You are on page 1of 50

A.

PENGERTIAN FILSAFAT

Manusia memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui

manusia tersebut disebut pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) ,yaitu

pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.Istilah

“pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”(science).Pengetahuan

seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain

sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu

serta ilmu juga bersifat universal.

Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan

dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut

menjadi porsi pekerjaan filsafat.Harry Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat itu datang

sebelum dan sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut Harry Hamersma

(1990:9) menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu

mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat.Pernyataan itu mendapat dukungan dari

Magnis-Suseno (1992:20) menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah

abadi.Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini disebabkan

masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di

satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru

filsafat adalah masalah –masalah lama manusioa (Magnis-Suseno,1992: 20).

Filasafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa – apa

yang menarik perhatian manusia angapan ini diperkuat bahwa sejak abad ke 20 filsafat masih

sibuk dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang

lalu yang justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia pada “metodenya sendiri”.Perbedaan

filsafat dengan ilmu-ilmu yang lain adalah ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang
metodis, sistematis, dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan

filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh

kenyataan..Kesimpulan dari perbedaan tersebut adalah filsafat tersebut adalah ilmu tanpa

batas karena memiliki syarat-syarat sesuai dengan ilmu.Filsafat juga bisa dipandang sebagai

pandangan hidup manusia sehingga ada filsafat sebagai pandangan hidup atau disebut dengan

istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbeschouwing, Wereld-en levenbeschouwing yaitu

sebagai petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupanya dan

filsafat juga sebagai ilmu dengan definisi seperti yang dijelaskan diatas.

Syarat-syarat filsafat sebagai ilmu adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan

koheren tentang seluruh kenyataan yang menyeluruh dan universal, dan sebagai petunjuk arah

kegiatan manusia dalam seluruh bidang kehidupannya.Penelahaan secara mendalam pada

filsafat akan membuat filsafat memiliki tiga sifat yang pokok, yaitu menyeluruh, mendasar,

dan spekulatif itu semua berarti bahwa filsafat melihat segala sesuatu persoalan dianalisis

secara mendasar sampai keakar-akarnya.Ciri lain yang penting untuk ditambahkan adalah

sifat refleksif krisis dari filsafat

B.PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM.

Terdapat kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah,

sekaipun bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang

lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai cabang.Dalam demikian bidang-bidang

demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat.Dari pembagian cabang filsafat

dapat dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang

filsafat.
Seperti kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur

perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang

filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku.

C.PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

Karena filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.Maka

obyek filsafat hukum adalah hukum.Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat luas oleh

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986:2-4) keluasan arti hukum tersebut

disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.Dengan demikian jika kita ingin

mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang

meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.Hukum itu juga dipandang sebagai norma yang

mengandung nilai-nilai tertentu.Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai

normaNorma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku.Norma hukum diperlukan

untuk melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma

hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena

pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.

D.MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM

Dari tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum

dapat dilihat.Filsafat memiliki karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara itu setiap orang

dianggap untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Disamping itu

juga memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas sikap atau pendapat orang lain. Sehingga

siketahui bahwa manfaat mempelajari filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan nilai,

menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru.

E.ILMU ILMU LAIN YANG BEROBJEK HUKUM


Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, di artikan sebagai teori hukum

namun dalam artian luas, yang mencakup politik hukum, filsafat hukum, dan teori hukum

dalam arti sempit atau ilmu hukum.

Dari pembidangan tersebut, filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu hukum,

tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum

dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang

lainnya. Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai

kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang

demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum

memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum,

filsafat hukum, atau kombinasi dari ketigabidang tersebut. Karena itu, teori hukum dapat saja

membicarakan sesuatu yang bersifat universal, dan tidak menutup kemungkinan

membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu.

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


Ditulis oleh iswadi di/pada Desember 9, 2009

A. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan
memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan
berlakunya hukum secara fomal artinya darimana hukum itu dapat ditemukan, darimana asal
mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar
putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat
atau berlaku dan lain sebagainya.

Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan administrasi negara yang
bersifat nasional dan juga internasional sebagai perkembangan global saat ini, tentunya
menjadikan bahwa sumber hukum administrasi negara dapat berasal dari sumber hukum
nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sumber
hukum internasional seperti perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain dan
juga berupa konvensi internasional yang telah diratifikasi.
B. Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil

Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum
Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu factor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini
dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum
Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk
hukum yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.

Menurut Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno (1986: 63), membagi sumber hukum
menjadi dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

1) Sumber Hukum Materiil, ialah tempat dimana hukum itu diambil. Sumber hukum
materiil ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan
social politik, situasi social ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan, hasil penelitian
ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis. Contoh: Seorang ahli ekonomi akan
mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang
menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan bagi seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan
mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dalam masyarakat.

2) Sumber Hukum Formal, ialah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum
itu berlaku secara formal.

Van Apeldoorn dalam R. Soeroso (2005:118), membedakan empat macam sumber hukum,
yaitu:

1) Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam
sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya hukum secara
historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.

b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang mengambil


bahannya.

2) Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang


menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, dan
sebagainya.

3) Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan
yang mencoba menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:

1. Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan

2. Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari akal manusia

3. Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari kesadaran
hukum
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat,
mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata
didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong
oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.

4) Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terjadinya
hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat
hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar dapat berupa peraturan
tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan dan traktat
atau perjanjian antar negara.

Marhaenis (1981:46), membedakan sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum ditinjau
dari Filosofis Idiologis dan sumber hukum dari segi Yuridis.

1) Sumber Hukum Filosofis Idiologis, ialah sumber hukum yang dilihat dari kepentingan
individu, nasional, atau internasional sesuai dengan falsafah dan idiologi (way of life) dari
suatu Negara Seperti liberalisme, komunisme, leninisme, Pancasila.

2) Sumber Hukum Yuridis, merupakan penerapan dan penjabaran langsung dari sumber
hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan pembedaan antara sumber hukum formal dan
sumber hukum materiil.

a. Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya misalnya:
KUHP segi materiilnya ialah mengatur tentang pidana umum, kejahatan, dan pelanggaran.
KUHPerdata, dari segi materiilnya mengatur tentang masalah orang sebagai subyek hukum,
barang sebagai obyek hukum, perikatan, perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.

b. Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum dilihat dari segi yuridis dalam arti formal
yaitu umber hukum dari segi bentuknya yang lazim terdiri dari: Undang-Undang, Kebiasaan,
Traktat, Yurisprudensi, Traktat.

Sebagai sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara menurut E. Utrecht., ialah:

1. Undang-undang/Hukum Administrasi Negara Tertulis

2. Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan Hukum


Kebiasaan)

3. Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding (oleh Hakim ataupun yang
tidak ada banding oleh Administrasi negara tersebut)

4. Doktrin/Pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara

1) Undang-Undang (Statute)

Yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini mempunyai dua arti
yakni:
Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang merupakan undang-undang
karena cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh presiden
bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.

Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya
undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.

Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal 20 ayat 2
disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

Dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan
lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi yang
dimiliki oleh Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di
bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh
menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikati dimana
sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan masih bersifat
tumpang tindih.

Bentuk hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama
merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan
kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat
lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa,
dimana ditegaskan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan
desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.

Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat
tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk
membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden juga
berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat
membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan
kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut.

2) Kebiasaan (Costum)

Yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila
suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu
dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatu
kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

Sudikno (1986:82) menguraikan bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah
laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup
tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku manusia yang diulang,
dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, dan mempunyai kekuatan
mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk
melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu
memang patut dilakukan. Yang menjadikan tingkah laku itu kebiasaan atau adat adalah
kepatutan dan bukan semata-mata unsur terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena
dirasakan patut inilah maka lalu diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan
karena pendapat seseorang tetapi pendapat masyarakat.

Tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum
tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-
kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai dengan
kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan.
Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak oleh masyarakat, dan ini
tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan
begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya.

Sudikno (1986: 84) menyebutkan bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa
syarat tertentu yaitu:

a. Syarat materiil

Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et invetarata
consuetindo).

b. Syarat intelektual

Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).

c. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar

Utrecht (1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang


biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana
“werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu
sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-
penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan.
Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan- masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana
kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak pemerintah”.

Di Indonesia kebiasaan itu diatur dalam beberapa undang-undang yaitu antara lain:

Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Pasal 1346 KUHPerdata disebutkan bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat”.

Selanjutnya dalam Pasal 1571 KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika perjanjian sewa
menyewa tidak dibuat dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada
waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan kepada pihak lain
bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.

Mengenai praktek administrasi negara sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa
praktek itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan (hukum tidak tertulis). Hukum
administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk dan dipertahankan dalam keputusan-
keputusan para pejabat administrasi negara. Sebagai suatu sumber hukum formil, maka sering
sekali praktek administrasi negara itu berdiri sendiri (zelfstandig) disamping undang-undang.
Bahkan tidak jarang praktek administrasi negara mengesampingkan (opzijzetten) peraturan
perundang-undangan yang telah ada.

R. Soeroso (2005: 155) menyatakan kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu 1) bahwa hukum
kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan
pada umumnya sukar menggantinya, dan 2) bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin
kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena hukum kebiasaan mempunyai sifat
aneka ragam.

3) Keptusan-Keputusan Hakim (Yurisprudensi)

Purnadi Purbacaraka menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal dari kata


yurisprudentia (bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata
yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie”
dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan peradilan. Kata yurisprudensi dalam
bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene rechtsleer: General theory of law),
sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law atau Judge
Made Law. Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu
dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.

Beberapa alasan seorang hakim mempergunakan putusan hakim yang lain (yurisprudensi)
yaitu:

a. Pertimbangan Psikologis

Hal ini biasanya terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,
maka biasanya dalam hal untuk kasus-kasus yang sama hakim di bawahnya secara psikologis
segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya tersebut.

b. Pertimbangan Praktis

Pertimbangan praktis ini biasanya didasarkan karena dalam suatu kasus yang sudah pernah
dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan oleh
pengadilan tinggi atau MA maka akan lebih praktis apabila hakim berikutnya memberikan
putusan yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim yang tingkatannya lebih
rendah memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda dari keputusan yang lebih tinggi
untuk kasus yang sama, maka keputusan tersebut biasanya tentu tidak dibenarkan/dikalahkan
pada waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.

c. Pendapat Yang sama

Pendapat yang sama biasanya terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan
keputusan hakim lain yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.
4) Traktat (Treaty)

Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian internasional/perjanjian yang dilakukan oleh dua


negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat
pada perjanjian yang mereka adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti
bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati
dan ditepati oleh kedua belah pihak.

Ada beberapa macam traktat (treaty) yaitu:

a. Traktat bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig

Yaitu apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan
kriminal biasa dan kejahatan politik.

b. Traktat Multilateral

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa
negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.

c. Traktat Kolektif atau traktat Terbuka

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian
terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: Perjanjian dalam PBB
dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada perjanjian
yang ditetapkan oleh PBB tersebut.

Adapun pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana
setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

1. Tahap Perundingan

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan
mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui
teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan melalui utusan
masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik melalui suatu konferensi, kongres,
muktamar atau sidang.

2. Tahap Penutupan

Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau
persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks tertulis yang
dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”. Piagam
penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing utusan negara yang mengadakan perjanjian.

3. Tahap Pengesahan atau ratifikasi

Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara


(biasanya tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan
oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
4. Tahap Pertukaran Piagam

Pertukaran piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam
yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara
kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat kolektif atau terbuka peletakkan
naskah piagam tersebut diganti dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan
masing-masing negara itu, dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara
berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan
dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.

5) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Biasanya hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-undang,


perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak
dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat
para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang
terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya. Di
Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh
hakim pada pengadilan Agama dalam pengambilan putusan-putusannya.

C. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Menurut Tap MPRS XX Tahun 1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong mengenai sumber tertib Hukum RI dan tata urut perundangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang/Perpu

4. Peraturan Pemerintah

5. keputusan Presiden

6. Peraturan Menteri

7. Instruksi Menteri

Untuk menata kembali struktur dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut,


berdasarkan Tap MPR RI No. III tahun 2000 disusun suatu struktur baru peraturan
perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang (UU)

4. Perpu
4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Keputusan Presiden (Keppres)

6. Peraturan Daerah (Perda)

Dan terakhir berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan,
maka urutan peraturan perundangan RI adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama


Bupati/Walikota

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama.

Sebelum dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, tata urut dan penamaan bentuk-
bentuk peraturan mengalami banyak kerancuan. Sebagai contoh adalah di beberapa
kementerian, digunakan istilah Peraturan Menteri tetapi di beberapa kementerian lainnya
digunakan istilah Keputusan Menteri, padahal jelas-jelas isinya memuat materi-materi yang
mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagainya. Disamping itu
untuk mengatur secara bersama berkenaan dengan materi-materi yang bersifat lintas
departemen, berkembang pula kebiasaan menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri, atau
peraturan dalam bentuk Surat Edaran, padahal bentuk keputusan bersama dan surat edaran itu
jelas tidak ada dasar hukumnya. Kemudian mengenai Ketetapan MPR, apakah ketetapan
MPR itu termasuk peraturan atau bukan, karena isinya sering sama dengan Keputusan
Presiden yang hanya bersifat penetapan biasa.

Keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 itu sebenarnya merupakan upaya penyempurnaan dalam
rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia di masa yang akan datang.

D. Latihan

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!

1. Jelaskan pengertian sumber hukum pada umumnya!


2. Sebutkan dan jelaskan yang menjadi sumber hukum material dan sumber hukum formal!

3. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber hukum administrasi negara!

4. Jelaskan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini!

5. Mengapa jurisprudensi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum administrasi negara!

E. Rangkuman

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan
memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata bagi pelanggarnya.

Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum
Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu faktor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini
dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum
Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk
hukum yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.

Undang-Undang (Statute) yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara,
dan tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Kebiasaan (Costum) yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal
yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu
selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan
kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian
timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam
memutusakan kasus-kasus yang sama.

Traktat (Treaty) yaitu perjanjian antar negara/ perjanjian internasional/perjanjian yang


dilakukan oleh dua negara atau lebih.

Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya
terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan, maka urutan peraturan
perundangan RI adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah:
a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama


Bupati/Walikota

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama.

Preambule NKRI - Pancasila


OPINI
Joehanes Budiman
| 1 Juni 2010 | 10:31

292
1
1 dari 1 Kompasianer menilai Inspiratif.
Pancasila adalah Preambule (Preamble) dari Konstitusi UUD’45
Tahukah kita bahwa Pancasila adalah Preambule dari Konstitusi UUD’45?

Preambule sendiri adalah dasar dari Konsitusi. Konstitusi bisa dirubah (diamandemen) tanpa
harus ‘membubarkan’ negara itu terlebih dahulu. Tapi bila Preambule dirubah, maka negara
itu pasti ‘bubar.’

Kemudian kenapa menempatkan Pancasila, GBHN, P4, UUD’45 dan Tap MPR dalam satu
tataran? Padahal kalo dalam sistem ketatanegaraan. Pancasila jelas teratas kemudian disusul
UUD’45, …., GBHN, Tap MPR, ……dstnya sedangkan P4 adalah suatu produk pelaksanaan
yang tidak termasuk dalam sistem ketatanegaraan tapi hanya merupakan suatu syarat dalam
menduduki suatu birokrasi pada jaman Orde Baru.

kurnaelis.wordpress.com

Jadi logikanya, kalo bernegara perlu suatu platform bersama, yaitu Pancasila. Karena
Platform ini adalah Landasan filosofis maka perlu penjabarannya secara garis besar, yaitu
Konstitusi UUD’45. Berdasarkan (berpedoman) Pancasila dan UUD’45, maka dibentuk
GBHN sebagai guidance. Realisasi dari GBHN adalah Tap MPR dan policy-nya dalam
bentuk UU … dstnya PP, Keppres, Kepmen, Perda…dstnya. Ini ‘kan urutan ketatanegaraan
dan di tiap negara pun pasti birokrasinya seperti itu.

Masalah di Indonesia adalah ketika banyak peraturan di level birokrasi bawah tidak sinkron
dengan peraturan di level di atasnya atau bahkan bertentangan dengan Landasan Filosofi
Pancasila atau UUD’45. Kenapa ini bisa terjadi? Karena tidak mengertinya (atau ada pihak
lain yang berkepentingan menghancurkan negara) para pembuat policy tsb akan Pancasila.
Inilah kenapa pengertian Pancasila itu sangat penting untuk kelangsungan hidup NKRI.

Kemudian apakah kemajuan suatu Bangsa hanya dihitung dari indeks GDP-nya? Bagaimana
dengan Kebebasan Beragama (Religiositasnya-Sila ke-1)? Bagaimana dengan Index of
Humanity atau keadaan Humanitas (sila ke-2) di sana? Bagaimana dengan Persatuan dalam
kesetaraan (sila ke-3)? Bagaimana dengan kedaulatan dan demokrasinya (sila ke-4)? Dan
bagaimana dengan Keadilan Sosialnya (sila ke-5)?

Apakah sebuah negara makmur tapi kecil seperti Singapore bisa ‘independen’ (berdaulat, sila
ke-4) bila negara besar seperti Amerika thinks otherwise? Apakah Singapore dalam masa
puluhan tahun merdeka bisa me-manage belasan ribu pulau, ratusan suku dan bahasa dan
memperlakukannya secara equal (sila ke-3) ?

Kalo mau basis GDP, lihat Arab Saudi saja. Makmur, tapi tidak merata (Tidak ada sila ke-5).
Makmur tapi HAM-nya parah (Sila ke-2). Makmur, tapi cuma 1 Ras saja. (Sila ke-3).
Makmur tapi apa ada Kebebasan beragama (sila ke-1). Paling banter mereka punya
Kedaulatan, tapi tanpa demokrasi.

Sayang sekali, Indonesia memang dari awal sudah menerapkan standard tinggi. (Istilah
sindirannya :

Garuda

Garuda membumbung tinggi). Mau Makmur tapi ada Kebebasan Beragama, ada Human
Rights, ada Kesetaraan dalam Persatuan, ada Kedaulatan dalam kerangka demokrasi dan ada
pemerataan sosial. Tapi apakah ke-5 nilai-nilai itu cocok dengan saya yang kebetulan lahir di
Indonesia? Menurut saya, cocok dan amanah. Maka saya dukung negara Indonesia dengan
Weltanchauung Pancasila…ngapain dirubah bila tidak bisa menemukan yang lebih baik.

Kalo ngak setuju dengan ke-5 nilai-nilai itu, ya mbok, cari dong negara lain yang cuma
mengadopsi Kemakmuran sebagai landasan filosofis-nya misalnya. Istilahnya, Mau jadi
spiritual, ya harus bertobat dulu, masa cuma mau punya koneksi dengan orang-orang kaya
atau cari jodoh di rumah ibadah. Ya jangan dong! Apa bisa seperti itu?

Ok, let’s compare what happen in Indonesia with what happen in AS.

Weltanchauung suatu negara biasanya ada di Preamble of The Constitution. Untuk Amerika,
in this case, ternyata Preamblenya adalah Declaration of Independence yang isinya antara lain
adalah :

www.frugal-cafe.com/public_html

We hold these Truths to be self-evident, that all Men are created equal, that they are
endowed, by their Creator, with certain unalienable Rights, that among these are Life,
Liberty, and the Pursuit of Happiness.

Intinya, Amerika mengizinkan setiap warganya untuk bertahan hidup secara merdeka dan
mencari kebahagiaan as long as warganya menganggap semua orang adalah Setara atau
Equal.

AS merdeka 1776, tapi tahun 1960-an masih saja terdapat segregration white and black atau
White Supremacy di hampir semua negara bagian (bukan negara federal) yang berada di
selatan AS. Dan banyak UU/PP/Perda yang membenarkan Segregation itu. Jadi selama
hampir 200 tahun merdeka, ternyata “All Men are created equal” hanyalah mitos bagi
sebagian besar WargaNegara Amerika berkulit hitam yang tinggal di negara2 bagian yang
terdapat di selatan AS.

Tapi tentu saja, setelah Martin Luther King, Jr. memprotes hal ini dan menggerakan gerakan
sipil tanpa

Setara

kekerasan di jalan-jalan utama Amerika, maka ternyata integrasi yang sebenarnya dan
sinkronisasi terhadap “All Men are created equal” baru terjadi tahun 1960-an, hampir 200
tahun setelah Amerika menyatakan kemerdekaannya.

Di Indonesia, kita baru merdeka 60 tahun dan kita tidak harus menunggu sampai hampir 200
tahun (seperti AS) untuk mensinkronkan keinginan kita dengan Pancasila. Kita harus lakukan
sekarang!

Gantilah nama Pancasila dengan apapun namanya, bila sudah terlalu muak

iwandahnial.wordpress.com

dengan AKSARA Pancasila, asalkan ke-5 nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak
diganti secara substansial. Soekarno sendiri merekomendasikan hal itu, dengan memberikan
alternatif Trisila maupun Ekasila (Gotong Royong).

Pembatasan jabatan presiden maks. 2 kali di Amerika baru menjadi hukum pada jaman
kepemimpinan presiden Truman (1945-an). Sebelumnya, tidak pernah ada hukum ttg. hal itu
kecuali meneladani apa yang dilakukan Presiden pertama AS George Washington. Tapi
memang ada seorang president AS yang menjabat 3 kali masa jabatan, yaitu Presiden FDR
(Roosevelt). Tapi ini terjadi sebelum pembatasan jabatan presiden maks. 2 kali di Amerika
diberlakukan sebagai hukum yang baku.

GDP tidak selalu objektif dan tidak bisa dijadikan indikator untuk mengukur keberhasilan
suatu negara.
GDP mungkin saja bisa mengukur tingkat kemakmuran suatu negara, tapi tidak mampu
mengukur pemerataan kemakmuran. Itu pun tidak bisa selalu objektif karena data-data
tersebut diperoleh dari birokrasi-birokrasi dari negara masing-masing. Tapi GDP jelas tidak
bisa mengukur keberhasilan suatu negara. GDP Indonesia jelas lebih tinggi ketika di jaman
rezim Orde Baru, tapi angka tsb bisa tercapai pada era itu dengan pengorbanan Sila ke-5, dan
Sila ke-2 karena tidak ada ‘equality distribution of income’ (sila ke-5), dan tidak ada
‘humanitas’ (sila ke-2).

Sekali lagi masalah yang dihadapi Indonesia.


The preamble is presented as a syllogism, with one proposition leading to another
proposition. From the first proposition (that all men are created equal), a chain of logic is
produced that leads to the right and responsibility of revolution when a government becomes
destructive of the people’s rights.

Demikian pula negara Indonesia. Pancasila yang terdapat dalam Preambule (Pembukaan-ed)
UUD’45 semestinya menjadi sebuah rantai logika yang digunakan pembuatan keputusan dan
penerapan UU yang mengatur negara atau ‘alasan’ sebuah gerakan protes pada keputusan atau
UU atau aturan sebuah pemerintahan dan penguasa yang tidak sesuai dengan hati nurani
rakyat. Hati nurani rakyat itu apa … ya untuk di Indonesia basisnya adalah Pancasila. Di AS
basisnya adalah All Men are created Equal (kesetaraan). Di Taiwan basisnya adalah
Demokrasi, Nasionalis dan Sosialis. Di Russia basisnya adalah Marxisme, Sejarah dan
Materialisme. Di Arab Saudi adalah Syariat Islam (berdasarkan Mazbah Hambali).

Jadi misalnya SKB 2 Menteri ttg. Pengaturan Rumah Ibadat atau UU No. 6/1965 ttg.
pengaturan agama yang diakui di Indonesia, jelas mencederai hati nurani rakyat bila mengacu
pada Pancasila. Kenapa?

Sila ke-1 Pancasila adalah Ketuhanan YME, bukan Tuhan YME.


Penjelasan di P4 Orde Baru, berarti RI hanya mengakui agama yang menyembah Tuhan
YME, yang mana arti “ESA” pun akhirnya di’downgrade’ kan artinya menjadi Tuhan yang
Personal. Akhirnya pun, agama Buddha ‘terpaksa’ berkompromi dengan mengakui Buddha
sebagai Tuhan Personal mereka. (Padahal bukan begitu).

Tapi bila kita lihat lagi pidato Soekarno 1 juni 1945, Sila ke-1 yang dimaksud adalah
Kebebasan Beragama bagi setiap WNI atau Religiositas. Hal ini dipertegas (one proposition
leading to another proposition) oleh UUD’45 Psl 29, dimana Negara menjamin (bukan
mengatur) kebebasan WNI untuk beribadah menurut agama/kepercayaannya masing2.
UUD’45 sendiri tidak mengatur agama apa saja yang boleh/tidak boleh atau di mana lokasi
rumah beribadah.

www.dinamikaebooks.com/

Jadi SKB 2 Menteri ttg. rumah peribadatan maupun UU No. 6/1965 misalnya jelas menyalahi
pasal 29 UUD’45 dan Sila ke-1 Pancasila. Atas dasar ini ( a chain logic to produce right and
responsibility), maka rakyat boleh ‘menegur’ atau bahkan ber-revolusi untuk menjatuhkan
pemerintah yang berkeputusan tidak berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila.

Jadi …ha ..ha jangan tertipu. Seorang Hizbut Tharir (HT) atau FPI atau MMI tidak bisa
mempersilakan orang lain keluar dari Indonesia bila tidak bisa menerima Syariat Islam.
Dasarnya apa? kecuali kekuatan fisik alias kekerasan. Kalo dasarnya mayoritas, mayoritas
yang mana? Toh, yang membuat Pancasila pun termasuk orang-orang muslim juga. Dasar
Negara Indonesia adalah Pancasila, dan selama Pancasila masih menjadi dasar negara, justru
ormas-ormas apapun yang tidak bisa menerima Pancasila, silakan keluar dari Indonesia.
Untuk hal ini kita harus tegas bahkan kepada seorang teman HT.

Masalah jumlah orang yang tanda-tangan sebuah Proklamasi Kemerdekaan.


Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memang hanya ditanda-tangani oleh Soekarno
dan Hatta. Tapi bukan berarti itu tidak mewakili seluruh wilayah Indonesia dan ‘terjadi
pemaksaan’ penggabungan daerah lain pada Jawa dan Sumatera.
Logika ini dibandingkan dengan Declaration of Independence yang ditanda tangani dari
wakil2 13 daerah koloni di AS tahun 1776.

Dengan pemahaman yang sama, apakah berarti AS memaksakan 37 negara bagian lainnya
(sekarang AS mempunyai 50 Negara Bagian) untuk bergabung dalam USA?

Colorado, Texas, Hawai, Alaska, Indiana, Florida, New Mexico, California, Washington
termasuk dari daerah-daerah yang tidak ikut menanda-tangani Declaration of Independence,
demikian juga suku asli Indian dan Orang berkulit hitam, apakah berarti mereka ‘dipaksa’ utk
bergabung dengan USA dan punya ‘hak atau kewajiban’ untuk tidak merujuk pada “All Men
are created Equal” ?

Saya yakin, AS di tahun 1960-an, ketika terpaksa di’blow-up’ oleh Martin Luther King Jr di
jalan-jalan utama Amerika, punya diskusi yang sama dengan apa yang sedang kita lakukan di
Indonesia sekarang ini. Bagaimana tidak, karena telah terjadi ‘ketidaksinkronan’ antara apa
yang terjadi di negara-negara bagian selatan AS seperti Alabama, Mississippi, etc, yang
menerapkan segregration white-black (mirip apartheid) dengan apa yang tertulis dalam
Preambule Declaration of Independence, yaitu “All Men are created Equal.” Apalagi
Alabama, Mississippi termasuk 13 states yang tidak ikut menanda-tangani Declaration of
Independence tahun 1776.

Tapi Amerika bisa menyelesaikan masalah ini dengan tetap pada “Equality” yang tertera
dalam Declaration of Independence. Setelah masalah “segregation” ini beres, Amerika bisa
menjadi negara superpower.

Bandingkan dengan India, ex-Yugoslavia, ex-Provinsi Timor, dan ex-Uni Sovyet.


Hari ini, India dihantui dan dipermainkan negara-negara besar lain ttg. permusuhan mereka
dengan Pakistan, karena tidak mampu menyelesaikan masalah Hindu-Islam di tahun 1940-an,
menjelang kemerdekaan ke-2 negara ini.

ex-Yugoslavia sudah menjadi hancur menjadi negara-negara berdasarkan mayoritas agama


seperti Serbia, Montenegro, Bosnia, Kroasia, dan Slovakia. Mereka menjadi negara-negara
lemah, baik dari segi kekuatan politik maupun ekonomi.

ex-Provinsi Timor, atau sekarang Negara Timor Leste menjadi sapi perahan negara besar
seperti Australia (dan Indonesia) karena amat sukar mandiri.

ex-Uni Sovyet seperti Russia sudah tidak punya gigi lagi di depan negara superpower seperti
AS dan China karena Ukraina, Russia, dll lebih memilih terpecah belah dalam menyelesaikan
masalah dalam negeri mereka tahun 1990-an ketimbang bersatu dalam suatu negara utuh
seperti apa yang dilakukan Amerika ketika perang sipil maupun ketika di tahun 1960-an.

Perpecahan suatu negara bukanlah satu-satunya solusi.

Apakah Burung Garuda masih terbang tinggi membumbung di Angkasa? Menurut saya sih
tidak karena itulah realitas yang kita belajar dari sejarah dunia.

NB: Selamat Ultah Hari Lahirnya Pancasila ke-65. Dasar Negara Indonesia, bukan hanya
platform dari suatu partai tertentu.
PENGANTAR

INSTITUSI PERADILAN DAN LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM ISLAM

seperti melalui penggunaan PERKEMBANGAN PRAKTEK HUKUM MU'AMALAT

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI SISTEM HUKUM

Artinya, UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Meskipun sistem
peradilan nasional bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, materi hukum yang dijadikan pegangan
oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Bahkan secara historis sistem hukum nasional Indonesia
sepeerti dikenal sejak lama memang bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem
hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-raktek yang dipengaruhi oleh berbagai
perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh
pengaruh pergaulan bangsa Indonesia.

Dalam praktek, apalagi dalam dunia yang terus berubah ke arah hubungan-hubungan yang makin
pengaruh-mempengaruhi seperi sekarang ini, kita memang tidak mungkin menolak ide-ide dan norma-norma
hukum yang berasal dari tradisi dan praktek hukum negara-negara lain yang mempengaruhi sistem hukum
nasional kita. Demikian pula keragaman tradisional hukum yang tumbuh dan hidup dalam pergaulan masyarakat
kita sendiri yang sangat plural dari Sabang sampai Merauke, tidak mungkin diabaikan jika sistem hukum nasional
kita diharapkan dapat bekerja secara efektif sebagai instrumen untuk menciptakan kedamaian dan keadilan
dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, sumber-sumber tradisi hukum adat masyarakat kita yang hidup,
sumber-sumber tradisi hukum yang dihayati secara mendalam, dalam keyakinan keagamaan masyarakat kita,
dan bahkan sumber-sumber norma hukum yang sama sekali asing sekali pun, sepanjang memang kita butuhkan
untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran serta kedamaian hidup tidak mungkin kita tolak pemberlakuannya
dalam kesadaran hukum masyarakat dan bangsa kita.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagai dampak kebijakan otonomi daerah sekarang ini, di masa yang
akan datang kita akan makin banyak menyaksikan berkembangnya gejala pluralisme dalam pengaturan
mengenai materi hukum dan desentralisasi dalam pengelolaan dan pembinaan hukum nasional kita.
Kecenderungan desentralisasi dan keragaman sistem hukum itu berkembang sesuai dengan prinsip- lex
specialis derogat lex generalis yang dikenal dan diakui sebagai doktrin yang universal dalam hukum. Akan tetapi,
semua ini haruslah kita lihat sebagai elemen substantif dari sistem hukum kita itu. Aspek substansi itu masih
harus ditata dan dilembagakan dalam bentuk bentuk hukum yang memang disepakati bersama secara
demokratis. Artinya, keragaman isi atau esensi tidak harus dilembagakan dalam keragaman bentuk. Oleh karena
itu, norma-norma syari'at agama Islam juga perlu dituangkan dalam format peraturan yang dapat disepakati
bersama. Hal ini penting, bukan saja untuk memudahkan penegakannya di lapangan, tetapi juga untuk mengatasi
persoalan interpretasi yang mungkin timbul dalam lingkungan keyakinan mengenai hukum syari'at Islam itu
sendiri. Karena cakupan pengertian dan muatan isi kaedah-kaedah yang diatur dalam sistem hukum syari'at
Islam itu juga sangatlah luas. Disamping itu, penerapannya dalam praktek juga memerlukan dukungan
pendidikan dan dakwah yang juga sangat luas. Selain itu, banyak pula aspek-aspek substansi tradisi hukum
syari'at Islam itu sendiri yang masih harus dikembangkan pula dengan agenda yang secara tersendiri agar tradisi
hukum Islam itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Jika misalnya kita mengatakan mulai sekarang syari'at Islam dapat diberlakukan di Aceh, maka kita sendiri
harus pula mengerti betul apa yang kita maksudkan dengan syari'at Islam itu sendiri. Kalau kita membatasi diri
pada pengertian hukum, kita pun harus jelas betul perbedaan antara perkataan syari'at Islam dalam pengertian
luas dengan hukum syari'at yang harus ditegakkan. Disamping itu, kita juga harus menata dulu pengertian kita
tentang hukum dalam arti fiqh' yang merupakan cabang ilmu ke Islaman membahas mengenai syari'at Islam.
Pengertian 'fiqh'itu sendiri harus pula dikembangkan secara lebih rinci ke dalam pengertian 'qanun' yang berisi
kaedah yang perlu dikukuhkan oleh sistem kekuasaan urn urn (negara). Oengan demikian, antara aspek isi atau
esensi dan bentuk hukum (qanun) itu haruslah dipandang sebagai sesuatu yang niscaya dalam pemahaman kita
mengenai proses penataan kembali pengertian kita mengenai hukum syari'at Islam. Hanya dengan begitu tugas
kita untuk menerapkan atau menegakkan sistem hukum syari'at Islam itu menjadi mudah.

dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja
ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga
dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan
Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945 ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan dalam Pasal 9 ditentukan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan
diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'. Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-
Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan
Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam
kekuasaan Raja. Maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem
kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam
sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan
dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi
penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi
upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.

BENTUK PERATURAN HUKUM (QANUN)

Sebelum peraturan pusat yang diperlukan itu ditetapkan, daerah diperbolehkan membuat dan menetapkan
sendiri peraturan daerah menurut kebutuhannya masing-masing. Jika nantinya, setelah peraturan pusat itu
dikeluarkan, barulah peraturan daerah itu disempurnakan sehingga tidak bertentangan dengan peraturan pusat.
Artinya, semangat yang dikandung dalam kebijakan. Lagi pula, misalnya, berkenaan dengan pemberlakuan
syari'at Islam Aceh telah pula ditetapkan undang-undang yang bersifat khusus yan memungkinkan hal itu
dilaksanakan segera. Karena itu, sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah dan undang-undang khusus
tersebut, pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syari'at Islam sudah dapat segera dilakukan
di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun
agenda perancangan yang berkenaan dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Idealnya, Peraturan
Daerah itu tidak lagi mengatur hukum syari'at Islam dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal
yang rinci dan spesifik. Misaln ada Perda khusus berkenaan dengan sistem perbankan syari'at, ada Pertentang
Hakam dan Arbitrase Mu'amalat, ada Perda tentang Tijaroh, ada Perda tentang Wakaf, ada Perda tentang
Wisata Ziarah, ada Perda tentang Standar Pangan, dan sebagainya. Semuanya memuat substansi tentang
hukum syari Islam itu secara konkrit. Dalam sistem hukum Islam, status peraturan daerah itu sama dengan
'qanun' yang merupakan pelembagaan resmi materi fiqh lama.

Demikianlah beberapa contoh yang dapat diperbincangkan berkenaan dengan upaya melakukan elaborasi
terhadap pengertian kita mengenai hukum syari'at Islam yang harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah
itu. Dengan demikian, di era reformasi ini terbuka peluang yang luas bagi sistem Hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan dan
bahkan pembentukan hukum baru yang bersifat mengadopsi tradisi sistem Hukum Islam untuk dijadikan norma
hukum positif dalam sistem Hukum Nasional kita. Bahkan, dapat pula dipikirkan kemungkinan mengembangkan
ini atau ijtihad-ijtihad baru di lapangan hukum yang lebih luas, misalnya lapangan hukum pidana atau pun hukum
tatanegara. Sebagaimana kita dapat mengadopsi berbagai pemikiran dan tradisi hukum barat atau pun hukum
asing lainnya yang positif bagi perkembangan hukum di Indonesia, kita juga dapat mengadopsi sistem dan tradisi
hukum Islam yang didasarkan atas kesadaran iman bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa pemeluk
agama Islam terbesar di dunia dewasa ini.

Apa yang diuraikan di atas pada pokoknya menyangkut agenda penataan kembali institusi hukum dan
pembaruan berbagai perangkat perundangundangan yang diperlukan dalam upaya membangun sistem hukum
nasioal yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Namun demikian kedua agenda reformasi
kelembagaan (institutional reform) tersebut tidak akan dapat diharapkan berfungsi efektif apabila kesadaran
hukum dan budaya hukum masyarakat tidak menunjang. Karena itu, perlu dikembangkan upaya-upaya
pembinaan dan pembaruan yang sistematis dan terarah mengenai orientasi pemikiran, sikap tindak, dan
kebiasaan berperilaku dalam kehidupan masyarakat luas (cultural reform).

Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional,
akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat
memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai - nilai Islam,
kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan memberikan dukungan terhadap norma-norma yang
sesuai kesadaran dalam menjalankan syari'at agama. Dengan demikian. pembinaan kesadaran hukum
masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan
datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal
dari luar kesadaran hukum masyarakat.
SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan
memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan
berlakunya hukum secara fomal artinya darimana hukum itu dapat ditemukan, darimana asal
mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar
putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat
atau berlaku dan lain sebagainya.

Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan administrasi negara yang
bersifat nasional dan juga internasional sebagai perkembangan global saat ini, tentunya
menjadikan bahwa sumber hukum administrasi negara dapat berasal dari sumber hukum
nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sumber
hukum internasional seperti perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain dan
juga berupa konvensi internasional yang telah diratifikasi.

B. Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil

Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum
Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu factor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini
dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum
Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk
hukum yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.

Menurut Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno (1986: 63), membagi sumber hukum
menjadi dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

1) Sumber Hukum Materiil, ialah tempat dimana hukum itu diambil. Sumber hukum
materiil ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan social politik, situasi social ekonomi, pandangan keagamaan dan
kesusilaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis.
Contoh: Seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan
ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan
bagi seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi
sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.

2) Sumber Hukum Formal, ialah tempat atau sumber darimana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara formal.

Van Apeldoorn dalam R. Soeroso (2005:118), membedakan empat macam sumber


hukum, yaitu:

1) Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya
dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah ini dibagi
menjadi dua yaitu:

a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya


hukum secara historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.

b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang


mengambil bahannya.

2) Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang


menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama,
dan sebagainya.

3) Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga
pandangan yang mencoba menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:

1. Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari


Tuhan

2. Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal


dari akal manusia
3. Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal
dari kesadaran hukum

b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan


mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah
hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa,
tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau
kepercayaan.

4) Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terjadinya
hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang
mengikat hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar
dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-
undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara.

Marhaenis (1981:46), membedakan sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum
ditinjau dari Filosofis Idiologis dan sumber hukum dari segi Yuridis.

1) Sumber Hukum Filosofis Idiologis, ialah sumber hukum yang dilihat dari kepentingan
individu, nasional, atau internasional sesuai dengan falsafah dan idiologi (way of life)
dari suatu Negara Seperti liberalisme, komunisme, leninisme, Pancasila.

2) Sumber Hukum Yuridis, merupakan penerapan dan penjabaran langsung dari sumber
hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan pembedaan antara sumber hukum
formal dan sumber hukum materiil.

a. Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya
misalnya: KUHP segi materiilnya ialah mengatur tentang pidana umum,
kejahatan, dan pelanggaran. KUHPerdata, dari segi materiilnya mengatur
tentang masalah orang sebagai subyek hukum, barang sebagai obyek hukum,
perikatan, perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.

b. Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum dilihat dari segi yuridis dalam
arti formal yaitu umber hukum dari segi bentuknya yang lazim terdiri dari:
Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, Traktat.
Sebagai sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara menurut E. Utrecht.,
ialah:

1. Undang-undang/Hukum Administrasi Negara Tertulis

2. Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan Hukum


Kebiasaan)

3. Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding (oleh Hakim ataupun yang
tidak ada banding oleh Administrasi negara tersebut)

4. Doktrin/Pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara

1) Undang-Undang (Statute)

Yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan
tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini
mempunyai dua arti yakni:

Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang merupakan undang-
undang karena cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh
presiden bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.

Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut
isinya mengikat langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan
mengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.

Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”. Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya
berdasarkan Pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama”.
Dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan
lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi
yang dimiliki oleh Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD
1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikati dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak
dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih.

Bentuk hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-
sama merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran
wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa,
meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.

Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat
tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang
untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU,
Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama
para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang
mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang
lebih tinggi tersebut.

2) Kebiasaan (Costum)

Yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang
sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu
selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan
dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan
demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang
sebagai hukum.
Sudikno (1986:82) menguraikan bahwa kebiasaan merupakan tindakan
menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat
atau pergaulan hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan
perilaku manusia yang diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai
kekuatan normatif, dan mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang
banyak maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya
menimbulkan keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Yang
menjadikan tingkah laku itu kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan semata-
mata unsur terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut inilah maka
lalu diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan karena pendapat
seseorang tetapi pendapat masyarakat.

Tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh
karena itu belum tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber
hukum. Hanya kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima
masyarakat yang sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian
berkembang menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang
tidak baik dan ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum
kebiasaan masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan
sebagainya.

Sudikno (1986: 84) menyebutkan bahwa untuk timbulnya kebiasaan


diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu:

a. Syarat materiil

Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa


et invetarata consuetindo).

b. Syarat intelektual

Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio


necessitatis).

c. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar


Utrecht (1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah
kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –
dalam suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup
menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut
dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk
lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu
kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih juga
sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima
perhatian dari pihak pemerintah”.

Di Indonesia kebiasaan itu diatur dalam beberapa undang-undang yaitu antara


lain:

Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat


untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.

Pasal 1346 KUHPerdata disebutkan bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus


ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat
persetujuan telah dibuat”.

Selanjutnya dalam Pasal 1571 KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika


perjanjian sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa
tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu
memberitahukan kepada pihak lain bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan
mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.

Mengenai praktek administrasi negara sebagai sumber hukum formil, dapat


dikatakan bahwa praktek itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan
(hukum tidak tertulis). Hukum administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk dan
dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara. Sebagai
suatu sumber hukum formil, maka sering sekali praktek administrasi negara itu berdiri
sendiri (zelfstandig) disamping undang-undang. Bahkan tidak jarang praktek
administrasi negara mengesampingkan (opzijzetten) peraturan perundang-undangan
yang telah ada.
R. Soeroso (2005: 155) menyatakan kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu 1)
bahwa hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh karenanya tidak dapat
dirumuskan secara jelas dan pada umumnya sukar menggantinya, dan 2) bahwa
hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara
karena hukum kebiasaan mempunyai sifat aneka ragam.

3) Keptusan-Keputusan Hakim (Yurisprudensi)

Purnadi Purbacaraka menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal dari


kata yurisprudentia (bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum
(rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya
dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan
peradilan. Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum
(algemeene rechtsleer: General theory of law), sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law atau Judge Made Law. Dari segi
praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan
pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.

Beberapa alasan seorang hakim mempergunakan putusan hakim yang lain


(yurisprudensi) yaitu:

a. Pertimbangan Psikologis

Hal ini biasanya terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung, maka biasanya dalam hal untuk kasus-kasus yang sama hakim di
bawahnya secara psikologis segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di
atasnya tersebut.

b. Pertimbangan Praktis

Pertimbangan praktis ini biasanya didasarkan karena dalam suatu kasus yang
sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat
atau dibenarkan oleh pengadilan tinggi atau MA maka akan lebih praktis apabila
hakim berikutnya memberikan putusan yang sama pula. Di samping itu apabila
keputusan hakim yang tingkatannya lebih rendah memberi keputusan yang
menyimpang atau berbeda dari keputusan yang lebih tinggi untuk kasus yang
sama, maka keputusan tersebut biasanya tentu tidak dibenarkan/dikalahkan pada
waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.

c. Pendapat Yang sama

Pendapat yang sama biasanya terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat
dengan keputusan hakim lain yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau
sama.

4) Traktat (Treaty)

Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian internasional/perjanjian yang


dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak
yang bersangkutan terikat pada perjanjian yang mereka adakan itu. Hal ini disebut
Pacta Sun Servada yang berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang
mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.

Ada beberapa macam traktat (treaty) yaitu:

a. Traktat bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig

Yaitu apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara
pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi
menyangkut kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.

b. Traktat Multilateral

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian


kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.

c. Traktat Kolektif atau traktat Terbuka

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral
yang kemudian terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh:
Perjanjian dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota
PBB yang terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa
tahap dimana setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai
berikut:

1. Tahap Perundingan

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara
yang akan mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis atau melalui teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat
dilakukan dengan melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan
berunding baik melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau sidang.

2. Tahap Penutupan

Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat
atau persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk
teks tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau
“Sluitings-Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing
utusan negara yang mengadakan perjanjian.

3. Tahap Pengesahan atau ratifikasi

Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing


negara (biasanya tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk
dimintakan persetujuan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk
itu.

4. Tahap Pertukaran Piagam

Pertukaran piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka


naskah piagam yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-
masing dipertukarkan antara kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam
traktat kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam tersebut diganti dengan
peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu,
dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan
persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan
dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.

5) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Biasanya hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-


undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber
tersebut tidak dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya
dicari pada pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah
pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap
hakim, dalam mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak
ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada pengadilan Agama
dalam pengambilan putusan-putusannya.

C. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Menurut Tap MPRS XX Tahun 1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong mengenai sumber tertib Hukum RI dan tata urut perundangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang/Perpu

4. Peraturan Pemerintah

5. keputusan Presiden

6. Peraturan Menteri

7. Instruksi Menteri

Untuk menata kembali struktur dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut,


berdasarkan Tap MPR RI No. III tahun 2000 disusun suatu struktur baru peraturan
perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:

1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang (UU)

4. Perpu

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Keputusan Presiden (Keppres)

6. Peraturan Daerah (Perda)

Dan terakhir berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan,
maka urutan peraturan perundangan RI adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama


Bupati/Walikota

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama.

Sebelum dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, tata urut dan penamaan bentuk-
bentuk peraturan mengalami banyak kerancuan. Sebagai contoh adalah di beberapa
kementerian, digunakan istilah Peraturan Menteri tetapi di beberapa kementerian lainnya
digunakan istilah Keputusan Menteri, padahal jelas-jelas isinya memuat materi-materi yang
mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang
mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagainya. Disamping itu
untuk mengatur secara bersama berkenaan dengan materi-materi yang bersifat lintas
departemen, berkembang pula kebiasaan menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri, atau
peraturan dalam bentuk Surat Edaran, padahal bentuk keputusan bersama dan surat edaran itu
jelas tidak ada dasar hukumnya. Kemudian mengenai Ketetapan MPR, apakah ketetapan
MPR itu termasuk peraturan atau bukan, karena isinya sering sama dengan Keputusan
Presiden yang hanya bersifat penetapan biasa.

Keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 itu sebenarnya merupakan upaya penyempurnaan dalam
rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia di masa yang akan datang.

Dasar Filosofis Larangan Penetapan harga tidak berlaku pada perjanjian yang
didasarkan pada Undang-Undang

Pendahuluan

Setelah merenung beberapa hari, berfilsafat mengurung diri dikamar seharian sambil
membaca buku-buku filsafat. Berangkat dari pemikiran Satjipto Raharjo (1986: 224-225)
menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum
positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan
kehadiran teori hukum secara jelas.
Setelah menelisik lebih jauh ternyata menurut ketentuan Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat beberapa hal, baik perbuatan
maupun perjanjian yang dikecualikan dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut sebagai
berikut:
1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; atau
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang,
serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan
atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok
kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah
diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Sebagaimana telah dijelaskan maka ketentuan poin pertama senada dengan Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999
“(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: (a) suatu perjanjian
yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau, (b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-
undang yang berlaku.”

Ditinjau dari sudut Hukum Pidana

Ketentuan Pasal 50 KUHP


Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak
dipidana.

Jika dibandingkan dengan ketentuan pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5
Tahun 1999 mengenai ketentuan pidana apabila melakukan suatu tindakan penetapan harga.
Maka sangat jelas bahwa ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b) merupakan alasan pembenar
atau peniadaan sifat melawan hukum. Jika dikaitkan dengan unsur melawan hukum maka
secara filosofis bahwa berlakunya sifat ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil
(materiele wederechtelijkheid), dimana suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana, tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang sudah ada
(nullum crimen sine lege), tetapi juga apabila perbuatan tersebut bertentangan juga dengan
kesadaran hukum masyarakat, bertentangan dengan hukum adat, asas kepatutan atau hukum
tidak tertulis (the living law). Dalam arti, walaupun belum ada suatu peraturan perundangan‐
undangan yang menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana, tetapi apabila perbuatan tersebut “bertentangan” dengan kesadaran hukum suatu
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana. Dengan kata lain, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan untuk diminta pertanggungjawabannya. Namun,
penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus sesuai rambu nilai‐nilai yang
terkandung dalam Panca Sila dan prinsip‐prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
internasional
Namun bertentangan dengan undang-undang ini menurut pendapat salah seorang nara sumber
dalam seminar dan workshop yang diselenggarakan oleh LK2 FHUI beberapa hari lalu
menyatakan setidak-tidaknya yang dimaksud dengan “undang-undang” ini ialah :
• Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah yang diamanatkan langsung oleh Undang-Undang diatasnya.
Jadi secara filosofis ditinjau dari aspek pidana maka ketentuan ini jika ditarik secara analogi,
walaupun penetapan harga sebagaimana pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5
Tahun 1999 diancam dengan hukuman pidana namun eksistensinya bisa diderogatkan dengan
suatu undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang didelegasikan langsung oleh
undang-undang.

Ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara

Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang‐undangan yang
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan
MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada
maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai hukum dasar tertinggi atau
yang disebut sebagai Staatgrundgezet. Seharusnya menyesuaikan dengan amandemen
konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori derogat legi
inferiori, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah
bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Kemudian ketika ada norma peraturan perundang-undangan memberikan suatu blanko kosong
baik tersirat maupun tersurat keberlakuan dari norma tersebut. Walaupun norma tersebut pada
tataran yang sama, undang-undang, norma peraturan yang ditunjuk bisa menyingkirkan
ketentuan norma yang menunjuknya. Maka secara filosofis ditinjau dari peraturan perundang-
undangan ketika undang-undang menyingkirkan ketentuan norma undang-undang lainnya, hal
tersebut diperbolehkan. Sedangkan PP yang merupakan delegasi langsung (disebutkan dalam
undang-undang), PP tersebut dianggap oleh beberapa pakar sebagai suatu ketentuan yang
melekat pada uu, sehingga masih bisa digunakan untuk keberlakuan dari pasal 5 ayat (2)
huruf (b).

Ditinjau dari sudut Hukum Acara

Dalam perkara perdata, selama ini Hakim di Indonesia terbelenggu oleh Pasal 163 HIR
(Herziene Inlandsch Reglement) - Hukum Acara Perdata - yang berbunyi “siapa yang
mendalilkan dialah yang harus membuktikan”, serta konsep kedudukan sama (equal) para
pihak dimuka pengadilan. Dalam hal ini secara filosofis ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b)
merupakan ketentuan yang wajib dibuktikan oleh pihak yang melakukan penetapan harga,
jadi sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakan subjek hukum tersebut didasarkan oleh
undang-undang, maka perbuatannya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban karena
perbuatannya telah dibenarkan oleh undang-undang.

25 - 29 JUN 1994
SEMINAR HUKUM NASIONAL VI
JAKARTA
Seminar Hukum Nasional Ke VI, yang berlangsung sejak tanggal 25 s/d 29 Juli 1994 di Hotel Horison Jakarta, yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman tanggal 20 Juni 1994 Nomor 100.DL. 04. 04 Tahun 1994, dengan maksud untuk menetapkan dasar-dasar pemikiran
usaha Pembangunan Hukum Nasional dalam jangka panjang dan menengah, khususnya yang menyangkut budaya hukum, materi
hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum.

Peserta yang hadir meliputi para ahli hukum seluruh Indonesia yang mewakili kalangan teoritisi, praktisi serta pejabat Pemerintah
dengan mengambil thema:
"PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM PJP KEDUA"

I. Setelah mempertimbangkan bahwa :

1. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Amanat tersebut mengandung makna bahwa hukum harus dapat menampilkan
wibawanya baik sebagai sarana perwujudan ketertiban dan kesejahteraan, maupun dalam rangka membangun masyarakat Indonesia
menuju pada masyarakat yang adil dan makmur.

2. Berlandaskan amanat UUD 1945, pada dasarnya sejak setelah kemerdekaan, sampai berakhirnya Pembangunan Jangka Panjang
Tahap I (PJPT I) telah diupayakan pembangunan hukum secara bertahap, yang dalam pelaksanaannya sebagian telah berhasil di
samping masih banyak bidang-bidang yang memerlukan penataan lebih lanjut. Pembangunan hukum tersebut sedang dan akan terus
diupayakan dalam rangka menuju terbentuknya Sistem Hukum Nasional.

3. GBHN 1993 mengamanatkan pula bahwa dalam PJP II dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional yang bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945, pembangunan hukum diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur
tugas umum Pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan nasional, didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa,
penuh pengabdian sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sesuai dengan kemanusiaan, serta yang profesional, efisien dan
efektif, dilengkapi sarana dan prasarana hukum yang memadai. Penyusunan dan Perencanaan Hukum Nasional terus dilakukan
secara terpadu dalam sistem hukum nasional.

4. Dalam Repelita VI menggariskan bahwa pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum aparatur hukum serta sarana dan prasarana
hukum dalam rangka pembangunan negara hukum, untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.
Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum,
kepastian hukum, perlindungan hukum, penegakan hukum, dan pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran dalam
rangka penyelenggaraan Negara yang makin tertib dan teratur, serta penyelenggaraan pembangunan nasional yang makin lancar.

5. Pada akhir PJP II keadaan yang diinginkan di bidang pembangunan hukum adalah terbentuk dan berfungsinya Sistem hukum
nasional yang mantap bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dan mantapnya wibawa hukum. Namun demikian, pembangunan
hukum haruslah tetap memperhatikan kemajuan tatanan hukum. Pembangunan hukum juga mengacu kepada wawasan nusantara,
yang mengandung pengertian bahwa seluruh Kepulauan Wawasan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti
hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Pembangunan di bidang hukum harus pula
memperkuat ketahanan nasional sehingga semakin kukuh.

6. Dengan memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai selama Repelita sampai dengan Repelita V serta kebutuhan dalam tahap-
tahap pembangunan yang akan datang, kebijakan dan langkah-langkah dituangkan dalam program-program.

Adapun program-program pembangunan di bidang Hukum dalam Pelita VI perlu ditingkatkan :

1. Program Perencanaan dan Pembentukan Hukum

2. Program Pengembangan Sistem Hukum nasional

3. Program Pembinaan Peradilan

4. Program penerapan dan penegakan Hukum

5. Program Penyuluhan Hukum

6. Program Pelayanan dan Bantuan Hukum

7. Program Pembinaan Sarana dan Prasarana Hukum

8. Program Pendidikan dan Latihan Hukum

II. Setelah mendengar

1. Pidato Bapak Presiden Republik Indonesia pada Pembukaan Seminar Hukum Nasional VI di Isatana Negara

2. Laporan Bapak Menteri Kehakiman Republik Indonesia

3. Ceramah "Pembinaan Sistem Hukum dalam PJP II yang disampaikan oleh Bapak H. Oetojo Oesman, SH (di Hotel Horizon
Jakarta )

III. Selanjutnya setelah mendengar pula penyajian-penyajian makalah dan pembandingnya sebagai berikut :
A. Sub Thema "Falsafah dan Budaya Hukum", dengan topik-topik :

1. "Pengembangan Filsafat Hukum nasional"

Penyaji : Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,LL.M

Pembanding : Prof. DR. Kunto Wibisono

2. "Pembinaan Kesadaran dan Perilaku Budaya Hukum Nasional"

Penyaji : Prof. DR. Sartjito Rahardjo, SH

Pembanding : Prof. DR. Koentjaraningrat

3. "Peningkatan Sumber Daya Manusia di Bidang Hukum melalui Pendidikan dan Pelatihan"

Penyaji : Prof. DR. Muladi, SH

Pembanding : Fachri Ferdian Fachrul .

B. Sub Thema "Materi Hukum" dengan topik-topik :

1. "Pengembangan Hukum Tertulis Perundang-undangan Indonesia ".

Penyaji : Prof. DR. A. Hamid S. Attamimi, SH

Pembanding : Prof. Dr. Solly Lubis, SH

2. "Pengembangan Yurisprudensi Tetap"

Penyaji : M. Yahya Harahap, SH

Pembanding : Prof. DR. C.F.G. Sunaryati HartonQ, SH

3. "pengembangan Huku~ Kebiasaan"

Penyaji : Prof. DR.C.F.G. Sunaryati Hartono, SH

Pembanding : Prof. Herman Sihombing, SH

C. Sub Thema "Aparatur dan Mekanisme" dengan topik-topik :

1. "Pengembangan dan Penataan Kembali Hubungan Antara Lembaga-Lembaga Hukum di bidang Penegakan Hukum"

Penyaji : H. Ismail Saleh, SH

Pembanding : DR. T. Mulya Lubis, SH.,LL.M

2. "Pembinaan Hubungan antara Lembaga-Lembaga Hukum dalam hal Pelayanan hukum"

Penyaji : DR. Bagir Manan, SH.,MCL

Pembanding : Nursyahbani Katjasungkana, SH


3. "Kerjasama dengan Negara/Organisasi Internasional"

Penyaji : Drs. Normin S. Pakpahan, SH.,MBA

Pembanding : H.A.S. Natabaya, SH.,LL.M

D. Sub thema "Sarana dan Prasarana Hukum", dengan topik-topik :

1. "Kerjasama dengan Negara/Organisasi Internasional"

Penyaji : Drs. H. Ahmad Sanusi Has

Pembanding : Dr. Agus Haryanto, SH.,MA

2. "Peningkatan Fungsi dan Peranan Perpustakaan dan Kepustakaan"

Penyaji : Mastini Hardjoprakoso, MLS

Pembanding : Blasius Sudarsono, MLS .

3. "Pembinaan Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum"

Penyaji : Ny. Kuswantyo Tami Haryono, SH

Pembanding : Rochana Zulki, SH

1. Pembahsan para peserta dalam sidang-sidang Pleno

Ke-1 : Dipimpin oleh Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH Sebagai moderator dan Ny. Rumonda Nasution, SH sebagai
Sekretaris

Ke-2 : dan ke-3 dipimpin.oleh Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH sebagai moderator dan Hesti Hastuti, SH sebagai Sekretaris

Ke-4 : dan ke-5 dipimpin oleh Prof. Dr. Muladi, SH sebagai moderator dan Husaini Kadir, SH sebagai Sekretaris

Ke-6 : dan ke- 7 dipimpin oleh Prof. Satjipto Rahardjo, SH sebagai moderator dan Emmy Muzaemi, SH sebagai Sekretaris

Ke-8 : dan ke-9 dipimpin oleh Prof. Solly Lubis, SH sebagai moderator dan Raida L. Tobing, SH dan Bambang Iriana DJ, SH
masing-masing sebagai Sekretaris

Ke-9 : dan ke-10 dipimpin oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH.,MA sebagai moderator dan Achmad Ubbe, SH dan I.G. Ngurah
Widja, SH sebagai Sekretaris

2. Pembahasan para peserta dalam sidang-sidang kelompok

Ke-1 : Masalah Budaya Hukum, dipimpin oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dan Hesti hastuti, SH sebagai Sekretaris

Ke-2 : Masalah Materi Hukum, dipimpin oleh Prof. Dr. Muladi, SH sebagai moderator Dr. Loebby Luqman, SH sebagai co
moderator dan Husaini Kadir, SH sebagai Sekretaris

Ke-3 : Masalah Aparatur Hukum, dipimpin oleh Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH sebagai moderator Prof. Dr. Badra N. Arief,
SH co moderator dan Raida L. Tobing, SH sebagai Sekretaris
3. Pembahasan dan Musyawarah dalam rapat Panitia Pengarah, panitia Perumus, akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan dan
saran-saran sebagai berikut :

A. Mengenai Falsafah dan Budaya Hukum

1. Tentang Falsafah Hukum Nasional

a. Usaha Pengembangan Filsafah Hukum Nasional di Indonesia bertumpu pada 3 konsep dasar :

1) Pemahaman hukum yang bersifat "normatif sosiologis" yang melihat hukum tidak hanya sebagai kompleks kaidah dan asas yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan
berlakunya hukum itu, sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban
dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditunjukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa serta sebagai prasarana
yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi
dan pembangunan yang menyeluruh;

2). Tujuan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan perwujudan dari gila-gila Pancasila;

3). Cita-cita filsafat yang telah dirumuskan oleh para Pendiri Kenegaraan dalam konsep " Indonesia adalah Negara Hukum" dan
setiap orang sama didepan hukum, mengandung arti :

a). Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum menentukan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,
kekuasaan tunduk pad a hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat yang berkesinambungan

b). Persamaan kedudukans ctiap orang dihadapan hukum menentukan bahwa hukum tidak membedakan antara orang berdasarkan
status, sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan.

Setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan dan melakukan pembelaan hukum dimuka pengadilan.

b. Dalam pengembangan hukum dan ilmu hukum filsafat hukum mempunyai peranan penting dalam memberikan dasar dan arahan
melalui aspek-aspek :

1). ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang enheren dengan pengetahuan;

2). epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tatacara menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran
atau kenyataan;

3). aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif parameter bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia simbolik,
dan lain sebagainya.

c. Pengembangan filsafat hukum nasional harus diarahkan menjadi filasafat hukum Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang
juga merupakan dasar falsafah hokum nasional mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan dasar dan arahan
pengembangan filsafat Hukum nasional kita, melainkan sekaligus juga menjadi acuan dalam menyusun, membina dan
mengembangkan filsafat hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

d. Dalam hubungannya dengan pengembangan filsafat Hukum Nasional perlu juga dikembangkan adanya critical masa yaitu suatu
masyarakat akademik yang mau dan mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat filsafat untuk bersikap kritis-radikal
kreatif dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian maka nilai-nilai filsafat yang "universal" perlu digali untuk menemukan
unsur-unsur yang relevan bagi sumber hukum pada umumnya dan filsafat hukum pada khususnya. Untuk itu perlu dikembangkan
kondisi yang maskin' kondusif untuk mengembangkan filsafat Hukum pancasila tersebut.

e. Sistem hukum Nasional yang juga merupakan system Hukum Pancasila harus merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila
Pancasila secara keseluruhan.

f. Mengenai sas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat banyak ketidakcocokan dengan kenyataan di masyarakat
dan ada pula yang melihat bahwa pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah ketidak adilan
sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagai studi melengkapi antara satu dengan yang lain.

g. Hukum dan kekuasaan dalam kenyataannya masih sering tidak saling melengkapai antara satu dengan yang lain.

2. Tentang Budaya Hukum Nasional :

a. Budaya Hukum adalah nilai-nilai serta perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan hukum. Hukum dan budaya hukum
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses transpormasi masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern-industri berdasarkan
UUD 1945 dan pancasila dan oleh sebab itu dituntut untuk membangunan dirinya.

b. Budaya hukum merupakan salah satu komponen dan sistem hukum, yang sekaligus tidak dinyatakan secara eksplisit, oleh para
penyusun UUD 1945 telah dicantumkan dalam Penjelasannya budaya hokum Indonesia tidak berdiri sendiri melainkan merupakan
fungsi-fungsi dari :

1). sistem perundang-undangan yang belum tertera dengan baik, baik dalam hal adanya kekosongan-kekosongan, maupun
kualitasnya (adanya perundang-undangan kolonial).

2). Pengaruh-pengaruh dari sektor di luar hukum,

3). pengaruh-pengaruh negatif dari pembangunan ekonomi

4). penghormatan terhadap lembaga-lembaga hukum yang terasa semakin tidak menggembirakan seperti yang sering disebut
sebagai pelecehan hukum,

5). suasana global dari kehidupan kita.

c. Hukum suatu bangsa bersifat "Bangsa Sentris" oleh karena itu wajar bilamana bangsa Indonesia mengajarkan "Sistem hukum
pancasila" SHP untuk menggambarkan karateristiknya.

d. Konsep "rule of law" di masa yang akan datang mempunyai watak legisme liberal, sehingga untuk penerapannya masih perlu
disesuaikan dengan budaya Indonesia .

e. Sebagai suatu landasan filsafat hukum nasional mempunyai fungsi koreksi, yaitu mengkoreksi sendiri kesalahan-kesalahan yang
dilakukan dalam praktek dan karena itu merupakan suatu sistem yang secara sibernetis, senantiasa "membangun dirinya sendiri"
harus menuju kepada tujuan masyarakat Pancasila adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti.

f. Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai kualitas pemberian keadilan (the dispension of justice) yang lebih cocok dengan
sistem hukum Pancasila.

g. Menata dan membangun kesadaran serta perilaku hukum adalah membangun kehidupan moral bangsa secara keseluruhan, yang
tidak bisa menunggu sampai kesejahteraan hidup meningkat secara substansial.

h. Rendahnya kesadaran hukum di indonesia tidak hanya dimiliki oleh rakyat saja, akan tetapi juga oleh penguasa.

i. Lemahnya kesadaran hukum di Indoensia antara lain disebabkan :

1). kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku;

2). adanya perlakuan yang berbeda terhadap warga masyarakat;

3). masih lemah komitmen dan pihak penguasa dalam pelaksanaan hukum dalam masyarakat;

j. Perbedaan perilaku hukum yang timbul dalam masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh hukum saja, akan tetapi juga oleh faktor-
faktor lain, seperti pendidikan dan agama.

k. Untuk berlakunya hukum dalam masyarakat tidak saja diperlukan landasan yang bersifat yuridis dan fisolofis tetapi juga suatu
Iandasan yang bersifat sosiologis sehingga hukum itu mempunyai wibawa berlaku dalam masyarakat.

I. Mengingat konsep tentang "rechtsstaat" lebih banyak dijiwai oleh pemikiran yang tumbuh dan berkembang di luar Indonesia
maka dalam pelaksanaan di Indonesia perlu untuk mendapat dukungan dan budaya hukum Indonesia sehingga konsep tersebut
benar-benar sesuai dengan watak dan corak Indonesia.

m. Pengembangan Sistem hukum pancasila tidak hanya memerlukan dukungan dari pemerintah yang bersih dan berwibawa tetapi
juga oleh Pemerintah yang "baik hati" yang didasarkan pada supremasi moral.

n. Hal lain lagi yang berhubungan dengan Budaya Hukum Indonesia adalah relatif rendahnya disiplin bangsa.

3. Tentang peningkatan sumber daya manusia

a. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) dibidang hukum pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan nilai-nilai
profesionalisme dan kesejawatan (corporateness), tetapi juga semangat kejuangan dan bela negara.

b. GBHN merupakan dokumen yang tidak hanya memuat kebijakan nasional, tetapi juga sarat dengan nilai, filosofi dan konsep
yang mendasar dengan dimensi yang luas.

c. Penegakan hukum (law enforcement) pada hakekatnya merupakan penegakan sistem nilai (jiwa) yang ada dibelakang norma
secara menyeluruh.

d. Diskresi dalam penegakan hukum yang aktual akan berdampak negaratif apabila tidak dipantau dengan baik dan dijadikan
masukan dalam pembaharuan hukum (law reform).

e. Ketentuan hukum tidak hanya merupakan perangkat norma, tetapi merupakan instrumen keadilan yang sarat dengan nilai-nilai
hak-hak asasi manusia.

f. Disamping muatan-muatan pendidikan dan latihan untuk sumber daya manusia bidang hukum yang kita kenai, baik ketrampilan
dasar (penalaran hukum, ketrampilan membaca hukum, penulisan hukum, penyelusuran literatul hukum, metodologi penelitian
hukum, etika dan tanggungjawab profesi hukum) maupun ketrampilan dasar tambahan untuk pekerjaan profesi (ketrampilan
merunding, ketrampilan penyelesaian sengketa dan perselisihan, ketrampilan memberi nasehat, mengumpulkan fakta dan analisa
peristiwa menyusun kontrak, menyusun produk-produk hukum, menyusun perjanjian internasional, ketrampilan berpekara,
ketrampilan akuntasi dan ketrampilan komputer). Perlu disempurnakan dengan :

1). Pengetahuan dan ketrampilan untuk menghayati dan menelusuri jiwa dan nilai-nilai yang ada di belakang perundang-udangan
(legal spirit).

2). Ketrampilan untuk melakukan diskresi yang beralasan.

3). Ketrampilan untuk meningkatkan dokrin dasar bangsa terutama Pancasila dengan etika profesi.

4). Kemampuan untuk memahami dokumen HAM baik nasional maupun internasional.

5). Kemampuan untuk memahami RUU yang relative sudah mantap.

6). Ketrampilan manajemen, khususnya : Decision making process, analisa sistem dan swot analysis.

7). Kemampuan "public-speaking"

8). Perbandingan hukum

g. Dalam hal-hal tertentu perlu dikembangkan "integrate education" dengan menekankan pada partisipasi dan lokakarya.
h. Pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum perlu ditingkatkan kualitasnya tidak hanya segi intelektualitasnya akan
tetapi juga segi moralnya melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal.

i. Dalam rangka lebih menopang kegiatan pembangunan hukum nasional, para pejabat dan pemimpin perlu meningkatkan
kualitasnya dalam sikap keteladanan dan sikap yang konsisten dan para pejabat dan pemimpin.

4. Hal-hal khusus yang dibahas dalam sidang komisi yang menyangkut pengembangan filsafat hukum nasional, budaya hukum dan
sumber daya manusia di bidang hukum hasilnya disebutkan dalam lampiran dari hasil rumusan ini.

B. Mengenai Materi Hukum

1. Tentang hukum tertulis

a. Kedudukan UUD 1945 dan Penjelasannya sangat strategis dalam pengembangan perundang-undangan Indonesia . Karena
mencakup substansi tentang lembaga negara dan hukum, cita hukum dan Pancasila sebagai norma tertinggi.

b. Hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat "komplementer".

c. Pembentukan hukum tidak tertulis lebih "Iuwes" daripada pembentukan hukum tertulis karena bisa mengatasi kesenjangan antara
keabsahan hukum dan efektifitasnya.

d. Perlu keseimbangan dan keserasian antara peraturan yang mengatur bidang ekonomi dan non-ekonomi.

e. Fungsi peraturan tidak hanya pemberian sanksi, tetapi juga harus menghilangkan kuasa terjadinya tindakan melawan hukum.

f. Pembaharuan hukum nasional harus didahului dengan persamaan persepsi mengenai politik hukum nasional.

g. Perlu pendekatan sistem yang menyeluruh dan terpadu dalam pembaharuan hukum.

h. Perlu identifikasi skala prioritas pembuatan dan pembahasan pertauran perundang-undangan sesuai dengan Tahap Pembangunan
PJP II.

i. Atas dasar pengalaman empiris, perlu pemikiran dipercepat mekanisme dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan,
mengingat kebutuhan pembangunan yang makin cepat.

j. Pengembangan hukum memerlukan prasarana berupa pemahaman terhadap:

- norma fundamental negara,

- Gila hukum,

- Gila bangsa.

k. Walaupun pembangunan ekonomi yang cepat menurut terjadinya "delegated legislation" yang dilakukan pemerintah secara cepat,
namun dalam penyusunannya tetap harus dipegang teguh asas-asas hukum yang berlaku.

2. Tentang Yurisfrudensi

a. Yurisfrudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam
penerapan hukum, karena dalam sistem hukum nasional memegang peranan sebagai sumber hukum.

b. Tanpa yurisfrudensi fungsi dan wewenang peradilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dapat mengalami kemandulan
dan stagnasi.
c. Yusrifrudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan,
karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial dan pengayoman.

d. Diperlukan langkah yang sistematis untuk meningkatkan yurisfrudensi tetap sebagai sumber hukum nasional.

e. Asa kebebasan jangan dipertentangkan dengan yurisfrudensi tetap sebagai sumber hukum nasional. Asas kebebasan hakim
menunjuk pada kebebsan hakim terhadap pengaruh eksekutif.

3. Tentang Hukum Kebiasaan

a. Hukum kebiasaan mengandung dua pemahanan :

1 ). Dalam arti : identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat.

2). Dalam arti kebisaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan (decision maker), sehingga lambat laun menjadi hukum
(gewoonte recht, customary law). Hukum kebiasan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam
bidang hukum tatanegara, hukum kontrak, hukum ekonomi den lain sebagainya.

b. Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting dalam kehidupan nasional.

c. Belum adanya kriteria yang jelas tentang hukum kebiasaan, khususnya dalam penegakan hukum, mendorong terbentuknya sikap
den budaya hukum yang sangat legistis dalam pjp I, yang cenderung mengidentikan hukum dengan undang-undang.

d. Dalam era pjp II, masyarakat hukum di Indonesia harus diarahkan untuk menghormati hukum kebiasaan sebagai sumber hukum,
disamping peraturan perundang-undangan den yurisfrudensi tetap.

e. Usaha-usaha untuk memantapkan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum, hendaknya memperhatikan hal-hal tersebut di bawah
ini.

1). pranata hukum kebiasaan tidak boleh bertentangan dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

2). bukan dimaksudkan untuk menyampingkan peraturan perundang-undangan nasional.

3) Dilakukan penelitian hukum adat yang diarahkan untuk menemukan asas dan norma hukum yang dapat ditransformasikan ke
dalam hukum nasional.

Selanjutnya implementasi pemikiran-pemikiran di atas dalam bentuk saran dan program pembangunan, dirumuskan sebagaimana
terlampir pada huruf C (Kesimpulan Khsusus).

C. Mengenai Aparatur Hukum

1. Kelembagaan Hukum

a. Penataan dan pengembangan lembaga hukum hendaknya diorientasikan, pada :

1). pemantapan lembaga hukum yang berfungsi penuh, mandiri dan berwibawa.

2). pemantapan perundang-undangan dibidang organisasi/profesi hukum dan pelayanan hukum (antara lain bidang bantuan hukum,
konsultan hukum dan notaris).

3). kemampuan menunjang perkembangan masyarakat, pembangunan nasional dan kerjasama internasional.
b. Dalam rangka menunjang kerjasama internasional perlu diadakan lembaga khusus yang mampu memberikan pelayanan informasi
hukum, misalnya di bidang ekonomi mengenai "legal opinion" dan lain-lain.

c. Untuk lebih memantapkan tugas dan fungsi lembaga-lembaga hukum perlu :

1). dikembangkan forum komunikasi antar lembaga penegak hukum, pelayanan hukum, dan profesi hukum dalam suasana
kebersamaan dengan prinsip saling mempercayai dan menghormati kedudukan masing-masing;

2). dikembangkan pendidikan dan latihan bersama untuk semua lembaga penegak hukum agar ada kesamaan persepsi di bidang
peradilan dan penegak hukum.

d. Perlu ditingkatkan lembaga-lembaga yang dapat berhubungan dengan Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.

2. Aparatur Hukum (Sumber Daya manusia)

a. Yang dimaksud dengan aparat hukum (dalam arti luas) adalah pelaksana tugas penelitian, pembentukan, pelayanan umum yang
menghasilkan tindakan-tindakan maupun penegakan hukum yang menimbulkan akibat hukum baik secara aktual maupun dalam
bentuk keputusan-keputusan hukum dan pelayanan/bantuan hukum lainnya. Aparat hukum terdiri dari aparat hukum dalam lingkup
penyelenggaraan tugas administrasi negara dan di luar lingkup tersebut, yang meliputi :

1). Tenaga peneliti hukum;

2). Tenaga perencana hukum;

3). Tenaga perancang undang-undang;

4). Tenaga pendidik hukum;

5). Polisi;

6). Jaksa;

7). Hakim;

8). Pejabat Hukum dilingkungan ABRI;

9). Petugas Pemasyarakatan;

10). Pejabat Biro Hukum Departemen dan Lembaga Non Departemen;

11). pengacara / penasehat hukum;

12). Notaris;

13). Konsultan Hukum;

14). Arbiter;

b. Pengadaan (rekruitmen) dan pengembangan karier aparat hukum perlu melalui :

1). seleksi yang sesuai dengan kemampuannya;

2). pendidikan khusus yang sesuai dengan jabatannya;


3). sistem magang yang ditetapkan untuk waktu tertentu.

c. Sistem pendidikan bagi aparat hukum perlu diorientasikan pada kematangan dan kemampuan profesionalisme.

d. Perlu ditingkatkan fungsi pengawasan bagi aparat penegak hukum dan tindakan tegas terhadap segala penyimpangan.

3. Manajemen Hukum (tata kerja/tata laksana hukum)

Manajemen Hukum meliputi hal-hal dibidang penelitian, pembentukan peradilan, penerapan dan penegakan hukum, penyuluhan
hukum, pelayanan dan bantuan hukum, pendidikan dan latihan aparatur hukum.

a. Dalam bidang penelitian perlu peningkatan kemampuan tenaga peneliti di bidang hukum dengan cara pelatihan mengenai metode
penelitian ilmu sosial lainnya.

Penelitian hukum dilakukan dan diarahkan baik untuk menunjang perkembangan ilmu hukum maupun sebagai bahan dalam rangka
pengambilan kebijakan dalam pembangunan hukum nasional.

b. Dalam bidang pembentukan hukum, perlu diajarkan dan dikembangkannya pendidikan dan pelatihan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan penelitian, perencanaan, perancangan, pembentukan, dan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya, sehingga dapat tumbuh dan berkembang peraturan-peraturan hukum yang baik, tepat dan dapat mencapai tujuan
dibentuknya hukum tersebut.

c. Dalam pembinaan peradilan yang masih perlu penyempurnaan adalah dalam bidang organisasi, landasan beracara, kebebasan
hakim, pelaksanaan putusan, lembaga antar penegak hukum, dayaguna pemeriksaan perkara dan pemantapan yurisprudensi tetap
sebagai salah satu sumber hukum.

d. Dalam bidang penerapan dan penegakan hukum yang masih perlu ditingkatkan adalah peran lembaga-lembaga penegakan hukum
non pemerintahan, antara lain, lembaga arbitrase, lembaga bantuan hukum, lembaga konsiliasi, serta masih terdapatnya tumpang
tindih wewenang dalam penegakan hukum yang diatur dalam Undang-undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan Undang-undang
tentang Perikanan. Oleh karenanya perlu diwujudkan baik dalam pembaharuan Undang-undang tentang Kepolisian dan tentang
Pemasyarakatan maupun pembentukan Undang-undang tentang Bantuan Hukum, Undang-undang tentang Arbitrase dan Undang-
undang tentang Konsiliasi, serta perlu ditata kembali peraturan yang menimbulkan tumpang tindih wewenang dalam penegakan
hukum.

e. Dalam bidang penyuluhan hukum yang perlu disempurnakan adalah masalah koordinasi sehubungan dengan banyaknya instansi
yang melaksanakan, substansi dan metode penyuluhan, sehingga perlu ditingkatkan koordinasi antar instansi, penguasaan tentang
materi dan metode penyuluhan.

f. Dalam pelayanan dan bantuan hukum, khususnya yang dilaksanakan lembaga non pemerintah perlu disempurnakan landasan
kerjanya. Sehingga dipandang perlu pembaharuan pengaturannya, misalnya Undang-undang tentang Jabatan notaris. Sedangkan
pelayanan dan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh administrasi negara perlu penyederhanaan prosedur, efisiensi kelembagaan
dan waktu.

g. Dalam bidang pendidikan dan latihan penyelenggaraannya harus langsung dengan kebutuhan sumber daya manusia yang meliputi
pemantapan profesionalisme. integritas moral dan kematangan intelektual, dan kemungkinan adanya sistem pemagangan sehingga
perlu adanya upaya meninjau dan menyempurnakan pendidikan dan latihan yang meliputi sistem substansi dan metodenya.

Sedangkan untuk mewujudkan sistem pemagangan perlu dikoordinasikan dengan Departemen Tenaga Kerja.

D. Mengenai Sarana dan Prasarana Hukum

1. Modernisasi sarana dan prasarana hukum harus memperhatikan bahwa :

a. Dalam penyusunan Pola Perencanaan Hukum akan terkait masalah piranti lunak dan piranti keras, antara lain peraturan, struktural
organisasi, rekruting profesi, sarana informasi hukum (perpustakaan dan SJDI), pendidikan, penelitian dan pengembangan,
koordinasi, gedung, peralatan kantor, transportasi dan lain-lain. Pola pengembangan sarana dan prasarana, berkaitan erat dengan
pola-pola perencanaan hukum, penyuluhan, jaringan informasi hukum, penerapan/penegakan hukum, pelayanan hukum, dan lain-
lain.

b. Instansi yang berperan utama dalam Perencanaan Hukum, akan menghadapi tantangan modernisasi.

Modernisasi sarana dan prasarana hukum akan meliputi gedung, tata bangunan dan tata ruangan, peralatan kantor, alat transportasi,
komputerisasi, peru mahan, kesejahteraan pegawai, penerbitan dan perpustakaan.

c. Keberhasilan dalam mencapai tujuan, penggunaan peralatan yang canggih serta sarana dan prasarana yang lengkap akan
tergantung pada pemakaian (user).

Modernisasi di bidang sarana dan prasarana akan turut pula menentukan keberhasilan pelayanan fungsi hukum sebagai alat kontrol
sosial dan rekayasa sosial.

d. Arsitektur gedung penegak hukum dan pelayanan hukum, seperti gedung kepolisian, rumah tahanan, kejaksaan, pengadilan,
lembaga permasyarakatan, kantor imigrasi, seyogyanya dilandasi oleh pola pembangunan gedung yang memberi kesan tidak
menakutkan tetapi tetap berwibawa, sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak ragu-ragu menghubungi petugasnya. Penerapan
pola-pola pembangunan gedung termasuk dilakukan pada saat membangun gedung baru, rehabilitasi atau pada waktu renovasi.

e. Pembanguanan RUTAN (Rumah Tahanan Negara) dan RUBASAN (Rumah Penyimpanan Barang Rampasan), perlu dilakukan
secara bergilir dan bertahap selama PJP II sesuai dengan ketentuan KUHP dan pola pembangunan sesuai dengan yang telah
digariskan.

f. Untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak, pembangunan LAPAS (Lembaga Permasyarakatan) anak perlu mendapat
prioritas.

g. Dalam rangka meningkatkan hasil guna dan daya guna pelaksanaan fungsi penegakan maupun pelayanan hukum, perlu segera
dirintis dan dikembangkan komputerisasi registrasi tahanan dan narapidana.

h. Untuk mempercepat usaha pembinaan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka pemasyarakatan, perlu dikembangkan
perpustakaan di RUTAN dan LAPAS.

2. Dalam rangka peningkatan fungsi dan peranan Perpustakaan dan Kepustakaan di bidang hukum haruslah diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :

a. Kepustakaan hukum, khususnya yang diperlukan untuk melaksanakan program pembangunan, haruslah dengan mudah diakses
oleh masyarakat luas. Selanjutnya perpustakaan dan kepustakaan hukum haruslah menjadi salah satu dasar pengembangan sistem
informsi hukum.

b. Untuk mendukung sistem informasi hukum tersebut, maka setiap perpustakaan hukum atau pusat dokumentasi hukum harus
melakukan pembenahan koleksi sesuai sistem yang telah ditetapkan bersama, yaitu sistem pencarian kembali (katalog, bibiliografi,
indeks dan abstrak) yang seragam.

c. Tenaga-tenaga yang bekerja dalam perpustakaan hukum atau pusat dokumentasi hukum harus berintikan satu atau lebih tenaga
profesional untuk keperluan pengolahan dan pelayanan informasi, sebaiknya seorang pustakawan bidang hukum.

d. Sistem informasi hukum adalah sub-sistem dari sistem informasi nasional seperti telah dijelaskan dalam Repelita VI, yang a.l.
menghendaki terciptanya sistem informasi yang mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas di seluruh sektor pembangunan
serta harus berkemampuan memanfaatkan pusat-pusat informasi di dalam dan luar negeri. Oleh karena itu perlu direncanakan
langkah-langkah sebagai berikut :

1). Peningkatan kemampuan perolehan informasi hukum;

2). Penataan dan pembangunan pangkalan data melalui pembakuan struktur, formal dan klasifikasi data, serta pemilikan sistem yang
cocok.

3). Pendidikan dan pelatihan terus menerus bagi tenaga pelaksana agar selalu menguasai aplikasi teknologi informasi yang
mutakhir.
4). Peningkatan jangkauan pelayanan seluas mungkin diiringi dengan upaya memasyarakatkan sistem informasi hukum.

5). Pembangunan dan penataan jaringan komunikasi data (melalui Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) disertai
dengan peningkatan koordinasi antara simpul dan pembina informasi hukum.

3. Tentang Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum dimufakati, bahwa pembinaannya dilakukan dengan tujuan utama
meningkatkan pelayanan informasi hukum bagi semua pelaku pembangunan hukum dan masyarakat pada umumnya secara mudah,
cepat, tepat dan mutakhir serta dapat menjangkau ke seluruh pelosok tanah air, dengan memperhatikan program pembangunan pada
5 (lima) aspek yang terkait yaitu :

- Pengorganisasian SJDI Hukum,

- Personalia, pendidikan dan pelatihan,

- Pemupukan koleksi,

- Teknis dan sarana,

- Mekanisme dan otomasi.

Pengorganisasiaan SJDI Hukum dimaksudkan untuk memantau dan mendayagunakan fungsi-fungsi dokumentasi hukum pada setiap
instansi, baik di pusat maupun didaerah. Penanganan SJDI Hukum dan perpustakaan hukum memerlukan dukungan tenaga-tenaga
yang trampil (profesional), dan memiliki kemampuan pengolahan dokumentasi secara manual agar data yang dimiliki setiap instansi
merupakan kumpulan data yang lengkap dan mutakhir.

Dalam pengolahan SJDI Hukum dan Perpustakaan hukum perlu dimanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
telepon, facsimile, mesin toto copy, micro reade, micro printer, komputer, CD-ROOM, dan lain-lain.

Mekanisme dan otomasi dimaksudkan untuk meningkatkan kecepatan penyebarluasan bahan dokumentasi serta meningkatkan
pendayagunaan tukar-menukar bahan dokumentasi dalam sistem pelayanannya. Dengan memperhatikan pada lima aspek terkait
tersebut, akan diperoleh kemudahan mendapatkan data dan informasi hukum secara cepat, tepat, lengkap, dan akurat serta dapat
ditingkatkan kepastian hukum dan kesadaran hukum masyarakat.

Untuk memberi tempat bagi partisipasi masyarakat, mempercepat jangkauan pelayanan hukum serta untuk meringankan anggaran
negara. SJDI hukum perlu dikembangkan dan dikelola sebagai unit swadana sesuai peraturan yang berlaku. Dalam waktu dekat
perlu diadakan

proyek perintis di salah satu daerah.

4. Agar dapat menunjang pengembangan sarana dan prasarana hukum, maka kesemuannya ini harus didukung anggaran dan
peraturan perundang-undangan yang diperlukan.

Rumusan sidang-sidang kelompok merupakan lampiran dan kesimpulan Seminar hukum Nasional Ke-VI ini.

REKOMENDASI KHUSUS

1. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber Hukum, perlu dimasyarakatkan dan dilestarikan.

2. Seminar Hukum Nasional Ke-VII diusulkan untuk diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional menjelang
penyusunan Repelita VII yang akan datang.

3. Sebelum Seminar Hukum Nasional Ke-VII, diselenggarakan pertemuan untuk mempertanggungjawabkan dan evaluasi
pelaksanaan hasil-hasil Seminar Hukum nasional Ke-VI ini.
OTONOMI DAERAH DAN POLITIK BIAYA TINGGI
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Hari telah senja ketika saya mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di
Palembang. Rekan saya Fachry Ali, punya hajatan menyelenggarakan lokakarya penguatan
DPRD di kota itu. Walaupun akhir-akhir ini saya sibuk bukan kepalang, namun demi
menghormati sahabat lama, saya bersedia juga untuk hadir ke Palembang walau hanya
semalam. Besoknya pagi-pagi sekali saya kembali ke Jakarta. Lokakarya itu diikuti oleh para
anggota DPRD Kabupaten dan Kota se Sumatera Selatan dan diselenggarakan di Hotel
Novotel, Palembang. Sudah hampir setahun belakangan ini, saya tak pernah memberikan
ceramah di hadapan para politisi dari berbagai latar belakang partai politik. Faktor ini, juga
menjadi pertimbangan saya untuk hadir. Saya berharap, akan terjadi pertukar-pikiran yang
menarik untuk membahas berbagai isyu politik yang berkembang di daerah.

Dalam ceramah yang saya sampaikan, saya mengemukakan berbagai aspek amandemen
konsitusi kita, beserta implikasi-implikasinya kedalam kehidupan politik, baik nasional
maupun daerah. Konstitusi kita kini memberikan penguatan kepada posisi pemerintahan di
daerah, baik eksekutif maupun legislatif daerah. Kepala Daerah dan Wakilnya, harus dipilih
dengan cara-cara yang demokratis. Otonomi daerah mendapat penegasan dalam konstitusi.
Tentu semua ini memerlukan pengaturan lebih lanjut pada tingkat undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Mengenai otonomi daerah, saya
menggambarkan kilas balik perdebatan antara negara kesatuan dengan negara federal di awal
reformasi. Waktu itu saya memberikan jalan tengah, yakni Indonesia tetap menjadi negara
kesatuan, sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan, namun memberikan penguatan tugas,
kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintahan di daerah. Waktu itu, saya juga
menggagas tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) – suatu lembaga yang pada
umumnya hanya ada di negara federal – untuk diterapkan di negara kita yang menganut
susunan negara kesatuan. DPD memang terbentuk, walau masih banyak hal yang harus
disempurnakan.

Soal otonomi daerah, saya mengatakan bahwa di awal reformasi, saya beda pendapat dengan
Prof. Ryas Rasyid yang menekankan otonomi daerah ke tingkat kabupaten dan kota. Konsep
Prof. Ryas waktu itu, ialah menciptakan kabupaten/kota yang lebih besar dibandingkan
dengan daerah yang telah ada. Saya berpendapat sebaliknya, otonomi diberikan kepada
propinsi, dengan jumlah propinsi yang lebih banyak, yang dalam perhitungan saya, akan ada
sekitar 42 provinsi di seluruh tanah air. Dengan otonomi kepada provinsi, maka kompetisi
antar daerah akan menjadi lebih nyata. Pemerintah Pusat juga akan lebih mudah mengawasi
Gubernur, dibandingkan dengan mengawasi Bupati/Walikota yang waktu itu lebih dari 400
jumlahnya. Pemberian otonomi kepada provinsi memang akan mendorong Indonesia menjadi
negara yang mendekati negara federal – atau biasa disebut dengan istilah quasi federal –
namun hakikatnya tetap sebuah negara kesatuan.

Kalau otonomi diberikan kepada provinsi, maka gubernur dapat saja dipilih secara langsung
oleh rakyat, sebagaimana halnya pemilihan Presiden. Konstitusi kita tidak mengharuskan
adanya pemilihan langsung, namun hanya menyebutkan dipilih secara demokratis. Bupati dan
Walikota cukup dipilih oleh DPRD. Dengan demikian, tidak terlalu banyak pemilu (termasuk
Pilkada) seperti sekarang ini. Banyaknya Pemilu, mulai dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD,
Pemilu Presiden/Wakil Presiden – yang nampaknya akan selalu terjadi dalam dua putaran –
dan pemilu kepala daerah untuk gubernur, dan bupati/walikota. Biaya penyelenggaraan
Pemilu ini sangat besar. Demokrasi memang mahal. Tidak sedikit uang negara dihabiskan
untuk membiayai pemilu ini dalam lima tahun. Belum lagi dampak sosial dan politiknya,
terutama di daerah-daerah. Ketegangan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Maluku Utara,
pasca pemilihan gubernur, membuat saya sangat prihatin.

Para anggota DPRD Kabupatan/Kota di Sumatera Selatan itu, mempunyai keprihatinan yang
sama dengan apa yang saya rasakan. Di provinsi ini, tak lama lagi akan ada Pilkada
Gubernur/Wakil Gubernur. KPUD Provinsi konon telah mengajukan anggaran Rp 350 milyar
untuk hajatan itu. Namun yang disetujui adalah Rp. 150 milyar. Biaya ini belum terhitung
biaya yang dikeluarkan oleh para pasangan calon, baik dalam persiapan, maupun dalam
kampanye, pengawasan dan penghitungan suara. Entah berapa biaya yang dikeluarkan oleh
para pasangan, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan pendukungnya, kita
tidak tahu. Ada dugaan, biaya yang dikeluarkan adalah jauh lebih besar dari biaya yang
dilaporkan secara resmi. Kalau biaya yang dikelurkan oleh masing-masing pasangan itu
cukup besar, bagaimanakah mereka mengembalikannya?

Pertanyaan seperti di atas juga menghantui benak saya. Tidak semua orang benar-benar
mempunyai idealisme tingggi, sehingga memandang jabatan adalah tugas dan amanah, tanpa
perhitungan materi. Tak semua pula para pendukung bersedia mengeluarkan dana sponsor
karena idealisme pula, seperti ingin melihat bangsa dan negara – atau daerah – menjadi maju.
Mereka mungkin saja seperti udang dibalik batu. Kompensasi bantuan dana sponsor itu bukan
mustahil pula harus “dibayar” dengan “pemberian” proyek-proyek Pemerintah atau
kemudahan lain yang bersifat menguntungkan. Bukankah semua ini akan membuka peluang
tumbuh-suburnya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme? Hati saya sukar untuk mengatakan
tidak atas segala prasangka ini. Namun di sisi lain, saya juga tak dapat menafikan, idealisme
tetap tinggi. Ada faktor ideologi, ada faktor subyektif misalnya rasa senang dan suka, yang
mungkin saja mendorong seseorang untuk membantu. Mereka ingin melihat bangsa ini
menjadi maju dan berkembang, tanpa memikirkan imbalan bagi dirinya sendiri.

Di akhir ceramah malam itu, ada beberapa anggota DPRD Kabupaten/Kota Provinsi Sumatra
Selatan itu, yang bertanya apakah saya serius mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum
Presiden/Wakil Presiden 2009? Menurut mereka telah tiga kali berita itu menjadi headline
Koran Sriwijaya Pos, yang menyebut dirinya sebagai “Korannya Wong Kito” itu. Berbagai
tabloid di kota Palembang juga memberitakan hal yang sama. Terhadap pertanyaan itu saya
menjawab, ibarat sembahyang, nawaitunya memang sudah dilafadzkan, tetapi takbirnya
belum. Takbirnya itu baru dikumandangkan nanti setelah Pemilu DPR selesai, dan kita
melihat apakah Partai Bulan Bintang berada dalam posisi yang dapat mencalonkan pasangan
Presiden dan Wakil Presiden atau tidak. Kini kami sedang berjuang ke arah itu.

Kalau modal pengalaman, ilmu, kesehatan jasmaniah dan rohaniah dan keanggupan kerja
keras, saya katakan, Insya Allah, telah ada. Penyusunan program memang sedang dalam
proses penggodokan. Sudah banyak pula kawan-kawan yang menawarkan diri menjadi tim
sukses. Namun kalau ditanya persiapan dana, saya katakan, saya mungkin adalah bakal calon
yang paling kedodoran. Saya menyadari bahwa biaya kampanye dan sebagainya sangatlah
besar. Untuk hal yang satu ini, saya posisi saya seperti orang sudah kalah sebelum bertanding.
Saya kembali kepada salah satu pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi. Demokrasi
sangat mahal. Biaya politik menjadi sangat tinggi. Meskipun begitu, saya tetap memiliki
optimisme bahwa idealisme yang tinggi tetap ada. Rakyat juga sudah belajar banyak tentang
demokrasi dari berbagai pengalaman yang mereka peroleh selama era Reformasi ini.

You might also like