You are on page 1of 6
BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek teratogenik terhadap janin mencit dari zat tambahan makanan, dalam hal ini adalah pemanis buatan yaitu Natrium siklamat. Informasi ini diperlukan mengingat zat tambahan makanan temyata juga dapat menjadi salah satu sumber racun dalam bahan pangan bila tidak dikelola secara rasional (Donatus, 1990). Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk melengkapi hasil dari uji toksisitas terhadap Natrium siklamat yang telah dilakukan sebelumnya, agar diperoleh data yang cukup dalam upaya evaluasi batas aman penggunaan senyawa tersebut. Hewan coba yang dapat digunakan pada uji teratogenik adalah hewan coba jenis rodent (tikus atau mencit), dan jenis non rodent misalnya kelinci atau marmut (Rang and Dale 1991; Timbrell, 1982). Pada penelitian ini digunakan hewan coba mencit sebanyak 42 ekor yang terbagi menjadi 6 kelompok yaitu 1 kelompok kontrol yang diberi air suling dan 5 kelompok perlakuan yang diberikan larutan uji. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Dosis Natrium siklamat yang dipergunakan didasarkan pada batas pemakaian maksimum Natrium siklamat menurut Peraturan Menteri ma 35 Kesehatan RI No. 208/ Menkes/ Perf VI 1985 dan standar badan dunia WHO dan FAO yakni 11 mg/kg berat badan untuk pemakaian sehari (Martindale, 1994). Perhitungan dosis untuk ke 5 kelompok perlakuan didasarkan pada kelipatan dosis yang disarankan untuk dipergunakan pada manusia tersebut. Pembuatan larutan Natrium siklamat diawali dengan membuat larutan Natrium siklamat 10 x dosis manusia, kemudian diencerkan menjadi dosis 8 x, 6 x, 4 x dan 2 x dosis manusia. Pemilihan hewan coba mencit dengan pertimbangan bahwa mencit mempunyai kemiripan fisiologi reproduktif dengan yang ada pada diri manusia dan juga memiliki banyak keuntungan yaitu mudah diperoleh dan jumlahnya dapat dibuat cukup besar untuk memenuhi persyaratan statistika (Loomis, 1987); serta mempunyai masa kehamilan yang singkat (21 hari), pemeliharaannya cukup mudah dan harganya relatif murah Rangkaian dari uji teratogenik meliputi 1) upaya mencapai kehamilan, 2) upaya menjaga kehamilan disertai pemberian zat kimia uji, 3) penentuan efek teratogenik (Loomis, 1987). Oleh karena itu mencit betina yang akan diberi perlakuan, sebelumnya dikawinkan terlebih dahulu dengan perbandingan antara mencit jantan dan betina 1; 2. Perkawinan ini dilakukan pada fase estrus dari mencit betina, karena pada fase ini terjadinya coitus dan pembuahan pada estrus akan diiringi dengan 36 masa kehamilan. Pemeriksaan fase estrus dilakukan dengan mengamati adanya perubahan perilaku dari mencit atau dengan membuat hapusan vagina dan diamati adanya sel epitel yang menanduk (Wildan, 1990). Kehamilan dari mencit betina diketahui dengan cara pengamatan adanya sperma dalam cairan vagina atau dari adanya sumbat vagina (vaginal plug). Untuk menyesuaikan dengan jalur penggunaannya pada manusia maka pemberian larutan uji diberikan secara per oral sebanyak 0,1 ml sehari sekali. Pemberian dilakukan selama periode organogenesis hewan uji yang dimulai pada hari kehamilannya yang ke 6 - 15, karena jenis cacat janin yang terjadi tergantung pada masa periode pertumbuhan dimana bahan teratogen itu menyerang. Pada mencit, jenis cacat yang dapat terjadi adalah Microphthalmia (mata kecil) pada embrio berumur 7 - 8 hari, Micromelia (anggota kecil) pada umur 9 - 11 hari. Sumbing terjadi pada umur 9 - 10 hari dan jari tidak sempuma terjadi pada umur 9 - 13 hari (Wildan, 1982). Sedangkan fase Kritis pada embrio manusia yaitu pada hari kehamilan ke 15 - 25 dapat terjadi kerusakan pada otak, pada hari kehamilan ke 24 - 40 cacat pada mata, pada hari ke 20 - 40 kerusakan jantung, pada hari kehamilan ke 24 - 36 cacat pada anggota badan bagian atas dan anggota bagian bawah tubuh (Watimena dan Siregar, 1986). 37 Dengan demikian tingkat perkembangan janin akan menentukan kerentanan terhadap zat teratogenik dan kerusakan spesifik terjadi dengan mudah selama tingkat organogenesis. Apabila proses organogenesis telah sempuma, malformasi organ karena zat kimia tidak dapat terjadi (Loomis, 1978). Masa kehamilan hewan uji dihentikan sesaat sebelum terjadi kelahiran normal, dilakukan pengambilan bayi dengan cara bedah seisar, dilakukan pada hari kehamilannya yang ke 20. Dalam hal ini penentuan hari ke nol_kehamilan harus benar-benar tepat, sehingga pembedahan bisa dilakukan sehari sebelum kelahiran. Seluruh janin yang hidup dan yang mati dihitung dan dilakukan pemeriksaan terhadap uterus untuk membuktikan adanya resorbsi janin. Seluruh janin diperiksa untuk mengamati ada /tidaknya malformasi. (Loomis, 1987). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian Natrium siklamat dalam bentuk larutan pada mencit betina hamil, yang diberikan selama masa organogenesisnya dari hari kehamilannya yang ke 6 - 15, sebanyak 0,1 mi sehari sekali dengan dosis 2 x, 4 x, 6 x, 8 x dan 10 x dosis manusia, tidak mengakibatkan adanye efek teratogenik. Tidak ditemukan efek teratogenik pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dalam National Cancer Institut pada tahun 1976 yang menyatakan bahwa uji teratogenik pada mencit yang pemah dilakukan 38 memberikan hasil negatif (Concon, 1988). Meskipun demikian dalam pustaka tersebut juga tercantum berbagai hasil penelitian tentang Natrium siklamat yang menunjukkan bahwa Natrium siklamat dapat menimbulkan efek yang cukup merugikan bila tidak digunakan dengan benar. Efek tersebut antara Jain ditemukan adanya kanker pada tikus wistar setelah diberikan Natrium siklamat secara intramuskular (Hicks dkk, 1970). Natrium siklamat juga diketahui dapat menyebabkan kerusakan pada kromoson (van Went dan De Vries, 1975). Sementara itu pemakaian Natrium siklamat dalam jumlah besar temyata juga dapat menyebabkan fotodermatitis, cacat janin (teratogenik) pada embrio ayam setelah diberikan Natrium siklamat (Ghiani dan Muratori, 1968; Verret, 1969). Meskipun hasil uji teratogenik pada embrio ayam memberikan hasil yang positif, tapi hasil yang diperoleh kurang dapat dipercaya karena uji teratogenik pada embrio umumnya memperlihatkan sejumlah besar hasil positif palsu bila dibandingkan dengan uji pada mamalia (Loomis, 1978). Oleh karena itu penulis mencoba mengamati kemungkinan adanya efek teratogenik pada mencit, untuk memastikan kermungkinan teratogenik ‘Natrium siklamat. Hasil negatif yang diperoleh pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya frekuensi pemberian yang terlalu kecil, dimana pada penelitian ini hanya diberikan sehari sekali saja. 39 Sedangkan pada kenyataannya dimungkinkan untuk mengkonsumsi ‘atrium siklamat lebih dari satu kali dalam satu hari. Untuk itu dalam penelitian efek teratogenik selanjutnya dari Natrium siklamat disarankan untuk diberikan dalam dosis terbagi. Pada penelitian ini jumlah janin yang diperoleh memang tidak menunjukkan adanya kelainan yaitu antara 6 - 12 janin tiap satu induk mencit, tapi bukan berarti bahwa Natrium siklamat tersebut tidak mempunyai efek antifertilitas. Karena uji antifertilitas selain dilakukan pada periode pertumbuhan janin, dapat juga dilakukan sebelum terjadinya pembuahan. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan uji antifertilitas pada saat sebelum terjadinya pembuahan dari mencit betina tersebut. Meskipun hasil uji teratogenik yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang negatif, dengan melihat banyaknya hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan efek samping yang cukup merugikan bagi kesehatan kita maka disarankan untuk melakukan uji toksisitas akut LD 50 sehingga dapat diketahui batas aman dari pemakaian Natrium siklamat ini.

You might also like