You are on page 1of 12

BAB 5

BAHASA DAN NASIONALISME (1928-1942)


oleh: Sutaji dan Silvi

A. PENDAHULUAN
Masalah bahasa di Hindia-Belanda pada awal abad ke-19 bertambah rumit dengan
munculnya aspek politik. Semangat kebangsaan terwujud dalam perkumpulan-perkumpulan
kemasyarakatan, keagamaan dan profesional misalnya Insulinde (1907) dari kalangan Indo-Eropa
sekuler berhaluan barat, Boedi Oetomo (1908) dari kalangan priyayi Jawa, Sarekat Dagang Islam
(1911) dari kalangan Islam Jawa, Perkumpulan Islam Modernis Muhammadiyah (1912) dari
kalangan syarikat pedagang, Inische Partij (1912) terbuka bagi semua penduduk Hindia-Belanda,
dan Volksraad (1918) mewakili semua etnis Hindia-Belanda (Eropa, Bumiputra, Arab dan Cina)
merupakan cikal bakal parlemen.

B. MENUJU SEBUAH BAHASA NASIONAL


Kihadjar Dewantara (nama aslinya Soewardi Soerjaningrat) seorang bangsawan Jawa
pendiri Sekolah Taman Siswa (1922) Pada Kongres Pendidikan Kolonial pertama (1916) di Den
Haag, menyatakan bahwa Bahasa Melayu akan menjadi bahasa perhubungan di seluruh Hindia-
Belanda (Hoffman, 1995:547)
Dua orang pegawai Direktorat Pengajaran dan Ibadah dari kalangan bumiputra
mengusulkan rancangan (1917) bahasa Hindia, “untuk pertama kalinya menetapkan ikatan hakiki
antara kesatuan bahasa di Nusantara melalui bahasa Melayu dan suatu pemerintahan otonom
nasional dan pribumi yang memerintah hanya dengan bahasa Melayu (1995:547).
R.A.A.Achmad Djajadiningrat (1918) meminta bahasa Melayu sebagai bahasa
persidangan dan disetujui penguasa kolonial karena bahasa Melayu sudah menjadi bahasa kedua
sebagai bahasa administrasi kolonial (Van der Wal, 1964:225) tetapi sangat sedikit anggota
Volksraad yang bertutur dalam bahasa Melayu, yakni ;
1. A.L. Waworoentoe asal Minahasa (November 1920) ketika melakukan intervensi. (Hoffman,
1995:540).
2. Jahja gelar Datoek Kajo asal Minangkabau wakil Westkust-Sumatra Barat (1927-1931) dan
(1935-1939, anggota Nationale Fractie (Fraksi oposisi nasional (Vander Wal, 1965:374).

1
2

a. Dari Hindia-Belanda ke Indonesia, dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia


Anak-anak muda nasionalis berintegrasi dengan lebih baik karena telah mendapatkan
pendidikan kolonial HIS (1914) mendorong berakarnya semangat kebangsaan dan mendapat
tempat untuk mengungkapkannya di dalam perkumpulan-perkumpulan social, kebudayaan
dan politik. Mulai tahun 1920-an sebagian besar dari mereka mengajar di sekolah swasta
yang disebut wilde scholen (sekolah liar) yang menjadi persemaian gagasan kebangsanaan
(lih. Ingleson, 1979).
Perkumpulan-perkumpulan mahasiswa yang didirikan di Indonesia diantaranya; Jong
Java (1918), Jong Sumatranen Bond (1918), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon (1920),
Jong Celebes (1920), Jong Islamieten (1925), Pakempalan Politik Katolik Jawi (1925).
Di Belanda membentuk perkumpulan nasionalis kebangsaan diantaranya; Indische
Vereniging (1908), Indonesische Vereniging (1922), Perhimpunan Indonesia (1924).
Soekarno menyatukan berbagai perkumpulan ke dalam Partai Nasional Indonesia
(1927). Sedangkan Kongres Pemuda Indonesia (27-28 Oktober 1928) mengikrarkanSumpah
Pemuda, yaitu :
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
(Sumarmo, 1974:69).

Sumpah Pemuda merubah bumiputra menjadi Indonesia, sedangkan Bahasa Melayu


menjadi bahasa Indonesia.

b. Bangsa Indonesia dan Bahasanya


1) Politisi
Dari segi politik, bahasa Indonesia lahir tahun 1928, tetapi perilaku pemuda nasionalis
belum sepenuhnya, misalnya: Jong Islamieten Bond (1925) menyatakan terbuka bagi
pemuda Jawa berbahasa Belanda dan yang tidak berbahasa Belanda. Oemar Said
Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam (1928) berpidato dalam Kongres III Pergerakan Al
Islam Indonesia di Malang dalam bahasa Jawa Ngoko.
Majalah “Indonesia Moeda” (1932), menyatakan Sepertiga dari anggota
perkumpulan mahir berbahasa Indonesia.(Lih. Hoffman, 1995:535-536). Soekarno selalu
berbahasa Indonesia pada rapat-rapat umum dan terkadang susah payah menerjemahkan
pidato yang dirancang dan ditulis dalam bahasa Belanda.
3

2) Ahli Bahasa
Marzoeki karyanya “Kitab Kamoes Melajoe”, Makasar 1906 dan "Ilmu bahasa
Melajoe” Semarang 1910.
R. Sasrasoegonda karyanya ”Kitabjang menjatakan djalan bahasa Melajoe”
Jogjakarta 1910. (Adaptasi dari bahasa Belanda).
ken dan Harahap karyanya “Kitab arti logat Melajoe” Batavia, 1914.
Sutan Takdir Alisjahbana mempublikasikan artikel berjudul “Bahasa Indonesia”
(1933) pada nomor Poedjangga Baroe. STA menjadi orang pertama yang menyusun
ringkasan situasi sosiolinguistik Hindia-Belanda dan menuliskan garis-garis besar masa
depan kebahasaan bahasa Indonesia.Dan menggelar debat panjang yang lazim disebut
“polemik kebudayaan” tentang modernitas dan kedudukan kebudayaan Barat dan Timur
yang memperkaya pemikiran mengenai bahasa dan masyarakat. STA dianggap sebagai
“Bapak Bahasa Indonesia”.

C. SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA


Lahir Mandailing, Natal, 11 Februari 1908.
Meninggal Jakarta, 17 Juli 1994
Kebangsaan  Indonesia
Angkatan Pujangga Baru
Karya terkenal Layar Terkembang
Penghargaan Satyalencana Kebudayaan, 1970, Pemerintah RI.

Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.

1. Data Keluarga
Nama Istri I : Raden Adjeng Rohani Daha (Bengkulu)
menikah tahun 1929 memiliki putra 3
Nama Istri II : Raden Roro Soegiarti memiliki putra 2
Nama Istri III : Margaret Axer (Jerman) memiliki putra 3
Nama Ayah : Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi
Pekerjaan : Guru dan Kepala Sekolah Dasar di Lampung dan Bengkulu
penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. pemain
sepak bola
Nama Kakek : Sutan Muhamad Zahab
Pekerjaan : Penghulu dan Sastrawan Muslim Tradisional memiliki Perpustakaan Besar
2. Riwayat Pendidikan
4

Pendidikan dasar di HIS (1921)


Sekolah Keguruan Fort de Kock di Bukittinggi (1921-1925)
Sekolah Tinggi Keguruan Hogeree Kwek School (HKS) Bandung (1925-1928)
Pendidikan Tinggi Hukum Hoofdacte Cursus (1931-1933)
Fakultas Hukum (1937-1942)
Fakultas Sastra Batavia (1941-1942)
Menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI (1979)
Menerima gelar Dr. Honoris Causa dari Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
3. Riwayat Pekerjaan
a. Sebagai Pengajar
Guru Sekolah Dasar HIS Palembang (1928-1929)
Dosen Bahasa Indonesia, Sejarah dan Kebudayaan di UI (1946-1948)
Guru Besar Bahasa Indonesia, Filsafat dan Kebudayaan dan Rektor di Universitas
Nasional, Jakarta (1950-1958)
Guru Besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958)
Dosen di Universitas Bonn, Jerman (1958)
Dosen di Stanford, Amerika (1958-1963)
Guru Besar & Ketua Departemen Studi Melayu di Universitas Malaya, Kuala Lumpur
(1963-1968)
b. Sebagai Redaktur
Redaktur dan Penerjemah di Balai Poestaka (1930-1937)
Redaksi Majalah Pandji Poestaka (1937)
Pendiri Majalah Susastra Poedjangga Baroe (1933-1942)
Bekerjasama dengan surat kabar Pewarta Deli di Medan
Bekerjasama dengan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya
Memimpin Lembaga Kebahasaan Pertama di Indonesia (Komisi Bahasa Indonsia)
Mendirikan Pustaka Rakjat (1945) menerbitkan kamus, buku pelajaran, roman, majalah
versi baru Pudjangga Baru (1948-1953)
Ketua Panitia Pekerdja Bahasa Indonesia (1947)
Menebitkan majalah bahasa, peristilahan dan pendidikan “Pembina Bahasa Indonesia”
(1948-1957)
Menerbitkan majalah ilmiah popular “Ilmu, Teknik dan Hidup” (1949-1950)
5

Menerbitkan majalah umum berwarna politik dan dicap kiri “Pembangunan” (1945-
1948).
Menerbitkan majalah “Konfrontasi” menggantikan Pudjangga Baru seri kedua (1954-
1960)
Menerbitkan Dian Rakyat (1968)
Pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994),
dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
c. Sebagai Anggota Partai Politik
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan anggota parlemen (1950-1960)
Anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960).
Anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951)
Anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties
(1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota
World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan
Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976).
4. Karya-karyanya
 Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
 Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
 Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
 Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
 Layar Terkembang (novel, 1936)
 Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
 Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
 Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
 Pelangi (bunga rampai, 1946)
 Pembimbing ke Filsafat (1946)
 Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
 The Indonesian language and literature (1962)
 Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
 Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
 Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
 Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
6

 The failure of modern linguistics (1976)


 Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
 Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai
Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
 Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
 Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
 Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
 Kalah dan Menang (novel, 1978)
 Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
 Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
 Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging
world (1983)
 Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak,
1984)
 Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
 Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
 Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
5. Sebagai editor
 Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
 Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
6. Sebagai penerjemah
 Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
 Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio
Sastrosatomo, 1944)
7. Penghargaan
a. Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
b. STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
c. Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
d. DR.HC dari Universitas Indonesia
e. DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
8. Bahasa: “Bahasa Indonesia” (1933)
Sutan Takdi Alisjahbana menulis banyak artikel tentang bahasa dan pendidikan
kolonial dan mempublikasikan “Bahasa Indonsia” (1933). Berambisi untuk menyelediki dan
7

mengkaji, apakah yang disebut bahasa Indonesia itu, betapa riwayatnya, bagaimana
keadaannya dalam zaman perubahan ini, dan jika dapat menujukkan jalan yang akan
ditempuhinya di masa yang akan datang.Pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo.
Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi
Pertama Bahasa-Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1
Oktober 1967).
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi bahasa , adalah sebagai alat untuk menjelmakan
perasaan dan pikiran, sebagai alat untuk mendalamkan perasaan, menajamkan pikiran dan
menambah pengetahuan yang besar pula gunanya untuk menetapkan harapan dan tujuan dan
teristimewa sebagai alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia, soal yang terdapat dalam
masyarakat dan terutama dalam pergaulan jajahan, pastilah tak dapat tidak terbayang malahan
tergambar dalam soal bahasa dengan seterang-terangnya. (1993:20).
Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-
lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan
kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad ke-dua puluh dengan insaf diangkat dan
dijunjung sebagai bahasa persatuan (1933:37).
Fungsi ganda bahasa sebagai alat untuk, menyatakan, menjelaskan dan
menyampaikan sebuah pemikiran yang diduga sudah ada, kedua bahasa sebagai alat yang
tampaknya masih dapat disempurnakan, sebagaimana seharusnya alat yang baik.
Kesadaran politik dan bukan hanya linguistic mendapatkan tempat yang tepat karena
kesadaran inilah yang mengubah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
Sisi lain politik bahasa yaitu membiarkan bahasa berkembang dan mengalir sendiri
mengikuti kehendak umum secara alamiah, yaitu kehendak yang masih kabur dari rakyat
Indonesia. Bahasa Indonesia terbentuk dari penolakan atas bahasa Melayu Riau yang
dikodifikasi oleh ahli-ahli bahasa colonial dan dipaksakan oleh lembaga pendidikan,
sekalipun sebenarnya bahasa ini mendahului bahasa Indonesia.
9. Budaya : Polemik Kebudayaan
Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M.Ng.Poerbatjaraka, Ki Hadjar Dewantara,
Adi Negoro, dan yang lainnya, terlibat dalam rangkaian polemik. Polemik I, mengenai
keindonesiaan. Polemik II dan III, mengenai kedudukan kebudayaan Barat dan Timur dalam
pendidikan. Secara umum ketiga polemic membahas mengenai pengolahan budaya nasional
Indonesia.
Sesungguhnya kemauan bersatu yang dikandung semangat Indonesia bukan sekali-
kali berurat-berakar di masa silam, tetapi sebaliknya di masa yang akan datang: dalam
8

harapan akan bersama-sama berdiri di sisi bangsa-bangsa yang lain di kemudian hari.
(Polemik I, 1935a:12-16). Baginya, kebudayaan par-Indonesia sama sekali tidak penting,
kecuali dari segi arkeologi. Semangat Indonesia ialah kemauan yang timbul pada abad kedua
puluh ini di kalangan rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu dan dengan jalan demikian
hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat yang layak di sisi bangsa lain. Kemauan
dan cita-cita yang dijunjung dengan insaf dan sadar serupa ini tidak pernah terdapat di
lingkungan kepulauan ini sebelum abad kedua puluh(Polemik I, 1935a:25).
Ciri kedua dunia baru adalah bahwa ia mencari seluruh atau hampir seluruh ilhamnya
dari dunia Barat dan nilai-nilai yang dikandungnya. Dianggap sebagai nilai-nilai dasar:
individualism, materialism, intelektualisme (polemik II, 1935b:35-41) dan dinamisme
(Polemik I, 1935a:26sq).
Indonesia masa depan kelihatan kekurangan dalam bidang teknik, ekonomi, ilmiah
(Polemik III, 1939a:128-129). Indonesia harus meraih alat-alat yang menjadikan negeri-
negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti
sekarang:Eropa, Amerika, Jepang (Polemik I, 1935a:16).

D. KONGRES SOLO (1938)


Gagasan untuk menyelenggarakan sebuah kongres bahasa Indonesia sudah mulai beredar
beberapa tahun sebelum tahun 1938. Gagasan ini lahir didorong oleh situasi kebahasaan di Hindia-
Belanda mematang dan condong kepada bahasa Indonesia. Alisjahbana sudah mulai menyerukan
penyelenggaraan kongres ini sejak 1936. Gagasan itu bersemi dan pada akhir 1937 dua jurnalis pers
nasionalis, R.M. Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo, memulai persiapan penyelenggaraan
kongres ini. Kongres dilaksanakan dengan penasihat dua tokoh orientalis Indonesia, Prof. Dr. Husein
Djajadiningrat dan Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka, yang reputasi ilmiahnya tidak diragukan lagi.
Inisiatif para wartawan nasionalis dan berbahasa Indonesia tidak hanya mencerminkan
dinamisme pers di Hindia-Belanda pada akhir tahun tiga puluhan. Inisiatif itu lebih merupakan
jawaban atas kebutuhan nyata: pers ini adalah salah satu pemakai bahasa Indonesia dan, karena
kedekatannya dengan kalangan politik, memainkan peran kunci dalam kelompok-kelompok lain.

1. Perdebatan
Kongres Solo berlangsung dari tanggal 25 sampai 29 Juni 1938, di Societeit
Habiprojo di Solo, dengan dihadiri banyak peserta dan lima puluhan wartawan. Tidak semua
9

sesi terbuka untuk umum: pembacaan makalah dilaksanakan dalam sidang terbuka, tetapi
diskusi dan penulisan poetoesan dan motie dilangsungkan secara tertutup.
Beberapa makalah murni bersifat politik, tetapi makalah-makalah lain membahas semua
masalah yang berhubungan dengan politik bahasa. Keputusan yang diambil kongres secara garis
besar mengikuti kesimpulan para pembicara. Untuk mengelompokkan keputusan-keputusan itu,
kami memasukkannya ke dalam tipologi proses perencanaan bahasa yang disusun Haugen:
POLITIK BAHASA PEMBINAAN BAHASA
Penentuan ragam baku Implementasi ragam baku
 Penetapan bahasa Indonesia  Pendirian Perguruan Tinggi
sebagai bahasa undang-undang Kesusasetraan
STATUS

 Penetapan penggunaan bahasa  Pertimbangan pendirian Institut


Indonesia dalam sidang perwakilan Bahasa Indonesia
 Imbauan dukungan para guru
 Langkah-langkah usaha bersama
pers, dukungan pers
Kodifikasi ragam baku Pemodernan bahasa
 Ejaan Van Ophuysen tetap  Pengembangan istilah ilmu
KODE

dipertahankan dan ejaan pengetahuan


internasional dipakai di sekolah  Pendirian sebuah badan yang
menengah bertugas menciptakan istilah baru
 Penulisan tata bahasa Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan

Dari beragamnya masalah yang didiskusikan, terlihat betapa tinggi kesadaran para
peserta akan perlunya mendefinisikan sebuah politik bahasa yang menyeluruh, yang
mencakup status dan kode bahasa serta alat-alat untuk menjalankan politik itu, dan yang
mempunyai tujuan tertentu. Di samping itu, sejumlah pembicara juga mengemukakan
pendapat untuk mengakhiri debat panjang tentang kemampuan bahasa Indonesia menjalankan
semua fungsi bahasa modern.
Untuk membandingkan bahasa Melayu perhubungan luas dan bahasa melayu sastra,
para filolog Belanda memakai konsep “bahasa komunikasi” dan “bahasa kebudayaan”.
Menurut mereka, keduanya bukanlah dua ragam bahasa ataupun dua fungsi berbeda dari satu
bahasa yang sama, tetapi benar-benar dua bahasa dengan perkembangan, sifat dan
kemampuan yang berlainan, dan yang dapat dibandingkan dengan perbedaan antara bahasa
dan pijin. Oleh karena itu, wajar jika para peserta kongres mengutip perbedaan antara bahasa
10

komunikasi dan bahasa kebudayaan atau bahasa kesusasteraan yang disatukan oleh ikatan
evolusi.
Konsep bahasa yang terus berkembang itu menyiratkan bahwa bahasa-bahasa itu
masih dapat disesuaikan dan disempurnakan, baik melalui fenomena penyesuaian alamiah
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat penutur yang selalu berubah, maupun karena
pengaruh usaha manusia yang justru merupakan salah satu tujuan kebijakan bahasa.
Pemikiran tentang pemodernan, kemuajuan atau perubahan bahasa itulah yang dinyatakan
dalam kongres Solo.
Dengan demikian pemodernan menyangkut penataan bahasa. Dua makalah secara
khusus mengkaji hal itu, yaitu makalah menarik Alisjahbana dan makalah sjarifuddin dengan
bahasaan tentang kosakata teknik yang menjadi titik awal peristilahan bahasa Indonesia.
2. Jalur-Jalur Pemodernan
a. Dari Kekacauan Menuju Norma
Kongres Solo menuntaskan perkembangan yang sudah dimulai pada saat Sumpah
Pemuda 1928, dan menetapkan sebuah ragam baku bahasa Indonesia yang secara de facto
didampingi bentuk-bentuk dialek bahasa Melayu yang lain, termasuk dialek Melayu yang
disebut bahasa Melayu Riau.
Mengenai pembakuan ejaan, kongres bersifat konservatif. Berkenaan dengan
pembakuan tata bahasa, kongres mengambil keputusan sebagai berikut.
“gramatika yang sekarang tidak memuaskan lagi dan tidak menurut wujud bahasa
Indonesia, karena itu perlu menyusun gramatika baru, yang menurut wuju bahasa
Indonesia” (dalam Kridalaksana 1991: 253).

Akhirnya, dalam prespektif lebih luas, jelaslah bahwa bagi Alisjahbana dan pemuda-
pemuda nasionalis yang hadir di Kongres Solo, pernyataan mengenai perlunya sebuah ragam
baku bagi bahasa nasional merupakan pernyataan “linguistik” mengenai kedudukan dan peran
politik dan sosial bahasa Indonesia.

b. Sketsa Sebuah Politik Peristilahan


Pidato Amir Sjarifuddin di Kongres Solo seluruhnya membahas pemodernan
kosakata ilmiah bahasa Indonesia. Pidato itu menunjukkan keprihatinan untuk
memodernkan bahasa (dan negeri) melalui pengembangan kosakata teknik.
Teks itu dengan gamblang mengajukan persoalan pemodernan kosakata.
Sjarifuddin hanya membayangkan satu jalan pemodernan bahasa Indonesia ilmiah. Ia
11

menganjurkan pemerkayaan kosakata melalui pemungutan dengan manggali dari kekayaan


kosakata ilmiah internasional yang dibentuk berdasarkan unsur pembentuk Yunani-Latin.
Kongres mengikuti dan memperluas usulan Sjarifuddin tentang masalah pemungutan
yang dianggap sangat penting dengan mencantumkannya pada awal keputusan kongres.
Pemanfaatan kosakata umum membuka jalan lain yang berbeda dengan pemungutan dari
bahasa-bahasa asing, yaitu neologisme semantik melalui pengkhususan makna. Namun
demikian, kongres hanya merumuskan prinsip-prinsip yang sangat umum dan tidak
menyinggung tentang prosedur neologisme lain yang lazim.
Sikap kongres itu mencerminkan dua kenyataan. Di satu sisi, para cendikiawan
yang mendapat pendidikan Barat dan sudah cukup terlepas dari kebudayaan daerah mereka
sehingga akhirnya bersedia menyingkirkannya. Di sisi lain, mayoritas peserta kongres
tercabik antara konsep hegemoni bahasa Indonesia dan pertalian erat yang
menghubungkannya dengan bahasa penjajah.

c. Dampak Kongres Solo


Pada akhir tahun 1930-an, ketertarikan bangsa Indonesia kepada bahasanya itu
bukanlah satu-satunya fenomena di dunia. Pada saat yang bersamaan muncul gejala yang
sama di beberapa negara dengan bahasa sebagai atau dapat menjadi unsur pembentuk bangsa,
seperti Turki dan Filipina.
Indonesia, Turki, dan Filipina merupakan tiga kasus menarik yang berbeda dari segi
status negara dan situasi sosiolinguistik. Timbul sebuah tekad untuk melakukan tindakan atas
bahasa, untuk membakukan dan mengembangkannya agar sesuai dengan keperluan
moderenitas. Penyelenggaraan Kongres Solo barangkali ikut berperan.
Mula-mula, kongres berperan untuk membangkitkan ketertarikan para anggota
parlemen pada masalah bahasa yang sempat dikesampingkan sejak 1918. Kongres Rakyat
Indonesia yang diselenggarakan pada bulan Desember 1939 merupakan sebuah perpanjangan
Kongres Solo. Peristiwa yang diikuti oleh sekitar 80 organisasi itu dengan khidmat
menyatakan kembali kesatuan Indonesia dan lambang-lambang bangsa: Bahasa Indonesia,
bendera Sang Merah Putih, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Didirikannya Fakultas Sastra di Batavia lebih menarik dan menunjukkan
perkembangan situasi kelembagaan. Sulit dikatakan apakah fakultas yang hanya bertahan
selama satu tahun di bawah pemerintahan kolonial itu dapat menjadi Sekolah Tinggi
Kesusasteraan seperti yang diharapkan Kongres Solo.
12

Kongres Solo diselenggarakan hampir sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda. Namun
demikian Kongres Solo amat inovatif dalam hal politik kebahasaan. Di Solo, bangsa
Indonesia memasuki sebuah dimensi baru bahasa Indonesia. Mereka beralih dari status ke
korpus, dari aksi yang murni politik ke pembinaan bahasa. Itulah sebebnya, kongres yang
menentukan itu bukanlah sekadar perpanjangan Sumpah Pemuda 1928 dan lebih merupakan
peristiwa pengantar politik masa mendatang. Langkah-langkah pertama politik kebahasaan di
ambil kurang empat tahun kemudian, dan meskipun dilakukan sebagai akibat situasi
kependudukan Jepang, pada prinsipnya kebijakan itu tetap gagasan-gagasan yang telah
dilontarkan di Solo.

Daftar Pustaka

Samuel, Jerome. 2005. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemoderenan Kosakata dan Politik
Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

You might also like