You are on page 1of 5

MEMORIA PASSIONIS

DALAM SASTRA INDONESIA


Oleh Yoseph Yapi Taum

Mengapa Jerman menolak berpartisipasi dalam Perang Irak? Geiko Muller-

Fahrenholz dalam artikelnya “Nein to War – Why Germans Oppose A Strike On Iraq”

yang dimuat di Christian Century (22/2/2003) mengatakan, landasan moral penolakan

Jerman itu adalah memoria passionis atau ingatan penderitaan bangsa Jerman sendiri

dalam Perang Dunia II. Menurut Geiko, sampai sekarang hampir semua keluarga di

Jerman masih menyimpan ingatan penderitaan akan PD II. Kanselir Gerhard Schoder

sendiri kehilangan ayahnya dalam PD II. Belum lagi Peristiwa Auschwitz yang dikenang

dunia sebagai simbol kegilaan genosida NAZI dan spiral kekerasan yang menodai

perjalanan sejarah bangsa Jerman. Ingatan penderitaan itu membentuk komitmen bangsa

Jerman untuk membangun pilihan politik dari perspektif penderitaan.

Di bidang karya sastra, banyak ditulis karya yang mengusik ingatan (Gegen das

Vergessen) tentang masa silam bangsa Jerman yang kelam, terutama tentang rezim Nazi,

Perang Dunia II, serta pengaruh dan akibatnya hingga sekarang (Elisabeth Korah-Go dan

Hesdanina Damly, 2003). Karya-karya pemenang nobel sastra 1999 Guenter Grass

seperti Im Krebsgang dan Die Blechtrommel, misalnya, membahas penderitaan fisik dan

luka batin bangsa Jerman yang diakibatkan oleh Perang Dunia II. Karya-karya sastra

jenis memoria passionis ini, seperti dikatakan Johann B. Metz, turut menghadang era

amnesia budaya (the age of cultural amnesia). Lebih dari itu, sastra secara aktif ikut

meneriakkan the future of never again. Bangsa Jerman mengenang dan belajar dari

sejarah untuk tidak mengulanginya lagi.


2

Inspirasi “memoria passionis” memberi sumbangan bagi kita untuk

merefleksikan perjalanan sejarah Indonesia yang telah pula ternoda oleh berbagai konflik

dan penderitaan, seperti Tragedi 1965, Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, kasus

Trisakti, Kerusuhan Ambon dan Poso, dan lain-lain. Berbagai peristiwa itu meninggalkan

ingatan tragis yang menorehkan sisi-sisi gelap dalam sejarah bangsa Indonesia.

Di antara berbagai penderitaan itu, Tragedi 1965 memiliki dampak yang begitu

gigantik. Yang dimaksud dengan Tragedi 1965 adalah trilogi: peristiwa G30S, pasca

G30S, dan pembuangan ke Pulau Buru. Efek tragedi itu adalah torehan trauma kolektif

yang terus-menerus dialami oleh bangsa ini, serta prasangka-prasangka yang terus

diwariskan secara turun-temurun. Kita menyaksikan korban-korban Tragedi 1965 yang

terus menghadapi stigmatisasi, diskriminasi, amnesia massal akibat versi tunggal sejarah

yang terus menerus diawetkan hingga kini

Alex Hinton (2000) mengatakan bahwa Tragedi 1965 itu sudah hampir punah dari

memori kolektif bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Asvi Warman Adam (2004)

memberikan penjelasan yang jitu, bahwa peristiwa ini nyaris tidak pernah disebut dalam

buku pelajaran sejarah di sekolah semasa Orde Baru. Selama berkuasanya rezim Orde

Baru, tragedi 1965 merupakan sebuah topik yang tabu untuk dibicarakan. Diskusi tentang

Peristiwa G30 S dianggap sebagai sebuah sikap subversif dan pembicaranya dapat

dipenjara.

Satu-satunya lembaga yang memberi ruang bagi diskusi tentang tragedi 1965

adalah sastra. Jika tema tragedi 1965 dalam sastra Indonesia dikaji ulang secara

komprehensif, kita akan menemukan karya-karya memoria passionis yang sangat

menyentuh dan menggugah perasaan. Peristiwa sejarah tragedi 1965 dan pembantaian
3

komunis di Indonesia yang berlumuran darah itu telah menggugah nurani sastrawan

Indonesia untuk menyuarakan perasaan dan pikirannya.

Majalah Horison dan Sastra terbit antara periode tahun 1966 – 1970 memuat 11

buah cerpen yang secara eksplisit membicarakan Tragedi 1965. Cerpen-cerpen tersebut

adalah (1) 1966. "Pada Titik Kulminasi" Satyagraha Hoerip (1966) (2) "Perempuan dan

Anak-anaknya" Poyk, Gerson (1966); (3) "Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka

Bumi" Zulidahlan (1967), (4) "Sebuah Perjoangan Kecil" Nugroho Sosiawan (1967), (5)

"Perang dan Kemanusiaan" Usamah (1969), (6) "Musim Gugur Kembali di Connecticut"

Umar Kayam (1969), (6) "Bawuk" Umar Kayam (1970), (7) "Malam Kelabu" Martin

Aleida (1970), (8) "Bintang Maut" Kipanjikusmin (1967), (9) "Domba Kain"

Kipanjikusmin (1968), (10) "Ancaman" Ugati, H.G. (1969), (11) “Maut” Mohammad

Sjoekoer (1969).

Patut dicatat bahwa dalam periode 1966-1970 ini, atmosfer, aura, dan pelabelan

PKI sebagai "jahat, bengis, dan pengkhianat” dihembuskan dan diindoktrinasi secara

nasional. Sekalipun berada dalam suasana yang sangat represif, sastrawan tetap menjadi

pihak yang menyuarakan nilai-nilai manusiawi yang luhur. Di sana-sini mereka

menggunakan idiom-idiom Orde Baru yang 'menyalahkan' para 'pengkhianat' itu, namun

mereka semua sesungguhnya tidak mampu mengkhianati hati nuraninya, jujur dengan

kemelut hatinya dalam memandang penderitaan dan pembantaian umat manusia di

sekelilingnya.

Dalam tahun 1980-an muncul lima buah novel penting yang berlatar Tragedi

1965, yakni: Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (1980), Kubah karya Ahmad

Tohari (1980), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982), Nyali karya Putu
4

Wijaya (1983), dan Anak Tanahair, Secercah Kisah karya Ajib Rosidi (1985). Kehadiran

karya-karya sastra „tinggi‟ yang mempersoalkan Tragedi 1965 ini mendorong pemerintah

mensponsori produksi dan distribusi sebuah film „dokumenter-sejarah‟ berjudul

Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film yang ditulis oleh Arifin C. Noer ini bertujuan

menguatkan pandangan ortodoks tentang Kudeta 1965, bahwa PKI-lah dalang G30S, dan

bahwa Gerwani melakukan pesta orgi sebelum membantai enam jenderal di Lubang

Buaya. Pada tahun 1986, Pengkhianatan G30S/PKI memasuki dunia sastra Indonesia

dalam bentuk novel yang diadaptasi dari film dan tulis oleh Arswendo Atmowiloto.

Dalam suasana dan konteks jaman yang cenderung represif di bawah

pemerintahan otoriter Orde Baru, sastra Indonesia secara signifikan keluar dari wacana

dominan dan membentuk wacana alternatif. Karya-karya tersebut di atas, baik cerpen

maupun novel merupakan karya „memoria passionis.‟ Karya-karya itu memberikan

gugatan terhadap sejarah versi Orde Baru yang menghalalkan pembantaian terhadap

orang-orang yang diduga komunis tanpa pengadilan. Sesungguhnya sangat banyak orang

yang tidak patut menerima perlakuan keji itu.

Sastra Indonesia tidak sekedar memiliki kepedulian terhadap Tragedi 1965

melainkan lebih dari itu, sastra Indonesia dapat disebut sebagai penjaga hati nurani

bangsa. Ketika wacana dominan menghalalkan pembantaian anak bangsa yang terkait

organisasi politik PKI beserta anak, cucu, dan sanak saudaranya, hampir semua karya

sastra Indonesia menyanyikan koor Lamentasi Tragedi 1965. Mereka memandang

korban-korban pembantaian itu dengan rasa simpati yang sangat tinggi. Tidak jarang

karya-karya itu mengurai air mata pembacanya. Karya-karya itu menggugah memori

kolektif kita sebagai bangsa untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mengingatkan
5

kita bahwa sesama manusia, apapun latar belakang politik, ideologi, agama, ras, dan

golongan merupakan rekan seperjalanan (fellow traveler) kita menuju ke haribaan-Nya.

Sastra Indonesia memiliki karya-karya memoria passionis yang ikut meneriakkan the

future of never again. (Yoseph Yapi Taum, Dosen Sastra Indonesia Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

You might also like