You are on page 1of 119

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI

PERSEPSI PENDERITA KUSTA


TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA
( Studi Kualitatif )

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2


Magister Promosi Kesehatan

Soedarjatmi
E4C006118

PROGRAM STUDI MAGISTER PROMOSI KESEHATAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
TESIS
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI
PENDERITA KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA

Disusun oleh
SOEDARJATMI
E4C006118

Telah dipertahankan di depan tim penguji pada tanggal 04 Desember 2008


dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui
Dewan Penguji

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. VG. Tinuk Istiarti, Mkes DR.Laksmono


Widagdo,SKM,MHPEd.
NIP. 131 764 483 NIP. 130 422 787

Penguji I Penguji II

dr. Harbandinah P, SKM Priyadi Nugraha, SKM, M.Kes


NIP. 130 354 865 NIP. 132 046 693

Mengetahui
Ketua Program Studi
Magister Promosi Kesehatan
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD


NIP. 131 627 954
PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Soedarjatmi

Nim : E4C006118

Menyatakan bahwa tesis judul:

” FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA

KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA ” merupakan :

1. Hasil karya yang dipersiapkan dan disusun sendiri

2. Belum pernah disampaikan untuk mendapatkan gelar pada program

Magister atau program lainnya.

Oleh karena itu pertanggung jawaban tesis ini sepenuhnya berada pada diri

saya.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Semarang, 18 Desember 2008


Penyusun

Soedarjatmi
NIM : E4C006118
RIWAYAT HIDUP

Riwayat pendidikan penulis:

1. Tahun 1976 Lulus SD Negeri 07 di Surakarta

2. Tahun 1980 Lulus SMP Negeri 02 di Surakarta

3. Tahun 1983 Lulus SMA Negeri 04 di Surakarta

4. Tahun 1986 Lulus AkademiFisioterapi di Surakarta

5. Tahun 2004 Lulus Sarjana Kesehatan Masyarakat Undip di Semarang

6. Tahun 2006 masuk Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro

Semarang Lulus tahun 2008

Riwayat pekerjaan penulis:

1. Tahun 1986 sampai dengan tahun 1993 bekerja dibagian Fisioterapi RS.

Bethesda Yogyakarta.

2. Tahun 1993 sampai dengan sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri

Sipil di RSUD Tugurejo Semarang.


KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas karunia yang

dilimpahkan kepada penulis, sehingga pada akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyususnan tesis ini.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai derajat

Magister Pascasarjana Program Studi Magister Promosi Kesehatan Universitas

Diponegoro Semarang. Keberhasilan penyusunan tesis ini tidak lepas dari

bantuan dan dorongan berbagai pihak. untuk itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya, semoga segala bantuan,

bimbingan, nasehat dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis menjadi

amal kebaikan dan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah SWT. Terimakasih

penulis sampaikan kepada:

1. Ibu drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH,PhD, selaku Ketua Program Studi

Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro Semarang

2. Ibu Dra. VG. Tinuk Istiarti, MKes, selaku pembimbing utama, yang

telah banyak memberi masukan-masukan, bimbingan, nasehat, dorongan

dan semangat sehingga selesainya tesis ini.

3. Bapak DR. Laksmono Widagdo, SKM, MHPEd, selaku pembimbing

kedua, atas kesediaan dan keikhlasannya serta penuh pengertian telah

banyak memberikan bimbingan dan dorongan hingga selesainya tesis ini

4. Ibu dr. Harbandinah P, SKM, selaku penguji yang telah memberikan

berbagai pendapat, bantuan dan masukan untuk kebaikan tesis ini

5. Bapak Priyadi Nugraha, SKM, MKes, selaku penguji yang telah

memberikan berbagai pendapat dan masukan untuk kebaikan tesis ini


6. Bapak dr. Joko Sugiarto, SpA,. Selaku Direktur RSUD Tugurejo

Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

7. Bapak Teleng Warganto,SH, suami tercinta penulis, atas segala

pengertian, do’a yang tiada hentinya, dorongan dan nasehatnya hingga

terselesainya tesis ini.

8. Putra penulis, Fajar Pradipta dan Wikan Isthika Murti, yang dengan

ikhlas penuh pengertian dan selalu berdo’a menyemangati penulis dan

membantu dalam mencari bahan di internet dan media lain hingga

selesainya tesis ini. You and I, our love will never die.

9. Bapak-Ibu Sayoko, orang tua penulis atas do’a, dukungan dan

support bagi penulis.

10. Rekan-rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

yang telah banyak membantu dan memberi semangat terus-menerus

kepada penulis hingga selesainya tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak

kekurangan, dan jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun demi baiknya tesis ini. Akhirnya

semoga tesis ini bisa bermanfaat, utamanya pada diri penulis dan bagi siapa saja

yang membacanya.

Semarang, Desember 2008

Penulis

Soedarjatmi
NIM. E4C006118
HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk :

Suami tercinta, terima kasih untuk semua perhatian, do’a, dukungan,

pengertian, kesetiaan dan kesabarannya.

Untuk anak-anakku Fajar Pradipta dan Wikan Isthika Murti atas do’a ,

pengertian dan bantuan kalian. You and I our love will never die. Semoga

selesainya tesis ini menjadi penyemangat keberhasilan studi kalian


MOTTO

Sesungguhnya, dimana ada kesulitan disitu ada kelapangan.

Karena itu, bila engkau telah selesai dari satu urusan, kerjakanlah urusan lain

dengan tekun

( QS : Al Insyirah : 5 dan 7 )
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iii
HALAMAN RIWAYAT HIDUP ........................................................................ iv
HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vii
MOTTO........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xiv
ABSTRAK....................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 5
D. Ruang Lingkup ....................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
F. Keaslian Penelitian ................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 11


A. Penyakit Kusta ....................................................................... 11
1. Definisi penyakit kusta ..................................................... 11
2. Faktor-faktor yang menentukanterjadinya sakit kusta ...... 11
3. Diagnosa sakit kusta ........................................................ 15
4. Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) .......................... 16
5. Klasifikasi ......................................................................... 17
6. Reaksi kusta .................................................................... 18
7. Pengobatan ...................................................................... 22
8. Kecacatan akibat penyakit kusta ...................................... 23
B. Persepsi ................................................................................. 24
C. Stigma .................................................................................... 27
D. Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta ................ 29
E. Penanganan Penyakit Kusta di RSUD Tugurejo Semarang .. 32
F. Landasan Teori ....................................................................... 35
1. Perilaku menurut L.W. Green ............................................. 35
2. Perilaku menurut Rosenstock (HBM).................................. 37
F. Kerangka teori ........................................................................ 41

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 42


A. Kerangka Konsep .................................................................. 42
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................ 43
C. Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................... 43
D. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................... 45
E. Variabel penelitian dan Definisi Operasional ......................... 46
F. Instrumen yang Digunakan .................................................... 48
G. Sumber Data, Teknik Pengolahan dan Analisa Data ............. 49
H. Validitas dan Reabilitas Data ................................................. 51
I. Keterbatasan Penelitian.......................................................... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................... 54


A. Gambaran Umum penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo
Semarang ............................................................................... 54
B. Karakteristik Responden ......................................................... 55
1. Umur dan jenis kelamin responden .................................... 55
2. Pendidikan responden ........................................................ 55
3. Pekerjaan responden .......................................................... 55
4. Berdasarkan status nikah ................................................... 56
5. Berdasarkan lama menderita penyakit kusta....................... 56
C. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta
terhadap stigma penyakit kusta .............................................. 56
1. Stigma penyakit kusta ...................................................... 56
2. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan
terkena penyakit................................................................ 61
3. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit ............ 65
4. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip. 70
5. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip .... 76
6. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita
terhadap stigma penyakit kusta ........................................ 78
7. Faktor Ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita
terhadap stigma penyakit kusta ........................................ 83

BAB V PEMBAHASAN............................................................................ 86
A. Pembahasan ........................................................................... 86
1. Karakteristik responden .................................................... 86
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi responden 87
a. Stigma penyakit kusta ................................................... 87
b. Persepsi terhadap kemudahan kemungkinan terkena
penyakit kusta ................................................................ 88
c. Persepsi terhadap kegawatan penyakit ........................ 89
d. Persepsi terhadap manfaat berperilaku positip............. 89
e. Persepsi terhadap risiko berperilaku negatip ................ 90
f. faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita
kusta terhadap stigma penyakit kusta............................ 91
g. Faktor Ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita
kusta terhadap stigma penyakit kusta............................ 92
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 95
A. Kesimpulan ............................................................................ 95
B. Saran ..................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1.1 Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan


rencana peneliti ....................................................................... 7
Tabel 2.1 Klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO ......................... 17
Tabel 2.2 Beda reaksi berat dan ringan..................................................... 19
Tabel 2.3 Perbedaan reaksi berat dan ringan tipe I .................................. 20
Tabel 2.4 Perdedaan reaksi tipe I dan II ................................................... 21
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Perseptual............................................................................ 24


Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi penderita ....... 27
Gambar 2.3 Alur Pelayanan Pasien Poliklinik Khusus penyakit kusta..... 34
Gambar 2.4 Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu
atau kelompok...................................................................... 37
Gambar 2.5 Basics of Health Belief Model.............................................. 39
Gambar 2.6 Kerangka Teori modifikasi teori L.W Green dan teori HBM. 41
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian ................................................ 42
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Panduan wawancara mendalam dengan responden


Lampiran 2 Panduan wawancara mendalam dengan suami, ayah, paman,
tetangga dan teman penderita kusta.
Lampiran 3 Hasil wawancara dengan Responden
Lampiran 4 Hasil wawancara dengan Informan
Lampiran 5 Foto-foto penelitian
DAFTAR SINGKATAN

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah


MB : Multi Basiler
PB : Pausi Basiler
WHO : World Health Organization
MDT : Multi Drug Therapy
DDS : Diamino Diphenyl Sulphone
BTA : Bakteri Tahan Asam
ENL : Eritema Nodusum Leprosum
HBM : Health Belief Model
PHBS : Perilaku hidup Bersih dan Sehat
Program Pasca Sarjana
Magister Promosi Kesehatan
Universitas Diponegoro Semarang
2008
Abstrak
SOEDARJATMI (E4C006118)
xvi + 97 halaman + 5 tabel + 7 gambar + 45 kotak (studi Kualitatif)
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PERSEPSI PENDERITA
KUSTA TERHADAP STIGMA PENYAKIT KUSTA

Di Jawa Tengah pada tahun 2006 ditemukan 4.171 orang penderita kusta
terdaftar, penderita yang sudah dalam keadaan cacat berjumlah 241, penderita
usia anak 163 dan penderita yang sedang diobati 1.989 orang. Kurangnya
pengetahuan penderita kusta tentang penyakit ini menyebabkan timbulnya
persepsi negatif yaitu stigma tentang penyakit kusta. Tujuan penelitian untuk
mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta
terhadap stigma penyakit kusta.
Penelitian ini dilakukan dengan metode diskriptif kualitatif yang menggunakan
rancangan studi kasus. Responden dipilih secara porposif terdiri dari penderita
kusta yang berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam, selanjutnya data di analisis dengan
content analysis (diskripsi isi).
Hasil penelitian menunjukkan, Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit
kusta merupakan penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama
orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan
sebagian besar resonden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta.
Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang
berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau kecacatan seumur
hidupnya. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku positip ditunjukkan dengan
berobat secara rutin, melakukan perawatan diri dengan rajin dan mau
berinteraksi dengan lingkungan. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku negatip
yaitu tidak mau berobat karena malu, mengucilkan/mengisolasikan diri dan putus
asa. Semua responden berpersepsi bahwa masyarakat disekitar tempat tinggal
dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta dan
responden berpersepsi sikap membatasi diri, menutupi
kekurangannya/kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi stigma.
Disarankan bagi Puskesmas untuk memberikan promosi kesehatan penyakit
kusta yang mampu membentuk pengertian yang benar dan positip serta untuk
melaksanakan pengobatan secara rutin.
Bagi RSUD Tugurejo, agar mengoptimalkan pelayanan Rehabilitasi Medik, Perlu
adanya suatu kelompok penderita kusta dengan program kegiatan untuk
meningkatkan motivasi dan upaya pencegahan kecacatan.
Perlunya program monitoring dan evaluasi bagi pasien yang sudah dinyatakan
sembuh dari penyakit kusta. Bagi Penderita Kusta dan Keluarga agar berobat
secara teratur, melakukan perawatan diri dan melaksanakan PHBS.
Kata kunci : Persepsi, Stigma, Kusta
Daftar Pustaka : 45 ( 1975 – 2007 )
Post-Graduate Programme
Magister Of Health Promotion
Diponegoro University of Semarang
2008

Abstracts

SOEDARJATMI (E4006118)
" THE LEPROSY PATIENT BACKGROUND'S FACTORS CONCERNING
LEPROSY DISEASE STIGMA "
xvi + 97 + 5 tables + 7 picture + 45 appendix

In year 2006 detected 4.171 leprosy patient registered in Central of Java, out of
those 241 leprosy patient had been physical defected condition, 163 child age
patient , 1989 patient had being cured. The lack knowledge of such a disease by
leprosy patient bringing on negative perception arising out that is the leprosy
disease stigma. The objective of research is to discribe the Leprosy patient
background's factors concerning leprosy disease stigma .
The reasearch had been done in qualitative descriptive method which use the
study case program.The respondent were chosed propotion from the leprosy
patient who were being in medical treatment at Tugurejo Hospital to the number
of 8 patient. The data collection were being done indepth-interview , furthermore
the data were being analysed with content analysis.
The result of Research indicate that leprosy patient have perception that leprosy
is contagion to everybody ,particularly for those who not having clean dan
healthy live behavior and much of
the respondent did not know how the leprosy desease spreading. The Leprosy
patient have persception that leprosy desease is a dangerous and serious
desease which is may caused death and physical defect along life. The leprosy
patient have perception that postive behavior refer to routine check up ,
frequently self care and want to interact with their neighborhood. The leprosy
patient have perception that negative behavior refer to not to get nursery because
of ashame,self isolation and desperate.
All of the respondent have the same perception that the neighborhood and their
friends did not know that the respondent having leprosy disease so they have
perception introvert behavior, cover their deformity are the action to reduce
stigma.
Suggestion: The "Puskesmas" to give leprosy disease health promotion which is
enable to form the right understanding and positive as well as conducting routine
medicinal treatment.
For the Tugurejo Hospital in order to optimize Medical Rehabilitation Service, The
need for the leprosy patient group existence by means of such activity program
to improve the motivation and preventing physical defect effort. The need for
leprosy patient and family evaluation and monitoring program in order to get
medicinal treatment consecutively, conducting self treatment and carry on having
clean dan healthy live behavior.
Keyword : Perception, Stigma and Leprosy.
Bibliography : 43 (1975 - 2007)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan

oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) menyerang saraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Tanda utama penyakit ini

adalah adanya bercak putih atau kemerahan yang mati rasa (anaestesi).

Penyakit kusta berkembang lambat dengan masa tunas rata-rata 2 – 5 tahun

kadang bisa lebih. Penularan terjadi dari seorang penderita yang tidak diobati ke

orang lain melalui pernafasan atau kontak langsung yang lama dan terus -

menerus (1).

Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan

penderita mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan

bisnis sampai kehadiran mereka pada acara –acara keagamaan serta acara di

lingkungan masyarakat (2)

Penyakit kusta juga menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang

dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
(1)
ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan nasional . Kecacatan

yang berlanjut dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak

baik akan menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang

normal serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat,
(7)
keluarga dan teman-temannya . Sedangkan secara psikologis bercak,

benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan.

Kecacatannya juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan


penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri bahkan sering

dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita

kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk

keadaan (1).

Penderita kusta masih banyak di Indonesia jumlah penderita barupun

masih banyak ditemukan. Tiga besar provinsi dengan penemuan penderita baru

tertinggi tahun 2006 adalah Jawa Timur 5.068 penderita, Jawa Barat 2.188

penderita dan Jawa Tengah 1.788 penderita. Jumlah penduduk di Jawa Tengah

32.11.500 terdapat 4.171 (0,0013%) orang menderita kusta terdaftar

masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap

penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan

oleh kutukan, guna-guna, dosa, makanan ataupun keturunan.

Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas”

daripada fisik. Proses inilah yang pada akhirnya membuat para penderita terkucil

dari masyarakat, dianggap menjijikan dan harus dijauhi. Sebenarnya stigma ini

timbul karena adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru.

Salah satu misi Depertemen Kesehatan dalam pemberantasan penyakit

kusta adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada

pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi

masyarakat terhadap penyakit kusta melalui pembelajaran secara intensif


(1).
tentang penyakit kusta. Menurunkan stigma dan mengurangi diskriminasi

mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta. Hal ini sangat

penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam

kehidupan sehari –hari.


Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tugurejo Semarang merupakan

Rumah Sakit kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di Semarang bagian

barat, sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus

penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan

penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di

Jawa Tengah.

Data kunjungan rawat jalan penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun 2005

adalah 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah 3.975 dan tahun 2007 sebanyak
(5)
4.127 kunjungan. Tahun 2007 poli klinik khusus penderita kusta menemukan

192 kasus penderita baru. Jumlah penderita rawat inap kkusus kusta tahun 2005

adalah 190 pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan tahun 2007 terdapat

130 penderita yang harus dirawat. (6)

Dari pengamatan awal yang telah dilakukan peneliti ditemukan beberapa

perilaku penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo berbeda dengan

penderita penyakit lainnya, diantaranya mereka selalu mengambil tempat di

belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran diperiksa. Sebagian besar

mereka menundukkan kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan topi. Jika

diajak bicara mereka tidak menatap lawan bicaranya dan sebagian besar

memakai baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan peneliti pada bulan

Oktober 2007 terhadap 10 orang penderita kusta memperoleh hasil bahwa

masih ada persepsi negatif (stigma) penderita kusta terhadap penyakit kusta

Atas dasar hal tersebut diatas maka perlu diteliti mengenai faktor-faktor

yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta.


B. Perumusan masalah

Penderita kusta semakin hari semakin bertambah, data di poli klinik khusus

penderita kusta RSUD Tugurejo Semarang sejak tahun 2005 bukannya menurun

tetapi dari tahun ketahun menunjukan meningkatan jumlah kunjungan, bahkan

tahun 2007 rata-rata kunjungan pasien baru (penderita baru yang belum pernah

minum obat) berjumlah 16 orang per bulan. Di Jawa Tengah pada tahun 2006

ditemukan penderita baru sebanyak 1.788 orang.

Berabad–abad lamanya berbagai mitos dan kepercayaan menciptakan

proses stigma terhadap para penderita kusta, pada saat itu beberapa negara

mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan sterilisasi orang yang

terkena penyakit kusta, mereka dikucilkan dan dikarantina.

Berkaitan dengan fenomena stigma yang ternyata memang masih ada di

masyarakat luas, maka perlu pembelajaran yang benar kepada masyarakat luas

tentang kesalahan dalam memahami penyakit kusta.

Kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya penderita kusta tentang

penyakit ini menyebabkan timbulnya persepsi negatip yaitu stigma tentang

penyakit kusta , persepsi yang demikian akan menambah beban penderita.

Mereka menganggap benar tentang persepsi tersebut sehingga mereka akan

mengisolasikan diri dari lingkungannya. Mereka tidak akan berobat karena harus

pergi kesarana kesehatan yang dengan sendirinya harus keluar rumah, bertemu

dengan tetangga, kerabat dan petugas kesehatan, penderita takut penyakitnya

diketahui orang lain. Hal ini merupakan masalah besar bagi diri sendiri karena

rentan terjadi kecacatan dan bagi lingkungannya karena penderita ini merupakan

sumber penularan. Sebaliknya jika penderita mempunyai persepsi positip yaitu


percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh kuman dan bisa disembuhkan maka

hal ini dapat membantu penderita untuk lebih percaya diri dan mempunyai

motivasi juga dorongan untuk berobat agar cepat sembuh dan tidak terjadi

kecacatan.

Dari uraian tersebut diatas maka masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut : “Faktor – faktor apa saja yang melatar belakangi

persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta ?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita

kusta terhadap stigma penyakit kusta.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan karasteristik responden.

b. Mendiskripsikan stigma tentang penyakit kusta menurut persepsi

responden.

c. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap kemudahan

kemungkinan terkena penyakit.

d. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit.

e. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku

positip.

f. Mendiskripsikan persepsi penderita terhadap risiko berperilaku

negatip.

D. Ruang Lingkup Penelitian


1. Lingkup Masalah

Masalah dibatasi pada Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi

penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta.

2. Lingkup Sasaran

Sasaran penelitian adalah penderita kusta.

3. Lingkup Keilmuan

Penelitian ini termasuk dalam ilmu kesehatan masyarakat bidang

promosi kesehatan khususnya kajian materi perilaku.

4. Lingkup Metode

Metode penelitian yang dilaksanakan adalah metode kualitatif

5. Lingkup Lokasi dan waktu

Penelitian dilaksanakan di kota Semarang yaitu di RSUD Tugurejo

Semarang pada bulan Juni 2008.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas dapat dijadikan masukan dalam pemberian

penyuluhan dan melakukan pendekatan terhadap penderita kusta dalam

rangka menurunkan angka kesakitan kusta.

2. Bagi unit Pelayanan Kesehatan RSUD Tugurejo, dapat dipergunakan

sebagai bahan informasi dan support yang dapat disampaikan kepada

penderita saat berobat agar penderita tidak mempunyai persepsi salah

yaitu stigma penyakit kusta sehingga tidak menghambat proses

pengobatan yang sedang dijalani.


3. Bagi Program Promosi Kesehatan

Merupakan sumbangan bagi khasanah pustaka di program pendidikan

Promosi Kesehatan, khususnya untuk mata kuliah perilaku kesehatan.

4. Bagi Peneliti, penelitian ini sebagai pengalaman langsung dalam

melakukan penelitian terutama dengan metode kualitatif dan penulisan

hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah.

F. Originalitas Penelitian

Penelitian tentang penyakit kusta telah banyak dilakukan tetapi sepanjang

pengetahuan peneliti, penelitian tentang faktor-faktor yang melatar belakangi

persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta di Kota Semarang

secara kualitatif belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian tentang

penyakit kusta yang pernah dilakukan sebelumnya dan rencana peneliti

selengkapnya dapat ditampilkan dalam tabel 1.1 dibawah ini.

Tabel 1.1 Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan rencana

peneliti.

Judul dan nama Metode Sasaran Variabel Hasil


Peneliti dan Jenis yang diteliti
penelitian

1.Faktor-faktor Analitik Penderita Umur, jenis Ada


risiko yang kuantitatif Kusta kelamin, hubungan
berhubungan dengan tingkat antara
dengan rancangan pendidikan, beberapa
kecacatan penelitian Case status sosial faktor risiko
kusta di Control ekonomi, karasteristik
kabupaten Jenis individu,
Tegal oleh pekerjaan, aspek klinis
Joko Kurnianto, tipe kusta, penyakit
2002 reaksi kusta, kusta dan
keteraturaan aspek
berobat, pengobatan
motivasi terhadap
keluarga,loka kecacatan
si pada
lesi,pencegah penderita
an cacat dan kusta di
perawatan diri Kabupaten
Tegal

2.Faktor-faktor Analitik Guru UKS Umur, jenis Ada


yang berhubungan kuantitatif kelamin, hubungan
dengan perilaku dengan pendidikan, yang
guru UKS dalam rancangan status bermakna
upaya deteksi dini penelitian kepegawaian, antara
penderita kusta Cross Sectional masa kerja, pendapatan
pada anak SD di pendapatan, dengan
Kabupaten Blora pengetahuan, praktik
oleh Warijan, 2005 sikap, deteksi dini
peranan guru penderita
UKS dan kusta dan
praktik peranan
deteksi dini petugas
penderita kesehatan
kusta pada dengan
anak di praktik
Kabupaten deteksi dini
Blora. kusta di
Kabupaten
Blora.

3.Faktor-fartor yang Analitik Wasor Umur, jenis Ada


berhubungan kuantitatif Kusta kelamin, hubungan
dengan praktek dengan pendidikan, yang
pengawas kusta rancangan pelatihan, signifikan
dalam penemuan penelitian pengetahuan, antara
penderita baru Cross Sectional sikap, praktik pengetahuan
kusta di Kabupaten penemuan dan peranan
Blora oleh Agus penderita wasor kusta
Prasetyo, 2007 baru, dan dengan
peranan praktik
Wasor kusta penemuan
di Kabupaten penderita
Blora baru kusta di
Kabupaten
Blora

4. Beberapa faktor Analitik Penderita Umur, jenis Hubungan


yang berhubungan kuantitatif kusta kelamin, pendidikan
dengan praktek dengan pendidikan, ber pengaruh
penderita kusta rancangan pendapatan terhadap
dalam pencarian penelitian Cross keluarga, praktik
pengobatan di Sectional pengetahuan, pencarian
puskesmas sikap, pengobatan
Kunduran dukungan kusta di
Kabupaten Blora keluarga dan Puskesmas
oleh Dian praktik Kunduran.
Nugraheni, 2005 penderita Faktor umur,
kusta dalam jenis kelamin,
mencari pendapatan,
pengobatan di pengetahuan,
puskesmas dukungan
Kunduran keluarga dan
sikap secara
bermakna
tidak
berhubungan
dengan
praktek
penderita
dalam
mencari
pengobatan.

5. Rencana Deskriptif Penderita Umur, jenis Mengetahui


Penelitian. kualitatif kusta kelamin, dan
Judul : Faktor- dengan indepth pendidikan, menguraikan
faktor yang melatar interview pekerjaan, faktor-faktor
belakangi persepsi lama sakit, apa saja yang
penderita kusta faktor internal, melatar
terhadap stigma faktor belakangi
penyakit kusta oleh ekternal, persepsi
Soedarjatmi, 2008 persepsi penderita
penderita kusta
tentang: sehingga
kemudahan penderita
kemungkinan merasa
terkena terstigma
penyakit, karena
kegawatan penyakitnya.
penyakit,
manfaat
berperilaku
positif,
persepsi
penderita
terhadap
risiko
berperilaku
negatif dan
stigma
penderita
kusta.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan tentang : A. Penyakit kusta, B.

Mengenai persepsi, C. Tentang stigma, D. Persepsi penderita tentang stigma

penyakit kusta, E. Landasan Teori yaitu 1. Perilaku menurut L.W. Green, 2.

Perilaku menurut Rosenstock (HBM) dan F. Kerangka teori.

A. Penyakit Kusta

1. Definisi Penyakit Kusta

Penyakit Kusta juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen adalah

penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium

lepra) yang terutama menyerang saraf tepi dan organ tubuh kecuali susunan

saraf pusat.

2. Faktor – faktor yang menentukan terjadinya sakit kusta

a. Penyebab.

Mycobacterium leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.A.

Hansen dalam tahun 1873. kuman kusta ini berbentuk batang dengan ukuran

panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5 mic, biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam. Waktu

pembelahan sangat lama yaitu 2 – 3 minggu. Diluar tubuh manusia (dalam

kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari.

b. Sumber penularan

Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armandillo, Simpanse dan pada

telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus.

c. Cara keluar dari Penjamu (Host)


Kulit dan mukosa hidung telah lama diketahui sebagai sumber dari kuman.

Telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita lepramatous (tipe

MB, yang jumlah bakterinya banyak) merupakan sumber kuman yang terpenting

di dalam lingkungan.

d. Cara Penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler

(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Kusta

mempunyai masa inkubasi 2 – 5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun–tahun.

Penularan terjadi apabila M.Lepra yang solid (hidup) keluar dari tubuh penderita

dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana

cara penularan penyakit kusta, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan

cara kontak yang erat dan lama dengan penderita, penderita yang sudah minum

obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada

orang lain. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu

ditakuti, semua itu tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1) faktor sumber

penularan, adalah penderita MB saja. Penderita inipun tidak akan menularkan

apabila berobat teratur. 2) Faktor kuman kusta, kuman kusta dapat hidup diluar

tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca dan diketahui

hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan. 3)

faktor daya tahan tubuh, sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta

(95%). Dari hasil penelitian menunjukan gambaran sebagai berikut :

Dari 100 orang yang terpapar 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh

sendiri tanpa diobati dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi

memperhitungkan pengaruh pengobatan.


e. Cara masuk ke dalam tubuh

Tempat masuk kuman kusta kedalam tubuh sampai saat ini belum dapat

dipastikan, diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan

bagian atas.

f. Tuan rumah

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit penyakit kusta setelah kontak

dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya immunitas seseorang dalam

lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok berikut

ini yaitu :

1). Bila orang tersebut mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi merupakan

kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten / kebal terhadap

kuman kusta.

2).Bila orang tersebut memilki kekebalan rendah terhadap kuman kusta

mungkin akan menderita penyakit kusta yang dapat sembuh sendiri.

3). Bila orang tersebut tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta

merupakan kelompok terkecil dan mudah menderita kusta yang stabil dan

progresif. Sistim kekebalan yang efektif melawan kuman kusta adalah

sistim kekebalan seluler.

Tidak pada semua penderita terdapat banyak Mycobacterium leprae yang

hidup sehingga hanya kira-kira 5 – 15 % dari penderita kusta yang dapat

menularkan penyakit. Dilain pihak manusia sebagian besar kebal (95%)

terhadap kusta hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari

sebagian kecil ini 70% dapat sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi

sakit.
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga

kelompok berikut ini yaitu :

1). Penjamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok

terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

2). Penjamu mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta bila

menderita kusta biasanya tipe PB.

3). Penjamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang

memrupakan kelompok terkecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB

g. Cara pemutusan mata rantai penularan

Penentuan kebijaksanaan dan metoda pemberantasan penyakit kusta

sangat ditentukan oleh pengetahuan epidemiologi kusta dan perkembangan ilmu

dan teknologi di bidang kesehatan.

Upaya pemutusan mata rantai penularan dapat dilakukan melalui :

1). Pengobatan MDT pada penderita kusta

2). Isolasi terhadap penderita kusta namun hal ini tidak dianjurkan karena

penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan penyakit ke orang

lain.

3). Vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta.

Kondisi sosial ekonomi diperkirakan memainkan peranan penting dalam

upaya pemberantasan kusta. Perbaikan kondisi sosial ekonomi menghasilkan

penurunan insidens kusta meskipun faktor-faktor yang mendukung penurunan ini

tidak diketahui, kondisi perumahan, jumlah jiwa dalam satu rumah tangga dan

jumlah anggota keluarga diperkirakan merupakan faktor penting


3. Diagnosa Kusta

Diagnosa penyakit kusta hanya dapat didasarkan pada penemuan tanda

utama (Cardinal sign) yaitu :

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi)

atau kemerah-merahan (eritematous). Mati rasa dapat bersifat kurang rasa

(hipertesi) atau tidak merasa sama sekali (anaestesi).

b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis

saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan saraf ini bisa berupa :

1). Gangguan fungsi sensoris : mati rasa.

2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise).

3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, pembengkaan (edema)

dan lain-lain.

Peradangan pada penderita kusta (neuritis) dapat dirasakan berupa rasa

nyeri namun kadang-kadang penderita tidak merasakan adanya nyeri (silent

neuritis).

c. Basil tahan asam (BTA) positif.

Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin smear) asal

cuping telinga (rutin) dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan tertentu

kadang jaringan diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi).


Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari

tanda-tanda utama diatas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan

petugas ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek)

4. Tanda-tanda tersangka kusta (Suspek)

a. Tanda-tanda pada kulit

1). Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih atau benjolan

2). Kulit mengkilap

3). Bercak yang tidak gatal

4). Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak

berambut

5). Lepuh tidak nyeri

b. Tanda-tanda pada saraf :

1). Rasa kesemutan tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau

muka.

2). Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.

3). Adanya cacat (deformitas)

4). Luka yang tidak sakit

Tanda-tanda tersebut belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosa penyakit

kusta.

5. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan

dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau

multidrug therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Refampicin, lamprene


dan diamino diphenyl sulphone (DDS) maka penyakit kusta di Indonesia

diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :

a. Tipe Pausi Basiler (PB)

b. Tipe Multi Basiler (MB)

Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu :

a. Manifestasi klinik yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu

dan sebagainya.

b. Hasil pemeriksaan bakteriologis yaitu skin smear basil tahan asam

(BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan bila

diagnosa meragukan.

Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut

WHO adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO.

Tanda Utama PB MB

Bercak yang mati rasa / kurang Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5


rasa di kulit.

Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
dengan gangguan fungsi
(gangguan fungsi bisa berupa
kurang/mati rasa atau kelemahan
otot yang dipersarafi oleh yang
bersangkutan.

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif


Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005

6. Reaksi kusta

a. Pengertian

Reaksi kusta atau reaksilepra adalah suatu episode perjalanan kronis

penyakit kusta yang merupakan suatu kekebalan (seluler respon) atau reaksi

anatigen-antibodi (respon) dengan akibat merugikan penderita terutama

padasyaraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat) . Reaksi ini bisa

terjadi saat penderita mendapat pengobatan atau sesudah mendapat

pengobatan, kasus yang sering terjadi penderita mengalami reaksi pada 6 bulan

sampai satu tahun sesudah pengobatan dan berlangsung beberapa minggu

sampai beberapa bulan, bila reaksi ini tidak di tangani dengan cepat dan tepat

maka kecacatan permanen bisa terjadi (misal Claw hand, Drop foot dan lain-lain).

b. Jenis Reaksi

Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan menjadi 2 yaitu :

1) Reaksi tipe I ( Reaksi Reversal, Reaksi Up grading )

Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi

pada 6 bulan pertama pengobatan, hal ini terjadi karena meningkatnya respon

kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan saraf penderita

dan disi akan terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB.

a) Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan kulit, neuritis (nyeri pada

saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum

penderita.
b) Menurut keadaan reaksi maka reaksi tipe I ini dapat dibedakan yaitu

reaksiringan dan reaksi berat

c) Perjalanan reaksi berlangsung selama 6 – 12 minggu atau lebih

Tabel 2.2 Beda reaksi berat dan ringan pada reaksi tipe I

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat


1. Lesi Kulit Tambah aktif, menebal, merah, Lesi membengkak
panas dan nyeri tekan. Makula sampai ada yang pecah,
yang menebal dapat sampai merah teraba panas dan
membentuk plaque nyeri, tangan dan kaki
membengkak, pada
sendi terasa sakit dan
ada kelainan kulit baru.
2. Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan Nyeri tekan dan / atau
gangguan fungsi gangguan fungsi
misalnya kelemahan
otot.

Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005

2) Reaksi Tipe II (Reaksi ENL = Eritema Nodusum Leprosum)

Terjadi pada penderita tipeMB dan merupakan reaksi humoral, dimana

kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen.


Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen =

immunokompleks)

a. Gejala

Gejala dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan

gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ

tubuh.

b. Perjalanan reaksi

Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul

berulang-ulang dan berlangsung lama.

c. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan

dan reaksi berat.

Tabel 2.3 Perbedaan reaksi Berat dan Ringan Tipe I

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat

1. Lesi Kulit Nodul yang nyeri tekan, jumlah Nodulnyeri tekan, ada
sedikit biasanya hilang sendiri dalam yang sampai pecah
2-3 hari (ulseratif), jumlah
banyak, berlangsung
lama.
2. Keadaan Tidak ada demam atau ringan saja Demam ringan sampai
Umum berat
3. Syaraf tepi Tidak ada nyeri tekan, gangguan Ada nyeri tekan,
fungsi gangguan fungsi
4. Organ Tidak ada gangguan organ-organ Terjadi peradangan pada
Tubuh tubuh mata : liridocyslitis
Testis: Epididimoorchitis
Ginjal : Nephritis
Kelenjar Limfe :
Limfadenitis
Gangguan pada tulang
hidung dan tenggororan.

Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005

Tabel 2.4 Perbedaan reaksi Tipe I dan Tipe II

No Gejala / tanda Reaksi Tipe I Reaksi Tipe II


1 Keadaan Umum Umumnya baik, demam Ringan sampai berat
ringan (sub febril) atau disertai kelemahan
tanpa demam umum dan demam
tinggi
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama Timbul nodul
menjadi lebih meradang kemerahan, lunak dan
(merah), dapat timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulcerasi)
3 Saraf Sering terjadi umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri tekan saraf
dan / atau gangguan
fungsi saraf
4 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada
organ mata,kelenjar getah
bening, sendi, ginjal,
testis, dll
5 Waktu timbulnya Biasanya segera setelah Biasanya setelah
pengobatan mendapatkan
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan
6 Tipe Kusta Dapatterjadi pada kusta Hanya pada kusta tipe
tipe PB maupun MB MB
7 Faktor pencetus Emosi, kelemahan, stess fisik lain, kehamilan,
pasca persalinan,obat-obat yang meningkatkan
kekebalan tubuh penyakit infeksi lainnya

Sumber : Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku pedoman nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta 2005

7. Pengobatan

Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan/kutukan.

Pada tipe MB lama pengobatan :12-18 bulan dan tipe PB lama pengobatan : 6 -

9 bulan

Pengobatan penderita kusta menurut WHO menggunakan hemoterapi dengan

Multi Drug Treatment ( MDT ) jenis obatnya adalah Rifampicin, Dapson,

Lamprene tergantung dari tipe penyakitnya. Untuk tipe PB terdiri dari 2 macam

obat 2 kapsul Rifampicin 300 mg dan 1 tablet DDS 100 mg untuk hari pertama,

hari kedua dan seterusnya 1 tablet DDS 100 mg selama satu bulan, untuk tipe

MB menggunakan 2 kapsul Rifampicin 300 mg, 3 kapsul Lamperen 100 mg,

1 tablet DDS 100 mg untuk hari pertama, hari kedua dan seterusnya minum

DDS dan Lampren 50 mg masing-masing satu selama satu bulan.


8. Kecacatan akibat penyakit kusta

a. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan antara lain

1). Faktor yang berhubungan dengan penderita (umur, jenis kelaimin)

2). Faktor yang berhubungan dengan penyakitnya (lama menderita dan

tipe dari penyakit )

3). Kerusakan syaraf tepi (semakin dekat dengan kulit / superfisial makin

besar kemungkinan mengalami kerusakan akibat mikobakterium leprae,

makin mudah serabut syaraf menderita trauma makin mudah rusak oleh

mikobakterium leprae)

4). Pengobatan yang tidak sempurna dalam waktu lama akan

menimbulkan kecacatan pada penderita kusta.

5). Faktor pekerjaan : yang sering mengalami kecacatan adalah penderita

kusta yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja berat.

b. Pembagian Kecacatan

Dilihat dari asal terjadinya kecacatan :

1). Kecacatan Primer

Yaitu kecacatan langsung disebabkan oleh aktifitas penyakitnya sendiri,

cacat ini terbentuk selama fase aktif dari penyakitnya. Kecacatan primer ini

karakteristik untuk penyakit kusta dan perkembangannya bisa diramalkan, biasa

terjadi pada :

a). Wajah ( cuping telinga yang memanjang, hilangnya rambut alis, cacat

hidung/ hidung pelana, wajah keriput, lemah pada syaraf wajah/paralise

fasialis )
b). Anggota gerak ( kithing pada tangan / “clow hand “ dan “claw

thumb”, kithing jari-jari kaki/ “ clow toes” dan semper / “ drop foot” )

2). Kecacatan Sekunder

Yaitu kecacatan yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri

tetapi disebabkan oleh adanya anaestesi / mati rasa dan paralysis motoris /

kelumpuhan . Cacat ini terbentuk akibat salah dalam aktifitas / ”misuse” atau

tidak pernah digunakan “disuse” sebagai akibat adanya hilangnya perasaan kulit

/ insensibilitas. Tejadinya cacat karena adanya trauma dan infeksi sekunder,

biasa terjadi pada :

a). Tangan (luka pada ujung jari dan ruas jari hal ini disebabkan oleh cara

memegang yang berlebihan karena tidak terasa, pemendekan jari tangan,

kaku / kontraktur)

b). Kaki (luka akibat tumpuan berat badan,”osteolisis dan absorbsi” tulang

kaki, “tarsal collaps”, kaku/kontraktur).

B. Persepsi

Persepsi setiap orang terhadap suatu obyek akan berbeda-beda oleh

karena itu persepsi mempunyai sifat subyektif. Solomon mendefinisikan bahwa

sensasi sebagai tanggapan yang cepat dari indera penerima kita

(mata,telinga,hidung,mulut dan jari) terhadap stimuli dasar seperti cahaya, warna

dan suara. Sedangkan persepsi adalah proses bagaimana stimuli-stimuli itu

diseleksi, diorganisasi dan di interpretasikan.(8)


STIMULI Sensasi Pemberian arti
ƒ Penglihatan
ƒ Suara
ƒ Bau
ƒ Rasa
ƒ Tekstur

Persepsi

Indra Penerima Perhatian Interpretasi Tanggapan

Gambar 2.1 Perceptual (Michael R. Solomon, 1996)


Sumber : Sulisna, Perilaku Konsumen dan Komunikasi pemasaran, Bandung
2001

Persepsi dalam kamus psikologi adalah proses mengetahui atau mengenali


(11)
objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera . Robbins (2006) persepsi

didefinisikan sebagai proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan

dan menafsirkan kesan inderawi mereka untuk memberi makna kepada

lingkungan mereka dan menurut Kimble (1984) merupakan proses interpretasi

terhadap informasi yang ditangkap oleh panca indra, sesuatu yang bersifat

mengembangkan kreatifitas dan membantu memberikan makna bagi

pengalaman panca indera tersebut. Salah satu aspek penting yang berperan

dalam diri seseorang ketika ia mempersepsikan sesuatu adalah pengetahuan

yang dimiliki sebelumnya tentang apa yang sedang dipersepsikan.

Dikemukakannya pula bahwa persepsi merupakan suatu proses aktif dimana

orang yang mempersepsikan sering melebihi informasi yang baru didapatkannya

untuk membentuk suatu kesan dari ciri-ciri personal yang tak terlihat dan
kekuatan lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia karena orang yang

mempersepsi tidak berada didalam lingkungan sosial yang kosong. Kesan akhir,

sebagai produk dari persepsi ini merupakan kombinasi dari apa yang ada

senyatanya dengan apa yang diharapkan dari orang yang dihadapinya, kelas

dan tipe orang yang terlibat, serta situasi tertentu yang sedang mempengaruhi

individu yang sedang mempersepsi

Persepsi adalah pandangan individu terhadap lingkungannya sebagai gambaran

subyektif internal seseorang terhadap dunia luar. Persepsi merupakan proses

pengorganisasian dan penafsiran stimulus atau rangsangan seseorang sehingga

individu akan memberikan interpretasi dari obyek tertentu. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa persepsi merupakan hasil proses pengamatan seseorang

berasal dari komponen kognitif yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman proses

belajar, pengetahuan dan pendidikan serta keadaan sosial budaya setempat.

Persepsi merupakan salah satu mata rantai perubahan sikap. Faktor yang

berperan dalam pembentukan persepsi adalah kognitif, kepribadian dan budaya

yang dimiliki seseorang.(15)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses persepsi sehingga terjadi perbedaa

persepsi antara satu individu dengan individu lainnya terdiri dari faktor internal

dan ekternal.

Faktor-faktor internal antara lain :

1. Keturunan (heriditer)

2. Kondisi dan tuntutan biologis/fisiologi

3. Kecerdasan / pendidikan

4. Proyeksi diri (asumsi tentang perilaku orang lain yang dikaitkan dengan

nilai-nilai diri sendiri)


5. Harapan terhadap objek

6. Ketergesahan menilai sesuatu berdasarkan informasi yang tidak

lengkap

7. Efek halo (generalisasi sesuatu yang bersifat khusus)

8. Sikap dan kenyakinan keagamaan

9. Nilai-nilai individu yang dianut

10. Pengetahuan/pengalaman masa lalu tentang objek.

Faktor-faktor eksternal antara lain :

1. Norma masyarakat.

2. Adat istiadat.

3. Konformitas (upaya penyesuaian diri terhadap tuntutan orang lain/

tekanan sosial).

4. Pengaruh ekosistim lainnya (7)

Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang

didapatkan disini lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal

dan eksternal. Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi

seperti : sikap, motivasi, kepentingan, atau minat, pengalaman dan pengharapan.

Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan,

latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan,fisik, pekerjaan, kepribadian

dan pengalaman hidup individu (13)

Jenis
kelamin

Umur Tingkat
Pendidikan
Pekerjaan Persepsi Sosial
Ekonomi

Budaya Kepribadian &


Pengalaman

Lingkungan
Fisik

Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Penderita.

Sumber : Jacobalis, Samsi. Beberapa Teknik dalam Manajemen Mutu,


Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gajahmada, Yogyakarta,2000

C. Stigma

Stigma berasal dari zaman Yunani kuno, kata ini menunjukkan “tanda”

yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk cap pada tubuh orang-orang yang

dianggap bergolongan rendah seperti pencuri, penjahat, pengkianat Negara dan


(39)
tentu saja pada penderita kusta . Di era modern muncullah istilah

“stigmatisasi“ yang lebih mencerminkan kelas dari pada fisik, proses inilah yang

pada akhirnya membuat para penderita terkucil dari masyarakat dianggap

menjijikan dan harus dijauhi

Stigma dalam kamus P.Salim adalah hal yang membawa aib, hal yang

memalukan, noda aib atau sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu

atau takut karena sesuatu (14) .

Stigma adalah suatu karakteristik yang dipertimbangkan tidak diinginkan oleh

kebanyakan orang. Ada banyak bukti yang mendukung bahwa orang yang

dibuat merasa terstigmasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam


kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar. Proses stigmatisasi atau

“lebeling” memiliki dua akibat yaitu (12) :

1) Dapat membuat masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan

perilaku mereka terhadap individu yang dikenai stigma.

2) Stigma pada umumnya menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk

merubah persepsi tentang dirinya dan menjadikan mereka mendifinisikan diri

sendiri sebagai orang yang menyimpang.

Efek dari stigmatisasi dapat berlangsung lama tetapi efek ini dapat dibatasi

karena orang-orang yang mendapat stigma dapat menggunakan taktik yang

beragam agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui stigma mereka

diantaranya menyembunyikan secara selektif tentang stigma dimasa lalu,

mencegah pengungkapan diri terhadap teman dekat dan berbagai stategi

penipuan lainnya.

Banyak masyarakat berprasangka bahwa penyakit kusta sangat

membahayakan bagi lingkungan mereka selain menularkan dan menjijikan

mereka beranggapan bahwa penderita kusta tidak lagi berguna karena pada

keadaan cacat penderita tidak produktif lagi, ini merupakan sikap negatip yang

tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok atau individu. Brehm dan

Kanssin 1993 berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang

ditujukan terhadap seseorang berdasar semata-mata pada kelompok tertentu

dan melibatkan penilaian apriori. Kenyakinan yang mendasari timbulnya

prasangka tersebut disebut stereotype yaitu kenyakinan yang menghubungkan

sekelompok orang dengan ciri-ciri tertentu dan stereotype adalah prakonsepsi ide

mengenai kelompok dan suatu image yang pada umumnya sangat sederhana,

kaku dan klise serta tidak akurat, ketidak akuratan ini timbul dari proses
(9)
overgeneralisasi (perluasan karakteristik) . Penderita kusta sering mendapat

perlakuan diskriminasi dari lingkungannya biasanya diskriminasi ini merupakan

perwujudan tingkah laku dari prasangka atau manifestasi prasangka dalam

bentuk tingkah laku nyata.

Beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya

prasangka (9) :

1. Melakukan kontak langsung.

2. Mengajarkan untuk tidak membenci.

3. Mengoptimalkan / membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai

melalui pengukuhan positip.

4. Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan tentang orang

lain, belajar mengenal dan memahami orang lain.

D. Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta.

Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta adalah proses penderita

untuk menerima tentang hal yang membawa aib, hal yang memalukan, noda aib

atau sesuatu dimana penderita menjadi rendah diri, malu atau takut karena

penyakit kusta yang dideritanya melalui panca indra penderita.

Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan kita akan masa

lalu, oleh apa yang sedang kita hadapi saat ini . Menurut Wrightsman dan

Deaux,1981 dimasa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering

dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik (9)

Banyak faktor yang menimbulkan stigma kusta dan ini sangat bervariasi,

dalam setiap masyarakat ada masalah yang komplek mengapa kusta ditakuti dan
menjadikan penyakit yang memalukan. Beberapa alasan yang sifatnya umum

diantaranya (3) :

1. Percaya tentang akibat kusta

Percaya tentang akibat kusta telah berbeda sepanjang waktu dan dimana

tempat, kepercayaan ini mempengaruhi bagaimana penyakit dan penderita kusta

diperlakukan, beberapa kelompok percaya bahwa kusta disebabkan karena

kutukan dewa karena berbuat salah, penderita dijauhkan dianggap berdosa dan

lingkungan tidak ingin mengalaminya, penderita dianggap korban guna-guna,

disantet dan penyakit akibat sexual, sampai akhirnya masyarakat percaya bahwa

kusta disebabkan oleh kuman kusta.

2. Hukuman Mati

Faktor lain adalah sampai tahun 1940 an penyakit kusta belum ada obat

yang bisa mengobati secara efektif ini berarti penderita kusta seakan-akan telah

divonis hukuman mati karena penyakitnya tidak bisa diobati, hal ini menambah

rasa takut penderita.

3. Takut Ketularan

Pengucilan penderita kusta dilakukan karena alasan takut ketularan,

masyarakat takut terkena infeksi seperti penderita.

4. Ketidak mampuan dan kecacatan

Alasan lain untuk stigma adalah kecacatan dan ketidak mampuan yang

disebabkan oleh penyakit itu, penyakit kusta dengan tanda-tanda khusus di

wajahnya dimana kulit menjadi keriput, tebal, hidung melebar ini bararti sepintas

orang melihat akan tau bahwa mereka menderita kusta.

5. Bau
Beberapa pasien kusta mempunyai bau badan yang sangat jelas / khas

disebabkan oleh luka – luka yang terinfeksi, bau ini dapat menjijikan dan

membuat keadaan memburuk sehingga masyarakat tidak mau menerima

mereka.

6. Stigmatisasi diri sendiri

Hal ini sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin

karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka

dari masyarakat, dengan demikian pendapat bahwa kusta itu menjijikan,

memalukan harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita,

penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri

dan sikap ini akan menjadi permanen (3).

Solusi pada Stigma kusta (2)

Walaupun perkembangan yang besar, kusta masih menjadi problem

dibanyak negara diperkirakan bahwa antara 11 sampai 12 juta orang menderita

kusta telah terobati akan tetapi stigma kusta masih sangat nyata dan perlu

ditangani.

Ada 2 komponen pendekatan dalam menangani stigma kusta (2) :

1. Membantu mereka yang benar-benar mengalami stigma kusta.

2. Mencegah stigmatisasi orang lain, hal ini akan lebih efektif dan efisien

karena lebih baik mencegah stigmatisasi dari pada mencoba mengembalikan

penderita yang sudah ditolak oleh masyarakat.

Banyak faktor yang menyebabkan penderita bereaksi terhadap penyakitnya

diantaranya (18)
1. Dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala yang menyimpang dari

keadaan biasa.

2. Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan menimbulkan

bahaya.

3. Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja

dan dalam kegiatan sosial lainnya.

4. Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan persistensinya.

5. Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu (susceptibility atau

kerentanan individu untuk terserang penyakit itu).

6. Informasi, pengetahuan dan asumsi budaya tentang penyakit itu.

7. Perbedaan interpretasi terhadap gejala yang dikenalnya.

8. Adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit.

9. Tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut,

tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak

sosial (rasa malu, takut, rendah diri, dsb).

E. Penanganan Penyakit Kusta di RSUD Tugurejo Semarang.

1. Sejarah RSUD Tugurejo.

RSUD Tugurejo sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan rumah

sakit khusus (RSK) penderita kusta. Pada tanggal 13 Januari 1994 dengan

Peraturan Daerah tentang stuktur organisasi tata kerja Rumah Sakit Kusta

Provinsi Jawa Tengah sebagai Rumah Sakit Khusus kelas C. Tahun 2000

mengalami perubahan status dari Rumah Sakit khusus menjadi Rumah Sakit

Umum. Tahun 2004 RSUD Tugurejo telah terjadi peningkatan kelas menjadi

RSU kelas B non pendidikan, tahun 2006 RSUD Tugurejo telah terakreditasi dan
lulus ISO 9000. Sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan

unggulan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit

kusta di Jawa Tengah.

2. Yang dilakukan RSUD Tugurejo terhadap penderita kusta.

RSUD Tugurejo melayani pasien kusta rawat jalan dan rawat inap, tujuan

pelayanan ini adalah mengobati dan memutus rantai penularan penyakit kusta.

Penanganan penderita di rawat jalan dilayani di poli khusus penyakit kusta

dengan urutan sebagai berikut :

a. Pasien mendaftar di loket pendaftaran.

b. Pasien menyerahkan bukti pendaftaran ke poli khusus, perawat

melaksanakan anamnese dan memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien.

c. Dokter Spesialis Kulit melakukan anamnese, pemeriksaan, menegakkan

diagnosa kerja dan memberikan resep obat serta edukasi terhadap

pasien.

d. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang (laboratorium,

radilogi atau pemeriksaan lain).

e. Bagi pasien yang memerlukan rawat inap, dokter memberikan surat

perintah mondok dan perawat akan berkoordinasi dengan ruang Kenanga

yaitu ruang khusus penderita kusta.

f. Dokter Spesialis Kulit dapat mengkonsulkan ke Dokter Spesialis Penyakit

Dalam, Penyakit Saraf, Rehabilitasi medis atau lainnya sesuai dengan

kondisi pasien.
g. Informed consent dilakukan apabila perlu untuk tindakan, misal operasi.

PASIEN DATANG

ANAMNESIS

PEMERIK.
FISIK

PASIEN LAMA PASIEN BARU

PENATA PEM.
LAKSA PENUN
NAAN JANG

PASIEN PULANG RAWAT INAP BTA (+) BTA (-)

PENATA
LAKSA EVALUASI 1 BULAN
NAAN

EDUKASI
PASIEN PULANG RAWAT INAP

Gambar 2.3 : Alur Pelayanan Pasien Poliklinik khusus penyakit kusta.


Sumber : Dokumen Instruksi Kerja Pelayanan Pasien di Poliklinik
Khusus RSUD Tugurejo Semarang.

F. Landasan Teori
(11)
Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek yaitu aspek fisik, psikis dan

sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan

seperti: pengetahuan, motivasi, perseprsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan

dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial

budaya masyarakat.

1. Perilaku menurut Lawrence W. Green.


(19)
Lawrence W. Green berpendapat faktor penentu atau determinan

perilaku manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari

berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia

sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti

pengetahuan, keinginan, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.

Selanjutnya Green mencoba menganalisis perilaku manusia pokok yaitu faktor

perilaku. Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu : faktor predisposisi,

faktor pemungkin, dan faktor penguat.(19)


Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, dan

persepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak.

Dalam arti umum, kita dapat mengatakan faktor predisposisi sebagai preferensi

pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman

belajar. Hal ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat dalam

setiap kasus. Termasuk dalam faktor predisposisi adalah faktor demografis

seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin dan ukuran keluarga.

Faktor pemungkin mencakup sumber daya yang perlu untuk melakukan

perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi ketersediaan sarana dan

ketercapaian berbagai sumber daya.

Faktor penguat disini diterangkan bahwa lingkungan keluarga sangat

dominan dalam mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang. Perilaku

seseorang cenderung untuk berkiblat pada perilaku yang berlaku dalam keluarga

individu tersebut. Lingkungan keluarga yang ideal dalam arti suatu keadaan yang

menjamin kenyamanan pada tiap-tiap anggota keluarga akan membentuk

perilaku yang terarah dan cenderung untuk bersikap terbuka terhadap nilai-nilai

baru yang tentu saja diterima oleh keluarga tersebut.(11)

Lingkungan keluarga yang nyaman mempunyai respon yang kuat terhadap

aktivitas-aktivitas yang dilakukan anggota keluarganya. Keadaan demikian ini

memungkinkan lingkungan keluarga lebih peduli terhadap apa yang dilakukan

anggota keluarganya.(11)
Predisposing factors
ƒ Knowledge
ƒ Attitudes
ƒ Beliefs
ƒ Values
ƒ Perseption

Reinforsing Factors
Attitudes and behavior Behavior (action)
of health other of individuals,
personnel peers, groups or
parents or employers, communities
etc

Enabling factors
ƒ Availability of
resources
ƒ Accessibility
ƒ Referrals Environmental
ƒ Ruler orlaws Factors
ƒ Skills

Gambar 2.4 : Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu


atau kelompok yaitu faktor yang mempermudah, faktor
penguat/pendorong dan faktor pendukung.
Sumber : L.W.Green, Health Promotion Planning, Second edition,2000

2. Perilaku menurut Rosenstock (Health Belief Model)

Teori Health Belief Model (HBM) merupakan model kognisi yang

menjelaskan bahwa perilaku sebagai hasil proses informasi rasional dan

menekankan pada kognisi individu, model ini sering kali dipertimbangkan sebagai

kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia (20)
Secara umum HBM diyakini bahwa individu akan mengambil tindakan untuk

menghindarkan, memeriksa atau mengendalikan kondisi kesehatan buruk jika

mereka memandang rentan terhadap kondisi itu, jika mereka percaya bahwa

tindakan tertentu yang tersedia akan menguntungkan dalam mengurangi

kerentanan atau keparahan kondisi, dan jika mereka percaya bahwa hambatan

yang terantisipasi untuk mengambil tindakan dipertimbangkan dengan

keuntungan. HBM berhubungan dengan aspek kesehatan negatif yaitu perilaku

seseorang ketika terancam suatu penyakit. Namun ada pula kemungkinan

motivasi kesehatan positif yang meliputi perilaku mau untuk berobat.

Dalam konsep HBM dijelaskan bahwa perilaku adalah sebuah hasil dari

sekumpulan persepsi, dan persepsi-persepsi ini memprediksi kemungkinan

seseorang akan berperilaku. Persepsi tersebut adalah :

1. Persepsi seseorang terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit.

2. Persepsi seseorang terhadap kegawatan suatu penyakit.

3. Persepsi seseorang terhadap benefits / untung – ruginya bila melakukan

perilaku tersebut.

4. Persepsi seseorang terhadap pembiayaan bila melakukan perilaku

tersebut

5. Tanda-tanda seseorang perperilaku / bertindak.


Cues to action

Susceptibility

Demographic Severity Likehood of


variable Behaviour

Benefits

Cost

Gambar 2.5 Basics of Health Belief Model


Sumber : Ogden.Jane, Health Psychology a Text book, Philadelphia, 1996

Proses kognitif dalam HBM dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan,

individu akan melakukan tindakan pencegahan didasari oleh dua kenyakinan

atau penilaian kesehatan (health beliefs) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit

dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian.

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang

akan muncul, hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berfikir tentang

penyakit yang diderita betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya.

Asumsinya bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka

perilaku pencegahan juga meningkat.


Penilaian kedua yang dibuat adalah perbandingan antara keuntungan dengan

kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan tindakan selanjutnya.

HBM menyatakan bahwa ketika individu mengetahui adanya kerentanan pada

dirinya, dia percaya bahwa penyakitnya akan berakibat serius pada anggota

tubuh. Adanya gejala-gejala fisik mungkin mempengaruhi persepsi negatif

penderita, Contohnya perilaku penderita kusta yang mengasingkan diri

merupakan kemudahan untuk terjadi adanya kecacatan dan sumber penularan.

Penderita sering mengatakan bahwa mereka merasa malu karena penyakitnya

sehingga tidak memeriksakan diri, akan tetapi penderita dengan persepsi positif

merasa bahwa penyakit kusta adalah ancaman kesehatan yang serius

melakukan pengobatan secara rutin adalah suatu keuntungan yang tinggi dan

biaya yang rendah dibandingkan apabila sudah terjadi kelainan atau kecacatan.

Ancaman, keseriusan, kerentanan, pertimbangan keuntungan dan kerugian

dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu variabel demografi (usia, latar belakang

budaya), variabel sosiopsikologi (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial) dan

variabel struktural (pengetahuan, pengalaman tentang masalah).


G. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas diambil suatu kerangka teori yang

bersumber dari teori Lawren W Green dan teori Health Belief Model (HBM)

sebagai berikut :

Susceptibility

Demografik
Variable Severity Perceived
stigma

Reinforsing Benefits
Factor
- Internal factor
- External factor
Cost

Gambar 2.6. Kerangka Teori : modifikasi teori L.W. Green dan teori HBM
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka konsep.

Variabel Bebas

Persepsi penderita
terhadap kemudahan
kemungkinan terkena
ƒ Umur penyakit
ƒ Jenis Kelamin
ƒ Pendidikan Variabel Terikat
ƒ Pekerjaan Persepsi penderita
ƒ Pendapatan terhadap kegawatan
ƒ Lama sakit penyakit
Penderita
Persepsi penderita kusta merasa
terhadap manfaat terstigma
ƒ Keluarga berperilaku
ƒ Tetangga positif
ƒ Teman
Persepsi penderita
terhadap risiko
berperilaku
negatif

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian


B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta?

2. Bagaimanakah faktor Demografik (umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan pendapatan dan lama sakit) melatar belakangi persepsi

penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta?

3. Bagaimana faktor kemudahan kemungkinan terkena penyakit kusta

melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit

kusta?

4. Bagaimana faktor kegawatan penyakit kusta melatar belakangi persepsi

penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta?

5. Bagaimanakah faktor manfaat jika berperilaku positif melatar belakangi

persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta?

6. Bagaimana faktor risiko jika berperilaku negatip melatar belakangi

penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta?

7. Bagaimanakah faktor internal (lingkungan keluarga) dan eksternal

(lingkungan masyarakat) melatar belakangi persepsi penderita?

C. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif, alasan yang mendasari penelitian jenis ini karena dapat menggali atau

menghasilkan data deskriptif secara mendalam mengenai persepsi responden


terhadap stigma penyakit kusta, dimana tujuan riset kualitatif sendiri adalah

mengembangkan konsep-konsep yang dapat menjelaskan makna suatu

fenomena dan membantu pemahaman lebih mendalam atas fenomena sosial

dan perilaku dalam setting atau lingkungan yang alami (bukan percobaan /

eksperimen) dengan demikian memberi penekanan pada makna-makna,

pengalaman dan pandangan semua peserta risetnya. (22)

Metode kualitatif lebih menekankan pada validitas dengan pemahaman

bagaimana manusia sebenarnya berperilaku dan apa yang sebenarnya

dimaksudkan oleh manusia ketika menggambarkan pengalaman, sikap,

perilakunya dan penalaran yang tersirat pada metode kualitatif bersifat induktif

(bergerak dari observasi menuju hipotesis dan bukan pengujian

hipotesis/deduktif).(23)

Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan lain yakni :

pertama,luwes karena rancangan studi ini bisa dimodifikasi meskipun sedang


(24).
dilaksanakan Luwes tak terlalu rinci, tidak lazim mendefinisikan suatu

konsep, serta memberikan kemungkinan bagi perubahan-perubahan manakala

ditemukan fakta yang lebih mendasar, menarik dan unik bermakna dilapangan
(30)
. Kedua : berhubungan langsung dengan sasaran (responden). Tehnik

kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk mengamati dan berhubungan


(22)
langsung dengan sasaran penelitian (responden) Ketiga, analisis induktif

karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya

menerima atau menolak dugaan-dugaanya melainkan mencoba memahami

situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Keempat,

bersifat holistik, perspektif yakni memahami secara menyeluruh dan utuh tentang

fenomena yang diteliti. (25)


D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita kusta yang mendapat

pelayanan di RSUD Tugurejo Semarang.

Data kunjungan pasien rawat jalan di poli khusus penderita kusta rata-

rata 344 orang per bulan.

2. Sampel

Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi yang realitas atau fenomena

sosial yang bersifat unik dan kompleks, padanya terdapat pola tertentu

namun penuh variasi (keragaman). Tehnik pemilihan sampel dalam

penelitian kualitatif ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling),


(30)
penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah sampel . Dalam

penelitian ini sample berjumlah 8 (delapan) orang penderita kusta dengan

kriteria sebagai berikut :

a. Penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo Semarang.

b. Dari pengamatan penulis penderita yang terlihat tidak percaya diri

dalam berperilaku (misal: memakai pakaian tertutup/lengan

panjang, memakai topi, menyendiri, selalu menundukkan kepala)

saat berobat di RSUD Tugurejo Semarang.

c. Mau berpartisipasi menjadi subyek penelitian.


d. Mau berkomunikasi dengan baik.

e. Dalam penelitian ini sampel berjumlah 8 orang penderita

Informasi dan tanggapan lain dalam penelitian yang digunakan sebagai cross

check adalah keluarga dan lingkungan ( tetangga dan teman penderita) yang

selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan kriteria sebagai berikut :

a. Mau berpartisipasi dalam penelitian ini.

b. Mau berkomunikasi dengan baik

c. Dalam penelitian ini berjumlah 5 orang

E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas.

1) Karakteristik responden yang terdiri dari umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan Lama sakit.

2) Faktor-faktor internal dan eksternal responden terdiri dari lingkungan

keluarga dan lingkungan masyarakat.

3) Faktor persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit.

4) Faktor persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit.

5) Faktor persepsi penderita terhadap manfaat bila berperilaku positip.

6) Faktor persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatip.

b. Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah penderita kusta merasa

terstigma.
2. Definisi Operasional

Penderita Kusta adalah seseorang yang dinyatakan positif

menderita kusta yang melalui pemeriksaan laboratorium ditemukan Basil tahan

asam (BTA) positif atau ditemukan tanda-tanda kusta.

a. Variabel Bebas.

1) Umur adalah bilangan tahun terhitung sejak lahir sampai ulang

tahun terakhir

2) Jenis Kelamin adalah penggolongan responden berdasarkan jenis

kelamin yang tercantum dalam status diri (laki-laki atau perempuan)

3) Pendidikan adalah jenjang / tingkat pendidikan formal yang

diperoleh responden sampai saat wawancara.

4) Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh responden baik di

luar maupun di dalam rumah untuk memperoleh penghasilan.

5) Lama sakit yaitu waktu yang dihitung saat pertama penderita di

diagnosa sakit kusta sampai saat wawancara dilakukan

6) Lingkungan keluarga adalah lingkungan sosial yang paling dekat

dengan penderita (11)

7) Lingkungan masyarakat adalah lingkungan sosial yang berada di

sekitar tempat tinggal penderita (11)

8) Persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit yaitu

tanggapan responden dalam memandang kusta sebagai suatu

penyakit yang dapat menular terhadap setiap orang.

9) Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit yaitu tanggapan

responden dalam memandang penyakit kusta sebagai suatu


kondisi ancaman kesehatan yang berakibat serius atau kegawatan

pada tubuh penderita.

10) Persepsi penderita terhadap manfaat bila berperilaku positif yaitu

tanggapan responden mengenai keuntungan/manfaat apabila

responden berperilaku positif terhadap penyakitnya, menganggap

bahwa penyakitnya sama seperti penyakit lain dan perlu berobat

sehingga sembuh.

11) Persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatif yaitu

tanggapan responden interpretasinya terhadap penyakit yang

diderita sebagai penyakit yang memalukan, menularkan, takut

lingkungan mengetahui dan tidak mau berobat sehingga akan

menjadi parah, cacat dan sebagai sumber penularan

b. Variabel terikat

Penderita Kusta merasa terstigma : Suatu kondisi yang membuat

penderita merasa malu, rendah diri, dan merasa disingkirkan oleh lingkungannya

karena penyakit yang dideritanya.

F. Instrumen yang Digunakan

Instrumen yang digunakan dalam penelitian deskriptif adalah peneliti

sendiri dengan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka

yang berhubungan dengan responden sehingga pelaksanaan pengumpulan data

dapat berlangsung efisien. Daftar pertanyaan penelitian berisi tentang persepsi

penderita dan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita tentang

stigma penyakit kusta


Tahap pengumpulan data dengan wawancara mendalam dilakukan

perekaman menggunakan alat bantu MP3 recorder dan catatan lapangan

sehingga data dapat terkumpul dengan baik.

G. Sumber Data, Tehnik Pengolahan dan Analisa Data

1. Sumber Data

Ada dua jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data

primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Diperoleh dengan wawancara dan pencatatan menggunakan daftar

pertanyaan yang dibuat oleh peneliti kepada penderita kusta dengan

berpedoman pada kebutuhan informasi / data yang menjadi variabel dalam

penelitian.

b. Data Sekunder

Diperoleh dari catatan medik RSUD Tugurejo yang menyimpan data

penderita termasuk hasil pemeriksaan laboratorium dan catatan lain tentang

penyakit kusta penderita.

2. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan setelah peneliti memperoleh data dari

responden melalui wawancara mendalam dengan menggunakan model analisis

kualitatif. Adapun langkah-langkah analisis data kualitatif meliputi (26)


a. Transcribing

Peneliti melakukan pembuatan transkrip dari hasil wawancara

mendalam. Pembuatan transkrip dilakukan setelah peneliti memperoleh informasi

dari responden dengan cara memutar ulang rekaman kaset hasil percakapan

responden dengan peneliti. Transkrip dibuat langsung setelah proses wawancara

mendalam, dengan tujuan agar informasi yang telah diperoleh dapat

didokumentasikan dan tidak ada informasi penting yang hilang. Hal ini dilakukan

berulang-ulang untuk mendeskripsikan situasi percakapan yang sesungguhnya.

Deskripsi tersebut berdasarkan interpretasi peneliti terhadap transkrip, situasi,

responden, dan lain-lain secara keseluruhan.

b. Reduksi data

Peneliti melakukan pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan

transformasi data kasar yang muncul dari hasil wawancara mendalam dan

catatan-catatan tertulis di lapangan.

c. Pengikhtisaran atau tabulasi

Peneliti melakukan pengikhtisaran atau membuat tabel data tiap butir

instrumen dari para responden yang dibuat dengan mengelompokkan jawaban,

selanjutnya dikelompokkan ke dalam satu kategori. Berdasarkan tabel, informasi

diinterpretasikan dan disajikan secara narasi.

d. Comparative atau perbandingan

Peneliti melakukan langkah ini berkali-kali sehingga menemukan kategori

yang lebih luas. Apabila terdapat pemaknaan yang tidak dapat dimasukkan

dalam kategori yang sudah ada maka dibuat kategori yang baru. Untuk

memudahkan proses, peneliti mencoba mengidentifikasikan beberapa kategori

berdasarkan pedoman wawancara mendalam sehingga ketika memasuki proses


tinggal mencocokkan dengan kategori yang ada. Tabel-tabel yang berkaitan

diinterpretasikan hubungannya, meliputi persamaan dan perbedaannya, lalu

diinterpretasikan makna data antar tabel. Langkah ini dilakukan untuk

menghubungkan antara kategori sehingga terbentuk suatu kerangka konsep atau

suatu penjelasan yang komprehensif mengenai fenomena yang dapat ditangkap

oleh penulis.

e. Perumusan pernyataan konklusif

Peneliti merumuskan pernyataan-pernyataan konklusif terhadap tiap rincian

masalah penelitian atau tujuan-tujuan khusus, yang selanjutnya digunakan untuk

merumuskan kesimpulan penelitian ini.

H. Validitas dan Reabilitas Data

Uji validitas dimaksudkan untuk meningkatkan validitas tampilan dari

sesuatu yang akan diteliti melalui uji coba dapat diketahui adanya pertanyaan-

pertanyaan yang benar-benar mengukur dari yang hendak diukur. Uji validitas

yang dilaksanakan pada penelitian kualitatif disebut triangulasi. Dan dalam

penelitian ini triangulasi dilakukan kepada keluarga, tetangga dan teman

penderita kusta.

Dengan triangulasi tehnik ini merujuk pada pengumpulan informasi atau

data dari individu dan latar belakang dengan menggunakan berbagai metode.

Cara ini baik untuk mengurangi bias yang melekat pada satu metode dan

memudahkan melihat keluasan penjelasan yang memudahkan. Tehnik


pemeriksaan keabsahan data dengan triangulasi dapat dilaksanakan melalui

sumber data, metode dan teori.

Peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data dengan


(30)
wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi. Interview

dilaksanakan untuk mengetahui opini, persepsi, penilaian dan ingatan responden

tentang pengalamannya (28)

Realibilitas (keterandalan) pada penelitian kualitatif dapat dicapai dengan

melakukan auditing data, hal ini dapat dilaksanakan dengan cara data hasil

wawancara di tulis dan dikelompokkan sesuai dengan gambaran variabel yang

dilihat pada penelitian.

I. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2008

di RSUD Tugurejo Semarang. Penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan dan

keterbatasan. Adapun kelemahan dan keterbatasan tersebut adalah sebagai

berikut :

1. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi kualitatif.

Pengumpulan data dengan wawancara mendalam untuk memperoleh

gambaran faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta. Karena banyaknya faktor yang melatar

belakangi persepsi maka penulis membatasi dan hanya meneliti faktor

karakteristik, faktor internal, faktor ekternal, faktor kemudahan

kemungkinan terkena penyakit, faktor kegawatan penyakit, faktor

manfaat berperilaku positip dan faktor risiko berperilaku negatif, karena

faktor-faktor ini berpengaruh besar terhadap persepsi penderita kusta.


2. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan

menggunakan banyak pertanyaan, membutuhkan waktu yang lama hal

ini membuat responden jenuh,sehingga dimungkinkan adanya

subyektivitas jawaban. Untuk mengatasinya dilakukan triangulasi

dengan melakukan cros chek pada suami, ayah, paman, tetangga dan

teman penderita kusta.

3. Responden sangat tertutup terhadap penyakitnya, sehingga wawancara

mendalam yang dilakukan sering mendapatkan jawaban yang singkat.

4. Responden sangat keberatan apabila penulis datang kerumahnya, ini

mempersulit penulis dalam melakukan cross cek terhadap keluarga,

tetangga dan teman penderita, sehingga penulis melakukan cross cek

di RSUD Tugurejo dengan mendatangkan keluarga, dan penulis hanya

mendapatkan 5 (lima) Informan sebagai cross cek.


BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penderita kusta yang berobat di RSUD

Tugurejo.

RSUD Tugurejo merupakan Rumah Sakit kelas B milik pemerintah

Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di Semarang bagian barat , dalam

pelayananya RSUD Tugurejo menyediakan 23 poliklinik diantaranya poliklinik

khusus penyakit kusta. Tenaga yang melayani pasien berobat ke RSUD

Tugurejo meliputi : 32 dokter spesialis, 24 dokter umum, 7 dokter gigi, 3

apoteker, 1 psikolog, 60 tenaga medis, 268 tenaga keperawatan dan kesehatan,

dan 138 tenaga non medis. Produk unggulan RSUD Tugurejo adalah sebagai
pusat diagnostik, poliklinik kecantikan, pelayanan kusta dan sebagai pusat

penanganan krisis perempuan dan anak (PPKPA).

Sebagai pusat rujukan dan pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah,

jumlah kunjungan penderita kusta pada tahun 2007 ada sebanyak 4.380 pasien.

Adapun jenis kelamin dan asal penderita yang berobat ke poliklinik kusta tersebut

bisa dilihat berikut ini :

Penderita, laki-laki berjumlah 3.120 (71%) sedangkan perempuan berjumlah

1.260 (29%). Adapun tempat tinggal penderita 2.952 (67%) berasal dari luar

Semarang yaitu Jepara, Blora, Demak, Pati, Purwodadi, Kaliwungu, Kendal,

Weleri, Pekalongan, Tegal dan daerah lain sekitar Semarang kemudian 1.428

(33%) berasal dari Semarang.

B. Karakteristik Responden

Penelitian mengenai faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi

penderita terhadap stigma penyakit kusta ini, mengambil responden sebanyak 8

(delapan) orang penderita kusta dan 5 (orang) yang terdiri dari suami, ayah,

paman, tetangga dan teman penderita yang selanjutnya disebut dengan

Informan, ini digunakan sebagai faktor triangulasi.

Adapun karakteristik responden meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan,

pekerjaan, status pekerjaan dan lama menderita disajikan sebagai berikut :

1. Umur dan jenis kelamin responden

Karakteristik responden berdasarkan umur diketahui bahwa responden

berumur 14 tahun, 23 tahun, 29 tahun dan 55 tahun, masing-masing berjumlah


satu orang dan umur 33 tahun serta 45 tahun masing-masing 2 dua orang. Jenis

kelamin responden sebagian besar laki-laki sebanyak lima orang

2. Pendidikan responden

Dilihat dari latar belakang pendidikan responden, diketahui bahwa lulus


SMA sebanyak tiga orang, lulus SMP dua orang, lulus SD dua orang dan satu
orang tidak lulus bersekolah
3. Pekerjaan responden

Responden berdasarkan jenis pekerjaan, sebanyak lima orang tidak

bekerja, adapun sebagai Pegawai Swasta ada sebanyak dua orang dan

sebagai petani satu orang. Melihat hasil jawaban responden mengenai

penghasilan rata-rata perbulan responden tidak sama, dari tiga orang yang

bekerja, satu responden berpenghasilan kurang dari Rp.500.000,- per bulan dan

sebanyak dua orang berpenghasilan antara Rp.500.000 – Rp.1.000.000,-

perbulan.

4. Responden berdasarkan status nikah

Dari delapan responden, empat responden telah menikah dan empat

lainnya tidak menikah.

5. Responden berdasar lama menderita penyakit kusta.

Berdasar lama menderita penyakit kusta, responden menyatakan telah

menderita selama lima bulan sebanyak satu orang, selama kurang lebih dua

tahun sebanyak empat orang dan masing-masing satu orang telah menderita

kurang lebih tiga tahun, enam tahun dan lebih sepuluh tahun.

Adapun karakteristik informan sebagai faktor triangulasi adalah sebagai

berikut : Informan berjumlah lima orang, empat orang berjenis kelamin laki-laki.

Umur Informan masing-masing 24 tahun, 30 tahun. 33 tahun, 35 tahun, 44 tahun


dan 46 tahun. Pendidikan lulus SMA berjumlah tiga orang, lulus SMP dan lulus

D3 masing-masing satu orang. Status pekerjaan bervariasi yaitu pegawai BUMN,

tukang kayu, dagang, pegawai negeri dan pegawai swasta.

C. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta

Persepsi penderita tentang stigma penyakit kusta didefinisikan sebagai

proses penderita untuk menerima tentang hal yang membawa aib, hal yang

memalukan, noda aib atau sesuatu dimana penderita menjadi rendah diri, malu

atau takut karena penyakit kusta yang dideritanya melalui panca indra penderita.

Dari 8 (delapan) responden dengan karakteristik yang berbeda, faktor-faktor

yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta,

didapatkan jawaban yang bervariasi.

1. Stigma penyakit kusta menurut persepsi responden

Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa pandangan

responden terhadap apa yang dilakukan keluarga atau masyarakat mengenai

stigma penyakit kusta terhadap responden, 2 orang mengatakan bahwa, keluarga

menganggap biasa saja terhadap penyakit yang diderita responden. Sedangkan

yang lainnya mengemukakan bahwa keluarga merasa was-was karena penyakit

yang diderita responden. Dari delapan responden semuanya menyatakan

masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta.

Seperti yang dikemukakan berikut ini :

Kotak 1
.....Saya merasa bersalah, tidak bisa bekerja, saya takut ketahuan
tetangga nanti pasti dikucilkan, was-was jika tubuh saya jadi cacat
pasti tetangga menjauhi saya,keluarga nggak mau datang ke rumah.
(responden menangis sampai lama).

.....Saya tidak pernah bilang kalau saya kena kusta, dikira saya
kencing manis tidak bisa sembuh dan sekampung saya sendiri yang
kena begini, tetangga bilang kena sengkolo.

.....Orang tua berfikir positip, memberi semangat pasti sembuh, adik


biasa saja, masyarakat tidak tau.

.....Keluarga merasa syok takut, terutama ibu. Masyarakat tidak tau.

.....Biasa saja,masyarakat juga biasa saja nggak tau kalau saya kena
lepra.

.....Keluarga tidak menolak, masyarakat tidak tau saya sakit.

.....Takut, malu pada teman ,takut dijauhi kalau orang-orang tau.


(responden menangis).

..... Biasa saja, tetangga tidak tau, kulo kenging lepra kering dados
mboten ketingal.
R 1,2,3,4,5,6,7,8
Keterangan : R = Responden

Lebih lanjut ketika Informan ditanyakan tentang pendapat orang-orang

dilingkungan penderita setelah mengetahui istri, anak, keponakan, tetangga atau

teman menderita kusta, sebagian besar menjawab orang-orang

dilingkungannya tidak mengetahuinya kalau responden menderita kusta, sedang

teman penderita karena tidak mengetahui tentang penyakit temannya, penulis

tanyakan tentang pendapat teman-teman dilingkungan penderita bekerja, untuk

mengetahui lebih lanjut dapat dilihat dari beberapa tanggapan berikut ini :

Kotak 2

... Tidak tau kalau istri saya kena kusta, taunya sakit saraf karena
kami berobat ke dokter saraf sampai habis-habisan, rumah dan
isinya habis untuk biaya berobat tapi tidak sembuh, sekarang ini
kami kontrak bu tapi saya bersyukur pengobatan di sini gratis dan
istri saya sudah sembuh walau belum seratus persen.
... Teman sekolahnya tidak ada yang tau dan saya meling tidak usah
diberi tau.

... Dia itu pendiam, tidak pernah cerita, tidak pernah keluar rumah.
Teman-temannya taunya ya sakitnya itu karena salah obat, seperti
alergi seluruh badannya.

... Selama ini biasa saja mungkin karena tidak tau dia kena kusta.
I. 1,2,3 4
Keterangan : I = Informan

Sedangkan teman penderita mengungkapkan bahwa penderita seorang

yang baik dengan siapa saja dan mulai bertanya-tanya tentang penyakit

temannya itu, seperti kutipan dibawah ini :

Kotak 3

... Dia orangnya enthengan bu, di kerjaan dia baik, jadi kalau
mondok begini kasihan istri dan anaknya. Sebetulnya sakit apa
bu?
I. 5

Dengan mulainya bertanya tentang penyakit temannya, maka

wawancara mendalam tidak penulis lanjutkan, ini semua karena Privacy

penderita dan penulis tidak mengharapkan terjadi hal-hal di luar penelitian ini.

Dari hasil wawancara mendalam tentang apa yang dilakukan dan

pendapat orang-orang dilingkungan penderita, walaupun jawaban yang diberikan

bervariasi tetapi intinya semuanya mengutarakan, karena lingkungan tidak

mengetahui kalau menderita kusta maka tidak ada perubahan apapun terhadap

penderita, seperti jawaban yang diberikan dibawah ini :

Kotak 4

... Masyarakat tidak tau, taunya kalau ke rumah sakit ya kontrol ke


dokter saraf.
... Biasa saja, mereka tidak tau, temannya ya masih pada main kerumah
kegiatan ya masih mengikuti, tapi tidak seperti sebelum sakit, sekarang
agak pendiam.

... Masyarakat tidak tau kalau sakit kusta, taunya salah obat,sebetulnya
masyarakat tidak apa-apa,hanya dia tidak mau keluar rumah, dia tidak
mau kuliah lagi, mungkin malu karena wajahnya jadi seperti itu.

... Waktu itu kan belum tau, jadi biasa saja, nggak tau kalau sekarang
sudah tersebar, kasihan ya kalau pada tau.

R 1,2,3, 4

Untuk mengetahui apakah stigma ini muncul dari masyarakat ataukah dari

penderita sendiri, lebih lanjut dapat disimak tanggapan Informan mengenai,

tindakan apa yang masyarakat lakukan terhadap penderita dan dari ungkapan

tersebut, didapatkan jawaban bahwa lingkungan / tetangga penderita menanyakan

bukan karena penyakit kustanya tetapi seperti di ungkapkan dibawah ini :

Kotak 5

... Tetangga sering bertanya : sudah sembuh belum, apa masih kontrol
ke dokter saraf ?

... Biasa saja, dia juga sering ikut kegiatan masjid di kampung, tapi ya
beda seperti saat belum kena dulu, sekarang agak pendiam dan agak
malas-malasan kalau ada kegiatan.

...Sebetulnya seperti kegiatan karang taruna, kegiatan remaja sering


mendapat undangan tetapi tidak mau datang, orang tuanya sering
menyuruh untuk datang tapi ya.. dia sukanya diam saja di rumah,
membaca apa saja, kadang saya perhatikan pandangannya kosong.

... Sering rewang-rewang, disuruh bantu- bantu, karena belum tau bu.
I. 1,2,3,4

Melihat tanggapan pada kotak 5, menunjukkan bahwa

lingkungan/tetangga tidak melakukan perubahan sikap terhadap penderita,masih


mengikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan di kampungnya, akan tetapi

penderita sendiri yang tidak mau untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Adapun mengenai bagaimana cara responden mengatasi cap buruk

karena menderita kusta, tiga responden melakukannya dengan tetap bekerja,

satu responden dengan membatasi diri dan responden lain dengan diam saja

(tidak melakukan tindakan apapun), tetap ikut kegiatan di kampungnya dan

responden yang masih bersekolah selalu memakai baju lengan panjang. Untuk

mengetahui lebih lanjut mengenai cara responden mengatasi cap buruk karena

menderita kusta dapat dilihat dari beberapa tanggapan responden berikut ini :

Kotak 6
... saya agak membatasi diri biar tetangga tidak tau, kalau omong-
omong dengan tetangga saya seperlunya saja, arisan biasanya saya
titip saja.

.... Kulo mendel mawon, jarang ngrumpi kalih tonggo, ada kegiatan
yen purun nggih dateng, selesai langsung pulang.

.. .Dirumah terus, ada undangan sering dipaksa bapak datang, tapi


saya banyak tidak datangnya, saya pilih tidak ketemu orang-orang.

... Kesekolah saya selalu pakai seragam panjang, saya sering pakai
jaket karena dilengan saya ada fleknya, saya malu bu, seperti ini bu.

R,1,2,3,7

Adapun perbedaan cara dalam menanggulangi cap buruk ( stigma) oleh

responden dikemukakan sebagai berikut :

Kotak 7
... Saya tetap bekerja walaupun kadang-kadang saya tidak PeDe, tapi
tetap saya jalankan, biar saya tidak kelihatan kalau sakit kusta.

... ikut kegiatan dikampung, ada kerja bakti, ada kumpulan kampung
saya tetap datang, kalau tidak datang justru jadi omongan orang.
R 4,5

2. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena

penyakit.

Persepsi penderita terhadap kemudahan terkena penyakit yaitu meliputi,

tanggapan responden dalam memandang kusta sebagai suatu penyakit yang

dapat menular terhadap setiap orang.

Penyakit kusta adalah penyakit menular. Penyakit ini dapat ditularkan dari

penderita kusta kepada orang lain.

Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama

dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah semua

tergantung dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan yaitu

penderita, faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (1).

Dari hasil jawaban terhadap responden mengenai pendapat apakah

penyakit kusta dapat menular ke semua orang terlihat bahwa sebagian besar

menjawab ”bisa” menularkan dan sebagian lagi menjawab ”tidak” menular dan

seorang menjawab tidak menular juga bukan merupakan penyakit keturunan

seperti di ungkapkan berikut ini :

Kotak 8

... Bisa, ibu saya juga kena, gejalanya persis seperti saya dan saat ini
ibu tangannya sudah cacat.

... Mboten, sak kampung mung kula thok,kata orang-orang saya kena
sengkolo, sudah dislameti ya tidak sembuh-sembuh.

... Tidak, penyakit ini juga bukan keturunan .


R 7,2,6
Selanjutnya hasil wawancara mendalam terhadap Informan tentang

persepsi terhadap kemudahan kemungkinan terkena penyakit dengan

pertanyaan apa yang anda ketahui tentang penyakit kusta sebagian besar

mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular, satu orang

menyatakan, penyakit kusta adalah penyakit kulit dan satu orang menjawab

penyakit kusta adalah penyakit yang bisa membuat cacat. Berikut kutipan

sebagian jawaban responden :

Kotak 9

... Penyakit seperti alergi, fisiknya berubah dan katanya bisa


menular.

... Penyakit kulit, kados panu ning saged dados berat.

... Penyakit yang tangan dan kakinya bisa mrotholi


I. 3,2,5

Kemudian persepsi responden mengenai orang yang seperti apa yang

mungkin terkena penyakit kusta, dari hasil jawaban ternyata sebagian responden

tidak mengetahui tentang ciri atau kriteria orang yang mungkin terkena penyakit

kusta, dua responden menyatakan bahwa orang yang kebersihannya kurang dan

kondisi kesehatannya menurun, satu responden berpendapat bahwa orang yang

golongan darahnya sama dengan penderita yang bisa tertular penyakit kusta.

Kotak 10

... Tidak tau bu,sekampung hanya saya saja yang sakit kados niki.

... Orang yang jorok, kurang resikan, kemproh, ringkih, kondisinya


jelek.
R 2,1
Selain itu menurut Informan mengenai, apakah penyakit kusta dapat

menimpa semua orang / orang lain didapat jawaban bahwa, sebagian besar

menjawab penyakit kusta bisa menular ke semua orang dan hanya tetangga

penderita menjawab penyakit kusta tidak bisa menular seperti berikut ini :

Kotak 11

... Tidak menular. Orang yang peduli kesehatan tidak akan


ketularan.

I. 4

Demikian juga hasil wawancara terhadap ke lima Informan sebagai faktor

triangulasi mengenai orang yang bagaimana yang bisa tertimpa penyakit kusta,

dua orang menjawab, orang yang kondisi kesehatannya menurun dan kurang

menjaga kebersihan , berikut kutipan jawaban :

Kotak 12

... Ringkih, kondisinya drop.

... Orang yang jorok dalam hidupnya, kurang perhatian kebersihan.


I. 1,4

Sedangkan cara penularan penyakit kusta menurut responden, sebagian

besar mengatakan tidak mengetahui tentang penularan penyakit kusta, satu

responden menjawab penyakit kusta menular melalui udara dan terdapat satu

responden yang menjawab bahwa jika bersinggungan dengan penderita kusta

akan tertular penyakitnya seperti di ungkapkan sebagai berikut :

Kotak 13

... bersinggungan dengan orang kusta yang pada kulitnya terdapat


benjolan-benjolan seperti udunen, dan golongan darahnya sama,
bisa ketularan penyakit kusta.
R5

Adapun berdasarkan wawancara terhadap Informan mengenai cara

penularan penyakit kusta, tetangga penderita mengatakan, penularan penyakit

kusta bisa melalui udara dan lainnya mengatakan kontak langsung dengan

penderita bisa tertular penyakit kusta seperti tanggapan ayah penderita berikut

ini :

Kotak 14

... Katanya petugas, anak saya sering kontak langsung dengan


ibunya, lha pripun yen bobok kalih ibune.

I. 2

3. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit.

Kemudian untuk tanda – tanda tersangka kusta diantaranya adanya

kelainan kulit berupa bercak yang tidak terasa/mati rasa berwarna merah atau

putih, benjolan di kulit, adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak

berambut, adanya rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota

badan atau muka, gangguan gerak anggota atau bagian muka, adanya

kecacatan, adanya luka yang tidak terasa sakit dan juga terjadinya reaksi akibat

penyakit kusta.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan mengenai

kegawatan penyakit kusta dengan pertanyaan, apakah penyakit kusta dianggab

penyakit yang berbahaya? Apa alasannya ?. Didapat jawaban bahwa, sebagian


besar responden menyatakan penyakit kusta menimbulkan bahaya dan

sebagian menyatakan bahwa penyakit kusta tidak berbahaya, adapun jawaban

dari responden tersebut bisa disimak seperti berikut :

Kotak 15

... Ya, gejala-gejala yang muncul itu menakutkan, lemes, dada


keder, keringat dingin, rasanya tak karuan, badan sakit semua.

... Sangat berbahaya, kusta menakutkan, itu cina ada yang sampai
mrotholi, mambu.

... Berbahaya, proses penyembuhan lama, tidak banyak yang tau


tentang penyakit kusta, banyak yang salah berobat.

... Sangat berbahaya, menakutkan karena fisiknya berubah,ini


hidung saya jadi hilang bu.

... Tidak berbahaya kalau minum obat akan sembuh.

... Tidak, karena kalau minum obat akan sembuh, penyakitnya akan
hilang.

... Ya, kata ibu saya kalau kumat badan sakit semua, panas dingin,
telat minum obat kumat, ibu saya sering sampai nangis kalau
kumat.

... Ya, bisa prothol – prothol, cacat tidak bisa bekerja.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Selanjutnya mengenai Persepsi terhadap kegawatan penyakit menurut

Informan adalah, semua menganggap bahwa penyakit kusta merupakan

penyakit yang berbahaya karena penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat,

bisa menular, merubah fisik dan bisa menimbulkan kecacatan, untuk

mengetahui lebih lanjut mengenai kegawatan penyakit kusta dapat dilihat dari

beberapa pendapat berikut ini:

Kotak 16

... Ya, karena gejala yang muncul sangat berat, badannya sakit
semua, tidak bisa bangun, tidak bisa aktifitas.

... Ya, karena bisa menular ke orang lain, kan bahaya bu, keluarga
bisa kena semua.

… Ya, bisa membuat cacat di tubuhnya, tangan-kakinya rusak tidak


bisa untuk bekerja.
I. 1,4, 5

Penyakit kusta menimbulkan masalah yang sangat komplek, kecacatan

yang berlanjut dan apabila tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang

baik akan dapat menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial

yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari
(7)
masyarakat, keluarga dan teman-temannya . Mencermati jawaban responden

mengenai seberapa besar bahaya tentang penyakit kusta , dari delapan

responden terdapat empat diantaranya menyatakan bahwa bahaya penyakit

kusta bisa menimbulkan kecacatan, dua responden menjawab kusta bahaya,

merusak fisik, mental dan menyiksa lahir batin. Kemudian responden lain

berpendapat bahwa kusta kalau kumat (kambuh) gejala-gejala disebutkan seperti

lemas, panas dingin badan sakit semua akan muncul lagi dan satu responden

tidak mengetahui tentang seberapa besar bahaya yang timbul karena penyakit

kusta. Untuk jawaban-jawaban responden tersebut dapat dilihat pada kutipan di

bawah ini :

Kotak 17

... Wah..ya bahaya bu, kalau saya lihat yang periksa bareng saya
tangannya putus-putus, mrotholi, kulitnya mlepuh – mlepuh seperti
kena api.

... Saya takut mati, kusta berbahaya makanya saya periksa terus,
kalau minum obat badan enak, tidak berobat badan sakit semua.

... Penyakit kusta merusak fisik, merusak mental, terus terang saya
sangat depresi

... Penyakit kusta menyiksa lahir batin, wajah berubah menjadi


menakutkan, kadang orang melihat saya seperti takut.
... Kalau kumat lemes, panas dingin, cekot-cekot, drodog badan saya
tidak ada daya.

... Kusta basah bisa sampai mrotholi, kusta kering rasanya senut-
senut sakit sekali bu.
R 1,2,3,4,5,8

Kemudian seberapa besar bahaya tentang penyakit kusta, menurut

Informan sebagian besar mengatakan bahaya penyakit kusta selain menular,

bisa membuat cacat dan satu orang mengungkapkan kalau kambuh badannya

sakit semua. Beberapa jawaban dapat dicermati berikut ini :

Kotak 18

... Saya takut kalau istri saya cacat, anak-anak ketularan, anak
saya banyak bu, empat semua dekat dengan ibunya, jadi saya
kawatir kalau mereka tertular penyakit ini.

... Yaitu bu bisa jadi cacat, wajahnya menakutkan.

... Wah, ya berat bu. Ibunya kalau kumat badannya sakit semua.
I. 1,5, 2

Untuk wawancara mengenai persepsi penderita tentang apakah penyakit

kusta dapat menimbulkan kematian didapatkan jawaban, sebagian besar

responden berpandangan bahwa penyakit kusta bisa menimbulkan kematian

dan sebagian kecil responden mengemukaan pendapat, penyakit kusta tidak bisa

mengakibatkan kematian. Dibawah ini kutipan jawaban dari beberapa responden

Kotak 19

... Bisa, bagaimana ya bu, rasanya sepeti itu, waktu itu saya sudah
mutung berobat kemana-mana tidak sembuh sampai habis-
habisan, rumah dijual untuk berobat, saya mikir apa saya mau mati
soalnya jantung keder terus, kalau gak ke Tugu (RSUD.Tugurejo)
mungkin saya sudah meninggal.

... Tidak membunuh tapi merusak fisik.


... Ya, saat pertama kena penyakit ini saya sempat koma, panas
tinggi dan tidak ada obatnya.

... Tidak bisa, kalau berobat terus ya sembuh.

... Bisa, menurut kula wong sehat mawon bisa mati nggih, kematian
ditangan tuhan.
R 1,3,4,5,8

Selain itu menurut persepsi Informan mengenai apakah penyakit kusta


dapat menimbulkan kematian, didapatkan jawaban bahwa penyakit kusta tidak
menyebabkan kematian, seperti dikemukakan dibawah ini:

Kotak 20
... Kalau kematian InsyaAllah tidak, bisa sembuh kalau berobat.

… Tidak menyebabkan kematian, hanya bisa merusak fisik.


I. 1,2,3,4,5

Kecacatan akibat penyakit kusta dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain :

Faktor yang berhubungan dengan penderita sendiri (umur, jenis kelamin), faktor

yang berhubungan dengan penyakitnya (lama menderita dan tipe dari penyakit),

kerusakan syaraf tepi (semakin dekat dengan kulit / superfisial makin besar

kemungkinan mengalami kerusakan akibat kuman kusta), pengobatan yang tidak

sempurna dalam waktu lama dan faktor pekerjaan (penderita yang mempunyai

pekerjaan sebagai pekerja berat). Adapun kecacatan dibagi menjadi :

a. Kecacatan Primer yaitu kecacatan langsung yang disebabkan oleh

aktifitas penyakitnya. ( pada wajah, pada anggota gerak)

b. Kecacatan sekunder yaitu kecacatan yang disebabkan oleh adanya

anaestesi / mati rasa dan kelumpuhan. Cacat ini terbentuk akibat salah
dalam aktifitas atau tidak pernah digunakan (disuse) bisa juga karena

adanya infeksi sekunder.

Tanggapan responden terhadap pertanyaan apakah penyakit kusta dapat

menimbulkan kecacatan mendapatkan hasil bahwa semua responden

menjawab ”bisa”, penyakit kusta bisa mengakibatkan kecacatan pada tubuh

penderita, berikut ini kutipan tentang jawaban responden :

Kotak 21
... Bisa, kaki saya luka, ini (menunjuk sepanjang tungkai kanan) tidak
terasa lho bu, kata pasien yang barengan kontrol, kakinya cacat
awal-awalnya luka seperti ini (menunjuk luka dikaki)

... Ya, itu orang cina yangbarengan periksa dengan saya, tangan dan
kakinya mrotholi semua, semua badannya cacat.

... Ya, saya sampai saat ini ada rasa takut cacat, tangan saya sudah
mati rasa, kemarin kena air panas tidak terasa, saya takut cacat.

... Ya, ini wajah saya sudah mulai cacat, tangan saya kithing tidak
terasa, kuping saya memanjang karena penyakit ini.

... Ya, kaki saya cacat, luka tidak sembuh-sembuh terus diamputasi

.. Bisa, seperti tetangga saya, wajah, tangan dan kakinya cacat.


R 1,2,3,4,5,7

Sedangkan mengenai kecacatan, menurut Informan, semua menyatakan

bahwa penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan seperti di ungkapkan

berikut ini :

Kotak 22

... Bisa, kaki, tangan istri saya perasaannya berkurang, kalau


ngantar ke Tugurejo saya sering omong-omong dengan pasien lain,
katanya awalnya cacat karena tidak terasa.

... Bisa, lha niku bojo kula (ibunya penderita) ngertos-ngertos


tangane ngeten ( jari-jarinya kithing)

... Bisa, keponakan saya ini tangannya sudah tidak nornal lagi,
cacat. Dulu kena air panas gak terasa sekarang jadi cacat.
I. 1,2, 3

4. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip.

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta

sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi

kurang aktif sampai akhirnya hilang. Dengan matinya kuman maka sumber

penularan dari penderita ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam

keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih

lanjut.

Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat

menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf

yang dapat memperburuk keadaan. Penyakit kusta dapat diobati, bukan penyakit

turunan/kutukan.

Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip yaitu perilaku

berobat penulis tanyakan dengan bagaimana menurut pandangan anda apabila

penderita kusta diharuskan berobat secara rutin dalam waktu yang lama dan

harus minum obat setiap hari? Apa alasan dari jawaban tersebut? Semua

responden menyatakan penderita kusta harus berobat secara rutin karena kalau

tidak rutin akan kambuh lagi. Beberapa jawaban responden diungkapkan

sebagai berikut :

Kotak 23

... Setuju, setelah minum obat saya tenang bu, pernah telat kontrol
timbul lagi gejala seperti dulu, capek, keluar benthol-benthol.

... Baik apabila berobat, karena kalau tidak berobat bisa kumat
(kambuh)
... Baik, kadang-kadang jenuh, kalau obatnya telat sering reaksi
lagi, keluar benjolan-benjolan.

... Harus bu, kalau telat berobat ya kambuh lagi

... Harus berobat terus, biar sembuh total, terawat.

... Harus, biar nggak kumat.

... Perlu berobat rutin, ibu saya kalau obat nya telat badannya sakit
semua.

... Ya, kalau tidak berobat sakit lagi.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Adapun menurut persepsi Informan apabila menderita penyakit kusta,

diharuskan rajin menjalani pengobatan seperti pernyataan dibawah ini :

Kotak 24
... Harus berobat ke RSUD Tugurejo karena ahlinya ada di
Tugurejo.

... Saya ngomong pada orang tuanya untuk berobat sampai


sembuh dan saya akan selalu membantu ngantar keponakan saya
berobat ke tugu.

... Ya harus berobat kesini (RSUD Tugurejo) karena di Jateng


pusatnya disini,dan saya telpon bapak saya untuk mengecek di
rumahnya karena saya tau neneknya juga sakit tapi nggak pernah
keluar, dikamar terus, jangan-jangan juga sakit kusta.
I. 1,3, 4

Untuk mendapat jawaban dari teman penderita, penulis mengalami

kesulitan karena teman penderita belum mengetahui kalau teman yang diantar

berobat menderita kusta, sehingga selalu penulis awali dengan seandainya

teman anda sakit kusta, bagaimana pendapat anda setelah mengetahui teman

anda menderita kusta? Berikut kutipan jawaban dari teman penderita kusta :

Kotak 25

... Harus diobati, kusta kan bisa menular.


I. 5

Selanjutnya mengenai persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku

positip, hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh seorang penderita kusta dan

alasan dari jawaban yang diberikan. Sebagian besar responden menjawab

pertanyaan dengan jawaban ”berobat” biar sembuh, tidak cacat, sedangkan dua

responden menjawab dengan berfikiran tenang, tidak stres dan satu responden

perlu dilakukan terapi psikologi. Seperti dikemukakan sebagai berikut :

Kotak 26

... Tenang, tidak kelelahan, minum obat, tidak stres.

... Perlu terapi psikologi, tidak hanya fisik yang diobati, terapi
mental sangat diperlukan. Karena penderita kusta seperti saya ini
sebetulnya masalah yang paling berat ”saya down sekali”.
R 1,3

Dalam pencegahan kecacatan, penderita kusta perlu mendapatkan

pendidikan dan tindakan perawatan diri. Penderita harus mengerti bahwa

pengobatan kusta sudah / akan membunuh bakteri kusta tetapi kecacatan yang

terlanjur terjadi akan menetap seumur hidupnya, sehingga penderita harus bisa

melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat.

Prinsip pencegahan bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3M :

a. Melindung mata, tangan dan kaki dari trauma fisik.

b. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur.

c. Melakukan perawatan diri.

Kekeringan pada kulit akan mengakibatkan luka-luka kecil yang bisa

terinfeksi, untuk mencegah maka perlu mengolesi dengan minyak ( minyak

kelapa, vaslin atau hand body lotion) yang berfungsi untuk menjaga kelembaban

kulit. Dalam hal perawatan diri didapat beberapa jawaban responden, sebagian
basar responden menjawab dengan harus mengoles pelembab di tangan dan

kaki agar kulit tidak kering, dari RSUD Tugurejo diberi vaslin sebagai pelembab

dan satu responden menjawab, tidak perlu menggunakan pelembab kalau tidak

ada benjolan-benjolan dikulit. Berikut kutipan jawaban dari dua responden :

Kotak 27

... Harus pakai, karena kulit kering kadang sampai pecah, dari RS
Tugu saya diberi vaslin.

... Tidak semua, kalau ada benjolan-benjolan iya harus pakai


pelembab, tapi kalau tidak ada ya nggak perlu bu.
R 4,8

Selain itu untuk tangan yang mati rasa, bisa terluka oleh : benda panas,

benda-benda tajam, gesekan dari alat kerja dan pegangan yang terlalu kuat pada

alat kerja. Untuk mencegah terjadinya luka ditangan maka :

Perlu melindungi tangan dari benda yang panas, kasar ataupun tajam

dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain.

Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian

yang berbahaya bagi tangan yang mati rasa.

Seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau

lecet yang sekecil apapun.

Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan istirahatkan

bagian tangan sampai sembuh.

Adapun untuk kaki yang mati rasa, kaki bisa terluka oleh : Benda panas, benda

tajam, gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar ataupun kecil, batu dalam

sepatu dan lain-lain. Tekanan tinggi ataupun lama berdiri terlalu lama tanpa

gerak, berjalan terlalu jauh atau cepat, jongkok yang lama dan sebagainya.

Untuk mencegahnya maka :


Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki.

Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian

yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa.

Sering berhenti dan memeriksa kaki dengan teliti apakah ada luka atau

memar atau lecet yang kecil sekalipun.

Kalau ada luka, memar atau lecet kecil, langsung rawat dan istirahatkan

kaki (jangan sekali-sekali diinjakkan). Hal ini penulis tanyakan dengan melakukan

wawancara tentang bagaimana menurut responden apabila setiap hari

responden diharuskan memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau

tidak. Berikut kutipan jawaban dari responden :

Kotak 28

... Ya, setiap hari saya periksa badan saya, saya takut luka-luka itu
menulari anak-anak saya.

... Ya, korengnya harus dilihat setiap hari, diobati, biar tidak putus-
putus.

.... Ya,karena kulit saya mati rasa kalau ada luka saya sering tidak
tau karena tidak sakit.

.... Ya, karena luka bisa jadi cacat.

.... Ya, setiap hari, ada luka ya langsung diobati, biar tidak
”mbabrak-mbabrak”

... Ya, nek wonten luka ngertos,wong niki mboten kraos.

... Ya, pasien bapak-bapak tadi lukanya sampai bau mungkin nggak
pernah diperiksa.

... Ya, kalau ada luka terus disalep, biar sembuh.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Mencermati jawaban diatas menurut responden, setiap hari penderita

kusta diharuskan memeriksa anggota badannya, apakah terdapat luka baru


atau tidak, karena anggota badan penderita mengalami mati rasa sehingga,

apabila terjadi luka baru tidak terasa sakit, responden merasa takut lukanya bisa

menular pada keluarganya , responden memeriksa anggota badannya agar

lukanya tidak menimbulkan cacat dan responden mengetahui kalau ada luka

sehingga bisa cepat diobati supaya tidak tambah berat/menjalar.

Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya.

Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki.

Sayangnya, orang yang cacat akibat kusta ” dicap” seumur hidup sebagai

”penderita kusta” walaupun sudah sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya

hampir semua cacat dapat dicegah.

Proses terjadinya cacat kusta tergantung dari fungsi saraf, ada tiga

macam fungsi saraf 1) fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot (otot

gerak), 2) fungsi sensorik memberi rasa raba dan 3) fungsi otonom mengurus

kelenjar keringat dan kelenjar minyak (berhubungan dengan kekeringan kulit).

Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat dua proses yaitu infiltrasi langsung

kuman kusta ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya mata) dan melalui reaksi

kusta.

WHO membagi tingkat cacat kusta segabai berikut :

Tingkat cacat 0 : jika mata, tangan atau kaki tetap utuh.

Tingkai cacat 1 : jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat

kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan.

Tingkat cacat 2 : jika kalau ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat

itu kelihatan (borok luka, jari kithing, lunglai, pemendekan, mata tidak bisa

menutup erat, luka pada cornea mata.


Adapun dalam menggali persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku

positip, dibawah ini merupakan pandangan dari masing-masing responden

dalam pencegahan cacat kusta :

Kotak 29

... Iya bu, saya takut seperti orang kusta yang lain tangan dan
kakinya cacat, ”semper ” jalannya pincang.

... Nggih, nek kula mboten onten cacat, ning cina niku harus diperiksa
setiap hari, keset nggih mambu.

... Iya, Karena badan saya seperti orang beri-beri saya takut kalau
sewaktu-waktu terjadi cacat.

... Ya bu, sepertinya ngga ada tanda-tanda tau-tau tangan saya


”kithing”, jari saya ada yang memendek.

... Iya, ini kaki saya cacat , luka tak sembuh-sembuh terus
diamputasi.

... Iya,cerita pasien yang bareng saya antri tangannya cacat, kakinya
cacat karena tidak pernah merasa tau-tau cacat.

... Ya, takut ”mrotholi” tangannya.

... Ya, ben mboten kesuwen, langsung bisa di obatke.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Dengan melihat hasil dari jawaban semua responden, menyatakan

perlunya memeriksa kelainan atau kecacatan dibadannya setiap hari karena

takut kecacatan tersebut berlanjut menjadi lebih parah.

5. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip.

persepsi penderita terhadap risiko bila berperilaku negatif yaitu tanggapan

responden interpretasinya terhadap penyakit yang diderita sebagai penyakit yang

memalukan, menularkan, perasaan takut lingkungan mengetahui dan tidak mau

berobat sehingga akan menjadi parah, cacat dan sebagai sumber penularan
Stigmatisasi diri sendiri pada penderita kusta sangat nyata, orang dengan kusta

dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan sikap ini

dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian pendapat

bahwa kusta itu menjijikan, memalukan, harus ditutupi akan menjadi stigma yang

nyata pada penderita, penderita akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi,

akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen.

Dalam penelitian tentang faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita

kusta terhadap stigma penyakit kusta penulis melakukan wawancara mendalam

mengenai pandangan responden terhadap risiko berperilaku negatip yaitu

tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan penderita, penderita yang

mengucilkan diri karena malu dan penderita yang tidak mau berobat.

Dari hasil jawaban mengenai hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan oleh

seorang penderita kusta, sebagian besar responden mengutarakan bahwa

makanan tertentu tidak boleh dimakan dan keadaan stres, capek harus dihindari,

seperti diungkap oleh dua responden dibawah ini :

Kotak 30

... Tidak boleh stres, capek, tidak boleh makan daging


kambing,duren, semangka,nanas, nangka.

... Tidak diperbolehkan makan saos, duren, nongko, daging kambing,


sprit (alkohol), tape, anggur.

R1,5

Sedangkan pandangan responden jika melihat penderita kusta yang

selalu mengucilkan diri karena malu didapat jawaban, satu responden menjawab

lebih baik mengucilkan diri dan satu responden lain sebenarnya mengetahui
bahwa tindakan mengucilkan diri itu adalah salah, tetapi respoden sendiri

melakukannya juga, seperti yang diungkapkan oleh responden dibawah ini :

Kotak 31

... Lebih baik mengucilkan diri dari pada dirasani orang / tetangga.

... Saya tau tidak baik tapi kadang-kadang saya juga malu dan down
bu, sehingga saya juga sering tidak percaya diri, saya sering
melakukan itu, mengurung diri.
R
2,3

Sementara itu, berkaitan dengan pandangan responden tentang

penderita yang tidak berobat sebagian besar berpendapat bahwa, penderita

kusta harus selalu berobat kalau tidak berobat maka tidak akan sembuh dan satu

responden mengharapkan adanya terapi mental oleh psykolog karena selama ini

hanya mendapatkan terapi obat saja hal ini dikatakan oleh responden ke 4

seperti dibawah ini :

Kotak 32

... Salah besar, kalau tidak berobat tidak sembuh-sembuh, reaksi


terus, bu mbok jangan terapi obat saja harusnya ada terapi mental.
R4

6. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta

Penderita kusta pada umumnya tidak mengetahui bahwa dia menderita

kusta, informasi tentang penyakit kusta justru didapat dari orang lain seperti

petugas kesehatan, saudara atau perangkat desa, dan saat pertama mengetahui

penderita merasa kaget, takut, tidak percaya, berkeinginan bunuh diri. Beberapa

jawaban diungkapkan oleh responden berikut ini :


Kotak 33

... Dari petugas RSU Tugurejo.


... Dari saudara saya yang bapaknya sakit seperti saya.
... Dari pak Bayan
... Nggih ajrih, saya malu.
... Mental saya drop
... Waktu itu saya berusaha bunuh diri.
R 5,6,7,2,3,4

Adapun perasaan yang ada dalam pikiran responden setelah mengetahui

bahwa penyakitnya adalah kusta, didapat beberapa jawaban dari sebagai

berikut :

Kotak 34

... Takut sekali kalau tetangga tau, nanti saya dikucilkan (responden
menangis), takut menular keluarga, anak-anak saya, saya was-was bu
sampai sekarang.

... Saya takut tetangga tau, saya dirasani.

... Putus asa, saya tidak melanjutkan kuliah sampai sekarang.

... Syok, malu, takut luar biasa saya waktu itu berusaha bunuh diri.

... Ya kaget, tapi saya percaya pasti ada obatnya.


R 1,2,3,4,6

Kemudian persepsi responden tentang, pendapat keluarga saat

mengetahui bahwa responden menderita kusta diperoleh jawaban seperti kutipan

dibawah ini :

Kotak 35
... Suami saat itu selalu berusaha mengobatkan saya

... Suami saya bilang ”wong kok gaweane lara”. Anak-anak dulu
sukanya marah
sekarang sudah tau suruh berobat terus.

... Bapak – ibu kaget selama ini taunya saya sakit karena salah obat.

... Takut sekali, orang tua saya takut kalau saya pada ”mrotholi”

... Orang tua bilang dikasih cobaan harus diterima.

... Pertama ya kaget, saya disuruh berobat ke RSU Tugurejo karena


bapaknya juga sembuh di sini.

... Periksa ke Tugurejo secara rutin pasti sembuh kata bapak.

... Istri mendorong saya berobat.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Selain itu merurut Informan mengenai bagaimana perasaannya setelah

mengetahui bahwa penyakit responden adalah kusta, tiga orang menyatakan

merasa takut kalau tertularan penyakit ini dan merasa kasihan kalau penderita

menjadi rendah diri, paman responden merasa kecewa karena penyakit

keponakannya adalah kusta seperti diungkapkan dibawah ini :

Kotak 36
... Kecewa, wong keluarga lain tidak ada yang kena, kasihan, saya
gak tega.
I. 3

Sementara itu, ayah penderita terlihat terpukul saat penulis menanyakan

tentang perasaannya setelah mengetahui putrinya menderita kusta, sambil

menunduk berkata :
Kotak 37

... Saya sangat kasihan pada anak perempuan saya ini, ibunya juga
kena katanya di badan sakit semua, saya kawatir kalau anak saya
jadi minder di sekolahnya
I.2

Meskipun empat orang menjawab tentang perasaan masing-masing, lain

dengan teman penderita, yang tidak mengetahui bahwa temannya menderita

kusta sehingga penulis bertanya, seandainya teman anda menderita kusta

perasaan apa yang ada dalam pikiran anda? Berikut jawabannya:

Kotak 38

... Wah... ya kasihan, nanti keluarganya malu, malah sakite mboten


mari-mari.
I. 5

Sedangkan lebih lanjut ketika Informan ditanyakan tentang apa yang

terjadi pada saat mengetahui kalau istri, anak, keponakan, tetangga dan teman

penderita telah menderita kusta semua merasa takut, was-was, dan juga kaget

karena penyakitnya adalah kusta dan satu orang tidak mengetahui kalau

temannya sakit kusta sehingga penulis bertanya dengan seandainya teman

anda di nyatakan menderita kusta bagaimana ? didapatkan jawaban seperti

kutipan wawancara dibawah ini :

Kotak 39

... Mudah-mudahan tidak bu, saya takut


I. 5

Sikap merupakan respon evaluasi yang dapat berupa respon positip

maupun negatip, sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau

tidak menyetujui , mendukung atau tidak mendukung terhadap suatu obyek.

Untuk mengetahui bagaimana sikap keluarga saat pertama mengetahui bahwa


responden terkena penyakit kusta, di ungkapkan oleh responden seperti dibawah

ini :

Kotak 40

... Mendukung untuk berobat.

... Ya tidak apa-apa, bapak dan paman saya selalu ngantar saya
berobat ke RSU Tugurejo

... Orang tua takut dan kecewa karena saya sakit sudah diobatkan
kemana-mana katanya kena ”sengkolo” ternyata kena kusta.

... Bapak selalu was-was takut saya seperti ibu.


R 1,3,4,7

Sebagian besar menyatakan bahwa sikap keluarga saat itu selalu

mendorong untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, was-was dan takut,

dan responden ke 5 menilai sikap keluarga saat itu pasip saja, berikut kutipannya

Kotak 41

... Pasip saja bu, cuek gitu..


R5

Adapun apa yang dilakukan keluarga setelah mengetahui kalau responden sakit

kusta sebagian besar responden menyatakan keluarga mendorong untuk

berobat hanya satu responden menjawab bahwa keluarga tidak peduli kalau

responden menderita penyakit kusta, seperti kita lihat pada kutipan berikut :

Kotak 42

... Ya cuek saja bu.....gak peduli saya kena kusta.


R5
Selain itu bagaimana sikap keluarga saat itu, Informan menjawab dengan sikap

yang berbeda-beda, dibawah ini kutipan dari masing-masing jawaban :

Kotak 43

... Anak terbesar saya tau kalau ibunya sakit kusta baru-baru ini, dulu
ya belum tau dan sekarang dia sering Bantu ibunya untuk pekerjaan
rumah.

... Ibunya nangis saat saya beri tau kalau Afif juga kena kusta, dia
sering ”nuturi” untuk berobat terus. Adik-adiknya tidak tau, masih
kecil.

... Orang tuanya sangat kecewa, sangat kawatir. Adik-adiknya tidak


diberi tau kalau kakaknya kena kusta, keluarga saya sendiri taunya
salah obat karena keponakan saya ini sering minum obat bebas.

... Sepertinya biasa saja bu, mungkin karena dari keluarga kurang
mampu jadi mau berobat ya mikir biaya, kalau disini kan tidak bayar.

... Keluarganya sudah mengobatkan ke mana-mana bu, di RS. Blora


sana kakinya di amputasi, dua jarinya karena luka terus kemudian
diamputasi
I. 1,2,3,4,5

7. Faktor ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta.

Yaitu faktor yang terdapat diluar responden, seperti masyarakat di sekitar

tempat tinggal responden, faktor ini berupa interaksi sosial di luar pribadi

responden. Dalam mencari faktor yang melatar belakangi persepsi penderita

kusta terhadap stigma penyakit kusta, di lakukan wawancara mengenai

pandangan responden tentang sikap masyarakat sekitar dengan pertanyaan

sebagai berikut : Apa pendapat orang-orang di lingkungan kerja/ teman anda

setelah mengetahui anda menderita kusta?


Dengan melihat hasil jawaban semua responden, dipastikan bahwa teman atau

tetangga tidak ada yang tau kalau responden sakit kusta, semuanya

beranggapan responden berobat karena penyakit lain seperti penyakit saraf,

diabetes, alergi atau karena salah obat.

Demikian juga tentang apa yang mereka lakukan terhadap responden,

didapatkan jawaban sebagian besar dari lingkungan responden tidak melakukan

tindakan apapun terhadap responden . Untuk mengetahui lebih lanjut tentang

apa yang dilakukan masyarakat dilingkungan responden dapat dilihat beberapa

tanggapan berikut ini :

Kotak 44

... Tetangga dan teman saya tidak tau bu, taunya saya sakit saraf.

... Kabeh mboten ngerti , katanya penyakit saya tidak bisa sembuh.

... Lingkungan tidak tau, teman tidak tau, taunya salah obat.

...Tidak ada yang tau, ya taunya saya sakit alergi.

... Biasa saja, tidak tau kalau saya kena kusta, taunya kena gula dan
kaki saya dipotong karena penyakit diabetes.

... Teman kerja saya tidak ada yang tau kalau sakit, kalau ke
semarang ya dikira ke rumah saudara saya.

... Teman-teman disekolah tidak ada yang tau kalau saya sakit kusta,
tapi saya takut juga sewaktu-waktu mereka tau.

... Teman-teman, tetangga tidak pada tau bu.


R 1,2,3,4,5,6,7,8

Mengenai dari mana Informan mengetahui tentang penyakit kusta yang

diderita responden, didapat jawaban beragam yaitu : suami penderita mendapat

kabar dari kakak perempuan penderita yang juga menderita kusta, ayah

penderita mengetahui kalau putrinya menderita penyakit kusta karena istri/ ibu

penderita menderita penyakit yang sama yaitu kusta, paman penderita melihat
keponakannya sakit kusta saat menengok penderita mondok di ruang Kenanga

RSUD Tugurejo, tetangga penderita adalah pegawai RSUD Tugurejo,

mengetahui kalau tetangganya sakit kusta pada saat bertemu dengan saudara

penderita yang sedang menunggu penderita, karena menjalani rawat inap di

ruang kenanga RSUD Tugurejo dan teman penderita tidak tau kalau penderita

sedang sakit kusta, responden mengantar penderita karena luka dikaki yang

tidak sembuh-sembuh, mendaftar ke poli penyakit dalam dan akhirnya dirujuk ke

poli kulit, dibawah ini merupakan kutipan jawaban dari paman, tetangga dan

teman penderita :

Kotak 45

... Saya taunya saat keponakan saya ini mondok di ruang kenanga,
kata suster, sakitnya reaksi kusta.

... Dari saudaranya, saya ketemu di RSUD tugurejo karena adiknya


dirawat disini karena kusta dan saya ikut besuk di ruang kenanga.

... Teman saya, teman saya nggak sakit kusta kok bu, kakinya luka
ngga sembuh-sembuh sudah diobatkan ke puskesmas, tidak sembuh
terus saya bawa kesini, ke penyakit dalam, dirujuk ke penyakit kulit
lantai 2, dan ini mau mondok di ruang Kenanga.

I 3,4, 5

Stigma kusta merupakan faktor utama yang menyebabkan keterlambatan

pasien dalam pengobatan hal ini merupakan kerentanan terjadinya kecacatan.

Cacat permanen yang terlihat nyata oleh lingkungan akan membatasi mereka

dalam menjalani kehidupan bermasyarakat secara normal, mereka bahkan

kehilangan pekerjaan, ketidak mandirian fisik yang disebabkan oleh kecacatan

dan keterbatasannya. Stigmatisasi diri penderita terlihat sangat nyata, orang

dengan kusta menjadi malu, hal ini mungkin karena sikapnya juga kecacatannya

dan sikap ini yang dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat.


BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Gambaran umum responden menunjukkan bahwa responden terbanyak

berumur antara 26 tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Pada

kelompok umur tersebut merupakan masa produktip dalam kehidupan

responden. Dengan terserangnya penyakit kusta responden merasa bahwa

aktivitas sehari - harinya sangat terganggu oleh penampilannya dikarenakan

adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan diri yang menurun.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendasar untuk


(32)
melaksanakan tindakan , dilihat dari segi pendidikan sebagian besar

responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya ada satu responden

yang tidak bersekolah.

Sebagian besar responden tidak bekerja, selain sulit dalam mencari

pekerjaan responden merasa takut apabila pimpinan dan teman-temannya

mengetahui bahwa responden terserang penyakit kusta dan responden sangat

menyadari kelelahan akan mengakibatkan kekambuhan penyakitnya, dengan

tidak bekerja responden menyatakan bahwa tidak mempunyai penghasilan.

Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan

penderita, mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan pribadi, kegiatan bisnis

sampai kehadiran mereka pada acara-acara di lingkungan masyarakat(2).

Sebagian besar responden telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun sampai
dengan 5 tahun, dalam kurun waktu sekian lama responden harus selalu berobat

dan minum obat seraca rutin, apabila sampai terlambat dalam berobat responden

menyatakan penyakitnya akan muncul kembali.

2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta

terhadap stigma penyakit kusta

a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi responden.

Stigma adalah hal-hal yang membawa aib, hal yang memalukan,

sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu dan takut karena sesuatu
(14)
. Hasil wawancara mendalam didapatkan hasil , bahwa semua responden

menyatakan masyarakat disekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita

penyakit kusta dan sebagian keluarga responden, merasa sangat takut dan was-

was saat mengetahui responden menderita kusta. Untuk mengatasi stigma ini,

sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga

dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak memperdulikan lingkungannya,

walaupun ada juga yang tetap mengikuti kegiatan di kampungnya seolah-olah

tidak sedang sakit.

Untuk menghindari efek stigmatisasi penderita kusta menggunakan

beragam cara agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui tentang

penyakitnya diantaranya menyembunyikan secara efektif tentang penyakitnya,

mencegah pengungkapan diri terhadap masyarakat, keluarga dan teman-

temannya (12).

Wawancara mendalam terhadap responden dalam mengatasi stigma ini

diperoleh jawaban bahwa, responden selalu menggunakan pakaian tertutup,

seperti berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok panjang dan bagi
penderita laki-laki menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos kaki dan bertopi

juga tidak menceritakan kepada siapapun tentang penyakit yang dideritanya.

b. Persepsi penderita terhadap kemudahan kemungkinan terkena

penyakit.

Dalam teori health belief model dinyatakan bahwa ketika individu

mengetahui adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa penyakit akan

berakibat serius pada organ tubuh. Adanya gejala - gejala fisik mungkin

mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi pasien untuk mengikuti instruksi

yang diberikan (20).

Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh

kuman kusta . Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang

lain, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan

lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah

semua tergantung dari beberapa faktor, antara lain : faktor sumber penularan

yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (1).

Sebagian besar responden mempunyai persepsi bahwa penyakit kusta

dapat menimpa semua orang, sebagian responden menganggap bahwa orang

yang jorok dan kondisinya menurun yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit

kusta dapat ditularkan dari penderita kusta kepada orang lain. Sebagian besar

responden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta dan ada yang

mengatakan penyakit ini menular melalui udara dan satu responden menyatakan

bisa tertular penyakit kusta apabila golongan darahnya sama dengan penderita,

jika tidak sama tidak akan tertular.


c. Persepsi penderita terhadap kegawatan penyakit.

Pada penelitian ini, didapatkan jawaban bahwa sebagian besar

responden menganggap kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius

alasan responden adalah penyakit kusta mengakibatkan perubahan bentuk fisik

dan kecacatan dimana kecacatan ini bisa menetap seumur hidupnya. Sebagian

besar responden berpandangan bahwa penyakit kusta bisa menimbulkan

kematian hal ini dikemukakan bahwa gejala yang muncul saat terkena penyakit

ini sangat berat, dan saat pertama kali berobat tidak langsung diketahui

penyakitnya sehingga responden merasa pengobatan yang dilakukan kurang

tepat, justru penyakitnya menjadi berat dalam arti lain terlambat berobat untuk

penyakit kustanya karena salah dalam mendiagnosa penyakit.

d. Persepsi penderita terhadap manfaat berperilaku positip.

Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit turunan / kutukan,

menurut WHO menggunakan hemoterapi dengan Multi Drug Treatment (MDT).

Tujuan pengobatan ini adalah untuk mematikan kuman kusta. Pada tipe MB lama

pengobatan 12 – 18 bulan dan tipe PB lama pengobatan 6 – 9 bulan. Bila

penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat

menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf

yang dapat memperburuk keadaan (17).

Semua responden menyatakan orang yang menderita penyakit kusta harus

berobat secara rutin, karena kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan

tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu responden mengurangi

frekuensi kekambuhan.
Kecacatan yang berlanjut dapat menimbulkan ketidak mampuan

melaksanakan fungsi sosial yang normal, serta kehilangan status sosial secara

progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya (7).

Sebagian besar dari responden menyatakan, perawatan diri dengan rajin sangat

perlu, supaya cacatnya tidak bertambah parah, dengan mengoles pelembab di

tangan dan kakinya akan mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa membuat

luka / pecah-pecah. Menurut responden setiap hari penderita kusta harus

memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak, karena anggota

badan penderita mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka tidak terasa

sakit, menurut responden mengetahui terjadinya luka secara dini akan

mengurangi terjadinya kecacatan karena luka bisa cepat diobati sehingga tidak

bertambah berat/menjalar

e. Persepsi penderita terhadap risiko berperilaku negatip

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara

umum risiko berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang tidak boleh di lakukan,

responden mengutarakan bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh

dimakan seperti daging kambing, durian, nangka, makanan beralkohol dan

keadaan stres, capek / kelelahan harus dihindari karena akan memunculkan

gejala-gejala penyakit kusta (reaksi kusta).

Secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita

membentuk paras yang menakutkan, kecacatannya juga memberi gambaran

yang menakutkan, hal ini menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri,
(1)
depresi dan menyendiri Sebagian besar responden menanggapi bahwa

penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu itu tidak baik, karena
penderita kusta harus berobat, apabila tidak berobat secara rutin maka tidak

akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan mengucilkan diri adalah tindakan

yang paling tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan tetangga. Responden

lain sebenarnya mengetahui bahwa tindakan mengucilkan diri adalah tidak baik,

akan tetapi responden tersebut melakukannya juga karena malu dan down

mentalnya. Berkaitan dengan pandangan responden tentang penderita yang

tidak berobat semua responden berpendapat bahwa tindakan tersebut

merupakan kesalahan besar karena penderita kusta jika tidak berobat selain

tidak sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi cacat dan sebagian

responden menyatakan perlu adanya terapi mental oleh psykolog karena selain

fisik yang sakit penderita kusta juga menderita sakit secara mentalnya.

f. Faktor Internal yang melatar belakangi persepsi penderita

terhadap stigma penyakit kusta.

Pada umumnya responden tidak mengetahui bahwa menderita kusta,

informasi tentang penyakit kusta didapat dari orang lain seperti petugas

kesehatan, saudara atau perangkat desa, sebagian besar responden merasa

kaget, takut dan tidak percaya saat pertama kali mengetahui terserang penyakit

kusta dan satu responden berusaha bunuh diri saat mengetahuinya.

Sebagian besar responden mengatakan, keluarga sangat kaget saat mengetahui

responden terserang penyakit kusta, sikap keluarga saat itu selalu mendorong

untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, was-was dan takut. Satu

responden mengatakan keluarganya biasa saja dengan penyakit responden dan

tidak merasa bahwa responden menderita penyakit kusta, keluarga mengatakan

kalau yang berbahaya itu adalah sakit lepra, hal ini karena keluarga tidak
mengetahui perbedaan antara kusta dan lepra, dan waktu pertama responden

menderita kusta keluarga mengatakan bahwa baru di beri cobaan dari Allah

harus diterima.

g. Faktor ekternal yang melatar belakangi persepsi penderita

terhadap stigma penyakit kusta.

Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta sangat nyata, orang dengan

kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga kecacatannya dan

sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian

pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan harus ditutupi akan menjadi

stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami kesulitan untuk

berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen (3).

Semua responden mengatakan, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-

temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta, mereka mengira

responden berpenyakit lain seperti penyakit saraf, diabetes, karena alergi obat

atau karena salah obat sehingga masyarakat dan teman responden tidak

melakukan tindakan apapun terhadap responden.

Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk

cap oleh masyarakat terhadap seseorang, orang yang terstigmatisasi menjadi

berperilaku seolah-olah mereka dalam kenyataan yang memalukan atau


(12)
namanya tercemar . Efek dari stigmatisasi berakibat dapat membuat

masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan perilaku mereka terhadap

individu yang dikenai stigma, dan pada umumnya menyebabkan orang yang

dikenai stigma untuk merubah persepsi tentang dirinya serta menjadikan mereka

mendifinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang. Dari hasil


wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat,

keluarga dan teman penderita kusta tidak memberikan suatu tindakan yang

mengarah ke stigmatisasi terhadap responden.

Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun, disebabkan oleh

kuman kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB

kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Secara teoritis penularan ini

dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang erat dan lama dengan penderita
(1)
.

Dan cross chek yang dilakukan terhadap keluarga, tetangga dan teman penderita

yang selanjutnya disebut sebagai Informan, dengan menggunakan wawancara

mendalam di peroleh hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa penyakit

kusta adalah penyakit menular, bisa menimpa semua orang dan orang yang

kondisi kesehatannya menurun, kurang menjaga kebersihan adalah orang yang

bisa tertular penyakit ini, dan tiga dari lima Informan mengatakan kontak

langsung yang lama adalah cara penularan penyakit kusta selain melalui udara.

Sebagian besar menganggap penyakit kusta adalah penyakit yang berbahaya

karena penyakit kusta menimbulkan gejala yang berat, bisa menular ke orang

lain , dapat merubah bentuk fisik dan bisa menimbulkan kecacatan.

Semua Informan mengatakan penyakit kusta tidak menyebabkan kematian

hanya bisa mengakibatkan kecacatan. Suami responden mengetahui jika istrinya

menderita penyakit kusta dari keluarganya yang juga menderita penyakit ini dan

Informan lain mengetahui dari petugas RSUD Tugurejo Semarang, seorang

Informan tidak mengetahui bahwa temannya dirawat karena menderita penyakit

kusta sehingga wawancara terhadap teman responden tidak penulis lanjutkan.


Semua Informan setelah mengetahui berpendapat, harus berobat supaya

sembuh dan sikapnya saat itu sangat kecewa, kawatir walau tetap membantu

dalam berobat. Mengenai pendapat orang-orang dilingkungan penderita, semua

Informan mengatakan bahwa lingkungan tidak mengetahui kalau menderita kusta

sehingga lingkungan tidak melakukan tindakan apapun terhadap penderita.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan didapatkan kesimpulan

sebagai berikut :

1. Responden (penderita kusta) dalam penelitian ini berjumlah 8 orang

dengan rentang usia 14 – 51 tahun, berjenis kelamin laki-laki sebanyak

lima orang dan enam orang berasal dari luar Semarang. Dilihat dari latar

belakang tingkat pendidikan responden, mulai dari tidak bersekolah

sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas. Lima orang responden tidak
bekerja dan enam orang telah menderita penyakit kusta antara 1 tahun

sampai 5 tahun lamanya.

2. Penderita kusta berpersepsi, masyarakat disekitar tempat tinggal dan

teman-temannya tidak mengetahui bahwa penderita sedang mengalami

sakit kusta, penderita beranggapan bahwa, tetangga dan teman-temannya

menyangka penderita berpenyakit lain seperti penyakit diabetes, penyakit

syaraf atau penyakit alergi karena salah minum obat, penderita kusta

berpersepsi, sikap membatasi diri dalam pergaulan, menutupi

kekurangannya/kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi/

mengatasi cap buruk/stigma.

3. a. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan

penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak

melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

b. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan

penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau

kecacatan seumur hidupnya.

c. Penderita kusta berpersepsi, untuk berperilaku positip ditunjukkan

dengan :

1) Berobat secara rutin.

2) Melakukan perawatan diri dengan rajin.

3) Mau berinteraksi dengan lingkungan.

d. Penderita kusta berpersepsi, berperilaku negatip yaitu :

1) Tidak mau berobat karena malu.


2) Mengucilkan/mengisolasikan diri.

3) Putus asa.

B. Saran

1. Bagi RSUD.Tugurejo Semarang, rumah sakit dengan unggulan

penyakit kusta, sebagai rumah sakit pendidikan dan rujukan penyakit

kusta di Jawa Tengah agar mengoptimalkan pelayanan Rehabilitasi

Medik, karena penderita kusta selain memerlukan pelayanan medis (obat)

juga memerlukan pelayanan Fisioterapi untuk mencegah kecacatan,

melatih otot-otot yang lemah dan untuk mempersiapkan operasi bagi

penderita yang akan dilakukan operasi perbaikan kecacatannya. Terapi

Kerja (Occupational Therapi), keperluan alat bantu (Orthotic Prosthetic)

dan yang paling penting adalah pelayanan Psykologi untuk men support

mental penderita.

Perlu adanya suatu kelompok penderita kusta dengan program kegiatan

bersama, untuk meningkatkan motivasi dan upaya pencegahan

kecacatan.

Perlunya program monitoring dan evaluasi bagi pasien yang sudah

dinyatakan sembuh dari penyakit kusta..

2. Bagi Puskesmas, sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat

pertama yang mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan berbagai

pelayanan kesehatan diantaranya promosi kesehatan, pemberantasan

penyakit, penyehatan lingkungan dan berbagai program kesehatan

masyarakat lainnya untuk dapat mendeteksi secara dini masyarakat yang


terserang penyakit kusta, serta untuk melaksanakan pengobatan secara

rutin.

3. Bagi Penderita Kusta dan Keluarga, agar memeriksakan sedini

mungkin dan berobat secara teratur serta melakukan perawatan diri untuk

mencegah kecacatan. Sikap dan kepedulian keluarga untuk dapat

memotivasi penderita agar berobat secara teratur, dan yang lebih penting

persepsi terhadap stigma penyakit kusta harus dihilangkan karena

penyakit kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan.

Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam kehidupan sehari-

hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, 2005.

2. Leprosy Review, a journal Contributing to better understanding of Leprosy


and its control, Volume 76, Number 2, England, 2005

3. Leprosy Review, Special Issue on Operational Research, Volume 76,


Number 4, December 2005,
4. Data penderita Kusta Provinsi JawaTengah, tahun 2007

5. Laporan Kunjungan Rawat Jalan Penderita Kusta Rumah Sakit Umum


Daerah Tugurejo Semarang tahun 2007

6. Evaluasi Kunjungan Rawat Inap Penderita Kusta Rumah Sakit Umum


Daerah Tugurejo Semarang tahun 2007

7. Baderal Munir, Dinamika Kelompok Penerapannya dalam laboratorium


Ilmu Perilaku, Universitas Sriwijaya, 2001

8. Sulisna. Perilaku Konsumen dan komunikasi Pemasaran, Bandung, 2001

9. Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

10. Direktorat Kesehatan Jiwa Depertemen Kesehatan, Psykologi


Manajemen, Edisi 4, Jakarta

11. Soekidjo Notoatmojo, Promosi kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka


Cipta, Jakarta, 2005

12. Tri Dayakisni, Hudaniah, Psikology Sosial, Edisi Revisi, UMM-Press, 2003

13. Jacobalis, Samsi, Beberapa Teknik dalam menejemen Mutu Rumah


Sakit, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000

14. Peter Salim, The Contemporary English – Indonesia Dictionary, Seven


edition, modern English Press, Jakarta, 1996

15. Mantra IB, Srategi Penyuluhan Kesehatan, Depertemen Kesehatan RI,


Jakarta, 2000

16. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Pelaksanaan
Pembentukan Kelompok Perawatan Diri, Jakarta, 2006

17. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pedoman Kusta Nasional untuk
pelaksanaan pemberantasan kusta di daerah endemik Rendah, Jakarta,
2004

18. Sarwono S, Sosiologi Kesehatan Beberapa konsep beserta Aplikasinya,


Cetakan ke dua, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997

19. Lawrence W. Green, Health Promotion Planning, Mayfield Publishing


Company, London, 2000

20. Jane Ogen, Health Psychology, Open University Press, Buckingham,


Philadelphia, 1996
21. Depertemen Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, Modul Pelatihan Program P2 Kusta
bagi Unit Pelayanan Kesehatan, Jakarta, 2007

22. Hari Kusnanto, Metode Kualitatif dalam Riset Kesehatan, Aditya Media,
yogyakarta.

23. Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, bandung,


2002

24. Mery Debus, Buku Panduan Diskusi Kelompok Terarah, AED Healthcom.

25. HB. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press,
Surakarta, 2001

26. Miles Matthew B. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang


Metode-metode Baru. Terjemahan, Penerbit Universitas Indonesia, 1992.

27. Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya,


Bandung, 2002.

28. Utarini, A. Metode Penelitian Kualitatif. Modul mata kuliah, Pascasarjana


IKM-MPPK UGM, Yogyakarta, 2004.

29. Johana E. Prawitasari, Metode Penelitian Kesehatan, Hand Out Program


Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1995.

30. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis


dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005.

31. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1991

32. Soekidjo Notoatmojo, Pengantar Pendidikan dan Ilmu Perilaku


Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta, 1993

33. Becker MH. The Health Belief Model and Personal Health Behavior,
Charles B, Slack Inc, Thorofare, New Jersey, 1997.

34. Fishbein, M, Ajzen, I. Belief, Attitude, Intention and Behavior an


Introduction to Theory and Research. Philippines : Addison Wesley
Publishing, 1975.

35. Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research,


penerjemah Muhammad shodiq dan Imam Muttaqim, Pustaka Jaya,
Yogyakarta, 2007
36. Leprosy Review, a journal Contributing to better understanding of Leprosy
and its control, Volume 76, Number 1, England, 2005

37. Leprosy Review, Special issue on interation, Volume 73, Number 2,


England 2002.

38. http://her.oxfordjournals.org/cgi/content/full/cyll58v1

39. http://www.suryo.co.id/web.powered by joomla-@copyright(c)2005 open


source MaltersG Aenll errigahtetsd:27s Nerovveedmber,2007.22 23

40. Rachmalina, Penelitian Pengembangan Model Penanggulangan Penyakit


Kusta di daerah Endemis dengan Pendekatan Sosial Budaya, Badan
Litbang Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2001

41. Workshop EDAN, Mem-PD-kan para mantan penderita kusta,


Testimonials, motivasi,komunikasi,Leadership, 17 Pebruari, 2007

42. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia , edisi kedua, Balai Pustaka, 1991

43. RSUD Tugurejo, Intruksi Kerja Pelayanan Pasien di Poliklinik khusus,


2008

You might also like