You are on page 1of 8

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : JEFRY FEBRIYAN SIREGAR

Tempat Tanggal Lahir : PONTIANAK, 26 FEBRUARI 1992

NIM lengkap : 2010/301770/TK/37145/W

Jurusan / Fakultas : TEKNIK INDUSTRI / TEKNIK

No. HP : 085252425909

Email : J_REGAR17@YAHOO.CO.ID

Alamat Rumah : JL. KARYA KOMPLEK KARYA INDAH 1 NOMOR A33

PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

Alamat Kost : JL. KALIURANG KM.5 POGUNG BARU GG. PRABU


BRAHWIJAYA BLOK D NO. 32B

PENDIDIKAN BUKAN KOMODITAS


“Tak susah melukiskan sekolah kami. Karena mungkin sekolah kami adalah salah
satu dari ribuan sekolah miskin seantero Indonesia. Kami kekurangan guru dan sebagian
besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Tak punya seragam dan
bahkan tak punya P3K. Sekolah kami tak pernah dikunjungi pejabat manapun dan bisa
dibilang tak layak pakai”. Ini adalah sepenggalan bagian dari novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata. Antusiasme, optimisme, daya belajar, dan cita-cita hidup untuk berbagi
menjadi pesan moral yang kuat dalam buku ini. Buku ini diangkat dari kisah nyata
perjuangan 10 anak di SD Muhammadiyah Gantong di Belitung.
(Hirata, Andrea ; Laskar Pelangi, 2005)
Namun bukan perjuangan gigih mereka yang harus kita perhatikan di sini. Kisah
ini merupakan sebuah kisah nyata yang merepresentasikan satu dari begitu banyaknya
jumlah sekolah-sekolah tak layak pakai di negara yang kita cintai ini, di negara yang begitu
lantang dan bangganya menyatakan bahwa 1 dari 5 bagian APBN negara didedikasikan ke
dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sungguh ironis
ketika hal itu terus dikumandangkan sementara di lain waktu dunia pendidikan terus
digerogoti oleh paham komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia mulai
dilirik para petinggi-petinggi negara sebagai ladang ternak yang bisa diperah habis-
habisan. Rakyat kecil yang punya mimpi untuk maju dengan pendidikan dianggap sebagai
binatang ternak yang siap diperah hingga kering.

Kastanisasi Pendidikan
Meminjam pernyataan Ernest Renan, filsuf Perancis abad ke-19, yang menyatakan
bahwa pendidikan menciptakan pengetahuan bersama yang menjadi dasar seluruh tindakan
bernegara sehingga kesatuan bangsa dapat diwujudkan berdasar prinsip kesetaraan untuk
mencapai kemajuan bersama. Namun prinsip kesetaraan yang menjadi cita-cita pendidikan
di Indonesia ini telah menguap. 65 tahun kemerdekaan Indonesia masih belum dapat
mengubah sejarah di mana hanya orang-orang yang mempunyai uang yang dapat
menikmati pendidikan yang pantas. Jika pada jaman kolonial dulu kita mengingat
pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi, di jaman sekarangpun pendidikan
hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya cukup uang. Hal ini diperparah ketika
pendidikan terus digerogoti oleh paham komersialisasi. Pemerintah mungkin sudah merasa
tidak mampu untuk mengurus pendidikan hingga hampir semua sektor pendidikan mulai
diserahkan ke pihak swasta untuk dikelola. Dan jika ini belum terdengar buruk, bahkan
sekolah-sekolah negeri sudah mulai terorientasi untuk mendapat untung sebesar-besarnya –
dan ini tidak terkecuali Perguruan Tinggi Negeri.
Contoh paling nyata saat ini adalah tren Sekolah Berstandar Internasioanl atau
SBI. Mungkin SBI atau Sekolah Berstandar Internasional terdengar keren di telinga
masyarakat awam. Namun pada faktanya sekolah-sekolah SBI ini mendapat porsi anggaran
lebih banyak daripada sekolah-sekolah nasional yang notabene lebih membutuhkan biaya
untuk perbaikan infrastrukturnya. Pemerintah berdalih dengan menginternasionalisasikan
sekolah-sekolah di Indonesia akan membuat pelajar Indonesia siap untuk berhadapan
dengan dunia internasional. Dan untuk mencapai itu semua tentu saja membutuhkan biaya
pembangunan fasilitas serta pengajar dengan tingkat internasional pula. Ini belum
diperparah dengan kemungkinan adanya perbedaan kasta antara murid-murid di SBI dan
murid di sekolah bertaraf nasional di lingkungan masyarakat nantinya.
Terlebih dengan isu mengenai kastanisasi pendidikan dengan membagi 2 dunia
pendidikan, yaitu jalur formal mandiri (baca : orang-orang kaya) dan jalur formal standar
(baca : orang-orang tidak mampu). Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur
formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu agar dapat
menuntut ilmu pada jalur ini. Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada
lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur
formal mandiri. Mungkin tak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali kelemahan dari sistem
ini. Perlu dipertanyakan apakah mengkotak-kotakkan pendidikan menurut tingkat finansial
individu adalah hal yang bijak sementara pemerintah dengan lantang mengumandangkan
kesetaraan pendidikan untuk seluruh anak bangsa. Jadi di mana letak pendidikan pro rakyat
ketika semua fakta mengerucut kepada fakta bahwa pendidikan di Indonesia – sama seperti
jaman kolonial – diperuntukkan spesial untuk kalangan berada?

Komersialisasi Pendidikan
Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 4 disebutkan bahwa “pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa “ dan
pasal 5 juga menyebutkan, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu “, dan juga diperkuat lagi dengan pasal 11, bahwa
“pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa
dikriminasi”.

Segala tata hukum yang indah ini langsung sirna jika kita melihat langsung apa
yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Fakta menyatakan semakin banyak siswa yang
mengalami putus sekolah karena tidak dapat memenuhi administrasi sekolah karena
kurangnya biaya. Sebagai contoh, sebanyak 12.490 anak di Kota Lubuklinggau, Sumatera
Selatan, hingga akhir September 2010 tercatat mengalami putus sekolah. Mereka terdiri
atas peserta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 7.673 anak meliputi usia 0 – 6
tahun. Selanjutnya tingkat SD/MI sebanyak 1.665 anak dengan usia 7-15 tahun. Sedangkan
tingkat SMP sebanyak 1.371 anak dan untuk tingkat SMA/SMK sebanyak 981 anak,
ditambah angka buta aksara sebanyak 800 orang. Anak-anak ini mengalami putus sekolah
karena faktor ekonomi, di mana untuk angka putus sekolah pada tingkat SD/MI
kebanyakan berhenti di kelas 4,5 dan 6.

Namun komitmen pemerintah mengenai pendidikan yang mencerdaskan seluruh


bangsa perlu dipertanyakan. Terlebih ketika pemerintah saat ini seperti melepaskan
tanggungjawabnya dan menyerahkannya kepada pihak swasta yang notabene punya skala
prioritas untuk mencari untung sebesar-besarnya.

Ini terbukti dengan kebijakan otonomi kampus yang mengarahkan Perguruan


Tinggi Negeri (PTN) berubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara (PT BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akan berakibat pupusnya
mitos masyarakat bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan tempat pendidikan
bermutu tinggi dan berbiaya murah serta terjangkau kantong mahasiswa dari seluruh
lapisan masyarakat.

Seiring dengan status baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai Perguruan
Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP)
ada indikasi-indikasi kuat bakal tumbuh suburnya kapitalisme di Perguruan Tinggi Negeri
(PTN), sebagaimana yang sudah lama terjadi di sejumlah PTN di Indonesia, seperti ITB,
UI, IPB, USU, UPI, dan bahkan UGM yang dikenal sebagai Kampus Kerakyatan.
Sehingga muncul komentar bahwa fenomena penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia sebagai suatu “industri” pendidikan tinggi yang berusaha untuk memproleh
profit sebanyak-banyaknya, sehingga kapitalisme mendapat tempat untuk tumbuh dan
berakar kuat di lembaga pendidikan tinggi kita dengan modus klasik “KOMERSIALISASI
PENDIDIKAN”.

Dengan kenyataan seperti ini, maka siswa-siswi yang akan menghadapi Ujian
Akhir akan kembali diperhadapkan kepada masalah yang akan menentukan masa depan
hidupnya, yaitu mendapatkan Perguruan Tinggi yang berkualitas namun punya harga yang
masuk akal bagi mereka. Namun kapitalisme Perguruan Tinggi tentu saja akan menjadi
masalah utama bagi mereka. Maka tidak heran jika presentase siswa SMA atau
sederajatnya yang masuk ke Perguruan Tinggi turun sangat jauh bahkan hanya mencapai
3% dari jumlah seharusnya.

Akibat dari tumbuh dan mengakarnya kapitalisme, PTN dan PTS akan selalu
menyambut dengan baik para calon mahasiswa yang punya “modal” untuk berani masuk
ke Perguruan Tinggi. Telah terjadi pergeseran skala prioritas untuk masuk ke Perguruan
Tinggi dari segi kualitas atau kemampuan anak yang seharusnya menjadi prioritas utama
menjadi faktor finansial sebagai faktor terutama. Dengan kata lain sejenius apapun seorang
murid jika tidak mempunyai kemampuan finansial yang mencukupi, maka ia tidak akan
pernah mendapat kesempatan merasakan perkuliahan. Walaupun ada sejumlah beasiswa
yang katanya dapat membantu orang-orang tidak mampu tapi ternyata jumlahnya sama
sekali tidak sebanding dengan kebutuhan perkuliahan. Sehingga itu semua hanya terlihat
sebagai usaha para kapitalis dan pemerintah agar terlihat peduli. Tetapi sebaliknya, asal
seorang murid punya uang yang banyak, perguruan tinggi manapun siap menampungnya
baik dengan dalih jalur swadana atau bahkan lewat jalur belakang yang ilegal.

Fenomena ini mulai menjadi virus yang merambah ke perguruan-perguruan tinggi


di Indonesia. Komitmen para petinggi yang seharusnya memperjuangkan pendidikan untuk
semua bangsa Indonesia pun mulai meluntur. Apakah stigma bahwa orang-orang kurang
mampu tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik tidak akan pernah berubah?
Diskriminasi yang terus menerus melekat di negara ini belum menghilang setelah 65 tahun
kemerdekaan.
Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran
pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi
yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan
masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP
tanpa banyak protes. Maka para mahasiswa-mahasiswa dengan tingkat finansial akan
semakin tereliminasi dan pada akhirnya perkuliahan hanya bisa dinikmati oleh mereka
yang punya modal. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter
dipaksakan kepada mahasiswa mengingat bahwa kaum kapitalis yang akan menguasai
wilayah kampus. Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh
kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Tidak heran jika ini juga mungkin nantinya
akan berdampak kepada berkurangnya segala aktivitas mahasiswa dan matinya organisasi
di dalam mahasiswa karena arus dana yang akan menyempit dengan sendirinya dari pihak
pengelola kampus. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan,
berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai
pabrik bagi "bahan baku" tenaga kerja yang terampil. Pendidikan saat ini sedang menjadi
produk yang dijual dan hanya orang-orang yang kaya yang bisa mengkonsumsinya.

Apapun alasannya, untuk mengedepankan atau mengutamakan kapitalisme dalam


dunia pendidikan pasti akan melahirkan komersialisasi pendidikan yang pasti akan
berakibat hilangnya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin atau pas-pasan dan
pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya. Ini merupakan salah satu tugas
terbesar kita sebagai mahasiswa. Ketidakadilan ini harus kita rombak habis-habisan.
Kitalah mahasiswa sebagai kaum intelek yang berada digaris terdepan sebagai wakil yang
benar-benar memihak rakyat miskin tak berdaya agar mereka mendapat apa yang
seharusnya telah menjadi hak mereka.

Peran Mahasiswa

Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan


antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana
di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan.
Masyarakat bukan sebuah benda mati yang statik, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan
sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak
jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin
lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki
keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.

Jurang yang memisahkan antara masyarakat yang menderita dengan lembaga-


lembaga elit di pemerintahan yang hidup berhedonis ria semakin hari semakin besar. Peran
wakil rakyat di DPR dan sejenisnya semakin lama semakin tidak bisa diandalkan untuk
mengakomodir teriakan-teriakan minta tolong dari rakyat. Tangan mereka terlalu bersih
untuk terjun langsung ke lapangan dan meraih tangan-tangan yang minta tolong itu
sehingga yang terjadi adalah masyarakat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada
pemerintah khususnya wakil rakyat secara tidak tertulis di dalam pikiran mereka masing-
masing.

Mahasiswa sebagai kaum yang dipandang intelek mempunyai peran sangat vital
saat ini. Mahasiswa dianggap lebih memahami dan lebih mengerti tentang apa yang terjadi
di masyarakat secara jelas karena mahasiswa melakukan interaksi secara langsung dan
intensif dengan masyarakat – dan bahkan lebih dari wakil rakyat sendiri. Perbedaan
motivasi yang ada di kalangan mahasiswa dengan wakil rakyat pun menunjang ini semua
ketika wakil rakyat terus berjuang memperkaya diri agar modal mereka selama kampanye
kembali.

Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi


massa dan gerakan bawah tanahnya. Namun di era ini ada hal yang jauh lebih intelek dan
lebih efektif untuk membawa tongkat estafet suara penderitaan rakyat kepada telinga
pemerintah, yaitu dengan dialog secara langsung kepada elit pemerintahan. Bukan hal yang
baru lagi jika kita melihat banyak program dimana mahasiswa dan para anggota elit
pemerintah dipertemukan dalam diskusi dan dialog; baik itu dalam seminar, dialog, bahkan
debat di media-media seperti radio terutama televisi. Intelektualisme mahasiswa bisa
disalurkan dengan begitu baik jika dibandingkan dengan aksi terjun ke jalan dengan tujuan
yang tidak begitu jelas dan dengan jumlah pendemo yang seadanya. Terlebih jika aksi
radikal disertakan dalam setiap aksi demo yang justru akan mengurangi citra intelektual
mahasiswa di mata masyarakat. Intensitas aksi demo yang terlalu sering pun akan semakin
mengurangi makna itu. Dengan mempertimbangkan itu semua, akan lebih baik jika
demonstrasi dilakukan ketika semua jalan telah ditempuh namun tetap gagal dan
demonstrasi itu dilakukan dengan serentak dan besar-besaran.

Pendidikan yang semakin lama semakin tidak peduli kepada rakyat kecil tidak
bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus
dihidupkan. Kita sebagai mahasiswa sudah seharusnya untuk selalu kritis. Kita tidak boleh
selalu berpangku-tangan dan menikmati apa yang ada tanpa peduli jika ada yang salah.
Kita sendiri sadar bahwa pendidikan jelas bukan komoditas produk yang bisa dijual untuk
mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Esensi dari pendidikan adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk semakin memeras rakyat. Pendidikan tanpa
perlu diragukan adalah jalan menuju cita-cita NKRI terutama untuk mensejahterakan
rakyat. Mari kita perjuangkan apa yang menjadi hak kita sebagai bangsa Indonesia untuk
terus maju menjadi negara yang terdepan. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara adidaya. Kita hanya butuh sedikit waktu lagi untuk mencapainya.

Hidup Mahasiswa Indonesia! Merdeka Indonesia!

You might also like