You are on page 1of 6

PRD dan Solidaritas Sesama Rakyat Tertindas

by Pembaca IndoPROGRESS on Thursday, November 4, 2010 at 3:51am


RESENSI BUKU

Rheinhardt Sirait
Pengajar di Program Regional Studies, School of Liberal Arts
Walailak University - Thailand

Judul buku : A Luta Continua! Politik Radikal di Indonesia dan Pergerakan Pembebasan
Timor-Leste
Penulis : Wilson
Pengantar : Mari Alkatiri dan Mateus Marco Goncalves
Editor : Coen Husain Pontoh dan Nor Hiqmah
Tebal : XXIV + 480 Halaman
Penerbit : Tanah Lapang, Agustus 2010

BUKU WILSON A Luta Continua! merupakan sebuah karya penting tentang solidaritas
terhadap Timor Timur. Membaca buku Wilson, kita seperti tengah mendengarkan dia
berbicara: hangat, cepat, dan penuh romantisme. Saya kira inilah nilai paling berharga dari
buku ini. Nilai berharga lain dari buku ini adalah: pertama, ia ditulis oleh pelaku sejarah itu
sendiri; dan kedua, tidak banyak orang kiri di Indonesia yang mau menulis.Setelah menikmati
lembar demi lembar buku ini, berikut ini beberapa catatan saya terhadapnya. Sengaja saya
membalikkan atau mempertanyakan beberapa kesimpulan yang diambil Wilson atau Partai
Rakyat Demokratik (PRD) di masa lalu, karena memang hingga saat ini belum ada upaya
serius untuk mempelajari perjuangan PRD atau gerakan kiri setelah Orde Baru.

Solidaritas kaum kiri?

Wilson membuka bab pertama A Luta Continua! dengan membahas kaum kiri dan
pembebasan nasional. Bab ini semacam landasan untuk menjelaskan pilihan-pilihan yang
dilakukannya di masa lalu sebagai sebuah bagian dari gerakan kiri, dalam hal ini
PRD/SPRIM. Dengan sebuah kesimpulan yang padat, Wilson memandang bahwa solidaritas
PRD kepada bangsa Timor Timur yang ingin menentukan nasibnya sendiri merupakan sebuah
konsekuensi ideologis. Selanjutnya, Wilson mencari akar argumentasi ini dengan
menjabarkan perdebatan di kalangan kiri internasional ihwal persoalan kebangsaan. Sesuatu
yang pada esensinya sangat rumit dan menimbulkan berbagai perdebatan dan bahkan
perpecahan di kalangan kiri sendiri.

Dalam nalar Wilson, aneksasi Jakarta—yang didukung negara-negara imperialis—terhadap


Timor Timur, cukup menjadi alasan bagi kaum kiri untuk solider terhadap bangsa tersebut.
Kesimpulan yang solid ini, pada sisi yang lain, terkesan menyederhanakan. Seakan Wilson
hendak menyatakan, otomatis kaum kiri akan solider terhadap bangsa terjajah mana pun.

Kalau memang demikian, pertanyaannya adalah apakah solidaritas dimaksud akan otomatis
diberikan juga ke rakyat Aceh dan Papua, misalnya? Toh tuntutan mereka ke penguasa
Jakarta kurang lebih sama dengan tuntutan rakyat Timor Timur.

Seingat saya, ketika saya bergabung dengan PRD, hampir tidak ada pertanyaan serius dari
kader-kader organisasi ini tentang solidaritas untuk Timor Timur. Namun, hal serupa tidak
berlaku untuk Aceh dan Papua. Sekitar tahun 2000, dalam sebuah perjalanan bis dari Jakarta
ke Lampung, saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang kawan yang saat itu menjadi
pimpinan PRD. Diskusi kami tentang solidaritas terhadap Aceh. Dia mengatakan

1
 

ketidaksetujuannya jika Aceh berpisah dari Indonesia. Menurutnya, akar persoalan di Aceh
berbeda. “Di Aceh itu persoalan militerisme”, ucap sang kawan.

Argumentasi ini bukan pertama kali saya dengar, tidak terbatas di PRD, tetapi juga di
kalangan aktivis kemanusiaan yang selama ini banyak bekerja menggalang solidaritas untuk
Timor Timur. Pendapat yang sama juga saya dengar dari kalangan kiri di luar PRD. Yang
paling keras tentu saja para eksponen Partai Komunis Indonesia (PKI). Buat mereka, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam batas-batas yang disepakati founding
fathers adalah harga mati.

Kalau demikian, bagaimana cara kita membedakan antara pembebasan nasional dengan yang
“semata-mata” persoalan militerisme? Apa batas penegasnya? Bukankah militerisme juga
terjadi di Timor Timur? Jika jawabannya adalah soal reaksi atau perlawanan dari daerah yang
bersangkutan, bukankah di Aceh dan Papua juga itu terjadi meski dalam skala yang berbeda?

Pendekatan dengan melihat kuantitas korban yang jatuh juga terlalu dangkal. Masak kita baru
bersolidaritas kalau yang mati sudah melebihi angka tertentu? Atau, katakanlah suatu daerah
karena satu hal dan lainnya mengalami kekerasan serta pelanggaran HAM berat selama kurun
waktu tertentu, apakah otomatis mereka berhak menuntut penentuan nasib sendiri? Atau,
barangkali, memang NKRI sudah menjadi harga mati?

Dalam buku ini, sayangnya Wilson tidak masuk ke dalam ranah perdebatan tersebut.
Faktanya, taktik PRD terhadap Timor Timur memang berbeda dibanding terhadap Aceh dan
Papua. PRD memiliki cabang resmi di Aceh dan organisasi ini melakukan rekrutmen kader di
sana, baik secara individu maupun organisasi. Di Timor Timur beberapa orang memang
menjadi kader PRD, namun seperti dijelaskan Mateus Marco Goncalves dalam pengantar
buku ini, keberadaannya bersift individual saja.

Saya punya pengalaman bekerja di beberapa wilayah bergolak karena separatisme. Yang saya
lihat selama ini, keinginan aktivis kemanusiaan untuk rela dan mau bersolidaritas terhadap
sebuah daerah yang hendak menentukan nasibnya sendiri sangatlah jarang. Untuk
menyatakan protes atas pelanggaran HAM adalah soal mudah, tetapi ketika masuk ke ranah
pembebasan nasional kebanyakan orang memilih untuk diam atau menghindar.

Seorang teman kiri yang puluhan tahun berjuang mengadvokasi korban pelanggaran HAM di
tiga provinsi di Thailand mengatakan, dia selalu merasa sakit hati ketika Thailand dijelek-
jelekkan oleh negara lain meskipun dia sadar bahwa tuduhan itu memang berdasar.
Seterusnya dia mengatakan, dia tidak bisa membayangkan betapa buruknya tampilan peta
Thailand nantinya tanpa ketiga provinsi—yang sejak lama secara terus-menerus ditindas dan
masih saja melawan tersebut. Di Indonesia juga sangat banyak aktivis yang berpandangan
nasionalis seperti ini.

Beberapa waktu terakhir ini, sebuah rekaman video penyiksaan yang dilakukan oleh TNI
terhadap seorang warga Papua yang diduga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka
OPM), beredar. Nyatanya, berita ini tidak cukup untuk bisa membuat orang-orang kiri
berteriak “Referendum untuk Papua”. Malah, banyak kawan aktivis yang menduga-duga
kalau kejadian itu adalah rekayasa hanya karena video itu untuk pertama kalinya disiarkan
oleh TV Australia.

Kalau begitu, jangan-jangan solidaritas terhadap persoalan kebangsaan semacam ini


bukannya otomatis tetapi justru lebih seperti kerikil dalam sepatu atau sandal para aktivis kiri
di Indonesia.

2
 

Kemerdekaan Timor Timur = Demokrasi di Indonesia?

Saya sangat menikmati penggambaran Wilson dalam meletakkan PRD dalam gerakan
pembebasan rakyat Timor Leste. Bagi saya, ini adalah sebuah pelajaran sejarah penting
terutama karena PRD dan berbagai kelompok di Indonesia yang sejak lama aktif
berkampanye tentang persoalan Timor Timur, justru hilang dari panggung menjelang masa
referendum.

Lantas, banyak orang lebih mengingat jasa-jasa kelompok-kelompok internasional yang


dianggap menjadi penyelamat rakyat Timor Timur dari kekejaman milisi dan militer
Indonesia pasca referendum. Saya kira ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang di
Indonesia yang sudah melupakan bahwa gerakan serikat buruh di Australia adalah salah satu
kelompok yang sejak awal mengakui kemerdekaan negeri ini. Jadi, sejarah yang berulang
saja.

Menjadi kader PRD adalah sebuah pilihan yang sulit. Ini saya alami ketika mulai berkenalan
dengan kelompok ini di tahun 1995. Banyak hal yang harus ditinggalkan atau paling tidak
dilupakan ketika masuk dalam kelompok ini — bahkan keluarga sekalipun. Taktik tanpa
kompromi menggempur Orde Baru, membuat setiap kader harus senantiasa siap tempur di
mana saja untuk isu apa saja.

Dari sekian banyak isu yang dianggap berbahaya yang diusung PRD saat itu, isu Timor
Timur, Aceh, dan Papua yang paling sulit diterima kalangan gerakan. Saya yang banyak
bergelut dalam dunia gerakan mahasiswa sadar kemudian bahwa isu ini bukan saja tidak
popular tetapi juga ditolak oleh banyak organisasi di luar PRD. Seingat saya, hampir tidak
pernah ada pembicaraan serius tentang hal ini dalam gerakan mahasiswa. Bahkan ketika
Timor Timur akan mengalami penderitaan yang sangat parah setelah referendum. Jadi, saya
termasuk orang yang skeptis kalau ditanya "apakah aktivis gerakan pro-demokrasi di
Indonesia memiliki solidaritas terhadap bangsa Timor Timur?"

Wilson menuliskan pengalamannya secara runtut ketika menggeluti isu Timor Timur. Dalam
hal ini, pembentukan sayap khusus Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere
(SPRIM) adalah tonggak betapa PRD menempatkan isu Timor Timur sebagai hal penting
dalam perjuangannya untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia.

Penyikapan itu tentu tak mudah. Seperti dituturkan Wilson, isu Timor Timur menjadi salah
satu awal penyebab perpecahan PRD tahun 1994. Baru di masa kepengurusan yang baru
(KPO-PRD), PRD secara terang-terangan menunjukkan solidaritas politiknya atas Timor
Timur. Salah satunya adalah waktu aksi pendudukan Kedutaan Belanda dan Kedutaan
Portugal pada Desember 1995.

Saya selalu ingat doktrin yang diajarkan PRD dalam nada yang menyangkal: "Tak Ada
Demokrasi tanpa Referendum di Timor Timur".

Sebagai seorang pemula dalam gerakan, terus terang saya tidak mengerti apa maksud doktrin
ini. Begitupun ya ditelan sajalah dulu. Lagi pula saya sedikit banyak sudah pernah dengar
tentang kasus Timor Timur dari abang saya, yang kebetulan seorang wartawan. Dialah yang
mengajarkan bahwa Timor Timur pada hakekatnya adalah negeri jajahan Indonesia dan
menurut dia untuk memahami Orde Baru, cukup dengan menggunakan hukum negasi: kalau
negara bilang aman maka itu berarti sedang kacau; kalau pemerintah bilang rakyat sejahtera
maka itu berarti rakyat miskin, dan seterusnya.

Tidak lama setelah saya bergabung dengan PRD, Soeharto mundur secara “mendadak” dan
Habibie naik menggantikannya. Secara akrobatik Timor Timur tiba-tiba mendapatkan

3
 

“hadiah” referendum dari sang presiden pengganti. Langkah ini, menurut BJ Habibie dalam
bukunyaDetik-detik yang Menetukan, ia ambil setidaknya untuk tiga alasan: sebagai
implementasi kehidupan “merdeka dan bebas” yang “berbudaya dan bertanggung jawab”;
upaya untuk menghindari tekanan internasional terhadap proses reformasi yang terjadi; serta
menghindari perpecahan (Balkanisasi) NKRI.

Keputusan Habibie ini memicu kemarahan berbagai kalangan, terutama tentara. Di sisi lain,
organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) justru membiarkan
penanganan keamanan selama proses referendum di tangan pemerintah RI. Akibatnya, Timor
Timur berubah menjadi ajang pembantaian setelah mayoritas rakyat di sana memilih merdeka
dari Indonesia. Milisi-milisi yang didukung oleh tentara Indonesia segera melakukan bumi
hangus.

Seperti digambarkan Wilson, posisi PRD sangat sulit masa itu. Praktis hanya berkampanye
yang bisa dilakukan. Dan, di tengah “kemarahan” orang Indonesia yang merasa “dikhianati”
oleh rakyat Timor Timur, berkampanye sekalipun menjadi suatu hal yang berbahaya.

Alih-alih menciptakan kehidupan yang bebas dan merdeka seperti kata BJ Habibie, Jakarta
kala itu menjadikan Timor Timur ajang pembantaian. Ancaman Balkanisasi justru menguat di
Indonesia setelah referendum Timor Timur. Muncul berbagai sentimen kedaerahan. Di
beberapa kawasan, Riau misalnya, orang mengancam akan memisahkan diri dari Republik
Indonesia. Setelah kejatuhan Soeharto, memang berbagai wilayah di Indonesia mengalami
konflik horisontal. Kekerasan menggila, seperti tak tersembuhkan.

Referendum yang berakhir dengan kemerdekaan rakyat Timor Timur, ternyata tidak
berbanding lurus dengan demokrasi di Indonesia. Para penjahat kemanusiaan masih saja
berkeliaran, hampir tak tersentuh oleh hukum mana pun. Segera setelah kasus bumi hangus
Timor Timur, Indonesia mengajukan agar diadakan sebuah Komisi Rekonsialiasi. Artinya
amnesti bagi mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Di sisi lain, hingga saat ini,
pemerintahan yang terbentuk di Timor Timur pun tidak pernah berupaya untuk menyeret para
pelaku pelanggar HAM ini ke meja hukum. Dalam situasi seperti ini demokrasi menjadi mati
di kedua negara — Indonesia dan di Timor Timur.

Generasi Santa Cruz

Peristiwa Santa Cruz 1991 disadari atau tidak, menjadi sebuah tonggak sejarah gerakan
pembebasan nasional di Timor Timur. Dalam tulisannya, Wilson menjelaskan di Indonesia
kesadaran terhadap penjajahan atas Timor Timur menguat setelah peristiwa pembantaian ini.
Para aktivis kemanusiaan yang saat itu masih berkiprah di LSM-LSM, mulai bergerak dan
berkampanye soal Timor Timur. Pimpinan-pimpinan awal PRD seperti Danial “Roy”
Indrakusuma, merupakan contoh individu yang lahir dari peristiwa ini.

Di lingkup internasional, peristiwa Santa Cruz membuka mata banyak kalangan terhadap
kebrutalan rejim Orde Baru. Kebetulan seorang wartawan Inggris mengabadikan pembantaian
dan rekamannya kemudian menyebar cepat. Protes muncul di mana-mana sehingga Amerika
Serikat, yang sudah sejak awal menjadi pendukung utama aneksasi Indonesia atas Timor
Timur, bertindak. Mereka memblokade bantuan persenjataan ke Indonesia. Hal ini sangat
melukai militer Indonesia yang sesungguhnya sejak lama bergantung pada persenjataan
buatan negara super power itu. Selain itu, tekanan ekonomi juga dilakukan oleh negara-
negara donor Indonesia. Hal yang kemudian membuat Jakarta dongkol dan memutuskan
hubungan dengan lembaga donor Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang saat itu
diketuai oleh Jan Pronk.

4
 

Pada 1992, dalam diskusi di sebuah universitas di Amerika Serikat, tak lama setelah peristiwa
pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Indonesianis terkemuka Ben Anderson membuat
sebuah prediksi jitu, yakni dalam waktu tak terlalu jauh Timor Timur akan merdeka. Dalam
diskusi itu, hadir juga Noam Chomsky dan dua jurnalis yang mengalami kekerasan fisik
dalam insiden itu (Alan Nairn dan Amy Goodman) dan perwakilan pemerintah AS. Alasan
yang diberikan Anderson adalah rezim Orde Baru gagal mengintegrasikan bangsa ini menjadi
“Indonesia”. Sebagai contoh, meski sudah puluhan tahun Indonesia menduduki Timor Timur,
pemerintah masih terus memperlakukan Timor Timur sebagai sebuah entitas yang tunggal.
Persisnya, seperti sebuah etnis semata saja. Ini berbeda dengan Papua, misalnya, dimana
dianggap penduduknya multi-etnik.

Tanda-tanda kegagalan Jakarta ini juga terlihat dari perubahan jargon yang mereka pakai.
Sebelumnya elit militer Indonesia selalu mengatakan pengacau di sana hanya beberapa
gelintir individu. Setelah kejadian Santa Cruz, jargon yang mereka pakai adalah “massa”.
Penggantian sebutan ini jelas merupakan isyarat kebingungan rejim Orde Baru dalam
mengidentifikasi siapa musuhnya.

Peristiwa Santa Cruz terbukti tidak mematahkan gerakan perlawanan rakyat Timor Timur.
Sebaliknya yang terjadi: muncul generasi Santa Cruz. Mereka ini sebagian besar lahir di masa
Orde Baru, sehingga mengalami pendidikan dan cuci otak seturut sistem pendidikan
Indonesia. Generasi ini tidak pernah merasakan langsung pahitnya perlakuan militer
Indonesia di masa lalu saat menduduki tanah mereka. Ben Anderson memperkirakan dampak
peristiwa Santa Cruz: apa pun kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia akan
berujung pada kegagalan.

Indonesia memang tidak belajar pada sejarahnya sendiri. Persisnya, sejarah sebagai jajahan
Belanda. Apa yang dilakukan penguasa Orde Baru di Timor Timur, justru persis mengikuti
pola-pola Belanda di masa kolonial. Sekolah, jalan-jalan, gedung-gedung, dan berbagai
fasilitas dibangun untuk mengintegrasikan daerah jajahan. Infrastruktur dibangun tapi
kekerasan juga dipakai. Itu semua ternyata justru berbalik menjadi senjata yang membunuh
tuannya sendiri di tanah jajahan.

Solidaritas sesama rakyat tertindas

Timor Timur merupakan sebuah kisah sukses gerakan pembebasan nasional. Tetapi tidak
semua gerakan seperti ini berakhir dengan cerita kemenangan. Karena itulah analisis terhadap
proses kemerdekaan negeri ini perlu lebih dalam, lebih dari sekadar menelaah faktor tekanan
internasional atau faktor politik internal [Indonesia] saat itu yang sedang kacau balau.
Sepertinya buku ini memang tidak dimaksudkan untuk menjawab hal seperti itu.

Dalam kitab A Luta Continua! ini, Wilson tampaknya lebih fokus untuk mempertontonkan
aktivitas-aktivitas di masa lalu daripada analisis terhadap peristiwa-peristiwa politik tersebut.
Dalam buku ini hampir tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang kesolidan kerja sama
antara PRD dan organisasi di Timor Timur, misalnya. Barangkali hanya dengan Partai
Sosialis Timor Leste (PST) saja PRD berikatan, tetapi itu pun lagi-lagi terbatas pada
komitmen ideologi dan kerja bersama.

Dengan CNRM/CNRT, menurut Wilson, PRD bersepakat soal kegiatan. Tapi dia tak
membahas secara mendalam seperti apa hubungan itu terjalin. Ia hanya mengatakan ada
beberapa kerja sama organisasional yang dilakukan melalui kurir, perkawanan dengan napol
di LP Cipinang, dan sebagainya. Namun hampir tidak ada analisis dalam buku ini bagaimana
CNRT, misalnya, melihat PRD dalam konteks taktik perjuangan mereka. Seberapa penting
PRD di mata para pejuang Timor Timur? Apakah PRD, dalam bahasa RENETIL, sama
dengan "setan-setan" lainnya yang mendukung kemerdekaan Timor Timur?

5
 

Lebih dari sebuah kemerdekaan politik, Timor Timur juga merupakan sebuah proyek
kemerdekaan kemanusiaan. Saya kira inilah titik pijak gerakan PRD yang berbeda dengan
kelompok-kelompok lain. PRD tidak pernah mempersoalkan akan seperti apa nantinya Timor
Timur; apalagi berkeinginan mengintervensinya, kendati banyak yang meragukan
kesanggupan bangsa ini jika berpisah dengan Indonesia kelak. Bagi PRD, tidak ada waktu
untuk menunggu hingga bangsa ini “siap” dan juga harus menunggu hingga kader-kader kiri
yang revolusioner tumbuh di sana. Ini pula yang membuat langkah PRD berbeda dengan
kelompok kiri lainnya, terutama jaringan kelompok Trotskys.

Dalam konteks proyek kemerdekaan kemanusiaan ini maka solidaritas haruslah ditempatkan
dalam kerangka kepentingan bangsa Timor Timur itu sendiri, bukan kepentingan elit-elit yang
ada di sana. Sebab perbedaan di antara keduanya cukup besar. Seperti digambarkan oleh
Naipaul Shiva, elit-elit kebangkitan kebangsaan umumnya egomaniak dan psikopatik. Atau
dalam tuduhan Franz Fanon, elit-elit ini selalu berpikir bahwa rakyatnya adalah sekelompok
hewan yang harus digiring ke sana ke mari. Kemerdekaan, menurut Fanon, bukan berarti
sebuah proses dekolonisasi karena elit-elit justru mengadopsi pola perilaku penjajahnya —
tipe elit yang dia sebut sebagai penganut nasionalisme “anti-nasionalis”.

Persoalan solidaritas untuk Timor Timur saat ini, menurut saya, tentu tidak lagi sama dengan
di masa lalu. Elit-elit yang dulu menjadi korban sekarang sudah menjadi penguasa. Xanana,
misalnya, bukan lagi Xanana yang ditemui Wilson di masa LP Cipinang. Begitu juga Ramos
Horta, Mari Alkatiri dan ‘lider’ lain. Pilihan-pilihan yang mereka ambil selama ini bukan lagi
karena kesilapan semata melainkan sebuah pilihan ideologis. Yang masih sama adalah rakyat
Timor Timur; kepada merekalah kita harus terus melanjutkan solidaritas.

Selain komentar-komentar di atas, ada berbagai persoalan teknis dalam buku ini yang cukup
mengganggu saya sebagai pembaca. Terutama kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan
pengulangan kalimat sehingga mubazir. Meski demikian, saya kira, buku ini tetap karya
penting dalam mengingatkan kita tentang pentingnya makna solidaritas di antara rakyat
tertindas. Sebuah kekuatan yang tidak dipunyai oleh kelas penguasa.***

6
 


You might also like