Professional Documents
Culture Documents
MARJO benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seluruh kota didapatinya
tanpa tulisan, tanpa huruf. Kosong. Di jalan-jalan tak lagi ia temui papan reklame, pamflet,
spanduk, terlebih lagi, kertas. Sebelumnya, ia terkejut mendapati dirinya berada di antara puing-
puing reruntuhan sebuah bangunan. Tadinya ia menganggap pastilah suatu gempa dahsyat telah
terjadi kala dirinya tertidur pulas. Ia panjatkan puji syukur kepada Tuhan karena ia masih diberi
nyawa. Lalu kemudian ia ingat anak-bininya. Bagaimana nasib mereka? Ia coba cari, namun tak ia
temukan. Dan ketika keluar, ia dapati pemandangan ganjil itu. Sebuah kota yang lain saat sebelum
Dimana aku?, pikirnya. Rumah tempat dimana ia tidur tadi, ia temukan telah menjadi
bangunan tua yang sudah bobrok. Gardu listrik yang semestinya tegak tak jauh di depan
rumahnya, kini ia dapati sebagai hotel tua dan kusam tanpa satu pun manusia di dalamnya.
Kebun singkong yang seharusnya masih tumbuh subur di belakang rumahnya, kini ia dapati
sebagai WC umum dengan bau menyengat tanpa setetes air pun. Semuanya berubah. Berbeda
jauh ketika ia hendak tidur tadi, ketika semuanya masih normal. Ia ingat istrinya masih menanak
nasi di dapur. Anak-anaknya masih memelototi atraksi goyangan artis berbusana minim di
televisi, di ruang tengah. Pun, suara-suara kambing miliknya di kandang masih mengembik
seperti hari-hari biasanya. Tapi kini semuanya berubah. Semua tempat menjelma bangunan dan
jalan yang sama sekali tak ia kenal. Ia gosok kedua matanya, barangkali ia masih mimpi. Tapi
kenyataannya tidak. Ini benar-benar riil. Kini ia benar-benar berada di sebuah tempat lain.
Dengan setumpuk pertanyaan di kepala, dan kebingungan yang melanda pikiran, ia susuri
jalanan dengan terbengong-bengong. Sejauh mata memandang, yang ia dapati hanya kekosongan.
Sampah-sampah berserakan. Bau amis darah pun ia cium sejak tadi. Apa yang sudah terjadi
Setelah lelah dan hampir putus asa berjalan dan tak menemukan seorang manusia pun,
samar-samar dari kejauhan ia melihat ada pergerakan kecil. Ia tajamkan pandangannya. Sosok
kerdil berjalan tak karuan, seperti orang mabuk. Bergegas Marjo mempercepat langkahnya ke arah
sosok tersebut. Setelah dekat, ia dapati seorang tua dengan rambut gondrong, jenggot lebat acak-
acakan tak karuan, pakaian dekil, dan sebotol minuman tanpa label di tangannya. Bau busuk
"Nhaaaa!! Akhirnya aku temukan juga ada orang lain di sini, hiks... huahahaha!!!," orang
tua itu berteriak keras setelah menyadari Marjo ada di depannya. Marjo segera mengambil posisi
hati-hati, takut-takut kalau orang tua di depannya itu adalah orang yang tak lagi waras setelah
sebelumnya ia sendiri kaget bukan main mendengar teriakan orang tua yang tiba-tiba itu.
"Haks... haks...!! Kau jangan takut begitu, anak muda... Aku bukan orang gila, kota inilah
yang gila... Huahahahaha...!!! Hiks!," kata orang tua itu dengan suara serak sambil kembali
meneguk minumannya, kemudian bersandar pada sebuah tembok, menggelosor, lalu duduk.
Marjo sedikit mulai merasa bahwa orang tua di hadapannya tidaklah berbahaya. Justru ia
terkejut pikirannya bisa ditebak. Ia harus cepat-cepat menanyakan sesuatu pada orang tua itu. Ia
"Pak Tua, sebenarnya ini dimana? Kota apa ini?!," tanya Marjo dengan suara pelan. Orang
yang dipanggilnya Pak Tua itu hanya mengernyitkan alis. Lalu tawanya meledak. Marjo langsung
berpikir, bahwa ia harus meralat anggapannya tadi. Sudah jelas orang tua di hadapannya adalah
seorang yang sinting. Ia berdiri, dan sudah hendak pergi ketika ia dengar orang tua itu menyahut.
sambil menatap langit dengan mata berbinar. Marjo masih berdiri dengan pandangan tak
mengerti. Tiba-tiba pandangannya membentur sebuah kertas kumal yang tersembul di salah satu
saku pakaian kumal orang tua itu. Dengan cepat Marjo menyambar kertas tersebut. Tertera
berbagai angka dengan kotak-kotak di sisinya. Matanya tak percaya. Orang tua itu sedikit kaget,
"Ini... kalender tahun sekarang?!," Marjo bertanya lirih dengan suara serak.
"Huahahaha...!!! Itu kalender dua puluh delapan tahun lalu! Saat masih ada manusia-
manusia di negeri ini yang masih hidup dari usaha percetakan," jawab orang tua tersebut.
Marjo bersiap menyimak apa yang bakal dikatakan orang tua itu.
"Empat puluhan tahun lalu, negeri ini sudah kehilangan para juru tulis dan koleganya,
haks! Kalau dalam istilah di zamanmu, barangkali namanya penulis dan penerbit ya, hiks!"
Sekonyong-konyong Marjo merampas botol yang masih menempel di mulut orang tua itu,
dan melemparnya jauh-jauh hingga terdengar suara pecahan yang cukup keras.
"Minumanmu sudah habis, Pak Tua! Sekarang cepat jelaskan semuanya padaku apa yang
"Huahahahaha!! Jangan marah begitu, anak muda. Akan aku jelaskan, hiks! Sebab kau
Marjo masih mampu menahan geram. Efek mabuk dan suara tawa orang tua itu
"Semuanya berawal ketika sebuah kejumudan terjadi, hingga akhirnya menjadi status quo
berkepanjangan. Dimana hampir semua anak-anak generasi muda negeri ini sudah tak lagi
kolumnis, novelis, cerpenis, penyair, pokoknya semua penulis buku-buku, berhenti massal dari
kegiatannya menulis. Royalti yang mereka dapat teramat kecil, bahkan bisa kukatakan
nominalnya hanya mampu buat makan ala kadarnya selama satu minggu. Buku-buku seluruh
penulis di negeri ini, semuanya gagal pasar, lalu membusuk dimakan waktu, sebagian digerogoti
rayap. Tak ada yang berminat membaca. Bukan lantaran karya mereka tak bernilai, tapi
masyarakatnya yang benar-benar anti buku! Tak ada lagi yang namanya orang menginjakkan
kakinya ke toko buku atau ke perpustakaan. Mall, swalayan, supermarket, dan tempat-tempat
hedonis-lah yang menjadi tempat singgah wajib manusia-manusia negeri ini. Ini berimbas kepada
kelangsungan hidup seluruh penerbit dan toko buku. Mereka semua terpaksa gulung tikar
lantaran menderita kerugian yang besarnya bukan kepalang meskipun sebelumnya mereka sudah
beratus kali banting stir terhadap buku-buku yang mereka jual. Nyatanya tetap saja tak ada orang
yang berminat menyentuhnya, apalagi membelinya. Lalu perusahaan kertas pun enyah dari jagat
ekonomi. Mereka tutup usaha lantaran sebagian besar pendapatannya yang didapat dari kegiatan
penerbitan, telah mati. Pemerintah tak ambil pusing dengan peristiwa langka ini. Mereka lebih
senang mengurusi partai dan persekongkolan untuk menipu rakyat. Anak-anak generasi muda
negeri ini masih saja tidak sadar bahwa malapetaka akbar sedang mendekat. Lalu media massa
cetak pun lumpuh! Sebab disamping tak ada lagi yang memproduksi kertas, oplah penjualan pun
menurun lantaran masyarakat tak lagi berminat mengalokasikan uangnya untuk membeli satu
koran pun. Masyarakat sudah tak mau peduli lagi dengan yang namanya informasi. Mereka sudah
tak lagi memiliki kesadaran pentingnya informasi dan membaca. Buku-buku yang mereka miliki,
mereka buang semua. Ada yang menjualnya ke tukang loak, ada yang menjadikannya bungkus
gorengan, ada pula yang dijadikan untuk mengelap bokong bekas buang air besar, dan lain-lain
lagi. Lalu anak-anak generasi muda itu melahirkan keturunan yang tak mengenal baca tulis. Sama
seperti orang tuanya, tak menganggap bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan primer. Tak ada
manusia-manusia yang tak suka membaca, tak pernah membaca, dan tak becus membaca.
Lantaran seluruh perusahaan kertas hengkang, pabrik-pabrik rokok di negeri ini pun tutup usaha.
Pendapatan terbesar negara yang dipungut dari pajak perusahaan rokok menjadi hilang. Profesi
guru pun mati, lantaran anak-anak didiknya tak lagi mampu membaca meskipun sudah digojlok
belasan tahun. Kertas dan buku-buku pun sudah hilang lantaran tak ada lagi yang mau menulis
dan menerbitkan. Maka, lembaga pendidikan bernama sekolah pun ditiadakan. Sebab toh,
bukankah sekolah pun adalah tempat pembodohan, dimana kreativitas anak-didik malah dikebiri
dan diamputasi oleh sistem keparat bernama kurikulum? Lalu negeri ini pun sepi dari suara-suara
lantunan kitab suci. Sebab tak ada lagi yang bisa membacanya. Adagium bahwa "verba valent,
scripta manent"—omongan cepat hilang dan tulisan akan tetap lestari, tak lagi relevan di zaman ini,
anak muda. Justru omonganlah yang kini menjadi entitas abstrak yang tak lekang dimakan
sejarah. Sedangkan tulisan malah mampus sebelum kiamat tiba. Manusia negeri ini hanya suka
menghabiskan waktunya di depan televisi, yang semuanya hanya berisi omongan dan aksi tubuh.
Manusia negeri ini menjadi kian regresif, bahkan menuju kehidupan primitif. Mereka kembali
mengulang sejarah ketika manusia belum mengenal tulisan. Hingga akhirnya mereka benar-benar
tidak lagi mengenal tulisan, sebab mereka tak bisa membaca. Huruf-huruf dan angka tak lagi
dikenal di zaman ini, anak muda. Potongan kertas kalender yang ada di tanganmu, itu ketika aku
masih muda dulu, dan tentu saja kini ia menjadi benda yang teramat langka. Bukankah sekarang
pun kau lihat, di sana-sini, sejauh matamu memandang, tak kau temui sebuah kertas satu lembar
pun yang sebelumnya kerap menempel di tiang listrik dan tembok-tembok? Semuanya sudah
musnah puluhan tahun lalu. Botol minuman yang kubawa tadi pun tak berlabel sama sekali, kan?"
Marjo hanya bisa mendengarkan semua itu dengan mulut menganga. Amat sulit sekali ia
"Heh! Kau pikir aku membual, hah?!!!," seketika orang tua itu membentak. Marjo kembali
"Oke, Oke. Baiklah, Pak Tua. Aku percaya padamu. Lalu, bagaimana dengan respon
"Goblok! Kita diisolir! Semuanya menarik kedutaannya dari negeri ini. Para investor kabur
lantaran tidak sudi berhubungan dengan orang-orang dungu bangsa ini. Dan semua kekayaan
negeri kita sudah dikuras habis oleh para kapitalis lantaran manusia-manusia di negeri ini tak lagi
becus membaca! Kita menjadi bangsa yang paling terbelakang dibanding Vietnam dan Kamboja!
"Tolol!! Ya tentu saja membaca keadaan! Membaca situasi! Membaca gelagat buruk!
Membaca peluang! Membaca segalanya! Itu yang tidak becus dilakukan oleh para pemimpin di
atas sana ketika itu! Lalu aksi separatis ramai terjadi. Dan apa respon para bapak-bapak di
pemerintahan?! Mereka acuh saja! Sebab mereka goblok! Dan lantaran kegoblokan mereka,
terjadilah aksi saling guling kekuasaan, makar, pemberontakan, dan beragam aksi subversif. Lalu
lahirlah katastrofi berkepanjangan yang tak ada seorang pun yang sanggup meredakannya. Tak
ada lagi yang namanya pemikir, pengamat, kiai, ulama, dan mahasiswa-mahasiswa cerdas yang
berusaha melawan atau menelurkan ide-ide pencerahan. Semuanya mati! Pernah ada segelintir
orang yang ingin merubah keadaan, namun mereka tak memiliki preseden tertulis. Toh kalaupun
"Ya!"
"Sama saja! Para provider internet gulung tikar lantaran tak ada pasokan listrik. Kenapa
pasokan listrik tidak ada, karena tak ada manusia yang bisa bekerja seputar kelistrikan. Kenapa
tak ada sekolah? Lantaran tak ada guru! Kenapa tak ada guru? Lantaran tak ada bacaan dan buku-
buku! Kenapa tak ada buku-buku? Karena tak ada yang menulis! Kenapa tak ada yang mau
menulis? Lantaran tak ada yang mau membaca dan para penerbit semuanya mati! Kenapa tak ada
yang mau membaca? Lantaran satu-satunya kegiatan esensial itu diacuhkan! Kenapa diacuhkan?
Lantaran mereka tak punya kesadaran akan pentingnya membaca! Paham, kau!? Lalu hal ini
berimbas pada seluruh sektor kehidupan. Seluruh profesi yang pernah ada di negeri ini pun mati!
Kau pikir saja sendiri bagaimana semua ini bisa terjadi hanya karena satu saja biang keroknya;
"Bodoh kau, anak muda! Pakai akalmu! Kejadian langka ini pun terjadi tidak serta merta
"Tidak!"
"Goblok!!"
"Kau yang goblok, Pak Tua! Kalau kau paham semuanya, berikut sebab-akibatnya, kenapa
kau tidak mencegahnya?! Kenapa kau tidak melakukan usaha untuk membenahi keadaan?!"
Orang tua itu memandang Marjo dengan nanar. Cukup lama. Marjo pun seketika merasa
"Kau tahu, Nak, aku ini dilahirkan ketika semua prahara ini usai. Dan selama enam puluh
delapan tahun ini, aku hidup sebatang kara. Sejak kecil aku hidup di lingkungan kotor. Lahir dari
rahim pelacur. Tahu-tahu, aku berada di sini kala aku berumur lima tahun, bersama kawan-kawan
sebayaku yang tak pernah mengerti apa yang sedang dan sudah terjadi. Lalu, waktu dan
kehidupan membawaku pada segenap pemahaman, terutama ketika aku menemukan sebuah
perpustakaan yang sudah runtuh dengan ribuan buku-bukunya yang sudah hampir habis
dimakan rayap. Aku habiskan seluruh waktu hidupku di sana dengan membaca. Dari situlah aku
"Ketika aku masih kecil, lembaga pendidikan bernama sekolah masih tersisa satu-dua. Aku
yang anak jalanan ini kerap mendengarkan dan mengamati dari luar jendela kelas dan ikut
mendengar pelajaran, termasuk pelajaran mengeja dan menghafal huruf. Dari sana aku mulai
belajar membaca otodidak. Bukankah Tuhan masih sayang padaku? Hmm? Huahahahahaha!!!"
"Heh! Kau tak akan menjumpai manusia lagi kecuali mayat-mayat yang berserakan dan
sudah membusuk tak karuan. Aksi penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan besar-besaran
sudah terjadi lama sekali. Paling banter kau bisa temukan orang-orang lain yang masih bertahan
hidup seperti aku di setiap radius dua kilometer. Populasi manusia yang masih hidup di negeri ini
bisa kuperkirakan hanya tinggal satu persen saja dari total sepuluh ribu, sebab sudah puluhan
tahun tak kuketahui lagi hal-hal baru. Sebab semuanya sudah lenyap."
Orang tua itu pun menunduk. Marjo kemudian melihat orang tua itu menitikkan air mata.
"Sekarang, aku minta tolong kepadamu, anak muda," orang tua itu mengangkat kepala,
"Bagaimana aku bisa menolongmu?! Sebab aku saja bingung untuk bisa kembali pulang!
"Apa?"
"Ada satu hal yang membuatku heran. Bagaimana kau bisa bertahan hidup kalau keadaan
kota ini begini. Tak ada makanan, tak ada air bersih. Tak ada apapun!"
"Heh! Jujur anak muda! Aku bisa hidup hingga saat ini dengan memakan sesamaku.
saling berebut. Dan jika tak ada mayat sama sekali, kami saling berkelahi dan saling bunuh. Yang
kalah, tentu dijadikan santapan bagi yang menang. Beruntungnya, aku selalu memenangkan
"Kk...kau... kanibal?!," ucap Marjo lirih. Kini ia tahu bau busuk apa yang berasal dari mulut
"Tenang saja, aku tak akan membunuhmu, apalagi memakanmu. Kau terlihat lebih kuat
dan kekar daripada aku yang sudah tua dan ringkih ini. Toh, aku pun tak membawa senjata
apapun. Terlebih lagi, justru aku mengharapkanmu. Seperti kataku tadi, aku justru membutuhkan
bantuanmu. Kau bisa kembali ke masamu, dan kau bisa memberi tahu keadaan di masa ini kepada
orang-orang yang berada di zamanmu. Bilang kepada anak cucumu supaya mereka mau
membiasakan diri membaca buku. Tentunya bukan buku-buku murahan yang tak menambah
"Bagaimana bisa?! Aku bisa ada di sini saja kejadiannya tidak kumengerti, sekarang kau
“Kau masih percaya Tuhan?! Mintalah pertolongan pada-Nya semoga keajaiban terjadi
Marjo menelan ludah. Keringat mengalir di pelipisnya. Orang tua itu masih nyerocos.
"Katakanlah pada sesamamu. Perbaikilah dirimu dan sesamamu pada zamanmu, agar di
masa depan, kejadian buruk yang nampak absurd ini tak menjadi kenyataan! Kau bisa merubah
masa depan. Atau..., jangan-jangan kau mau bilang bahwa kau adalah salah satu spesies manusia
"Ah, tidak. Aku bersyukur termasuk manusia yang hobi membaca. Aku biasakan
"Kenapa kau bertanya padaku?! Apa kau mau mengobservasi dulu seluruh sudut kota ini?!
Kau kembali saja ke tempatmu semula! Siapa tahu ada semacam lorong waktu yang bisa
membawamu pulang!"
Orang tua itu hanya membalas dengan senyuman. Marjo pun bergegas meninggalkan
orang tua itu, menuju puing-puing dimana ia bangun untuk pertama kalinya tadi. Siapa tahu jika
ia tidur kembali di sana dan bangun, ia bisa kembali ke masa dimana seharusnya ia hidup. Tapi
sama sekali di luar dugaannya, ketika baru beberapa langkah berjalan, sepotong besi tajam
mencuat dari dalam perutnya. Dirasakan lambungnya bocor. Perih bukan main. Seseorang telah
Darah segar keluar dari mulut Marjo. Seketika ia ambruk menimpa bumi, hampir tak
sadarkan diri. Melihat hal itu, orang tua tersebut berdiri, dan berteriak keras-keras.
Lalu seketika muncul berpuluh orang dari balik tembok, dari balik sudut bangunan, dari
"Wah, kita bisa makan kenyang hari ini," ucap salah seorang dari mereka sambil
menginjak-injak tubuh besar Marjo. Dan tanpa berbasa-basi lagi, mereka merobek-robek tubuh
marjo, menguliti, dan mencincangnya seperti kambing kala Idul Adha. Teriakan dan lolongan
Marjo disambut riuh tawa para kanibal itu. Darah merah bergenangan. Daging-daging
berhamburan. Tak ada saksi, kecuali sepotong kertas kalender lusuh di tangannya yang ia ambil
dari orang tua itu tadi. Sepercik darah menempel disana. Pada sebuah angka, tahun 2103. []