You are on page 1of 42

PERAN PENGAJARAN FORMAL

PADA PEMEROLEHAN BAHASA


KEDUA

PERAN PENGAJARAN FORMAL


PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
by. Marlia, S.Pd., M.Hum.

Pendahuluan
Bab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu
mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa
kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pertanyaan
mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa
kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu
mendidik) bahasa telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat
diajarkan.
Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan
pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa kedua alamiah, dan (2) kelas
pemerolehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis
pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan
ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakap-cakap di kelas dapat berubah, dalam
perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh
karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan
oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat
pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana
pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal ini mungkin menunjuk
pada persoalan yang lebih luas mengenai peran dari faktor lingkungan.
Pengajaran bahasa mempunyai banyak tujuan. Salah satunya memiliki tradisi untuk
mengajar pelajar dengan sistem formal pada bahasa kedua (L2), khususnya tatabahasa,
walaupun fonologi dan kosa kata juga mungkin untuk menerima perhatian. Bab ini
semata-mata akan dikaitkan dengan peran pengajaran dalam pemerolehan tatabahasa
bahasa kedua (L2). Hal itu mempertimbangkan pengajaran formal.
Dalam banyak metode pengajaran, suatu asumsi dibuat bahwa memusatkan pada bentuk
linguistik membantu pemerolehan dari pengetahuan tatabahasa, atau, untuk
meletakkannya dengan cara lainnya, bahwa peningkatan kesadaran pelajar mengenai
peran target bahasa yang alami membantu pelajar untuk menginternalisasikan mereka.
Dalam kasus tentang metode deduktif ini adalah kasus dirinya dengan jelas. Tetapi, hal
ini juga benar dalam metode ‘habit forming’ seperti audio-lingualisme, sebagai tujuan
dari penyajian praktik adalah untuk memusatkan pada bentuk spesifik linguistik, yang
mana pelajar dianjurkan untuk mempengaruhi dan yang mana pada akhirnya ia akan
membentuk kurang lebih penyajian mental yang disengaja/sadar. Tentunya, pemerolehan
yang diakibatkan oleh pengajaran tidak mungkin dengan serta merta. Kebanyakan
metode membedakan ‘skill getting’ (mendapatkan kecakapan), dengan ‘skill using’
(penggunaan kecakapan) (Rivers dan Temperley, 1978). Pemerolehan memerlukan
praktik satu sesama atau yang lainnya.
Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur
gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa
disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan
pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa
mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan
alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam
bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua
yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal
ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama
merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri.
Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama,
jawaban dari sebuah pertanyaan ‘apakah pengajaran formal membantu pemerolehan
bahasa kedua?’ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan ‘pengajaran formal bagaimana yang
sebagian besar membantu pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada pertanyaan
pertama terdapat anggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar
tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum
mengenai ‘pengajaran formal’. Dalam pertanyaan kedua terdapat anggapan bahwa
pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan
pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran.
Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a)
mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi,
tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan
keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi
berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan
target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa aturan mungkin lebih
mudah daripada mengajar dan belajar2. Tujuan instruksional dapat menjadi aturan
internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban
dibanding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang
yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih
aturan tatabahasa oleh guru, dan mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang
belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk
mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3
Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan
bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi studi komparatif ,
mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara yang lebih efektif. Namun, seperti
yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan satu
metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah
terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah pengajaran formal dengan sendirinya
membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran
telah bersama-sama merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam
ketentuan umpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan
Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara
tentang peran pengajaran secara umum saja, melainkan topik ini secara logis
mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan
hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran
pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.
Dengan demikian apa yang menjadi kriteria kelengkapan pengajaran formal? Penulis
mengusulkan dua hal (meskipun terdapat kemungkinan ada yang lain). (1) corak khusus
tatabahasa yang dipilih untuk menarik perhatian pelajar, dan (2) atensi ini jelas
mempusatkan karakteristik corak khusus tatabahasa. Dalam kaitan dengan dua hal ini,
pengajaran formal diambil untuk menyertakan pengajaran yang merupakan hasil dari
metode deduktif seperti kode kognitif, metode induktif seperti audiolingualisme, dan,
juga pengajaran yang didasari material fungsional dimana bahasa khusus berarti untuk
merealisasikan beragam cara berbicara atau kategori tatabahasa-semantik diperkenalkan
dan digunakan. Hal itu bukan berarti menyertakan pengajaran dimana pelajar didorong
untuk menggunakan komunikasi alami dengan sumber bahasa apapun yang dia miliki.
(umpamanya seperti yang digambarkan dalam Proyek Bangalore-Lihat Johnson 1982).
Dalam upaya mempelajari efek dari suatu pengajaran, sangat penting untuk membedakan
perbedaan aspek pemerolehan bahasa kedua. Peran pengajaran dalam pemerolehan
bahasa kedua harus secara terpisah mempertimbangkan dalam hal efek pengajaran yang
berakibat mengarah kepada perkembangan (antara lain urutan umum atau perintah
tambahan khusus. Dan efek pengajaran berakibat pada tingkat pengembangan (antara lain
kecakapan tingkat pencapaian akhir). Perbedaan ini pada satu pihak dan penilaian dipihak
lain juga dipertimbangkan dalam bab 5. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat
penting saat mempertimbangkan pengajaran formal karena hal itu mungkin bahwa
pengajaran dapat menentukan kedua jalan dan penilaian/kesuksesan, atau hanya salah
satunya saja.
Singkatnya, mempelajari peran pengajaran formal dalam pemerolehan bahasa kedua
adalah penting dalam hal membangun pemahaman teoritis tentang pemerolehan bahasa
kedua dan untuk ilmu mendidik tentang bahasa. Dalam kasus terdahulu, hal itu dapat
menerangkan bagaimana perbedaan dalam kondisi lingkungan mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua. Dalam kasus terakhir, hal itu dapat membantu menguji
asumsi pendidikan dasar seperti apakah urutan pola tatabahasa yang diperkenalkan sesuai
dengan urutan yang telah diajarkan pada mereka. Pengajaran dapat diambil dari beberapa
bentuk berbeda, tapi untuk penggunaan pada bab ini, isu yang dipertimbangkan bukan
jenis pengajaran yang paling efektif, tapi apakah pengajaran formal memiliki pengaruh
pada dirinya. Sampai saat ini, pengajaran diambil untuk menyiratkan beberapa bentuk
peningkatan kesadaran, dengan target ciri-ciri pokok ilmu bahasa. Pengaruh tersebut
mungkin dengan jelas mengarah pada pemerolehan bahasa kedua dan/juga untuk
penilaian/keberhasilan pemerolehan bahasa kedua.
Bab ini memiliki empat sub bab. Pertama, menguji efek pengajaran pada pemerolehan
bahasa kedua. Kedua, menguji efek penilaian/kesuksesan yang mengarah pada
pemerolehan bahasa kedua. Sub bab ketiga, menjelaskan hasil laporan yang diterima
pada kedua sub bab terdahulu. Akhirnya, kesimpulan singkat tentang implikasi teori
pemerolehan bahasa kedua dan pengajaran bahasa.
Efek pengajaran formal yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua

Pada bab 3 pengarahan pemerolehan bahasa kedua betul-betul dipertimbangkan dalam


hubungan rangkaian umum pengembangan dan tata tertib dalam ciri-ciri pokok
tatabahasa yang diperoleh. Bukti untuk dilaporkan secara menyeluruh tentang tata urutan
dan perbedaan kecil dalam urutan yang datang dari : (1) pelajaran morfem dan (2)
pelajaran longitudinal. Pembahasan ini merupakan bentuk asli pemerolehan bahasa kedua
secara alami dan juga secara campuran (antara lain jika terdapat ekspose alami dan
pengajaran. Bab ini kini akan mempertimbangkan pelajaran yang serupa mengenai kelas
pemerolehan bahasa kedua. Namun, karena terdapat pandangan relatif mengenai
pelajaran, kesimpulan yang dapat digambarkan tentunya akan tentatif. Pelajaran morfem
dan longitudinal akan dibahas secara terpisah.

Studi morfem dari kelas pemerolehan bahasa kedua

Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama adalah lima studi
yang menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang lain adalah empat studi yang
menyelidiki pelajar bahasa asing.
Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan morfem yang sama dalam
kelas pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami.
Fathman (1975) menggunakan uji produksi lisan untuk menilai pengetahuan tatabahasa
dari dua ratus anak usia 6 hingga 15 tahun dari latar belakang yang berbeda-beda.
Beberapa anak yang menerima pengajaran bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas.
Fathman menemukan korelasi yang sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok
pelajar dan menyimpulkan bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa
tergantung dengan pengajaran. Perkin dan Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan
morfem dari duabelas mahasiswa Universitas Venezuela setelah mereka menjalani dua
bulan pengajaran bahasa setelah tiba di Amerika Serikat. Mereka menggunakan dua buah
tugas dalam mengumpulkan data : (1) test terjemahan, dan (2) tugas deskripsi
berdasarkan film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah pengajaran
berbeda secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti
menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak
mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua dan
menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak berkorelasi
tinggi dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan pengajaran dan
pembelajaran ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran ini memberi kesan tapi
tidak membuktikan pengajaran formal tidak mengubah pesan kemahiran morfem
tatabahasa saat pelajar sibuk dalam menggunakan bahasa terfokus pada arti dari bahasa
tersebut
Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua memberi kesan bahwa
pengajaran dapat memiliki efek pada pesan morfem, meskipun efek itu relatif kecil dan
tidak kekal. Lightbown dkk. (1980) menyelidiki performan dari 175 mahasiswa Perancis
penutur bahasa Inggris berdasarkan (1) test penilaian secara tatabahasa, dan (2)
pertanyaan komunikasi melibatkan deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai
pada (1) hasilnya meningkat sesuai hasil pengajaran, tapi dari nilai secara umum
kemudian menurun (antara lain, setelah mahasiswa tidak lagi menerima pengajaran pada
bagian tatabahasa yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan bahwa pesan dari
berbagai morfem kata benda dan kata kerja berbeda dari pesan ‘secara alami’. Hal ini
terjadi karena mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja,
kemungkinan karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis
bentuk akhir jamak ‘-s’ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata
kerja dan kata benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang sesuai
terjadi secara alamiah. Pada studi berikutnya, Lighbown (1983) menemukan bahwa pada
kelompok mahasiswa yang sama pada studi pertama ‘overlearnt’ pada penempatan ‘-ing’
kata kerja pada tahap tingkat pengembangan mereka. Lighbown memberi kesan bahwa
hal ini sebagai hasil dari latihan formal secara intensif mengenai morfem ini pada tahap
terlalu awal dan latihan yang terkonsentrasi tinggi dapat menunda efek. Meskipun,
mahasiswa tidak menggunakan ‘-ing’ secara tepat, namun mengulur-ngulur penggunaan
pada kontek yang membutuhkan morfem orang ketiga ‘-s’. kemudian, frekwensi ‘-ing’
menurun sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing penggunaan ‘-s’ dam
‘=ing’. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan hanya bersifat
sementara.
Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas studi morfem tentang pelajar
bahasa kedua adalah bahwa pelajar yang telah menerima pengajaran lingkungan dimana
hal itu memungkinkan bagi mereka untuk mengekpose bahasa kedua diluar kelas.
Dengan kata lain, studi mungkin tidak menyentuh efek pembelajaran kelas. Pica (1983)
menyebutkan sejumlah studi seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah
mengacaukan variabel. Fathman (1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai
‘pesan sukar’ dari pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk sekolah di Amerika Serikat. Pada kasus
terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada dua kriteria yang telah
disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan pada bentuk. Pada
kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan. Meskipun demikian,
Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan oleh dua kelompok
pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan minornya.
Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan Pica tersebut adalah
sebagaimana menurut Makino (1979). Makino menyelidiki sembilan morfem yang
dihasilkan dalam ujian tulis 777 subjek pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing
di sekolah sekunder Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa pesan morfem yang
dihasilkan berkorelasi signifikan dengan pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan
oleh peneliti morfem lainnya (Hakuta 1974 adalah pengecualian).
Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah Sajavaara (1981a). ia
mengumpulkan cara berujar secara spontan dari pelajar berbahasa Finlandia yang belajar
bahasa Inggris dan menemukan suatu gangguan pesan.. satu dari perbedaan utama adalah
didakam memposisikan rangking suatu tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa
Finlandia dan bahasa Jepang berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa
Finlandia dalam studi Sajaavara berbeda seara alami.
Pica melaksanakan studinya mengenai efek pengajaran terhadap pesan morfem. Ia
membandingkan enam pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang menerima
pengajaran formal di Mexico City baik pada kelompok pelajar alami, maupun pelajar
campuran (sebagai contoh, seseorang menerima ekspose dan juga pengajaran) di
Philadelphia. Pica memandang pada delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan
diantara tiga kelompok dan dengan pesan alami Krashen.
Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas dalam tabel 9.1. Kesimpulan
apa yang dapat digambarkan? Secara umum pengajaran formal tidak tampak memiliki
efek terhadap pesan morfem yang dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan
bahasa kedua. Hanya saat data yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara
ketat dimonitor (seperti dalam melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman,
misalnya) muncul berbeda-beda. Saat data dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang
komunikatif tentang bahasa kedua (sebagaimana dalam studi Pica, misalnya), pesan
morfem adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda hanya dalam istilah dan
hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu ‘overlearnt’. Kesimpulan umum ini
membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau dewasa dan yang
paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing ataukah lingkungan
bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi Sajavaara.
Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki efek kurang berarti pada pesan
order merujuk kepada bahasa yang digunakan secara spontan. Namun, sebagaimana yang
telah tergambar pada bab 3, pesan morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada
pengetahuan yang didapatnya. Dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat
dipercaya, mengenai pengaruh pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting
untuk berbalik ke arah studi longitudinal mengenai struktur transisi.

Studi longitudinal tentang kelas pemerolehan bahasa kedua


Allwright (1980 : 165) mengamati :
Secara aneh, pendekatan studi kasus sangat berperan pada metodologi bahasa
kesatu dan kedua yang didapatkan para peneliti, tidak secara khusus, masuk akal untuk
pelajar yang berada dalam kelas.
Terdapat sedikit studi longitudinal kelas pemerolehan bahasa kedua. Tiga
diantaranya yang akan dibahas disini adalah Felix (1981), Ellis (1984a) dan Schumann
(1978b). Bukti studi longitudinal yang tersedia oleh karenanya lebih sedikit dibandingkan
apa yang disajikan studi morfem.
Studi Felix menarik perhatian tertentu karena subjeknya adalah pelajar kelas asli,
contohnya mereka seluruhnya bergantung pada pengajaran formal untuk input bahasa
kedua. Terdapat tiga puluh empat murid Jerman usia sepuluh hingga delapan tahun,
mempelajari bahasa Inggris pada tahun pertamanya di Sekolah Menengah Atas Jerman.
Para murid menerima 45 menit pelajaran bahasa Inggris selama lima hari seminggu.
Studi keseluruhan mencapai delapan bulan.
Struktur tatabahasa yang Felix laporkan yaitu pada negasi, interogasi, tipe
kalimat, dan kata ganti. Untuk setiap pola, kesamaan telah ditemukan antara hasil tutor
dan pemerolehan bahasa kedua secara alami. Sebagai contoh, walaupun pelatihan sehari-
hari dalam kalimat bulat negatif (misalnya ‘it isn’t) selama minggu pertama, murid tidak
dapat menghasilkan kalimat yang benar dalam menggunakan ‘not’ atau ‘n’t’, sementara
ucapan negatif secara spontan dari minoritas selama periode ini memuat penghubung ‘no’
(misalnya, ‘it’s no my comb’). Saat kata kerja utama kalimat negasi diperkenalkan
(misalnya penggunaan ‘don’t’/doesn’t’), banyak ungkapan negatif anak-anak
mengandung pelengkap kalimat negatif diluar (misalnya, ‘doesn’t she eat apples’ = she
doesn’t eat apples). Dengan kata lain, anak-anak banyak menggunakan ‘don’t/doesn’t’
dalam cara khusus bagi pelajar alami yang menggunakan ‘no’. Contoh serupa mengenai
bentuk yang diamati dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami telah dilaporkan
untuk pola lain yang diselidiki oleh Felix.
Felix berkesimpulan bahwa hasil tutor dan hasil alami pemerolehan bahasa kedua
melibatkan proses pembelajaran yang sama dan bahwa
…..kemungkinan manipulasi dan kontrol kebiasaan verbal pelajar dalam kelas
dalam faktanya terbatas. (Felix 1981:109)
Dalam kelas dimana pengajaran merupakan hal yang sangat formal, pelajar secara
konstan dipaksa untuk menghasilkan pola yang mereka belum siap. Felix menduga upaya
memecahkan masalah ini merupakan satu dari dua jalan yang ada. Apakah mereka
memilih secara acak dari pola repertoir, ketidakbergantungan sintaksis atau kelayakan
semantik, ataukah mereka mengikuti aturan yang sama bahwa itu merupakan
karakteristik tahapan awal pemerolehan bahasa secara alami.
Ellis menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua usia sepuluh hingga tiga belas tahun.
Mereka menerima pengajaran penuh (misal, tanpa adanya penutur asli anak-anak). Hal
itu selayaknya menunjukkan, bagaimanapun, bahwa bahasa Inggris – bahasa kedua –
telah digunakan sebagai media umum komunikasi baik antara guru dan murid dan
diantara murid itu sendiri. Jadi, baik kelas dan lingkungan sekolah memberikan
kesempatan bagi pengguna bahasa Inggris. Pengajaran bahasa itu sendiri bervariasi,
namun secara utama mengenai jenis audio-lingual. Studi mencangkup periode sembilan
bulan. Pada saat awal, dua anak merupakan benar-benar pemula, sementara yang lain
hampir dikatakan demikian (misal, ia hanya memiliki sedikit perbendaharaan kata bahasa
Inggris saja).
Ellis menguji negatif, interogatif dan sejumlah frase morfem kata kerja. Kesemua
pola ini secara formal diajarkan pada satu waktu atau saat yang lain selama sembilan
bulan pembelajaran – beberapa orang pada kesempatan yang lain. Saat ucapan
komunikasi dihasilkan oleh pelajar di kelas setelah dianalisa, ternyata menunjukkan pola
pengembangan kurang lebih identik pada penelitian dalam pemerolehan bahasa kedua
secara alami. Hasil ini adalah benar untuk semua pola yang diselidiki. Sebagai contoh,
ungkapan penyangkalan anak-anak yang terdiri dari anaforik (misal, ‘no’ oleh dirinya
sendiri atau ‘no’+ pernyataan terpisah). Negasi eksternal mengikuti, pertama dalam
ungkapan ketiadaan kata kerja dan kemudian dalam ungkapan berisikan kata kerja.
Penggantian negasi eksternal secara berangsur-angsur oleh negasi internal terjadi.
Bersamaan dengan ‘not’ digantikan ‘no’ sebagai negasi pokok. Ellis, seperti halnya Felix,
berkesimpulan bahwa proses yang sama ditemukan dalam pemerolehan bahasa kedua
secara alami ditempat kerja. Satu-satunya perbedaan antara pemerolehan bahasa secara
alami dan di kelas bahwa dapat diamati beberapa pola transisi yang berubah lebih lama
(misal, penggunaan interogatif yes/no yang tidak dibalikan) dan beberapa susunan lambat
muncul. Ellis mengemukakan hal ini sebagai hasil pola penyimpangan komunikasi yang
terjadi di kelas. Fakta lebih lanjut untuk penjelasan ini berasal dari Long dan Sato (1983),
yang menemukan, sebagai misal, bahwa karakteristik input kelas mendominasi acuan
sementara.
Dalam studi Schumann percobaan dengan sengaja dibuat untuk mengajar pelajar
bahasa kedua dewasa tentang bagaimana untuk ber-negasi. Ini terjadi dalam konteks studi
longitudinal dari cara lainnya yaitu pemerolehan bahasa kedua secara alami. Lebih
dahulu pada eksperimen pengajaran, ungkapan kalimat negatif pelajar secara pokok
adalah tipe ‘no + V’. Pengajaran meliputi periode selama sembilan bulan, dan selama itu
perolehan dan spontanitas ungkapan kalimat negatif diperoleh. Pemerolehan ungkapan
telah ditunjukkan oleh nilai perkembangan (64 persen benar berlawanan dengan sebelum
pengajaran yang hanya mencapai 22 persen). Tetapi, ungkapan secara spontan tidak
menunjukkan perubahan signifikan.(20 persen benar sebagaimana 22 persen benar
sebelum pengajaran). Schumann berkesimpulan bahwa pengajaran mempengaruhi hasil
belajar hanya dalam ujian seperti situasi saat komunikasi normal yang tidak dibuat-buat.
Dari kesemua studi ini (yang diringkas pada tabel 9.1), dapat diambil suatu
hipotesa :
1. pengajaran bukan proses berbelit-belit yang berperan dalam urutan pengembangan
yang jelas dalam transisi pola seperti kalimat negatif, interogatif dalam
pemerolehan bahasa kedua secara alami.
2. ketika pelajar di kelas diperlukan untuk menghasilkan pola melebihi kompetensi
mereka, bentuk yang aneh yang biasanya dihasilkan.
3. simpangan input dapat memperpanjang tahap tertentu dari perkembangan dan
melambatkan timbulnya beberapa fitur gramatikal.
4. pelajar kelas dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengajaran
formal ketika mereka terfokus pada bentuk (yaitu, dalam suatu ujian terpisah).
Bagaimanapun, banyak penelitian dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis ini.

Tingkat
Jenis Studi Jenis Kelas Subjek Data Hasil
Kemahiran
Morfem Fathman ESL 260 anak usia 6-15 thn-berlatar Dasar dan Tes oral Pesan morfem yang didapat peserta
(1975) USA campuran bahasa pertama menengah pengajaran signifikan
Morfem Perkin dan 12 mahasiswa-pendatang baru- Menengah 1. Tes terjemah Pesan morfem sebelum dan setelah
Larsen- ESL bahasa pertama Spanyol 2. ucapan spontan pengajaran berbeda
Freeman USA
(1975)
Morfem Turner (1978) 3 pelajar bahasa inggris sebagai Dasar 1. sampel ucapan Pesan pengajaran berbeda dari pesan
ESL
bahasa kedua spontan morfem dalam hal spontanitas tapi
USA
2. tes tatabahasa relatif sama dalam tes
Morfem Lightbown, 175 tingkat 6, 7 dan 8-bahasa Campuran ucapan spontan Berbeda pesan, kecuali untuk kata
dkk. (1980) pertama Perancis tingkat kerja dan kata benda
ESL
kemampuan-
Canada
utamanya
menengah
Morfem Lightbown 75 tingkat 6 (juga 36 tingkat 7 Utamanya ucapan spontan Berbeda pesan untuk sejumlah
ESL
(1983) dan 8) dibawah morfem (mis. –ing)
Canada
menengah
Morfem Fathman Remaja menerima pelajaran Campuran Tes oral Signifikan berkorelasi (tidak
EFL
(1978) tatabahasa, latihan, dan kontrol tingkat menerima pengajaran)
Jerman
dialog kemampuan
Morfem Makino EFL 777 remaja dan anak menerima Campuran Tulisan pendek- Tidak ada perbedaan signifikan antara
(1979) Jepang pengajaran formal kelas tingkat tes menjawab pesan morfem dan pesan alamiah
kemampuan
Morfem Sajavaara EFL Remaja menerima pengajaran ? Tes spontan Pesan alamiah menjadi terganggu
(1981) Finlandia formal kelas
Morfem Pica (1983) 6 dewasa penutur bahasa Campuran Percakapan Pesan morfem berkorelasi dengan
EFL Spanyol (18-50 thn) menerima tingkat panjang dengan grup itu
Mexico pengajaran tatabahasa dan kemampuan para peneliti-
latihan bahasa komunikatif rekaman
Longitu- Felix EFL 34 anak usia 10-11 thn-bahasa Pemula Percakapan kelas- Menghasilkan ungkapan yang sesuai
dinal (1981) Jerman pertama Jerman rekaman aturan sebagaimana halnya alamiah
Longitu- Ellis ESL 3 anak usia 10-13 thn-bahasa Pemula Percakapan kelas- Menghasilkan ungkapan yang sesuai
dinal (1984a) Inggris pertama Punjabi dan Portugis rekaman aturan sebagaimana halnya alamiah
Longitu- Schumann ESL 1 dewasa-bahasa pertama Faham kolot di Ucapan alamiah Peningkatan substansial ketepatan
dinal (1978) USA Spanyol usia senja keseluruhan

Tabel 9.1 Studi empiris tentang efek pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
Ringkasan
Studi morfem dan longitudinal mengenai pemerolehan bahasa kedua mengindikasikan
bahwa meskipun pengajaran formal mungkin mengembangkan pengetahuan bahasa
kedua, pengetahuan ini manifestasi dirinya sendiri dalam penggunaan bahasa hanya
dimana pelajar mengikuti prosesnya. Itu tidak terjadi, oleh karena itu, terkecuali dalam
cara yang relatif sedikit, mempengaruhi jalan alami pemerolehan bahasa kedua yang
secara jelas terlihat dalam bertutur komunikasi. Untuk menggunakan perbedaan antara
rangkaian dan pesan pengembangan yang dibuat dalam bab 3, kita dapat mengatakan
bahwa keseluruhan rangkaian pengembangan tidak dipengaruhi oleh pengajaran formal,
sementara pesan pengembangan sangat dipengaruhi. Pengajaran formal mempengaruhi
pengetahuan hanya pada bentuk kehati-hatian dalam gaya bahasa, bukan pada bentuk
logat bahasa (lihat bab 4). Kesimpulan ini, merupakan hal yang tentatif, seperti yang
terlihat pada studi pemerolehan bahasa kedua di kelas, terutama longitudinal.

Pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.

Studi tentang pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa


kedua telah semakin banyak. Long (1984d), dalam tinjauan seksama riset yang relevan
membuat daftar sebelas studi. Namun, kesemua studi ini telah menguji ‘kegunaan relatif’
suatu pengajaran. Bahwa, kesemuanya menyangkut dengan keseluruhan efek pengajaran
pada kecakapan bahasa kedua dalam hubungannya pada efek ekspose ringan bahasa
kedua secara alamiah. Jadi, tidak ada satupun studi yang menguji ‘efek absolut’
pengajaran formal, yaitu, apakah pengajaran dapat mempercepat pemerolehan pola
gramatikal khusus. Juga, seperti halnya studi yang telah menguji campuran pelajar bahasa
kedua (antara lain, mereka yang menerima ekspose dan pengajaran), studi tersebut tidak
dapat menjawab apakah pengajaran formal yang didalam dirinya lebih efektif daripada
ekspose dalam dirinya, tapi hanya, apakah pengajaran ditambah ekspose lebih baik
daripada tidak ada pengajaran dan ekspose. Hal ini tidak sepenuhnya memuaskan, dengan
alasan, yang akan dipertimbangkan kemudian. Terlebih dahulu, studi, akan dibagi pada
dua grup. Grup pertama berisi sebelas studi hasil pemikiran Long ; hal ini, seperti yang
dicatat dibawah, merujuk pada kegunaan relatif. Grup berikutnya berisi satu studi oleh
Ellis (1984a) yang merujuk pada efek absolut. Keseluruhan studi hanya memikirkan efek
perkembangan gramatikal.

Kegunaan relatif pengajaran formal


Mempelajari tipe studi ini dapat lebih lanjut dibagi sebagaimana berikut : (1) studi
bagi mereka yang menunjukkan pengaruh pengajaran secara positif, (2) studi bagi mereka
yang ambigu, dan (3) studi bagi mereka yang tidak menunjukkan pengaruh dari
pengajaran.
Long (1983d) mendiskusikan enam studi yang menunjukkan pengaruh positif
pengajaran formal. Dua diantaranya membandingkan pengaruh perbedaan jumlah
pengajaran pada pelajar yang menerima jumlah yang sama dari ekpose. Empat studi
lainnya menyelidiki hubungan antara perbedaan jumlah pengajaran, ekspose dan tingkat
kemahiran pelajar. Kesemua studi mencakup anak-anak dan dewasa, suatu cakupan
tingkat kemahiran, dan perbedaan target bahasa. Juga, pengujian biasa mengukur tingkat
kemahiran poin diskrit (misal, pilihan berganda) dan tipe integratif.
Prosedur diadopsi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan Krashen, Seliger dan
Hartnett (1974) untuk mencocokan pasangan siswa yang memiliki jumah ekspose yang
sama namun berbeda periode pengajaran formal (contohnya, untuk menahan faktor
ekspose yang konstan dalam upaya mengukur pengaruh faktor pengajaran). Kedua studi
menemukan bahwa pelajar tersebut dengan pengajaran yang lebih memiliki skor tinggi
dalam test kemahiran dibandingkan pelajar yang kurang dalam pengajaran. Namun,
seperti yang digambarkan oleh Long, tidaklah mungkin untuk memastikan bahwa
pengajaran dalam diri yang memiliki pengaruh, sebagaimana kiranya, pelajar yang lebih
berpengalaman dalam hal pengajaran lebih banyak berhubungan dengan bahasa kedua.
Jadi, hasil yang diperoleh dapat dijelaskan dalam hubungan jumlah keseluruhan
hubungan (contohnya, total waktu pengajaran ditambah total waktu ekspose). Dalam
upaya untuk menegaskan pengaruh nyata pengajaran formal, penting untuk
memperlihatkan bahwa saat pelajar cocok dalam pengajaran namun berbeda dalam
ekspose (contohnya faktor pengajaran dipengang konstan dalam upaya menginfestigasi
faktor ekspose), tidak terdapat kesesuaian pengaruh nyata untuk ekspose. Dalam kedua
studi ini pada kenyataannya ditemukan sebagai kasus, memberi kesan bahwa pengamatan
pengaruh nyata pengajaran bukan sekedar hasil dari keseluruhan waktu kontak yang lebih
banyak. Bagaimanapun, studi oleh Martin (1980) menemukan pengaruh nyata untuk
ekspose saat pengajaran merupakan untuk pengendali. Dalam suatu kesimpulan, lebih
lanjut, studi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan oleh Krashen, Seliger dan Hartnett
(1974) menilai bahwa pengajaran adalah membantu, namun dengan bukti-bukti yang tak
pasti.
Prosedur yang digunakan oleh keempat studi lainnya (Krashen dkk. 1978 ; Briere
1978 ; Carroll 1967 ; Chihara dan Oller 1978) juga bahwa menunjukkan pengaruh nyata
pengajaran untuk mengukur secara statistik derajat kesesuaian antara jumlah pengajaran
dan ekspose yang berpengalaman dengan siswa yang berbeda pada satu sisi dan nilai
kemahiran pada sisi lainnya. Keempat studi menemukan hubungan antara ekspose dan
kemahiran, tapi hanya tiga studi yang menemukan hubungan yang sama antara ekspose
dan kemahiran. Juga kekuatan hubungan dengan pengajaran lebih kuat dalam dua studi,
dan yang terlemah hanya pada satu studi.
Pada umumnya, pengajaran merupakan prediktor yang lebih baik dalam hal
tingkat kemahiran daripada ekspose. Namun, sekali lahi, hal tersebut sangat sulit untuk
memisahkan efek pengajaran dan ekspose dalam studi ini.
Long mendiskusikan dua studi dengan hasil ambigu (Hale dan Budar 1970, dan
Fathman 1976). Pada kedua kasus studi itu sendiri membuahkan hasil yang
mengindikasikan pengajaran tidaklah membantu. Hale dan Budar, sebagai contoh,
menulis :
Terlihat bahwa mereka (pelajar) yang menghabiskan waktu dua hingga tiga hari dari
enam haridalam kelas khusus TESOL menjadi lebih merugikan daripada membantu.
(Hale dan Budar 1970:297)
Mereka berpendapat bahwa pelajar yang mencapai kemahiran tertinggi dalam
waktu sesingkat mungkin merupakan mereka yang mengalami interaksi total dalam
bahasa Inggris dan kebudayaannya. Long, menyebutkan bahwa karena rancangan studi
Hale dan Budar, variabel seperti pengajaran, latar belakang ekonomi-sosial, jumlah
ekspose, dan sikap orang tua apakah bertentangan sehingga tidaklah mungkin untuk
menentukan yang bertanggungjawab atas perbedaan dalam tingkat kemahiran yang
diamati. Long, juga menunjukkan bahwa permasalahan secara metodologi membuat ragu
apa yang dihasilkan Fathman.
Tiga studi (Upshur 1968 ; Mason 1971 ; Fathman 1975) menunjukkan tidak ada
keuntungan tentang pengajaran. Dalam setiap kasus, perbandingan dibuat antara
pengajaran dan ekspose serta ekspose saja, dengan total aktu kontak yang dijaga tetap
sama. Long menentang bahwa meskipun hasilnya negatif, terdapat beberapa indikasi
baha pengajaran tetap berperan, meskipun secara hasil statistik tidak mencapai signifikan.
Pengambilan semua studi ini secara bersama (digambarkan pada tabel 9.2), Long
menyatakan bahwa ‘sungguh terdapat fakta mengindikasikan bahwa pengajaran bahasa
kedua telah membuat perbedaan’ (1983d: 374). Ia membantah bahwa pengaruhnya (1)
pada anak sebaik pada dewasa, (2) pada pelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut
sebaik pada pemula, (3) pada keutuhan sebagaimana halnya pada poin test terpisah, dan
(4) dalam perolehan si kaya sebagaimana halnya perolehan si miskin. (3) merupakan
signifikan, karena memberi kesan bahwa pengajaran membantu performan komunikatif,
dimana test integratif diharapkan untuk mengukur seperti halnya performan yang
dimonitor dalam pengamatan yang sejenis dalam poin test terpisah. (4) merupakan
pertentangan mengenai hipotesa yang dikemukakan Krashen tentang hal pengajaran yang
akan bernilai dalam pemerolehan di lingkungan miskin, saat pelajar mungkin tidak dapat
memperoleh input memadai melalui ekspose, tapi tidak signifikan dalam pemerolehan di
lingkungan kaya, dimana disana terdapat banyak input yang dapat dimengerti. Dalam
pernyataan Long tentang penelitian yang didapat, pengaruh pengajaran formal adalah
dapat dimengerti.

Pengaruh nyata pengajaran formal


Studi sejenis yang dilaporkan diatas tidak memberi keterangan pada apa yang
benar-benar terjadi saat pengajaran formal berlangsung. Jika demikian membantu
pemerolehan bahasa kedua, siapakah yang melakukannya? Ellis (1984e)
memperkenalkan untuk menguji ini. Ia mengukur pengaruh tiga jam pengajaran pada
bentuk dan arti dari pertanyaan WH pada kelompok tiga belas pelajar bahasa kedua
tingkat dasar berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dua subjek pelajar
diselidiki dalam studi longitudinal yang telah dibahas lalu. Ini menunjukkan bahwa pada
saat pengajaran, WH interogatif mulai muncul dalam bertutur komunikasi. Seperti ketika
anak-anak ini dinilai sedikit dibawah rata-rata kelompok keseluruhan, hal itu diduga
bahwa WH interogatif lebih kecil dari subjek ‘daerah perkembangan terdekat’ (Vygotsky
1962) ; bahwa, pelajar secara perkembangannya ‘siap’ untuk pertanyaan WH. Namun,
hasil yang ditunjukkan bahwa untuk keseluruhan kelompok meningkat tidak signifikan
dalam kemampuan anak-anak menggunakan secara tepat dan secara gramatikal dibentuk
dengan baik pertanyaan WH sebagaimana hasil pengajaran. Beberapa anak, menunjukkan
tanda peningkatan individual. Untuk menetapkan apakah hal ini dapat diturunkan pada
pengajaran yang mereka terima, Ellis mengukur partisipasi setiap murid dalam perubahan
pengajaran dalam satu pelajaran. Ia menemukan bahwa itu adalah interaktor rendah yang
lebih baik daripada interaktor tinggi yang berkembang dalam kemampuan untuk
menggunakan pertanyaan WH dimana merupakan target pelajaran ini. Kemudian
keterlibatan aktif dalam pengajaran formal bahasa tidak muncul untuk memfasilitasi
pemerolehan bahasa kedua.
Studi ini tidak dapat dikatakan untuk menunjukkan bahwa pengajaran formal
tidak memiliki pengaruh nyata – lebih banyak lagi konfirmasi studi yang dibutuhkan
untuk meraih kesimpulan tersebut – tapi hal itu mengindikasikan bahwa kegunaan relatif
pengajaran mungkin tidak dihasilkan dari pemerolehan pola yang mengangkat target n
atau pelajara. Poin ini akan dibahas kemudian.
Diskusi
Terdapat sejumlah permasalahan dengan studi yang dilaporkan pada bab ini, yang
membuat keraguan pada kesimpulan dari Long terkait pengaruh positif dari pengajaran
formal. Seperti yang telah dicatat dalam enam studi yang dilaporkan bahwa pengajaran
adalah membantu, terdapat permasalahan mengenai memutuskan apakah pengaruh hal
yang diteliti merupakan hasil dari pengajaran itu sendiri, atau lebih merupakan hubungan
kesempatan. Juga terdapat permasalahan mengenai motivasi pelajar. Hal ini dapat
mempengaruhi hasil dalam beberapa segi. Sebagai misal, pelajar yang termotivasi tinggi
lebih menyukai mencari pengajaran (atau pengajaran lebih) daripada pelajar yang kurang
motivasi. Jadi pengaruh motivasi akan luar biasa bersama dengan pengajaran. Dalam
beberapa studi (misalnya, Hale dan Budar 1970) pelajar tidak diberikan pilihan tentang
apakah mereka harus menerima pengajaran. Dalam beberapa contoh mereka mungkin
benci membenci pengajaran (Hale dan Budar melaporkan hanya sebatas ini), dengan hasil
bahwa mungkin mereka lebih sedikit menerima manfaat darinya. Akhirnya, tidaklah jelas
dalam cara apakah pengajaran formal seharusnya membantu pemerolehan bahasa kedua.
Dengan pengecualian studi Ellis, tidak terdapat catatan mengenai kesempatan apa yang
ada dalam kelas itu sendiri.
Namun, untuk menyanggah bahwa pengajaran dapat membantu pelajar untuk
mendapatkan bahasa kedua tidak hanya intuisi bandingan, namun berlawanan pada
pengalaman pribadi guru dan murid yang tak terbilang. Dalam istilah luas. Pandangan
Long tentang penelitian hanya memperkuat asumsi akal sehat. Apa yang menjadi
perhatian, bagaimanapun, bukan apakah pengajaran formal memudahkan penilaian /
kesuksesan pemerolehan bahasa kedua, akan tetapi bagaimana. Pada skor ini,
pembelajaran tidaklah membantu. Sebagai hasilnya, hal yang penting untuk diusahakan
untuk mencari teori yang lebih baik dari jaaban empiris. Hal ini yang menjadi tujuan bab
ini.
Jenis Studi Jenis Kelas Subjek Tingkat Kemahiran Data
Kegunaan Carroll Pembelajaran bahasa Dewasa-bahasa pertama Inggris Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pen
relatif (1967) asing di USA me
Kegunaan Chihara dan Oller EFL di Jepang Dewasa-bahasa pertama Jepang Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin Pen
relatif (1878) - Tes integratif
Kegunaan Krashen, Seliger danESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes diskret poin Pen
relatif Hartnett
(1974)
Kegunaan Briere Bahasa Spanyol sebagai Anak-bahasa Indian lokal bahasaPemula Tes diskret poin Pen
relatif (1978) bahasa kedua di pertama me
Meksiko
Kegunaan Krashen dan Seliger ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes integratif Pen
relatif (1976)
Kegunaan Krashen et all ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pen
relatif (1978) me
Kegunaan Hale dan Budar ESL di USA Remaja-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin Eks
relatif (1970) - Tes integratif
Kegunaan Fathman ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Eks
relatif (1976)
Kegunaan Upshur ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes diskret poin Pen
relatif (1968)
Kegunaan Mason ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir - Tes diskret poin Pen
relatif (1971) - Tes integratif
Kegunaan Fathman ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pen
relatif (1975)
Pengaruh Ellis ESL di Inggris Anak-campuran bahasa pertama Setelah tingkat pemula Ucapan spontan dari tesPen
nyata (1984e) gambar

Tabel 9.2 studi empiris pengaruh pengajaran pada penilaian/kesuksesan Pemerolehan


Bahasa Kedua
Simpulan
Studi tentang kegunaan relatif mengenai pengajaran formal menghasilkan
campuran hasil, namin secara umum mendukung hipotesis bahwa pengajaran menolong
penilaian/kesuksesan pemerolehan bahasa kedua. Hal itu tidaklah jelas, namun, apakah
hal itu adalah pengajaran yang ada dalam dirinya atau beberapa faktor yang berhubungan
seperti motivasi dimana yang bertanggungjawab mempengaruhi pengamatan – baik
positif atau negatif. Tidak juga jelas bagaimana pengajaran memimpin kearah
perkembangan yang cepat, terutama sekali seperti adanya bukti untuk menyatakan
bahwa pengajaran formal mungkin tidak memiliki pengaruh nyata.

Menjelaskan peran dari pengajaran


Pandangan tentang penelitian empiris kedalam pengaruh pengajaran formal pada
pemerolehan bahasa kedua telah mengindikasikan bahwa meskipun pengajaran tidak
memiliki pengaruh nyata pada rangkaian perkembangan dan sangat sedikit pada urutan
perkembangan, ia memiliki pandangan relatif dimana penilaian/kesuksesan mengenai
pemerolehan bahasa kedua adalah hal yang penting. Penjelasan mengenai peran
pengajaran dalam pemerolehan bahasa kedua akan meliputi hasil ini. Bab ini akan
mempertimbangkan tiga kemungkinan penjelasan dipandang dari sudut penelitian empiris
yang dilaporkan dalam bab sebelumnya. Hal itu adalah (1) posisi non-interface, (2) posisi
interface, dan (3) posisi variabilitas.
1) Posisi non-interface
Posisi non-interface telah dimajukan sebelumnya oleh Krashen (1982). Krashen, akan
disebut kembali, memperkenalkan dua jenis pengetahuan linguistik dalam pemerolehan
bahasa kedua. ‘Acquisition’ terjadi secara otomatis ketika pembelajar menggunakan
dalam komunikasi alami dimana memusatkan pada maksud/makna dan dimana terdapat
masukan yang dapat dipahami. ‘Learning’ terjadi sebagai hasil dari pembelajaran formal
dimana pembelajar difokuskan pada sifat yang formal dari bahasa kedua. Pengetahuan
‘acquired’ terdiri dari mengenai peran bahasa kedua yang mana pembelajar dapat
menyerukan secara otomatis; Pengetahuan ‘learnt’ terdiri dari pengetahuan metalingual
yang mana hanya dapat digunakan untuk memonitor keluaran yang dihasilkan dari
pengetahuan yang diperoleh. Krashen membantah bahwa dua jenis pengetahuan
keseluruhannya terpisah dan tidak berhubungan. Khususnya bantahan pandangan bahwa
pengetahuan ‘learnt’ yang diubah ke dalam pengetahuan ‘acquired’. Dia menuliskan:
Hal yang sangat penting yang juga dibutuhkan untuk dinyatakan adalah bahwa
pembelajaran tidak ‘berubah menjadi’ tambahan. Pemikiran bahwa kita pertamakali
belajar suatu aturan, dan akhirnya, melalui latihan, mendapatkannya, menyebarluas
dan mungkin terlihat pada beberapa orang tanpa sadar menjadi jelas….pemerolehan
bahasa….terjadi dalam satu jalan, saat pemahaman input berisi struktur yang
penerima ‘tiba’ untuk memahami, suatu struktur padanya ‘I + 1’. (1982:83-4)

Hal ini merupakan posisi yang tidak berhubungan .


Krashen mempergunakan sejumlah alasan untuk keterpisahan ‘pemerolehan’ dan
‘belajar’ pengetahuan :
1. terdapat banyak kasus ‘pemerolehan’ dimana tidak terjadi ‘pembelajaran’. Hal ini
secara luas dilaporkan dalam studi naturalistik pemerolehan bahasa kedua.
2. terdapat kasus dimana ‘belajar’ telah dilakukan tetapi gagal menjadi
‘pemerolehan’. Krashen mengacu pada kasus ‘P’ (Krashen dan Pon 1975), yang
‘belajar’ peraturan seperti orang ketiga tunggal ‘-s’, tapi tidak dapat
menggunakannya dalam percakapan umum karena ia belum ‘memperoleh’ nya.
3. bahkan pelajar yang terbaik dapat menguasai hanya suatu sub satuan kecil yang
bersifat kaidah gramatika tentang bahasa yang kedua. Hal ini dikarenakan
kebanyakan dari kaidah tersebut terlalu sulit untuk diikuti pelajar. Krashen
menunjukkan bahwa hal ini sering memerlukan seorang linguis sepanjang
tahunnya untuk menjelaskan kaidah tersebut, yang mudah diperoleh.
Krashen mengakui adanya bahwa kadang-kadang kaidah dapat diajarkan sebelum
hal itu diperoleh. Bagaimanapun, dia membantah bahwa hal ini tidak menetapkan bahwa
pelajaran adalah suatu prasyarat dari pemerolehan. Dalam pandangan Krashen, setelah
diajarkan, suatu kaidah tidak menghalangi untuk memperolehnya selanjutnya.
Bukti yang menunjukkan bahwa pelajar dapat sering mengartikulasikan (pandai
berbicara) kaidah formal tatabahasa, tetapi tidak dapat digunakan mereka dengan benar
dalam komunikasi secara spontan memberi beberapa dukungan pada posisi non-
interface. Seliger (1979) membawakan suatu studi yang menarik untuk menyelidiki
apakah hal ini merupakan kasus dalam kenyataannya. Beliau ditanya sejumlah pelajar
kelas orang dewasa untuk menjelaskan beberapa gambaran dan kemudian meneliti
penggunaan a/an mereka di dalam ujaran yang mereka produksi. Beliau juga ditanya oleh
pembelajar untuk menyatakan kaidah yang relevan. Hasilnya ditunjukkan dengan jelas
bahwa tidak terdapat hubungan antara hasil sebenarnya dengan pengetahuan yang sadar
akan kaidah. Hal ini terjadi, di samping fakta banyak pelajar percaya bahwa pengetahuan
mereka mengenai kaidahlah yang telah memandu hasil mereka. satu penafsiran dari studi
Selinger adalah bahwa pembelajaran dan pemerolehan tentu saja bagian yang terpisah,
walaupun penjelasan lainnya juga mungkin, yang akan memperjelas selanjutnya.
Bagaimana cara posisi non-interface meliputi hasil riset yang empiris? Hal itu
memberikan suatu penjelasan yang jelas mengenai mengapa pengajaran formal gagal
untuk mempunyai efek yang substansial (penting) pada rute pemerolehan bahasa kedua.
Rute ini merupakan pemikiran dari ‘pemerolehan’ dan akan menjadi penting hanya dalam
data yang diambil dari ujaran secara spontan. Pengajaran formal diarahkan pada
peningkatan kesadaran dan demikian, kiranya, hanya mempengaruhi pembelajaran. Jadi,
walaupun kelas pembelajar boleh mempelajari kaidah, mereka tidak menunjukkannya
dalam percakapan alami sampai mereka sudah memperolehnya. Dengan mengusulkan
sebagai fakta bahwa pembelajaran dan pemerolehan itu sepenuhnya terpisah, Krashen
dapat menjelaskan mengapa pengajaran formal kelihatannya tidak berdaya untuk
menumbangkan urutan pengembangan yang alami. Silabus pengajar merupakan suatu
pembelajaran silabus; kepunyaan pelajar dalam pembuatan silabus merupakan suatu
silabus pemerolehan.
Bagaimanapun, hal ini bukanlah dengan seketika jelas terlihat bagaimana posisi
non-interface dapat menjelaskan efek positif yang berakibat pada nilai/suksesnya
pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua. Hal itu bisa diharapkan bahwa
lingkungan kelas akan menunjukkan pemerolehan bahasa kedua menurun dibandingkan
mempercepatnya, diberikan pengajaran formal hanya untuk membantu pembelajaran.
Bagaimanapun,, Krashen mengembangkan argumentasi untuk menjaga teorinya terhadap
kritik seperti itu.
Krashen (1982), sesungguhnya, mangakui bahwa kelas dapat melakukan lebih
baik daripada lingkungan informal, sama halnya dengan yang ditunjukkan penelitian
empiris. Dia membantah ini, terutama sekali dalam kasus pemula orang dewasa, para
pemula mungkin akan mengalami kesukaran dalam memperoleh masukan yang dapat
dimengerti (sumber pemerolehan) dalam keadaan alami, tetapi jauh lebih mungkin untuk
memperolehnya di dalam kelas. Dengan begitu, walaupun dunia luar boleh menyediakan
lebih masukan kepada pelajar, kelas lebih baik diperlengkapi untuk memastikan bahwa
jenis masukan kualitatif yang benar diperlukan untuk pemerolehan yang tersedia.
Argumen-argumen ini merupakan suatu pengembangan Krashen (1976), dimana suatu
pembedaan dibuat antara lingkungan exposure-type dengan intake-type. Banyak orang
dewasa mungkin hanya mengalami lingkungan exposure-type di dalam suatu pengaturan
alami dan dengan begitu tidak akan memperoleh masukan yang diperlukan; yang
disesuaikan untuk memastikan pengertian. Di dalam kontras, kelas jauh lebih mungkin
untuk memastikan bahwa lingkungan intake-type terjadi dan demikian bertemu dengan
kondisi-kondisi itu yang mana pemerolehan dapat berlangsung. Bagaimanapun,
kontribusi (sumbangan) pengaturan kelas tidak banyak dihasilkan dari pengajaran formal
mulai dari masukan ketetapan yang dapat dimengerti sebagai hasil berlangsungnya
komunikasi yang sukses. Krashen (1982) meringkas posisinya mengenai peran di dalam
kelas.
Nilai dari kelas bahasa kedua, selanjutnya, berada tidak hanya dalam pengajaran
tatabahasa, tetapi dalam pembicaraan pengajar, masukan yang dapat dimengerti. Hal itu
dapat merupakan suatu tempat efisien untuk mencapai sedikitnya tingkatan intermediate
dengan cepat, sepanjang kelas memusatkan pada masukan penyediaan untuk
pemerolehan (1982: 59).
Bukti apa yang terdapat pada pemerolehan, yang dapat berlangsung dalam kelas?
Terrel et al. (1980) membawakan suatu studi untuk menyelidiki apakah kelas pembelajar
dapat mengambil struktur yang mana bukan bagian dari silabus pengajaran secara
eksplisit. Mereka menemukan bahwa siswa SMP Spanyol sebagai bahasa kedua yang
dengan sukses, pertanyaan yang diperoleh membentuk tanpa pengajaran langsung. Terrel
et al. menunjukkan bahwa hasil ini dapat dijelaskan hanya oleh siswa yang memiliki
sintaksis internal dari pertanyaan bahasa Spanyol sebagai hasil menjawab sejumlah besar
pertanyaan pengajar yang digunakan untuk latihan struktur lainnya. Di sisi lain, studi
Terrel et al. menunjukkan bahwa ‘pemerolehan’ tentang suatu kaidah linguistik dapat
terjadi ketika pengajaran diarahkan pada ‘pembelajaran’ kaidah linguistik lainnya. Studi
mereka memberikan suatu alasan mengapa pengajaran formal mungkin hanya memiliki
secara relatif dan bukan suatu efek secara mutlak. Krashen membantah bahwa ketika
pengajaran adalah tidak formal (yakni menghubungkan komunikasi), ‘pemerolehan’
bahkan lebih mungkin di dalam kelas.
Untuk meringkas, posisi non-interface menjelaskan hasil dari studi empiris yang
menyelidiki efek pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua dengan
mengusulkan sebagai fakta bahwa ada dua jenis pengetahuan linguistik yang seluruhnya
tidak bertalian. Pengajaran formal tidak mempengaruhi rute pengembangan, karena hasil
pembelajaran tidak berdaya untuk mengubah urutan pengembangan yang terjadi melalui
pemerolehan. Bagaimanapun, kelas membantu perkembangan lebih cepat sebab mereka
merupakan ‘intake environment’, mengingat untuk banyak pelajar, khususnya orang
dewasa, pengaturan alami hanya memberikan ‘exposure environment’ dan dengan begitu
tidak memungkinkan pemerolehan berlangsung. Hal itu bukan, bagaimanapun,
pengajaran formal yang di dalam dirinya itu meningkatkan pengembangan.
Dengan dangkal, Posisi non-interface Krashen nampak untuk meliputi hasil riset
empiris. Bagaimanapun, terdapat sejumlah masalah:
1. masalah pertama bertalian dengan fakta bahwa penelitian empiris membahas
bagian yang sebelumnya telah kiranya menguji efek kelas dimana bagian terbesar
pengajaran adalah formal dibandingkan komunikasi. Maka, Krashen berada dalam
posisi membantah bahwa efek positif kesuksesan pemerolehan bahasa kedua yang
telah ditunjukkan muncul tidak berkaitan dengan pengajaran formal itu sendiri,
tapi, seperti yang digambarkan dalam studi oleh Terrell dkk., bahwa hasil secara
kebetulan mengambil struktur dari input kelas yang terjadi dalam proses
pengajaran. Krashen mengklaim bahwa pengajaran yang lebih komunikatif
daripada keformalan akan menuju pada perkembangan yang cepat. Namun, hal ini
dapat didemonstrasikan hanya oleh studi comparatif dan metoda. Krashen
melakukan tinjauan sejumlah metoda berbeda untuk menentukan pada tingkat apa
hal tersebut mungkin untuk menyediakan input yang dapat difahami, dan
menggunakan hasil riset empiris yang tersedia dari efek komparatip metoda yang
berbeda (seperti audio lingualisme, kode teori, respon total fisik dan metoda yang
alami) untuk mendukung argumentasinya bahwa hal itu merupakan input yang
dapat difahami, dibanding pengajaran formal, yang membantu pengembangan.
Namun, Krashen tidak mengarah pada studi yang memiliki metoda perbandingan
langsung berdasarkan pengajaran tatabahasa formal sejenis atau berlainan dan
metoda yang didasarkan atas menyediakan kesempatan untuk kamonukasi asli.
Tentu, satu studi yang tersebut dalam catatan Krashen (1981a) – Palmer (1978) –
menghasilkan hasil yang tidak mendukung pernyataan Krashen. Hingga lebih
seperti halnya studi itu telah dilaksanakan, posisi Krashen harus diperlakukan
sebagai tindakan spekulatif. Untuk beberapa pengajar-dan peneliti-dengan tidak
sengaja memuaskan penjelasan efek positif yang ditemukan untuk pengajaran
formal akan menjadi fokus pada bentuk dibandingkan hanya ‘masukan
lingkungan’, bahwa hal itu dapat dipertanggungjawabkan.
2. Long (1983d) telah menunjukkan bahwa sebagai anak tidak seharusnya untuk
‘belajar’ tapi hanya untuk ‘mendapatkan’, mereka hendaknya lebih sedikit
bermanfaat dari pengajaran formal dibandingkan orang dewasa. Sekali lagi, hal
itu mungkin terjadi untuk ‘mengebalkan’ posisi non-interface dengan mengakui
(seperti yang dilakukan Krashen) bahwa keuntungan lingkungan kelas terdiri dari
ketetapan peluang yang didapatnya dibandingkan ‘belajar’. Namun, sebagai anak
mempertimbangkan memiliki lebih sedikit masalah daripada orang dewasa dalam
memperoleh input yang dapat dipahami diluar kelas, mereka seharusnya lebih
sedikit terpercaya pada kelas untuk ‘pemerolehan’ jadi peneliti harus
menunjukkan efek yang lebih besar untuk pengajaran pada orang dewasa daripada
pengajaran pada anak. Prediksi ini, bagaimanapun, tidaklah membuktikan.
Dengan begitu, sehingga Krashen mengantisipasi bahwa pengajaran akan
memiliki efek berbeda-beda pada orang dewasa dan anak-anak, ini tidak
sesungguhnya terjadi.
3. Long (1983d) juga mencatat bahwa pengajaran hendaknya menunjukkan efek
yang lebih besar pada pemula daripada pelajar telah lanjut, seperti klaim Krahen
bahwa suatu hal yang mungkin untuk ‘belajar’ hanya aturan tatabahasa yang
mudah. Bagaimanapun juga, peneliti tidak mendukung sepertihalnya klaim ;
pelajar lanjutan merupakan keuntungan dari adanya pengajaran formal. Jika
kemahiran merupakan hal yang terkait, Krashen juga menambahkan bahwa kelas
tersebut membantu para pemula lebih dari para pelajar lanjutan, seperti yang
belakangan adalah dalam posisi lebih baik untuk memperoleh input yang dapat
dimengerti diluar kelas. Namun penemuan pelajar lanjutan itu juga keuntungan
dari pengajaran, bahkan saat banyak pemerolehan dari linkungan tersedia dalam
keadaan alami, berlawanan menuju prediksi Krashen.
4. Poin lainnya di munculkan oleh Long merupakan efek pembelajaran kelas
hendaknya ditinjau hanya pada tes point tersendiri, tapi riset itu menunjukkan
bahwa pengajaran juga mengarah pada peningkatan skor pada tes integratif,
dimana dalam istilah krashen hendaknya untuk membuka ‘pemerolehan’
pengetahuan.

Berikut ini merupakan kupasan serius tentang posisi Interface. Ini dapat menjadi
suatu pemecahan tanpa mengabaikan posisi dasar, jika, seperti pandangan Long, beban
terbesar ditunjukan pada ‘pembelajaran’ dengan mendefinsikan kembali hal tersebut
sebagai hal yang menyertai lebih dari pengetahuan aturan ‘sederhana’ dan menerima hal
itu dapat membantu penampilan pada tes integratif sebaik pada tes poin tersendiri. Solusi
lain, bagaimanapun, berada dalam proses penolakan ‘pemerolehan/pembelajaran’
pemisah dan mengadopsi posisi Interface.

Posisi Interface

Pernyataan posisi Interface yang meski pelajar menguasai berbagai macam


pengetahuan mengenai bahasa kedua, hal ini bukanlah seluruhnya terpisah, dengan hasil
bahwa ‘rembesan’ dari satu tipe pengetahuan pada tipe lain yang terjadi. Hal itu mungkin
untuk membedakan posisi Interface yang lemah dan yang kuat.
Posisi Interface yang lemah telah dikemukakan Seliger (1979). Seliger memberikan
argumentasi bahwa aturan secara sadar dimana pelajar ‘belajar’ sebagai hasil dari
pengajaran formal merupakan keganjilan, dimana pelajar berbeda tersebut menyajikan
hasil berbeda dari aturan yang mereka ajarkan. Aturan ‘yang diajarkan’ tidak
menguraikan pengetahuan internal yang diserukan komunikasi alami, maka, tidaklah
heran, mereka tidak dapat bertanggungjawab untuk perilaku bahasa aktual.
Bagaimanapun, aturan yang berkaitan dengan pendidikan melayani sesuai kebutuhan. Ia
berperan sebagai ‘fasilitator pemerolehan’ dengan memfokuskan pada perhatian pelajar
pada ‘atribut kritikal konsep bahasa sebenarnya yang harus dibujuk’ (Seliger 1979: 368).
Kemudian ia membantu membuat proses testing hipotesis induktif lebih efisien. Seliger
juga menyarankan bahwa aturan pendidikan dapat melayani sebagai hal yang dapat
membantu dalam mengingat untuk menerima fitur aturan internal dimana jarang
digunakan oleh pelajar. Dengan kata lain, Seliger menerima bahwa internalisasi aturan
merupakan proses berbeda dari keterlibatan itu dalam mempelajari aturan tentang
pendidikan, tapi percaya bahwa pengetahuan aturan pendidikan (1) mungkin saja
membuat lebih mudah internalisasi aturan saat pelajar ‘siap’ menjalankannya, dan (2)
mungkin memfasilitasi penggunaan fitur, dimana meskipun ‘pemerolehan’ masih
merupakan hal yang ‘dangkal’. Namun, Selger tidak mengemukakan bahwa pengetahuan
‘belajar’ (atau aturan pedagogi) dirubah kedalam pengetahuan ‘pemerolehan’ (atau
internalisasi).
Dalam perbandingan, Stevick (1980) membangun sebuah model Pemerolehan
Bahasa Kedua (yang dia sebut mesin Levertov) dimana memenuhi arus pengetahuan dari
‘pembeajaran’ hingga ‘pemerolehan’ dan sebaliknya. Ia menggambarkan bahwa
‘pembelajaran’ mungkin berkaitan pada memori sekunder (dimana mampu menahan
ingatan material lebih dari dua menit, namun hilang secara berkala terkecuali apabila
dipraktekan), dan ‘pemerolehan’ tersebut mungin berkaitan dengan memori tersier
(dimana berisi material yang tidak pernah hilang, walau jika tidak digunakan). Stevick,
seperti halnya Krashen, melihat ‘pemerolehan’ sebagai produk pengalaman komunikasi,
tapi membantah bahwa hal itu dapat membuat penggunaan material baru ini telah
terekam dan merupakan bagian dari memori sekunder. Jika hal ini terjadi, terdapat
kemungkinan bahwa transfer material kedalam memori tersier, contohnya,
‘pembelajaran’ menjadi ‘pemerolehan’.
Bialystok (lihat, Bialystok dan FrÖhlich 1977 ; Bialystok 1979 dan 1981) juga
membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa Kedua yang didasari dua jenis
pengetahuan yang dapat saling berinteraksi. Ia menamakan pengetahuan ini ‘implisit’ dan
‘eksplisit’, tapi jelas dalam deskripsinya bahwa hal itu berkesesuaian agak baik dengan
tipe ‘pemerolehan/pembelajaran’ Krashen. Bialystok mengemukakan bahwa ‘berlatih’
adalah seperti hal mekanis dengan pengetahuan ekplisit berubah kedalam pengetahuan
implisit. Lalu pengetahuan implisit dapat dibangun kedalam dua cara : (1) maksud utama
adalah ‘pemerolehan dibawah sadar’, dan (2) maksud kedua adalah melalui otomatisasi
pengetahuan eksplisit dengan cara berlatih.
Searah kemudian, dalam ‘pemerolehan’ dan ‘belajar’ mungkin terhubung dalam
istilah otomatisnya. Hal ini merupakan pandangan yang dikembangkan oleh McLaughlin
(1978b) dalam serangannya pada posisi non antarmuka. McLaughlin merujuk pada
perbedaan Schneider dan Shriffin (1977) antara proses ‘pengawasan dan ‘otomatis’.
Proses pengawasan membutuhkan perhatian aktif, jadi hanya sejumlah fitur dapat diawasi
pada satu waktu tanpa interfensi pada hal yang sedang terjadi. ‘otomatis’ tidak
membutuhkan pengawasan aktif atau perhatian. Poin penting adalah ‘proses otomatis
dipelajari mengikuti penggunaan yang lebih awal dari proses pengawasan’ (McLaughlin
1978b: 319). Kemudian, Pemerolehan Bahasa Kedua membawakan dari pengawasan
menuju mode operasi otomatis. Hal itu, kemudian, tidak perlu untuk menysaratkan dua
tipe pengetahuan tak berkait seperti pada perbedaan ‘pemerolehan/belajar’.
Sharwood-Smith (1981) berdasar pada pekerjaan Bialystok dan McLaughlin dan
membangun model permukaan penuh untuk menghitung peran pengajaran formal dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia berpendapat bahwa pengajaran tersebut bertindak sebagai
hal yang pada umumnya yang mana peningkatan pemahaman dapat terjadi, dan
menghasilkan pengetahuan eksplisit dilatih hingga teroomatisasi. Ia menulis :
“Apapun pandangan tentang proses yang mendasari dalam pembelajaran bahasa
kedua …..jelas dan non-kontroversial untuk dikatakan bahwa kebanyakan penampilan
spontan dicapai melalui latihan. Selama benar-benar melakukan penargetan bahasa,
pelajar mendapatkan kendali yang penting lebih dari struktur tersebut, seperti he atau she
dapat menggunakannya dengan cepat tanpa refleksi (pemikiran)”. (1981: 166)

Gambar 9.1 menggambarkan reproduksi modelnya Sharwood-Smith. Pembelajar


dapat menghasilkan keluaran bahasa kedua dalam tiga cara yang berbeda: (1) hanya
menggunakan pengetahuan implisit (yang terkandung), (2) hanya menggunakan
pengetahuan eksplisit, dan (3) menggunakan keduanya, yakni pengetahuan ekspisit dan
pengetahuan implisit. Ungkapan pelajar mendasari bagian dari masukan bagi bahasa
pelajar yang belajar mekanisme. Pada bagian lain dari masukan disusun oleh ucapan
pembicara lainnya. Total masukan menyediakan informasi yang dapat memimpin pelajar
untuk mengubah komposisi baik pengetahuan yang implisit maupun pengetahuan
eksplisit, atau pun kedua-duanya. Hal ini berdasarkan dari model ini bahwa performa
yang direncanakan seluruhnya atau sebagian pada dasar pengetahuan eksplisit yang
kurang dalam proses otomatisasi dapat memberikan umpan balik kedalam pengetahuan
implisit; jika hal ini cukup serng terjadi (contohnya melalui latihan), pengetahuan
eksplisit dapat menjadi otomatis sepenuhnya sebagai bagian dari pengetahuan implisit.

Pengetahuan eksplisit
Pengetahuan implisit
Ungkapan pembicara lain
Output
Input

Gambar 9.1 Input linguistik dan output : tiga sumber feedback


potensial (Sharwood-Smith 1981 : 166)

Seberapa baikkah kelemahan dan kekuatan posisi Interface meliputi hasil riset
empiris kedalam efek pengajaran formal? Posisi lemah dapat dengan nyaman meliputi
kedua kegagalan untuk menemukan efek positif pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
dan untuk menemukan bahwa pengajaran formal mempengaruhi penemuan
penilaian/keberhasilan pengembangan. Posisi kuat dapat meliputi penemuan
penilaian/keberhasilan, namun kurang nyaman dengan penemuan jalur.
Posisi lemah, seperti yang dikemukakan lebih lanjut oleh Selinger, menyatakan
bahwa aturan pedagogi tidak akan merubah urutan yang dalam aturan bahasa kedua
secara alami ‘diperoleh’, seperti halnya efek itu hanya akan dirasakan ketika pembelajar
siap untuk memperoleh aturan tersebut. Bagaimanapun, aturan pedagogi akan
meningkatan kecepatan pengembangan, karena aturan-aturan pedagogi tersebut membuat
proses ‘pemerolehan’ lebih singkat. Dikarenakan pembelajar dilengkapi oleh
pengetahuannya tentang aturan pedagogi, maka ia memerlukan waktu yang lebih sedikit
untuk merasakan dan menginternalisasikan fitur yang menonjol dari aturan tersebut.
Posisi yang kuat, didukung oleh Stevick, McLaughlin, dan Sharwood-Smith,
memberikan penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa pelajar kelas melampaui
pelajar alami, bahkan saat pengujian kecakapan merupakan satu yang hendaknya
mendukung ‘pemerolehan’ (sebagai contoh tes integratif). Pelajar kelas memiliki
keuntungan dimana mereka dapat menambah implisit mereka atau’pemerolehan’
pengetahuan dalam dua cara : (1) langsung, atas pertolongan ‘masukan lingkungan’ yang
disediakan oleh kelas, dan (2) tidak langsung, dengan otomatisasi pengetahuan eksplisit
melalui latihan. Dalam proses alami yang jelas, pelajar akan hampir secara keseluruhan
tepercaya pada (1). Tidaklah jelas, namun, bagaimana kekuatan posisi dapat menjelaskan
ketiadaan efek mayor untuk pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua. Jika,
seperti yang disarankan, pengetahuan dapat berubah kedalam pengetahuan implisit saat
proses otomatisasi, pelajar yang menerima pengajaran formal yang berlatih bentuk
linguistik spesifik hendaknya menunjukkan hal ini dalam urutan pemerolehan, bahkan
bila mereka tidak secara alami terjadi hingga dikemudian. Dengan kata lain, mengajarkan
tatabahasa hendaknya menumbangkan urutan alam. Terdapat beberapa fakta untuk
menyarankan bahwa hal ini sebenarnya berlangsung (mengingat kembali pengamatan
Lightbown (1983) bahwa bentuk ‘overlearnt’ dapat memaksakan kedalam urutan alami),
namun hanya pada tingkat terbatas, tidak sebanyak model Sherwood-Smith yang daat
diprediksi. Jalur dari pengetahuan eksplisit hingga implisit merupakan satu yang cukup
terbatas.
Satu masalah posisi Interface adalah masih diasumsikan bahwa pengetahuan
bahasa kedua dapat menjadi dikotomi sebagai ‘pemerolehan/belajar’, atau
implisit/eksplisit. Hal itu juga menerima pandangan Krashen bahwa pengetahuan
‘pemerolehan’ dalam beberapa jalur primer dan pengetahuan ‘belajar’ sekunder.
Pandangan alternatifnya adalah untuk memperlakukan pengetahuan pelajar sebagai
variabel. Macam pengetahuan macam pegetahuan yang pelajar interalisasikan tergantung
pada interaksi konteks alami. Juga penampilan bahasa kedua juga cukup tersedia.
Pengetahuan yang dipakai oleh pelajar tergantung pada sifat alami dari tugas yang ada.
Dapat disangkal, pandangan ini bagian dari posisi antarmuka, tapi tidak sepenuhnya
diucapkan. Untuk alasan itu, baik sekali untuk memertimbangkan posisi ketiga-posisi
variabilitas-sebagai alternatif pada posisi non-antarmuka dan antarmuka.

Posisi variabilitas
Posis varibilitas telah dijelasan pada bab 4. untuk merekapitulasi secara singkat,
pelajar interlanguage terdiri dari variabilitas non sistimatik dan sistimatik. Variabilitas
sistematik merupakan hasil dari konteks linguistik dan situasional. Pelajar percaya
dengan sejumlah gaya berbeda disusun dari kehati-hatian hingga logat asli. Gaya mana
yang ia pergunakan merupakan fungsi jumlah perhatian yang dia mampu untuk
menghargai pada ujarannya (Tarone 1983).
Posisi variabilitas dengan tegas menghubungkan antara penggunaan dan
pemerolehan. Macam bahasa yang digunakan pelajar dalam menentukan macam
pengetahuan yang ia dapatkan. Dengan cara yang sama, pengetahuan yang berbeda
digunakan dalam tipe berbeda dari performan bahasa. jadi, memperoleh pengetahuan
linguistik yag dirasakan perlu untuk membentuk semacam aktivitas tidak menjamin
kemampuan untuk membentuk aktifitas yang berbeda. Sebagai contoh, pengaruh latihan
mungkin khusus untuk aktivitas yang didalamnya dilakukan latihan.
Bialystok (1982, 1984) mencari untuk mengitung variabel pelajar mengawasi
sistem bahasa kedua dengan melakukan pengujian batasan yang dikaitkan dengan
berbagai situasi bahasa. Untuk melakukannya, ia membedakan dua hal yang terlibat
secara terus menerus, faktor teranalisa dan kontrol faktor. Faktor teranalisa berkenaan
pada tingkat mana pelajar mampu untuk Pra-menyajikan struktur pengetahuan bersamaan
dengan isinya (Bialystok 1984). Pelajar yang telah memperoleh pengetahuan yang diteliti
mampu untuk mengoperasikan hal itu, mentransformasikan, membandingkan, dan
menggunakannya untuk memecahkan permasalahan. Secara kasar, faktor teranalisa
bersesuaian pada perbedaan eksplisit/implisit. Kontrol faktor berkenaan pada relatif
memudahkan akses bahwa pelajar harus berbeda materi pengetahuan ilmu bahasa ; hal ini
berkaitan dengan otomatisasi. Bialystok menegaskan bahwa faktor-faktor ini bukanlah
dikotomi (bercabang dalam dua bagian) melainkan continua (terus
menerus/berkelanjutan), bahwasanya terdapat tingkatan analisasi dan otomatisasi. Hal ini
tepat sekali walaupun untuk mengidentifikasi 4 jenis dasar dari pengetahuan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 9.2. Menggunakan kerangka ini, Bialystok membuat dua poin
dasar, (1) tugas yang berbeda memerlukan jenis pengetahuan yang berbeda. Tugas yang
paling sulit adalah mereka yang memperoleh pengetahuan yang ditandai atas kedua
faktor tersebut (yakni C pada gambar 9.2), sedangkan yang paling sedikit sulitnya adalah
yang tidak ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni B), sedangkan tugas yang
memperoleh pengetahuan dengan ditandai hanya oleh satu faktor saja tetapi yang lainnya
tidak ditandai (yakni A atau D) merupakan tingkat intermediate, (2) jenis pelajar yang
berbeda dapat dikenali berdasarkan jenis pengetahuan yang mereka kuasai. Untuk
contohnya, pembelajar anak-anak dan pembelajar informal orang dewasa akan secara
khas ditandai oleh jenis pengetahuan B pada langkah-langkah awal, dan oleh jenis A pada
langkah-langkah berikutnya. Pembelajar formal bahasa kedua akan secara khas ditandai
oleh jenis pengetahuan D dalam langkah-langkah awal dan jenis C dalam langkah
berikutnya. Bialystok dengan seksama menyatakan bahwa ‘perbedaan kualitatif tidak
menyiratkan nilai sebuah keputusan’ (Bialystok, 1982: 205).

- dianalisa
+ otomatis

+ dianalisa
+ otomatis
C
- dianalisa
- otomatis
B

+ dianalisa
- otomatis
C

+ otomatis -

Gambar 9.2 Jenis pengetahuan dalam sistem variabel bahasa kedua (berdasar
pada Bialystok 1982)

Bagaimana posisi variabel seperti halnya yang digambarkan oleh Bialystok


(1982) atau pun Tarone (1983) melaporan hasil dari studi empiris mengenai efek
pengajaran formal. Dikarenakan rangkaian natural dari perkembangan merupakan
refleksi (pantulan/cerminan) dari satu jenis bahasa tertentu yang digunakan – komunikasi
secara spontan – hal tidak akan pernak berubah. Pada model Tarone yang disebut rute
alami adalah produk pelajar vernacular style (gaya bahasa daerah); dalam model
Bialystok itu adalah produk jenis pengetahuan A. Suatu perbedaan lainnya akan muncul
hanya ketika pelajar dihadapkan dengan semacam tugas yang memerlukan suatu jenis
pengetahuan yang berbeda. Dengan begitu pengajaran formal, yang mengembangkan
careful style (gaya ketelitian) pelajar (atau jenis pengetahuan C pada gambar 9.2), akan
menjadi tidak berdaya untuk mempengaruhi rute dari pemerolehan bahasa kedua
sepanjang ini diukur dengan menggunakan tugas yang menyerukan vernacular style
(gaya bahasa daerah). Apakah pengajaran formal akan mampu mencapai untuk
meningkatkan kendali atas pengetahuan yang diteliti, yang telah ia pelajari; hal itu, untuk
otomatisasi melalui praktik. Dari pandangan tentang posisi variabilitas, pertanyaan dari
alternatif lainnya tentang pengembangan tidak muncul, seperti yang disebut
‘pemerolehan’ yang hanya merupakan suatu refleksi (cerminan/pemantulan) dari jenis
performa tertentu.
Posisi variabilitas dapat juga menjelaskan mengapa pelajar kelas outperform
pelajar naturalistik diuji secara terpisah. Pengajaran formal kiranya mengembangkan
jenis pengetahuan tersebut (jenis C dalam kerangka Bialystok), hal itu diperlukan untuk
melakukan jenis tugas yang diajukan tes ini. Kiranya pengaturan natural tidak
mengembangkan jenis pengetahuan ini. Hal itu kurang jelas, bagaimana posisi
variabilitas dapat menjelaskan mengapa pelajar kelas juga outperform pelajar naturalistik
pada tes integratif. Terdapat sejumlah kemungkinan. Pertama, tes integratif boleh
memerlukan analisis dibandingkan pengetahuan yang tidak dianalisis; di sisi lain,
mereka menyerukan kurang lebih, jenis pengetahuan yang sama sebagai poin terpisah
menguji sejauh faktor yang diteliti berkaitan, berbeda halnya dengan faktor otomatis.
Kedua, hal ini mungkin, bahwa terdapat bergeraknya pengetahuan sepanjang rangkaian
gaya penulisan dari waktu ke waktu, seperti yang diusulkan oleh Tarone (1983).
Dickerson (mengutip dalam Tarone 1982) mengusulkan bahwa kemajuan yang
dilanjutkan dalam gaya formal mungkin memiliki pengaruh pada gaya casual (peristiwa
secara kebetulan). Suatu masalah dengan penjelasan ini adalah bahwa jika ini merupakan
kasus, suatu rangkaian alami yang berbeda hendaknya dihasilkan dari pengajaran formal,
kecuali jika pengaruh dilihat hanya dari kepekaan pelajar pada format vernacular (bahasa
daerah) yang telah siap untuk muncul (seperti yang diusulkan oleh Selinger 1979).
Ketiga, hal itu dapat dihipotesiskan bahwa pengajaran formal itu melakukan lebih dari
mengembangkan pengetahuan yang diteliti untuk digunakan dalam gaya careful (gaya
ketelitian); hal ini juga memungkinkan pengetahuan yang tidak diteliti untuk
menginternalisasikan bagi digunakan dalam gaya vernacular (bahasa daerah). Poin ini
menuntut eksplikasi dengan seksama.
Hal itu tidak dapat diasumsikan bahwa pengajaran formal hanya menyokong pada
gaya careful (ketelitian) pelajar. Interaksi kelas yang mana membentuk acuan dari
pengajaran formal yang juga boleh bertindak sebagai input pada gaya pelajar vernacular
(bahasa daerah). Bukti untuk ini telah dikutip dalam studi Terrel, dkk. (1980). Dalam bab
6 hal itu juga menunjukkan bahwa bahkan dalam suatu kelas formal mungkin berisi
berbagai macam interaksi yang berbeda, suatu poin membuat setengah memaksa oleh
Bialystok (1981: 65):
“…..suatu situasi pembelajaran formal meliputi lebih banyak fitur dibandingkan
dengan yang secara tegas ditunjuk sebagai tujuan pelajaran, seperti percakapan
asing, konteks sosial di mana pelajaran terjadi, dan seterusnya, dan banyak lagi
dari fitur ini yang mungkin secara bersamaan berasimilasi ke dalam pengetahuan
linguistik secara implisit”.

Ellis (1984e), dalam studinya yang ditunjukkan lebih awal, juga mengusulkan
bahwa kesempatan untuk interaksi komunikasi mungkin terjadi dalam konteks
pengajaran formal. Hal itu akan diserukan kembali bahwa Ellis tidak mampu untuk
menjelaskan mengapa beberapa siswa memanfaatkan dari pengajaran dalam penggunaan
HW question selagi yang lainnya tidak digunakan, dalam kaitannya dengan bagaimana
kerapkali mereka mengambil bagian pengajaran pertukaran onal. Bagaimanapun, dia
menawarkan bukti kualitatif untuk mengusulkan bahwa siswa yang maju adalah mereka
yang terlibat dalam interaksi di mana negosiasi beberapa maksud diambil alih, yang mana
kelas sendiri atau dalam sesi pemerolehan di mana data untuk studi telah dikumpulkan.
Tetapi, bukan hanya interaksi komunikatif saja yang membantu ke arah pengembangan
gaya pelajar vernacular (bahasa daerah) itu. Suatu argumen dapat diberikan bahwa
interaksi di mana memusatkan pada bentuk dapat juga membantu, walaupun bukan dalam
cara yang para guru pertimbangkan. Pertimbangan, sebagai contohnya, suatu pelajaran
yang mana diperoleh siswa untuk memproduksi kalimat seperti “This is a pencil” dan
“These are pencils” dalam rangka berlatih membuat penanda kalimat jamak. Hal ini
benar, bahwa seperti kalimat model informasi tersebut, yang bersifat tatabahasa, yang
mana merupakan terget pelajaran, tetapi mereka juga memuat informasi gramatika yang
mana tidak ditandai untuk perhatian yang sadar. Siswa memproduksi dan mendengarkan
untuk seperti kalimat mungkin memusatkan pada penanda kalimat jamak, tetapi pada
waktu yang sama mereka juga mengekspose bagaimana kopula digunakan dalam kalimat
yang sama. Berlatih memproduksi kalimat seperti itu dapat memudahkan pengembangan
pengetahuan yang diteliti di mana tanda kalimat jamak berkaitan, tetapi dapat juga secara
kebetulan memudahkan pengembangan pengetahuan yang tidak diteliti di mana
penggunaan kopula berkaitan (seperti membantu pelajar untuk menginternalisasikan
rumusan kalimat “This is a……”). Dengan begitu, sungguhpun pengajaran formal
diarahkan pada penguasaan bentuk bahasa kedua secara spesifik, hal itu mungkin, untuk
alasan tersebut di atas, juga memimpin untuk penguasaan bentuk bahasa kedua lainnya,
tidak ditunjuk dari pandangan pengajar sebagai tujuan dari pelajaran.
Bagaimanapun, hal itu diterima bahwa pengajaran formal bertindak sebagai input
bagi berbagai gaya antarbahasa dengan pengembangan pengetahuan bahasa kedua dalam
jenis tingkatan analisis, itu masih tetap untuk menjelaskan mengapa input ini
memungkinkan pembelajar di kelas lebih mengembangkan dengan cepat dbandingkan
dengan pembelajar secara natural. Suatu kemungkinan yang kuat bahwa input kelas lebih
kaya, dalam pengertian bahwa hal itu merangsang pertumbuhan berbagai jenis
pengetahuan, sedangkan masukan naturalistik melayani hanya untuk merangsang
pengetahuan yang tidak diteliti secara keseluruhan. Pembelajar yang memiliki akses
berbagai gaya lebih baik diperlengkapi untuk pelaksanaan dengan sukses pada kedua
poin yang terpisah dan tes integratif yang mana berarti kecakapan terukur. Dalam banyak
kasus, pelajar akan memanfaatkan dari akses untuk kedua pengetahuan yang tidak diteliti
dan pengetahuan yang diteliti, karena hal ini akan memungkinkan mereka untuk
melakukan suatu bidang dari tugas yang berbeda.

Ringkasan

Bab ini telah menguji tiga teori posisi yang menunjukkan penjelasan tentang
bagaimana pengajaran formal tidak mempengaruhi rangkaian alami Pemerolehan Bahasa
Kedua tetapi memfasilitasi perkembangan yang lebih cepat. Posisi non-interface
dikemukakan Krashen yang menyatakan bahwa ‘pemerolehan’ dan ‘pembelajaran’
merupakan hal terpisah. Karena ‘pemerolehan’ bertanggungjawab untuk rangkaian alami,
‘pembelajaran’ hasil dari pengajaran formal tidak dapat mempengaruhinya. Namun, kelas
yang memberikan peluang bagi input yang dapat dimengerti akan mempercepat
‘pemerolehan’. Posisi interface juga memberikan usulan sebagai fakta mengenai dua
jenis pengetahuan bahasa kedua, namun berargumen bahwa mereka berhubungan, maka,
‘pembelajaran’ itu (atau pengetahuan eksplisit) dapat menjadi ‘pemerolehan’ (atau
pengetahuan implisist) saat hal itu dilatih secukupnya. Versi yang lebih lemah dari posisi
ini, bagaimanapun, menyatakan bahwa ‘pembelajaran’ tidak banyak berubah kedalam
‘pemerolehan’ semudah hal tadi, saat pelajar ‘siap’. Keragaman posisi berbeda dari kedua
posisi lainnya yakni mengenal keragaman ’gaya’ berbeda, masing-masing memohon tipe
pengetahuan yang bervariasi dalam istilah analisasi dan otomatisasi. Gugusan berbeda
membutuhkan kegunaan dari jenis pengetahuan berbeda. Pengajaran formal memberikan
kontribusi langsung atau tidak langsung pada internalisasi jenis pengetahuan berbeda ini
dan karenanya memungkinkan pelajar kelas untuk melaksanakan cangkupan yang lebih
luas dalam hal gugus tugas linguistik daripada pelajar alami.
Ketiga posisi memperlengkapi argumen untuk mencatat hasil riset empiris
kedalam efek pengajaran formal. Hal ini telah dipertimbangkan dalam beberapa bahasan.
Terdapat fakta-fakta yang cukup jelas untuk membuat pilihan antara ketiganya. Bukti
akan tetap seperti itu dimasa depan hingga ada studi kualitatif percakapan kelas yang
diakibatkan oleh pengajaran formal dan tentang pengembangan ilmu bahasa yang
mempengaruhi percakapan seperti itu.

Simpulan
Bab ini dimulai dengan penegasan bahwa investigasi peran pengajaran dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua adalah signifikan untuk kedua teori Pemerolehan Bahasa
Kedua dan pedagogy bahasa. Dalam simpulan ini saya harus meringkas dengan
mempertimbangkan beberapa implikasi.

Teori Pemerolehan Bahasa Kedua


Studi peran pengajaran dapat menerangkan kontribusi faktor lingkungan dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua. Lingkungan kelas memberikan jenis input berbeda dari
keadaan alami. Jika faktor lingkungan merupakan hal penting bagi Pemerolehan Bahasa
Kedua, mungkin dapat diprediksi bahwa (1) jalan kemahiran dalam dua keadaan akan
berbeda, dan (2) penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa Kedua dalam dua keadaan
juga akan berbeda. Peneliti telah mengulas dalam bab yang lalu menunjukkan bahwa (1)
sementara tidak muncul, (2) mungkin saja. Kesalahan keadaan kelas untuk
mempengaruhi jalan Pemerolehan Bahasa Kedua dapat dijelaskan dalam dua cara.
Pertama, mungkin diambil untuk menunjukkan bahwa determinan sebenarnya dari
Pemerolehan Bahasa Kedua adalah internal pelajar lebih daripada faktor lingkungan.
Maka, disamping perbedaan dalam input, pelajar bahasa kedua akan mengikuti jalan yang
sama karena ia diprogram untuk hal yang sama. Penjelasan kedua membolehkan peran
lebih sentral untuk input/interaksi untuk dipertahankan. Kelas Pemerolehan Bahasa
Kedua dan Pemerolehan Bahasa Kedua alami mengikuti garis perkembangan yang sama,
karena, meskipun terdapat perbedaan dalam jenis input yang ditemukan dalam setiap
keadaan, juga terdapat kesamaan. Rangkaian alami merupakan produk satu jenis
penggunaan bahasa-komunikasi spontan-yang, meskipun terbatas dalam konteks kelas,
tetapi terjadi. Penjelasan pertama mengikuti interpretasi penutur asli dari Pemerolehan
Bahasa Kedua, penjelasan kedua mengikuti interpretasi interaksi (lihat bab 6). Jelas,
apapun interpretasi yang diadopsi, hal itu bahwa Pemerolehan Bahasa Kedua menguasai
sifat struktural yang bebas pada perbedaan inhern lingkungan dalam kelas dan keadaan
alami. Pengaruh faktor lingkungan nampak membatasi sebagian besar untuk sejauh apa
dan berapa banyak perolehan bahasa kedua bagi pelajar.

Pedagogy Bahasa
Melihat pengajaran dari sudit pandang pelajar lebih daripada pengajar adalah
bermanfaat. Hal itu melihat kedalam perspektif secara luas yang memandang bahwa
pengajaran berdasar pada bunyi silabus dan melibatkan teknik motivasi, hasil berupa
pemerolehan. Kecuali jika laporan yang diambil tentang sifat struktural Pemerolehan
Bahasa Kedua, kesuksesan bukanlah hal yang pasti.
Namun, tidaklah mudah untuk sampai pada rekomendasi kuat berdasar pada hasil
riset Pemerolehan Bahasa Kedua. Seperti yang ditulis Hughes (1983: 1-2) :
Harus dikatakan pada permulaan bahwa pada saat kini terdapat beberapa implikasi yang
jelas untuk menggambarkan perihal mengajarkan bahasa dari studi pengajaran bahasa
kedua.
Sikap berdiam diri dilakukan untuk dua alasan. Pertama, harus dikenal bahwa
mengajarkan tidaklah sama seperti mempelajari. Dalam pemikiran program mengajarkan
jelas bermaksud pada pemahaman bagaimana pelajar belajar, tapi itu juga perlu untuk
diambil kedalam faktor non-pelajar. Brumfit (1984), misalnya, menunjuk bahwa
walaupun jika pelajar mengikuti jalur tetap, guru mungkin tidak merasa berkeawjiban
meyakinklan bahwa pengajarannya juga mengikutinya, sepertinya jauh lebih penting
bahaw guru bekerja dari silabus yang secara logis dia terima. Brumfit berargumen bahaw
pengajaran bahasa akan paling berhasil saat mengikuti rencana yang terpecahkan dengan
baik yang mengarah dan mengorganisir apa yang guru kerjakan. Alasan kedua untuk
berdiam diri adalah, meskipun terdapat tingkat persetujuan antara peneliti Pemerolehan
Bahasa Kedua menyangkut apa yang terjadi dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Terdapat
jauh lebih sedikit persetujuan tentang bagaimana hal itu terjadi dalam cara tersebut. Hal
ini menjadi jelas dalam perbedaan posisi yang telah diadopsi untuk menjelaskan hasil
riset kedalam efek pengajaran formal. Namun, walaupun bijaksana untuk bersifat
sementara dalam mencari implikasi pedagogi bahasa dari riset Pemerolehan Bahasa
Kedua, tetapi cukup bodoh untuk mengabaikan secara keseluruhan riset ini. Seperti
catatan Corder (1980: 1), ‘kita selalu memiliki kewajiban untuk berusaha menjawab
pertanyaan praktis dalam menerangkan pengetahuan umum terbaik’.
Hanya satu isu yang dipertimbangkan disini – apa yang dikemukakan Stern
(1983) sebagai dilema kode-komunikasi dalam pedagogi bahasa. pertanyaan kunci
adalah seperti : pada tingkat apa seharusnya pengajaran diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran pelajar tentang sifat formal bahasa kedua, sebagai lawan untuk menyediakan
peluang bagi mereka untuk terlibat dalam komunikasi alami? Ini merupakan isu
kontroversial. Satu sisi terdapat pendukung apa yang Widdowson (1984: 23) sebut
‘pendidikan murni……dan ia dihubungkan dengan serba membolehkan non-intervensi’.
Disisi lain terdapat mereka yang berargumen bahwa mengajar pelajar menjadi analitis
memperbesar perkembangan. Saya harus menyingkat sikap apa pada diema kode
komunikasi yang dipegang pendukung masing-masing ketiga posisi mempertimbangkan
dalam bab sebelumnya.

1. Posisi non-interface
Krashen (1982) memberikan penekanan pada peran pengajaran tatabahasa dalam kelas
Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia melihat hanya dua penggunaan. Pertama,
memfungsikan monitor untuk menyediakan ‘pembelajaran’. Namun, penggunaan
monitor terbatas pada saat pelajar ‘belajar’ mengakses pengetahuannya, dan juga
terbatas dengan fakta bahwa hanya sebagian kecil sub-bab dari total aturan bahasa
kedua ‘dapat dipelajari’. Kedua, penggunaan pelajaran tatabahasa untuk memuaskan
keingintahuan pelajar tentang sistem tatabahasa bahasa kedua-‘apresiasi tatabahasa’,
sebagaimana yang disebut Krashen. Krashen (1982) menyimpulkan :
Penggunaan tatabahasa secara sadar adalah terbatas. Tidak semua orang
memonitor. Mereka hanya memonitor sebagian dari waktunya dan menggunakan
monitor hanya untuk sub-bagian tatabahasa…efek koreksi pribadi pada ketepatan
merupakan hal yang sederhana. Pelaku bahasa kedua secara khas mengoreksi diri
hanya dalam persentase kecil kesalahannya, bahkan saat dengan sengaja terfokus
pada bentuk…….dan bahkan saat kita hanya memikirkan aspek termudah dari
tatabahasa. (1982: 112)

Krashen, lebih lanjut, percaya bahwa peran pengajaran adalah membuka kesempatan
untuk berkomunikasi, lebih baik dari menggambarkan perhatian melalui kode bahasa
kedua. Krashen (1981b) merinci penjelasan karakteristik tentang apa yang
dipertimbangkan tentang program efektif pedagogikal : (1) input kelas harus dapat
dimengerti; (2) program harus terdiri dari ‘aktifitas komunikatif’, untuk menjamin
bahwa input menarik dan relevan; (3) selayaknya tidak mencoba mengikuti rentetan
program tatabahasa; dan (4) input harus cukup banyak (karenanya penting untuk
membaca secara luas). Krashen dan Terrell (1983) menguraikan secara singkat sebuah
program yang sesuai untuk prinip ini, yang disebut ‘pendekatan alamiah’

2. Posisi Interface
Sedangkan posisi non interface menegaskan arti penting komunikasi dan memperkecil
arti penting kode, posisi interface menyatakan kontribusi tentang kode. Sharwood-
Smith (1981) melihat pengajaran tatabahasa sebagai jalan pintas pada kemampuan
komunikasi. Maka, pelajar dewasa yang memiliki perhatian menarik menuju fitur kode
dapat berlatih disini, diluar ataupun didalam kelas, sampai dapat menggunakannya
tanpa sadar didalam bertutur komunikasi. Sharwood-Smith menegaskan bahwa
pengajaran tatabahasa (atau ‘peningkatan kesadaran’) dapat bermacam-macam bentuk.
Ia membedakan dua dimensi dasar : ketelitian (contohnya apakah pengajaran hanya
menawarkan uraan ringkas atau penjelasan yang sangat terstruktur.

3. Posisi Variabilitas
Posisi variabilitas menekankan arti penting kesesuaian proses belajar dengan jenis
pengajaran. Bialystok (1982: 2005) berkomentar :
“……pengajaran harus mempertimbangkan tujuan khusus pelajar dan mencoba untuk
menyediakan bentuk pengetahuan yang sesuai untuk mencapai tujuan itu”.
Tujuan tersebut mengacu pada jenis bahasa yang digunakan bahwa pembelajar
membutuhkan (atau menginginkan) untuk terlibat di dalamnya. Jika tujuan
mengikutsertakan percakapan natural, maka pembelajar harus mengembangkan gaya
vernacular (bahasa daerah) nya dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang
otomatis tetapi tidak diteliti. Hal ini dapat dicapai secara langsung atas pertolongan
pengajaran yang menekankan komunikasi di dalam kelas. Hal ini juga mungkin dicapai
secara tidak langsung oleh pengajaran yang memfokuskan pada kode, jika terdapat
peluang praktis yang memadai untuk memacu jalan pengetahuan dari kehati-hatian
menuju gaya sehari-hari. Jika tujuan pelajar adalah untuk berpartisipasi dalam
percakapan yang membutuhkan kehati-hatian, perencanaan secara sadar, ia akan butuh
mengembangkan gaya secara hati-hati dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua
yang otomatis dan teranalisis. Hal ini dapat secara terbaik terpenuhi dengan pengajaran
formal yang memusatkan pada kode bahasa kedua.

Sama halnya, itu bukanlah mungkin untuk membuat pilihan terbatas seperti posisi mana
yang ditawarkan penjelasan terbaik dari hasil riset empiris kedalam kelas Pemerolehan
Bahasa Kedua, jadi itu akan prematur untuk menempatkan solusi pada dilema kode-
komunikasi dalam pedagogi bahasa. Namun, satu efek studi secara umum telah memberi
kesan bahwa mengajarkan kode mungkin memainkan bagian kecil daripada pemikiran
sebelumnya. Seperti ang ditunjukkan Coder (1980), kesan seperti ini berada dalam
kesesuaian dengan arah pengajaran saat ini. Riset Pemerolehan Bahasa Kedua, kemudian,
mungkin terlihat sebagai penguatan trend yang telah ada, lebih daripada bantahan-
bantahan pendekatan baru.

You might also like