Professional Documents
Culture Documents
Kitab Solo
Kitab Solo
Oleh
Arswendo Atmowiloto
Diterbitkan
PEMERINTAH KOTA SURAKARTA
Badan Informasi dan Komunikasi
Jalan Jenderal Sudirman 2 Surakarta
LUAX MAWARDI
termasuk nama Solo itu sendiri, upaya menggiatkan anak-anak bersekolah dengan
membangun Taman Sriwedari, atau menyebut nama sungai terbesarnya Bengawan Solo—
pun ketika air sungai itu mengalir sampai Jawa Timur, sampai dengan stadion sepak bola
menemukan bentuknya. Kalau dikatakan sangat ruwet, itu semata-mata karena idiom- Melihat ke arah belakang, sebenarnya bukan hanya nama orang, melainkan, jika
idiom yang melatar belakangi penamaan itu tak sepenuhnya diketahui. Padahal dengan kita melihat nama kampung yang ada. Untuk tidak terlihat Kasunanan sentris, kita
nama, Atmolelewa, semuanya telah terjelaskan. Jauh lebih dahulu dengan nomor sosial ambil dua nama kampung yang ada dalam wilayah Mangkunegaran.
atau nomor kartu tanda penduduk, atau kartu kredit sekali pun. Sebuah identifikasi · Nama kampung Setabelan dan kampung Kestalan.
yang, bia dikatakan, sempurna. Syahdan pada zaman dahulu, daerah di sebelah utara Keraton Mangkunegaran,
Yang jauh lebih menarik adalah bahwa pakem penamaan ini sangat baku, akan tapi sekitar 300 meter dari Kali Pepe, ada alun-alun yang lebar, luas. Dibelah oleh jalan
juga terbuka kemungkinan yang dinamis. Misal, ini hanya misal, saya berhasil terbuka, arah ke stasiun Solo Balapan. (Masyarakat menyebut lengkap sebagai stasiun
menyunting Putri Keraton, pangkat dan nama saya berubah. Status sosial dan keberadaan Solo Balapan, dan bukan Balapan saja). Di sebelah barat, adalah prajurit “dragonder”
saya menjadi berbeda. Hal yang sebenarnya juga sudah terjadi, ketika cucu lurah , pasukan berkuda, lengkap dengan kestal, atau kandang kuda. Penempatan di situ
mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung. merupakan perpindahan dari depan pura Mangkunegaran, sekitar tahun 1784. dari
Dengan adanya dinamika ini kemungkinan menjadi terbuka lebar. Bukan hanya untuk nama istal, atau kestal inilah lahir nama Kestalan, dan menjadi kampung Kestalan.
bersangkutan, yang mendapat nama dan pangkat atau identitas baru, melainkan juga Sedangkan di sebelah timur digunakan sebagai asrama oleh prajurit meriam, yang
istrinya—atau juga sebaliknya, suaminya, sampai ke anak turun. Secara bercanda saya dalam lidah Jawa disebut setabel. Dari sinilah kemudian ada nama Kampung Setabelan.
pernah mengatakan bahwa suatu hari nanti, seluruh Indonesia ini akan mempunyai Alun-alun itu sendiri kemudian didirikan perumahan elit pada masa itu, dengan
gelar, mempunyai pangkat tinggi. Bahkan bisa jadi seluruh dunia. Baik karena pemberian bangunan loji, diberi nama Villapark, sebelum, kemudian berubah lagi menjadi
gelar atau karena perkawinan. Banjarsari.
di mana para bawahan sowan ke pusat bedhug. Sehingga diawalinya dengan alat musik bonang, kemudian disampung dengan
demung, untuk menjadikan orkestrasi.
Keraton saat tahun baru, menurut Dengan kata lain, bukan sekadar memindah seperangkat gamelan ke halaman masjid
semata, melainkan juga penyesuaian dengan penambahan dan penggantian beberapa
kalender perhitungan Jawa. Kemudian peralatan, termasuk yang utama, yaitu kendang.
Ada perubahan mendasar, namun juga masih bersinambungan dengan sebelumnya.
ketika pengaruh Islam masuk dan Gendhing Rambu atau Bangkung yang dipersembahkan di hari pertama misalnya,
mempunyai makna tersendiri. Demikian juga iramanya untuk gendhing yang lain. Dengan
menguat, tradisi ini mengalami legitimasi para niyaga, yang memainkan gamelan berbeda untuk di panggung selatan dan
utara, dengan laku puasa sebelum memainkan—dan juga selama memainkan, dengan hanya
perubahan. Waktu yang tepat bukan lagi ditampilkan satu tahun sekali, semua menuju ke arah standar yang ditetapkan. Dan diberikan
sebagai yang terbaik.
tahun baru, melainkan saat Maulud Nabi. Pasamuan Sekaten tidak hanya terdiri dari upacara resmi semata. Melainkan, pada saat
yang bersamaan, di Alun-alun Utara, sebelah timur masjid, juga ada kegiatan yang dikenal
Tema dan inti kegiatan pun bergeser. dengan Pasar Malam. Di sini segala kebutuhan pasar, segala kemampuan ekonomi
masyarakat menemukan bentuknya. Segala apa yang tak biasa dijual ada di situ, dan semua
Lebih kepada syiar agama Islam. pembeli datang dari berbagai daerah. Benar-benar menjadi kegiatan yang positif, di mana
syiar agama berlangsung, adat istiadat Keraton dilestarikan, dan roda perekomomian
Pada titik ini, menjadi pasamuan. Unsur budaya lokal diberi tempat, dengan masuknya masyarakat digerakkan.
gamelan. Yang diciptakan secara khusus dan hanya diperdengarkan untuk saat itu. Bahkan Sekaten adalah peristiwa yang indah, gabungan kegiatan spiritual, legitimasi Keraton,
kemudian diberi panggung khusus. Nama-nama gendhing dan tata kramanya pun bukan serta dinamika pasar. Semuanya dikemas dalam satu pasamuan, tanpa menghilangkan atau
gendhing yang biasa diperdengarkan. Serentak dengan dinamika ini, peralatan gamelan merendahkan satu dengan yang lain.
pun mengalami perubahan. Ukuran kayu yang dipergunakan lebih besar, sehingga terdengar Seluruh masyarakat ikut merasakan, ikut merayakan, tanpa terganggu dan saling
nyaring. Perangkat gamelan seperti kendang—juga kethuk, kenong, kempul, menjadi surut, mengganggu.
serta tak ada irama suwukan. Sekaten adalah bukti kreativitas kompromi yang luar biasa nenek moyang kita, yang
Padahal dalam karawitan Jawa, kendang memegang peran sangat penting. Karena alat begitu arif, begitu cendekia bisa mempersatukan antara lahir dan batin.
ISTIMEWA
Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu aneh, karena tokoh Punakawan ini mengatasi
masalah waktu. Rasanya tak ada lakon dalam wayang yang dipertunjukkan, terjadi masa
Kelihatannya sekilas ini hal yang biasa.
kerajaan mana pun, tidak memunculkannya. Semar, juga para Punakawan
Dinamika adanya tokoh wayang yang lebih “baru”, bisa ditunjukkan adanya tokoh
Namun bentuk-bentuk baru jauh
bernama Butho Cakil atau Gendir Penjalin. Tokoh raksasa kurus yang rahang bawahnya melampaui zamannya ketika sekarang
lebih panjang dari rahang atas, yang selalu bergerak dan bicara cepat seperti penyiar
televisi ini, juga ada di kisah Ramayana maupun Mahabarata. Seorang ahli dengan mudah ini kita mengenal istilah sequel dari
bisa menjelaskan sejak kapan tokoh Cakil ini mulai tampil dalam pertunjukkan, hanya
dengan menfasirkan nama, ketemu tahun “kelahirannya”. Buto Cakil dalam sengakalan sebuah lakon—dalam film ataupun
berbunyi Tangan Jaksa Satataining Jalma, atau berarti 1552 tahun Jawa, atau 1670 Masehi.
Demikian juga dengan “kakaknya, yang lahir belakangan”, yang bernama Buto Rambut
televisi, dalam sinetron atau sinetron
Geni—yang model rambut kribo mendahului ratusan tahun sebelum dipopularkan para
rocker, memakai sengakalan Urubing Wayang Gumulung Tunggul, atau berarti tahun
seri. Atau juga ketika bentuk banjaran
Jawa1553, setahun setelah tokoh Cakil diintrodusir.
Saya hanya mengambil contoh sekenanya berdasarkan ingatan, dan bukan
tak ditemui di dalam pakem. Karena tak
membicarakan wayang itu sendiri. Terutama mengenai proses kreatif yang berlangsung pernah ada judul yang mengisahkan
dan berkembang.
riwayat hidup seorang tokoh.
Bukan hanya dari tokoh, melainkan juga dari
pakem, atau babon, atau lakon-lakon yang Perubahan bentuk tampilan—termasuk waktu pementasan, pastilah membawa
perubahan mendasar yang lain. Yang pada gilirannya, akan membuka berbagai
demikian baku. Bentuknya pun berubah banyak, kemungkinan kreatif, ke arah penciptaan baru, lebih baru, dan lebih baru lagi.
sehingga di sini lahir lakon-lakon carangan— Saya hanya mau menekankan, ketika diintrodusir tokoh Cakil dalam wayang kulit,
sequel tarian Bambangan—pertarungan Cakil dengan ksatria Bambang, bisa berdiri,
pengembangan sendiri dengan tokoh-tokoh yang bisa dinikmati sendiri, sebagai pethilan.
Inilah roh sesungguhnya dari kebudayaan, sehingga tak pernah mati.
sama, atau model banjaran—kisah biografis Sehingga selalu nitis, selalu tumimbal lahir.
seorang tokoh. Inilah spirit of Java.
Agaknya apa yang saya utarakan, juga naskahnya kemudian dimuat di Kompas Jakarta
Salah satu
kegiatan macapatan
yang berlangsung KITAB SOLO 80 KITAB SOLO 81
di Keraton
menimbulkan polemik. Beberapa pengarang mengatakan saya sebagai Anggada, tokoh
kera dari barisan Rama yang kemudian berpihak ke lawan, Rahwana. Saya dituduh
mbalela—jauh sebelum istilah itu menjadi popular.
yang mewadahi.
Mentakjubkan bahwa kegiatan seperti ini masih ada,
juga di luar tembok Keraton, sampai ke perguruan tinggi.
FOTO: LUAX MAWARDI
KITAB SOLO 82 KITAB SOLO 83
Jumat Kliwon
Roh Jawa dengan segala pergulatan yang kreatif dinamis, antara lain tercermin dalam
penentuan kalender, dalam menyebut hari. Misalnya Jumat Kliwon.
Pada awalnya kalender masyarakat Jawa, memakai siklus sepekan berarti lima hari.
Paing, Pon,Wage, Kliwon dan Legi. Dasar perhitungan itu tergerus oleh perhitungan
kalender dengan sistem lain, sehingga yang dipergunakan adalah perhitungan hari
Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Secara teori, sebutan hari-hari
yang berjumlah tujuh ini dipakai di sedluruh dunia, dan masyarakat Jawa pun tak bisa
mengelak. Secara teori pula, nama-nama hari Jawa musnah. Tak berlaku lagi.
Nyatanya tidak.
Sebutan hari pasaran Jawa masih hidup. Masih dipergunakan, dengan cara menempel
pada kalender matahari. Sehingga ada sebutan untuk Jumat Kliwon, atau Jumat yang
lain. Serentak dengan itu varian hari mungkin hanya lima, bukan hanya tujuh,
melainkan… 35 hari. Setiap 35 hari, siklus Jumat Kliwon akan ada lagi.
Dengan sangat jenius, nenek moyang kita merumuskan sikap yang luar biasa. Pada
satu titik, tak mungkin melawan “kalender matahari” yang dipakai di seluruh dunia,
pada titik lain tak mau begitu saja kehilangan “kejawaannya”. Tidak mungkin juga
melawan secara konfrontatif dengan ngotot mempertahankan perhitungan pasaran. Yang
terjadi adalah kreativitas kompromi, sehingga hari pasaran masih menempel terus,
dipergunakan terus. Dan sebutan itu hilang karenanya.
terciptakan.
“Seni di Solo itu tak ada matinya.”
Ngandel… nyatanya ora ana kuburan seni..
Cong!
Benar-benar nglithik-lah.
So…bakso…
Matur nuwun pak dokter, bahkan kata ini pun bisa jadi hanya diucapkan dalam hati.
yang menghidangkan makanan khas ini, termasuk nasi liwet dan .. nasi goreng.
Maka saya sempatkan datang ke Gladag Langen Bogan, sebuah food court di ujung
jalan Slamet Riyadi—jalan protokal utama. Malam itu—bukan “malem Minggu”, karena
RUANG PUBLIK
Untuk sebuah pusat jajanan, syarat utama adalah : variasi jumlah makanan yang
tersedia, kebersihan, kenyamanan, harga yang relatif murah, dan suasana yang
menyenangkan, bisa untuk bersantai.
Untuk soal kebersihan, saya melakukan “inspeksi” dengan melihat air bersih yang
dipergunakan, dan ternyata ada air pam yang mengalir. Pada beberapa tempat air untuk
mencuci piring dan gelas biasanya seadanya. Untuk kenyamanan tak kalah dengan kota-
kota lain di kawasan Asia Tenggara. Tak ada pengamen, tak ada peminta-peminta, juga
tak ada pedagang asongan, yang bernada memaksa. Di Bangkok, sebagai perbandingan,
tempat untuk pengamen disediakan di salah satu sudut—sehingga tidak menganggu.
Yang saya dengar di sini, para pengamen ke daerah pertokoan pun memiliki hari-hari
ngamen tertentu. Juga untuk pengemis. Penataan ini termasuk sangat bagus—bagus
untuk pengamen maupun dingameni—dan sama-sama menguntungkan.
SUMBU SRAWUNG
Malam makin larut, pengunjung tak juga surut.
Langkah terus berlanjut, dan benar saja, tanpa rencana tanpa agenda, di salah satu sudut
bertemu dengan Rudy, Wakil Wali Kota, yang kumisnya menawan dan nampak masih segar.
F.X. Rudy Hadiatmo memang selalu terlihat segar, semangat, dengan berbagai kesibukan
yang seabrek. “Untuk menyelesaikan persoalan, tidak butuh waktu lama.” Itulah yang pernah
dikatakan pada pertemuan lain. Wakil wali kota yang menolak menempati rumah dinas,
dan menolak menerima santunan untuk rumah dinas, serta memilih menempati rumah
lama yang kadang masih terkena banjir ini, memang dikenal “berada di mana-mana”, dari
tingkat RT hingga RW. Ia sendiri pernah menjabat sebagai ketua RT di usia 21 tahun, menjabat
secara berturut-turut. Dan aktif di organisasi yang membuat terus bergerak.
Malam itu saya sempat bertanya, apakah sedang mengkontrol sesuatu yang gawat.
Dijawab melakukan kerja rutin, karena mendengar ada remaja mabuk di hari-hari
sebelumnya. Suatu antisipasi yang terkoordinir, juga bentuk komunikasi dini yang selama
ini terbukti ampuh. Duetnya sebagai pimpinan, sehingga media menyebutkan dalam satu
FOTO ICHWAN GEMBENG
Wakil walikota, F.X. Rudy Hadiatmo tarikan napas—Jokowi-Rudy,— termasuk utuh dalam menciptakan komunikasi antar warga.
memimpin upacara pemberangkatan kirab budaya
boyongan PKL di Monumen’45 Banjarsari
London Lebih artistik, lebih menarik dari sekadar bendera kuning—yang pada masyarakat
tertentu berarti bendera tanda adanya kematian.
Di Bangkok, saya sadar bahwa gambar, simbol, segala apa telah berubah. Juga
Saya pernah ke Inggris, bersama istri, di awal karier sebagai penulis. Sebenarnya
saya nebeng, karena yang diundang adalah istri saya. Ini pertama kalinya naik pesawat pengertian akan Keraton, atau raja. Meskipun tak mengurangi kemungkinan bahwa
dua negeri itu masih bisa meneriakkan kecintaan kepada raja.
terbang—selain pertama kali ke luar negeri. Mengatur jadual penerbangan dari Solo
Tapi, kalau kita kembalikan di sini, ke raja yang mana?
saja susahnya minta ampun—yaaaah, terutama karena tidak mengerti. Di London yang
Pertanyaan yang akan terus tergema. Mungkin agak lama.
dingin untuk ukuran “wong Solo”, walau sudah mengenakan jaket tebal, terasakan betul
Dalam satu diskusi di radio BBC, kami bertuikar pikiran. Kurang lebihnya kenapa
pengaruh Keraton Inggris ini. Bukan hanya istananya—kita berpotret pun di luar pagar,
raja-raja di Eropa—termasuk Belanda, masih bertahan, sementara di Jawa hancur? Tak
melainkan juga dalam keseharian. Simbol-simbol Keraton terlihat di mana-mana,
usah heran kalau orang Indonesia yang ada di sana menjadi kritis—kadang juga sinis,
sebagian menjadi barang souvenir.
akan keadaan di Indonesia. Kadang “wong Solo” sendiri juga begitu ketika baru berada
di Jakarta.
Dari segi makna symbol, Dari semua perbantahan saya menjawab : sebenarnya di Inggris, atau Belanda masih
sebenarnya tak jauh berbeda. bertahan, karena yang memerintah adalah ratu, bukan raja. Kalau saja Keraton-keraton
di Jawa diperintah oleh ratu, pasti akan lebih luwes dan bertahan terus.
Lambang Keraton, wapen, coat of arms, Nyatanya begitu.
Ratu?
mirip dengan logo Kasunanan. Radya Tak ada keturunan Mataram yang menjadi ratu.
Padahal ada.
Laksana Surakarta yang memakai simbol Yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kidul, yang sedemikian unggul kisahnya, sehingga masih
Sura , matahari, Sasangka, rembulan terus tergemakan hingga saat ini. Dengan segala pandangan yang mempercayai, sangat
mempercayai, meragukan, menyepelekan, memusuhi. Sikap apa saja.
Sudama, bintang, di bawah satu mahkota. Itu sebabnya masih terus bertahta, masih terus ada.
Dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan di Loji Gandrung – tempat kediaman
resmi Wali Kota, ada yang bertanya apa sebaiknya yang menjadi ikon kota Solo. Selama
ini sudah ada beberapa kesepakatan, dan itu benar adanya.
Batik. Solo memang pernah dijuluki kota batik, dan sebagai pusat kegiatan, produksi
dan penemuan motif-motif baru masih berlangsung.
Keris. Solo memang identik dengan keris—yang kalau dibahas tak akan pernah habis.
Bahkan kata “keris” itu sendiri bisa menghabiskan waktu panjang.
Rajamala. Patung kepala raksasa yang dipasang di atas perahu Keraton yang sangat
khas dan dianggap keramat.
Sego liwet. Makanan khas Solo bukan hanya nasi liwet melainkan juga tongseng, juga
tengkleng, juga serabi, juga timlo, juga dan lain sebagainya. Ada puluhan nama makanan
yang dianggap khas.
ISTIMEWA
sekaligus kanjeng, merupakan sosok yang terbuka. Karena dinamika yang terkandung kisahnya berlanjut ke Sultan Agung dan kepada raja-raja anak keturunannya yang
di dalamnya. Mulai hari riwayat yang dituturkan, sampai dengan pemahaman terhadap mempermaisurikan— memang begitulah kisahnya.
beliau. Kontroversi yang akan selalu muncul, justru karena begitu terbukanmya tafsiran Konon kepermaisurian ini hanya sampai dengan Paku Buwono X. Dari sini Ratu Kidul
juga penerimaan. Rasanya tak ada tokoh lain yang begitu sempurna dalam membuka bergeser perannya, menjadi ibunda, karena menyebut sinuwun dengan sebutan ngger,
wawasan seperti beliau. kependekan dari angger, sebutan untuk anak—adalah legitimasi yang tidak mengganggu
Bahwa banyak kisah tentang putri ratu yang kelewat cantik dan “terbuang” ke Laut siapapun. Bahwa seorang Pramudya Ananta Tour, pengarang besar yang menuliskan
Selatan, tidak hanya ada di Jawa Tengah. Di tanah Pasundan kisah ratu cantik yang ini sebagai pembodohan masyarakat, tidak mengurangi kebesarannya. Sebagaimana
berpenyakit kulit dan “bunuh diri” ke laut juga ada, sebelum akhirnya menjelma menjadi juga banyak karya besar yang lahir dari inspirasi tokoh dan kisah yang sama. Baik dalam
putri cantik jelita. Bahwa kadang dicampur adukkan dengan Nyi Blorong atau tarian adi luhung yang sangat terkenal, Bedaya Ketawang, yang hanya dipanggungkan
sejenisnya—menyerap kisah manca negara ala ikan duyung, di mana di sini bagian bawah setahun sekali, atau juga dalam karya lukis seperti Basuki Abdullah. Bahwa sampai
tubuh adalah tubuh ular, atau ada yang membedakan antara Ratu Kidul dengan abdinya detik ini pun, masih ada ratusan blog di internet, bukan hanya dari dalam negeri, tetap
yang bernama Nyi Roro Kidul—atau ada abdi-abdi lain lagi, tidak mengurangi ramai dikunjungi peminat. Baik yang menceritakan pengalaman pribadi, menggali
keberadaannya, sekaligus keterbukaan untuk dikreatifkan kembali. Bahwa dengannya mithos-mithos, sampai dengan yang tak terkirakan. Bahwa ada komunitas tertentu yang
dikaitkan segala yang gaib, tak masuk akal, gugon tuhon, mistik, tidak rasional, klenik, memerangi, yang ingin menghapus takhayul terhadapnya, menandai keberadaannya.
memang di situlah yang menjadi salah satu daya tarik. Bahwa masih akan ada selalu perbincangan seru, menandai keberadaannya. Atau ketidak
beradaannya. Bahwa ini sudah berlangsung sejak abad 16 tanpa henti, menandai
Bahwa dengan memilih ikon “seorang” tokoh dinamika yang menyertai.
perempuan adalah pemihakan jender, itulah Bahwa, pada akhirnya ini sebuah permulaan,
keunggulan, juga keberanian mengakui peranan bagaimana pertarungan antara yang rasional
perempuan yang menentukan. dengan klenik menemukan bentuknya, juga
Juga bukan kebetulan bahwa kehadirannya sejak awal, dalam dongengan yang
bagaimana menemukan harmoni baru. Bagaimana
terdengar di Solo, beliau bukanlah putri yang sakit ragawi atau patah hati, melainkan yang serba lahir, serba wadag, bersinggungan
karena keinginannya menjadi abadi, dan itu hanya dimungkinkan dengan menjelma dengan dengan yang serba batin, serba rasa, serba
sebagai makhluk halus—atau apapun sebutannya. Bahwa pemunculannya pertama
menemui Panembahan Senopati, untuk ikut menjaga tanah Jawa dan menjagai anak
alam pikiran. Begitulah kompromi dalam
cucu semuanya, adalah berawal dari niat baik untuk memayu hayuning buwana. Bahwa parakdoksal terus berlangsung.
KITAB SOLO 160 KITAB SOLO 161
Inilah dinamika
yang masih akan bisa digali
dari Gusti Kanjeng Ratu Kidul
sebagai inspirasi, sebagai tafsiran,
sebagai perlawanan mengemohi,
yang kesemuanya
menjadikan tetap ada,
tetap hidup, tetap tak berhenti.
Solo, memiliki dinamika yang sama.
Berarti Ratu Kidul menjadi ikon Solo?
Dalam dinamika yang ada, bisa iya, bisa tidak. Bisa resmi, bisa pula tidak. Inilah
yang akan selalu terjadi. Tak ada satu pengertian, satu tafsiran, dan berhenti di situ.
Sebagaimana juga sang ratu penguasa laut selatan, yang angin asinnya bertiup sampai
ke daratan. Sebagaimana sarang burung walet yang dinikmati jauh dari tempat asalnya,
di antara karang terjal sunyi sekaligus bergelora oleh debur ombak. Sebagaimana
pantangan mengenakan pakaian hijau, gadhung mlati, bisa dipatuhi bisa pula tidak.
Sebagaimana adat melarung di laut, sebagaimana adat lainnya, bisa dijalankan dengan
gempita atau perorangan. Semua tak pernah menghilangkan keberadaan Ratu Kidul
sebagai ikon yang terbuka.
ISTIMEWA
Sangga Buwono
Salah satu tempat peraduan Ratu Kidul dengan para raja di Kasunanan adalah
Panggung Sangga Buwono. Bangunan setinggi 30 meter yang dibangun masa Paku
Buwono III ini strategis untuk melihat ke arah benteng-benteng Belanda di arah utara,
juga ke selatan, ke laut selatan di mana Ratu Kidul bertahta.
Bangunan ini ditandai berdirinya dengan Naga Muluk Tinitihan Janma, atau berarti
1708 tahun Jawa, 1198 tahun Hijriah, 1782 tahun Masehi. Pada bagian atas ada hiasan
sosok manusia mengendarai naga yang tengah memanah. Ujung panahnya, juga
bagian dari penangkal petir. Sosok pemanah di atas naga itu sendiri bisa diartikan
sebagai Tri Buwono Kiblat, atau kalau dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1945.
Tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan itu sudah menjadi ramalan, menjadi
perhitungan, jauh sebelumnya, ketika pasukan Belanda masih sangat berkuasa.
Kebetulan?
Gothak-gathik, gathuk—dipas-paskan sehingga pas?
Ini semua bukan pertanyaan dengan satu jawaban pasti.
Barang kali jawabannya justru pertanyaan itu sendiri.
Dan ketika pertanyaan adalah jawaban, ketika itulah kita memasuki wilayah yang
sesungguhnya—sangkan paraning dumadi, kembali ke asal penciptaan.
Hanya dengan menyebut nama Ratu Kidul, semua asal usul, semua pemikiran
dimungkinkan untuk muncul, dan lebih penting dari semua itu : dialog berkelanjutan,
rerasan bisa terus terjadi.
Dalam berbagai bentuknya.
Taman Balekambang, sebuah kenangan, tapi sekaligus juga kebangkitan. Barang kali
bisa menjadi potret bagus bagaimana perubahan dan tuah pembangunan berlangsung.
Dibangun pada tahun 1921 oleh Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII untuk dua
putrinya— yang dijadikan nama bagian dari taman, Partini Tuin serta Partinah Bosch, —
sebagai tempat hiburan yang menawan. Dengan konsep penghijauan, juga rekreasi dan
hiburan. Pertunjukkan ketoprak pernah berjaya di sini—dan masih dirindukan. Grup lawak
tenar Srimulat, juga pernah memakai tempat ini sebelum—dan sesudah, berjaya di Jakarta.
Teguh Srimulat bukan warga asing untuk Balekambang, karena sejak masih grup ketoprak
bernama Sri Bedoyo, telah berkarier di situ. Ini bisa menunjukkan bahwa pertalian emosi
masa lalu, bisa berlaku.
para tamu undangan dengan seabrek acara di beberapa tempat. Salah satunya di
lain. Harus segera saya tambahan, keberhasilan ini bisa berasal dari inisiatif satu orang,