Professional Documents
Culture Documents
274
BAB
ETIOLOGI SKIZOFRENIA DARI FAKTOR BIOLOGIS DAN PSIKOSOSIAL
TUJUAN BELAJAR
Tujuan Kognitif
1. Mengenal etiologi skizofrenia
- Menguraikan etiologi skizofrenia dari faktor biologis dan psikososial
- Memerinci peran etiologi sebagai faktor yang mencetus terjadi skizofrenia
Tujuan Afektif
1. Mengetahui pentingnya memahami etiologi skizofrenia
- Mengetahui keterkaitan etiologi dengan tindakan perawatan psikofarmako
- Mengetahui keterkaitan etiologi dengan perawatan dari segi sosial
PENDAHULUAN
semua orang yang mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya. Hal tersebut
dapat menimbulkan keluhan kejiwaan, antara lain berbagai jenis gangguan jiwa yang salah
satunya adalah skizofrenia.
SKIZOFRENIA
Sejarah
Skizofrenia telah dikenal sejak zaman peradaban kuno di hampir semua kebudayaan.
Deskripsi tentang gangguan ini tercatat sebelum 2000 SM dibuku kuno Egyptian Book of
Hearts, bagian dari Ebers papyrus. Gejala-gejala psikologikal dikira muncul dari jantung dan
uterus, dan berhubungan dengan pembuluh darah, racun, atau setan. Deskripsi Hindu (1400
SM) dapat ditemukan di Atharva Veda, salah satu teks pada agama Hindu. Veda ini berisi
hymne dan mantra dari India kuno. Tertulis bahwa kesehatan merupakan hasil dari
keseimbangan 5 elemen (Butha) dan 3 humor (Dosa) dan ketidakseimbangan menghasilkan
kegilaan. Teks Cina berjudul The Yellow Emperor's Classic of Internal Medicine, 1000 SM,
menjabarkan gejala kegilaan, demensia, dan kejang. Setan atau keadaan supernatural sering
dikira sebagai penyebab tingkah laku psikotik.
Plato, penulis abab ke-5 dan ke-4 SM mendukung konsep yang modern tentang
hubungan antara pikiran dan tubuh. Beliau menemukan ide tentang ketidaksadaran dan proses
mental yang tidak berlogika dan menyatakan bahwa semua orang mempunyai kapasitas
pemikiran yang irrasional.
Sigmund Freud kemudian mengambarkan spekulasi Plato untuk mendukung teorinya
tentang proses ketidaksadaran sebagai fondasi gangguan mental, dan Freud juga mengutip
Plato dalam mendukung teorinya.
Hippocrates menyingkirkan ide psikosis karena setan dan menganjurkan bahwa
gangguan seperti epilepsi, kebingungan, dan kegilaan semua berasal dari otak. Dalam usaha
menjelaskan gangguan mental dan fisik, beliau membuat dalil tentang kehadiran "humors" di
tubuh termasuk darah dan empedu. Fungsi mental dan fisik yang optimal dapat tercapai jika
humors ini berada dalam keadaan seimbang dan harmonis.
Emil Kraepelin merupakan orang yang berjasa dalam sejarah modern psikiatri dalam
hal mengidentifikasi skizofrenia. Istilah dasar dari Emil Kraeplin untuk skizofrenia adalah
dementia praecox. Ini berdasarkan dari pengamatannya, bahwa penyakit pasien berkembang
pada umur yang relatif muda (praecox), ditambah dengan perjalanan penyakit secara kronik
dan tidak memiliki secara jelas akhir dari perjalanan penyakit tersebut (dementia).
Pada awal tulisannya tahun 1887 Kraepelin menyamakan hebefrenia dengan dementia
praecox dan membedakan dengan katatonia dan dementia paranoid. Tahun 1898, Kraepelin
mempresentasikan paper di Heidelburg berjudul "The Diagnosis and Prognosis of Dementia
Praecox" dan menunjukkan bahwa berbagai kondisi psikotik ini merupakan satu kesatuan
dari seluruh penyakit ini. Kraepelin berpikir bahwa terdapat suatu gangguan organik yang
melandasi dementia praecox. Pada tahun 1899, di buku Psychiatrie tertulis "...in dementia
praecox, partial damage to, or destruction of, cells of the cerebral cortex must probably
occur, which may be compensated for in some cases, but which mostly brings in its wake a
singular, permanent impairment of the inner life."
Kraepelin membagi dementia prekoks menjadi 4 subtipe: paranoid, hebefrenik,
katatonik, dan simpleks. Pasien paranoid secara primer ditandai delusi. Individu dengan
hebefrenik terdapat tingkah laku bodoh dan pandir. Tanda khas dari katatonik berupa gejala
motorik dimana terdapat peningkatan tonus otot dan postur yang menetap. Subtipe simpleks
menunjukkan apatis dengan penarikan diri.
Eugen Bleuler merupakan orang pertama mengunakan kata "skizofrenia", berasal dari
kata Yunani "pecah" dan "pikiran". Berbeda dengan kepribadian yang terpecah, Bleuler
mengartikan terpecahnya fungsi psikik.
Dia memperkenalkan 4 tanda penting berupa “4 A”,yaitu:
Afek tumpul
Asosiasi longgar
Ambivalensi
Autisme
Gejala lain dari skizofrenia seperti delusi, halusinasi, katatonia, negativisme, dan
stupor dikenal sebagai gejala sekunder. Bleuler mencatat bahwa gejala sekunder ini muncul
seperti gejala lainnya.
Kurt Schneider memperkenalkan gejala tingkat pertama dan gejala tingkat kedua
Gejala tingkat pertama berupa:
Mendengar suatu pikiran yang berbicara secara keras
Halusinasi auditorik yang mengomentari tingkah laku penderita
Thought withdrawal, insertion dan broadcasting
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan
Periode 9 Agustus – 11 September 2010 Page 4
Etiologi Skizofrenia dari Faktor Biologis dan Psikosial Syamsun Najwa 030.04.274
Halusinasi somatik, atau mengalami pikiran yang terkontrol atau dipengaruhi oleh alasan
luar yang tidak jelas.
Gejala tingkat kedua berupa bentuk halusinasi, depresi, atau suasana perasaan yang
berubah, emosi yang tumpul, kebingungan, dan ide delusi yang tiba-tiba. Bila gejala tingkat
pertama absen, skizofrenia masih dapat didiagnosis jika terdapat jumlah gejala tingkat kedua
yang mencukupi.
Tahun 1949, American Psychiatric Association bekerja sama dengan New York
Academy of Medicine mulai menetapkan standar sistem diagnosis di Amerika Serikat.
Hasilnya berupa Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-I), diterbitkan
tahun 1952. DSM-II terbit tahun 1968, tetapi tidak jauh berbeda dengan yang terdahulu.
DSM-III terbit tahun 1980, DSM-IV tahun 1994, dan DSM-IV-TR tahun 2000. Edisi ketiga
mengalami perubahan yang sangat besar. Pada DSM-IV, skizofrenia dibagi menjadi 5 subtipe
berupa paranoid, disorganisasi, katatonik, tak terinci, dan residual.
Definisi
Sedangkan dalam DSM-IV dan DSM-IV-TR (tabel 1-1), skizofrenia didefinisikan
sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif; ketidakmampuan dalam fungsi sosial,
pekerjaan ataupun hubungan antar pribadi dan menunjukan terus gejala-gejala ini selama
paling tidak 6 bulan. Sebagai tambahan, gangguan skizoafektif dan gangguan afek dengan
gejala psikotik tidak didefinisikan sebagai skizofrenia dan juga skizofrenia tidak disebabkan
oleh karena efek langsung karena psikologi dari zat atau kondisi medis.
Skizofrenia akut
Episode skizofrenia akut merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan onset akut
gejala-gejala skizofrenia di bawah 6 bulan. Sejak DSM-IV mendefinisikan skizofrenia
sebagai gangguan kronik, kondisi ini sekarang harus diklasifikasikan ke dalam gejala psikotik
lain, seperti gangguan skizofreniform, psikosis reaksi singkat, atau gangguan skizoafektif.
Skizofrenia laten
Suatu jenis skizofrenia yang ditandai dengan gejala skizofrenia jelas, tetapi tanpa adanya
riwayat episode skizofrenia psikotik, mencakup kondisi yang dulu disebut sebagai skizofrenia
ambulatori, borderline, prapsikotik, pseudoneurotik, dan pseudopsikopatik, yang didalamnya
tidak pernah terdapat episode psikotik akut. Penderita yang memenuhi istilah-istilah ini tidak
memenuhi definisi skizofrenia dari DSM-IV. Oleh karena itu sebagian besar diklasifikasikan
sebagai gangguan kepribadian skizotipal.
Menurut PPDGJ III, skizofrenia adalam sekelompok gangguan psikotik dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir, kadang-kadang mempunyai
perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar, waham yang kadang-
kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnornal yang tak terpadu, dengan situasi nyata yang
sebenarnya, dan autisme.
Pikiran, perasaan, dan perbuatan yang paling mendalam dirasakan seakan diketahui
oleh orang lain, dan waham-waham yang timbul menjelaskan bahwa kekuatan alam dan
supernatural sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan cara-cara
yang tidak masuk akal atau bizzare (aneh). Halusinasi auditorik sering diketemukan dalam
bentuk komentar tentang diri pasien atau berbicara secara langsung kepadanya.
Sering terjadi penghentian dan interpolasi dalam arus proses pikir, dengan akibat
pikiran menjadi terputus-putus. Interpolasi (sisipan-sisipan) pikiran tersebut dirasakan oleh
pasien atau yakin bahwa pikirannya disedot (withdrawal) oleh kekuatan dari luar.
Alam perasaan dapat menjadi dangkal (shallow), berubah-ubah (capsicious), atau
tidak sesuai (incongruous). Ambivalensi dan gangguan dorongan kehendak dapat
bermanifestasi sebagai inersia, negativisme, atau stupor. Mungkin terdapat perilaku yang
katatonia.
Epidemiologi
Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1
sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Di Amerika Serikat
prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5
persen; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological Catchment Area
(ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan
prevelensi seumur hidup sebesar 1,3 persen. Kira-kara 0,025 sampai 0,05 persen populasi
total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang
diobati tersebut membutuhkan perwatan dirumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua
pasien skizofrenik mendapatkan pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.
Skizofrenia adalah sama-sama prevelensinya antara laki-laki dan wanita. Tetapi, dua
jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalaan penyakit . Laki-laki
mempunyai onset skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Lebih dari setengah semua
pasien skizofrenik laki-laki tetapi hanya sepertiga pasien skizofrenik wanita mempunyai
perawatan dirumah sakit psikiatrik yang pertamanya sebelum usia 25 tahun. Usia puncak
onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanita usia puncak adalah 25 sampai
35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun adalah sangat
jarang. Kira-kira 90 persen pasien dalam pengobatan skizofrenia adalah antara usia 15 dan 55
tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin dari pada
wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan bahwa wanita lebih mungkin memiliki fungsi
sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik
wanita adalah lebik baik dari pada hasil akhir untuk pasien skizofrenik laki-laki.
Gejala klinis
Secara klinis untuk menegakkan diagnosis skizofrenia diperlukan kriteria diagnostik.
a. Kriteria diagnosis menurut Eugen Bleuler, dibagi menjadi gejala primer dan sekunder.
Gejala primer (4A):
1. Asosiasi terganggu
Suatu proses pikir yang terganggu berupa ide yang satu belum habis diutarakan sudah
muncul ide yang lain sehingga pembicaraan menjadi tidak dapat diikuti atau dimengerti.
2. Autisme
Suatu kecenderungan untuk menarik diri dari kehidupan sosial.
Orang tersebut lebih suka menyendiri dan berdialog dengan dunianya sendiri.
3. Afek terganggu
Suatu gangguan berupa ketidaksesuaian antara antara afek dengan suasana perasaan,
dapat berupa afek tumpul, mendatar atau tidak serasi.
4. Ambivalensi
Dua hal yang berlawanan dapat timbul pada saat yang bersamaan pada objek yang sama.
Selain gejala 4A di atas, beberapa ahli menambahkan adanya gejala A yang lain yang
dapat dijumpai pada pasien skizofrenia kronis seperti abulia,menurunnya
atensi,apati,alienasi,anhedonia,automatisme,dan lain-lain.
Gejala sekunder:
1. Waham
Keyakinan patologis yang tidak dapat dikoreksi, meskipun telah ditunjukkan bukti nyata
bahwa keyakinannya salah dan di luar jangkauan sosio-budayanya.
2. Halusinasi
Munculnya suatu persepsi baru dari panca indera yang salah (false perception) tanpa
adanya rangsangan/objek dari luar.
3. Ilusi
Munculnya suatu persepsi baru dari panca indera yang salah (false perception) akibat
adanya suatu rangsangan/objek dari luar.
4. Depersonalisasi
Suatu keadaan dimana seseorang merasa dirinya secara tiba-tiba berubah dan tidak seperti
sebelumnya.
5. Negativisme
Sikap yang menolak atau berlawanan dengan yang diperintahkan kepadanya tanpa suatu
alasan
6. Automatisasi
Suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sendirinya tanpa adanya pengaruh dari luar dan
tidak mempunyai tujuan
7. Echolalia
Secara spontan menirukan bunyi, suara atau ucapan yang didengar dari orang lain seperti
membeo
8. Manerisme
Tindakan mengulang-ulang perbuatan tertentu secara eksesif, biasanya dilakukan secara
ritual seperti melakukan suatu seremonial
9. Stereotipik
Tindakan mengulang-ulang suatu pekerjaan atau perbuatan tanpa adanya suatu tujuan
(non-goal directed) dan tidak selesai-selesai
10. Fleksibilitas Cerea
Suatu sikap, bentuk atau posisi yang dipertahankan dalam waktu yang lama. Bila posisi
tersebut digeser, maka posisi baru tersebut tetap dipertahankan (seakan-akan seperti lilin)
11. Benommenheit
Intelektual atau perkembangan mental yang terlambat atau terbatas
c. Kebingungan
d. Perubahan mood disforik dan euforik
e. Perasaan kemiskinan emosional
f. dan beberapa lainnya
B. Disfungsi sosial atau pekerjaan untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan,
satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri,
adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-
anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik,
atau pekerjaan yang diharapkan).
E. Penyingkiran zat/ kondisi medis umum: Gangguan tidak disebabkan oleh afek
biologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau
suatu kondisi medis umum.
d. Sedangkan pedoman diagnostik lain yang dapat digunakan adalah PPDGJ III, yaitu :
A. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih gejala- gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1. “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi
pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda: atau
“thought insertion” : isi yang asing masuk di dalam pikirannya (insertion)
atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar
“thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
3. Halusinasi pendengaran, dapat berupa suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri
(diantara berbagai suasana yang berbicara) atau, jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca,
atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
B. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
1. Halusinasi yang menetap dan panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
2. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensiatau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
3. Perilaku katatonik, seperti keadaan gelisah-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor
4. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
C. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
D. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan makna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri
(self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal,
fase aktif, fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi
jelas. Gejala tersebut meliputi : rendahnya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan
waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan menggangu individu
serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti
dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala
positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi,
disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak
mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami
eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala-
gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang.
Disamping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas, penderita skizofrenia juga
mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa,
kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).
Secara klinis skizofrenia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, tiap
golongan mempunyai spesifikasi masing-masing. Skizofrenia dapat digolongkan menjadi
A. Skizofrenia tipe hebefrenik
B. Skizofrenia tipe katatonik
C. Skizofrenia tipe paranoid
D. Skizofrenia tipe residual
E. Skizofrenia tipe tak tergolongkan
yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh
genetic melebihi pengaruh lingkungan.
Pada penelitian yang sekarang dengan dilakukan observasi dengan berbagai peralatan
biologi molecular dan genetic molecular. Terdapat beberapa hubungan yang dilaporkan pada
pasien dengan skizofrenia, meliputi kromosom 3,5,6, 8,13,dan 18. Dan disamping itu juga
diketemukan trinucleotide repeats ( CAG/ CTG) pada kromosm 17 dan 18.
B. Biokimia
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiolgi dari skizofrenia
adalah hipotesa dopamine. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan bahwa skizofrenia
disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari
hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia
dimana berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamine ( D 2 ) reseptor.1
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu
bidang spekulasi adalah reseptor dopamine tipe 1 mungkin memainkan peranan dalam gejala
negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D 1 sebagai pendekatan
pengobatan untuk gejala tersebut.2
mesolimbic overactivity =
positive symptoms of psychosis
praterapi yang tinggi dengan : keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat anti
psikotik.
Disamping itu perlu juga dipikirkan neurotransmitter lainnya seperti serotonin dan
asam amino GABA sebagai etiologi dari skizofrenia. Secara spesifik antagonism pada
reseptor serotonin ( 5 – hidroxy- tryptamine) tipe 2 ( 5 – HT2) menurunkan gejala psikotik
dan dalam menurunkan gangguan tersebut berhubungan dengan antagonism D2.
Pada salah satu penelitian, aktivitas serotonin berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impuls yang serupa juga ditemukan pada pasien skizofrenia.
Neurotransmiter lainnya yang juga berperan adalah asam amino GABA inhibitor,
dimana pada beberapa pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA nergik di
dalam hipokampus. Kehilangan inhibitor GABA ergik secara teoritis dapat menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergic.
Dalam dekade yang lalu semakin banyak penelitian yang telah melibatkan peranan
patofisiologis untuk daerah tertentu di dalam otak, termasuk system limbic, korteks frontalis,
dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada
salah satu daerah mungkin akan melibatkan patalogi primer di daerah lainnya di dalam otak.
Penelitian menyebutkan bila terjadi disfungsi misalnya pada bagian tertentu dari sitem
limbic yang merupan tempat yang potensial akan menimbulkan gangguan pada sebagian
besar pasien dengan gangguan skizofrenia.
Pembesaran ventricular otak merupakan salah satu yang palin sering menyebabkan
gangguan pada pasien skizofrenia. Akan tetapi pembesaran pada sulkus dan atrofi pada otak
juga pernah dilaporkan. Pembesaran ventricular secara teoritis berhubungan dengan
kemiskinan fungsi premorbid, gejala negative, kemiskinan terhadap respon pengobatan, dan
gangguan kognitif.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan MRI terdapat juga kemungkinan kerusakan
pada daerah thalamus, amygdale/ hippocampus, lobus temporal, dan basal ganglia. Pada
peneliatan, menunjukan sampel otak pasien skizofrenia postmortem diketemukan adanya
penurunan ukuran daerah tersebut. Ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan
dimana pada pasien skizofrenia mempunyai pergerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya
gangguan pergerakan akibat medikasi. Gerakan aneh termasuk berjalan yang kaku,
menyeringai wajah, dan gerkan streotipik. Sehingga ganglia basalis dilibatkan dalam
patofisiologi skizofrenia.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ukuran regio temporal yang berkurang pada
skizofrenia dan gangguan pada gyrus temporalis superior atau planum temporal berhubungan
dengan timbulnya halusinasi.
D. Perkembangan saraf
Saat trisemester kedua pada kehamilan, neuron otak janin harus saling berhubungan
dengan neuron lainnya sehingga menghasilkan suatu kesatuan dalam otak. Gangguan proses
perkembangan yang dapat dihubungkan pada gangguan skizofrenia adalah kegagalan sel
dalam melakukan pematangan, pemindahan hingga terjadinya apoptosis. Kegagalan dari sel
untuk berpindah pada posisi yang benar akan menyebabkan terjadinya daerah abu abu yang
ektopik pada otak dan kekacauan neuron pada daerah spesifik di hipokampus. Hal tersebut
akan menimbulkan gejala pada pasien skizofrenia.
Disamping itu juga ditemukan adanya hubungan gangguan perkembangan dengan
cedera otak yang terjadi pada awal kehidupan, dimana pada pasien dengan skizofenia
memiliki lebih banyak sejarah cedera otak dan komplikasi perinatal dibandingkan dengan
pasien yang tidak skizofrenia.
E. Elektrofisiologi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan
Periode 9 Agustus – 11 September 2010 Page 18
Etiologi Skizofrenia dari Faktor Biologis dan Psikosial Syamsun Najwa 030.04.274
F. Neuroimunolgi
Sejumlah kelaianan imunologis dihubungkan dengan pasien skizofenia dimana
didapatkan adanya penurunan produksi interleukin – 2 sel T, penurunan jumlah dan
responsifitas limfosit perifer, kelainan pada reaktivitas seluler dan humoral terhadap neuron,
dan adanya antibody yang diarahkan ke otak. Penelitian yang dilakukan secara cermat yang
mencari bukti – bukti infeksi virus neurotoksik pada skizofrenia telah menghasilkan hal yang
negative, walaupun data epidemiologi menunjukan tingginya insidensi skizofrenia.
G. Komplikasi kelahiran
Penelitian terakhir menyatakan bahwa skizofrenia juga dapat disebabkan dari
ketidaknormalan perkembangan otak. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa paparan yang
terjadi pada wanita hamil, seperti komplikasi pada kelahiran dapat menyebabkan
meningkatnya resiko menderita skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan
kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
H. Malnutrisi
Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama yang bila terjadi pada trimester pertama
kehamilan, dapat menyebabkan gangguan perkembangan struktur sistem saraf pusat. Yang
mana pada akhirnya hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia.
Menurut Dr. Jack McClellan seorang professor psikiatri dari University of
Washington, asam folat mempunyai peranan besar dalam proses transkripsi gen dan regulasi,
serta replikasi DNA. Kekurangan zat ini pada janin akan menyebabkan mutasi ini dapat
menyebabkan ketidaknormalan fungsi otak yang dapat berkembang menjadi skizofrenia.
I. Infeksi
Infeksi virus yang terjadi selama kehamilan, dapat mengganggu perkembangan otak
janin, yang berakibat timbulnya skizofrenia di kemudian hari. Perubahan anatomi pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan
Periode 9 Agustus – 11 September 2010 Page 19
Etiologi Skizofrenia dari Faktor Biologis dan Psikosial Syamsun Najwa 030.04.274
susunan saraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang-orang dengan
skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua
kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia.
Virus influenza, measles, polio, herpes simplex tipe 2, difteria dan pneumonia yang
terjadi pada janin merupakan faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
skizofrenia, walaupun belum dapat dipastikan apakah penyakit ini langsung mengenai otak
janin atau ketidaknormalan perkembangan merupakan akibat sekunder dari respon imun
maternal.
Teori belajar
Ahli teori belajar, mempelajari anak – anak yang kemudian menderita skizofrenia.
Mereka mempelajari reaksi dan cara berpikir yang irasional dengan meniru orang tuanya
yang mungkin memiliki masalah emosionalnya yang bermakna.
Hubungan interpersonal yang buruk, menurut teori belajar, berkembang karena telah
dipelajarinya model yang buruk selama masa kanak – kanak.
hubungan condong antara satu orang tua melibatkan suatu perjuangan tenaga antara orang tua
dan menyebabkan dominasi salah satu orang tua.
Teori lain yang diungkapkan oleh Lyman Wynne menggambarkan keluarga di mana
ekspresi emosional komunikasi verbal secara semu ( pseudomutual) atau bermusuhan secara
semu ( pseudohostile). Hal tersebut menyebabkan perkembangan komunikasi verbal yang
unik pada keluarga tersebut dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain di luar keluarga, dan
masalahnya akan timbul jika anak meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang lain.
Teori sosial
Beberapa ahli menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi terlibat dalam
penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data mendukung teori tersebut, namun stress
sebenarnya dianggap dapat menimbulkan efek utama dalam menetukan waktu onset dan
keparahan penyakit.
KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang kompleks dan banyak aspek tentang
Skizofrenia sampai saat ini belum dapat dipahami sepenuhnya. Sebagai suatu sindrom,
pendekatan Skizofrenia harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan aspek
neurobiologi, psikososial, psikodinamik, psikoedukatif dan lain-lain.
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi, biasanya berat,
berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari alam pikiran, alam perasaan dan alam
perbuatan. Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1
dari 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan
perjalanan penyakit. Onset untuk laki-laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun.
Hingga saat ini etiologi skizofrenia belum dapat diketahui dengan pasti. Dapat
dikatakan bahwa factor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang
menjadikan manifest atau factor pencetus ( ‘’precipiting factor”) seperti penyakit badaniah
atau stress psikologik, biasanya tidak meyebabkan skizofrenia secara langsung, walaupun
pengaruhnya terhadap suatu penyakit skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.
Prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada golongan sosioekonomi yang rendah.
Disamping itu kondisi hidup yang penuh dengan stress dinyatakan mempunyai andil dalam
menimbulkan skizofrenia.
Untuk itu agar penyakit mental ini tidak bertambah berat dilakukan dengan anggota
keluarga memberikan dukungan dan menyiapkan lingkungan yang lebih baik sehingga
derajat keparahan penyakit menurun, disamping itu peranan masyarakat dan kelompok sosial
juga mempengaruhi respon terhadap perjalanan penyakit secara langsung maupun tidak
langsung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. 7th ed. Jakarta. Binarupa Aksara, 1997: 685-729
2. Setiabudhi T. Skizofrenia dalam catatan ilmu kedokteran jiwa. Cetakan ke 8. Jakarta.
Universitas Trisakti. 2008:41-46
3. Ibrahim SA. Skizofrenia. Cetakan kedua. Jakarta : PT. Dian Ariesta. 2002.
4. American Psychiatric Associates. Diagnostic Criteria From DSM-IV. Skizofrenia and
Other Psychotic Disorders. Washington : 2000. Hal 153-154.
5. Direktorat Kesehatan Jiwa. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia. Gangguan Skizofrenik. Jakarta : 1983. Hal 118-120.
6. Rusdi M. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta. 2001.14-22.
7. http://www.schizophrenia.com/
8. http://en.wikipedia.org/wiki/Schizophrenia
9. http://www.schizophreniaforum.org/for/int//Murray/murray.asp
10. http://www.namigainesville.org/images/schizophrenia%20review%20very%20good.pdf