitan dengan bidang ini. Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar
memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka
yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. Istilah estetika itu kita
adaptasi dari kata `aesthetics’ bahasa Inggris. Kata itu dalam tradisi bahasa Inggris juga
sesuatu yang baru, diperkenalkan di sekitar 1830 (lihat T.J. Diffey, A Note on Some Meaning
of The Term `Aesthetic ‘ dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995).
Filosof yang pertama kali mempromosikan kata itu adalah Alexander Baumgarten (1714 -
1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes
(1735).
Dalam hal ini, perlu dibedakan arti kata yang dalam penggunaan di tingkat akademis sering
dipercampurkan, yaitu kata sifat ‘aesthetic’’ diterjemahkan menjadi estetik dan kata benda
‘aesthetics’ diindonesiakan menjadi estetika. Kata ‘aesthetic’, asalnya dari bahasa Yunani,
‘aesthetikos’ berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’, atau berkaitan dengan persepsi
penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam
penggunaan di dunia kedokteran adalah ‘anaesthetic’ , anestetik atau patirasa. Jadi, estetik
adalah cara mengetahui melalui indera yang mendasar bagi kehidupan dan perkembangan
kesadaran. Meskipun demikian, makna inderawi dari kata estetik dalam kehidupan sehari-hari
pada saat ini semakin jarang dipakai. Kata estetik pada umumnya dikaitkan dengan makna
‘citarasa yang baik, keindahan dan artistik, maka estetika adalah disiplin yang menjadikan
estetik sebagai objeknya. Estetika, dalam tradisi intelektual, umumnya dipahami sebagai
salah satu cabang filsafat yang membahas seni dan objek estetik lainnya. Dalam hal ini Louis
Arnaud Reid memberikan batasan estetika filosofis sebagai disiplin yang mengkaji makna
istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkenaan dengan seni. Cara kerja estetika filosofis
dalam pemahaman Reid, pertama, menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan
seni; kedua menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan
konsep-konsep; ketiga, memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun
estetika memiliki sisi analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur
gagasan positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh.
Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan
berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata
filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini
estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan
beragam. Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi
seni, fungsi seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-
prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan
tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau
proses mental. Estetika filosofis juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya
estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat
diindera. Secara mendasar estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan
asas dari keindahan atau fenomena estetik. Dalam hal ini jawaban-jawaban dari pertanyaan
itu dari para filosof dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat
Idealistis dan golongan filsafat Materialistis. Jawaban-jawaban para filosof dapat ditelusuri
berasal dari gambaran-gambaran fikiran atau konsep-konsep. Plato yang dikenal sebagai
tokoh filosof ldealisme, misalnya mengajukan konsep bahwa hakekat kenyataan itu adalah
Idea (Bentuk). Pemahaman ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu
kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan
kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu
hanya ditemui pada kenyataan Idea. Bagi Plato, seni adalah tiruan (Imitasi) dari kenyataan
Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis
melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan
dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur
yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang
dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak mengherankan Plato
memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas.
Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas. Pandangan
ini sedikit berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah
imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka
hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana
halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi
yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses
penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam
tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti
nampak pada dominasi gaya Realisme.
Di luar pemahaman seni sebagai Imitasi, estetika filosofis memiliki puluhan jawaban tentang
hakekat seni dan keindahan. Melvin Rader, dalam bukunya A Modern Book of Esthetics
menunjuk berbagai pengertian seni : seni sebagai Bentuk, Ekspresi, Ilusi, Jarak Estetik, Main,
Kesenangan, Simbol, Keindahan, Emosi, Fungsi, Penyadaran dan lain sebagainya. Dalam
konteks penelitian, metodologi atau pendekatan dalam estetika filosofis yang cenderung
spekulatif dianggap tidak memenuhi standar penelitian ilmiah. Dalam hal ini, kita dapat
melangkah pada pembahasan estetika yang lain yaitu estetika yang bersifat keilmuan.
Terutama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan ilmu
sosial mulai mengarahkan minat pada fenomena seni sehingga secara berturut-turut dapat
ditunjuk pertumbuhan sub-disiplin seperti Sejarah Seni, Antropologi Seni, Psikologi Seni,
Sosiologi Seni, Manajemen Seni. Cabang-cabang disiplin ini selain disebut sebagai Estetika
Keilmuan, juga sering disebut dengan ilmu-ilmu seni. Estetika keilmuan atau ilmu-ilmu seni
ini dalam pendekatannya bersifat empiris dan mengikuti tahap-tahap penelitian ilmiah seperti
observasi, klasifikasi data, pengajuan hipotesis, eksperimen, analisis, dan penyimpulan teori
atau dalil. Selain itu, pendekatan empiris pada karya seni melahirkan disiplin lain mencakup
kritik seni, morfologi estetik, dan semiotik.
Pengertian ‘llmu’ yang dipakai dalam konteks estetika keilmuan bukan dalam pengertian
yang eksak sebagaimana ilmu alam. Thomas Munro seorang perintis dalam perkembangan
estetika keilmuan memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif tentang arti kata ilmu
sebagai cara berfikir yang secara berangsur berkembang dalam satu lapangan fenomena.
Dalam hal ini, Munro mengartikan ilmu sebagai suatu cabang studi yang berkenaan
dengan observasi dan klasifikasi fakta, khususnya dengan penetapan hukum-hukum yang
teruji baik melalui induksi maupun hipotesis atau secara khusus, ilmu berarti
pengetahuan yang disepakati dan terakumulasi serta disusun dan dirumuskan dengan
merujuk kepada pendapatan kebenaran umum atau gerak hukum umum. Arti ilmu seperti
ini memberi tempat bagi berkembangnya ilmu-ilmu seni, seperti Sejarah Seni, Antropologi
Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan lain sebagainya. Lebih jauh estetika keilmuan
hendaknya tidak dipahami sebagai suatu subjek yang bertujuan menegakkan hukum universal
tentang keindahan dan cita rasa yang baik yang dapat berlaku untuk semua orang, ataupun
untuk membuktikan hendaknya seseorang memilih satu jenis seni dari yang lain. Dengan
demikian ilmu-ilmu seni lebih dekat berada pada pengertian ilmu-ilmu kemanusiaan atau
ilmu-ilmu sosial.
Seperti yang dapat dilihat pada bagan yang diatas, estetika empiris atau estetika keilmuan
digolongkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama tertuju pada karya seni sebagai
objek pengetahuan dan mencakup Kritik Seni, Morfologi Estetik, Semiotika, Teknologi Seni
dan Metodologi (Penciptaan) Seni. Sedangkan pada kelompok yang kedua dengan fokus
objek pada kegiatan manusia dan seni, yang meliputi Sejarah Seni, Antropologi Seni,
Sosiologi Seni, Psikologi Seni dan Manajemen Seni. Apabila di daerah asalnya yaitu negara
Barat estetika keilmuan tergolong sebagai suatu disiplin yang masih baru berkembang, sekitar
awal abad ke-20an, maka di Dunia Ketiga dan Indonesia pada khususnya, bidang estetika,
baik yang filosofis maupun keilmuan masih dalam taraf pengenalan. Di perguruan tinggi
filsafat ataupun ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial disiplin ini belum banyak
berkembang. Begitu juga di perguruan tinggi seni di Indonesia, pertumbuhan dan
perkembangan estetika masih pada tahap permulaan. Kuliah-kuliah tentang estetika filosofis
misalnya telah masuk dalam kurikulum di lembaga pendidikan tinggi seni pada masa 1970-
an, termasuk Kritik Seni dan Tinjauan Seni. Di Departemen Seni Rupa ITB misalnya
pengajaran mata kuliah Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni baru diadakan
pada dekade 1990-an. Pembentukan kelompok keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni baru
terlaksana pada periode itu.
Salah satu disiplin estetika empiris yang telah lama dipraktekkan di Indonesia adalah Kritik
Seni. Bidang ini telah muncul pada awal lahirnya seni rupa modern pada dasawarsa 1930-an
ketika Sudjojono yang juga seorang pelukis dan pendiri Persagi pada 1938 aktif menulis
kritik terhadap peristiwa-peristiwa pameran pada masa itu. Sesudah masa kemerdekaan
tradisi kritik seni dalam bidang seni rupa diteruskan oleh tokoh-tokoh seperti Trisno
Sumardjo, Kusnadi, Sitor Situmorang, dan pada periode 1970an muncul Sudarmaji, Sanento
Yuliman, Agus Dermawan dan sebagainya. Diantara nama-nama kritikus di atas yang secara
konsisten menulis kritik dengan pendekatan empiris dan diakui integritasnya adalah Sanento
Yuliman. Sementara itu, di bidang Morfologi Estetik dan Semiotika masih belum
berkembang secara berarti. Pada kelompok yang menyangkut interelasi kegiatan manusia dan
seni, bidang yang relatif lebih berkembang adalah Sejarah Seni. Penelitian-penelitian tentang
Sejarah Seni Rupa Indonesia baik periode masa lalu maupun masa kini cukup banyak
dilakukan, bahkan bersamaan dengan pertumbuhan galeri dan meningkatnya frekuensi
pameran karya seni serta penyerapan karya seni oleh para kolektor, para seniman baik yang
senior maupun yang masih muda berinisiatif untuk menerbitkan buku-buku yang berkonotasi
biografis kesejarahan. Begitu juga penelitian sejarah seni yang terkait dengan penulisan
skripsi, tesis, ataupun disertasi cukup banyak dilakukan. Bersama dengan itu dibukanya
berbagai perkuliahan Antropologi Seni, Sosiologi Seni, dan Psikologi Seni pada strata S1
mendorong minat bagi penelitian-penelitian di bidang itu.