Professional Documents
Culture Documents
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, berarti di negara kita
hukumlah yang mempunyai arti penting terutama dalam semua segi-segi kehidupan
masyarakat. Segala penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan
pemerintahnya harus sesuai dan menurut saluran-saluran yang telah ditentukan terlebih
dahulu oleh hukum.
Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara
harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu,
merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat
norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau
badan-badannya sendiri.
Dalam mempergunakan istilah “Negara Hukum”, ternyata terdapat perbedaan penggunaan
istilah diantara para ahli ketatanegaraan. Para ahli di Eropa Barat (Kontinental) seperti
Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah “Rechtsstaat”, sedangkan A.V. Dicey
menggunakan istilah “Rule Of Law”. Kedua istilah tersebut secara formil dapat mempunyai
arti yang sama, yaitu negara hukum, akan tetapi secara materiil mempunyai arti yang berbeda
yang
disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari “the rule of law” yaitu pertama, supremasi hukum
(supremacy of law); kedua, persamaan di hadapan hukum (equality before the law); ketiga,
terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam Konstitusi. Adapun untuk “rechtsstaat” menurut
F.J. Stahl mempunyai unsur-unsur : pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia; kedua; pemisahan dan pembagian kekuasaan negara (trias politica); ketiga,
pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); keempat, adanya peradilan
administrasi negara (PTUN) (lihat Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 66 dan Philipus M.
Hadjon, 1987 : 80).
Dalam rule of law menurut sistem Anglosaxon terdapat perbedaan dengan rechsstaat menurut
faham Eropa Kontinental. Perbedaan itu antara lain dalam rule of law, tidak terdapat
peradilan administrasi negara (PTUN) yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dalam
rechtsstaat terdapat peradilan administrasi negara (PTUN) yang berdiri sendiri terpisah dari
peradilan umum. Adapun persamaannya antara lain keduanya (baik rechtsstaat maupun rule
of
law) mengakui perlindungan HAM, adanya “kedaulatan hukum” atau “supremsi hukum”,
tidak ada penyalah gunaan kekuasaan atau perbuatan sewenang-wenang oleh Penguasa
(absence of arbitrary power).
Melihat kedua sistem tersebut, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik
dengan rechtsstaat. Untuk lebih detailnya perlu pula penulis telaah pemikiran-pemikiran ahli
hukum Indonesia yang terkenal, yaitu Oemar Seno Adji, Padmo Wahyono, dan Philipus M.
Hadjon.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas
Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka
Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila (Muhammad Tahir
Azhary, 1992 : 69). Dengan kata lain, Negara Hukum Pancasila ini muncul karena digali oleh
para proklamator negara dari adat-istiadat asli masyarakat di Indonesia secara keseluruhan
yang
heterogen dan majemuk berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika.
Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo Wahyono menelaahnya
dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945 (asas ini
masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di amandemen, vide Pasal 33). Menurut Padmo
Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai” (Muhammad Tahir Azhary, 1992 : 69-70). Jadi
menurut beliau, pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan maka harus
memperhatikan aspek kepentingan umum dan hak asasi manusia. Selanjutnya Philipus M.
Hadjon (1987 : 84-85) mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan
begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai
berikut ; (1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir
dari suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara
Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang
segala bentuk kesewenangan atau absolutisme; (2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of
law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik
sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; (3) untuk melindungi
hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheid dan rule of law
mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia
mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua kelompok negara
hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental,
maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaruh oleh
sistem hukum kontinental (rechtsstaat).
Sebagaimana diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (1995 : 238) : “Hukum Kolonial
bagaimanapun juga adalah hukum yang — mempertimbangkan
substansinya — secara formal masih berlaku, dan sebagian besar kaidah-kaidahnya masih
merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan berbagai ketentuan peralihan.
Perkembangan hukum di Indonesia selama ini, sejak masa kekuasaan kolonial sampai pun ke
masa-masa sesudahnya, adalah perkembangan yang bergerak ke arah dan/ atau menurut pola-
pola hukum Eropa, dan dalam hal ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini,
berarti memutus hubungan tradisional sebagaimana pernah terkembang dalam sejarah antara
Indonesia dan Belanda — yang sebenarnya juga ikut meliput berbagai aspek yang sifatnya
institusional, seperti misalnya peradilan dan pendidikannya — akan berarti memaksa
Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-
nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai….”.
Oleh karena hal tersebut diatas, Negara Indonesia pun dalam hal mewujudkan suatu negara
hukum menginginkan terbentuknya pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana
yang dianut negara eropa kontinental. Keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) di
berbagai negara modern terutama negara-negara penganut paham Welfare State (Negara
Kesejahteraan) merupakan suatu tonggak yang menjadi tumpuan harapan masyarakat atau
warga negara untuk mempertahankan hakhaknya yang dirugikan oleh perbuatan hukum
publik pejabat administrasi negara karena keputusan atau kebijakan yang dikeluarkannya.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan administrasi negara (PTUN)
diperlukan keberadaannya, sebagai salah satu jalur bagi para pencari keadilan yang merasa
kepentingannya dirugikan karena dalam melaksanakan kekuasaannya itu ternyata pejabat
administrasi negara yang bersangkutan terbukti melanggar ketentuan hukum.
Di Indonesia, pengadilan administrasi negara dikenal dengan pengadilan tata usaha negara
sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun
2004 (perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua). Berdasarkan Pasal
24 ayat (3) Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan 10 November
2001 Jo pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikenal 4
lingkungan lembaga peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Tiap-tiap lembaga ini mempunyai kewenangan dan fungsi
masing-masing, sehingga lembaga-lembaga peradilan ini mempunyai kompetensi absolut
yang berbeda satu dengan lainnya.
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi negara (PTUN) dalam
suatu negara, terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, oleh karenanya
hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak masyarakatnya.
Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat atau
kepentingan umum. Karena itu, menurut S.F Marbun (1997 : 27) secara filosofis tujuan
pembentukan peradilan administrasi negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian,
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.
Selain itu, menurut Prajudi Atmosudirdjo (1977 : 69), tujuan dibentuknya peradilan
administrasi negara (PTUN) adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi
negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut undang-undang
(wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Sedangkan
Sjachran Basah (1985 : 25) secara gamblang mengemukakan bahwa tujuan pengadilan
administrasi negara (PTUN) ialah memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum,
tidak hanya untuk rakyat semata-mata melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti
menjaga dan memelihara keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan
individu. Untuk administasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat bersih dan
berwibawa dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian, lembaga pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah sebagai salah satu
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang
merdeka yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam rangka menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dan keadilan ini merupakan
bagian dari perlindungan hukum bagi rakyat atas perbuatan hukum publik oleh pejabat
administrasi
negara yang melanggar hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka peradilan administrasi negara (PTUN) diadakan dalam
rangka memberikan perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dan
kepastian hukum) kepada rakyat pencari keadilan (justiciabelen) yang merasa dirinya
dirugikan akibat suatu perbuatan hukum publik oleh pejabat administrasi negara, melalui
pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam bidang administrasi negara.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat
administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara, akan tetapi
bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka
norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Atas dasar itulah, eksistensi
pengadilan administrasi negara (PTUN) merupakan sesuatu yang wajib, dalam arti selain
sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu
bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan
hukumnya berada pada posisi yang lemah.
Atas dasar keserasian hubungan berdasarkan asas kerukunan, maka sedapat mungkin
penyelesaian sengketa dilakukan melalui cara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir. Hal itu karena musyawarah sebagai cerminan perlindungan hukum preventif berupa
pemberian kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum pemerintah memberikan keputusan yang definitif. Musyawarah sangat besar artinya
ditinjau dari perbuatan pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena
pemerintah akan terdorong untuk mengambil sikap hati-hati, sehingga sengketa yang
kemungkinan dapat terjadi dapat dicegah.
Sengketa yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No.51 Tahun 2009
perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa :
“Sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi negara) adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara (administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan
administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Pada kenyataannya, sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan
hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan.
Sebagaimana diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan
kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak
menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk
keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam rangka
melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum atas
perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad) sampai saat ini
penyelesaian sengketanya bukan kewenangan pengadilan administrasi negara (PTUN),
karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini belum mengadopsi
sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di Prancis yang nota
benenya menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia. Meskipun demikian
melihat perkembangan ke depan nantinya (dalam rangka reformasi administrasi
pemerintahan) menurut penulis suatu hal yang harus dibentuk satu sistem peradilan
administrasi negara terpadu, artinya segala sengketa administrasi negara diselesaikan melalui
pengadilan administrasi negara (PTUN). Kenyataan ini diperlukan karena disamping esensi
pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai satu-satunya lembaga penegakan hukum
administrasi negara sebagaimana termaktub dalam Konstitusi juga membuat sederhana
(simple) penyelesaian sengketa administrasi negara melalui satu pintu lembaga peradilan dan
untuk menghindari overlap kewenangan dalam penyelesaian sengketa administrasi negara.
Erat kaitannya dengan penegakan hukum administrasi negara, saat ini pemerintah sedang
membuat suatu rancangan undang-undang tentang administrasi pemerintahan (RUUAP) yang
telah memasuki tahap konsep (draft bulan Agustus 2008). Bila kita amati undang-undang
tersebut merupakan hukum materiil dari hukum administrasi negara di Indonesia, didalamnya
mengatur mengenai dasar hukum dan pedoman bagi setiap pejabat administrasi pemerintahan
dalam menetapkan keputusan, mencegah penyalahgunaan kewenangan dan menutup
kesempatan untuk melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Yang terlebih penting
undang-undang ini nantinya selain sebagai dasar reformasi birokrasi juga menjadi landasan
untuk perubahan mindset dan cultural-set aparatur pemerintah, merubah mentalitas priyayi
atau penguasa yang minta dilayani, menjadi sosok aparatur pemerintah yang berperilaku
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang profesional,dan selalu memperhatikan
kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan. Bahkan lebih menarik lagi setelah undang-
undang sebagai HAN materiil ini disahkan akan menuntut untuk merevitalisasi peranan
pengadilan administrasi negara (PTUN). Dengan kata lain undang-undang HAN formil yang
ada saat ini (UU No.5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004
(perubahan pertama) dan UU No.51 Tahun 2009 (perubahan kedua)) harus segera direvisi,
karena aturan dalam undang-undang administrasi pemerintahan memberi kewenangan
pengadilan administrasi negara (PTUN) menjadi lebih luas.
Kewenangan itu diantaranya berupa subjek penggugat selain orang per-orangan bisa juga
organisasi (melalui legal standing) dan badan atau pejabat pemerintahan itu sendiri, lalu
subjek tergugat adalah selain badan atau pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan,
termasuk juga badan hukum lain (seperti : otorita, lembaga pendidikan, notaris, dll) yang
menerima pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
mengeluarkan keputusan pemerintahan tersebut. Serta penyelesaian sengketa administrasi
negara yang berupa tindakan faktual pejabat administrasi negara pun menjadi kompetensi
absolut pengadilan administrasi negara (PTUN). Hanya saja yang perlu dikritisi dari RUUAP
ini adalah belum adanya subjek penggugat yang terdiri dari masyarakat yang menggugat
secara class action (padahal dalam konsep sebelumnya sempat muncul) dan masih banyak
lagi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan ganti rugi,
eksekusi melalui pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi apabila norma hukum
didalamnya tidak mengatur secara tegas, serta peraturan pelaksananya pun terlalu lama
dikeluarkan.
Dalam kaitan dengan pengadilan administrasi negara sebagai salah satu badan peradilan yang
menjalankan “kekuasaan kehakiman yang bebas” sederajat dengan pengadilan-pengadilan
lainnya dan berfungsi memberikan pengayoman hukum akan bermanfaat sebagai:
1. Tindakan pembaharuan bagi perbaikan pemerintah untuk kepentingan rakyat;
2. Stabilisator hukum dalam pembangunan;
3. Pemelihara dan peningkat keadilan dalam masyatakat;
4. Penjaga keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
umum(Sjachran Basah, 1985 : 25).
Pencabutan hak-hak tertentu (sanksi administrasi ringan, sedang, dan berat seperti :
berupa pencopotan jabatan atau pemberhentian dengan tidak hormat).
Publikasi kepada masyarakat umum (media cetak dan atau elektronik).
Rekomendasi black list secara politis (kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif terutama apabila yang bersangkutan akan menjalani fit and proper test).
Pengenaan sanksi badan (pidana penjara).
Permasalahan mengenai moralitas pejabat memang sangat abstrak sehingga sangat sulit
dianalisa ketidak patuhan secara hukum pejabat tersebut karena berkenaan dengan kejiwaan
(humanistis) dan latar belakang kehidupan pejabat yang bersangkutan. Meskipun demikian,
perlu adanya alat kontrol lainnya dalam rangka penegakan hukum administrasi negara ini
yaitu peraturan perundang-undangan. Celakanya sampai saat ini peraturan perundang-
undangan yang ada belum memadai, yang menurut penulis permasalahan tersebut karena :
1. Sempitnya pengertian objek sengketa administrasi negara yang dapat diselesaikan di
PTUN. Dengan kata lain, arti ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009
perubahan kedua atas UU No.5 Tahun 1986 menyimpang dari pengertian sengketa
administrasi negara secara luas yang secara teoritis mencakup seluruh perbuatan
hukum publik.
2. Hukum administrasi negara formil (hukum acara PTUN) sudah terwujud akan tetapi
hukum administrasi negara materiil belum terbentuk.
3. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur
dalam Pasal 116 UU No.51 Tahun 2009 perubahan kedua dan UU No. 9 Tahun 2004
perubahan pertama atas UU No.5 Tahun 1986 belum ditindak lanjuti oleh peraturan
pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan hukuman
administrasi negaranya.
4. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang
didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi
overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti :
penyelesaian sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans,
sengketa HAKI yang bersifat administratif, sengketa pajak, dll.
Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi penegakkan hukum administrasi negara, tidak perlu
dibentuk peradilan-peradilan khusus karena disamping menghambur-hamburkan anggaran
negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangka penegakkan hukum. Apabila
alasan dibentuknya peradilan khusus hanya karena kurangnya keahlian hakim dalam
menyelesaikan perkara tertentu dan lambannya proses berperkara di pengadilan sebetulnya
bisa diatasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia dimungkinkan keikut sertaan saksi ahli dan
hakim ad-hoc karena dibutuhkan disaat lembaga peradilan memerlukan keahliannya untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu dan apabila perlu para hakim pengadilan administrasi
negara (PTUN) diberi kesempatan studi lanjut untuk mendalami pendidikan khusus
(spesialisasi) tentang bidang hukum administrasi negara tertentu (misalnya : Pajak, HAKI,
Ketenagakerjaan, dll) sehingga alasan kurangnya keahlian hakim bisa diatasi, sedangkan
alasan dibentuknya peradilan khusus dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara pun
kurang tepat karena dalam praktek justru para pihak yang bersengketa biasanya terlalu lama/
bertele-tele dalam bersidang bahkan ada beberapa pihak yang secara sengaja memperlambat
jalannya persidangan dengan maksud-maksud tertentu, seperti : ketika pemeriksaan persiapan
meskipun dalam undang-undang diatur maksimal perbaikan gugatan dalam tenggang waktu
30 hari, akan tetapi pihak penggugat tidak bisa memperbaiki gugatannnya secepat mungkin.
Selain itu, sama halnya dalam persidangan yang terbuka untuk umum dimana para pihak
tidak bisa mempersiapkan Jawaban/ Replik/ Duplik/ Alat Buktinya secara cepat dimana
dalam prakteknya tiap-tiap acara mereka meminta pengunduran waktu sidang satu minggu
atau lebih, padahal seandainya para pihak siap segalanya bisa saja dalam satu minggu dua
atau tiga acara persidangan sekaligus. Bila para pihak yang bersengketa ada itikad baik
mematuhi asas cepat dan sederhana dalam persidangan, tidak akan ada lagi alasan
bersengketa melalui peradilan administrasi negara (PTUN) terlalu lama, apalagi semenjak
adanya pembatasan Kasasi terhadap sengketa administrasi negara berupa keputusan pejabat
daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sesuai
Pasal 45 A ayat (2) Huruf C UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA ini
telah ada perubahan keduanya yaitu UU No.3 Tahun 2009). Berdasarkan permasalahan
tersebut menurut penulis, perlu dibuat suatu klausul tertentu dalam suatu ketentuan hukum
acara (dalam revisi UU PTUN nantinya) yang memberi kewenangan hakim untuk
melanjutkan jalannya persidangan apabila menurutnya salah satu pihak/ para pihak dianggap
memperlambat jalannya proses persidangan, dengan demikian untuk kelancaran/ cepatnya
penyelesaian perkara hakim yang bersangkutan apabila mengambil sikap/ keputusan
berdasarkan asas cepat dan sederhana dalam persidangan tidak melanggar hukum acara yang
ada.
Dengan adanya keterbatasan hukum formil peradilan administrasi negara (PTUN), tidak
berarti pula bahwa para penegak hukum harus mengabaikan atau meremehkan kesadaran-
hukum mereka sendiri. Hal ini pun berdasarkan suatu teori yang mengira dapat hidup tanpa
perasaan hukum (rechtsgevoel) tiap-tiap individu terutama penegak hukum, tak mungkin
akan mampu memberi tafsiran yang tepat tentang hukum, dan apabila teori serupa itu
diterapkan dalam bidang peradilan yang bebas, sering akan menyebabkan diambilnya
keputusan-keputusan yang tidak adil, juga bertentangan dengan tujuan hukum, sebab tujuan
hukum adalah pada asasnya menegakkan KEADILAN.
Untuk merealisasikan keadilan dalam penegakan hukum administrasi negara, yaitu apabila
hakim pengadilan administrasi negara (PTUN) tidak dapat menemukan peraturan dalam
undang-undang, maka ia harus mengambil keputusan berdasarkan hukum tidak tertulis yang
dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-asas ini menurut penulis bisa ditemukan dalam Pancasila, UUD 1945, dan kebiasaan
dalam pemerintahan (konvensi). Adanya perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap
perbuatan hukum publik pejabat administrasi yang melanggar hukum dikaitkan dengan
keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagai lembaga penegak hukum dan
keadilan, menurut hemat penulis keadaan seperti ini sebagai wujud dari suatu pemerintahan
yang baik dan berwibawa. Penyelenggaraan sistem pemerintahan yang baik dan berwibawa
secara teoritis dikenal dengan apa yang disebut good governance. Menurut Adnan Buyung
Nasution (1998), konsep good governance mengacu pada pengelolaan sistem pemerintahan
yang menempatkan transparansi, kontrol, dan
accountability yang dijadikan sebagai nilai-nilai yang sentral. Dalam implementasi good
governance ini hukum harus menjadi dasar, acuan, dan rambu-rambu bagi penerapan konsep
tersebut. Artinya, perlu suatu upaya bagaimana rule of law itu sendiri di dalam menentukan
suatu good governance. Hal inipun diakui oleh B. Arief Sidharta (1999), bahwa good
governance hanya mungkin terwujud dalam negara hukum yang di dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat dan negara berlaku supremasi hukum.
Sebagaimana sudah banyak diketahui, konsep good governance berakar pada suatu gagasan
adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam sektor
kelembagaan di semua level di dalam negara terutama lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Berkenaan dengan kontrol yuridis oleh lembaga yudikatif terhadap lembaga
eksekutif pelaksanaan good governance diharapkan dapat terealisasi dengan baik. Kontrol
yuridis oleh lembaga yudikatif dalam hal pemerintah melaksanakan fungsi administrasi
negaranya dilaksanakan oleh peradilan administrasi negara (PTUN). Maksudnya adalah
peradilan administrasi negara (PTUN) menjadi salah satu komponen dalam suatu sistem yang
menentukan terwujudnya good governance.
Penulis melihat adanya keterkaitan yang erat antara konsep good governance dengan konsep
keberadaan pengadilan administrasi negara (PTUN). Keterkaitan ini dapat diketahui dengan
memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri dan fungsi utama dari
pengadilan administrasi negara (PTUN). Meskipun unsur-unsur dari good governance banyak
yang masih memberikan kriteria masing-masing, tetapi pada intinya ada lima prinsip utama
dalam good governance, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy),
keterbukaan (openess), penegakan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level
playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan). Prinsip terakhir ini sering
disebut dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Makna good dalam good governance disini menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 121)
mengandung dua pengertian; pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak
rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek
fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itupun beliau memaknai governance sebagai institusi
yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor
swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Dengan demikian ketiga domain ini
dalam upaya mewujudkan good governance saling berinteraksi dan terkoordinasi serta dapat
menjalankan peran dan fungsinya masing-masing dengan baik.
Beranjak dari ketiga domain tersebut, sektor negara atau pemerintah dalam arti luas
merupakan sektor yang sangat kuat, lain dengan sektor swasta dan masyarakat yang posisinya
lebih lemah karena segala kebijakan ditentukan oleh sektor negara tersebut. Oleh karena itu,
sektor swasta dan masyarakat ini mendapat perlindungan hukum dari pengadilan administrasi
negara (PTUN) apabila ada perbuatan hukum publik dari pejabat administrasi yang
merugikan hak-haknya. Perlindungan hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) UU
PTUN yang menyatakan bahwa :
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau direhabilitasi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat adanya unsur penegakan hukum dan perlindungan
hukum bagi rakyat Indonesia dalam undang-undang peradilan administrasi negara (PTUN)
ini. Hal ini sesuai dengan prinsip ke-4 dan ke-5 dari lima prinsip good governance, sedangkan
prinsip akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan juga merupakan unsur penting dalam hal
penyelenggaraan sistem pemerintahan.
Menurut Sjahruddin Rasul (2000 : 135-136), akuntabilitas merupakan suatu perwuju dan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pemerintahan,
akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misinya. Berdasarkan
hal tersebut menurut penulis, pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya pun
dimintai pertanggungjawabannya ketika melakukan perbuatan hukum publik, terlebih apabila
perbuatannya itu melanggar hukum. Pertanggungjawaban ini secara hukum dapat diajukan ke
pengadilan administarasi negara (PTUN) sebagai lembaga hukum yang melaksanakan fungsi
judicial control.
Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance merupakan dua
hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh
pejabat administrasi negara merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan
demikian, karena dalam hal pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau
keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau
keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Misalnya dalam
perekrutan pegawai negerai sipil atau penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi negeri
harus dibuat dalam suatu keputusan administrasi yang sifatnya transparan dan terbuka bagi
publik untuk mengetahui proses dan hasil perekrutan tersebut. Hal ini pun nantinya ada suatu
pertanggung jawaban secara hukum, bila ada pihak yang merasa dirugikan atas keputusan
administrasi negara tentang hasil penerimaan tadi.
D. Penutup
Dapatlah disimpulkan disini bahwa eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah
selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena pengadilan administrasi
negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik pejabat
administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya
menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan
yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi
yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih
demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju
terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat.
Sunday, October 10, 2010
KARAKTERISTIK PENGADILAN ADMINISTRASI
A. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991;445), “karakteristik” diartikan sebagai ciri-ciri
khusus atau mempunyai sifat-sifat khusus yang sesuai dengan perwatakan tertentu. Dalam
kaitannya dengan Peradilan Administrasi Negara, maka karakterisrik Peradilan Administrasi
Negara dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus atau sifat-sifat khusus yang dipunyai
(melekat) pada Peradilan Administrasi Negara. Karakteristik sebagai sifat khusus yang
melekat pada Peradilan Administrasi Negara, dapat dijadikan sebagai dasar pembeda
(parameter) dengan karakterisitk Peradilan Umum.
Seperti diketahui bahwa pada prinsipnya Hukum Acara yang berlaku dalam proses
penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri juga berlaku bagi penyelesaian sengketa
TUN di Pengadilan Administrasi Negara. Dikatakan pada prinsipnya berarti bahwa tidak
semua hukum acara dalam penyelesaian perkara perdata berlaku sepenuhnya bagi
penyelesaian sengketa TUN. Terdapat berbagai proses acara yang khas yang berlaku dalam
penyelesaian sengketa TUN, tetapi tidak berlaku dalam penyelesaian perkara perdata.
Proses acara yang khas tersebut dapat dipandang sebagai pengecualian terhadap Hukum
Acara Perdata, dengan kata lain dapat dipandang sebagai karakteristik dalam penyelesaian
sengketa TUN. Karakteristik inilah yang membedakan antara cara penyelesaian sengketa
TUN dengan cara penyelesaian prkara perdata.
1. Dalam sengketa TUN posisi/kedudukan para pihak sudah ditentukan secara jelas dalam
UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu seseorang atau badan hukum perdata
ditetapkan posisinya sebagai penggugat, sedangkan Badan atau Pejabat TUN selalu berada
pada posisi sebagai tergugat. Penentuan posisi para pihak seperti di atas disebabkan karena
yang menjadi objek sengketa adalah produk hukum Badan atau Pejabat TUN yang merugikan
kepentingan dan/atau hak seseorang atau badan hukum perdata
2. Objek gugatan dalam sengketa TUN semata-mata hanyalah keputusan TUN yang
memenuhi syarat dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986, artinya tidak semua
keputusan TUN dapat menjadi objek gugatan. UU No. 5 Tahun 1986 memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap keputusan TUN yang tidak dapat digugat, seperti tertuang
dalam Pasal 2 huruf a sampai huruf g, dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986.
3. Sengketa TUN yang dapat digugat di Pengadilan TUN sangat terbatas, yaitu hanya
sengketa-sengketa yang timbul dalam bidang TUN saja
4. Hakikat sengketa TUN tidak terletak pada peselisihan hak seperti halnya dalam perkara
perdata. Hakikat sengketa TUN lebih terletak pada timbulnya perbedaan penafsiran terhadap
penerapan Hukum Administrasi Negara yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
mewujud dalam keputusan TUN, dalam penyelesaian suatu masalah dalam bidang TUN yang
terjadi bagi yang dikenai keputusan TUN.
5. Tuntutan ganti rugi dalam sengketa TUN adalah tuntutan ganti rugi administratif (kerugian
biaya-biaya administratif), tuntutan ganti rugi dalam perkara perdata adalah ganti rugi materil
yang diderita penggugat.
6. Jumlah tuntutan ganti rugi dalam sengketa TUN ditetapkan secara limitatif (Rp. 250.000
sampai Rp. 5.000.000)
7. Tuntutan ganti rugi dalam sengketa TUN tidak mengenal bunga morotoir dan/atau uang
paksa atas keterlambatan tergugat mematuhi putusan
2. Dalam penyelesaian sengekta TUN tidak mengenal adanya “rekonvensi” (gugatan balik),
oleh karena objek gugatan adalah keputusan TUN yang merugikan kepentingan atau
melanggar hak seseorang atau badan hukum Perdata. Atas dasar tersebut, maka secara
implisit UU No. 5 Tahun 1986 tidak memperkenankan terjadinya saling menggugat antara
Badan atau Pejabat TUN. Meskipun demikian jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 53 ayat
(1) UU No. 5 Tahun 1986 j0. UU No. 9 Tahun 2004, tentang dasar gugatan, maka ada
kemungkinan suatu Badan atau Pejabat TUN dirugikan kepentingannya atau haknya sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan TUN oleh Badan atau Pejabat TUN yang lain.
3. Dalam penyelesaian sengketa TUN tidak dimungkinkan bagi penggugat untuk meminta
kepada hakim agar di atas objek perkara diletakkan sita jaminan (revindicatoir atau
conservatoir beslaag), oleh karena objek gugatannya bukan bersifat hak kebendaan (objek
materil bukan seperti rumah, tanah, mobil, atau utang-piutang dll) melainkan keputusan
TUN, yang sifatnya hanya mempengaruhi kedudukan hukum, status hukum, atau keadaan
hukum yang dikenai keputusan TUN tsb.
4. Pemeriksaan sengketa TUN terbagi atas dua tahap yaitu surat gugatan yang telah
diregistrasi, diperiksa secara administratif dalam “Rapat permusyaratan (dismissal)” dan
“pemeriksaan persiapan”(pemeriksaan kesempurnan dan kelengkapannya). Pemeriksaan
dalam tahap ini tidak terkait dengan pemeriksaan pokok perkara. Kemudian tahap selanjutnya
adalah pemeriksaan pokok perkara (pemeriksaan persidangan).
5. Pemeriksaan dalam sengketa TUN dapat menggunakan acara singkat, acara cepat atau
acara biasa.
6. Hakim dalam memeriksa sengketa TUN bersifat aktif mencari dan menemukan kebenaran
materil, bahkan hakim tidak terikat sepenuhnya dengan dalil dan bukti-bukti yang diajukan
para pihak.
7. Dalam pemeriksaan sengketa TUN, hakim diberi wewenang untuk menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian.
8. Pembuktian dalam pemeriksaan sengketa TUN bersifat materil, atau pembuktian secara
materil, mencari kebenaran yang sesungguhnya
9. Hakim dalam memutus sengketa TUN harus berdasarkan keyakinan, ditambah dengan
minimal dua alat bukti lainnya
D. Pelaksanaan Putusan
1. Putusan pengadilan dalam sengketa TUN dapat bersifat UltraPetita (hakim dapat memutus
diluar/selain dari apa yang dituntut oleh penggugat)
2. Putusan pengadilan dalam sengketa TUN bersifat orga omnes, artinya, putusannya
mengikat semua pihak yang berkepentingan dengannya isi putusan itu, meskipun tidak ikut
terlibat sebagai pihak dalam proses perkaranya.
4. Putusan pengadilan dalam sengketa TUN yang tidak dilaksanakan/dipatuhi oleh tergugat
(Badan atau Pejabat TUN), dapat dipaksakan melalui penjatuhan sanksi kepada Badan atau
Pejabat TUN yang bersangkutan dalam bentuk uang paksa,
b. sanksi administratif, atau
c. diumumkan di Surat Kabar oleh panitera (sanksi-sanksi tersebut bersifat alternatif).
Meskipun demikian penjatuhan sanksi a dan b belum jelas siapa yang harus
melaksanakannya. (vide Pasal 116 ayat (4), (5) UU No. 9 Tahun 2004)
I.I Latar Belakang
Berdasarkan perspektif ilmu hukum administrasi, ada dua jenis hukum administrasi, yaitu
pertama,hukum administrasi umum (allgemeem deel) , Yakni berkenaan dengan teori-teori
dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang hukum administrasi,tidak terikat pada
bidang-bidang tertentu , kedua hukum administrasi khusus (bijzonder deel) , yakni hukum-
hukum yang terkait dengan bidang-bidang pemerintahan tertentu seperti hukum lingkungan,
hukum tata ruang , hukum kesehatan dan sebagainya. Sekilas Tentang Negara Hukum.
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan berkembang dalam
situasi kesejarahan. Oleh karena itu , meskipun konsep Negara hukum dianggap sebagai
konsep universal. Secara embrionik, gagasan Negara hukum telah dikemukakan oleh
plato.Ada tiga unsur dari pemerintah yang berkonstitusi yaitu peratama, pemerintah
dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintah dilaksanakan menurut hukum
yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum,bukan yang dibuat secara sewenang-
wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintah berkonstitusi
berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat,bukan berupa paksaan – tekanan
yang dilaksanakan pemerintah despotik.Dalam kaitannya dengan konstitusi bahwa konstitusi
meupakan penyusunan jabatan dalam suatu Negara dan menentukan apa yang dimaksudkan
dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat.
Karya ilmiah ini dibuat untuk meamenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Administrasi Negara pada fakultas hukum di universitas sultan ageng tirtayasa dan ingin
lebih mengetahui dan mengkaji ilmu Hukum Administrasi Negara tentang Negara Hukum
Dan Hukum Administrasi Negara
Didalam makalah ini, terdapat sistematika penulisan makalah yang dirinci sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan
.Rumusan masalah
.Tujuan penulisan
.Sistematika penulisa
BAB II : Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
Negara Hukum Adalah Negara yang didalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan
yang memang bersifat abstrak yaitu memaksa, dan mempunyai sanksi yang tegas.Gagasan
Negara hukum masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang,
kemudian muncul kembali secara lebih ekplisit pada abad ke-19,yaitu dengan munculnya
konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant, unsur-
unsur Negara hukum adalah:
5. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri,arti lembaga
peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada
6. adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk
turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah
7. adanya system perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya
yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.Perumusan unsur-unsur Negara hukum ini
tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatar belakanginya, terutama pengaruh
falsafah Individualisme, yang menempatkan individu atau warga Negara sebagai primus
interpares dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,unsur pembatasan kekuasaan Negara
untuk melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi
kekuasaan Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagiyum yang begitu popular
dan Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, but absolute power corruptabsolutely “
(Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu,
tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalah gunakan ). Model Negara
hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah disebut dengan demokrasi konstitusional,
dengan cirri pemerintah yang demokrtis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Dengan kata lain ,
esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.Atas
dasar itu keberadaan konstitusi dalam suatu Negara merupakan condition sine quanon Negara
dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya, bila Negara hukum diidentikan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara
dalam abad ke-20 ini hampir tidak suatu Negara pun yang menganggap suatu Negara modern
tanpa menyebutkan dirinnya “ Negara berdasar atas hukum “ Negara hukum identik dengan
Negara yang berkonstitusi atau Negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan main
kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Telah disebutkan bahwa pada dataran implementasi Negara hukum itu memiliki karakteristik
dan model yang beragam. Terlepas dari berbagai model Negara hukum tersebut , Budiono
mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap
menuju kearah kesimpulan, yaitu Negara merupakan Negara yang akan mewujudkan harapan
pada warga Negara akan kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera jika Negara itu
bdiselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main Dalam Negara hukum, hukum
menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik.
Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macamperselisihan,
termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan
demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sectarian dan primordial,
melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan
Negara Hukum Demokratis, Negara hukum bertumpu pada konstitusi dan peraturan
perundang-undangan,dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui system demokrasi.
Hubungan antara Negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa
pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan
kehilangan makna.Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol
atas Negara hukum. Dengan demikian Negara hukum yang bertopeng pada sistem demokrasi
dapat disebut sebagai Negara hukum demokratis
1. Asas legalitas
Pembatasan warga Negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-
undang yang merupakan peraturan umum.Undang-undang secara umum harus memberikan
jaminan (terhadap warga Negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang , kolusi
dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar
Hukum harus dapat ditegakan ketika hukum itu dilanggar,pemerintah harus menjamin bahwa
ditengah masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum,pemerintah dapat
memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan Negara, memaksakan
hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.
Negara hukum secara sederhana adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan dibawah kekuasaan hukum. Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus
tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah.
Dalam Negara hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main sebagai dalam
penyelenggaraan kenegaraan, pemerintah, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu
sendiri antara lain :(diletakan untuk menata masyarakat yang damai ,adil dan bermakna)
Artinya sasaran dari Negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan pemerintahan dan
kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan,kedamaian dan kemanfaatan atau
kebermaknaan. Dalam Negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam
menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori
pemencaran kekuasaan atau pemisahan kekuasaan . Dengan membaginya menjadi kekuasaan
legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang)
dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negri) .Bahwa dalam suatu negara ada
tiga organ dan fungsi pemeritah yaitu legislatif,eksekutif, dan yudisial , Masing-masing organ
ini harus dipisahkan karena memusatkan lebih dari satu fungsi dari satu orang atau organ
pemerintahan merupakan ancaman kebebasan individu. Seiring dengan perkembangan
kenegaran dan pemerintahan ajaran Negara hukum yang kini dianut oleh Negara-negara
didunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah Negara kesejahteraan (welfar state)
dalam bidang ekonomi yang melarang Negara dan pemerintah mencampuri kehidupan
ekonomi masyarakat . Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi
pasif, sehingga sering disebut Negara penjaga malam . Karena timbul adanya kerusuhan-
kerusuhan maka konsepsi Negara penjaga malam telah gagal dalam implementasinya .Yang
membuat negara mengalami kerugian yang mungkian bukan kerugian materil saja tetapi juga
kerugian formil seluruhnya yang dapat menyengsarakan suluruh rakyatnya , demikian pula
Negara juga tidak akan terkontrol dalam mengatur segala bentuk-bentuk pemerintahannya
dalam kondisi seperti sekarang ini yang belum kondusif serta aman, damai dan sejahtera
Pemberian kewenangan pada Negara kepada administrasi Negara untuk bertindak sebagai
inisiatif itu lazim yaitu, suatu yang didalamnya mengandung kewajiban dan kekuasaan yang
luas.
Kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan,sedangkan kekuasaan yang luas itu
menyiratkan adanya kebebasan memilih melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam
praktik, kewajiban dan kekuasaan berkaitan erat .Suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi, yaitun kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara
mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada
ketentuan hukum.
1. sumber-sumber hukum
b. sumber hukum formil adalah berbagai bentuk aturan hukum yang ada , sumber hukum
formal diartikan juga sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum
itu formal berlaku.
Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak jaman yang lahir dan berkembang dalam
situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang
Negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situai kesejarahan, “Pada babak sejarah
sekarang, sukar untuk membayangkan Negara tidak sebagai Negara hukum. Setiap Negara
yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI
paling sedikit secara formal akan memaklumkan dirinya.
Sebagaimana disebutkan di atas dalam sistem demokrasi penyelenggaraan Negara itu harus
bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat Implementasi Negara hukum itu harus
ditopang dengan sistem demokrasi. Hubungan antara Negara hukum dan demokrasi dapat
dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan
hukum tanpa demokrasi akan akan kehilangan makna.
Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan teori
pemencaran kekuasaan atau pemisahan kekuasaan.
Mengawali pengantar hukum administrasi Negara secara umum berupaya untuk memahami
konsep tertentu, pertama-tama kita batasi pada term ‘hukum administrasi negara’ (Apa isi
bagian hukum itu?) Kita dapat menempatkan bahwa hukum administrasi Negara merupakan
bagian dari hukum publik…Hukum administrasi Negara dapat dijelaskan sebagai peraturan-
peraturan (dari hukum publik) yang berkenaan dengan pemerintahan umum.(Untuk
menemukan definisi yang baik mengenai istilah ‘hukum adminisrasi negara’, pertama-tama
harus ditetapkan bahwa hukum administrasi Negara merupakan bagian dari hukum publik,
yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah
dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga Negara atau hubungan antar organ
pemerintahan…Hukum administrasi Negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan
dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi hukum administrasi
Negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi organ-organ pemerintahan). Hukum
administrasi Negara atau hukum tata pemerintahan _pada dasarnya dapat dibedakan
berdasarkan tujuanya dari hukum tata Negara –memuat peraturan-peraturan hukum yang
menentukan {tugas-tugas yang dipercayakan} kepada organ-organ pemerintahan itu,
menentukan tempatnya pada Negara, menentukan kedudukan terhadap warga Negara, dan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tindakan-tindakan organ pemerintahan itu).
(Hukum administrasi Negara, hukum tata pemerintahan adalah keseluruhan hukum yang
berkaitan dengan {mengatur} administrasi, pemerintah, dan pemerintah. Secara global
dikatakan,hukum administrasi Negara merupakan instrument yuridis yang digunakan oleh
pemrintah untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan kemasyarakatan, dan disisi lain HAN
merupakan hukum yang dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempengaruhi dan
memperolah perlindungan dari pemerintah. Jadi HAN memuat peraturan mengenai aktivitas
pemerintahan).
Dapatlah disebutkan bahwa hukum administrasi adalah hukum yang berkenaan dengan
pemerintahan dalam arti sempit. Secara garis besar mengatur hal-hal antara lain :
c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atas penggunaan kewenangan pemerintah
itu.
Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan,dan hukum administrasi tidak tertulis,yang lazim disebut
asas-asas umum pemerintahan yang layak keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi
adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan
pemerintahan dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan
dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum. Dengan demikian, keberadaan
hukum administrasi Negara dalam suatu Negara hukum merupakan conditio sine cuanon.
Adminisrtasi Negara mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi. Dengan
bersandar pada freies Ermessen, administrasi Negara memiliki kewenangan yang luas untuk
melakukan berbagai hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau
mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan itu diperlukan instrumen hukum.
Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula
kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya. Menurut E.Utrecht, kekuasaan
administrasi Negara dalam bidang legislasi ini meliputi ; pertama kewenangan untuk
membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang
belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat. Kedua,
kekuasaan administrasi Negara untuk membuat peraturan atas dasar delegasi. Karena
pembuat undang-undang hanya dapat menyelesaikan soal-soal yang bersangkutan dalam
garis besarnya saja dan tidak dapat menyelesaikan tiap detail pergaulan sehari-hari,
pemerintah diberi tugas dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi dimasyarakat, ketiga,
droit function, yaitu kekuasaan administrasi Negara untuk menafsirkan sendiri berbagai
peraturan, yang berarti administrasi Negara berwenang mengoreksi (corigeren) hasil
pekerjaan pembuat undang-undang.
Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat,waarin de wilsvrijheid van
gezagsdragers is bepert door grenzen van recht” (Negara, dimana kebebasan kehendak
pemegang kekuasaan dibatasi oleh kekuatan hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam
rangka merealisasi pembatasan pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan dengan cara
(Di satu sisi keterikatan hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan disisi lain
pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang). A. Hamid S. Attamimi, dengan
mengutip Burkens, mengatakan bahwa Negara hukum secara sederhana adalah Negara
yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah hukum. Dalam Negara
hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum. Negara hukum menentukan bahwa
pemerintah harus tunduk pada hukum, bukunnya hukum yang harus tunduk pada
pemerintah.terhadap tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu Negara hukum
itu terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang
terhimpun dalam hukum tata Negara. Dengan kata lain, hukum tata Negara membutuhkan
hukum lain yang lebih bersifat teknis. Hukum tersebut adalah hukum administrasi Negara .
Menurut J.B.J.M ten Berge, hukum adminisrtrasi Negara adalah sebagai (perpanjangan dari
hukum tata Negara) atau (sebagai hukum sekunder yang berkenaan dengan keanekaragaman
lebih mendalam dari tatanan hukum publik sebagai akibat pelaksanaan tugas oleh penguasa).
Atas dasar ini tampak bahwa keberadaan hukum administrasi Negara seiring dengan
keberadaan Negara hukum dan hukum tata Negara. Oleh karena itu, menurut J.M.J.B. ten
Berge, adalah salah paham menganggap hukum administrasi Negara sebagai fenomena yang
relative baru. Lebih lanjut J.M.J.B ten Berge (hukum administrasi Negara berkaitan erat
dengan kekuasaan dan kegiatan penguasa. Karena kekuasaan dan kegiatan penguasa itu
dilaksanakan, lahirlah hukum administrasi Negara). Dengan kata lain, hukum administrasi
Negara, sebagaimana hukum tata Negara, berkaitan erat dengan persoalan kekuasaan,
mengingat Negara itu organisasi kekuasaan, maka pada umumnya organisasi akan muncul
sebagai instrumen untuk mengawasi sebagai penggunaan kekuasaan pemerintah. Dengan
demikian,keberadaan hukum administrasi Negara itu muncul karena adanya penyelenggaraan
kekuasaan Negara dan pemerintahan suatu Negara hukum,yang menuntut dan menghendaki
penyelenggaraan tugas-tugas kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang
berdasarkan atas hukum. Hampir semua Negara didunia ini menganut Negara hukum, yakni
yang menempatkan hukum sebagai aturan main penyelenggaraan kekuasaan Negara dan
pemerintahan. Sebagai Negara hukum, sudah barang tentu “memiliki” hukum administrasi
Negara, sebagai instrument untuk mengatur dan menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan
Negara. Oleh karena itu, sebenarnya semua Negara modern mengenal hukum administrsi
Negara. Hanya saja hukum administrasi Negara itu berbeda-beda antara satu Negara dengan
yang lainnya, yang disebabkan oleh perbedaan persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan
yang dihadapi penguasa, perbedaan sistem politik, perbedaan bentuk Negara dan bentuk
pemerintahan, perbedaan hukum tata Negara yang menjadi sandaran hukum administrasi ,
dan sebagainya. Oleh karena itu Dasar Teoritis Negara Hukum sebagaimana telah
disampaikan diatas yang menghimbau tentang kewenangan, perebuatan, organ-organ, aturan-
aturan per-undang-undangan yang tidak hanya ada pada pemerintah pusat saja tetapi
pemerintah daerah juga turut andil dalam kesejahteraan masyarakatnya. Dan sudah jelas
bahwa Negara pada jaman modern sekarang ini adakah Negara Hukum dan pemerintahkah
yang harus tunduk pada hukum, bukan hukum yang tunduk pada pemerintah karena hukum
itu ada. Hukumlah yang menjadikan suatu Negara maju dan berkembang menjadi modern
dan bukan pula penguasa yang menjadikan suatu Negara berkembang menjadi modern.
Persatuan Dan Kesatuan tentunya yang pertama menjadi dasar Hukum administrasi Negara,
dan hukum administrasi Negara sebagai salah satu cabang ilmu,khususnya diwilayah hukum
kontinental, baru muncul belakangan, pada awalnya, khususnya di negri belanda.agak
berbeda dengan yang berkembang di Prancis sebagai bidang tersendiri disamping hukum tata
Negara.
Di negri Belanda ada dua istilah mengenai hukum ini yaitu bestuurrecht dan administratief
recht, dengan kata dasar ‘administratie’ dan ‘bastuur’.terhadap dua istilah ini para sarjana
Indonesia berbeda pendapat dalam menerjemahkannya. Administrase ini ada yang
menerjemahkan dengan tata usah, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha
Negara, dan ada yang menerjemahkan dengan administrasi saja, sedangkan bastuur
diterjemahkan secara seragam dengan pemerintahan.
a. Administrasi merujuk pada pengertian yang ketiga, yakni kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa administrasi
Negara mempunyai tiga arti, yaitu;
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo administrasi Negara adalah manajemen dan organisasi dari
manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah.”Sondang P.
Siagian mengartikan administrasi Negara sebagai “keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh aparatur pemerintah dari satu Negara dalam usaha mencapai tujuan Negara”.
EUtrecht menyebutkan bahwa administrasi Negara adalah gabungan jabatan-jabatan, aparat
(alat) administrasi yang dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari pekerjaan
pemerintah, Menurut Dimock & Dimock, administrasi Negara adalah aktivitas-aktivitas
Negara dalam melaksanakan kekuasaan-
b. Pemerintah/Pemerintahan
Pemerintah sebagai alat kelengkapan Negara dapat diartikan secara luas dan dalam arti
sempit. Pemerintah dalam arti luas itu mencangkup semua alat kelengkapan Negara, yang
pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif,legislatif, dan yudisial atau
alat-alat kelengkapan Negara lain yang bertindak untuk dan atas nama Negara, sedangkan
dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif.
Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan Negara yang diserahi tugas
pemerintahan atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencangkup
semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan didalam Negara baik eksekutuf
maupun legislatif dan yudikatif. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa istilah pemerintahan
disebutkan memiliki dua pengertian, yaitu seabagai fungsi dan sebagai organisasi.
Sebagai fungsi kita meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur apa dan cara tindakan
aparatur pemerintahan sesuai dengan kewenangan masing-masing, fungsi pemerintah itu
dapat ditentukan dengan menempatkannya dalam hubungan dengan fungsi perundang-
undangan dan peradilan.Pemerintah dapat dirumuskan secara negatif sebagai segala macam
kegiatan perundang-undangn dan peradilan. Kalaupun hukum administrasi Negara berkenaan
dengan kekuasaan eksekutif, pengertian eksekutif ini tidak sama dengan apa dengan apa yang
dimaksudkan dengan konsep trias politika (yang menempatkan kekuasaan eksekutif hanya
melaksanakan undang-undang).
Meskipun secara umum dianut definisi negatif tentang pemerintahan, yaitu sebagai suatu
aktivitas diluar perundangan dan peradilan, pada kenyataannya pemerintah juga melakukan
tindakan hukum dalam bidang legislasi, misalnya dalam pembuatan undang-undang organik
dan pembuatan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya, dan juga bertindak dalam bidang
penyelesaian perselisihan, misalnya dalam penyelesaian hukum melalui upaya administrasi
dan dalam hal penegakan hukum administrasi atau pada penerapan sanki-sanki administrasi
yang semuanya itu menjadi objek kajian hukum administrasi Negara. Oleh karena itu tidak
mudah untuk menentukan ruang lingkup hukum administrasi Negara. Di samping itu
kesukaran menentukan ruang lingkup hukum administrasi Negara ini disebabkan pula oleh
beberapa faktor, Pertama, HAN berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak
semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan seiring
dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan pemerintah dan masing-
masing masyarakat disuatu daerah atau Negara berbeda tuntutan dan kebutuhan. Kedua,
pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan instrument yuridis bidang
administrasi lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan atau lembaga. Ketiga, hukum
administrasi Negara berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan
dan kemasyarakatan, yang menyebabkan pertumbuhan bidang hukum administrasi Negara
tertentu berjalan secara sektoral. Karena faktor-faktor inilah, (HAN tidak dapat dikodefikasi,
seperti dalam hukum perdata dan hukum pidana yang dapat dikumpulkan menjadi satu kitab
undang-undang).
Prajudi Atmosudirdjo membagi HAN dalam dua bagian, yaitu HAN heteronom dan HAN
otonom. HAN heteronom yang bersumber pada UUD,TAP MPR, dan UU adalah hukum
yang mengatur seluk beluk organisasi dan fungsi administrasi Negara . HAN otonom adalah
hukum oprasional yang diciptakan pemerintah dan administrasi Negara. Dan juga ada yang
menyebutkan bahwa HAN itu ada HAN umum dan ada HAN khusus. HAN umum berkenaan
dengan peraturan-peraturan umum mengenai tindakan hukum dan hubungan hukum
administrasi atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang
hukum administrasi, dalam arti tidak terikat pada bidang-bidang tertentu. Sementara itu,
HAN khusus adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu
seperti peraturan tata ruang, peraturan tentang kepegawaian, peraturan tentang pertanahan,
peraturan tentang kesehatan, peraturan tentang perpajakan, peraturan bidang pendidikan,
peraturan pertambangan, dan sebagainya.
Adanya perbedaan bidang hukum Administrasi khusus merupakan suatu hal yang logis dan
wajar mengingat masing-masing Negara dihadapkan pada perbedaan sosio kultural, politik,
sistem pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan sebagainya, Artinya, munculnya pembedaan
antara hukum administrasi umum dan hukum administrasi khusus merupakan suatu yang
tidak dapat dihindari dan suatu yang alamiah. Munculnya hukum administrasi ini semakin
penting artinya seiring dengan lahirnya berbagai bidang tugas-tugas pemerintahan yang baru
dan sejalan dengan perkembangan dan penemuan-penemuan baru berbagai bidang kehidupan
ditengah masyarakat, yang harus diatur melalui hukum administrasi. Dalam konteks ini
tampak bahwa hukum administrasi itu tumbuh dan berkembang secara Dinamis.
Berdasarkan keterangan tersebut, tampak bahwa bidang hukum administrasi itu sangat luas
sehingga tidak dapat ditentukan secara tegas ruang lingkupnya. Disamping itu khusus bagi
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula hukum administrasi daerah, yaitu
peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi daearah atau pemerintah daerah.
Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, dan hukum administrasi tidak tertulis, yang lazim disebut
asas-asas pemerintahan yang layak, Keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi Negara
adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan
pemerintahan dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan pemerintahan
dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum. Dengan deamikian, keberadaan
hukum administrasi Negara dalam suatu Negara hukum merupakan condition sine quanon.
Menurut WF.Prins, batas antara hukum administrasi Negara debgan hukum tata Negara
sebagaimana telah dijelaskan beberapa pengarang, satupun tidak ada yang sama. Akan tetapi,
bila diteliti, di dalam membuat batas tersebut, sadar maupun tidak, yang telah diambil sebagai
dasar pikiran ialah bahwa tata Negara mengenai hal pokok. Setelah menyebutkan bahwa
hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara merupakan satu kesatuan dan hukum
administrasi Negara dianggap sebagai bagian atau tambahan dari hukum tata Negara, yang
kemudian pendapat ditinggalkan karena perkembangan sejarah menempatkan hukum
daministrasi Negara sebagai bidang kajian hukum sendiri, mendefinisikan hukum
administrasi Negara sebagai (keseluruhan norma yang berasal dari hukum tata negrara yang
mengatur hubungan hukum di antara aparat Negara, mengatur prosedur pembentukan
keputusan yang mengikat pemerintahan, dan memuat ketentuan mengenai hubungan hukum
dengan subjek hukum lain). Guna mengakhiri perbedaan pendapat mengenai perbedaan
antara hukum tata Negara dan denagan hukum administrasi Negara cukuplah disebutkan
pendapat dari Bagir Manan, yang mengatakan bahwa secara keilmuan hukum yang mengatur
tingkah laku Negara (alat perlengkapan Negara) dimasukan kedalam kelompok hukum tata
Negara, sedangkan hukum yang mengatur pemerintahan (dalam arti administrasi Negara)
masuk kedalam kelompok hukum administrasi Negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahwa sebenarnya Indonesia adalah Negara hukum Negara yang memprioritaskan berbagai
hukum yang berlaku dijaman modern guna terciptanya suatu hukum yang dapat ditaati,
dipatuhi, dan dilaksanakan secara menyeluruh oleh masyarakat,dan diantara hukum-hukum
yang ada dalam hukum administrasi Negara meliputi: Hukum Tata Negara, Hukum tata
pemerintah, Hukum tata usaha pemerintah, Hukum tata usaha Negara, Hukum tata usaha
pemerintah Indonesia, dan lain sebagainya. Tujuan dari Negara hukum adalah agar
terciptanya keamanan, yang dapat memberikan ketentraman bagi setiap warga Negaranya.
(Hukum administrasi Negara merupakan bagian-bagian dari hukum publik, hukum
administrasi Negara dapat dijelaskan sebagai peraturan-peraturan dari hukum publik), yang
berkenaan dengan pemerintahan umum untuk menemukan definisi yang baik mengenai
istilah hukum administrasi Negara, agar dapat terlaksananya hukum harus mengatur tindakan
pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga Negara atau hubungan
antar organ pemerintah.Oleh karena itu, sebenarnya semua Negara modern mengenal Hukum
Administrasi Negara hanya saja Hukum Administrasi Negara itu berbeda-beda antara satu
Negara dengan yang lainnya, yang disebabkan oleh perbedaan persoalan kemasyarakatan dan
pemerintahan yang dihadapi penguasa, perbedaan sistem politik, perbedaan bentuk Negara
dan bentuk pemerintahan. Pemerintah dapat diartikan secara luas dan dalam arti sempit,
pemerintah dalam arti luas adalah mencangkup semua alat kelengkapan Negara yang pada
pokoknya terdiri dari cabang kekuasaan eksekutif, legislative, yudisial atau alat-alat
kelengkapan Negara lain yang bertindak untuk dan atas nama Negara, sedangkan dalam
pengertian pemerintah dalam arti sempit adalah cabang kekuasaan eksekutif. Berdasarkan
keterangan tersebut, tampak bahwa bidang hukum administrasi Negara itu sangat luas
sehingga tidak dapt ditentukan secara tegas ruang lingkupnya, disamping itu khusus bagi
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula hukum administrasi daerah, yaitu
peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi daerah atau pemerintah daerah.
SARAN
Sebagai Negara hukum sudah sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan ditaati agar terciptalah
Negara yang sejahtera, agar demikian masyarakat yang ada didalam dapat terlendungi hukum
dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan, sebagai Negara hukum Indonesia
adalah salah satu Negara yang menjunjung hukum agar ketentraman dinegara Indonesia
senantiasa terjaga dan terpelihara agar terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam
bermasyarakat, oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah juga turut turun langsung
meninjau apakah seluruh masyarakat sudah mendapatkan hak-nya dilindungi oleh hukum
tanpa pandang bulu apa dia masyarakat yang mampu ataukah tidak mampu. Karena hukum
itu adalah bagian dari masyarakat juga dan masyarakatlah yang berhak dijamin atas hukum.
bv