You are on page 1of 9

1

‫الرحيم‬
ّ ‫الرمحن‬
ّ ‫بسم اهلل‬
PEMBELAAN TERHADAP SHAHABAT YANG MULIA
TSA’LABAH BIN HATHIB 

Tulisan ini dibuat untuk menyingkap hakikat kisah yang mengungkapkan kemunafiqan
shahabat yang mulia Tsa’labah bin Hathib .
Ada beberapa hal yang mendorong saya menulis tentang masalah ini, antara lain :
1. Kisah (cerita) ini sangat terkenal dan banyak disebutkan dalam buku-buku tafsir, dan sangat sedikit dari
kalangan ahli tafsir yang menerangkan tentang kemungkaran dan ketidakbenaran kisah tersebut.
2. Banyaknya para da’i dan muballigh yang mengangkat kisah ini dan menceritakannya kepada manusia
dalam mencontohkan seorang yang bakhil dan lupa kepada Allah  karena hartanya.
3. Kisah ini memasukkan seorang shahabat yang mengikuti Perang Badar kepada golongan para munafiq
yang mati dalam kekafiran.
Karenanya sesudah beristikharah kepada Allah Jallat Qudratuhu segera saya mengumpulkan
jalan-jalan / jalur-jalur cerita tersebut dari buku-buku tafsir dan biografi-biografi shahabat, lalu saya
menjelaskan cacat-cacat kisah ini secara riwayah dan dirayah, kemudian saya akhiri dengan
menyebutkan pendapat ulama-ulama besar hadits sebagai penguat tentang kemungkaran dan kebatilan
kisah ini dan wajib menolaknya bahkan haram menceritakannya kepada manusia. Tulisan ini saya
namakan “Asy Syihab Ats Tsaqib Fii Adz Dzabbi an Ash Shahabi Al Salil Tsa’labah bin Hathib ”.
Jika saya benar maka itu taufiq dari Allah  dan saya bertawakkal serta kembali kepada-Nya,
dan jika saya …..dan ada kekurangan maka itu dari saya sendiri dan dari Syetan. Mudah-mudahan
Allah  memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjuk kepadaku aibku dan menampakkan
kepadaku kesalahan-kesalahanku dan membimbingku dengan cara yang terbaik dan benar.
Dan saya berterima kasih kepada Syaikh saya Al Muhaddits Abu Abdirrahman Muhammad
Nashiruddin Al Albani ‫ رمحه اهلل‬yang telah membaca tulisan ini, dan saya mengambil manfaat dari
pandangan-pandangan dan saran-saran beliau yang sangat berharga, Jazaahullahu Khairan.
Saya berdo’a kepada Allah  yang tiada ada Tuhan selain Dia, dan tiada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Dia, untuk menjadikan tulisan ini ikhlas mengharapkan wajah-Nya yang mulia,
dan Dia menerima tulisan ini dengan baik sebagai wujud menolong Ad Dien-Nya dan menyimpan
bagiku pahala di hari pertemuan dengan-Nya yang tidak bermanfaat pada hari itu harta dan anak-anak,
kecuali yang menjumpai Allah  dengan hati yang selamat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Kisah ini disebutkan oleh Ahli Tafsir sebagai sababun nuzul Firman Allah  :

RIWAYAT-RIWAYAT CERITA INI DAN CACAT-CACATNYA


Inilah beberapa riwayat kisah ini yang saya dapatkan dan saya akan menyebutkan sesudahnya
cacat-cacat dari riwayat-riwayat tersebut. Sepanjang penelitian saya kisah ini mempunyai 3 riwayat :
Pertama : Dari Abu Umamah Al Bahili berkata : “Tsa’labah bin Hathib Al Anshari datang
kepada Rasulullah  lalu berkata : “Wahai Rasulullah berdo’alah kepada Allah agar Dia
menganugrahkan kepadaku harta”, maka dia bersabda : “Celakalah engkau wahai Tsa’labah !, sedikit
yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup (untuk
mensyukurinya)”. Kemudian Tsa’labah datang lagi setelah itu dan berkata :”Wahai Rasulullah
berdo’alah kepada Allah agar Dia menganugrahkan kepadaku harta, Nabi  berkata : “Bukankah saya
adalah contoh/ suri tauladan yang baik untukmu, Demi Zat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya aku
ingin gunung-gunung mengalirkan emas dan perak, niscaya akan mengalir untukku”. Kemudian
Tsa’labah mendatangi Nabi  setelah itu seraya berkata : “Wahai Rasulullah berdo’alah kepada Allah
agar Dia menganugrahkan kepadaku harta, Demi yang mengutusmu dengan kebenaran jika Allah
menganugrahkan kepadaku harta pasti saya akan memberikan kepada setiap yang berhak haknya”.
Maka Rasulullah  berdo’a : “Ya Allah, anugrahkan kepada Tsa’labah harta (2x)”. (Abu Umamah)
berkata : maka Tsa’labah mulai beternak kambing lalu berkembang biak sebagaimana cacing jika
berkembang biak. Dan adalah Tsa’labah pada mulanya shalat beserta Rasulullah  Zhuhur dan Ashar
dan shalat di penggembalaannya …..shalat. Kemudian kambingnya bertambah banyak dan terus
berkembang biak hingga Tsa’labah tidak menghadiri shalat berjama’ah kecuali pada hari Jum’at, lalu
terus banyak dan berkembang biak hingga tidak menghadiri lagi shalat Jum’at. Dan pada hari Jum’at dia
keluar untuk menemui manusia menanyakan tentang khabar-khabar. Lalu pada suatu hari Rasulullah 
menyebut Tsa’labah dan bertanya : “Apa yang telah dilakukan oleh Tsa’labah”, Shahabat menjawab :
“Wahai Rasulullah, Tsa’labah telah beternak kambing yang banyak hingga tidak mencukupi satu buah
lembah”. Maka Rasulullah  berkata : “Wahai sungguh celaka Tsa’labah (2x)”. Dan Allah  …..ayat
tentang perintah berzakat. Lalu Rasulullah mengutus seseorang dari Bani ….dan seseorang dari Bani
…..sambil menulis…….pengambilannya seraya bersabda : “Mampirilah Tsa’labah bin Hathib dan
seorang dari Bani Sulaim dan ambillah zakat keduanya”.
Dan berkata di biografi Ali bin Yazid (2 : 110) : “Haditsnya sangat munkar …….dan dalam
segala keadaan riwayatnya harus dijauhi karena telah nampak bagi kita dari di atas dan dibawahnya
celaan (Jahr), dan kita memohon kepada Allah  dengan nikmat-Nya menutup aib dengan baik”.
2

Dan adapun yang dibawahnya adalah : Mu’an bin Rifa’ah As Salamy, dia dianggap tsiqah oleh
Ibnul Madini, dan Al Jauzjani berkata : Dia bukan hujjah. Dan Yahya bin Ma’ni menganggapnya
lembek dan disetujui oleh ‘Uqaily di Adh Dhu’afaa Al Kabir (4 : 256).
Adz Dzahabi berkata di kitabnya Al Mizan (4 : 134) : Dan dia mempunyai hadits namun tidak
mutqin (kuat) dan disetujui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di At Tahdzib (10 : 22). Ibnu Hibban berkata di
kitabnya Al Majruhin (3 : 36) : Haditsnya munkar, banyak meriwayatkan hadits-hadits mursal, dan
mengambil hadits dari perawi-perawi yang tidak dikenal (majahil), haditsnya tidak sama dengan hadits
perawi-perawi yang kuat. Ketika kutanyakan riwayatnya banyak yang diingkari oleh hati, maka pantas
untuk tidak berhujjah dengannya.
Kedua : Dari Ibnu Abbas  : Firman Allah  :
Dan ayat itu menyebutkan bahwa seorang dari kalangan Anshor yang bernama Tsa’labah bin Hathib
mendatangi sebuah majlis lalu dia bersaksi dihadapan peserta majlis tersebut : “Sungguh jika Allah 
memberikan kepadaku dari keutamaan-Nya maka saya akan memberikan dari harta tersebut setiap yang
berhak haknya, dan saya akan bersedekah dan menghubungi karib kerabat. Lalu Allah  mengujinya,
maka dianugrahkan kepadanya harta, lalu dia menyelisihi janjinya kepada Allah  sehingga membuat
Allah murka, lalu Allah  menceritakan kisahnya dalam Al Quran :
Saya berkata : Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir di Jami’ Al Bayan (10 : 130) dari jalur
Muhammad bin Sa’ad berkata : Bapakku berkata kepadaku : Pamanku berkata kepadaku : Bapakku
berkata kepadaku : Dari bapaknya dari Ibnu Abbas. Saya berkata : Isnad ini jatuh sekali ………….
Ketiga : Dari Hasan : ….
Dan adalah yang berjanji kepada Allah  dari mereka adalah Tsa’labah bin Hathib dan Ma’tab bin
Qusyair, keduanya dari Bani Amr bin Auf.
Saya berkata : Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir (10 : 132) dari jalur Ibnu Humaid berkata : Salamah telah
menceritakan kepada kami dari Ibnu Ishaq dari ‘Amru bin ‘Ubaid dari Hasan. Saya berkata : Isnad ini
sangat lemah, mempunyai beberapa cacat :
1. Mursal, karena Hasan adalah Al Bashri dan beliau seorang tabi’i.
2. ‘Amru bin ‘Ubaid Abu Utsman Al Bashri Al Mu’tazili Al Halik, Ibnu M…. berkata : Haditsnya
tidak ditulis. Imam Nasaai berkata : Matruk (ditinggalkan), dia tidak terpercaya, haditsnya tidak ditulis.
Kata Ayub dan Yunus : Dia telah berdusta. Humaid berkata : Dia telah berdusta atas Hasan. Berkata Al
Fallas : ‘Amru matruk (ditinggalkan), ahli bid’ah. Abu Hatim berkata : haditsnya ditinggalkan. Ibnu
Hibban berkata dalam kitabnya Al Majruhin (2 : 92) : Adalah ‘Amru bin ‘Ubaid da’i kepada I’tizal,
mencaci shahabat Rasulullah  dan berdusta atas hadits dikarenakan kekeliruannya bukan karena
bersengaja.
Dan telah nampak bagi yang mempunyai 2 mata bahwa riwayat-riwayat kisah ini kesemuanya
cacat antara matruk (ditinggalkan) dan dhoif jiddan (sangat lemah) atau tertuduh berdusta yang mana
riwayat-riwayat tersebut menambah lemahnya kisah. Ibnush Sholah berkata di Muqaddimahnya (Hal.
5) : “Mungkin ….. yang paham berkata : Kami mendapatkan hadits-hadits yang dihukumi lemah
padahal diriwayatkan dengan sanad yang banyak dari sejumlah wajah, apakah tidak kalian jadikan
hadits-hadits tersebut atau yang semacamnya termasuk hadits hasan, karena sanadnya yang banyak
saling menguatkan sebagaimana yang kalian katakan pada definisi hadits hasan sebagaimana yang
tersebut terdahulu. Dan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa tidak seluruh kelemahan yang
pada sebuah hadits hilang ketika hadits tersebut datang dari berbagai jalan, namun hal tersebut (dho’if)
bertingkat-tingkat, ada yang bisa hilang, ada pula yang tidak mungkin. Diantara dho’if yang tidak
mungkin dihilangkan adalah dho’if yang sangat dan penguat ini tidak mampu menghilangkan
kelemahannya atau menguatkannya. Hal tersebut ketika dho’if itu lahir karena seorang rawinya tertuduh
berdusta atau haditsnya syadz (ganjil). Dan hal-hal ini bisa diketahui ketika kita terjun ke bidang ini dan
menelitinya. Hal ini hendaknya diketahui karena merupakan sesuatu (pengetahuan) yang sangat
berharga dan langka.

Penjelasan Tentang Kebathilan Kisah Ini Dari Segi Matannya


Sesungguhnya yang menguatkan kerusakan dan kebathilan kisah ini adalah pertentangan dan
kemungkaran yang ada pada matannya. Berikut ini penjelasannya.
Pertama : Matan hadits ini tidak sesuai dengan ayat-ayat yang (dihubungkan) dengan kisah
tersebut. Ayat-ayat tersebut menunjukkan secara jelas bahwa yang berjanji kepada Allah  adalah
seorang munafik yang diketahui kemunafikannya, hal ini jelas bagi orang yang mentadabbur arah dari
ayat-ayat tersebut …..
QS. 9 : 73 - 77
Ibnu Jarir berkata (10 / 12) ketika menafsirkan ayat-ayat tersebut : “Allah Ta’ala berfirman :
“Dan diantara orang-orang munafik yang telah Aku sebutkan kepadamu sifat (kemunafikannya) ada
yang berjanji kepada Allah …..”
Dan kisah ini menguatkan bahwa Tsa’labah adalah seorang yang senantiasa menjaga shalat 5
waktu ketika dikumandangkan adzan atasnya, hingga para tukang cerita dan masyarakat awam
mensifatkannya sebagai burung-burung kecil masjid. Dan hal ini tanpa diragukan lagi merupakan salah
satu sifat orang-orang yang beriman dan tidak termasuk sifat-sifat orang munafik yang sebagaimana
Allah  firmankan :
3

QS. 4 : 142
QS. 9 : 54
Oleh itu kisah ini menguatkan bahwa Tsa’labah adalah seorang mu’min hanya saja telah diuji
oleh harta. Imam Al Qurthubi berkata dalam Al Jami’ Ali Ahkam Lil Al Quran (8 / 21) setelah beliau
menukil perkataan-perkataan Adh Dhahhak : “Sesungguhnya ayat ini turun pada laki-laki dari kalangan
munafikin Nabtal bin Harits, Jad bin Qais, Mu’tab bin Qusyair , saya (Al Qurthubi) berkata : “Dan hal
ini sangat pantas bahwa ayat tersebut turun pada mereka, namun firman-Nya : ((……. )) menunjukkan
bahwa orang yang berjanji kepada Allah  pada awalnya bukanlah seorang munafiq, kecuali kalau ayat
tersebut bermakna : “Allah menambahkan kemunafikan pada mereka dan menetapkannya hingga
kematian, yaitu sebagaimana firman-Nya : “Hingga hari mereka bertemu dengan Allah ”, sebagaimana
yang akan datang penyebutannya.
Saya berkata : (Tafsiran) yang benar adalah apa yang beliau sebutkan terakhir karena Allah 
menutupnya dengan kemunafikan yang tidak taubat dari hal ini yaitu …… dari asal kemunafikannya.
Dan dalil akan hal tersebut adalah orang yang berjanji kepada Allah  mati dalam kemunafikan
(( ……….)), dan hal ini menunjukkan bahwa orang yang berjanji kepada Allah  itu adalah munafik dan
inilah yang dirajihkan oleh Al Qurthubi (8 / 212) dengan pernyataannya : “Dan ini merupakan dalil
bahwa orang tersebut mati dalam kemunafikan oleh karena sangat jauh (kemungkinan) turunnya ayat ini
pada Tsa’labah ….”.
Kedua : Dan ayat-ayat tersebut menunjukkan secara jelas bahwa Allah  telah mencap hati
orang munafiq ini sehingga pintu taubat sudah tertutup dan dia mendapatkan su’ul khatimah, hal ini
berarti bahwa belum terpikirkan olehnya taubat. Ibnu Jarir berkata (1 / 30) : “Allah telah mencap
kemunafikan pada hati-hati mereka disebabkan kebakhilan mereka terhadap hak Allah …hingga pada
hari mereka menemui-Nya……dan Allah menghalangi taubat mereka dan karena Allah yang Maha
Terpuji telah mensyaratkan kemunafikan hingga hari mereka berjumpa dengan Allah yaitu hari
kematian mereka ketika mereka keluar dari dunia ini ”.
Dan kisah ini menunjukkan bahwa Tsa’labah ketika mengetahui apa yang Allah  turunkan
segera kembali, bertaubat dan teringat. Dan hal ini tidak diragukan lagi merupakan bukti bahwa dia
termasuk orang yang beriman dan apa yang menimpanya itu hanyalah godaan syaitan, karena begitu
diperingati segera mengambil manfaat, dan peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman,
sebagaimana firman-Nya :

Ketiga : Kisah ini kontradiktif, karena menyebutkan bahwa setelah Tsa’labah tidak menghadiri
shalat Jum’at dan shalat-shalat jama’ah hanya Rasulullah  bertanya suatu pertanyaan yang
mengisyaratkan ketidaktahuan beliau mengenai keadaan Tsa’labah : ”Apa yang telah dilakukan oleh
Tsa’labah”. Maka para shahabat mengkhabarkan kepada beliau tentang hal itu, kemudian kisah ini
mengkhabarkan pula bahwa Nabi  telah mengkhabarkan kepada dua orang laki-laki yang beliau utus
untuk mengumpulkan zakat-zakat tentang apa yang dilakukan oleh Tsa’labah sebelum kedua orang
tersebut mengkhabarkan, dan hal ini adalah kontradiksi yang sangat menakjubkan karena pada
kesempatan pertama menyebutkan bahwa keadaan Tsa’labah diketahui oleh semua orang, besar, kecil,
buta dan melihat, karena dia tidak hadir lagi ke masjid namun Nabi  tidak mengetahui keadaannya. Dan
dalam kesempatan kedua menyebutkan bahwa tidak ada yang mengetahui keadaan Tsa’labah kecuali
Rasulullah  dan beliau mengkhabarkan suatu yang ghaib sebelum beliau mengetahui. Dan hal yang
seperti ini yang Allah  bersihkan dari Nabi-Nya sebagaimana firman-Nya :

Keempat : Kisah ini bertentangan dengan Al Quran


a. Termasuk bagian pokok dari syariat ini adalah yang telah Allah  tetapkan dalam kitab-Nya dan
lewat lisan Rasulullah  bahwa seorang yang bertaubat walaupun dosanya seluas langit kemudian dia
bertaubat maka niscaya Allah  memberikan taubat kepadanya. Allah  berfirman

Dan para shahabat  telah ijma’ bahwa setiap sesuatu yang orang bermaksiat dengannya adalah
“jahalah” baik disengaja maupun tidak disengaja. Dan setiap dosa yang menimpa seorang maka dia
merupakan “jahalah” yang disebutkan dalam ayat dan tafsiran inilah yang disetujui oleh Imam Ahli
Tafsir Ath Thabari rahimahullah (4 : 203) : “Pendapat yang terkuat tentang tafsiran ayat ini adalah
pendapat yang mengatakan ……perbuatan jelek yang dilakukan secara “jahalah” yang mereka
tidak mengetahui baik mereka sengaja melakukan perbuatan dosa tersebut atau tidak mereka
sengaja”.
Dan setiap orang yang bertaubat sebelum kematian maka sungguh telah bertaubat dengan
segera. Imam Ath Thabari berkata (4 : 205) : “Dan perkataan yang paling benar adalah yang
mengatakan bahwa maksud ayat tersebut kemudian mereka bertaubat sebelum kematian mendatangi
mereka yaitu pada ………yang …….masih memahami perintah dan larangan Allah Tabaraka Wa
Ta’ala sebelum jiwa-jiwa mereka dikuasai …….”.
Aku berkata : Dalil pendapat ini adalah sabda Rasulullah  : “Sesungguhnya Allah Ta’ala menerima
taubat seorang hamba selama jiwanya belum berada di tenggorokan”. Hadits riwayat Ibnu Majah,
Tirmidzi, Ahmad dan selainnya dari Ibnu Umar  dan hadits ini adalah hadits hasan. Dan hadits ini
merupakan penjelasan terhadap firman Allah  :….
4

Ayat ini mengecualikan keadaan ini saja dan bahwasanya taubat tidak diterima dalam keadaan
seperti itu. Dan ini merupakan “dalil khitob” yang menunjukkan bahwa selain keadaan ini taubat
masih diterima yaitu sebelum datangnya kematian.
Dan kisah ini menguatkan bahwa Tsa’labah telah bertaubat …..karenanya dia datang untuk
menyerahkan zakatnya kepada Rasulullah  dan dia sudah menekankan taubatnya tersebut berkali-
kali, lalu dia mendatangi Abu Bakar, Umar dan Utsman  namun kesemuanya tidak mau menerima
taubatnya dan mereka mengkhabarkan bahwa Allah  tidak menerima taubatnya. Dan hal ini
bertentangan dengan nash-nash yang tegas …….yang ada dalam Al Quran ……
b. Jika dikatakan bahwa Tsa’labah itu munafiq, Aku berkata : sampai kepada orang-orang munafiq
maka sungguh Allah telah membukakan bagi mereka pintu bertaubat. Berfirman Zat Yang Maha
…….dan Maha Mengetahui :

Dan berfirman Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang :

Dan berfirman Yang Maha Pemberi Taubat lagi Maha Penyayang :

c. Sungguh Allah  telah mendorong para hamba-Nya untuk bertaubat……dan firman Allah 
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim  ……………….
Dan kisah ini menumbuhkan rasa putus asa terhadap rahmat Allah bagi hati-hati ahli maksiat yang
tidak mengetahui sehingga melakukan beberapa perbuatan dosa. Dan sifat keputus asaan tidak
disenangi oleh Allah  dan tidak pula Rasul-Nya yang telah menyampaikan kabar gembira bahwa
seandainya manusia datang kepada Allah  dengan kesalahan sebesar bumi kemudian dia memohon
ampun kepada Allah  pasti Allah  akan mengampuni mereka dan seandainya mereka tidak
beristighfar niscaya Allah  akan menggantikan mereka dengan manusia yang berbuat kesalahan
lalu beristighfar kemudian Allah  mengampuni mereka.
Rasulullah  bersabda : Allah Ta’ala berfirman : “Wahai anak Adam sesungguhnya kalian
berdoa dan mengharap kepada-Ku, Saya akan mengampuni kalian dari apa yang telah kalian
lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu memenuhi langit
kemudian kamu beristighfar kepada-Ku niscaya Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli.
Wahai anak Adam sesungguhnya jika engkau mendatangi dengan kesalahan seperti bumi kemudian
engkau menemui-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, Aku akan
mendatangi dengan pengampunan sebesar itu pula”. Sabda Rasulullah  : “Demi Zat yang jiwaku
berada ditangan-Nya, seandainya kalian tidak melakukan dosa, Allah akan menghilangkan kalian,
kemudian Dia mendatangkan kaum yang melakukan dosa kemudian memohon ampunan kepada
Allah Ta’ala lalu Dia mengampuni mereka”.
Kelima : Pertentangannya dengan hadits-hadits yang shahih tentang orang yang enggan
mengeluarkan zakat unta dan hewan ternak.
Hadits-hadits shahih secara tegas menyebutkan secara tegas bahwa pemilik unta dan ternak jika
enggan membayar zakat maka diambil darinya secara paksa dan juga diambil setengah hartanya sebagai
hukuman atas perbuatannya. Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari neneknya berkata : Saya telah
mendengar Nabi Allah berkata : “Setiap satu unta …..

Adapun kisah ini menguatkan bahwa Tsa’labah enggan membayar zakat unta dan ternaknya dan
dia mensifatkan hal tersebut sebagai jizyah, dan hal ini tidak menggerakkan Rasulullah  dari diamnya
yaitu Rasulullah  tidak menjalankan hukuman yang wajib untuk ditegakkan dan memudahkan dalam
hal penegakan hukum Allah  atas orang yang tidak mau menunaikan zakat. Demikian pula halnya pada
ketiga Khalifah, bahkan ketika dibawakan pada mereka zakat Tsa’labah mereka menolaknya.
Dan ini merupakan dalil tentang rusaknya kisah ini dari asalnya. Bagaimana tidak karena para
shahabat telah menghunuskan pedang mereka dan mempersiapkan bala tentara perang untuk memerangi
orang yang enggan membayar zakat sesudah wafatnya Rasulullah  ?

Hal 9 – 10 dicatatan: (tidak nyambung)


Maka keduanya mendatangi Tsa’labah lalu meminta zakat sambil keduanya membacakan surat
dari Rasulullah . Tsa’labah menjawab : “Ini tidak lain adalah upeti / pajak, ini tidak lain dari sebangsa
pajak. Pergilah kalian berdua kemudian kembalilah (nanti) kepadaku”. Maka keduanya berangkat dan
As Sulami telah mendengarkan / mengetahui maksud kedua orang itu karena itu dia segera melihat ……
yang terbaik lalu dia pisahkan sebagai zakat kemudian dia menemui keduanya dengan kambing
tersebut. Tatkala keduanya melihat kambing tersebut lalu berkata : “Bukan kambing (yang bagus) ini
wajib atasmu”. Dia berkata : “Ambillah, karena sesungguhnya saya rela mengeluarkannya”. Lalu
keduanya menemui manusia (yang lain) untuk mengambil sedekah mereka, kemudian keduanya
kembali menemui Tsa’labah. Tsa’labah berkata : “Perlihatkan kepadaku surat tersebut, lalu dia
membaca kemudian berkata : Ini tidak lain adalah upeti, ini tidak lain adalah sebangsa pajak, pulanglah
hingga saya mengambil keputusan”. Maka keduanya pulang dan ketika Rasulullah  melihat kedua
shahabat tadi sebelum keduanya menginformasikan kepadanya, Nabi  berkata : “Wahai celaka
5

Tsa’labah”, kemudian beliau mendo’akan kebaikan bagi As Sulami, dan kedua shahabat tadi
menceritakan kepadanya apa yang telah dilakukan oleh Tsa’labah, maka Allah  menurunkan firman-
Nya ……

Dan di sisi Rasulullah  seorang dari keluarga Tsa’labah yang mendengar ayat tersebut maka segera dia
keluar untuk menemuinya lalu berkata kepadanya “Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Allah  telah
menurunkan atasmu ayat !. Maka Tsa’labah bergegas menemui Nabi  dan memohon kepadanya untuk
menerima zakatnya. Namun beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala melarangku
untuk menetima zakatmu”. Maka mulailah dia menghamburkan pasir ke kepalanya (sebagai tanda
penyesalan), Rasulullah  bersabda : “Inilah perbuatanmu, aku telah memerintahkanmu namun kamu
tidak taat !”. Maka ketika Rasulullah  enggan mengambil zakatnya, dia pulang ke rumahnya, dan
hingg wafatnya Rasulullah  beliau tidak mengambil sedikitpun zakat darinya.
Kemudian Tsa’labah mendatangi Abu Bakar  yang menjawab khalifah setelah wafatnya Nabi 
seraya berkata : “Kamu telah mengetahui kedudukanku di sisi Rasulullah  dan kaum Anshar, maka
terimalah zakatku”, Abu Bakar  berkata : “Rasulullah  tidak menerima darimu, pantaskah aku
menerimanya ?. Maka Abu Bakar  pun tidak menerimanya hingga beliau wafat.
Ketika Umar  mengambil alih kekhalifahan, Tsa’labah menemuinya seraya berkata : ”Wahai
Amirul Mu’minin terimalah zakatku”, maka Umar  berkata : “Rasulullah  dan Abu Bakar  tidak
menerimanya, lalu saya menerimanya ?, maka beliaupun tidak menerimanya hingga wafatnya.
Kemudian Utsman  mengambil alih kekhalifahan, maka Tsa’labah menemuinya memohon agar
zakatnya diterima. Lalu Utsman  berkata : “Rasulullah  , Abu Bakar, dan Umar tidak menerimanya,
lalu aku menerimanya ?. Dan Tsa’labah meninggal dunia di zaman kekhalifahan Utsman .
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di Jami’ul Bayan (10 : 130) dan Ibnu …..di ….Ghabah (1
: 282 - 285), Ibnu Abdil Bar dalam Al Isti’…(1 : 201), Ibnu Hazm di Al Muhalla (11 : 208), Ath
Thabary di Al Mu’jam Al Kabir, Al Baihaqi di Ad Dalail, As Suyuthi di Al Jami’ Ash Shogir
menisbatkan kepada Al Baghawi, Al Bawardi, Ibnu Qari’, Ibnu As Sakan, Ibnu Syakir, Syaukani dalam
Fathul Qadhir (2 : 385) menisbatkan kepada Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Abu Asy Syaikh, Al
Askari dalam Al Antsal, Abu Nu’aim, Ibnu Marduyah ; kesemuanya meriwayatkan dari jalur Mu’an bin
Rifa’ah dari Ali bin Yazid dan Al Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al Bahili.
Saya berkata : Isnad hadits ini dha’if jiddan ; Ali bin Yazid adalah Abu Abdul Malik Al Alhani,
berkata Bukhari di At Tarikh Al Kabir (6 : 301) : Munkar hadits dan disetujui oleh Al ‘Uqaili di Adh
Dhu’afa Al Kabir (3 : 254), kata An Nasai : Dia tidak Tsiqah (terpercaya) dan berkata di tempat yang
lain : Matruk (ditinggalkan), Abu Zur’ah bertutur : Dia tidak kuat. Berkata Ad Daruquthni , Al Barqi
dan Al Azdi : Matruk. Abu Nu’aim Al Ashbahani berkata : Munkarul Hadits. Al Hafizh Adz Dzahabi
berkata dalam kitabnya Al Mughni (Hal 457) : Mereka (para ulama hadits) mendha’if kannya, dan Ad
Daruquthi meninggalkannya.
Ibnu Abi Hatim berkata di Al Jahr wa At Ta’dil (7 : 9) : Saya telah bertanya kepada bapakku
tentang Ali bin Yazid, lalu dia berkata : Haditsnya lemah, haditsnya munkar.
Dan secara umum, rowi ini termasuk rowi yang sepakat para imam hadits untuk membuang
haditsnya, oleh itu Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di At Tahdzib (7 : 397) : Berkata As Sajii, telah sepakat
ahli ilmu tentang kelemahannya dan telah berlalu perkataan Ibnu Hibban pada biografi : Uba’id bin
Zahr.
Saya berkata : Dari perkataan Ibnu Hibban yang telah disyaratkan oleh Al Hafizh adalah
perkataannya dalam kitab Al Majruhiin (2 : 63) : “… Jika berkumpul di suatu isnad khabar Ubaidullah
bin Zahr dan Ali bin Yazid dan Al Qasim Abu Abddirrahman maka khabar itu hanyalah dari perbuatan
tangan-tangan mereka”.

Hal 11.
Dari Abu Hurairah  berkata : Ketika telah wafat Nabi  lalu digantikan oleh Abu Bakar dan
kafir sebagian dari bangsa Arab, Umar  berkata : “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau memerangi
manusia, padahal Rasulullah  telah bersabda : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka mengatakan Laa Ilaaha Illallah, barang siapa mengatakannya telah terjaga dariku harta dan
jiwanya kecuali karena hak Islam dan perhitungannya oleh Allah”, Abu Bakar  menjawab : “Demi
Allah sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat, karena
sesungguhnya zakat adalah hak harta, Demi Allah jika …….menahanku …………..yang dahulu mereka
tunaikan kepada Rasulullah  sungguh aku akan memerangi mereka karena perbuatan tersebut”. Umar 
berkata : “Maka demi Allah tidaklah aku memandang kecuali bahwa sungguh Allah telah melapangkan
dada Abu Bakar untuk berperang dengan itu aku mengetahui bahwa beliau berada di atas kebenaran”.
Dan hal ini merupakan ijma’ para shahabat, karenanya bagaimana mungkin ketiga khalifah
tersebut tidak mau menerima sedekah dari Tsa’labah bin Hathib ?.
Jika ada yang mengatakan bahwa Tsa’labah adalah salah seorang yang ikut dalam perang Badr
karenanya dimaafkan sebagaimana yang terjadi pada shahabat ……bin Abi Balta’ah yang akan
disebutkan kisahnya sebentar.
Saya berkata : Sesungguhnya tempat pemaafan bagi shahabat yang ikut perang Badr adalah
dalam urusan-urusan yang tidak ada had padanya, lihatlah Miothah bin Utsatsah telah ditegakkan
6

atasnya had ketika beliau menuduh Aisyah dan beliau tidak dimaafkan dari had walaupun beliau
termasuk ahli Badr, dan apa yang telah dilakukan oleh Tsa’labah sebagaimana yang disebutkan dalam
kisah yang dibuat-buat ini adalah berhubungan dengan had, dan sudah disebutkan tadi bahwa Abu
Bakar  menghalalkan darah orang yang enggan membayar zakat.
Keenam : Tsa’labah bin Hathib termasuk kelompok yang beriman yang mengikuti perang
Badr. Al Hafizh mengatakan dalam Al Ishobah (1/ 698) : “Tsa’labah bin Hathib ……..Musa bin ‘Uqbah
dan Ibnu Ishaq menyebutkannya dalam nama-nama shahabat yang ikut perang Badr, demikian pula
disebutkan oleh Ibnu Al Kalbi”. Ibnu Abdil Barr mengatakan dalam Al Isti’ab (1/ 200) : “Dia mengikuti
perang Badr dan Uhud”. Dan Ibnul Atsir bertutur di Usud Al Ghabah (1/ 283) : “Dia telah mengikuti
perang Badr sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad bin Ishaq dan Musa bin ‘Uqbah”.
Dan dalam sebuah hadits shahih Rasulullah  bersabda : “Sungguh aku sangat berharap agar
tidak masuk neraka seseorang – Insya Allah – yang pernah ikut perang Badr dan Hudaibiyah”. Dan
beliau  juga telah mengkhabarkan sebagaimana di hadits Ali bin Abi Thalib  : Rasulullah  telah
mengutusku dan Abu Mirbad masing-masing berkendaraan ………”Berangkatlah sampai kalian
mendatangi Kaudhah Khaleh, karena sesungguhnya padanya seorang perempuan dari kalangan
musyrik yang bersamanya tulisan dari Hathib bin Abi Baltha’ah untuk orang-orang musyrik”, maka
kami segera menyusul perempuan tersebut dan mendapatinya berjalan di atas untanya sebagaimana
yang disampaikan oleh Rasulullah , maka kami berkata : Tulisan !, Perempuan itu berkata : Tidak ada
beserta kami tulisan …… lalu kami mencari tulisan tersebut namun kami tidak mendapatkannya, maka
kami berkata : “Rasulullah  tidak berbohong sungguh hendaknya kamu mengeluarkan tulisan tersebut
atau kami akan menelanjangimu”. Maka ketika perempuan itu melihat bahwa kami sungguh-sungguh
dia tunduk ke tempat tali ikat pinggangnya yang terbuat dari kain lalu mengeluarkan tulisan tersebut.
Maka segera kami menuju Rasulullah  dengan tulisan tersebut, lalu berkata Umar  : “Wahai
Rasulullah  dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mu’minin, biarkanlah aku memenggal
lehernya”, Nabi  bertanya : “Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan tersebut ?”, Hathib berkata
: “Demi Allah, saya tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, saya menginginkan agar saya
mempunyai kekuatan ditengah kaum tersebut yang dengannya Allah menolak (bencana) dari keluarga
dan harta. Dan seluruh shahabat mempunyai keluarga disana yang bisa Allah mencegah dengannya
(bencana) dari keluarga dan hartanya”. Maka Nabi  bersabda : “Dia telah benar, dan jangan
mengatakan kepadanya kecuali yang baik”. Umar menyela : “Sungguh dia telah khianat kepada Allah
dan kaum mu’minin, izinkanlah aku memenggal lehernya”, lalu Nabi  bersabda : “Bukankah dia
termasuk yang ikut perang Badr ?”, kemudian beliau menyambung : “Sungguh Allah telah mengetahui
keadaan ahli Badr, lalu Dia berfirman : “Lakukanlah apa yang kalian inginkan sungguh telah tetap
bagimu syurga atau telah Aku ampunkan untuk kalian”, maka kedua mata Umar  berlinangan
(mendengar sabda Rasulullah  tersebut) sambil berkata : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
Dan aku mengatakan kepada mereka yang senantiasa menyebutkan kisah Tsa’labah tanpa
menyadari akan maknanya yang keliru, bukankah Tsa’labah termasuk ahli Badr maka siapa yang
mempunyai keutamaan seperti ini, mungkinkah Allah menutupnya dengan kemunafikan di hari kiamat
lalu dia pasti masuk syurga.
Al Qurthubi menyatakan (8/ 212) : “Dikatakan bahwa makna : Hingga hari mereka berjumpa
dengan-Nya yaitu berjumpa dengan Allah dan ini merupakan dalil bahwa dia mati dalam keadaan
munafiq dan hal ini sangat jauh kalau diturunkan pada Tsa’labah atau Hathib karena Nabi  telah
berkata kepada Umar : “Tahukah kamu bahwa sesungguhnya Allah telah mengetahui keadaan ahli
Badr lalu berfirman : Kerjakanlah apa yang kalian inginkan karena sesungguhnya telah Aku ampunkan
atas kalian”. Tsa’labah dan Hathib keduanya termasuk yang mengikuti perang Badr.
Keenam : Ibnu Al Kalbi mengatakan : “……dan dia terbunuh dalam perang Uhud”. Jika apa
yang dikatakan oleh Ibnu Kalbi ini benar maka ini membatalkan apa yang disebutkan dalam kisah
bahwa Tsa’labah bin Hathib meninggal di masa pemerintahan Utsman . Hal ini saya sebutkan hanyalah
untuk membantah Al Hafizh Ibnu Hajar ‫ رمحه اهلل‬yang dikitabnya Ishabah (1/ 198) berpendapat bahwa ada
orang lain selain Tsa’labah bin Hathib Al Badri yaitu Tsa’labah bin Abi Hathib, dan saya mencela
perbedaan antara keduanya lewat perkataan Ibnu Kalbi yang menyatakan bahwa Tsa’labah yang ikut
perang Badr telah syahid di perang Uhud, dan yang menguatkan hal tersebut bahwa Ibnu Marduwaih
meriwayatkan dalam tafsirnya lewat jalan ‘Athiyah dari Ibnu Abbas pada ayat tersebut : Bahwa seorang
laki-laki yang disebut Tsa’labah bin Abi Hathib dari kalangan Anshar datang kepada majlis ……….lalu
berkata : “Jika Allah memberikan kepadaku dari keutamaan-Nya …….lalu dia menyebutkan kisah
tersebut secara panjang kemudian berkata : “Orang ini adalah Tsa’labah bin Abi Hathib adapun yang
ikut perang Badr maka telah sepakat ulama kita bahwa namanya Tsa’labah bin Hathib ………maka
zhohirnya bahwa dia bukan yang disebutkan dalam kisah”.
a. Tidak boleh kita mengambil secara pasti apa yang dikatakan Ibnu Kalbi dan kalaupun shahih
maka itu hanyalah membatalkan kisah dan menjelaslkan kerusakannya dan tidak menunjukkan bahwa
ada pribadi lain yang bernama Tsa’labah. Dan pendapat yang benar adalah apa yang disebutkan oleh
Ibnu Atsir )285 /1( ‫ رمحه اهلل‬ketika mengomentari perkataan Ibnu Kalbi : “Kalau orang ini adalah apa yang
tersebut dalam biografi ini maka entah Ibnu Kalbi telah keliru atau kisahnya tidak benar atau ada orang
yang lain namun yang disebutkan dalam kisah ini adalah dia tidak ada keraguan padanya …..”
7

Beliau telah menafikan kemungkinan adanya orang lain, maka kemungkinan yang ada yaitu entah
Ibnu Kalbi keliru dan anda telah mengetahui keadaannya atau kisah ini yang tidak benar dari
asalnya dan kemungkinan inilah yang benar.
b. Adapun riwayat ‘Athiyah dari Ibnu Abbas yang digunakan oleh Al Hafizh untuk mengarahkan
kisah tersebut maka riwayat ini jatuh, kita tidak bahagia dengannya sebagaimana yang telah kita
jelaskan keadaannya pada riwayat yang kedua maka tidak boleh kita berhujjah dengannya. Al Hafizh
dalam Al Fath (3/ 266) telah menegaskan untuk menolak berhujjah dengan kisah Tsa’labah namun
mengapa dia berhujjah dengannya, disini dia berkata : “Dan sebagian ulama menguatkan apa yang
dipilih oleh Ibnu Atsir sebagaimana yang disebutkan pada kisah Tsa’labah bin Hathib dan Jizyah karena
sesungguhnya Jizyah barulah diwajibkan pada tahun 9 H, karenanya zakat juga baru diwajibkan pada
tahun 9 H akan tetapi haditsnya dha’if tidak boleh berhujjah dengannya”.
Jikalau Al Hafizh tidak membolehkan berhujjah tentang wajibnya zakat di tahun 9 H dengan kisah
Tsa’labah namun mengapa dia berhujjah dengan kisah tersebut untuk menetapkan adanya tokoh
fiktif yang tidak ada asalnya dalam kisah.
Dan yang mengherankan lagi bahwa Al Hafizh ‫ رمحه اهلل‬berusaha menggabungkan antara kisah dengan
keadaan Tsa’labah bin Hathib sebagai ahli Badr sehingga dia membuat tokoh yang lain untuk
menisbatkan kisah tersebut kepadanya padahal dialah yang mengatakan bahwa kisah tersebut tidak
benar dari asalnya di tiga kitab beliau sebagaimana yang akan disebutkan – Insya Allah -. Namun
demikianlah :
Setiap kuda tentu akan tergelincir,
dan setiap ‘alim akan keliru.
Cukuplah bagi kita keterangan dari para ulama bahwa kisah tersebut adalah Tsa’labah bin Hathib Al
Badri tidak yang lainnya.
Ibnu Atsir berkata (1/ 283) di biografi Tsa’labah bin Hathib : “Dia yang meminta kepada Nabi 
agar dido’akan kepada Allah untuk direzkikan harta”, dan dia berkata diakhir biografinya :
“…….atau mungkin kisah ini bukan dia, namun dia tidak ada keraguan padanya”. Dan berkata Ibnu
Abdil Barr di biografi Tsa’labah (1/ 200 – 201) : “Tsa’labah bin Hathib ………..dan dia adalah
yang enggan membayar zakat ……….dan padanya turun ayat : ……………

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KISAH


Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam – semoga Allah mengajarkan kepada kami dan kepadamu
– bahwa kini saya akan menyebutkan padamu beberapa pendapat Ulama yang mempunyai beberapa
faidah dan penegasan yang dengannya Insya Allah menambah keyakinan akan kebathilan dan
kemungkaran kisah ini.
Dan saya telah mengurutkan perkataan mereka sesuai dengan wafatnya :
1. Ibnu Hazm rahimahullah (Wafat tahun 456 H).
Beliau mengatakan di kitabnya Al Muhalla (11/ 207 – 208) : “Bahwasanya telah kami
meriwayatkan sebuah atsar yang tidak shahih yang dikatakan turun kepada Tsa’labah bin Hathib,
dan atsar itu bathil, karena Tsa’labah adalah seorang yang dikenal mengikuti perang Badr”,
kemudian beliau menyebutkan hadits tersebut dengan sanadnya dari jalur Mu’an bin Rifa’ah dari
Ali bin Yazid dari Qasim bin Abdirrahman dari Abu Umamah dan dia berkata : “Ini adalah bathil
tidak ada keraguan karena Allah menyuruh untuk mengumpulkan zakat-zakat harta kaum muslimin
dan Nabi  memerintahkan ketika wafatnya agar tidak tinggal 2 agama di Jazirah Arab, maka tidak
terlepas dari Tsa’labah adalah seorang muslim sehingga wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk
mengambil zakatnya dan ini suatu keharusan dan tidak ada kelapangan atas itu, dan jika ia seorang
kafir maka wajib untuk tidak tinggal di Jazirah Arab maka jatuhlah atsar ini tanpa ragu-ragu. Dan
diriwayatnya ada Mu’an bi Rifa’ah, Qasim bin Abdirrahman dan Ali bin Yazid yaitu Ibnu Abdul
Malik dan kesemuanya rawi-rawi yang lemah”.
2. Al Baihaqi rahimahullah (Wafat tahun 458 H)
Al Munawi mengatakan di Faidhul Qadir (4/ 527) : Al Baihaqi berkata : “Isnad hadits memerlukan
penelitian dan hadits masyhur dikalangan ahli tafsir”.
3. Ibnul Atsir Al Jazari rahimahullah (Wafat tahun 630 H)
Beliau merajihkan di kitabnya Usdub Ghabah (1/ 285) bahwa kisahnya tidak shahih : “…….atau
kisah ini tidak shahih, atau dia bukan dalam kisah ini namun dia tidak diragukan lagi”.
4. Al Qurthubi rahimahullah (Wafat tahun 671 H)
Beliau berkata di Al Jami’ Liahkamil Quran (8/ 210) : “Dan Tsa’labah adalah seorang yang ikut
perang Badr dari kalangan Anshar termasuk yang disaksikan oleh Allah  dan Rasul-Nya tentang
keimanannya sesuai yang akan datang penyebutannya di surat Al Muntahanah, maka apa
yangdiriwayat tentangnya tidaklah shahih”.
Abu Umar berkata : “Kemungkinan perkataan yang ……..bahwa Tsa’labah adalah orang yang
enggan membayar zakat yang turun atasnya ayat tidaklah shohih”.
5. Adz Dzahabi rahimahullah (Wafat tahun 748 H)
Beliau mengatakan di Tajrid Asmaai Ash Shohabah (1/ 66) : “Tsa’labah bin Hathib bin ‘Amr Al
Anshari Al Ausi Badri berkata : “Wahai Rasulullah  mintalah kepada Allah agar direzkikan
kepadaku harta, lalu dia menyebut hadits yang panjang yang sangat munkar”.
8

6. Al Hafizh Al ‘Iraqi (Wafat tahun 806 H)


Beliau berkata di Al Mughni ‘An Hamli Al Asfar Fii Al Asfar Fii Takhrij Maa Fii Al Ihyaa Minal
Akhbaar (3/ 338) : “Sanad hadits ini dha’if”.
7. Al Hafizh Al Haitsami (Wafat tahun 807 H)
Beliau menuturkan di Majma’ Az Zawaid (7/ 32) : “Diriwayatkan oleh Thabrani, dan dalamnya
terdapat Ali bin Yazid Al Alhani dan dia itu Matruk (ditinggalkan)”. Dan Matruk tidak boleh
dijadikan hujjah sebagaimana yang diterangkan oleh Al Haitsami (1/ 152) pada sebuah hadits yang
disanadnya ada Ubaidullah bin Zahr dan Ali bin Yazid : “Keduanya lemah tidak halal berhujjah
dengan keduanya”.
8. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (Wafat tahun 852 H)
Beliau berkata di Al Ishobah (1/ 198) setelah menulis kisah tersebut : “Dan keberadaan tokoh kisah
ini jika benar khabar dan saya tidak menyangka dia benar dan dia adalah seorang yang ikut perang
Badr yang telah disebutkan selanjutnya memerlukan penelitian
Dan beliau mengatakan di Al Fath (3/ 226) : “…..akan tetapi hadits dho’if , tidak (boleh)
dijadikan hujjah”
Dan beliau berkata di Takhrij Al Kasysyaf (4/ 77) sesudah beliau menyebutkan yang
meriwayatkannya : “Kesemuanya dari jalur Ali bin Yazid Al Alhani dari Qosim bin Abdirrahman
dari …….Abi Umamah, dan isnad hadits ini dha’if jiddan”.
9. As Suyuthi rahimahullah (Wafat tahun 911 H)
Beliau mengatakan di Lubabin Nuqul Fii Asbabin Nuzul (Hal 121) : “Firman Allah Ta’ala :

Diriwayatkan oleh Thabrani, Ibnu Marduwaih, Ibnu Abi Hatim dan Baihaqi di Ad Dalail dengan
sanad yang lemah dari Abi Umamah bahwa Tsa’labah bin Hathib ………………..
Jika dikatakan bahwa Suyuthi memberi tanda shohih kepada hadits itu di Al Jami’ Ash Shogir (4/
526 – Faidhul Qadir)
Saya mengatakan : Tanda yang disebutkan tidak boleh dipercayai dan berpegang padanya dan telah
ditahqiq hal ini oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah di Muqaddimah “Shohih Al Jami’ Ash
Shogir” maka hendaknya dilihat.
Dan saya menambah lagi ………bahwa Suyuthi telah memberi tanda dho’if kepada beberapa
hadits shahih contohnya beliau telah memberi tanda dho’if pada sabda Nabi  (1/ 438 – Faidhul
Qadir) : “Jika seorang manusia meninggal dunia putuslah seluruh amalannya kecuali yang tiga
…….”. Saya berkata : Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari di Al Adab Al Mufrad,
Abu Dawud, An Nasaai, Ath Thahawi di Musykil Al Atsar, Al Baihaqi, Ahmad dan Ibnu Abdil
Barr.
Dan telah terpedaya sebagian doktor di bukunya : “ Yasalunaka Fid Dien wal Hayat” (3/411)
dengan tanda tersebut sehingga dia melemahkan hadits tersebut dengan perkataannya :
“Diriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda ………hadits ini telah disebutkan oleh Imam Suyuthi
di bukunya Al Jami’ Ash Shogir dan meletakkan tanda yang menunjukkan bahwa hadits ini dho’if
dan makna dari hadits ini kalau shahih ………..”.
Dan menurut saya sangat jauh kemungkinan tanda ini diletakkan oleh Suyuthi yang telah
menyebutkan di awal kitab “Jam’ul Jawani” yang merupakan asal “Al Jami’ Ash Shogir” bahwa dia
menjalani jalan yang dengannya diketahui keshahihan hadits, hasan dan kelemahannya dan ……..
jika dia menisbatkan ke Bukhari dan Muslim atau Ibnu Hibban, Hakim, Adh Dhiyaa di Al
Mukhtaroh maka seluruh dikelima buku ini shahih maka boleh jadi ini diletakkan oleh para nasikh
sehingga haditsnya terbalik menjadi dho’if padahal dia adalah shahih tidak ada keraguan padanya.
Dan Suyuthi rahimahullah telah berjalan pada kitab tersebut atas kaidah yang dikenal para ahli
hadits : “Kumpulkan kemudian periksa”. Maka dia telah mengumpulkan kemudian tiba atasnya ajal
sebelum sempat dia memeriksa dan meneliti kebenarannya dan seandainya sempat baginya tentu
tidak akan terjadi apa yang telah terjadi atasnya. Dan contoh yang terbalik atas apa yang telah kami
katakan adalah kisah Tsa’labah yang sekarang tengah kami ketengahkan karena beliau sudah
menandai sebagai shahih namun setelah dicek nampak bahwa sanadnya dho’if.
10. Abdul Rauf Al Munawi rahimahullah (Wafat tahun 1031 H)
Beliau mengisyaratkan di Faidhul Qadir (4/ 527) tentang kelemahannya. Dia telah menukil
perkataan Baihaqi dan Ibnu Hajar tanpa mengomentarinya. Al Baihaqi mengatakan : “Isnad hadits
ini memerlukan penelitian dan dia masyhur di kalangan ahli tafsir”. Dan Al Hafizh telah
mengisyaratkan tidak shahih hadits ini di Al Ishobah karena dia telah menyebutkan ……di biografi
Tsa’labah kemudian beliau berkata : “Keberadaan bahwa tokoh kisah ini adalah Al Badr
memerlukan penelitian jika khabarnya benar, namun saya tidak menyangka haditsnya benar”.
11. Syaikh kami Muhammad Nashiruddin Al Albani (kontemporer) rahimahullah
Beliau berkata di Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (4081) setelah menyebutkan kisah dengan
riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari. “Isnad ini sangat lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar di Takhrij Al Kasysyaf (4/ 77 / 133) dan ‘illatnya adalah Ali bin Yazid Al Alhani, Al
Haitsami berkata di Al Majma’ (7/ 31- 32) : “Diriwayatkan oleh Thabrani dan disanadnya ada Ali
bin Yazid Al Alhani dan dia seorang yang matruk (ditinggalkan)”.
9

Dan Mu’an bin Rifa’ah ……hadits (haditsnya lembek) sebagaimana tersebut di Tagrib. Dan
berkata Al Hafizh Al ‘Iraqi di Takhrij Ihya (3/ 135) : Isnadnya lemah. Dan beliau berkata di Dho’if
Al Jami’ Ash Shogir (4/ 25) : Dho’if Jiddan.
12. Asy Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (kontemporer) berkata di kitabnya : At Ta’liqaat Al
Hafilah ‘Alaa Al Ajwibah AL Fadhilah (Hal 107) : “ Al Hafizh Ibnu Katsir – baginya rahmat dan
keridhaan Allah – telah berjalan dengan jalan yang baik dalam tafsirnya dimana beliau menjelaskan
cacat-cacat hadits dan tidak mencukupkan dengan penyebutan isnad saja karena berpegang pada
pengetahuan tentang rawi-rawi dan …….serta karena beliau mengetahui bahwa Ilmu Rijal telah
redup bintangnya pada zaman beliau dan sebelumnya apatah lagi pada masa-masa sesudahnya !.
Namun demikian beliau sedikit menyimpang dari manhaj beliau pada beberapa hadits dimana beliau
menyebutkan sanadnya tanpa menjelaskan ‘illatnya dan kemungkarannya. Diantara contoh hal ini
apa yang beliau sebutkan pada tafsir Surat At Taubah (2/ 374) pada Firman Allah  :
…………………………
Dimana beliau menyebutkan kisah Tsa’labah bin Hathib Al Anshary dan keengganannya membayar
zakat ketika Allah  menjadikannya seorang yang kaya. Beliau menyebutkan sanad kisah tersebut
dari riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim tanpa mengkritik sanad sebagaimana biasanya –
rahimahullah Ta’ala – dan kisah ini adalah kisah yang rusak dan sakit. Dalam sanadnya terdapat
seorang yang bernama Mu’an bin Rifa’ah dan dia seorang yang haditsnya lembek sering
meriwayatkan hadits mursal, umumnya hadits yang dia riwayatkan tidak memiliki mutabi’. Berkata
Imam Bukhari tentang orang ini : “Munkarul hadits” artinya tidak halal riwayat darinya,
sebagaimana penafsiran makna kalimat tersebut dari Imam Bukhari sendiri sebagaimana dikutip
dalam Mizanul I’tidal oleh Imam Dzahaby (1/ 5) dan dalam Ar Raf’u wa At Takmil oleh Al
Laknawi (Hal 97). Oleh karena itulah Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya “ Takhrij
Ahadits Al Kasysyaf” (Hal 77) sesudah khabar tentang Tsa’labah : “Isnad kisah ini dho’if jiddan
(sangat lemah)”. Dan mungkin kita bisa mengatakan : Sebaik-baik tafsir yang menyebut isnad yang
ada sekarang ini adalah tafsir Ibnu Katsir, namun sebagaimana yang dikatakan dalam perumpamaan
: “…………….”
Saya berkata : Saya mempunyai beberapa komentar terhadap perkataan Abu Ghuddah :
1. Mencacatkan kisah Tsa’labah hanya dengan Mu’an bin Rifa’ah mempunyai kekurangan yang
nampak bagi peneliti hadits yang sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya hama/ penyakit kisah
ini adalah Ali bin Yazid Al Alhani yang tidak bermanfaat baginya Mutaba’at dan Syawahid yang
banyak bahkan menambah bagi haditsnya kemungkaran dan ditinggalkan, sebagaimana yang sudah
saya terangkan pada jalan pertama dari kisah ini. Yang mana hal ini sebaliknya pada Mu’an bin
Rifa’ah.
2. Kerusakan dan kemungkaran kisah ini tidaklah luput bagi Ibnu Katsir karena beliau
menyebutkannya dengan sanad Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid ……..
Dan ini merupakan ‘illat yang sangat jelas bagi para ahli hadits Nabi . Dalam hal ini Ibnu Katsir
menjalani manhaj Ahli Hadits yang menetapkan bahwa siapa menyebutkan isnadnya berarti telah
…………………..dan siapa yang sudah menyebutkan sanadnya berarti telah lepas dari peraturan
karena dia telah menyebutkan wasilah untuk mengenali derajat hadits.
Adapun yang berkenaan dengan manhaj beliau (Ibnu Katsir) dalam mentakhrij hadits-hadits pada
tafsirnya maka sungguh beliau tidak konsisten sebagaimana yang disebutkan oleh Asy Syaikh
Abdul Fattah dan beliau memiliki dua metode dalam menyebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh selain Bukhari dan Muslim, yaitu :
a. Beliau menyebutkan hadits dengan isnad yang dikeluarkan oleh para Mushannif.
b. Beliau menyebutkan hadits dengan menyebutkan para Mushannif yang mengeluarkannya tanpa
menyebutkan sanadnya.
Dan beliau dalam kedua metode ini kadang menerangkan derajat haditsnya dan kadang beliau diam
sebagaimana yang beliau lakukan pada kisah Tsa’labah bin Hathib  .

You might also like