You are on page 1of 19

ANALISIS SISTEM PENDUGAAN TINGKAT

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE (STUDI KASUS


DI PANTAI TIMUR SURABAYA)
o View
 
o clicks

Posted December 8th, 2009 by ogoy

 Skripsi Lainnya
abstraks: 

Penelitian ini merupakan penelitian tentang kerusakan mangrove di Surabaya dengan judul “Analisis
Sistem Pendugaan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Pantai Timur Surabaya)”.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui faktor penyebab kerusakan mangrove dan
membangun model hubungan tingkat kerusakan mangrove dengan faktor penyebabnya. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2009. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode survey dengan teknik pengambilan sampel cluster random sampling. Penelitian
mengambil 4 lokasi yaitu Kecamatan Gunung Anyar, Kecamatan Rungkut, Kecamatan Sukolilo dan
Kecamatan Mulyorejo. Masing-masing kecamatan diambil tiga titik pengambilan sampel. Analisis data
yang digunakan yaitu secara deskiptif kuantitaf, uji korelasi, pemodelan dan analisis spasial.
Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penyebab utama kerusakan mangrove berdasarkan nilai
korelasi (r) antara kerusakan mengrove dengan faktor lingkungan yaitu BOD dengan nilai r -0,769,
tekstur tanah (persen liat) adalah -0,768, kekeruhan adalah -0,737 dan oksigen terlarut adalah 0,731,
sedangkan faktor anthropogenic yaitu tingkat ekonomi dengan nilai r -0,901, tambak perikanan
adalah 0,481, penebangan untuk kayu bakar adalah -0,451 dan tingkat pendidikan adalah 0,418.
Model estimasi kerusakan mangrove (Y) dengan faktor-faktor tersebut adalah (a) Y (BOD) =
-1.737.940,30 – 17.356,98 x X2+ 698.740,40/ln (X), (b) Y (Tekstur Tanah) = 1.479,1 x exp((-(X-
44,57)2/2 x 11,782)), (c) Y (Kekeruhan) = X- 11,7702 x exp(73,7446 + 0,0121 x X), (d) Y (Oksigen
Terlarut) = 24.014,12 – 62.530,10/ln(X) + 176.744,26/X1,5, (e) Y (Tingkat Ekonomi) = 933,54 +
2,15E-16 x X3 198.562.510.531.277,00/X2, (f) Y (Tambak Perikanan) = 65,30 + 2.115.310.567,67 x
ln(X)/X2 - 13342862045,53/X2, (g) Y (Penebangan) = 987,0251 + 0,0000042186 x X2,5 -
0,0000000591 x X3 (h) Y (Tingkat Pendidikan) = 1243,75– 144.923.015.093,62/X1,5 +
2.973.708.928.637,96 x ln (X)/X2.

Kata kunci : Pantai Timur Surabaya, analisis sistem, kerusakan mangrove, faktor lingkungan
mangrove, model.

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang berada pada kawasan pasang surut, muara
sungai dan di dalamnya terjadi interaksi yang erat antara sekumpulan vegetasi dengan kondisi
lingkungan seperti geomorfologi, iklim, pasang surut dan salinitas yang ditetapkan sebagai habitat.
Kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik sangat berpengaruh terhadap kestabilan dan
keberadaan ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan daerah peralihan antara darat dan
laut, yang banyak dipengaruhi oleh gelombang, topografi pantai dan pasang surut air laut, terutama
salinitas (Pramudji, 2001).
Kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di wilayah pesisir indonesia sangat tinggi. Pada tahun
1993 luas hutan mangrove di Indonesia 3,7 juta hektar, namun pada tahun 2005, hutan mangrove
tersebut tinggal sekitar 1,5 juta hektar (Hidayah, 2007). Kerusakan ekosistem mangrove disebabkan
oleh faktor kondisi alam dan faktor anthropogenik. Faktor kondisi alam umumnya terjadi karena
proses sedimentasi dan pengangkatan permukaan air laut. Faktor antrhopogenik yang menjadi
penyebab kerusakan mangrove diantaranya adalah adanya konversi dan eksploitasi hutan mangrove
yang tidak terkendali serta terjadinya polusi di perairan estuarin, pantai dan lokasi tumbuhnya
mangrove (Kusmana, 1991).
Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan kondisi kerusakan
mangrove yang sangat parah. Potensi luas hutan mangrove yang ada di Pantai Timur Surabaya yang
mencapai 1.180 hektar. Dari luas ekosistem mangrove yang ada di Surabaya, sekitar 40% atau seluas
472 hektar telah mengalami kerusakan. Kerusakan ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya
diperkirakan sudah menelan kerugian sebesar Rp. 16 miliar (Silaban, 2008).
Pengukuran besaran laju degradasi mangrove yang terjadi di Pantai Timur Surabaya perlu dilakukan
khususnya dalam menentukan luas dan laju kerusakan serta penentuan faktor penyebab kerusakan
mangrove. Hal ini perlu dilakukan untuk menyusun kegiatan pengelolaan mangrove lestari dan
menentukan pola rehabilitasi dari ekosistem mangrove tersebut. Tingkat kerusakan mangrove dan
faktor penyebab kerusakan serta laju atau luas kerusakan mangrove di lokasi penelitian dapat
diketahui dengan menggunakan data existing analisis baik secara langsung dengan survei lapangan
maupun melalui analisis GIS. Kegiatan penelitian analisis sistem pendugaan tingkat kerusakan
ekosistem mangrove diharapkan dapat menentukan faktor yang paling dominan sebagai penyebab
kerusakan mangrove. Hal ini dapat dijadikan sebagai analisis ilmiah untuk menentukan langkah dalam
proses merehabilitasi dan merekontruksi wilayah ekosistem mangrove yang rusak.

Perumusan Masalah
Kerusakan mangrove yang ada di wilayah Pantai Timur Surabaya dinilai sangat kritis. Untuk
mengurangi laju dan luas kerusakan mangrove maka diperlukan suatu upaya untuk mengatasi
permasalahan kerusakan tersebut, diantaranya dengan menganalisa penyebab kerusakan, kemudian
pembuatan model pendugaan faktor penyebab utamanya serta membuat langkah-langkah untuk
pemulihan kembali.
Penelitian ini dibangun untuk menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kerusakan mangrove di Pantai Timur Surabaya?
2. Bagaimana tingkat kerusakan mangrove yang terdapat di Pantai Timur Surabaya?
3. Bagaimana model hubungan antara tingkat kerusakan mangrove dengan faktor penyebabnya?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui faktor penyebab utama kerusakan mangrove di Pantai Timur Surabaya.
2. Mengetahui tingakat kerusakan yang terjadi di Pantai Timur Surabaya.
3. Membangun model hubungan antara tingkat kerusakan mangrove dengan faktor penyebabnya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan memberikan informasi tentang :
1. Penentuan faktor dominan penyebab kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini bermanfaat untuk
menganalisis dan menentukan arah kebijakan dalam mengurangi tingkat kerusakan mangrove.
2. Analisis sistem dibangun dengan memperhatikan banyak faktor, sehingga bersifat komperhensif
dan dapat menganalisis tingkat kerusakan dari banyak faktor. Hal ini bermanfaat untuk mencegah
tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang lebih tinggi lagi.
3. Analisis faktor kerusakan ekosistem mangrove dapat dijadikan desain dalam membangun wilayah
pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Mangrove
2.1.1. Pengertian Mangrove
Mangrove dalam bahasa Portugis merupakan salah satu jenis pohon mangrove yang disebut sebagai
mangue dan dalam istilah Inggris disebut grove (belukar, hutan kecil atau rumpun tumbuhan jeruk)
bila disatukan akan menjadi mangrove atau mangrave. Dalam Malay, mangrove disebut sebagai
mangi-mangi atau mangin (Murdiyanto, 2003). Secara umum istilah mangrove telah dimengerti
dengan baik, tetapi istilah tersebut sulit untuk mengidentifikasikannya secara tepat apa yang terdapat
di dalam hutan mangrove. Istilah tersebut ternyata tidak hanya digunakan untuk satu spesies
tumbuhan tetapi oleh beberapa spesies tumbuhan yang ada didalamnya (Saenger and Hutchings,
1978).
Mangrove juga dapat diartikan sebagai sekumpulan tumbuh-tumbuhan Dicotyledoneae dan atau
Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan
taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi
terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (SK. Men. LH No 201 tahun 2004). Mangrove
merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai dan delta di tempat
yang terlindung di daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan
ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan serta pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk ekosistem yang ekstensif dan produktif (Pramudji, 2001).

2.1.2. Habitat mangrove


Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis namun rentan. Kompleks, karena di dalam hutan
mangrove dan perairan atau tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota
perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai
dengan perubahan tempat tumbuh. Rentan, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali
(Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991 dalam Zaitunah, 2002).
Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut.
Habitat mangrove sangat kaya akan mineral sebagai sumber makanan bagi berbagai jenis biota. Pada
saat air pasang, air laut akan membawa mineral-mineral laut ke arah pantai. Dengan struktur
vegetasinya yang khas memungkinkan mineral akan tertahan dan mengendap di atas habitat
mangrove. Sebaliknya pada saat surut, mineral dari hulu yang terbawa hanyut aliran sungai akan
tertahan dan diendapkan (Sudarsiman, 1997).
Sistem yang dimiliki ekosistem mangrove terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Habitat mangrove mempunyai sifat yang sangat
khusus, namun dari tiap jenis tumbuhannya memiliki kisaran ekologi yang berbeda. Setiap tipe
mangrove yang tebentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya seperti adanya pengaruh tanah,
genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi pantai, kondisi sungai dan
aktivitas manusia (Sukardjo, 1984).
Mangrove tidak semuanya dapat tumbuh di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Hal ini karena dalam
proses pertumbuhannya mangrove memerlukan habitat dengan beberapa persyaratan, antara lain
adalah kondisi pantainya yang berasupan air relatif tenang, landai dan terlindungi serta adanya suplai
endapan lumpur dari muara sungai. Walaupun demikian, mangrove juga dapat tumbuh pada sistem
lingkungan yang lain, akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan sangat lamban (Pramudji dan
Suyarso, 2001).
Mangrove tumbuh berbatasan dengan daratan pada jangkauan air pasang tertinggi, sehingga
ekosistem ini merupakan merupakan suatu daerah transisi dan ekosistemnya dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor yang ada di darat maupun di laut (Pramudji, 2002). Beberapa jenis hewan
yang bisa dijumpai di habitat mangrove antara lain dari jenis serangga misalnya semut (Oecophylla
sp.), ngengat (Attacu sp.), kutu (Dysdercus sp.); jenis crustasea seperti lobster lumpur (Thalassina
sp.); jenis laba-laba (Argipe sp., Nephila sp., (Cryptophora sp.); jenis ikan seperti ikan glodok
(Periopthalmodon sp.), ikan sumpit (Toxotes sp.); jenis reptil seperti kadal (Varanus sp.), ular pohon
(Chrysopelea sp.), ular air (Cerberus sp.); jenis mamalia seperti berang-berang (Lutrogale sp.), tupai
(Callosciurus sp.), golongan primata (Nasalis larvatus) dan masih banyak lagi seperti nyamuk, ulat,
lebah madu, kelelawar dan lain-lain (Murdiyanto, 2003).

2.1.3. Adaptasi Mangrove


Ciri khusus habitat mangrove adalah keadaan tanah (lumpur atau pasir), salinitas penggenangan,
pasang surut dan kandungan oksigen tanah. Hal ini menyebabkan mangrove akan beradaptasi melalui
perubahan ciri khusus pada fisiologi, morfologi, fenologi, fisiogami serta komposisi struktur vegetasi.
Mangrove dari segi fisiologi yang menonjol adalah tanaman tersebut dapat tumbuh dan tahan pada
tanah yang mengandung garam dan genangan air laut sehingga dikenal istilah halofit. Mangrove juga
dapat tumbuh dengan baik di air tawar, sehingga tanaman mangrove dikenal dengan halofit fakultatif
(Istomo, 1992).
Pada sisi lain tanaman mangrove harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi
tanah yang berlumpur dan kekurangan oksigen, salah satu pemecahannya adalah dengan morfologi
sistem perakaran yang istimewa dan berfungsi sebagai akar napas (Pneumatofora), serta penunjang
tegaknya pohon. Kondisi lingkungan mangrove sangat terbatas bagi jenis tumbuhan yang ada di
wilayah pesisir. Sehingga relatif hanya sedikit jenis tanaman yang ada dalam formasi ekosistem
mangrove. Sistem perakakaran mangrove yang khas merupakan suatu cara dalam beradaptasi
tehadap lingkungan yang memiliki kondisi tanah anaerob (Sudarsiman, 1997).
Akar tunjang pada Rhizophora sp. berbentuk seperti jangka yang panjang, berfungsi untuk menopang
pohon tersebut dan mungkin untuk mencegah tumbuhnya semai di dekatnya (Hilmi, 2005). Akar
tunjang tumbuh pada bagian yang agak tinggi dari batang pohon dan tumbuh melengkung langsung
menuju ke bawah, tetapi sebelum mencapai tanah biasanya masih bercabang lagi. Jenis akar tunjang
pada Rhizophora sp. Dapat bertahan pada tanah yang bertekstur lembek dan pada kondisi pasang
surut yang besar (Sugianto, 1979).
Akar napas yang berbentuk pasak (muncul tegak dipermukaan tanah) pada jenis Sonneratia sp. dan
Avicennia sp. mempunyai fungsi untuk mencegah kekurangan oksigen karena terbenam di lumpur,
pohon ini mempunyai akar pengisap udara berbentuk pinsil yang mencuat ke permukaan tanah
lumpur. Akar pinsil ini muncul pada interval tertentu dari akarnya yang berada di bawah tanah. Akar
pinsil ini tumbuh mengarah ke atas, beberapa cm di atas permukaan air (Bengen, 2001).
Jenis akar lain yang digunakan oleh mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungannya adalah akar
napas yang berbentuk seperti papan dan lutut yang terdapat pada jenis Bruguiera sp. dan berfungsi
untuk memberi kesempatan bagi oksigen untuk masuk ke dalam sistem perakaran, untuk itu tanaman
ini mempunyai morfologi akar berbentuk seperti gabus yang memiliki rongga-rongga untuk
mengambil oksigen (Anwar et al, 1984 dalam Hilmi, 2005). Jenis mangrove yang mempunyai
perakaran horisontal dengan pneumatofora berbentuk kerucut adalah Xylocarpus sp., sedangkan
Ceriops sp. mempunyai perakaran yang terbuka dan bagian bawah batangnya berlentisel cukup besar.
Jenis mangrove di atas mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan bersama-sama
membentuk formasi mangrove yang khas dan sangat menentukan fungsinya sebagai buffer dan
penagkap nutrisi dari laut dan sungai (Sudarsiman, 1997).
Adaptasi lain yang dilakukan oleh mangrove adalah adaptasi terhadap salinitas. Secara umum
adaptasi mangrove untuk bertahan terhadap salinitas dibagi menjadi tiga yaitu (Murdiyanto, 2003):
1. Beberapa jenis mangrove menghindari banyaknya garam dengan cara menyaring melalui bagian
akarnya (salt-excluders). Rhizophora sp., Ceriops sp., Bruguiera sp. merupakan jenis mangrove yang
dapat menyaring kadar garam air laut hingga mencapai 90%
2. Cara kedua adalah dengan secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pohon
melalui daun. Beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar khusus yang dapat mengeluarkan garam
dari dalam sistem. Contoh jenis mangrove yang termasuk pelepas garam adalah Avicennia sp.,
Sonneratia sp., and Acanthus sp..
3. Cara ketiga adalah menumpuk kelebihan garam pada kulit batang pohon dan daun tua yang akan
terlepas dan jatuh dari pohon tersebut serta mengeluarkan kelebihan garam melalui pori-pori yang
ada pada dasar daunnya. Jenis Avicennia sp., Sonneratia sp., dan Ceriops sp. merupakan jenis
mangrove yang memakai cara tersebut.
Ciri lain yang terdapat dalam mangrove adalah ciri fenologi (pembungaan). Sifat fenologi yang
menonjol dari mangrove adalah vivipar, yaitu tumbuhan yang memiliki biji dan mampu berkecambah
sebelum jatuh ke tanah. Ciri fisiognomi mangrove yaitu mempunyai ciri-ciri yang khas bila
dibandingkan dengan hutan lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi vegetasinya yang relatif seragam
dan adanya kodisi habitat mangrove yang sangat berbeda dengan kondisi hutan di daratan pada
umumnya (Hilmi, 2005).

2.1.4. Vegetasi Mangrove


Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari beberapa jenis yang hidup
bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi
yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme
lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh dengan dinamis. Vegetasi di suatu
tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Vegetasi hutan selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya, salah satu contohnya adalah
vegetasi hutan mangrove (Marsono, 1977 dalam Irwanto, 2007).
Berdasarkan fisiognomi dan tingkat perkembangannya vegetasi mangrove dibagi menjadi 5
(Soekardjo, 1981 dalam Hilmi, 2005) yaitu :
a. Vegetasi Semak (Mangrove Scrub)
Vegetasi ini berasal dari jenis-jenis pionir yang berada di pantai berlumpur atau di tepi laut. Vegetasi
semak mempunyai karakteristik diantaranya adalah tumbuh dengan sangat kuat, mempunyai banyak
cabang, tunas anakan, membentuk rumpun, rimbun dan pendek. Komposisi floranya dikuasai oleh
Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris.

b. Vegetasi Mangrove Muda


Dicirikan oleh vegetasi dengan satu lapis tajuk seragam seperti Rhizophora sp., walaupun terdapat
jenis-jenis pionir lainnya. Munculnya vegetasi ini setelah perkembangan Avicennia sp. dan Sonneratia
sp., setelah itu terjadi percampuran jenis Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. dengan jenis-jenis
mangrove lain seperti Exoecaria agallocha dan Xylocarpus sp.
c. Vegetasi Mangrove Dewasa
Tipe ini dicirikan dengan pohon jenis Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. yang besar dan tinggi, di
bawah tajuk terdapat semai dan juga dijumpai Acrosticum aureum, Acanthus sp. dan Nypa frutican.
Pada kondisi lingkungan yang sesuai, kedua jenis mangrove utama (Rhizophora sp., Bruguiera sp.)
membentuk zone spesifik dengan tinggi 50 – 60 m.
d. Nipah (Nypa Swamp Community)
Dicirikan dengan adanya jenis nipa (Nypa frutican) sebagai jenis utama yang tumbuh di dekat muara
dan tempat pertemuan air tawar dan air asin, tidak ada vegetasi bawah, namun pada bagian-bagian
transisi muncul jenis Crinum sp. dan Hanjuana malayuna.
Meskipun terlihat adanya zonasi dalam vegetasi mangrove, namun pada kenyataan di lapangan tidak
sesederhana ini. Banyak formasi serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta
seringkali struktur dan korelasi yang tampak di suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan didaerah
lain (Noor et. al., 1999).

2.1.5. Zonasi Mangrove


Zonasi hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas, penggenangan, pasang surut, laju
pengendapan dan pengikisan serta ketinggian nisbi darat dan air. Zonasi juga menggambarkan
tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Perubahan tempat tumbuh bersifat
sangat dinamis disebabkan oleh adanya laju penggendapan atau pengikisan. Daya adaptasi suatu
jenis mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh dapat menentukan komposisi jenis pada tiap
zonasi. Semakin jauh dari laut maka suatu jenis akan menggantikan jenis lain, dan proses ini dapat
terjadi sampai ke daerah peralihan, yaitu berbatasan dengan komunitas rawa, air tawar dan hutan
pedalaman (Hutchings and Saenger, 1987, Johnstone, 1983 dalam Hilmi, 2005).
Lingkungan biotik seperti adanya flora mangrove juga mempunyai peranan dalam pembentukan
zonasi atau pemintakatan hutan mangrove. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak
yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus). Hutan
mangrove pada umumnya tediri dari tumbuhan dari jenis Avicenia sp., Rhizophora sp., dan Bruguiera
sp.. Jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh di bagian tepi yang berbatasan dengan laut didominasi
oleh Avicenia sp.. Jenis Rhizophora sp. menggantikan jenis Avicenia sp. pada tingkat pemukiman yang
berikutnya. Pada mintakat berikutnya sering dijumpai Bruguiera sp. yang mengarah ke daratan dan
kemudian diikuti oleh tumbuhan semak (Hutabarat dan Evans, 1985).

Gambar 1. Zonasi penyebaran jenis mangrove secara umum


Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah dari laut ke darat terdapat zonasi penguasaan oleh
jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis
mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang
kondisinya buruk karena terganggu atau berada pada derah pantai yang sempit tidak menunjukkan
keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum
sepenuhnya difahami dengan jelas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait
dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah
mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti
perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda (Murdiyanto, 2003).

2.1.6. Fungsi Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan ekoton atau daerah peralihan yang unik, yang berfungsi untuk
menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi
yang sangat khas dan kedudukannya tidak akan bisa tergantikan oleh ekosistem lainnya. Secara fisik
ekosistem mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya, mencegah
terjadinya intrusi air laut ke daratan . Secara biologis, mangrove mempertahankan fungsi dan
kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya. Misalnya sebagai tempat pencarian pakan,
pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis
burung dan habitat berbagai jenis fauna. Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia
bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991 dalam Zaitunah, 2002).
Ekosistem mangrove berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik
maupun secara biologis. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi
misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis
fauna laut dan berbagai jenis fauna darat. Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai
secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami (Hidayah, 2007).
Mangrove merupakan suatu ekosistem yang sangat produktif dan memiliki peran yang besar bagi
fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan yang penting. Menurut Saenger e.t al., (1993) dalam Hilmi
(2005) menyatakan bahwa ada sekitar 70 nilai pakai langsung dan tidak langsung dari tumbuhan
mangrove. Nilai pakai langsung mangrove yang ada di Indonesia yang telah dimanfaatkan oleh
masyarakat adalah kayu bakar, arang, penyamak kulit, bahan bangunan, peralatan rumah tangga,
obat-obatan dan bahan baku untuk industri pulp dan keras (Nontji, 1987 dalam Hilmi, 2005).
Mangrove mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yaitu biomassa (62,9–398,8 ton/ha)
dan guguran serasah (5,8–25,8 ton/ha/th). Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar anatar
7-8 ton/tahun (Notji, 1987 dalam Noor et. al., 2003). Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup
berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan
kehidupan masyarakat pesisir (Hidayah, 2007).
Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua hal.
Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, moluska dan udang
(Davies and Claridge, 1993 dalam Noor et. al., 2003), karena lingkungan mangrove menyediakan
perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan.
Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan-bahan organik sehingga dapat menyediakan makanan
untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya. Produksi serasah mangrove berperan penting
dalam kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara
ekosistem pesisir (Odum, 1974 dalam Noor et. al., 2003).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesetabilan Ekosistem Mangrove

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kestabilan ekosistem mangrove adalah


a. Tekstur Tanah
Terkstur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang sangat menentukan kemampuan tanah untuk
menunjang pertumbuhan tanaman. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah yang berkaitan dengan
ukuran partikel pembentuk tanah. Tekstur tanah juga dapat didefinisikan sebagai susunan relatif dari
tiga kelas ukuran partikel anorganik tanah, yaitu pasir (berukuran 2 mm—50?m), debu (berukuran
50?m--2?m), dan liat (berukuran kurang dari 2?m) (Soil Survey Staff, 1998). Tekstur tanah akan
mempengaruhi kemampuan menyimpan dan menghantarkan air, menyimpan dan menyediakan hara
tanaman.
Tekstur tanah hutan mangrove umumnya liat, liat berlempung, liat berdebu dan lempung yang berupa
lumpur yang tebal dan yang terdapat di bagian tepi-tepi sungai, muara, parit dan hamparan lumpur.
Tanah mangrove umumnya kaya akan bahan organik. Secara umum tanah hutan mangrove
merupakan tanah aluvial hidromorf, yang disebut juga tanah liat laut (Sukardjo 1984).
Tanah mangrove di Indonesia umumnya terdiri atas tanah-tanah yang bertekstur halus, mempunyai
tingkat kematangan yang rendah, memiliki kadar garam dan alkalinitas tinggi dan sering mengandung
lapisan sulfat masam atau bahan sulfidik (cat clay). Kandungan liat dan debu umunya tinggi, kecuali
tanah-tanah mangrove di pulau-pulau karang yang banyak mengandung pasir atau pecahan batu
karang. Pengaruh sifat tanah terhadap mangrove antara lain ditujukan oleh sebagian genus
Rhizophora. Di daerah-daerah dengan tanah berlumpur dalam, Rhizophora mucronata merupakan
vegetasi yang dominan, sedangkan daerah-daerah yang berlumpur dangkal didominasi oleh
Rhizophora apiculata, bila tanah banyak mengandung pasir atau karang didominasi oleh Rhizophora
stylosa (Hilmi, 2005).
b. Fisiografi Pantai
Kondisi fisiografis pantai di Indonesia yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan hutan mangrove
dari satu tempat ke tampat lainnya. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang datar dan sejajar
dengan arah angin (Sukardjo 1984). Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi
spesies dan lebar hutan mangrove.
Pantai yang landai memiliki komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan
pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk
tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang
terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal
menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
c. Salinitas
Salinitas merupakan suatu indikator yang menunjukkan banyaknya kadar garam yang terlarut dalam
air atau kadar garam terlarut dalam air maupun dalam larutan tanah dan merupakan istilah yang
menyatakan kadar garam yang terkandung dan dinyatakan dalam part per thousend (ppt)
(Aksornkoae, 1993). Jenis garam yang paling banyak larut adalah NaCl, dimana jumlah Cl yang
terlarut dalam air laut ini rata-rata 55%. Mangrove dapat hidup dan tumbuh subur di pesisir dengan
kadar salinitas antara 10 – 30 ppt, namun ada jenis mangrove yang dapat tumbuh pada kondisi kadar
garam yang lebih tinggi, misalnya Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh pada
kondisi salinitas tinggi yaitu sekitar 85 ppt (Hilmi, 2005).
Salinitas mempunyai fungsi penting untuk menghilangkan tumbuhan lain yang menempel pada
mangrove yang tidak mampu beradaptasi pada kondisi air yang mempunyai kandungan NaCl (Hilmi,
2005). Lebih lanjut Richards (1946) dalam Sukardjo (1984) menyatakan bahwa kandungan garam
atau salinitas sangat menentukan kemampuan tumbuh dan reproduksi mangrove. Hampir semua jenis
mangrove merupakan jenis yang toleran terhadap garam.
d. Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya permukaan laut yang hampir teratur. Tenaga
pembangkit pasang surut adalah adanya gaya tarik bulan dan matahari yang akan mempengaruhi
besaran kisaran pasut. Pasang surut berhubungan dengan lamanya penggenangan yang berpengaruh
pada jenis vegetasi mangrove. Di areal pesisir pantai, pasang surut dapat digunakan untuk
membedakan zonasi pantai dan komunitas hewan yang ditemukan di wilayah hutan mangrove
(Pariwono, 1999).
Keberadaan dan fluktuasi pasang surut akan mempengaruhi tingkat salinitas air laut. Perubahan
salinitas akibat pasang surut merupakan suatu faktor yang membatasi penyebran jenis-jenis
mangrove terutama penyebaran secara horisontal. Pasang surut juga memberikan kontribusi bagi
perubahan masa antara air tawar dan air asin, yang akhirnya memberikan pengaruh terhadap
perubahan dan penyebaran organisme mangrove secara vertikal (Hilmi, 2005).
Air pasang terjadi dua kali dalam satu hari, hal ini disebabkan karena adanya pengaruh daya tarik
bulan lebih kecil dari matahari (Istomo, 1992). Di laut terbuka ketinggian air pasang tidak lebih dari
0,5 m tetapi di laut yang dangkal pada umumnya mencapai lebih dari 3 meter. Pasang yang terjadi di
kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove.
e. Gelombang dan Arus
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang
memiliki gelombang dan arus yang besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi
pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi
spesies misalnya buah atau semai Rhizophora sp. yang terbawa gelombang dan arus sampai
menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh (http//wap.ipb.ac.id).
Pengaruh tidak langsung dari gelombang dan arus adalah terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan
pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Gelombang dan
arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari
mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal
dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove kemudian akan terbawa oleh arus dan gelombang
ke laut pada saat surut (http//wap.ipb.ac.id).
f. Iklim
Mangrove merupakan tumbuhan yang dalam hidupnya tidak terpengaruh terhadap iklim artinya
bahwa mangrove terdapat di areal beriklim basah, bermusim dan kering, tetapi iklim yang bersifat
mikro seperti kondisi cahaya, suhu, curah hujan dan angin mempunyai pengaruh yang sangat kuat
terhadap kehidupan ekosistem mangrove. Keberadaan iklim akan berperan terhadap perkembangan
tanaman, hewan dan faktor fisik lain seperti tanah dan air (Aksornkoae, 1993).
Di Indonesia sebagian besar mangrove terdapat di kawasan dengan curah hujan tahunan dan bulanan
yang tinggi. Dengan keadaan iklim demikian ini mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan
baik. Hal ini tidak berarti bahwa mangrove tidak dapat berkembang di kawasan beriklim kering.
Mangrove terdapat pula di kawasan beriklim kering, seperi di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jawa
Timur dan Nusa Tenggara Timur walaupun dalam areal yang lebih kecil. Kondisi tersebut bukan
disebabkan oleh iklim, melainkan oleh kenyataan bahwa kondisi pantai dan tidak adanya sungai besar
seperti di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jawa. Oleh karena itu tidak memungkinkan pembentukan
hutan mangrove yang sangat luas (Sukardjo, 1984).
Cahaya merupakan salah satu komponen yang vital bagi proses fotosintesis dan pertumbuhan
tanaman hijau. Cahaya juga berpengaruh terhadap proses respirasi, transformasi, fisiologi dan
struktur fisik dari tanaman mangrove. Mangrove umumnya merupakan tumbuhan berhari panjang
yang memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Intensitas cahaya optimal yang penting bagi
pertumbuhan tanaman mangrove adalah 1.000 – 3.800 kkal/m2/hari. Hal ini menyebabkan zona
pantai tropis merupakan suatu habitat yang ideal bagi ekosistem mangrove (Aksornkoae, 1993).
Curah hujan merupakan faktor penting bagi perkembangan dan penyebaran dari tanaman dan hewan.
Curah hujan juga mempengaruhi faktor lingkungan lainnya seperti suhu air, salinitas, dan aliran
permukaan dan aliran bawah tanah. Secara umum curah hujan yang normal bagi kehidupan jenis
mangrove sekitar 1500 – 3000 mm/tahun (Aksornkoae, 1993).
Suhu juga merupakan faktor penting bagi proses fisiologi seperti proses fotosintesis dan respirasi.
Menurut Kennish (1990) mangrove tumbuh subur pada konsisi daerah tropik yang bersuhu di atas
200C, untuk Avicennia marina akan memproduksi daun-daun segar pada suhu 18 – 200C dan jika
suhu dinaikkan lagi maka produktifitas daun-daun baru akan rendah. Pada mangrove jenis Rhizophora
stylosa, Ceriops sp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera sp. mempunyai kisaran suhu yang lebih
tinggi dalam proses produktifitas daun-daun segar, yaitu antara 26 – 280C. Bruguiera sp. pada suhu
270C, begitupun Xylocarpus sp. pertumbuhannya baik pada suhu 21 – 260C, serta Xylocarpus
granatum pada suhu 280C (Aksornkoae, 1993).
Angin berpengaruh terhadap mangrove untuk proses penyerbukan dan seed dissemination. Angin juga
dapat meningkatkan evapotranspirasi bagi tanaman. Angin ribut akan mengakibatkan impending
pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan pertumbuhan yang abnormal (Aksornkoae, 1993).
g. Nilai pH
Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat akan
menaikan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat akan
menaikan kemasaman (Saeni, 1989). Nilai pH baku mutu untuk perairan laut berkisar antara 6-9.
Komunitas Rhizophora sp. dan Avicennia sp. hidup pada tanah dengan nilai pH berturut-turut adalah
6,6 dan 6,2.
h. Oksigen Terlarut.
Oksigen terlarut adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup tanaman dan
hewan di hutan mangrove khususnya dalam proses respirasi dan fotosistesis. Oksigen terlarut juga
merupakan suatu bagian essensial yang mempengaruhi tejadinya proses dekomposisi. Mangrove
menggunakan oksigen terlarut sebagai faktor pengontrol bagi komposisi jenis dan distribusinya serta
pertumbuhannya. Konsentrasi oksigen di hutan mangrove berubah-ubah selama 24 jam, yang
terendah pada malam hari dan tertinggi pada siang hari.
Konsentrasi oksigen di hutan mangrove berubah membentuk suatu area dan zonasi bagi tanaman.
Aksornkoae et. al., (1978) dalam Hilmi (2005) melakukan penelitian tentang hal tersebut dan
menujukan bahwa oksigen terlarut di luar hutan mangrove (4,4 mg/L) lebih tinggi dibandingkan
dengan di dalam mangrove (1,7 – 3,4 mg/L). Tingkat oksigen terlarut di dalam dan di luar mangrove
sekitar 4,9 sampai dengan 2,4 mg/L. Pada areal yang tertutup sekitar 2,1 – 3,8 mg/L.

Penyebab dan Tingkat Kerusakan Mangrove


Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau
sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki
keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25
juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas
2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi
degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut
disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri,
2002).
Kerusakan mangrove bisa sebababkan oleh beberapa faktor seperti aktivitas manusia, pencemaran,
sedimentasi, gelombang, pasang surut dan arus. Aktivitas manusia yang berupa kegiatan penebangan
liar, pembukaan lahan, pembuangan limbah memberikan pengaruh atau tekanan terhadap habitat
mangrove. Bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan
perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu meningkatnya permintaan
terhadap produksi kayu menyebabkan meningkatnya pula eksploitasi berlebihan terhadap mangrove
(Dahuri, 2002).
Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah pembukaan lahan-lahan tambak
untuk budidaya ikan. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi besar dalam pengrusakan eksositem
ini (Dahuri, 2002). Karena fungsi dan manfaatnya yang begitu besar sehingga mendorong masyarakat
untuk memanfaatkan hutan mangrove secara membabi buta yang pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan hutan mangrove tersebut (Nuhman, 2004).
Estimasi terhadap hutan mangrove di Indonesia dipenuhi ketidakpastian dan sudah kadaluwarsa.
Menurut World Mangrove Atlas dalam Irwanto (2006) , estimasi yang paling dapat diandalkan berasal
dari tahun 1993, ketika itu luas hutan mangrove di negara ini mencapai 4,25 juta ha (Spalding et. al.,
1997 dalam Irwanto, 2006). Estimasi ini didasarkan dari hasil survei yang dilakukan pada tahun 1985,
yang telah diperbarui dengan peta-peta yang disediakan oleh Asian Wetlands Bureau untuk World
Conservation Monitoring Centre. Namun, estimasi lainnya untuk pertengahan tahun 1980-an hanya
sekitar 3,8 juta ha, atau bahkan 2,2 juta ha.
Pemerintah Indonesia melaporkan bahwa sekitar satu juta ha hutan mangrove lenyap antara tahun
1969 dan 1980, terutama akibat dikonversi menjadi sawah, tambak dan pemanfaatan pertanian
lainnya (Bappenas, 1993 dalam Irwanto, 2006). Sebab-sebab penurunan luas hutan mangrove lainnya
adalah pengembangan tambak, kegiatan penebangan hutan dan eksploitasi hutan mangrove untuk
kayu bakar dan bahan bangunan.
Konversi besar-besaran menjadi tambak khususnya terjadi di Jawa Timur, Sulawesi dan Sumatera.
Produksi kayu serpih dan pulp dari hutan mangrove juga semakin meningkat; banyak tempat
pengolahan kayu serpih yang dibangun di Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan ada pabrik besar
yang dibangun di Teluk Bintuni, Irian Jaya. Kawasan mangrove ditersebut dulunya merupakan wilayah
mangrove yang terluas di dunia dan paling perawan. Inventarisasi Hutan Nasional pada tahun 1996
menghasilkan estimasi luas hutan mangrove adalah 3,5 juta ha, yang berarti kehilangan sebanyak
750.000 ha hanya dalam waktu tiga tahun. Namun penilaian terhadap tingkat kehilangan hutan
mangrove secara akurat hampir tidak mungkin dilakukan; yang pasti perusakan terhadap tipe hutan
ini masih terus berlangsung (Irwanto, 2006).
Perombakan hutan mangrove melalui kegiatan tebang habis untuk tujuan seperti usaha perikanan
atau pertambakan, perkebunan dan permukiman terutama terjadi di wilayah yang berpenduduk padat
dan dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Hal ini dikarenakan terdesak oleh kebutuhan
ekonomi, sehingga dengan seenaknya membuka lahan di areal hutan mangrove untuk memenuhi
kebutuhan ekonominya. Demikian pula penebangan liar untuk tujuan memperoleh kayu sebagai
bahan bangunan, kayu bakar dan lainnya. Mereka masih beranggapan bahwa hutan mangrove adalah
milik bersama dan dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja (Simbolon, 1990).
Pada umumnya ekositem mangrove sangat tahan terhadap gangguan dan tekanan lingkungan.
Namun demikian, mengrove tersebut sangat peka terhadap pengendapan dan sedimentasi, tinggi
rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan
kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan dapat menyebabkan kematian mangrove.
Perubahan faktor-faktor tersebut yang mengontrol salinitas subtrat dapat meyebabkan perubahan
komposisi spesies. Salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan kematian biota dalam jumlah
yang besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian
terus menerus seperti kegiatan pengerukan dan penyekatan (Dahuri, 2002).
Di beberapa tempat pada muara sungai, juga terjadi gangguan terhap ekosistem mangrove oleh
endapan atau sedimentasi yang terbawa oleh sungai. Banyaknya lumpur yang terbawa oleh sungai
akibat terjadinya kerusakan hutan di hulu sungai mengakibatkan semakin banyaknya sedimentasi
yang terjadi di muara sungai. Sedimentasi mengakibatkan permukaan tanah menjadi lebih tinggi dan
membawa perubahan terhadap berkurangnya pengaruh pasang surut air laut serta menurunnya kadar
garam air tanah. Akibat lebih lanjut adalah berkembangnya permudaan jenis lain menggantikn
permudaan jenis mangrove. Sedimentasi akan terjadi lebih berat apabila dalam penggunaan hutan di
dalam Derah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan kurang memperhatikan aspek konservasi tanah
(Simbolon, 1999).

III. MATERI DAN METODE


3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran tingkat kerapatan mangrove alat yang digunakan adalah
transek ukuran 10 x 10 meter dan alat ukur meteran dengan panjang 100 meter dan tingkat ketelitian
1 cm.
Pengukuran kualitas lingkungan dan kualitas air membutuhkan alat seperti handrefraktometer untuk
mengukur salinitas air laut dengan ketelitian 1 ‰, termometer untuk mengukur suhu air dan udara
dengan ketelitian 10 C, kertas pH universal (0-14) untuk mengukur derajat keasaman, tiang pancang
untuk pengukuran pasang surut dan gelombang, bola apung untuk pengukuran arus serta beberapa
alat lain seperti botol winkler 250 ml, pipet tetes, labu erlenmeyer 250 ml, buret pyrex 50 ml dengan
ketelitian 0,05 ml, tiang statif, gelas ukur iwaki 5, 10 , 100 dan 500 ml untuk mengukur DO dan BOD.
Dalam penentuan dan penggambaran lokasi penelitian digunakan alat General Positioning System
(GPS) merk Garmin V untuk menentukan lokasi sampling, kompas untuk penunjuk arah, komputer
dan printer beserta perangkat lunak berupa software Arc View 3.2 untuk mendeliniasi lokasi tingkat
kerapatan mangrove sebagai variabel dari tingkat kerusakan mangrove.
Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kerusakan mangrove akibat
aktivitas manusia digunakan daftar pertanyaan (quesioner), alat tulis berupa kertas dan ballpoint
untuk menulis data pengamatan.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penelitian, citra satelit atau peta potensi
pesisir lokasi penelitian, pedoman wawancara dan beberapa daftar pertanyaan yang digunakan untuk
mengetahui konsisi fisik lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat, larutan MnSO4, larutan KOH-KI,
larutan H2SO4 pekat, larutan Na2S2O3 (0,025 N) untuk mengukur kandungan DO dan BOD.

3.2 Metode Penelitian


3.2.1 Metode dan Teknik Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode survey. Teknik pengambilan
sampel adalah dengan menggunakan Cluster Random Sampling dengan membagi penelitian menjadi 4
lokasi. Lokasi I ditempatkan di Kecamatan Gunung Anyar, lokasi II ditempatkan di Kecamatan
Rungkut, lokasi III ditempatkan di Kecamatan Sukolilo serta lokasi IV ditempatkan di Kecamatan
Mulyorejo. Setiap lokasi dilakukan pengambilan sebanyak 3 titik dengan 5 kali ulangan dan
dilanjutkan dengan pengamatan di laboratorium selama ± 1 minggu.

3.2.2 Variabel dan Parameter Penelitian


3.2.2.1 Variabel dan Parameter Kerusakan
Variabel kerusakan terdiri atas beberapa parameter yaitu luas kerusakan, dan tingkat kerapatan.
3.2.2.2 Variabel dan Parameter Penyebab Kerusakan
Variabel penyebab kerusakan terdiri atas parameter faktor lingkungan (tekstur tanah, fisiografi pantai,
salinitas, pasang surut, gelombang, arus, suhu air, suhu udara, O2 terlarut, kekeruhan, BOD, pH air,
pH Tanah, nitrat dan fosfat) dan parameter faktor anthropogenik (tingkat pendidikan, tingkat ekonomi
dan aktivitas manusia).
3.2.3 Prosedur Penelitian
3.2.2.1 Cara Pengukuran Kerapatan Vegetasi
Pengukuran kerapatan vegetasi di lakukan dengan menggunakan metode jalur dan metode garis
berpetak sehingga di dalam jalur-jalur tersebut dibuat petak-petak ukur (Kusmana, 1997). Luas petak
ukur untuk pengukuran tingkat kerapatan dilakukan pada pohon (trees) dengan ukuran petak 10 x 10
m (dengan diameter > 4 cm). Petak ukur yang dibuat untuk menghitung kerapatan, frekuensi dan
dominansi vegetasi dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Desain metode garis berpetak (Kusmana, 1997)
Pada setiap petak contoh yang telah ditentukan, diidentifikasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang
ada, hitung jumlah individu setiap jenis. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan yang
ditemukan, potong bagian ranting, daun, buah dan bunga selanjutnya dilakukan identifikasi
berdasarkan pustaka.

3.2.3.1 Cara Pengukuran Tingkat Kerusakan Mangrove


Untuk mengukur tingkat kerusakan mangrove dilakukan dengan menghitung tingkat kerapatan pohon
tiap hektar. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan kriteria baku kerusakan mangrove dari Surat
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004.
Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove (Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004)

Kriteria Penutupan
(%) Tingkat Kerapatan Pohon
(ind/ha)
Baik Sangat Padat 75
1500

Sedang 50 - <75
1000 - <1500

Rusak Jarang < 50 <1000

3.2.2.2 Proses Pendugaan Faktor Lingkungan Perairan dan Darat


Faktor lingkungan yang berperan dalam ekosistem mangrove diantaranya terdiri atas beberapa
parameter yaitu suhu, salinitas, oksigen terlarut dan sebagainya. Lebih lanjut dalam penelitian ini
yang akan di ukur beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan
hidup mangrove antara lain :
Tabel 2. Parameter lingkungan dan kualitas air yang diukur
No Faktor Lingkungan Satuan Metode/alat Sumber
1 Tekstur tanah % Gravimetric
2 Fisiografi pantai Visual
3 Salinitas ppm Handrefraktometer APHA (2005)
4 Pasang Surut Visual
5 Gelombang dan Arus m Visual
6 Suhu 0C Pemuaian/Termometer air raksa APHA (2005)
7 O2 terlarut ppm Winkler APHA (2005)
8 Kekeruhan NTU Nephelometri/Turbidimeter Lamote model 2005 APHA (2005)
9 BOD ppm Winkler APHA (2005)
10 pH Kolorimetri/Kertas pH standar APHA (2005)
11 Nitrat ppm Brussin Spektofotometri Sastrawidjaja (1991)
12 Fosfat ppm Stannous Chloride Spektofotometri Sastrawidjaja (1991)
3.2.2.3 Pengukuran dan Pengambilan Sampel
Sampel air diambil dengan menggunakan botol winkler 250 ml dan botol meneral. Pengambilan dan
pengukuran sampel ini dilakukan dengan 2 metode, yaitu insitu (lapangan) : suhu, pH, salinitas,
pasang surut, arus, gelombang dan eksitu untuk BOD, nitrat, fosfat, tekstur, tanah, O2 terlarut serta
kekeruhan. Pelaksanaan pengamatan dan pengukuran secara eksitu dilakukan di Laboratorium Dinas
Kesehatan Purbalingga, Laboratorium Fakultas Pertanian dan Laboratorium Fakultas Biologi UNSOED.
3.2.2.4 Proses Pendugaan Pengetahuan Masyarakat Tentang Mangrove
Untuk mengetehui tingkat pengetahuan masyarakat tentang mangrove akan dilakukan dengan
menggunakan tingkatan pendidikan (SD, SMP, SMA, Sarjana) dan beberapa pertanyaan tentang
seberapa besar pengetahuan masyarakat tentang peran dan fungsi mangrove bagi masyarakat
sekitar. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain:
1. Seberapa besar pengetahuan mansyarakat tentang mangrove dan fungsi mangrove?
2. Apakah masyarakat mengetahui luas hutan mangrove yang ada di wilayah atau desanya?
3. Apakah masyarakat mengetahui bahwa mangrove yang ada di wilayah atau desanya telah
mengalami kerusakan?
4. Apakah masyarakat mengetahui faktor yang menyebabkan kerusakan mangrove yang ada di
wilayah atau desanya?
3.2.2.5 Proses Pendugaan Tingkat Ekonomi Masyarakat
Tingkat ekonomi masyarakat pesisir merupakan bagian penting dalam penelitian ini. Hal ini karena
tingkat ekonomi dapat menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya penebangan hutan mangrove
sehingga menyebabkan kerusakan. Untuk mengetahui tingkat ekonomi masyarakat akan dilakukan
wawancara kepada penduduk di sekiitar lokasi penelitian penggunaan data sekunder dari
pemerintahan setempat.
3.2.2.6 Proses Pendugaan Faktor Sosial Masyarakat
Penyebab kerusakan mangrove lainya adalah adanya aktivitas manusia seperti penebangan mangrove
dan pembuangan sampah ke wilayah ekosistem mangrove. Di bawah ini beberapa aktivitas
masyarakat yang diduga menyebabkan tingkat kerusakan mangrove.

Tabel 3. Pendugaan faktor sosial masyarakat

Desa/
Lokasi Aktivitas Maysarakat Volume Keterangan
I, II, III, IV a. Penggunaan mangrove untuk kayu bakar m3/bulan Mengecek jumlah kebutuhan
masyarakat terhadap kayu bakar dari mangrove
b. Penggunaan Mangrove untuk bahan bangunan m3/bulan Mengecek kebutuhan masyarakat akan
kayu mangrove yang digunakan untuk bahan bangunan

c. Pembukaan hutan mangrove untuk lahan pertanian m3/bulan Mengecek luas konversi hutan
mangrove yang digunakan untuk lahan pertanian

d. Pembukaan hutan mangrove untuk lahan perkebunan m3/bulan Mengecek luas konversi hutan
mangrove yang digunakan untuk lahan perkebunan
e. Pembukaan hutan mangrove untuk pelabuhan m3/bulan Mengecek luas konversi hutan mangrove
yang digunakan untuk lahan pelabuhan
f. Pembukaan hutan mangrove untuk jalan raya m3/bulan Mengecek luas konversi hutan mangrove
yang digunakan untuk lahan jalan raya
g. Pembuangan sampah ke sungai atau ke wilayah ekosistem mangrove
kg/bulan Mengecek kegiatan pembuangan sampah rumah tangga
h. Adanya industri besar diarea dekat hutan mangrove yang berpotensi menyenbabkan pencemaran
m3/bulan Mengecek proses pembuangan limbah industri

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan hutan mangrove Pantai Timur Surabaya, Propinsi Jawa
Timur. Sedangkan untuk analisis data dan pengamatan di lakukan di Laboratorium Dinas Kesehatan
Purbalingga. Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli 2008.

3.4 Analisis Data


3.4.1. Analisis Vegetasi Mangrove
Analisis tingkat kerusakan mangrove dilakukan dengan menghitung tingkat kerapatan pohon (Bengen,
2001) :
Kerapatan jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area :

dimana Di adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total tegakan dari jenis i dan A adalah luas total
area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). Kemudian hasil perhitungan tingkat
kerapatan pohon dibandingkan dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun
2004 untuk menentukan tingkat kerusakan mangrove (Tabel 1), kemudian dilanjutkan dengan analisis
vegetasi mangrove dengan menggunakan analisis kuantitatif (Bengen, 2001) yaitu sebagai berikut :
a. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah
total tegakan seluruh jenis (?n) :

b. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh /plot yang diamati :

dimana, Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i, dan ?p
adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
c. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi
untuk seluruh jenis (?F)

d. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area :

dimana, BA = ? DBH2/4 (dalam cm2), ? (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter
pohon jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH =
CBH/? (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
e. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas
total area penutupan untuk seluruh jenis (?C) :
Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan penutupan relatif jenis (RCi),
menunjukkan Nilai Penting Jenis (IVi) :
IVi = RDi + RFi + RCi
Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai Penting ini memberikan suatu gambaran
mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
3.4.2. Analisis Korelasi Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove
Analisis korelasi dilakukan untuk mengukur variabel X (penyebab kerusakan mangrove) terhadap
variabel respon Y (tingkat kerapatan mangrove) menggunakan koefisien korelasi (r) yang dapat
diinterpretasikan bahwa 100% R-square variasi-variasi variabel Y disebabkan karena adanya
hubungan dengan variabel X secara linear, maka nilai r dari korelasinya adalah (Walpole, 1995) :

Keterangan :
r = koefisien korelasi
n = jumlah pasangan

Untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara nilai-nilai X dan Y adalah sebagai berikut (Walpole,
1995) :
1. Apabila nilai r (determinasi) mendekati nilai positif satu (+1) atau negatif satu (-1), hubungan linier
antara X dan Y kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara kedua variabel tersebut.
2. Apabila nilai r (determinasi) mendekati 0 (nol), hubungan linier antara X dan Y sangat lemah atau
tidak ada sama sekali.
Nilai r yang diperoleh akan menentukan sifat korelasi antara kerapatan mangrove (i) terhadap
masing-masing faktor penyebab kerusakannya, yaitu Apabila nilai rij >> maka terdapat korelasi
antara kerapatan mangrove dengan faktor penyebab kerusakan mangrove.
Batas-Batas Koefisien Korelasi (Sujarweni, 2008)
Nilai koefisien korelasi berkisar antara –1 sampai +1, yang kriteria pemanfaatannya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linier positif, yaitu makin besar nilai variabel X
makin besar pula nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X makin kecil pula nilai variabel Y.
2. Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linier negatif, yaitu makin besar nilai variabel
X makin kecil nilai variabel Y atau makin kecil nilai variabel X maka makin besar pula nilai variabel Y .
3. Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara variabel X dan variabel Y.
4. Jika, nilai r =1 atau r = -1, maka dapat dikatakan telah terjadi hubungan linier sempurna, berupa
garis lurus, sedangkan untuk r yang makin mengarah ke angka 0 (nol) maka garis makin tidak lurus.
Batas-batas nilai koefisien korelasi diinterpretasikan sebagai berikut:
• 0,00 – 0,20 = korelasi memiliki keeratan sangat lemah
• 0,21 – 0,40 = korelasi memiliki keeratan lemah
• 0,41 – 0,70 = korelasi memiliki keeratan kuat
• 0,71 – 0,90 = korelasi memiliki keeratan sangat kuat
• 0,91 – 0,99 = korelasi memiliki keeratan kuat sekali
• 1 = korelasi sempurna
3.4.3. Analisis Perbandingan Faktor Lingkungan, Faktor Antrhopogenik dan Tingkat Kerapatan
Mangrove
Analisis yang digunakan untuk membandingkan faktor lingkungan antara kecamatan yang satu
dengan yang lain digunakan uji t (Paired-Sample t test). Hal ini juga dilakukan untuk membandingkan
faktor anthropogenik dan tingkat kerapatan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain.
Perbadingan dilakukan dengan melihat nilai t hitung dan t tabel, yaitu apabila :
a. t hitung > t tabel maka H0 ditolak (ada perbedaan)
b. t hitung < t tabel maka H0 diterima (tidak ada perbedaan)
3.4.4. Fungsi Laju Kerusakan

Pendugaan model tingkat kerusakan dan faktor penyebab kerusakan dilakukan dengan menggunakan
software DataFit dengan memperhatikan model hubungan antara nilai tingkat kerapatan dan nilai hasil
pengukuran faktor penyebab. Adapun contoh model persamaan yang dihasilkan dari proses DataFit
adalah sebagai berikut :
Y = b0 + b1x1
Y = b0 + b1 x1 + b2 x2
Y = b0 + b1 x1 + b2 x22
Y = b0 + b1 x12
Y = b0 + b1 x12 x2
Y = b0 + b1(log x1) x2
Y = b0 + b1log x1
Y = b0 ex1 Log Y = b0 + b1 log x1
Y = b1 x1b0
Y = a xb
Y = a xbx2
Log Y = b0 + b1(log x1) x2
Y = b0 + b1 x1 + b2 x12

Keterangan :
Y = Tingkat kerapatan mangrove
X = Faktor penyebab kerusakan
Adapun model yang terpilih didasarkan beberapa kriteria yaitu :
a. Kesesuaian terhadap fenomena
b. Sifat keterandalan model (data reability)
? Koefisien determinasi (R2)
Koefisien determinasi adalah perbandingan antara jumlah kuadrat regresi (JKR) dengan jumlah
kuadrat total (JKT), dengan rumus sebagai berikut :
R2 =
Adapun kriterium keterandalan model berdasarkan ukuran R2 adalah sebagai berikut:
~ 100 % maka model makin terandalkan
Apabila R2
~ 0 % maka model makin tidak terandalkan

3.4.5. Analisis Spasial


Analisis spasial dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang persebaran
mangrove yang ada di sepanjang Pantai timur Surabaya. Hal ini dilakukan dengan proses pemetaan
dengan menggunakan software ArcView 3.3. Pemetaan dilakukan dengan mendigitasi Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI) yang diperoleh dari Bakosurtanal Indonesia. Analisis ini diharapkan akan
menghasilkan peta dasar vegetasi mangrove, tingktat kerusakan dan pola penyebab kerusakan
mangrove.
ArcView merupakan salah satu perangkat lunak (software) pgoleh data spasial. Software ini memiliki
berbagai keunggulan yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan pengolah data spasial. Arc View
memiliki kemampuan dalam pengolahan atau editing arc, menerima atau konversi dari data digital
lain seperti CAD atau dihubungkan dengan data image lain seperti format JPG, TIFF atau image gerak
(Budiyanto, 2005). ArcView memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-
explore, menjawab query (baik basisdata spasial maupun non-spasial), menganalisis data secara
geografis, dan sebagainya. Secara umum kemampuan ArcView dapat dilihat melalui uraian berikut :
• Pertukaran data, membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format perangkat lunak SIG
lainnya.
• Melalukan analisis statistik dan operasi-operasi matematis.
• Menampilkan informasi (basisdata) spasial maupun atribut.
• Menghubungkan informasi spasial dengan atribut-atributnya yang terdapat (disimpan) dalam
basisdata atribut.
• Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG seperti analisis sederhana spasial.
• Membuat peta tematik.
• Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip atau bahasa pemrograman sederhana.
• Melakukan fungsi-fungsi SIG khusus lainnya (dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk
mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView) (www.geocities.com/yaslinus/indeks.html).

You might also like