You are on page 1of 12

REVIEW BUKU DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL KARYA SINDHUNATA

BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diceritakan masa muda dan perjalanan karir Max Horkheimer. Pada
masa mudanya, Horkheimer adalah seorang direktur muda dari perusahaan tenun
ayahnya ia dilahirkan 14 Februari 1895 di Zuffenhausen. Moriz Horkheimer. Horkheimer
merasa bahwa kehidupan penuh dengan ketidakadilan. Ada keuntungan dan
kemlaratan, kemewahan dan kelaparan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Sejak masa
muda, Horkheimer mendambakan datangnya masyarakat yang lebih sempurna.
Horkheimer pertama kali mengenal filsafat lewat buku yang berjudul Aphorisms
on the Wisdom of life yang dihadiahkan oleh sahabatnya yaitu Friedrich Pollock. Atas
ajakan Pollok, setelah Perang Dunia I sudah lewat, Horkheimer diajak untuk bergabung
menjadi anggota sekolah Frankfurt. Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai
direktur baru Sekolah Frankfurt. Horkheimer menekankan pentingnya kerjasama antara
filsafat dan ilmu pengetahuan empiris, namun kerjasama tersebut diorganisasikan
berdasarkan “problem-problem yang bertopik filosofis”.
Keprihatinan utama Sekolah Frankfurt adalah bagaimana mengalihkan filsafat
menjadi teori kritis masyarakat (critical theory of society). Artinya, adanya hubungan
dialektis antara filsafat dan sosiologi. Sebab istilah teori kritis masyarakat mengatasi
sekaligus baik filsafat maupun sosiologi.
Tugas utama sekolah Frankfurt adalah menembus secara kritis suatu realitas
sosial untuk mengetahui esensi realitas tersebut. Sosiologi kritis sekolah Frankfurt tidak
mau bersekongkol dengan fakta yang diselidikinya, ia selalu curiga bahwa fakta-fakta
yang kelihatan obyektif sebenarnya penuh nilai-nilai yang tidak disetujuinya dan ingin
didobraknya. Dari sini jelas terlihat bahwa Sekolah Frankfurt menginginkan
pembangunan masyarakat rasional. Hanya dalam masyarakat rasional itulah
kepenuhan individu dapat tercapai. Sekolah Frankfurt beranggapan masyarakat
rasional masih merupakan kerinduan: individu masih terbelenggu dalam jerat-jerat
keirasionalan masyarakatnya. Dengan demikian, teori kritis bersoal terus-menerus
dengan “pembebasan manusia”, entah secara sosiologis maupun filosofis, supaya
manusia menjadi otonom dan rasional. Maka, dapat disingkatkan bahwa teori kritis
bermaksud menjadi teori emansipatoris.

1
Horkheimer mengalami dua tahap dalam pembentukan teori kritisnya. Tahap
pertama adalah tahap optimis teorinya, dimana ia yakin bisa melahirkan teori kritis yang
benar-benar emansipatoris. Tahap kedua adalah tahap pesimisnya. Tahap pesimis
dibagi menjadi dua: pertama, ketika ia mulai meragukan usaha rasional manusia dan
kedua, ketika ia yakin bahwa usaha rasional manusia itu pasti akan menemui jalan
buntu.

BAB II
LATAR BELAKANG HISTORIS DAN TEORITIS SEKOLAH FRANKFURT
1. Sekolah Frankfurt
Istilah ini dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan yang tergabung
dalam Institut fur Sozial forschung (Institute for Social Research) yang didirikan di
Frankfurt am Main, tahun 1923. Pelopor institut ini adalah Felix J. Weil, sarjana ilmu
politik.Dengan dibantu oleh dana ayahnya Hermann Weil, Felix J. Weil ingin
menghimpun cendekiawan-cendekiawan utnuk menyegarkan kembali ajaran Marx
sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Anggota-anggota institut yang pertama adalah Friedrich Pollock, Theodor W.
Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm, Karl August Wittfogel, Franz Neumann, Otto
Kircheimer, Leo Lowenthal, Walter Benjamin dan Max Horkheimer.
Latar belakang berdirinya Institute for Social Research diawali dari keadaan
dimana marxisme mengalami kelesuan dan kebebasan intelektual dicekam karena
keanggotaan partai. Untuk menyegarkan keilmiahan marxisme dan benar-benar berdiri
sebagai sarjana-sarjana yang independen.
Direktur pertama Institute for Social Research adalah Profesor Carl Grunberg,
seorang marxis dari Austria. Dalam kepemimpinan Grunberg, institut ini menekankan
pada dua hal yaitu: (1) metode yang diajarkan sebagai teori untuk memecahkan
problema adalah dengan metode marxis, (2) hubungan dengan marxisme mesti
dimengerti bukan dalam arti partai politik melainkan melulu dalam arti ilmiah.
Setelah Grunberg, posisi direktur dipegang oleh Horkheimer dan di masa inilah
Institute for Social Research mengalami masa kejayaannya dan lebih dikenal dengan
nama sekolah Frankfurt. Konsepsi Horkheimer tentang filsafat sosial sebagai “
interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai

2
individu, tapi sebagai anggota masyarakat”. Maka, obyek dari filsafat sosial adalah
“semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara
keseluruhan”. Horkheimer juga menggariskan dengan tegas bahwa metode analisa
Sekolah Frankfurt haruslah dapat menangkap hubungan dialektis antara realitas
material dan realitas mental. Sasaran utama sekolah Frankfurt adalah bidang ekonomi,
bidang kebudayaan seperti: ideologi dan politik.
Di bawah Horkheimer, teori sekolah Frankfurt mendapat wajah baru, melebihi
periode kedirekturan Grunberg, bahkan kaum marxis lain sebelumnya: “… periode
kedua dari“ critical Marxism, yakni teori kritis dari sekolah Frankfrut, mempunyai
kesempatan untuk melampaui para pendahulunya, terutama disebabkan karena
pandangan dan keluwesannya dalam dua bidang kunci teori kemasyarakatan, yakni
sosiologi politik dan teori kebudayaan.
Tahun 1950, gagasan sekolah Frankfurt sangat berpengaruh terhadap golongan
intelektual, terutama para mahasiswa. Namun, sejak tahun 1967, sekolah Frankfurt
cenderung makin pesimis terhadap kemungkinan perubahan masyarakat.

2. Kapitalisme monopolis dan fasisme


Sekolah Frankfurt memahami kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap
kapitalisme dimana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan
harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta merta digulungnya. Pada
gilirannya, kapitalisme monopolis ini mau tidak mau akan mengundang campur tangan
negara, sebagai aparat kontrol yang paling efektif untuk mengendalikan gerak
perusahaan-perusahaan besar.
Kapitalisme Negara dengan bantuan fasisme dapat mencengkam individu di
bawah cakar kekuasaannya. Untuk memperteguh kekuasaannya, mereka menciptakan
kebutuhan-kebutuhan baru, menggiring masyarakat menuju konsumerisme, sementara
individu tidak berkuasa apa-apa lagi.
Maka, sekolah Frankfurt beralih ke analisa ideologi yang meliputi kesadaran dan
struktur psikis kaum proletar pada waktu itu. Namun, analisa yang dilakukan sekolah
Frankfurt tentang fasisme adalah amat lemah dan mendapat banyak kecaman, karena
timbulnya fasisme tidak dapat semata-mata diterangkan dari segi ekonomi.

3
3. Latar belakang pemikiran Sekolah Frankfurt
Sumber pemikiran teori kritis adalah dari idealisme Kant dan Hegel, marxisme
serta psikoanalisa Freud. Keempat pemikiran ini menjadi titik tolak, cara kerja dan
obyek kritis untuk memantapkan teori sekolah Frankfurt. Berikut penjelasan pengertian
kritis dari keempat pemikiran tersebut.
3.1 Kritisme Kant
Kant menamakan filsafatnya sebagai kritis dalam arti bahwa akal budi harus
menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan
keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Artinya, pengetahuan kita tidak
ditentukan oleh obyek, tapi subyek yang menghasilkan pengetahuan itu. Bertitik tolak
dari pandangan ini maka sekolah Frankfurt beranggapan bahwa segala sesuatu adalah
hasil karya pengetahuan subyektif manusia yang otonom.
Meskipun menggunakan pemikiran Kant, sekolah Frankfurt juga mengkritik
filsafat Kant. Menurut sekolah Frankfurt, pengetahuan Kant bersifat semata-mata
formal, artinya ia hanya mengutarakan tentang syarat kebenaran secara subyektif
bukan isi kebenaran secara obyektif.

3.2 Dialektika Hegel


Apa itu dialektika Hegel?
Pertama, berpikir secara dialektik berarti berpikir dalam totalitas. Arti totalitas
disini yaitu keseluruhan yangmempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi, saling
berkontradiksi dan saling bermediasi. Kedua, seluruh proses dialektis itu sebenarnya
merupakan “realitas yang sedang bekerja” (working reality). Ketiga, berpikir dialektis
berarti berpikir dalam perspektif empiris-historis. Keempat, berpikir dialektis berarti
berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis.
Pemikiran Hegel ini dianggap oleh sekolah Frankfurt sebagai “transfiguratif”
(mengatasi kenyataan tapi hanya dalam angan-angan).maka dari itu, sekolah Frankfurt
merasa membutuhkan pandangan baru yang kemudian berguru pada Karl Marx.
3.3 Kritik ekonomi-politik Karl Marx
Sekolah Frankfurt memahami arti kritis ajaran Marx “kritik ekonomi politik”
dengan memaksudkannya sebagai “kritik ekonomi” dengan tujuan emansipatoris. Kritik
Marx yang digunakan dalam ajaran sekolah Frankfurt yaitu (1) kapitalisme adalah akhir

4
dari prasejarah manusia, dengan hancurnya kapitalisme mulailah babak baru sejarah
manusia. Disini Marx ingin menunjukkan kehancuran masyarakat kapitalis dengan
ketepatan ilmiah. Hal ini ditunjukkan Marx dalam ajarannya tentang nilai lebih. (2) kritik
terhadap nilai tukar dalam kapitalisme. Termaktub dalam pandangan Marx terhadap
komoditi. (3) kapitalisme terus bersaing antar-mereka sendiri, karena masing-masing
memburu profit yang makin besar.
Namun, kritik ekonomi politik Marx dianggap tidak memadai lagi oleh sekolah
Frankfurt karena Marx melupakan segi-segi kebudayaan yang ternyata sangat berperan
dalam mengerem kebebasan individu. Lalu, Sekolah Frankfurt melakukan modifikasi
ajaran Marx yakni: kritik ekonomi politik menjadi kritik akal budi instrumentalis.
Fenomena lain yang membuat sekolah Frankfurt memodifikasi ajaran Marx adalah
fasisme Jerman. Disini, ajaran Marx dimodifikasi menjadi kritik sosiologi politik.
Setelah melakukan modofikasi, sekolah Frankfurt masih beranggapan bahwa
sosiologi politik belum mencukupi, masih diperlukan analisa-analisa yang bisa
menerangkan kenapa secara psikis individu dapat dipengaruhi dan didikte oleh suatu
kondisi sosial.

3.4 Kritik ideologi lewat Freud


Kritik ideologi yang dilontarkan oleh Marx mengandung kekurangan atau yang
disebut oleh Fromm sebagai missing link antara bangunan atas yang ideologis dan
basis yang sosio ekonomis. Menurutnya, hanya psikoanalisa yang dapat menerangkan
dengan tepat hubungan antara basis (kehidupan material yang real) dan bangunan atas
kesadaran manusia. Untuk itu, Fromm menunjukkan bahwa hidup psikis terdapat dua
naluri dasar yang selalu berkonflik, yakni naluri seksual dan naluri mempertahankan diri
(self preservation drive).
Sekolah Frankfurt beranggapan bahwa teori Freud tentang superego yang paling
memberi kunci untuk menjalankan kritik ideologi. Freud menerangkan bahwa “ego
ideal” atau “superego” dapat membentuk pribadi, kelompok yang mungkin saja dibenci
dan dimusuhi secara aktif tapi individu atau kelompok tertarik dan kagum padanya.

4. Filsafat manusia dan kritik terhadap neo-positivisme

5
Kritik yang dilontarkan oleh sekolah Frankfurt kepada filsuf kemanusiaan antara
lain: (1) filsuf kemanusiaan dianggap terlalu menekankan subyektivitas dan “kebatinan”,
sehingga mereka mengecilkan pentingnya tindakan dalam dunia yang historis, (2) filsuf
kemanusiaan cenderung melalaikan dimensi material dari realitas. Dengan kata lain,
filsuf kemanusiaan dianggap sebagai irasionalisme.
Teori kritis bertolak belakang dengan neo-positivisme. Menurut Horkheimer dan
kawan-kawannya, neo-positivisme tidak dapat mengubah kenyataan yang ada, tapi
menerima dan menjadi fungsi dari keadaan yang ada dan alat untuk melestarikan
keadaan yang ada, sama dengan fungsi dari ilmu pengetahuan modern yang netral
dewasa ini. Neo-positivisme hanya berpijak pada ilmu pengetahuan modern, padahal
ilmu pengetahuan hanyalah salah satu faktor saja diantara sekian faktor lain (seperti
nilai-nilai, agama dan sebagainya).

BAB III
TEORI KRITIS SEBAGAI TEORI EMANSIPATORIS
Aufklarung, yang artinya pencerahan, bergema keras di abad ke-18. Jaman ini
dikenal dengan jaman dimana manusia gandrung dengan akal budinya. Terjadi adanya
pemberontakan atau pembebasan dari ikatan-ikatan lama. Akal budi manusia yang
sebelumnya dipandang secara obyektif, sekarang mulai mendapatkan subyektivitasnya.
Akal budi menjadi subyek sekaligus obyek kegiatan berfikir. Dalam sebuah artikelnya,
Horkheimer mengungkapkan bahwa pandangan yang sudah umum berlaku sejak
Descartes sampai saat ini (teori tradisional) gagal menjadi teori emansipatoris. Maka ia
mencoba memberikan pandangan baru (teori kritis) yang pada hematnya bakal benar-
benar menjadi teori emansipatoris.
1. Teori Tradisional
Dalam pandangan tradisional, teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-
proposisi tentang suatu subyek. Tujuan teori tradisional yakni membangun konsep-
konsep umum mengenai semua hal. Dasar berpijak teori tradisional adalah ilmu
pengetahuan. Ciri dan sifat teori tradisional: netral terhadap fakta di luar dirinya,
berpijak pada ilmu pengetahuan dan ia memisahkan teori dan fakta karena memandang
fakta hanya secara lahiriah.

6
Horkheimer menuduh teori tradisional sebagai teori yang bersifat ideologis
karena (1) kenetralannya menjadi kedok pelestarian keadaan yang ada, (2) teori
tradisional bersifat “ahistoris”. (3) teori tradisional memisahkan teori dan praxis.
2. Teori Kritis
Sifat dan ciri teori kritis : (1) teori kritis curiga dan kritis terhadap masyarakat, (2)
teori kritis berpikir secara “historis”. (3) teori kritis tidak memisahkan teori dan praxis.
Horkheimer mengatakan kebebasan individu dewasa ini adalah semu, sebab
kebebasan itu hanya dibayangkan sedangkan kenyataannya individu diperbudak
secara tidak sadar oleh masyarakat yang digerakkan modal. Teori kritis tidak mau
terperosok dalam khayalan ideologi tentang kebebasan itu, maka ia mempunyai konsep
tentang ego yang real, yakni ego yang selalu berada dalam ketegangan dengan
masyarakatnya. Ia juga memakai totalitas sebagai kerangka berfikir, yakni berfikir
dalam kontradiksi.

BAB IV
DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL: TERBENAMNYA AKAL BUDI OBYEKTIF DAN
TERBITNYA AKAL BUDI INSTRUMENTALIS
Pada bab ini, muncul akal budi instrumentalis yang merupakan akibat dari
Aufklarung/ perjalanan usaha manusia rasional. Usaha manusia rasional yang diagung-
agungkan tersebut ternyata harus dibayar dengan kenistaan tiada tara. Horkheimer
menunjukkan bahwa usaha manusia rasional yang jaya ternyata menuntun manusia
menuju kepada kehancurannya. Disinilah kritik akal budi instrumentalis dari
Horkheimer.
1. Pengertian akal budi subyektif atau instrumentalis dan akal budi obyektif
Menurut Horkheimer, akal budi subyektif adalah akal budi yang mengarah pada
kegunaan. Pengertian akal budi subyektif berkembang subur dalam tradisi empirisme
dengan ajarannya tentang self-preservation, dimana akal budi dipakai sebagai alat atau
sarana demi membuahkan guna. Selanjutnya akal budi subyektif ini juga disebut akal
budi instrumentalis. Akal budi instrumentalis tak ubahnya sebuah alat. Ia netral, maka
bisa digunakan bahkan diperalat untuk tujuan apapun yang tidak berasal dari dirinya.
Lawan dari akal budi instrumentalis adalah akal budi obyektif dan sifatnya
universal. Akal budi ini juga lebih menekankan tujuan pada dirinya sendiri daripada

7
cara. Menurut Horkheimer, akal budi obyektif mempunyai wewenang terhadap manusia.
Ia tidak netral sebab isi obyektifnya sendiri sudah mengandaikan bahwa ia mempunyai
tujuan tertentu yang harus dikejar oleh manusia.

2. Pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis


Sebab-sebab adanya pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis
antara lain: (1) Formalisasi akal budi. Ini membuat akal budi tinggal menjadi
kemampuan yang netral, bukan wewenang yang penuh wibawa lagi. Hal ini juga
memudahkan terjadinya instrumentalisasi akal budi. (2)Perpisahan agama dan filsafat.
Karena pengandaian yang sama akan realitas terakhir yang sama dan obyektif, agama
berdasarkan wahyu, sedangkan filsafat berdasarkan akal budi.
Kedua hal tersebut diatas haruslah disadari sebagai usaha manusia untuk
mencapai pengertian rasional.

3. Akal budi menjadi alat yang netral


Disini Horkheimer mengambil contoh Bertrand Russels karena ia memisahkan
etika dari ilmu pengetahuan. Kategori kebenaran di bidang ilmu pengetahuan yang
dimiliki akal budi tak dapat diterapkan dalam penilaian-penilaian etis, sebab tindakan
manusia ditentukan oleh hasrat-hasratnya. Akal budi menjadi tidak otonom lagi di
bidang etika. Tindakan yang benar adalah tindakan yang mengarah pada tujuan yang
sudah dihasratkan. Karena kehilangan otonominya, akal budi tinggal menjadi alat yang
netral belaka.
Horkheimer juga mengatakan bahwa pengebirian akal budi menjadi alat netral
juga membuat orang cenderung membendakan segala sesuatu. Contoh yang dapat
dibendakan yaitu agama yang digunakan untuk kepentingan bisnis dan karya seni.

4. Lahirnya neo-positivisme yang melulu instrumentalis dan neo-Thomisme yang


pragmatis
Neo-positivisme beranggapan bahwa krisis dapat disembuhkan jika orang
percaya dan tunduk pada hukum-hukum ilmu pengetahuan, sehingga aliran ini
membangun filsafat yang sama sekali baru, yakni filsafat yang berdasarkan cara kerja
ilmu pengetahuan. Dari sini Horkheimer menuduh neo-positivisme memperbudak

8
dirinya untuk menjadi alat yang melestarikan dan melanggengkan masyarakat
teknokratis jaman ini. Neo-positivisme menjadi instrumental sebab sesuai dengan
metode dan cara kerjanya ia tidak bisa memberikan kriteria mengenai kebenaran yang
diperlukan untuk “menyelamatkan” bangsa ini.
Neo-Thomisme merupakan aliran lawan dari neo-positivisme. Namun, dalam
perkembangannya, kedua aliran ini memiliki sikap dasar yang sama. Neo-thomisme
merupakan ajaran kembali pada Thomas, tapi alih-alih melestarikan ajarannya, aliran ini
malah menjual ide-ide obyektif Thomas bagaikan barang komoditi yang netral dan bisa
begitu saja diterapkan pada jaman ini. Hal ini membuat aliran neo-thomisme menjadi
pragmatis.

5. Pemberontakan Alam
Pada bagian ini Horkheimer mengemukakan bahwa pada jaman modern ini,
manusia memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap alam secara total dibandingkan
dengan jaman dahulu ketika manusia masih menghargai alam. Bentuk perbudakan
alam atas manusia ini nampak dalam penindasan yang dilakukan oleh kekuatan pasar
dan modal. Alam berhasil menundukkan manusia untuk menyesuaikan diri kepada
tuntutan-tuntutannya secara alamiah.
Akal budi yang telah tumpul membuat manusia menjadi tidak kritis lagi, tidak
mempersoalkan apakah tuntutan masyarakat itu masih patut disebut rasional. Disinilah
memesis, dorongan meniru yang alamiah dan primitif itu muncul kembali justru lewat
sikap rasional manusia yang modern, yang menganggap irasional jika orang menolak
atau mau melebihi realitas yang dihadapinya.

6. Kehancuran individu
Individu sudah tidak berarti lagi di jaman kejayaan akal budi instrumentalis yang
melahirkan masyarakat teknokratis. Dalam keadaan ini individu dianggap sebagai alat
belaka. Pekerjaan yang seharusnya mampu merasionalkan manusia justru
memperbudak manusia. Sebab, pekerjaan bukan lagi ungkapan atau pernyataan diri
manusia yang sadar melainkan “paksaan” dari modal yang tidak sadar.

9
BAB V
DIALEKTIKA USAHA MANUSIA RASIONAL: USAHA MANUSIA RASIONAL ADALAH
MITOS.
Mitos merupakan lawan dari logos, sehingga mitos disini dapat diartikan sebagai
keirasionalan atau tahyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak berada dalam
kontrol kesadaran dan rasio manusia.
Menurut Horkheimer, usaha manusia rasional takkan pernah berhasil
menghilangkan mitos, malah niscaya usaha itu pasti akan mengakibatkan mitos. Ini
didasarkan bahwa usaha manusia rasional tidak dapat berdiri sendiri, tidak otonom,
tidak dapat mengenal dirinya sendiri.
Horkheimer akan menunjukkan bahwa mitos adalah usaha manusia rasional,
dan usaha manusia rasional adalah mitos dalam karyanya bersama Adorno: Dialectic
of Enlightenment.
1. Usaha manusia rasional adalah mitos
Mitos yang irasional itu ternyata usaha manusia yang rasional, sedangkan usaha
manusia yang rasional ternyata mitos yang irasional. Berikut salah satu contohnya.
Filsafat Bacon. Menurut Bacon, pengetahuan itu sinonim dengan kekuasaan. Artinya,
pengetahuan itu harus menghasilkan, harus berdaya guna. Pengetahuan demi
pengetahuan dituduhnya sebagai pelacur, yang hanya mencari kenikmatan tapi tak
menghasilkan suatu apa pun. Jadi, kebenaran itu bukan “kepuasaan kontemplasi”
melainkan operation, to do bisnis. Neo-positivisme dan pragmatism tidak percaya akan
kebenaran pada dirinya sendiri. Kebenaran itu baru benar kalau ia berdaya guna,
sukses dalam praktek dan proses eksperimentasi. Akibatnya, daya guna menjadi tujuan
pada dirinya sendiri, daya guna itulah kebenaran sendiri. Disinilah usaha manusia
rasional Bacon menjadi mitos karena usaha kerasionalannya itu tidak bisa melihat
sesuatu pada dirinya sendiri tapi sesuatu dalam daya gunanya.
Bagaimanapun juga usaha manusia rasional ternyata tidak mampu
menghilangkan mitos: “ketakutan” manusia rasional terhadap kekuatan-kekuatan di luar
diri manusia yang disertai alasan rasional “demi kedaulatan diri manusia” sama saja
dengan tabu dalam mitos sendiri. Akibat sikap takut baik dalam manusia rasional harus
rela diperbudak oleh realitas yang tidak jadi dirasionalkannya, sama seperti dalam mitos
dimana orang harus menerima kekejaman nasib, yang tak bisa dielakkannya.

10
2. Sejarah usaha manusia rasional adalah sejarah mitos
Pada sub bab ini memperlihatkan bahwa manusia dalam setiap tahap
sejarahnya hendak mencapai pengertian rasional ternyata selalu terjerumus ke dalam
mitos. Mulai dari Thales, filsuf alam dari Yonia yang mengungkapkan asal usul semesta
adalah air. Lalu, Anaximandros yang menerangkan bahwa gejala alam dapat diasalkan
pada unsur-unsur dari “apeiron”. Dimana “apeiron” ini pada hakekatnya adalah “khaos”.
Disini mitos beranggapan bahwa “khaos” sebagai asal-usul “kosmos” /alam semesta.
maka jika dianalogikan hal ini menjadi sama: “apeiron” : ”khaos”. Kemudian muncul
Plato yang tidak juga dapat lepas dari mitos. Hirarki ide-ide obyektifnya tak lain tak
bukan adalah cerminan dari hirarkhi dewa-dewa dalam mitos.
Filsafat dalam dan sesudah Masa Pencerahan hendak sungguh-sungguh
membebaskan diri dari mitos serta segala filsafat yang bertolak dari akal budi obyektif
ditamatkan riwayatnya di jaman akal budi subyektif ini. Seperti dalam konsep tunggal
yang dilontarkan Parmenides, kemudian diteruskan oleh Bacon lalu diteruskan lagi oleh
positivisme dengan logika formalnya.
Dari sejarah panjang yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat bahwa ternyata
usaha manusia rasional tak pernah berhasil membebaskan diri dari mitos, malah ia
terjerumus menjadi mitos lagi.

3. Kesimpulan: usaha manusia rasional adalah riwayat Odysseus


Odysseus adalah pahlawan Yunani dalam perang Troya. Odysseus dipandang
sebagai tokoh yang memperoleh enlightment karena segala kepandaian, akal dan
kelicikannya yang bisa mempecundang para dewa dan menaklukkan keganasan alam
sampai ia selamat dan tiba kembali di tanah airnya setelah bubarnya perang Troya.
Riwayat Odysseus dapat dikatakan sebagai riwayat masyarakat yang ingin
“membudaya” dengan cara meniadakan dirinya karena “kebudayaan” itu bukanlah cita-
cita kehendak sadar manusia melainkan ungkapan dari kekuasaan modalbuta yang
memperalat manusia.
Dialektika usaha manusia rasional inilah yang membuat pemikirannya
Horkheimer menjadi pesimis. Optimisme teori kritis tahap pertama ditinggalkannya.
Horkheimer pun terpaksa menyadari bahwa sebagai usaha untuk mencapai pengertian

11
rasional, teori kritisnya juga termasuk usaha rasional, hingga mau tidak mau teori
kritisnya juga harus kena hukum dialektik dari usaha manusia rasional.

12

You might also like