Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan
yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak
menyerukan kepada manusia untuk berpikir.1 Sebagai khalifah di bumi,
manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk
memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah
makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan
berkecenderungan kepada mencari kebenaran..
Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh
karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan
yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap jalan
pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan
kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan
kebenaran tersebut.2 Karena perbedaan kriteria maka kebenaran baik
yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif sama-sama relatif
sepanjang itu dihasilkan melalui proses berpikir. Karena berpikir sebagai
Menakar Proporsionalitas Peran Akal... Oleh Mahsun Mahfud
tidak terukur. Misalnya, perasaan enak , tidak enak, senang, atau benci
dan intuisi merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak
berdasarkan penalaran. Seperti halnya intuisi, manis panas dan sebagainya
adalah termenologi yang diberikan oleh manusia kepada gejala yang
ditangkap melalui pancaindra. Rangsangan pancaindra ini disalurkan
ke otak tanpa melalui proses berpikir nalar, dapat menghadirkan gejala
tersebut melalui proses kimia-fisika. Dalam hal ini menurut aliran
monistik, sebagai salah satu aliran dalam psikologi yang berpendapat tidak
membedakan antara pikiran dan zat, proses berpikir dianggap sebagai
aktivitas elektrokimia dari otak.11 Bagi aliran ini, berpikir adalah sebuah
kegiatan aparat-aparat dari otak secara mekanik.
Sebagai proses elektrokimia, maka berpikir adalah bebas nilai karena
pembatasnya adalah logika yang merupakan cara penarikan kesimpulan
dalam berpikir, sehingga dalam proses menemukan kebenaran, validitas
sebuah hasil dari proses berpikir selalu ditentukan dan diukur dengan
cara-cara tertentu secara logik baik dengan menggunakan logika deduksi
maupun logika induksi. Begitu pula secara ontologis maupun secara
epistemologis, ilmu sebagai hasil dari proses berpikir secara logis dan
sistematis juga bebas nilai secara total. Mengapa, karena kebenaran dalam
ilmu diukur dengan realita yang konkrit dan melalui cara berpikir yang
logis yang biasa disebut metode ilmiah, sehingga kebenaran ilmiah adalah
sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan dan dapat diuji kembali.
Secara aksiologi ketika ilmu sebagai anak kandung akal yang lahir
melalui proses berpikir dihadapkan pada masalah moral, ketika ternyata
ilmu dan teknologi membawa ekses yang merusak kehidupan, misalnya,
senjata biologi, pengembangan uranium untuk membuat bom dan
sebagainya, para ilmuwan terbagai ke dalam dua pendapat. Pendapat
pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai
baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan ini ingin melanjutkan
tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo Galilie.
Tugas ilmuwan adalah berpikir secara nalar untuk menemukan
pengetahuan. Adapun penggunaanya sepenuhnya terserah pada
pengguna.12 Manusialah yang menentukan baik dan buruknya ilmu. Pada
tataran ini Ilmu tidak mau bahkan tidak peduli dengan wahyu (agama).
Pendapat kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan (ontologi)
dan epistemologi, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi) harus
Makna Kebebasan
Kebebasan yang akan dibicarakan disini dibedakan antara kebebasan
dalam berbuat yang terikat oleh ruang dan waktu, hukum moral dan
hukum sosial, dan kebebasan dalam berpikir yang pada dasarnya
berwatak bebas.
Secara sederhana kebebasan dapat dirumuskan sebagai keleluasaan
untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan yang tersedia
bagi seseorang. Seseorang dikatakan bebas jika tak ada hambatan dan
larangan baginya untuk melakukan apa saja. Kebebasan muncul dari
doktrin bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri dan serta memiliki
hak untuk bertindak menurut pilihannya. Dalam konteks sosial,
kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.16 Dalam artian
ini, kebebasan manusia mengandung pengertian bahwa di balik kebebasan
terdapat tanggungjawab dalam artian tidak ada kebebasan tanpa
Penutup
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat
bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana
keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan
berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang
kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka, di
sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.
Secara ontologis kebebasan berpikir sebagai kinerja akal tidak terikat
dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir itu secara aksiologis
dibatasi dengan tanggungjawab dan moral. Hanya sebagaian filosof Barat
seperti Galileo Galilie dan para pengikutnya yang membebaskan manusia
mengembarakan akal pikirnya sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tidak ada
sangkut pautnya dengan nilai, sehingga mereka berpendapat bahwa ilmu
sebagai produk kinerja akal adalah bebas nilai secara total.
Menurut filsafat Islam dimana dasar pijakannya adalah hikmah
(fisafat) dan al-Qur’an, akal yang meretaskan budaya berpikir dalam
implementasinya, sebagaimana dicontohkan oleh nabi, adalah tidak bebas
nilai. Begitu pula ilmu sebagai produk kerja akal melalui proses berpikir
tentu juga tidak bebas nilai. Di sinilah antara wahyu (moral agama) yang
sarat nilai harus tidak boleh berpisah dengan akal. Secara etika ilmu
Catatan Akhir:
* Penulis adalah dosen IAIN dpk STAINU dan Ketua STAI An-
Nawawi Purworejo, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1
Ada delapan belas ayat tentang berpikir dengan redaksi yang
beragam. Ayat tersebut adalah, al-Ma’idah: 18, Ali Imran: 191, al-A’raf:
175, 183,an-Nahl: 44, 11, 69, al-Hasyr: 21, Yunus: 24, ar-Ra’du: 3, ar-
Rum: 8, 21, az-Zumar: 42, al-Jatsiah: 12, al-Baqarah: 219,266, al-An’am:
50, as-saba’: 46. Lihat Faidlullah al-Hasani al-Muqaddasi, Fath al-Rahmân
li Thâlib Âyât al-Qur’ân (Jeddah: al-Haramain, tt), h. 349.
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cet.
XVII (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 42-43.
3
Harun Nasution, Falsafah Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h. 10. Juga Franz Magnis Suseno, “Harun Nasution dan Filsafat Agama
di Indonesia”, dalam Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana
dan Praksis Harun Nasution, Abdul Halim (ed.)(Jakarta: Ciputat Pers,
2001), h. 125.
4
Sistem nilai-budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang
hidup dalam alam pikiran sebagaian besar dari warga suatu masyarakat,
mengenai dari apa yang dianggap penting dan berharaga dalam hidupnya.
Lihat, Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. XIX,
(Jakarta: Djambatan, 2002), h.387.
5
J.M. Bochenski, “Apakah Sebenarnya Berpikir”, dalam Jujun S.
Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, Cet. XV (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), h. 52.
6
Pengertian pikiran ada dua, pertama, pikiran sebagai mind adalah
sebutan fungsi-fungsi mencerap, mengamati, mengingat, membayangkan,
memahami, merasa, membangkitkan emosi, menghendaki, menalar dan
Badran (ed.) (Kairo: tp, 1951), h. 81. Juga Harun Nasution, teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), h.102.
18
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta:
Penerbit Teraju, 2004), h. 217.
19
Ibid, h. 218.
20
Lorens bagus, op. cit, h. 434-435.
21
Musa Asy’arie, “Konsep Quranik tentang Strategi Kebudayaan”,
dalam Abdul Basir Solissa, dkk. (ed.), al-Qur’an dan Pembinaan Budaya
Dialog dan Transformasi (Yogyakarta: LESFI, 1993), h. 10.
22
Ibid, h. 11.
23
Harun Nasution, “Tinjauan Filosofis tentang Pembentukan
Keb4dayaan dalam Islam”, dalam Ibid, h. 32.
24
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,
edisi terjemahan oleh Hamzah (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), h. 217.
25
Musa Asy’arie, Filsafat Islam tentang Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI,
1999), h. 21-23.
26
Etika tersebut di dasarkan pada al-Qur’an 39: 18 sebagaimana
dikutip oleh Musa Asy’arie. Lihat Ibid, h.107
27
Ibid, h. 24.
28
Ibid, h. 26.
29
Lorens bagus, op. cit, h. 217.
30
Desi Fernanda, op.cit, h. 2-5.
31
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1996), h. 62.
32
Dikutip oleh Musa Asy’ari dari Majid Fakhry, Ethical Theories in
Islam, Leiden: E.J. Brill, 1991, h.ix Lihat Musa Asy’ari, Filsafat Islam Sunnah
Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999), h. 83.
33
Ibid, h. 9.
34
Komunitas dalam arti luas menunjuk dalam setiap struktur sosial,
yaitu setiap persatuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian
suatu tujuan umum. Namun biasanya komunitas dipakai sebagai sebutan
kelompok alamiah (keluarga, rakyat) atau bagi persekutuan-persekutuan
yang tumbuh dari ide atau tujuan yang sama, yang menyatukan. Lihat
Lorens Bagus, op. cit,h. 473.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, edisi
terjemahan oleh Hamzah, Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
Asy’arie, Musa, “Konsep Quranik tentang Strategi Kebudayaan”, dalam
Abdul Basir Solissa, dkk. (ed.), al-Qur’an dan Pembinaan Budaya
Dialog dan Transformasi, Yogyakarta: LESFI, 1993
————, Musa,Filsafat Islam tentang Kebudayaan, Yogyakarta: LESFI,
1999.
————, Musa,Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta:
LESFI, 1999.
al-Muqaddasi, Faidlullah al-Hasani, Fath al-Rahmân li Thâlib Âyât al-
Qur’ân,, Jeddah: al-Haramain, tt.
al-Syahrostani, Kitab al-Milal wa al-Nihal, Muhammad Ibn Fath Allah al-
Badran (ed.), Kairo: tp, 1951.
Awing, A.C., Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, terjemahan Uzair
Fauzan, Rika Iffati Farikha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Cet. II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000.
Bochenski, J.M., “Apakah Sebenarnya Berpikir”, dalam Jujun S.
Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, Cet. XV, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001.
Daldjoeni, N.,”Hubungan Etika dengan Ilmu”, dalam Jujun S.
Suriasumantri, Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif, Cet. XV,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Fernanda, Desi, Etika Organisasi Pemerintah, Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara, 2003.
Hafsin, Abu “Fiqh Sosial (Suatu Upaya Menjadikan Fiqh sebagai Etika
Sosial)”, dalam Jamal Ma’mur Asmuni, Fiqh Sosial Kiai Sahal
Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Penerbit
Teraju, 2004.