You are on page 1of 7

MASYARAKAT INDONESIA DALAM BERLALU LINTAS

DALAM PANDANGAN ANTROPOLOGI DAN PSIKOLOGI

NAMA : RAIHANAH

NIM : 105120307111052

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSTAS BRAWIJAYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberi kita banyak karunia
dan nikmat yang tak terkira hingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini.
Shalawat dan salam juga semoga terus tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhamad SAW yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang
teang benderang seperti saat ini.

Tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen


pengampu mata kuliah yang telah member kami tugas ini, sehingga penulis
mampu memahami bagaimana masyarakat kita dalam berlalu lintas.

Semoga makalah yang telah disusun ini dapat bermanfaat bagi semuanya
dan bagi penulis pada khususnya. Penulis menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik benar-
benar diharapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.
I. PENDAHULUAN

Perilaku berlalulintas masyarakat kita buruk. Cara menggunakan jalan dalam


berlalulintas adalah cermin dari budaya bangsa. Kesantunan dalam berlalu lintas
yang dilakukan adalah potret kepribadian diri yang sekaligus menggambarkan
budaya bangsa. Kalau buruk cara kita berlalulintas maka buruklah kepribadian kita
dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya budaya bangsa.

Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya pelanggaran


terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh perilaku berlalu lintas
yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun menggunakan jalan raya.
Sebagai akibat lanjutannya, angka korban kecelakaan lalulintas dari tahun
ketahun meningkat seiring dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas itu
sendiri.

Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan
lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. Tahun 2009,
lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen dari jumlah
korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.

Bagaimana masyarakat kita berlalulintas dapat di lihat dari berbagai aspek,


termasuk aspek antropologi dan psikologinya. Oleh karena itu, penulis mencoba
membahas masalah ini dari aspek tersebut.

II. PEMBAHASAN
Kedewasaan dalam berlalu lintas dicerminkan oleh keberanian untuk berkendara,
tidak ragu-ragu, dan merasa yakin dengan apa yang dilakukan saat berkendara.
Akan tetapi keberanian tersebut juga seharusnya diimbangi oleh kesadaran
bahwa lalu lintas adalah sebuah ruang publik.

Seyogyanya pengguna lalu lintas dewasa juga mempertimbangkan kepentingan


orang lain dan menjalani peraturan lalu lintas sesuai dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku. Hal ini akan menciptakan situasi 'win-win', karena si
pengendara dapat sampai ke tujuan bukan hanya dengan selamat tetapi juga
dengan tenang karena tidak mengusik kepentingan orang lain. Dan, orang lain
juga dapat sampai di tempat tujuan mereka dengan selamat dan senang.

Keberanian yang tinggi dengan pertimbangan yang rendah akan menciptakan


kemenangan bagi pengendara tetapi kekalahan bagi orang lain. Berani melawan
arah, berani melanggar rambu lalu lintas, berani memotong jalan kendaraan lain
(adu cepat memasukkan hidung kendaraan), berani untuk membelokkan
kendaraan tanpa menyalakan lampu isyarat, berani menjalankan kendaraan di
atas batas kecepatan dan masih banyak contoh lainnya.

Betul, si pengendara akan cepat sampai di tujuan mereka. Akan tetapi perilaku
tersebut sudah mengorbankan orang lain. Bahkan mungkin mencelakakan orang
lain. Situasi yang tercipta adalah 'win-lose', karena si pengendara tersebut
menang. Dapat sampai ke tujuan dengan cepat tetapi di atas penderitaan orang
lain.

Mungkin si 'korban' hanya dapat bersumpah serapah terhadap kelakukan si


pengendara tersebut. Kalau setiap hari si pengendara melakukan ini bagaimana
rasanya hidup dalam sumpah serapah orang lain?

Pertimbangan yang tinggi tetapi dengan keberanian yang rendah juga tidak
memberikan hasil yang efektif. Misalnya, si pengendara ada di persimpangan
jalan yang tidak diatur oleh lampu lalu lintas. Berdasarkan perhitungan kecepatan
seharusnya dia bisa melintasi persimpangan tersebut. Tetapi, tidak dilakukan
karena takut akan membuat kendaraan yang melintasi harus mengurangi
kecepatan. Akibatnya, kendaraan yang di belakangnya juga tidak bisa melaju. Ikut
tertahan akibat ketidakberanian si pengendara tersebut.

Satu, dua, tiga kendaraan menumpuk di belakangnya, dan pada akhirnya


mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Atau seorang pengendara sepeda motor,
yang berhenti di lampu merah di desak oleh kendaraan lain yang tidak sabar.
Karena dia tidak ingin melanggar lampu merah, tetapi juga tidak berani untuk
tetap berhenti di lajurnya dengan tenang menunggu giliran lampu hijau. Akhirnya
memipirkan sepeda motornya, memberikan jalan kepada orang lain dengan
gerutu di dalam hati.

Si pengendara ini kalah. Orang lain yang menang sehingga situasinya menjadi
'lose-win'. Atau ekstremnya, seorang pengendara berjalan dengan kecepatan
sangat rendah, dan meminggirkan kendaraan setiap ada yang mau menyalip
kendaraannya. Terus kapan mau sampai di tujuan?

Yang terakhir, adalah ketika baik keberanian maupun pertimbangan kedua-


duanya rendah. Yang akan diciptakan oleh situasi ini adalah mental ikut-ikutan.
Bahkan, ketika yang dilakukan adalah sesuatu yang salah.

Contohnya, si pengendara mengetahui bahwa lampu merah adalah tanda untuk


berhenti, sehingga dia berhenti. Akan tetapi, karena kendaraan di depannya
memutuskan untuk jalan terus, si pengendara memutuskan untuk mengikuti
kendaraan tersebut dan melanggar lampu merah.

Apalagi karena di belakangnya kendaraan lain juga memberi klakson meminta


jalan. Si pengendara tidak berani untuk membuat sebuah pendirian yang
diketahuinya, dan kemudian memutuskan untuk mengganggu kepentingan orang
lain (mungkin pejalan kaki yang menyeberangi jalan).

Buat saya, ini adalah kelompok yang sangat berbahaya dan harus banyak
diberikan perhatian. Sangat banyak pelaku pidana yang mengaku melakukan
tindak pidana tersebut karena sekedar ikut-ikutan teman atau takut untuk
dibilang tidak setia kawan.

Pada akhirnya, si pelaku terpaksa harus menjalani hukuman atas sesuatu


perbuatan yang tidak sesuai dengan kata hatinya, dan turut menjadi korban atas
perbuatannya. Situasi menjadi 'lose-lose'. Artinya semua pihak menjadi kalah.
Orang lain dan diri sendiri yang kemudian menjadi korban.

Batas minimal umur untuk dapat memiliki SIM (UU No 22/2009) adalah 17 tahun.
Dasar pemikirannya adalah, seseorang seharusnya sudah memiliki kedewasaan
yang cukup untuk dapat mengendalikan kendaraannya. Atau berdasarkan definisi
kedewasaan di atas orang tersebut dianggap sudah memiliki keseimbangan
antara keberanian dengan pertimbangannya.

III. PENUTUP
KESIMPULAN

Dari aspek antropologi, masyarakat Indonesia dalam berlalulintas masih


sangat memperihatinkan, kita masih termasuk masyarakat yang tidak
bisa taat kepada aturan yang telah ada, dan cenderung tidak menyadari
bahwa jalan raya adalah jalanan umum untuk kepentingan orang
banyak.

Dari aspek psikologi, dalam berlalulintas, kita cenderung mementingkan


kepentingan pribadi, tanpa memikirkan kesalamatan dan kenyamanan
pengendara lainnya. Kita belum benar-benar awas dan kesadaran
diskursif kita, yang seharusnya muncul otomatis saat ada lampu merah,
atau dalam menyalakan lampu saat akan belok masih sangat minim.

Peran aparat keamanan atau polisi lalu lintas harus benar-benar di


maksimalkan, karena ternyata masyarakat kita masih membutuhkan
tindakan langsung atau ancaman untuk mematuhi suatu peraturan yang
ada. Bimbingan dan penjelasan tentang bagaimana berlalulintas yang
baik, akan membantu, apalagi di kalangan remaja dan mahasiswa.

You might also like