Professional Documents
Culture Documents
Fahrenholz dalam artikelnya “Nein to War – Why Germans Oppose A Strike On Iraq”
Jerman itu adalah memoria passionis atau ingatan penderitaan bangsa Jerman sendiri
dalam Perang Dunia II. Menurut Geiko, sampai sekarang hampir semua keluarga di
Jerman masih menyimpan ingatan penderitaan akan PD II. Kanselir Gerhard Schoder
sendiri kehilangan ayahnya dalam PD II. Belum lagi Peristiwa Auschwitz yang dikenang
dunia sebagai simbol kegilaan genosida NAZI dan spiral kekerasan yang menodai
perjalanan sejarah bangsa Jerman. Ingatan penderitaan itu membentuk komitmen bangsa
Di bidang karya sastra, banyak ditulis karya yang mengusik ingatan (Gegen das
Vergessen) tentang masa silam bangsa Jerman yang kelam, terutama tentang rezim Nazi,
Perang Dunia II, serta pengaruh dan akibatnya hingga sekarang (Elisabeth Korah-Go dan
Hesdanina Damly, 2003). Karya-karya pemenang nobel sastra 1999 Guenter Grass
seperti Im Krebsgang dan Die Blechtrommel, misalnya, membahas penderitaan fisik dan
luka batin bangsa Jerman yang diakibatkan oleh Perang Dunia II. Karya-karya sastra
jenis memoria passionis ini, seperti dikatakan Johann B. Metz, turut menghadang era
amnesia budaya (the age of cultural amnesia). Lebih dari itu, sastra secara aktif ikut
meneriakkan the future of never again. Bangsa Jerman mengenang dan belajar dari
merefleksikan perjalanan sejarah Indonesia yang telah pula ternoda oleh berbagai konflik
dan penderitaan, seperti Tragedi 1965, Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, kasus
Trisakti, Kerusuhan Ambon dan Poso, dan lain-lain. Berbagai peristiwa itu meninggalkan
ingatan tragis yang menorehkan sisi-sisi gelap dalam sejarah bangsa Indonesia.
Di antara berbagai penderitaan itu, Tragedi 1965 memiliki dampak yang begitu
gigantik. Yang dimaksud dengan Tragedi 1965 adalah trilogi: peristiwa G30S, pasca
G30S, dan pembuangan ke Pulau Buru. Efek tragedi itu adalah torehan trauma kolektif
yang terus-menerus dialami oleh bangsa ini, serta prasangka-prasangka yang terus
terus menghadapi stigmatisasi, diskriminasi, amnesia massal akibat versi tunggal sejarah
Alex Hinton (2000) mengatakan bahwa Tragedi 1965 itu sudah hampir punah dari
memori kolektif bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Asvi Warman Adam (2004)
memberikan penjelasan yang jitu, bahwa peristiwa ini nyaris tidak pernah disebut dalam
buku pelajaran sejarah di sekolah semasa Orde Baru. Selama berkuasanya rezim Orde
Baru, tragedi 1965 merupakan sebuah topik yang tabu untuk dibicarakan. Diskusi tentang
Peristiwa G30 S dianggap sebagai sebuah sikap subversif dan pembicaranya dapat
dipenjara.
Satu-satunya lembaga yang memberi ruang bagi diskusi tentang tragedi 1965
adalah sastra. Jika tema tragedi 1965 dalam sastra Indonesia dikaji ulang secara
menyentuh dan menggugah perasaan. Peristiwa sejarah tragedi 1965 dan pembantaian
3
komunis di Indonesia yang berlumuran darah itu telah menggugah nurani sastrawan
Majalah Horison dan Sastra terbit antara periode tahun 1966 – 1970 memuat 11
buah cerpen yang secara eksplisit membicarakan Tragedi 1965. Cerpen-cerpen tersebut
adalah (1) 1966. "Pada Titik Kulminasi" Satyagraha Hoerip (1966) (2) "Perempuan dan
Anak-anaknya" Poyk, Gerson (1966); (3) "Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka
Bumi" Zulidahlan (1967), (4) "Sebuah Perjoangan Kecil" Nugroho Sosiawan (1967), (5)
"Perang dan Kemanusiaan" Usamah (1969), (6) "Musim Gugur Kembali di Connecticut"
Umar Kayam (1969), (6) "Bawuk" Umar Kayam (1970), (7) "Malam Kelabu" Martin
Aleida (1970), (8) "Bintang Maut" Kipanjikusmin (1967), (9) "Domba Kain"
Kipanjikusmin (1968), (10) "Ancaman" Ugati, H.G. (1969), (11) “Maut” Mohammad
Sjoekoer (1969).
Patut dicatat bahwa dalam periode 1966-1970 ini, atmosfer, aura, dan pelabelan
PKI sebagai "jahat, bengis, dan pengkhianat” dihembuskan dan diindoktrinasi secara
nasional. Sekalipun berada dalam suasana yang sangat represif, sastrawan tetap menjadi
menggunakan idiom-idiom Orde Baru yang 'menyalahkan' para 'pengkhianat' itu, namun
mereka semua sesungguhnya tidak mampu mengkhianati hati nuraninya, jujur dengan
sekelilingnya.
Dalam tahun 1980-an muncul lima buah novel penting yang berlatar Tragedi
1965, yakni: Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (1980), Kubah karya Ahmad
Tohari (1980), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982), Nyali karya Putu
4
Wijaya (1983), dan Anak Tanahair, Secercah Kisah karya Ajib Rosidi (1985). Kehadiran
karya-karya sastra „tinggi‟ yang mempersoalkan Tragedi 1965 ini mendorong pemerintah
Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film yang ditulis oleh Arifin C. Noer ini bertujuan
menguatkan pandangan ortodoks tentang Kudeta 1965, bahwa PKI-lah dalang G30S, dan
bahwa Gerwani melakukan pesta orgi sebelum membantai enam jenderal di Lubang
Buaya. Pada tahun 1986, Pengkhianatan G30S/PKI memasuki dunia sastra Indonesia
dalam bentuk novel yang diadaptasi dari film dan tulis oleh Arswendo Atmowiloto.
pemerintahan otoriter Orde Baru, sastra Indonesia secara signifikan keluar dari wacana
dominan dan membentuk wacana alternatif. Karya-karya tersebut di atas, baik cerpen
gugatan terhadap sejarah versi Orde Baru yang menghalalkan pembantaian terhadap
orang-orang yang diduga komunis tanpa pengadilan. Sesungguhnya sangat banyak orang
melainkan lebih dari itu, sastra Indonesia dapat disebut sebagai penjaga hati nurani
bangsa. Ketika wacana dominan menghalalkan pembantaian anak bangsa yang terkait
organisasi politik PKI beserta anak, cucu, dan sanak saudaranya, hampir semua karya
korban-korban pembantaian itu dengan rasa simpati yang sangat tinggi. Tidak jarang
karya-karya itu mengurai air mata pembacanya. Karya-karya itu menggugah memori
kolektif kita sebagai bangsa untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mengingatkan
5
kita bahwa sesama manusia, apapun latar belakang politik, ideologi, agama, ras, dan
Sastra Indonesia memiliki karya-karya memoria passionis yang ikut meneriakkan the
future of never again. (Yoseph Yapi Taum, Dosen Sastra Indonesia Fakultas Sastra