Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Masalah bahasa di Hindia-Belanda pada awal abad ke-19 bertambah rumit dengan
munculnya aspek politik. Semangat kebangsaan terwujud dalam perkumpulan-perkumpulan
kemasyarakatan, keagamaan dan profesional misalnya Insulinde (1907) dari kalangan Indo-Eropa
sekuler berhaluan barat, Boedi Oetomo (1908) dari kalangan priyayi Jawa, Sarekat Dagang Islam
(1911) dari kalangan Islam Jawa, Perkumpulan Islam Modernis Muhammadiyah (1912) dari
kalangan syarikat pedagang, Inische Partij (1912) terbuka bagi semua penduduk Hindia-Belanda,
dan Volksraad (1918) mewakili semua etnis Hindia-Belanda (Eropa, Bumiputra, Arab dan Cina)
merupakan cikal bakal parlemen.
1
2
2) Ahli Bahasa
Marzoeki karyanya “Kitab Kamoes Melajoe”, Makasar 1906 dan "Ilmu bahasa
Melajoe” Semarang 1910.
R. Sasrasoegonda karyanya ”Kitabjang menjatakan djalan bahasa Melajoe”
Jogjakarta 1910. (Adaptasi dari bahasa Belanda).
ken dan Harahap karyanya “Kitab arti logat Melajoe” Batavia, 1914.
Sutan Takdir Alisjahbana mempublikasikan artikel berjudul “Bahasa Indonesia”
(1933) pada nomor Poedjangga Baroe. STA menjadi orang pertama yang menyusun
ringkasan situasi sosiolinguistik Hindia-Belanda dan menuliskan garis-garis besar masa
depan kebahasaan bahasa Indonesia.Dan menggelar debat panjang yang lazim disebut
“polemik kebudayaan” tentang modernitas dan kedudukan kebudayaan Barat dan Timur
yang memperkaya pemikiran mengenai bahasa dan masyarakat. STA dianggap sebagai
“Bapak Bahasa Indonesia”.
1. Data Keluarga
Nama Istri I : Raden Adjeng Rohani Daha (Bengkulu)
menikah tahun 1929 memiliki putra 3
Nama Istri II : Raden Roro Soegiarti memiliki putra 2
Nama Istri III : Margaret Axer (Jerman) memiliki putra 3
Nama Ayah : Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi
Pekerjaan : Guru dan Kepala Sekolah Dasar di Lampung dan Bengkulu
penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. pemain
sepak bola
Nama Kakek : Sutan Muhamad Zahab
Pekerjaan : Penghulu dan Sastrawan Muslim Tradisional memiliki Perpustakaan Besar
2. Riwayat Pendidikan
4
Menerbitkan majalah umum berwarna politik dan dicap kiri “Pembangunan” (1945-
1948).
Menerbitkan majalah “Konfrontasi” menggantikan Pudjangga Baru seri kedua (1954-
1960)
Menerbitkan Dian Rakyat (1968)
Pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994),
dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
c. Sebagai Anggota Partai Politik
Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan anggota parlemen (1950-1960)
Anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960).
Anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951)
Anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties
(1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota
World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan
Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976).
4. Karya-karyanya
Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
Layar Terkembang (novel, 1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
Pelangi (bunga rampai, 1946)
Pembimbing ke Filsafat (1946)
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
The Indonesian language and literature (1962)
Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
6
mengkaji, apakah yang disebut bahasa Indonesia itu, betapa riwayatnya, bagaimana
keadaannya dalam zaman perubahan ini, dan jika dapat menujukkan jalan yang akan
ditempuhinya di masa yang akan datang.Pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo.
Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi
Pertama Bahasa-Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1
Oktober 1967).
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi bahasa , adalah sebagai alat untuk menjelmakan
perasaan dan pikiran, sebagai alat untuk mendalamkan perasaan, menajamkan pikiran dan
menambah pengetahuan yang besar pula gunanya untuk menetapkan harapan dan tujuan dan
teristimewa sebagai alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia, soal yang terdapat dalam
masyarakat dan terutama dalam pergaulan jajahan, pastilah tak dapat tidak terbayang malahan
tergambar dalam soal bahasa dengan seterang-terangnya. (1993:20).
Bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-
lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan
kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad ke-dua puluh dengan insaf diangkat dan
dijunjung sebagai bahasa persatuan (1933:37).
Fungsi ganda bahasa sebagai alat untuk, menyatakan, menjelaskan dan
menyampaikan sebuah pemikiran yang diduga sudah ada, kedua bahasa sebagai alat yang
tampaknya masih dapat disempurnakan, sebagaimana seharusnya alat yang baik.
Kesadaran politik dan bukan hanya linguistic mendapatkan tempat yang tepat karena
kesadaran inilah yang mengubah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.
Sisi lain politik bahasa yaitu membiarkan bahasa berkembang dan mengalir sendiri
mengikuti kehendak umum secara alamiah, yaitu kehendak yang masih kabur dari rakyat
Indonesia. Bahasa Indonesia terbentuk dari penolakan atas bahasa Melayu Riau yang
dikodifikasi oleh ahli-ahli bahasa colonial dan dipaksakan oleh lembaga pendidikan,
sekalipun sebenarnya bahasa ini mendahului bahasa Indonesia.
9. Budaya : Polemik Kebudayaan
Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M.Ng.Poerbatjaraka, Ki Hadjar Dewantara,
Adi Negoro, dan yang lainnya, terlibat dalam rangkaian polemik. Polemik I, mengenai
keindonesiaan. Polemik II dan III, mengenai kedudukan kebudayaan Barat dan Timur dalam
pendidikan. Secara umum ketiga polemic membahas mengenai pengolahan budaya nasional
Indonesia.
Sesungguhnya kemauan bersatu yang dikandung semangat Indonesia bukan sekali-
kali berurat-berakar di masa silam, tetapi sebaliknya di masa yang akan datang: dalam
8
harapan akan bersama-sama berdiri di sisi bangsa-bangsa yang lain di kemudian hari.
(Polemik I, 1935a:12-16). Baginya, kebudayaan par-Indonesia sama sekali tidak penting,
kecuali dari segi arkeologi. Semangat Indonesia ialah kemauan yang timbul pada abad kedua
puluh ini di kalangan rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu dan dengan jalan demikian
hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat yang layak di sisi bangsa lain. Kemauan
dan cita-cita yang dijunjung dengan insaf dan sadar serupa ini tidak pernah terdapat di
lingkungan kepulauan ini sebelum abad kedua puluh(Polemik I, 1935a:25).
Ciri kedua dunia baru adalah bahwa ia mencari seluruh atau hampir seluruh ilhamnya
dari dunia Barat dan nilai-nilai yang dikandungnya. Dianggap sebagai nilai-nilai dasar:
individualism, materialism, intelektualisme (polemik II, 1935b:35-41) dan dinamisme
(Polemik I, 1935a:26sq).
Indonesia masa depan kelihatan kekurangan dalam bidang teknik, ekonomi, ilmiah
(Polemik III, 1939a:128-129). Indonesia harus meraih alat-alat yang menjadikan negeri-
negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti
sekarang:Eropa, Amerika, Jepang (Polemik I, 1935a:16).
1. Perdebatan
Kongres Solo berlangsung dari tanggal 25 sampai 29 Juni 1938, di Societeit
Habiprojo di Solo, dengan dihadiri banyak peserta dan lima puluhan wartawan. Tidak semua
9
sesi terbuka untuk umum: pembacaan makalah dilaksanakan dalam sidang terbuka, tetapi
diskusi dan penulisan poetoesan dan motie dilangsungkan secara tertutup.
Beberapa makalah murni bersifat politik, tetapi makalah-makalah lain membahas semua
masalah yang berhubungan dengan politik bahasa. Keputusan yang diambil kongres secara garis
besar mengikuti kesimpulan para pembicara. Untuk mengelompokkan keputusan-keputusan itu,
kami memasukkannya ke dalam tipologi proses perencanaan bahasa yang disusun Haugen:
POLITIK BAHASA PEMBINAAN BAHASA
Penentuan ragam baku Implementasi ragam baku
Penetapan bahasa Indonesia Pendirian Perguruan Tinggi
sebagai bahasa undang-undang Kesusasetraan
STATUS
Dari beragamnya masalah yang didiskusikan, terlihat betapa tinggi kesadaran para
peserta akan perlunya mendefinisikan sebuah politik bahasa yang menyeluruh, yang
mencakup status dan kode bahasa serta alat-alat untuk menjalankan politik itu, dan yang
mempunyai tujuan tertentu. Di samping itu, sejumlah pembicara juga mengemukakan
pendapat untuk mengakhiri debat panjang tentang kemampuan bahasa Indonesia menjalankan
semua fungsi bahasa modern.
Untuk membandingkan bahasa Melayu perhubungan luas dan bahasa melayu sastra,
para filolog Belanda memakai konsep “bahasa komunikasi” dan “bahasa kebudayaan”.
Menurut mereka, keduanya bukanlah dua ragam bahasa ataupun dua fungsi berbeda dari satu
bahasa yang sama, tetapi benar-benar dua bahasa dengan perkembangan, sifat dan
kemampuan yang berlainan, dan yang dapat dibandingkan dengan perbedaan antara bahasa
dan pijin. Oleh karena itu, wajar jika para peserta kongres mengutip perbedaan antara bahasa
10
komunikasi dan bahasa kebudayaan atau bahasa kesusasteraan yang disatukan oleh ikatan
evolusi.
Konsep bahasa yang terus berkembang itu menyiratkan bahwa bahasa-bahasa itu
masih dapat disesuaikan dan disempurnakan, baik melalui fenomena penyesuaian alamiah
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat penutur yang selalu berubah, maupun karena
pengaruh usaha manusia yang justru merupakan salah satu tujuan kebijakan bahasa.
Pemikiran tentang pemodernan, kemuajuan atau perubahan bahasa itulah yang dinyatakan
dalam kongres Solo.
Dengan demikian pemodernan menyangkut penataan bahasa. Dua makalah secara
khusus mengkaji hal itu, yaitu makalah menarik Alisjahbana dan makalah sjarifuddin dengan
bahasaan tentang kosakata teknik yang menjadi titik awal peristilahan bahasa Indonesia.
2. Jalur-Jalur Pemodernan
a. Dari Kekacauan Menuju Norma
Kongres Solo menuntaskan perkembangan yang sudah dimulai pada saat Sumpah
Pemuda 1928, dan menetapkan sebuah ragam baku bahasa Indonesia yang secara de facto
didampingi bentuk-bentuk dialek bahasa Melayu yang lain, termasuk dialek Melayu yang
disebut bahasa Melayu Riau.
Mengenai pembakuan ejaan, kongres bersifat konservatif. Berkenaan dengan
pembakuan tata bahasa, kongres mengambil keputusan sebagai berikut.
“gramatika yang sekarang tidak memuaskan lagi dan tidak menurut wujud bahasa
Indonesia, karena itu perlu menyusun gramatika baru, yang menurut wuju bahasa
Indonesia” (dalam Kridalaksana 1991: 253).
Akhirnya, dalam prespektif lebih luas, jelaslah bahwa bagi Alisjahbana dan pemuda-
pemuda nasionalis yang hadir di Kongres Solo, pernyataan mengenai perlunya sebuah ragam
baku bagi bahasa nasional merupakan pernyataan “linguistik” mengenai kedudukan dan peran
politik dan sosial bahasa Indonesia.
Kongres Solo diselenggarakan hampir sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda. Namun
demikian Kongres Solo amat inovatif dalam hal politik kebahasaan. Di Solo, bangsa
Indonesia memasuki sebuah dimensi baru bahasa Indonesia. Mereka beralih dari status ke
korpus, dari aksi yang murni politik ke pembinaan bahasa. Itulah sebebnya, kongres yang
menentukan itu bukanlah sekadar perpanjangan Sumpah Pemuda 1928 dan lebih merupakan
peristiwa pengantar politik masa mendatang. Langkah-langkah pertama politik kebahasaan di
ambil kurang empat tahun kemudian, dan meskipun dilakukan sebagai akibat situasi
kependudukan Jepang, pada prinsipnya kebijakan itu tetap gagasan-gagasan yang telah
dilontarkan di Solo.
Daftar Pustaka
Samuel, Jerome. 2005. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemoderenan Kosakata dan Politik
Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.