Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Bab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu
mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa
kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pertanyaan
mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa
kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu
mendidik) bahasa telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat
diajarkan.
Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan
pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa kedua alamiah, dan (2) kelas
pemerolehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis
pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan
ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakap-cakap di kelas dapat berubah, dalam
perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh
karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan
oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat
pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana
pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal ini mungkin menunjuk
pada persoalan yang lebih luas mengenai peran dari faktor lingkungan.
Pengajaran bahasa mempunyai banyak tujuan. Salah satunya memiliki tradisi untuk
mengajar pelajar dengan sistem formal pada bahasa kedua (L2), khususnya tatabahasa,
walaupun fonologi dan kosa kata juga mungkin untuk menerima perhatian. Bab ini
semata-mata akan dikaitkan dengan peran pengajaran dalam pemerolehan tatabahasa
bahasa kedua (L2). Hal itu mempertimbangkan pengajaran formal.
Dalam banyak metode pengajaran, suatu asumsi dibuat bahwa memusatkan pada bentuk
linguistik membantu pemerolehan dari pengetahuan tatabahasa, atau, untuk
meletakkannya dengan cara lainnya, bahwa peningkatan kesadaran pelajar mengenai
peran target bahasa yang alami membantu pelajar untuk menginternalisasikan mereka.
Dalam kasus tentang metode deduktif ini adalah kasus dirinya dengan jelas. Tetapi, hal
ini juga benar dalam metode ‘habit forming’ seperti audio-lingualisme, sebagai tujuan
dari penyajian praktik adalah untuk memusatkan pada bentuk spesifik linguistik, yang
mana pelajar dianjurkan untuk mempengaruhi dan yang mana pada akhirnya ia akan
membentuk kurang lebih penyajian mental yang disengaja/sadar. Tentunya, pemerolehan
yang diakibatkan oleh pengajaran tidak mungkin dengan serta merta. Kebanyakan
metode membedakan ‘skill getting’ (mendapatkan kecakapan), dengan ‘skill using’
(penggunaan kecakapan) (Rivers dan Temperley, 1978). Pemerolehan memerlukan
praktik satu sesama atau yang lainnya.
Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur
gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa
disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan
pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa
mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan
alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam
bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua
yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal
ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama
merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri.
Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama,
jawaban dari sebuah pertanyaan ‘apakah pengajaran formal membantu pemerolehan
bahasa kedua?’ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan ‘pengajaran formal bagaimana yang
sebagian besar membantu pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada pertanyaan
pertama terdapat anggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar
tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum
mengenai ‘pengajaran formal’. Dalam pertanyaan kedua terdapat anggapan bahwa
pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan
pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran.
Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a)
mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi,
tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan
keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi
berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan
target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa aturan mungkin lebih
mudah daripada mengajar dan belajar2. Tujuan instruksional dapat menjadi aturan
internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban
dibanding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang
yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih
aturan tatabahasa oleh guru, dan mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang
belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk
mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3
Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan
bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi studi komparatif ,
mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara yang lebih efektif. Namun, seperti
yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan satu
metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah
terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah pengajaran formal dengan sendirinya
membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran
telah bersama-sama merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam
ketentuan umpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan
Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara
tentang peran pengajaran secara umum saja, melainkan topik ini secara logis
mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan
hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran
pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.
Dengan demikian apa yang menjadi kriteria kelengkapan pengajaran formal? Penulis
mengusulkan dua hal (meskipun terdapat kemungkinan ada yang lain). (1) corak khusus
tatabahasa yang dipilih untuk menarik perhatian pelajar, dan (2) atensi ini jelas
mempusatkan karakteristik corak khusus tatabahasa. Dalam kaitan dengan dua hal ini,
pengajaran formal diambil untuk menyertakan pengajaran yang merupakan hasil dari
metode deduktif seperti kode kognitif, metode induktif seperti audiolingualisme, dan,
juga pengajaran yang didasari material fungsional dimana bahasa khusus berarti untuk
merealisasikan beragam cara berbicara atau kategori tatabahasa-semantik diperkenalkan
dan digunakan. Hal itu bukan berarti menyertakan pengajaran dimana pelajar didorong
untuk menggunakan komunikasi alami dengan sumber bahasa apapun yang dia miliki.
(umpamanya seperti yang digambarkan dalam Proyek Bangalore-Lihat Johnson 1982).
Dalam upaya mempelajari efek dari suatu pengajaran, sangat penting untuk membedakan
perbedaan aspek pemerolehan bahasa kedua. Peran pengajaran dalam pemerolehan
bahasa kedua harus secara terpisah mempertimbangkan dalam hal efek pengajaran yang
berakibat mengarah kepada perkembangan (antara lain urutan umum atau perintah
tambahan khusus. Dan efek pengajaran berakibat pada tingkat pengembangan (antara lain
kecakapan tingkat pencapaian akhir). Perbedaan ini pada satu pihak dan penilaian dipihak
lain juga dipertimbangkan dalam bab 5. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat
penting saat mempertimbangkan pengajaran formal karena hal itu mungkin bahwa
pengajaran dapat menentukan kedua jalan dan penilaian/kesuksesan, atau hanya salah
satunya saja.
Singkatnya, mempelajari peran pengajaran formal dalam pemerolehan bahasa kedua
adalah penting dalam hal membangun pemahaman teoritis tentang pemerolehan bahasa
kedua dan untuk ilmu mendidik tentang bahasa. Dalam kasus terdahulu, hal itu dapat
menerangkan bagaimana perbedaan dalam kondisi lingkungan mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua. Dalam kasus terakhir, hal itu dapat membantu menguji
asumsi pendidikan dasar seperti apakah urutan pola tatabahasa yang diperkenalkan sesuai
dengan urutan yang telah diajarkan pada mereka. Pengajaran dapat diambil dari beberapa
bentuk berbeda, tapi untuk penggunaan pada bab ini, isu yang dipertimbangkan bukan
jenis pengajaran yang paling efektif, tapi apakah pengajaran formal memiliki pengaruh
pada dirinya. Sampai saat ini, pengajaran diambil untuk menyiratkan beberapa bentuk
peningkatan kesadaran, dengan target ciri-ciri pokok ilmu bahasa. Pengaruh tersebut
mungkin dengan jelas mengarah pada pemerolehan bahasa kedua dan/juga untuk
penilaian/keberhasilan pemerolehan bahasa kedua.
Bab ini memiliki empat sub bab. Pertama, menguji efek pengajaran pada pemerolehan
bahasa kedua. Kedua, menguji efek penilaian/kesuksesan yang mengarah pada
pemerolehan bahasa kedua. Sub bab ketiga, menjelaskan hasil laporan yang diterima
pada kedua sub bab terdahulu. Akhirnya, kesimpulan singkat tentang implikasi teori
pemerolehan bahasa kedua dan pengajaran bahasa.
Efek pengajaran formal yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua
Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama adalah lima studi
yang menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang lain adalah empat studi yang
menyelidiki pelajar bahasa asing.
Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan morfem yang sama dalam
kelas pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami.
Fathman (1975) menggunakan uji produksi lisan untuk menilai pengetahuan tatabahasa
dari dua ratus anak usia 6 hingga 15 tahun dari latar belakang yang berbeda-beda.
Beberapa anak yang menerima pengajaran bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas.
Fathman menemukan korelasi yang sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok
pelajar dan menyimpulkan bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa
tergantung dengan pengajaran. Perkin dan Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan
morfem dari duabelas mahasiswa Universitas Venezuela setelah mereka menjalani dua
bulan pengajaran bahasa setelah tiba di Amerika Serikat. Mereka menggunakan dua buah
tugas dalam mengumpulkan data : (1) test terjemahan, dan (2) tugas deskripsi
berdasarkan film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah pengajaran
berbeda secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti
menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak
mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua dan
menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak berkorelasi
tinggi dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan pengajaran dan
pembelajaran ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran ini memberi kesan tapi
tidak membuktikan pengajaran formal tidak mengubah pesan kemahiran morfem
tatabahasa saat pelajar sibuk dalam menggunakan bahasa terfokus pada arti dari bahasa
tersebut
Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua memberi kesan bahwa
pengajaran dapat memiliki efek pada pesan morfem, meskipun efek itu relatif kecil dan
tidak kekal. Lightbown dkk. (1980) menyelidiki performan dari 175 mahasiswa Perancis
penutur bahasa Inggris berdasarkan (1) test penilaian secara tatabahasa, dan (2)
pertanyaan komunikasi melibatkan deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai
pada (1) hasilnya meningkat sesuai hasil pengajaran, tapi dari nilai secara umum
kemudian menurun (antara lain, setelah mahasiswa tidak lagi menerima pengajaran pada
bagian tatabahasa yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan bahwa pesan dari
berbagai morfem kata benda dan kata kerja berbeda dari pesan ‘secara alami’. Hal ini
terjadi karena mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja,
kemungkinan karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis
bentuk akhir jamak ‘-s’ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata
kerja dan kata benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang sesuai
terjadi secara alamiah. Pada studi berikutnya, Lighbown (1983) menemukan bahwa pada
kelompok mahasiswa yang sama pada studi pertama ‘overlearnt’ pada penempatan ‘-ing’
kata kerja pada tahap tingkat pengembangan mereka. Lighbown memberi kesan bahwa
hal ini sebagai hasil dari latihan formal secara intensif mengenai morfem ini pada tahap
terlalu awal dan latihan yang terkonsentrasi tinggi dapat menunda efek. Meskipun,
mahasiswa tidak menggunakan ‘-ing’ secara tepat, namun mengulur-ngulur penggunaan
pada kontek yang membutuhkan morfem orang ketiga ‘-s’. kemudian, frekwensi ‘-ing’
menurun sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing penggunaan ‘-s’ dam
‘=ing’. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan hanya bersifat
sementara.
Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas studi morfem tentang pelajar
bahasa kedua adalah bahwa pelajar yang telah menerima pengajaran lingkungan dimana
hal itu memungkinkan bagi mereka untuk mengekpose bahasa kedua diluar kelas.
Dengan kata lain, studi mungkin tidak menyentuh efek pembelajaran kelas. Pica (1983)
menyebutkan sejumlah studi seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah
mengacaukan variabel. Fathman (1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai
‘pesan sukar’ dari pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk sekolah di Amerika Serikat. Pada kasus
terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada dua kriteria yang telah
disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan pada bentuk. Pada
kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan. Meskipun demikian,
Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan oleh dua kelompok
pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan minornya.
Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan Pica tersebut adalah
sebagaimana menurut Makino (1979). Makino menyelidiki sembilan morfem yang
dihasilkan dalam ujian tulis 777 subjek pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing
di sekolah sekunder Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa pesan morfem yang
dihasilkan berkorelasi signifikan dengan pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan
oleh peneliti morfem lainnya (Hakuta 1974 adalah pengecualian).
Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah Sajavaara (1981a). ia
mengumpulkan cara berujar secara spontan dari pelajar berbahasa Finlandia yang belajar
bahasa Inggris dan menemukan suatu gangguan pesan.. satu dari perbedaan utama adalah
didakam memposisikan rangking suatu tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa
Finlandia dan bahasa Jepang berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa
Finlandia dalam studi Sajaavara berbeda seara alami.
Pica melaksanakan studinya mengenai efek pengajaran terhadap pesan morfem. Ia
membandingkan enam pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang menerima
pengajaran formal di Mexico City baik pada kelompok pelajar alami, maupun pelajar
campuran (sebagai contoh, seseorang menerima ekspose dan juga pengajaran) di
Philadelphia. Pica memandang pada delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan
diantara tiga kelompok dan dengan pesan alami Krashen.
Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas dalam tabel 9.1. Kesimpulan
apa yang dapat digambarkan? Secara umum pengajaran formal tidak tampak memiliki
efek terhadap pesan morfem yang dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan
bahasa kedua. Hanya saat data yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara
ketat dimonitor (seperti dalam melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman,
misalnya) muncul berbeda-beda. Saat data dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang
komunikatif tentang bahasa kedua (sebagaimana dalam studi Pica, misalnya), pesan
morfem adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda hanya dalam istilah dan
hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu ‘overlearnt’. Kesimpulan umum ini
membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau dewasa dan yang
paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing ataukah lingkungan
bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi Sajavaara.
Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki efek kurang berarti pada pesan
order merujuk kepada bahasa yang digunakan secara spontan. Namun, sebagaimana yang
telah tergambar pada bab 3, pesan morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada
pengetahuan yang didapatnya. Dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat
dipercaya, mengenai pengaruh pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting
untuk berbalik ke arah studi longitudinal mengenai struktur transisi.
Tingkat
Jenis Studi Jenis Kelas Subjek Data Hasil
Kemahiran
Morfem Fathman ESL 260 anak usia 6-15 thn-berlatar Dasar dan Tes oral Pesan morfem yang didapat peserta
(1975) USA campuran bahasa pertama menengah pengajaran signifikan
Morfem Perkin dan 12 mahasiswa-pendatang baru- Menengah 1. Tes terjemah Pesan morfem sebelum dan setelah
Larsen- ESL bahasa pertama Spanyol 2. ucapan spontan pengajaran berbeda
Freeman USA
(1975)
Morfem Turner (1978) 3 pelajar bahasa inggris sebagai Dasar 1. sampel ucapan Pesan pengajaran berbeda dari pesan
ESL
bahasa kedua spontan morfem dalam hal spontanitas tapi
USA
2. tes tatabahasa relatif sama dalam tes
Morfem Lightbown, 175 tingkat 6, 7 dan 8-bahasa Campuran ucapan spontan Berbeda pesan, kecuali untuk kata
dkk. (1980) pertama Perancis tingkat kerja dan kata benda
ESL
kemampuan-
Canada
utamanya
menengah
Morfem Lightbown 75 tingkat 6 (juga 36 tingkat 7 Utamanya ucapan spontan Berbeda pesan untuk sejumlah
ESL
(1983) dan 8) dibawah morfem (mis. –ing)
Canada
menengah
Morfem Fathman Remaja menerima pelajaran Campuran Tes oral Signifikan berkorelasi (tidak
EFL
(1978) tatabahasa, latihan, dan kontrol tingkat menerima pengajaran)
Jerman
dialog kemampuan
Morfem Makino EFL 777 remaja dan anak menerima Campuran Tulisan pendek- Tidak ada perbedaan signifikan antara
(1979) Jepang pengajaran formal kelas tingkat tes menjawab pesan morfem dan pesan alamiah
kemampuan
Morfem Sajavaara EFL Remaja menerima pengajaran ? Tes spontan Pesan alamiah menjadi terganggu
(1981) Finlandia formal kelas
Morfem Pica (1983) 6 dewasa penutur bahasa Campuran Percakapan Pesan morfem berkorelasi dengan
EFL Spanyol (18-50 thn) menerima tingkat panjang dengan grup itu
Mexico pengajaran tatabahasa dan kemampuan para peneliti-
latihan bahasa komunikatif rekaman
Longitu- Felix EFL 34 anak usia 10-11 thn-bahasa Pemula Percakapan kelas- Menghasilkan ungkapan yang sesuai
dinal (1981) Jerman pertama Jerman rekaman aturan sebagaimana halnya alamiah
Longitu- Ellis ESL 3 anak usia 10-13 thn-bahasa Pemula Percakapan kelas- Menghasilkan ungkapan yang sesuai
dinal (1984a) Inggris pertama Punjabi dan Portugis rekaman aturan sebagaimana halnya alamiah
Longitu- Schumann ESL 1 dewasa-bahasa pertama Faham kolot di Ucapan alamiah Peningkatan substansial ketepatan
dinal (1978) USA Spanyol usia senja keseluruhan
Tabel 9.1 Studi empiris tentang efek pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
Ringkasan
Studi morfem dan longitudinal mengenai pemerolehan bahasa kedua mengindikasikan
bahwa meskipun pengajaran formal mungkin mengembangkan pengetahuan bahasa
kedua, pengetahuan ini manifestasi dirinya sendiri dalam penggunaan bahasa hanya
dimana pelajar mengikuti prosesnya. Itu tidak terjadi, oleh karena itu, terkecuali dalam
cara yang relatif sedikit, mempengaruhi jalan alami pemerolehan bahasa kedua yang
secara jelas terlihat dalam bertutur komunikasi. Untuk menggunakan perbedaan antara
rangkaian dan pesan pengembangan yang dibuat dalam bab 3, kita dapat mengatakan
bahwa keseluruhan rangkaian pengembangan tidak dipengaruhi oleh pengajaran formal,
sementara pesan pengembangan sangat dipengaruhi. Pengajaran formal mempengaruhi
pengetahuan hanya pada bentuk kehati-hatian dalam gaya bahasa, bukan pada bentuk
logat bahasa (lihat bab 4). Kesimpulan ini, merupakan hal yang tentatif, seperti yang
terlihat pada studi pemerolehan bahasa kedua di kelas, terutama longitudinal.
Berikut ini merupakan kupasan serius tentang posisi Interface. Ini dapat menjadi
suatu pemecahan tanpa mengabaikan posisi dasar, jika, seperti pandangan Long, beban
terbesar ditunjukan pada ‘pembelajaran’ dengan mendefinsikan kembali hal tersebut
sebagai hal yang menyertai lebih dari pengetahuan aturan ‘sederhana’ dan menerima hal
itu dapat membantu penampilan pada tes integratif sebaik pada tes poin tersendiri. Solusi
lain, bagaimanapun, berada dalam proses penolakan ‘pemerolehan/pembelajaran’
pemisah dan mengadopsi posisi Interface.
Posisi Interface
Pengetahuan eksplisit
Pengetahuan implisit
Ungkapan pembicara lain
Output
Input
Seberapa baikkah kelemahan dan kekuatan posisi Interface meliputi hasil riset
empiris kedalam efek pengajaran formal? Posisi lemah dapat dengan nyaman meliputi
kedua kegagalan untuk menemukan efek positif pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua
dan untuk menemukan bahwa pengajaran formal mempengaruhi penemuan
penilaian/keberhasilan pengembangan. Posisi kuat dapat meliputi penemuan
penilaian/keberhasilan, namun kurang nyaman dengan penemuan jalur.
Posisi lemah, seperti yang dikemukakan lebih lanjut oleh Selinger, menyatakan
bahwa aturan pedagogi tidak akan merubah urutan yang dalam aturan bahasa kedua
secara alami ‘diperoleh’, seperti halnya efek itu hanya akan dirasakan ketika pembelajar
siap untuk memperoleh aturan tersebut. Bagaimanapun, aturan pedagogi akan
meningkatan kecepatan pengembangan, karena aturan-aturan pedagogi tersebut membuat
proses ‘pemerolehan’ lebih singkat. Dikarenakan pembelajar dilengkapi oleh
pengetahuannya tentang aturan pedagogi, maka ia memerlukan waktu yang lebih sedikit
untuk merasakan dan menginternalisasikan fitur yang menonjol dari aturan tersebut.
Posisi yang kuat, didukung oleh Stevick, McLaughlin, dan Sharwood-Smith,
memberikan penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa pelajar kelas melampaui
pelajar alami, bahkan saat pengujian kecakapan merupakan satu yang hendaknya
mendukung ‘pemerolehan’ (sebagai contoh tes integratif). Pelajar kelas memiliki
keuntungan dimana mereka dapat menambah implisit mereka atau’pemerolehan’
pengetahuan dalam dua cara : (1) langsung, atas pertolongan ‘masukan lingkungan’ yang
disediakan oleh kelas, dan (2) tidak langsung, dengan otomatisasi pengetahuan eksplisit
melalui latihan. Dalam proses alami yang jelas, pelajar akan hampir secara keseluruhan
tepercaya pada (1). Tidaklah jelas, namun, bagaimana kekuatan posisi dapat menjelaskan
ketiadaan efek mayor untuk pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua. Jika,
seperti yang disarankan, pengetahuan dapat berubah kedalam pengetahuan implisit saat
proses otomatisasi, pelajar yang menerima pengajaran formal yang berlatih bentuk
linguistik spesifik hendaknya menunjukkan hal ini dalam urutan pemerolehan, bahkan
bila mereka tidak secara alami terjadi hingga dikemudian. Dengan kata lain, mengajarkan
tatabahasa hendaknya menumbangkan urutan alam. Terdapat beberapa fakta untuk
menyarankan bahwa hal ini sebenarnya berlangsung (mengingat kembali pengamatan
Lightbown (1983) bahwa bentuk ‘overlearnt’ dapat memaksakan kedalam urutan alami),
namun hanya pada tingkat terbatas, tidak sebanyak model Sherwood-Smith yang daat
diprediksi. Jalur dari pengetahuan eksplisit hingga implisit merupakan satu yang cukup
terbatas.
Satu masalah posisi Interface adalah masih diasumsikan bahwa pengetahuan
bahasa kedua dapat menjadi dikotomi sebagai ‘pemerolehan/belajar’, atau
implisit/eksplisit. Hal itu juga menerima pandangan Krashen bahwa pengetahuan
‘pemerolehan’ dalam beberapa jalur primer dan pengetahuan ‘belajar’ sekunder.
Pandangan alternatifnya adalah untuk memperlakukan pengetahuan pelajar sebagai
variabel. Macam pengetahuan macam pegetahuan yang pelajar interalisasikan tergantung
pada interaksi konteks alami. Juga penampilan bahasa kedua juga cukup tersedia.
Pengetahuan yang dipakai oleh pelajar tergantung pada sifat alami dari tugas yang ada.
Dapat disangkal, pandangan ini bagian dari posisi antarmuka, tapi tidak sepenuhnya
diucapkan. Untuk alasan itu, baik sekali untuk memertimbangkan posisi ketiga-posisi
variabilitas-sebagai alternatif pada posisi non-antarmuka dan antarmuka.
Posisi variabilitas
Posis varibilitas telah dijelasan pada bab 4. untuk merekapitulasi secara singkat,
pelajar interlanguage terdiri dari variabilitas non sistimatik dan sistimatik. Variabilitas
sistematik merupakan hasil dari konteks linguistik dan situasional. Pelajar percaya
dengan sejumlah gaya berbeda disusun dari kehati-hatian hingga logat asli. Gaya mana
yang ia pergunakan merupakan fungsi jumlah perhatian yang dia mampu untuk
menghargai pada ujarannya (Tarone 1983).
Posisi variabilitas dengan tegas menghubungkan antara penggunaan dan
pemerolehan. Macam bahasa yang digunakan pelajar dalam menentukan macam
pengetahuan yang ia dapatkan. Dengan cara yang sama, pengetahuan yang berbeda
digunakan dalam tipe berbeda dari performan bahasa. jadi, memperoleh pengetahuan
linguistik yag dirasakan perlu untuk membentuk semacam aktivitas tidak menjamin
kemampuan untuk membentuk aktifitas yang berbeda. Sebagai contoh, pengaruh latihan
mungkin khusus untuk aktivitas yang didalamnya dilakukan latihan.
Bialystok (1982, 1984) mencari untuk mengitung variabel pelajar mengawasi
sistem bahasa kedua dengan melakukan pengujian batasan yang dikaitkan dengan
berbagai situasi bahasa. Untuk melakukannya, ia membedakan dua hal yang terlibat
secara terus menerus, faktor teranalisa dan kontrol faktor. Faktor teranalisa berkenaan
pada tingkat mana pelajar mampu untuk Pra-menyajikan struktur pengetahuan bersamaan
dengan isinya (Bialystok 1984). Pelajar yang telah memperoleh pengetahuan yang diteliti
mampu untuk mengoperasikan hal itu, mentransformasikan, membandingkan, dan
menggunakannya untuk memecahkan permasalahan. Secara kasar, faktor teranalisa
bersesuaian pada perbedaan eksplisit/implisit. Kontrol faktor berkenaan pada relatif
memudahkan akses bahwa pelajar harus berbeda materi pengetahuan ilmu bahasa ; hal ini
berkaitan dengan otomatisasi. Bialystok menegaskan bahwa faktor-faktor ini bukanlah
dikotomi (bercabang dalam dua bagian) melainkan continua (terus
menerus/berkelanjutan), bahwasanya terdapat tingkatan analisasi dan otomatisasi. Hal ini
tepat sekali walaupun untuk mengidentifikasi 4 jenis dasar dari pengetahuan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 9.2. Menggunakan kerangka ini, Bialystok membuat dua poin
dasar, (1) tugas yang berbeda memerlukan jenis pengetahuan yang berbeda. Tugas yang
paling sulit adalah mereka yang memperoleh pengetahuan yang ditandai atas kedua
faktor tersebut (yakni C pada gambar 9.2), sedangkan yang paling sedikit sulitnya adalah
yang tidak ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni B), sedangkan tugas yang
memperoleh pengetahuan dengan ditandai hanya oleh satu faktor saja tetapi yang lainnya
tidak ditandai (yakni A atau D) merupakan tingkat intermediate, (2) jenis pelajar yang
berbeda dapat dikenali berdasarkan jenis pengetahuan yang mereka kuasai. Untuk
contohnya, pembelajar anak-anak dan pembelajar informal orang dewasa akan secara
khas ditandai oleh jenis pengetahuan B pada langkah-langkah awal, dan oleh jenis A pada
langkah-langkah berikutnya. Pembelajar formal bahasa kedua akan secara khas ditandai
oleh jenis pengetahuan D dalam langkah-langkah awal dan jenis C dalam langkah
berikutnya. Bialystok dengan seksama menyatakan bahwa ‘perbedaan kualitatif tidak
menyiratkan nilai sebuah keputusan’ (Bialystok, 1982: 205).
- dianalisa
+ otomatis
+ dianalisa
+ otomatis
C
- dianalisa
- otomatis
B
+ dianalisa
- otomatis
C
+ otomatis -
Gambar 9.2 Jenis pengetahuan dalam sistem variabel bahasa kedua (berdasar
pada Bialystok 1982)
Ellis (1984e), dalam studinya yang ditunjukkan lebih awal, juga mengusulkan
bahwa kesempatan untuk interaksi komunikasi mungkin terjadi dalam konteks
pengajaran formal. Hal itu akan diserukan kembali bahwa Ellis tidak mampu untuk
menjelaskan mengapa beberapa siswa memanfaatkan dari pengajaran dalam penggunaan
HW question selagi yang lainnya tidak digunakan, dalam kaitannya dengan bagaimana
kerapkali mereka mengambil bagian pengajaran pertukaran onal. Bagaimanapun, dia
menawarkan bukti kualitatif untuk mengusulkan bahwa siswa yang maju adalah mereka
yang terlibat dalam interaksi di mana negosiasi beberapa maksud diambil alih, yang mana
kelas sendiri atau dalam sesi pemerolehan di mana data untuk studi telah dikumpulkan.
Tetapi, bukan hanya interaksi komunikatif saja yang membantu ke arah pengembangan
gaya pelajar vernacular (bahasa daerah) itu. Suatu argumen dapat diberikan bahwa
interaksi di mana memusatkan pada bentuk dapat juga membantu, walaupun bukan dalam
cara yang para guru pertimbangkan. Pertimbangan, sebagai contohnya, suatu pelajaran
yang mana diperoleh siswa untuk memproduksi kalimat seperti “This is a pencil” dan
“These are pencils” dalam rangka berlatih membuat penanda kalimat jamak. Hal ini
benar, bahwa seperti kalimat model informasi tersebut, yang bersifat tatabahasa, yang
mana merupakan terget pelajaran, tetapi mereka juga memuat informasi gramatika yang
mana tidak ditandai untuk perhatian yang sadar. Siswa memproduksi dan mendengarkan
untuk seperti kalimat mungkin memusatkan pada penanda kalimat jamak, tetapi pada
waktu yang sama mereka juga mengekspose bagaimana kopula digunakan dalam kalimat
yang sama. Berlatih memproduksi kalimat seperti itu dapat memudahkan pengembangan
pengetahuan yang diteliti di mana tanda kalimat jamak berkaitan, tetapi dapat juga secara
kebetulan memudahkan pengembangan pengetahuan yang tidak diteliti di mana
penggunaan kopula berkaitan (seperti membantu pelajar untuk menginternalisasikan
rumusan kalimat “This is a……”). Dengan begitu, sungguhpun pengajaran formal
diarahkan pada penguasaan bentuk bahasa kedua secara spesifik, hal itu mungkin, untuk
alasan tersebut di atas, juga memimpin untuk penguasaan bentuk bahasa kedua lainnya,
tidak ditunjuk dari pandangan pengajar sebagai tujuan dari pelajaran.
Bagaimanapun, hal itu diterima bahwa pengajaran formal bertindak sebagai input
bagi berbagai gaya antarbahasa dengan pengembangan pengetahuan bahasa kedua dalam
jenis tingkatan analisis, itu masih tetap untuk menjelaskan mengapa input ini
memungkinkan pembelajar di kelas lebih mengembangkan dengan cepat dbandingkan
dengan pembelajar secara natural. Suatu kemungkinan yang kuat bahwa input kelas lebih
kaya, dalam pengertian bahwa hal itu merangsang pertumbuhan berbagai jenis
pengetahuan, sedangkan masukan naturalistik melayani hanya untuk merangsang
pengetahuan yang tidak diteliti secara keseluruhan. Pembelajar yang memiliki akses
berbagai gaya lebih baik diperlengkapi untuk pelaksanaan dengan sukses pada kedua
poin yang terpisah dan tes integratif yang mana berarti kecakapan terukur. Dalam banyak
kasus, pelajar akan memanfaatkan dari akses untuk kedua pengetahuan yang tidak diteliti
dan pengetahuan yang diteliti, karena hal ini akan memungkinkan mereka untuk
melakukan suatu bidang dari tugas yang berbeda.
Ringkasan
Bab ini telah menguji tiga teori posisi yang menunjukkan penjelasan tentang
bagaimana pengajaran formal tidak mempengaruhi rangkaian alami Pemerolehan Bahasa
Kedua tetapi memfasilitasi perkembangan yang lebih cepat. Posisi non-interface
dikemukakan Krashen yang menyatakan bahwa ‘pemerolehan’ dan ‘pembelajaran’
merupakan hal terpisah. Karena ‘pemerolehan’ bertanggungjawab untuk rangkaian alami,
‘pembelajaran’ hasil dari pengajaran formal tidak dapat mempengaruhinya. Namun, kelas
yang memberikan peluang bagi input yang dapat dimengerti akan mempercepat
‘pemerolehan’. Posisi interface juga memberikan usulan sebagai fakta mengenai dua
jenis pengetahuan bahasa kedua, namun berargumen bahwa mereka berhubungan, maka,
‘pembelajaran’ itu (atau pengetahuan eksplisit) dapat menjadi ‘pemerolehan’ (atau
pengetahuan implisist) saat hal itu dilatih secukupnya. Versi yang lebih lemah dari posisi
ini, bagaimanapun, menyatakan bahwa ‘pembelajaran’ tidak banyak berubah kedalam
‘pemerolehan’ semudah hal tadi, saat pelajar ‘siap’. Keragaman posisi berbeda dari kedua
posisi lainnya yakni mengenal keragaman ’gaya’ berbeda, masing-masing memohon tipe
pengetahuan yang bervariasi dalam istilah analisasi dan otomatisasi. Gugusan berbeda
membutuhkan kegunaan dari jenis pengetahuan berbeda. Pengajaran formal memberikan
kontribusi langsung atau tidak langsung pada internalisasi jenis pengetahuan berbeda ini
dan karenanya memungkinkan pelajar kelas untuk melaksanakan cangkupan yang lebih
luas dalam hal gugus tugas linguistik daripada pelajar alami.
Ketiga posisi memperlengkapi argumen untuk mencatat hasil riset empiris
kedalam efek pengajaran formal. Hal ini telah dipertimbangkan dalam beberapa bahasan.
Terdapat fakta-fakta yang cukup jelas untuk membuat pilihan antara ketiganya. Bukti
akan tetap seperti itu dimasa depan hingga ada studi kualitatif percakapan kelas yang
diakibatkan oleh pengajaran formal dan tentang pengembangan ilmu bahasa yang
mempengaruhi percakapan seperti itu.
Simpulan
Bab ini dimulai dengan penegasan bahwa investigasi peran pengajaran dalam
Pemerolehan Bahasa Kedua adalah signifikan untuk kedua teori Pemerolehan Bahasa
Kedua dan pedagogy bahasa. Dalam simpulan ini saya harus meringkas dengan
mempertimbangkan beberapa implikasi.
Pedagogy Bahasa
Melihat pengajaran dari sudit pandang pelajar lebih daripada pengajar adalah
bermanfaat. Hal itu melihat kedalam perspektif secara luas yang memandang bahwa
pengajaran berdasar pada bunyi silabus dan melibatkan teknik motivasi, hasil berupa
pemerolehan. Kecuali jika laporan yang diambil tentang sifat struktural Pemerolehan
Bahasa Kedua, kesuksesan bukanlah hal yang pasti.
Namun, tidaklah mudah untuk sampai pada rekomendasi kuat berdasar pada hasil
riset Pemerolehan Bahasa Kedua. Seperti yang ditulis Hughes (1983: 1-2) :
Harus dikatakan pada permulaan bahwa pada saat kini terdapat beberapa implikasi yang
jelas untuk menggambarkan perihal mengajarkan bahasa dari studi pengajaran bahasa
kedua.
Sikap berdiam diri dilakukan untuk dua alasan. Pertama, harus dikenal bahwa
mengajarkan tidaklah sama seperti mempelajari. Dalam pemikiran program mengajarkan
jelas bermaksud pada pemahaman bagaimana pelajar belajar, tapi itu juga perlu untuk
diambil kedalam faktor non-pelajar. Brumfit (1984), misalnya, menunjuk bahwa
walaupun jika pelajar mengikuti jalur tetap, guru mungkin tidak merasa berkeawjiban
meyakinklan bahwa pengajarannya juga mengikutinya, sepertinya jauh lebih penting
bahaw guru bekerja dari silabus yang secara logis dia terima. Brumfit berargumen bahaw
pengajaran bahasa akan paling berhasil saat mengikuti rencana yang terpecahkan dengan
baik yang mengarah dan mengorganisir apa yang guru kerjakan. Alasan kedua untuk
berdiam diri adalah, meskipun terdapat tingkat persetujuan antara peneliti Pemerolehan
Bahasa Kedua menyangkut apa yang terjadi dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Terdapat
jauh lebih sedikit persetujuan tentang bagaimana hal itu terjadi dalam cara tersebut. Hal
ini menjadi jelas dalam perbedaan posisi yang telah diadopsi untuk menjelaskan hasil
riset kedalam efek pengajaran formal. Namun, walaupun bijaksana untuk bersifat
sementara dalam mencari implikasi pedagogi bahasa dari riset Pemerolehan Bahasa
Kedua, tetapi cukup bodoh untuk mengabaikan secara keseluruhan riset ini. Seperti
catatan Corder (1980: 1), ‘kita selalu memiliki kewajiban untuk berusaha menjawab
pertanyaan praktis dalam menerangkan pengetahuan umum terbaik’.
Hanya satu isu yang dipertimbangkan disini – apa yang dikemukakan Stern
(1983) sebagai dilema kode-komunikasi dalam pedagogi bahasa. pertanyaan kunci
adalah seperti : pada tingkat apa seharusnya pengajaran diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran pelajar tentang sifat formal bahasa kedua, sebagai lawan untuk menyediakan
peluang bagi mereka untuk terlibat dalam komunikasi alami? Ini merupakan isu
kontroversial. Satu sisi terdapat pendukung apa yang Widdowson (1984: 23) sebut
‘pendidikan murni……dan ia dihubungkan dengan serba membolehkan non-intervensi’.
Disisi lain terdapat mereka yang berargumen bahwa mengajar pelajar menjadi analitis
memperbesar perkembangan. Saya harus menyingkat sikap apa pada diema kode
komunikasi yang dipegang pendukung masing-masing ketiga posisi mempertimbangkan
dalam bab sebelumnya.
1. Posisi non-interface
Krashen (1982) memberikan penekanan pada peran pengajaran tatabahasa dalam kelas
Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia melihat hanya dua penggunaan. Pertama,
memfungsikan monitor untuk menyediakan ‘pembelajaran’. Namun, penggunaan
monitor terbatas pada saat pelajar ‘belajar’ mengakses pengetahuannya, dan juga
terbatas dengan fakta bahwa hanya sebagian kecil sub-bab dari total aturan bahasa
kedua ‘dapat dipelajari’. Kedua, penggunaan pelajaran tatabahasa untuk memuaskan
keingintahuan pelajar tentang sistem tatabahasa bahasa kedua-‘apresiasi tatabahasa’,
sebagaimana yang disebut Krashen. Krashen (1982) menyimpulkan :
Penggunaan tatabahasa secara sadar adalah terbatas. Tidak semua orang
memonitor. Mereka hanya memonitor sebagian dari waktunya dan menggunakan
monitor hanya untuk sub-bagian tatabahasa…efek koreksi pribadi pada ketepatan
merupakan hal yang sederhana. Pelaku bahasa kedua secara khas mengoreksi diri
hanya dalam persentase kecil kesalahannya, bahkan saat dengan sengaja terfokus
pada bentuk…….dan bahkan saat kita hanya memikirkan aspek termudah dari
tatabahasa. (1982: 112)
Krashen, lebih lanjut, percaya bahwa peran pengajaran adalah membuka kesempatan
untuk berkomunikasi, lebih baik dari menggambarkan perhatian melalui kode bahasa
kedua. Krashen (1981b) merinci penjelasan karakteristik tentang apa yang
dipertimbangkan tentang program efektif pedagogikal : (1) input kelas harus dapat
dimengerti; (2) program harus terdiri dari ‘aktifitas komunikatif’, untuk menjamin
bahwa input menarik dan relevan; (3) selayaknya tidak mencoba mengikuti rentetan
program tatabahasa; dan (4) input harus cukup banyak (karenanya penting untuk
membaca secara luas). Krashen dan Terrell (1983) menguraikan secara singkat sebuah
program yang sesuai untuk prinip ini, yang disebut ‘pendekatan alamiah’
2. Posisi Interface
Sedangkan posisi non interface menegaskan arti penting komunikasi dan memperkecil
arti penting kode, posisi interface menyatakan kontribusi tentang kode. Sharwood-
Smith (1981) melihat pengajaran tatabahasa sebagai jalan pintas pada kemampuan
komunikasi. Maka, pelajar dewasa yang memiliki perhatian menarik menuju fitur kode
dapat berlatih disini, diluar ataupun didalam kelas, sampai dapat menggunakannya
tanpa sadar didalam bertutur komunikasi. Sharwood-Smith menegaskan bahwa
pengajaran tatabahasa (atau ‘peningkatan kesadaran’) dapat bermacam-macam bentuk.
Ia membedakan dua dimensi dasar : ketelitian (contohnya apakah pengajaran hanya
menawarkan uraan ringkas atau penjelasan yang sangat terstruktur.
3. Posisi Variabilitas
Posisi variabilitas menekankan arti penting kesesuaian proses belajar dengan jenis
pengajaran. Bialystok (1982: 2005) berkomentar :
“……pengajaran harus mempertimbangkan tujuan khusus pelajar dan mencoba untuk
menyediakan bentuk pengetahuan yang sesuai untuk mencapai tujuan itu”.
Tujuan tersebut mengacu pada jenis bahasa yang digunakan bahwa pembelajar
membutuhkan (atau menginginkan) untuk terlibat di dalamnya. Jika tujuan
mengikutsertakan percakapan natural, maka pembelajar harus mengembangkan gaya
vernacular (bahasa daerah) nya dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang
otomatis tetapi tidak diteliti. Hal ini dapat dicapai secara langsung atas pertolongan
pengajaran yang menekankan komunikasi di dalam kelas. Hal ini juga mungkin dicapai
secara tidak langsung oleh pengajaran yang memfokuskan pada kode, jika terdapat
peluang praktis yang memadai untuk memacu jalan pengetahuan dari kehati-hatian
menuju gaya sehari-hari. Jika tujuan pelajar adalah untuk berpartisipasi dalam
percakapan yang membutuhkan kehati-hatian, perencanaan secara sadar, ia akan butuh
mengembangkan gaya secara hati-hati dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua
yang otomatis dan teranalisis. Hal ini dapat secara terbaik terpenuhi dengan pengajaran
formal yang memusatkan pada kode bahasa kedua.
Sama halnya, itu bukanlah mungkin untuk membuat pilihan terbatas seperti posisi mana
yang ditawarkan penjelasan terbaik dari hasil riset empiris kedalam kelas Pemerolehan
Bahasa Kedua, jadi itu akan prematur untuk menempatkan solusi pada dilema kode-
komunikasi dalam pedagogi bahasa. Namun, satu efek studi secara umum telah memberi
kesan bahwa mengajarkan kode mungkin memainkan bagian kecil daripada pemikiran
sebelumnya. Seperti ang ditunjukkan Coder (1980), kesan seperti ini berada dalam
kesesuaian dengan arah pengajaran saat ini. Riset Pemerolehan Bahasa Kedua, kemudian,
mungkin terlihat sebagai penguatan trend yang telah ada, lebih daripada bantahan-
bantahan pendekatan baru.