Professional Documents
Culture Documents
GILANG
G FAJAR RAMAD
DHAN
DEPARTE
D EMEN
KONS ERDAYA HUTAN DAN EK
SERVASII SUMBE KOWISAT
TA
FAKUL
LTAS KEEHUTAN
NAN
IN
NSTITUTT PERTA
ANIAN BO
OGOR
2009
9
EK
KOLOGII PERILA AKU BER RBIAK
MERAK
K HIJAU
U (Pavo muuticus Lin
nnaeus, 17766)
DI TAMAN
T N
NASIONA
AL ALAS S PURWO O DAN BA ALURANN
PROPIINSI JAWWA TIMU UR
GILANG
G FAJAR RAMAD
DHAN
Skrippsi
Sebagaii salah satuu syarat unntuk mempperoleh gellar Sarjanna Kehutaanan
padaa
Deepartemenn Konservaasi Sumberrdaya Huutan dan E Ekowisata
Fakulltas Kehuttanan Insttitut Pertaanian Boggor
DEPARTE
D EMEN
KONS ERDAYA HUTAN DAN EK
SERVASII SUMBE KOWISAT
TA
FAKUL
LTAS KEEHUTAN
NAN
IN
NSTITUTT PERTA
ANIAN BO
OGOR
2009
9
RINGKASAN
GILANG FAJAR RAMADHAN. Ekologi Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo
muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Propinsi
Jawa Timur. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan ANI
MARDIASTUTI.
Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) merupakan salah satu jenis
burung yang dilindungi di Indonesia. Fragmentasi habitat dan perburuan merak
hijau menyebabkan pengurangan luasan dan kualitas habitat sehingga menjadikan
populasinya terpecah dalam kelompok kecil dan memiliki penyebaran terbatas.
Dengan tingginya ancaman terhadap merak hijau di Jawa, dikhawatirkan dalam
kurun waktu yang tidak lama akan mengalami kepunahan. Namun kenyataannya,
merak hijau masih mampu bertahan pada beberapa lokasi penyebarannya. Hal ini
mengindikasikan ada strategi berkait dengan ekologi perilaku merak hijau
berhubungan dengan kondisi habitatnya dan berbagai tekanan. Masa berbiak
hingga pengasuhan anak merupakan waktu paling rentan terhadap perkembangan
populasi merak hijau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mempelajari
dan mendeskripsikan ekologi perilaku yang berkaitan dengan perkembangbiakan
merak hijau dan (2) Mengidentifikasi strategi dan mekanisme berperilaku berbiak
merak hijau yang berhubungan dengan habitatnya di TN Alas Purwo dan TN
Baluran.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember
2007 di TN Alas Purwo (Agustus-Oktober) dan TN Baluran (November-
Desember). Pengambilan data perilaku dengan menggunakan metode ad libitum
sampling dengan sistem pencatatan menggunakan metode continuous recording
mulai dari pukul 05.00 hingga 18.00 WIB. Jenis data yang dikumpulkan meliputi
perilaku berbiak serta perilaku harian merak hijau saat musim berbiak. Data
dianalisis dengan menggunakan persentase perilaku, rataan durasi, ragam contoh,
uji-F dan chi-square (߯ ଶ ).
Di TN Alas Purwo merak hijau berbiak berkisar pada bulan September
sampai dengan bulan November, sedangkan di TN Baluran merak hijau berbiak
berkisar pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember. Musim berbiak
merak hijau dicirikan oleh aktivitas display merak hijau jantan. Merak hijau
jantan mengeluarkan suara khas saat musim berbiak. Proses kopulasi merak hijau
sangat singkat rerata berkisar 9-19 detik. Pasca perkawinan merak hijau betina
akan mengerami telur, sedangkan merak hijau jantan akan merontokkan bulu
hiasnya. Merak hijau melakukan aktivitas makan pada areal terbuka. Sumber air
minum merak hijau saat musim kemarau berupa bak air minum buatan baik di TN
Alas Purwo maupun TN Baluran. Aktivitas menelisik dilakukan pada areal yang
terbuka karena merak hijau dapat mengawasi secara menyeluruh dari gangguan
baik pesaing atau predator. Aktivitas berjemur dilakukan pada pagi hari (06.00-
07.00 WIB) hal ini berkaitan dengan sinar matahari yang hangat. Aktivitas mandi
debu lebih sering dilakukan oleh merak hijau betina (Fhitung > Ftabel). Merak hijau
lebih sering mengalami gangguan pada habitat berhutan. Aktivitas bertarung
hanya dilakukan oleh merak hijau jantan. Pohon tidur merak hijau biasanya
dijadikan pula sebagai tempat beristirahat pada saat siang hari. Aktivitas istirahat
dan makan merupakan aktivitas terlama yang dilakukan merak hijau baik di TN
Alas Purwo maupun TN Baluran.
Tempat terbuka sangat penting sebagai tempat untuk mandi debu,
berjemur, bertarung, akan tetapi habitat hutan pun sangat penting sebagai tempat
berlindung, istirahat dan tidur bagi merak hijau. Tipe habitat di TN Alas Purwo
berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi dan durasi perilaku menelisik,
makan, berjemur, berlindung dan istirahat. Tipe habitat di TN Baluran
berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi (perilaku suara, menelisik, berjemur,
berlindung, istirahat dan tidur) dan durasi (perilaku menelisik, berjemur dan
berlindung).
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc
NIP. 131 685 543 NIP. 131 284 817
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Cimahi, Jaw Barat sebagai
anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan H. Achmad Sutisna dan Hj. Yeni
Yuniawati, S.Si. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1990 di TK
Kemuning Bogor dan pada tahun 1991 memulai pendidikan dasar di SD Negeri
Polisi 4 Bogor dan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor dari tahun 1997-2000. Selanjutnya pada
tahun 2000 menempuh pendidikan di SMU Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun
2003. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai salah satu mahasisiwa di
Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE), Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor (IPB), penulis aktif di Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan sebagai ketua Kelompok
Pemerhati Burung (KPB) pada periode tahun 2006/2007. Selain itu, penulis
pernah menjadi panitia dalam kegiatan, Orientasi Mahasiswa Baru DKSHE
Fakultas Kehutanan IPB sebagai ketua ketua panitia tahun 2005, Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan
Barat tahun 2005 dan di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung tahun
2006 serta mengikuti kegiatan promosi DKSHE Fakultas Kehutanan IPB tahun
2006.
Pada tahun 2006 penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan
Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Wisata Alam Kawah
Kamojang dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Garut. Selanjutnya pada
tahun 2007, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di
Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Ekolog Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di
Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran, Propinsi Jawa Timur ” yang dibimbing
oleh Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi Perilaku .......................................................... 3
2.2 Bioekologi Merak Hijau .............................................. 4
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu ...................................................... 14
3.2 Pemilihan Titik Pengamatan ........................................ 14
3.3 Bahan dan Alat ............................................................ 14
3.4 Jenis Data yang Dikumpulkan .................................... 15
3.5 Metode Pengumpulan Data ......................................... 15
3.6 Bentuk Perilaku dan Parameternya .............................. 16
3.7 Analisis Data ............................................................... 18
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Taman Nasional Alas Purwo........................................ 20
4.2 Taman Nasional Baluran .............................................. 23
BAB V. HASIL dan PEMBAHASAN PENELITIAN ...................... 29
5.1 Perilaku Berbiak .......................................................... 29
5.2 Pelaku Harian pada Musim Berbiak ............................ 66
5.3 Peresentase Seluruh Perilaku Harian pada
Musim Berbiak ............................................................ 110
5.4 Implementasi terhadap Pengelolaan ............................ 114
BAB VI. KESIMPULAN dan SARAN .............................................. 117
6.1 Kesimpulan .................................................................. 117
ii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
35. Perilaku berjemur merak hijau di; (a) tanah datar, (b) pagar dan
(c) gundukan tanah ..................................................................... 84
36. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
berjemur merak hijau di TNAP dan TNB .................................. 84
37. Grafik frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau
pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB ........................... 85
38. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian
perilaku berjemur merak hijau jantan dan betina di TNAP ....... 87
39. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
berjemur merak hijau jantan dan betina di TNB ........................ 87
40. Perilaku mandi debu merak hijau jantan di TNAP;
(a) berkelompok dan (b) soliter .................................................. 89
41. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB .............................. 90
42. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
mandi debu merak hijau pada beberapa tipe habitat
di TNAP dan TNB ..................................................................... 91
43. Perilaku berlindung merak hijau; (a) curiga, (b) terbang
menghindar dan (c) menghindar dari serangan
elang-laut perut-putih ................................................................. 94
44. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
berlindung merak hijau di TNAP dan TNB ............................... 95
45. Grafik frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau
pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB ........................... 97
46. Perilaku bertarung antar merak hijau jantan; (a) di padang
rumput Sadengan dan (b) savana Bekol ..................................... 99
47. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku
bertarung merak hijau di TNAP dan TNB ................................. 100
48. Grafik frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau jantan
pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB ........................... 101
49. Berbagai posisi perilaku istirahat merak hijau; (a) berdiri
di bawah pohon widoro bukol dan (b) mendekam
di cabang pohon apak ................................................................. 104
50. Perilaku tidur merak hijau di atas pohon; (a) jati, (b) randu
hutan, (c) gebang dan (d) mimba ............................................... 108
51. Grafik persentase perilaku harian merak hijau jantan
pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak,
(b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya ................. 111
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) merupakan salah satu jenis
burung yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Kehutanan (Menhut) nomor 301/Kpts-II/1991 dan Peraturan Pemerintah nomor 7
tahun 1999 (Noerdjito & Maryanto 2007). Tingginya ancaman terhadap merak
hijau menyebabkan BirdLife International (2004) memasukkannya dalam status
vulnerable atau populasinya sedang mengalami penurunan cepat dan dalam status
perdagangan, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora) memasukan dalam kategori Appendiks II (Soehartono
& Mardiastuti 2003).
Fragmentasi habitat dan perburuan merak hijau menyebabkan pengurangan
luasan dan kualitas habitat, sehingga menjadikan populasinya terpecah dalam
kelompok kecil dan memiliki penyebaran terbatas (BirdLife International 2004).
Merak hijau menempati habitat areal terbuka yang berbatasan dengan hutan,
tepian sungai, hutan sekunder dan tepian hutan (edge di hutan) (King et al. 1989).
Di Jawa, penyebarannya dengan populasi cukup besar (>100 individu)
terkonsentrasi di ujung barat dan timur pulau, walaupun berdasarkan sejarahnya
penyebaran merak hijau terdapat di seluruh Pulau Jawa (van Balen 1999).
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) dan Taman Nasional Baluran (TNB)
merupakan dua dari lima taman nasional di Jawa yang memiliki penyebaran
merak hijau (van Balen 1999). Secara fisik, TNAP dan TNB memiliki tipe
ekosistem dan iklim yang berbeda. Lokasi TNAP berada di Selatan Timur Pulau
Jawa, sedangkan TNB berada di Utara Timur Pulau Jawa. Namun, kedua lokasi
tersebut memiliki areal terbuka seperti padang rumput di TNAP dan savana di
TNB. Populasi merak hijau di TNAP berkisar antara 168-268 individu (Indrawan
1995), Wasono (2005) menjumpai 50 individu merak hijau di SKW I Rowobendo,
sedangkan Yuniar (2007) menyebutkan populasi merak hijau sebanyak 81
individu. Populasi merak hijau di TNB berkisar antara 400-616 individu
(Indrawan 1995) dan khusus di Seksi Wilayah Konservasi (SKW) II Bekol
2
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi
khususnya bagi pihak taman nasional untuk kepentingan konservasi merak hijau
dengan memperhitungkan strategi perilaku serta mendukung pengembangan
pengelolaan TNAP dan TNB.
3
Perilaku satwa merupakan ilmu dasar yang perlu dipahami dengan baik agar
dapat menguasai ilmu atau pengetahuan lanjutannya di dalam usaha untuk
mendapatkan keahlian di bidang pembinaan populasi satwa (Setiawati 1986).
Batasan mengenai perilaku satwa sendiri sangat luas. Teage (1971) memberikan
batasan bahwa perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang ditimbulkan oleh semua
faktor yang mempengaruhinya. Batasan ini tidak merupakan harga mati, karena
masing-masing ilmuwan mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapnya.
Perbedaan tersebut merupakan pertanda awal perkembangan ilmu perilaku satwa.
Perilaku satwa adalah tindak-tanduk satwa yang terlihat dan yang saling
berkaitan baik secara individual maupun bersama-sama (kolektif) akibat interaksi
secara dinamika dengan lingkungannya, baik lingkungan luar (makhluk hidup
atau benda-benda) maupun pengaruh dalam tubuh satwa itu sendiri (Tanudimadja
& Kusumanihardja 1985). Menurut Odum (1971) perilaku merupakan tindakan
yang tegas dari suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan
lingkungan guna menjamin hidupnya. Hal serupa dinyatakan Alikodra (1983)
mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam memanfaatkan
sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Secara ethologi, perilaku satwa sebagai tindak-tanduk satwa
berdasarkan motivasi, yang berarti satwa mempunyai emosi (Tanudimadja &
Kusumanihardja 1985).
Ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan organisme-organisme atau
kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan
lingkungannya (Odum 1959). Pianka (1983) mendefinisikan ekologi sebagai ilmu
yang mempelajari hubungan antar organisme maupun antara organisme dan
seluruh faktor baik fisik maupun biologi yang mempengaruhinya ataupun yang
dipengaruhinya. Hal serupa dinyatakan Allaby (1994) bahwa ekologi adalah studi
ilmiah yang mempelajari hubungan timbal balik antar organisme maupun antara
4
organisme dan antar mereka dengan semua aspek, baik yang hidup dan tidak
hidup, dari lingkungannya.
Ekologi memiliki hubungan erat dengan empat disiplin ilmu biologi, yaitu
genetika, evolusi, physiologi dan perilaku (Krebs 1985). Ekologi mempunyai
kaitan dengan mengindentifikasi pola antara kumpulan jenis dengan lingkungan
dan memahami penyebab terjadinya pola tersebut (Wien 1989). Krebs & Davies
(1993) menyatakan ekologi perilaku tidaklah hanya efek dengan perjuangan satwa
untuk bertahan hidup (survive) dengan pemanfaatan sumberdaya dan menghindar
dari pemangsa, tetapi juga bagaimana perilaku berperan untuk kesuksesan
berkembangbiak. Allaby (1994) mendefinisikan ekologi perilaku adalah ilmu
yang mempelajari perilaku dari suatu organisme pada suatu habitat alaminya dan
merupakan aplikasi dari teori tingkah laku ke aktivitas tertentu.
2.2.1 Taksonomi
muticus spicifer Shaw, 1804) dan Merak hijau indocina (Pavo muticus imperator
Delacour, 1949).
2.2.2 Morfologi
halus dan tebal, bagian tengahnya berwarna putih dan di sekitarnya berwarna
coklat. Ekor tersusun oleh 20 helai bulu.
seperti pada merak hijau jantan. Merak hijau betina juga mempunyai taji pada
kakinya.
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik
maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Menurut Irwanto
(2006), habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu di mana suatu
jenis atau komunitas hidup. Di Jawa, merak hijau hidup di habitat relatif kering,
hutan semi gugur dan areal terbuka (BirdLife International 2001). Menurut King
et al. (1989), merak hijau hidup hingga ketinggian 3.000 kaki di Asia Tenggara,
kecuali Thailand tengah dan Hongkong. MacKinnon et al. (1998) menyatakan
merak hijau merupakan pengunjung hutan terbuka dengan padang rumput dan
perkebunan teh atau kopi.
Jarak sebaran merak hijau sejauh 992.000 km2, mencakup masa berbiak
maupun tempat hidup (BirdLife International 2007). Merak hijau tersebar mulai
dari Assam, Cina bagian barat daya hingga Asia tenggara dan Jawa (King et al.
1989). Merak hijau banyak dijumpai di Pulau Jawa, yaitu Ujung Kulon, Sindang
Barang (Cianjur), Cikelet (Sukabumi), Jepara, Pati, Mantingan, Randu Blatung
(Blora), Meru Betiri, Baluran, Alas Purwo, Gunung Raung, Krepekan, Lijen,
Lebak Harjo dan Pasir Putih (Situbondo) (van Balen 1999) (Gambar 2).
8
Sejarah (pra-1950);
pernah ada (1950–1979);
ada (1980–sekarang);
Sumber : BirdLife International (2001) tidak ada data
Keterangan: (230) Pulau Panaitan; (231) Taman Nasional Ujung Kulon; (232) Merak; (233)
Cikepuh; (234) Cilowa; (235) Pelabuhan Ratu; (236) Sampora; (237) Ciseureuh; (238) Tapos;
(239) Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango; (240) Ciogong; (241) Karawang; (242) Tanjung
Sedari; (243) Purwakarta; (244) Cikelet; (245) Cagar Alam Leuweung Sancang; (246) Buahdua;
(247) Cikawung; (248) Indramayu; (249) Cirebon; (250) Nusa Kambangan; (251) Pemalang; (252)
Dataran Tinggi Dieng; (253) Kendal; (254) Alas Roban; (255) Gedangan; (256) Penawangan;
(257) Banjaran; (258) Solo; (259) Gundih; (260) Purwodadi; (261) Clering; (262) Pati; (263)
Wirosari; (264) Kradenan; (265) Ngaringan; (266) Randublatung; (267) Mantingan; (268) Cepu;
(269) Alas Sengok; (270) Walikukun; (271) Paringan; (272) Padangan; (273) Pulung; (274)
Jatirogo; (275) Besuki; (276) Nganjuk; (277) Tuban; (278) Jombang; (279) Wonosalem; (280)
Kebonagung; (281) Lebakharjo; (282) Ranu Darungan; (283) Dataran Tinggi Hyang; (284)
Gunung Ringgit; (285) Taman Nasional Meru Betiri; (286) Gunung Raung; (287) Krepekan; (288)
Lijen; (289) Taman Nasional Baluran; (290) Taman Nasional Alas Purwo.
Di TNAP jenis ini hanya dapat dijumpai di hutan alam dataran rendah, hutan
tanaman dan daerah ekoton padang penggembalaan dan hutan alam dataran
rendah (Supratman 1998). Di TNB merak hijau ditemukan di semua tipe vegetasi,
namun banyak ditemukan di daerah savana, hutan musim dan hutan pantai
(Hernowo 1995). Merak hijau hidup di TNB dan TNAP karena ketersediannya
tempat makan, minum dan cover (berlindung, berteduh dan beristirahat) bagi
merak hijau (Supratman 1998).
Merak hijau termasuk dalam suku Phasianidae. Sebagian besar suku ini
termasuk poligami, yaitu satu jantan dengan banyak betina saat berbiak dengan
tidak memiliki hubungan yang permanen antara jantan dewasa dan betina dewasa.
9
G
Gambar 3. Perilaku beerbiak meraak hijau
Tem
mpat yang diigunakan merak
m hijau jantan
j dewaasa untuk m
menarik pasaangan
tidak samaa setiap harrinya. Masiing-masing individu janntan dewasaa mengatur jarak
(distance mechanism
me), sehingga cukup memberikaan ruang geerak atau ruang
r
atraksi untuk
u menaarik betinaa. Tempaat yang digunakan
d untuk meenarik
pasangannnya tersebuut adalah teempat terbu
uka, bersihh dan teduhh (Sativaniingsih
10
2005). Perilaku display tidak hanya dilakukan untuk menarik perhatian merak
hijau betina tetapi juga merupakan tanda kepada jantan lain ketika merak hijau
jantan sedang menunjukkan tariannya (Hernowo 1995).
Merak hijau menjadi dewasa saat berumur 3 tahun dan mampu untuk
bertelur (Ardastrazoo 2007). Menurut Winarto (1993) di Resort Bekol TNB
merak hijau betina yang telah dikawini segera memisahkan diri dari kelompoknya
untuk membuat sarang dan bertelur.
Merak hijau bersarang antara semak dan rerumputan di areal terbuka sedikit
pohon (Hernowo 1995). Di Ujung Kulon sarang merak hijau biasanya ditemukan
di antara alang-alang (Imperata cylindrica) yang mempunyai ketinggian 30-80 cm
atau di antara rumput-rumput jarong (Stachyrpheta jamaicensis) (Hoogerwerf
1970 dalam Mulyana 1988). Winarto (1993) menyatakan sarang merak hijau
berada pada areal terbuka yang sangat sedikit ditumbuhi vegetasi pada tingkat
pohon dan sapihan. Sarang merak hijau berukuran 30x45 cm (Hernowo 1995)
dan 35x40 cm (Winarto 1993). Jarak antar sarang berkisar antara 45-260 meter
(Hernowo 1995).
Merak hijau betina akan meletakkan telurnya di atas tanah yang gundul
(Hernowo 1995; Winarto 1993). Waktu pengeraman telur 28-30 hari (Delacour
1978 dalam Mulyana 1988). Di Jawa merak hijau mempunyai telur dengan
ukuran rata-rata 73,38x54,11 mm (Hoogerwerf 1949), 70x51 mm (Hernowo
1995). Hoogerwerf (1949) menyatakan juga ukuran telur bervariasi dengan
variasi panjang telur 69,80-79,10 mm dan variasi lebar 52,60-56,40 mm. Telur
merak hijau berwarna putih, tetapi dalam beberapa hari akan berubah menjadi
coklat bertotol (Hernowo 1995).
Perilaku bersuara bisa dilakukan oleh semua individu merak hijau jantan dan
betina (baik dewasa maupun remaja) bahkan anakan (Winarto 1993; Hernowo
1995; Maryanti 2007). Hernowo (1995) menyatakan “auwo” merupakan suara
umum untuk komunikasi antar merak hijau. Waktu bersuara merak hijau untuk
pagi hari pada pukul 04.50-07.45 WIB (Winarto 1993) dan 05.00-08.00 WIB
11
(Hernowo 1995), sedangkan untuk sore hari pada pukul 16.00-18.00 WIB
(Winarto 1993; Hernowo 1995).
Merak hijau memiliki berbagai jenis suara (Winarto 1993; Hernowo 1995;
Maryanti 2007). Jenis suara yang dilakukan oleh anakan adalah “wi...wi...wi...”
(Winarto 1993; Hernowo 1995). Merak hijau betina mengeluarkan jenis suara
seperti “tak...tak...kro...ko...ko...” (Winarto 1993), “tek...tek...tek...”
(Sativaningsih 2005), serta “tak...tak...tak...” (Winarto 1993; Hernowo 1995;
Maryanti 2007) yang menandakan adanya bahaya atau ancaman, sedangkan suara
yang berfungsi untuk memanggil anaknya adalah “tak...tak...tak...kroooooow...”
(Hernowo 1995; Maryanti 2007). Suara merak hijau jantan adalah “auwo...auwo...
atau auwo...ko...ko...ko... atau kay...yaw... atau kro...ko...ko...” (Winarto 1993).
Jenis suara umum merak hijau adalah “auwo...auwo...auwo...auwo...” dan suara
saat terbang adalah “kroooooow...ko...ko...ko... atau ko...ko...ko...ko...”(Hernowo
1995; Sativaningsih 2005; Maryanti 2007).
Winarto (1993) menyebutkan perilaku bersuara lebih sering dilakukan
merak hijau pada musim kawin. Jenis suara khas saat musim kawin yang
dikeluarkan oleh merak hijau adalah “ngeeyaaoow...ngeeyaaoow... atau
eewaaaoow...eewaaaoow...” (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007).
Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu Taman Nasional Alas Purwo
dan Taman Nasional Baluran, Propinsi Jawa Timur. Pengamatan di TNAP
bertempat pada padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan
Rowobendo. Di TNB pengamatan bertempat pada savana Bekol, hutan evergreen
dan hutan pantai Manting. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yaitu dua
bulan di TNAP mulai bulan Agustus sampai September 2007 serta dua bulan di
TNB pada bulan Oktober sampai November 2007.
Bahan dalam penelitian ini merupakan bahan habis, yaitu baterai, film
negatif dan kaset perekam. Objek yang digunakan saat penelitian ini adalah
merak hijau dan habitatnya.
Peralatan yang digunakan terdiri dari:
1. Binokuler dan monokuler untuk melihat objek yang lebih jelas
2. Perekam untuk untuk merekam suara objek
3. Chronometer untuk mengukur waktu aktivitas objek
15
4. Kamera dan handycam untuk mengambil gambar objek, jejak objek dan
habitat
5. Kompas untuk menunjukkan arah mata angin
6. Meteran dan pita ukur untuk mengukur diameter pohon dan ukuran panjang
7. Termometer untuk mengukur suhu
8. Buku Panduan Lapang seri Pengenalan Jenis Burung Sumatera, Kalimantan,
Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1998) untuk mengindentifikasi jenis
burung lain selain objek.
9. Peta lokasi penelitian untuk menentukan lokasi pengamatan objek
Perilaku berbiak yang diamati adalah semua aktivitas yang berkaitan dengan
berbiak mulai dari pra perkawinan (bercumbu), perkawinan, pasca perkawinan
serta pembuatan sarang hingga pengasuhan anak. Aktivitas pra perkawinan
(percumbuan) meliputi aktivitas merak hijau betina mendekati merak hijau jantan,
aktivitas merak hijau jantan melakukan tarian (display), aktivitas merak hijau
betina mengelilingi merak hijau jantan hingga aktivitas merak hijau betina tertarik
dengan merak hijau jantan. Aktivitas perkawinan meliputi aktivitas merak hijau
betina mendekam, aktivitas merak hijau jantan menaiki punggung merak hijau
betina hingga aktivitas kopulasi dan aktivitas merak hijau jantan menuruni
17
Perilaku ini terbagi dalam dua aktivitas, yaitu istirahat dan tidur. Perilaku
istirahat merupakan perilaku untuk berlindung di siang hari. Pada saat istirahat
merak hijau terkadang melakukan berbagai aktivitas tanpa melakukan perjalanan.
18
Perilaku tidur yang akan diamati yaitu ketika merak hijau menuju pohon tidur
(pohon bertengger), aktivitas yang dilakukan sebelum tidur dan setelah bangun
tidur selama di pohon tenggeran. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku,
waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi setiap aktivitas, jumlah
individu yang melakukan aktivitas, pohon yang digunakan dan kondisi lokasi
yang digunakan untuk aktivitas istirahat atau tidur. Pencatatan pohon yang
digunakan meliputi nama jenis, jumlah, tinggi dan diameter pohon.
Data utama hasil pengamatan yang berupa perilaku dianalisis melalui teknik
penyajian deskriptif, grafik dan persentase. Perhitungan persentase perilaku
ditentukan berdasarkan rumus:
% 100 %
Keterangan:
a = frekuensi kejadian perilaku selama 1 jam
b = frekuensi kejadian seluruh perilaku yang teramati dalam 1 jam
∑
∑ ∑
; ; Χ
1 ;
Keterangan:
χ = Rataan durasi (detik) = Ragam contoh ((detik/hari)2)
n = Jumlah ulangan X = Kisaran durasi (detik)
t = nilai tabel uji t
Keterangan:
Oi = frekuensi hasil pengamatan
Ei = frekuensi yang diharapkan
Dalam pengujian hubungan antar parameter yang diukur dan diamati,
digunakan hipotesa sebagai berikut:
H0 : tidak ada hubungan antara habitat dengan perilaku merak hijau
H1 : ada hubungan antara habitat dengan perilaku merak hijau
Pengambilan keputusan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
Jika χ2hit > χ2tab maka terima H1
Jika χ2hit < χ2tab maka terima H0
Pengujian dilakukan pada selang kepercayaan 99%, dengan derajat bebas (df) =
(b-1)x(k-1), dimana b menyatakan baris dan k menyatakan kolom.
Melakukan pengujian perbedaan durasi berperilaku antara merak hijau
jantan dengan merak hijau betina. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji-
F pada derajat bebas (v1 = n1 dan v2 = n2) berdasarkan rumus:
Dalam pengujian ragam durasi yang diukur dan diamati, digunakan hipotesa
sebagai berikut:
H0 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina sama dengan kesamaan ragam
H1 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina berbeda
Pengambilan keputusan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
Terima H0 jika Fhitung < Ftabel
Terima H1 jika Fhitung > Ftabel
20
TNAP memiliki luas 43.420 ha. terdiri dari beberapa zonasi, yaitu:
a. Zona Inti (core zone) seluas 17.200 ha.
b. Zona Rimba (wilderness zone) seluas 24.767 ha.
c. Zona Pemanfaatan (intensive use zone) seluas 660 ha.
d. Zona Rehabilitasi (buffer zone) seluas 620 ha.
e. Zona Pemanfaatan Tradisional (traditional zone) seluas 783 ha.
4.1.2.2 Topografi
Formasi geologi terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam yang
berumur meosen atas. Pada batuan berkapur terjadi proses karsifikasi tidak
sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung, serta batuan kapur yang
22
4.1.2.4 Hidrologi
4.1.2.5 Iklim
Secara umum tipe hutan di kawasan TNAP merupakan hutan hujan dataran
rendah yang dipengaruhi oleh angin musim. Hutan bambu seluas ± 40% dari luas
total hutan merupakan formasi yang dominan. Sampai saat ini telah tercatat
sedikitnya 584 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan
pohon. Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TNAP dapat dikelompokkan
menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan tanaman, hutan
alam dan padang penggembalaan (feeding ground) (BTNAP 2007).
Jenis-jenis dominan yang terdapat di hutan pantai adalah ketapang
(Terminalia catappa), sawo kecik (Manilkara kauki), waru laut (Hibiscus sp.),
keben (Baringtonia asiatica) dan nyamplung (Calophyllum inophyllum). Formasi
mangrove didominasi oleh Rhizopora apiculata, R. mucronata, Bruguiera
23
Baluran pada awalnya dikenal sebagai lokasi perburuan. Pada tahun 1928,
Kebun Raya Bogor merintis penunjukan Baluran menjadi suaka margasatwa (SM)
atas usulan Ah Loedeboer yang merupakan penguasa wilayah tersebut pada masa
itu. Tahun 1937 kawasan Baluran ditetapkan sebagai SM dengan SK Pemerintah
Hindia Belanda Nomor 9 tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937).
Tujuan dijadikannya kawasan Baluran sebagai SM pada waktu itu adalah untuk
melindungi berbagai jenis satwa langka dari kepunahan. Pada tahun 1980
bertepatan dengan hari Pengumuman Strategi Pelestarian Dunia, SM Baluran
dideklarasikan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia sebagai taman nasional.
24
Saat ini, Baluran berstatus balai taman nasional yang merupakan UPT dari
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Hutan dan Pelestarian
Alam Departemen Kehutanan yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.
279/Kpts-VI/1997 tanggal 25 Mei 1997 dan berdasarkan SK Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 51/Kpts/DJ-VI/1987 tanggal
12 Desember 1997.
4.2.2.2 Topografi
Tanahnya berasal dari batuan vulkanis yang terdiri atas tanah aluvial dengan
kadar tanah liat yang tinggi dan berwarna hitam. Jenis tanah ini bersifat sangat
lengket pada musim hujan dan sangat kering hingga pecah dengan kedalaman +10
cm pada musim kemarau (BTNB 2007).
4.2.2.4 Hidrologi
Kawasan ini tidak dijumpai sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tata
airnya sangat miskin, sehingga hanya berair pada musim penghujan dan menjadi
kering di musim kemarau. Namun, di kawasan tersebut terdapat dua buah sungai
yang sangat besar, yaitu Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran (BTNB 2007).
4.2.2.5 Iklim
Kawasan TNB bertipe monsoon yang dipengaruhi oleh angin timur yang
kering. Curah hujan berkisar antara 900-1600 mm/tahun, dengan bulan kering per
tahun rata-rata 9 bulan. Di antara bulan Agustus sampai dengan Desember bertiup
angin cukup kencang dari arah selatan (BTNB 2007).
40% dari luas kawasan. Kawasan Baluran mempunyai ekosistem yang lengkap
yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan payau atau rawa, hutan savana dan
hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah) (BTNB 2007).
Tipe hutan mangrove terdapat di daerah pantai utara dan timur kawasan
taman nasional seperti di Bilik, Lempuyang, Mesigit, Tanjung Sedano dan Kelor.
Pada daerah bakau yang masih baik (Kelor dan Bilik), flora yang umum dijumpai
adalah api-api (Avicenia spp.), bogem (Sonneratia spp.) dan bakau (Rhizophora
spp.). Pada beberapa tempat dijumpai tegakan murni tinggi (Ceriops tagal) dan
bakau (Rhizophora apiculata) (BTNB 2007).
Beberapa daerah lain seperti di utara Pandean, Mesigit, sebelah barat Bilik
terdapat hutan bakau yang telah rusak. Daerah ini menjadi lumpur yang dalam
pada musim hujan, tetapi akan berubah menjadi keras dan kering dengan lapisan
garam di permukaan pada musim kering. Sedikit sekali pohon yang tumbuh di
sini dan tidak dijumpai tumbuhan bawah. Beberapa jenis yang tumbuh antara lain
adalah api-api dan truntun (Lumnitzera racemosa). Menurut hasil inventarisasi
penilaian potensi hutan bakau di TNB tahun 1994/1995 di daerah sekitar Bama
terdapat salah satu pohon bakau yang diduga terbesar di dunia dengan keliling
pohon 450 cm (BTNB 2007).
Hutan Payau di TNB merupakan daerah ekoton yang berbatasan dengan
savana. Penyebaran hutan ini sebagian besar terdapat di Kalikepuh bagian
tenggara dan pada luasan yang lebih kecil terdapat di Popongan, Kelor, bagian
timur Bama serta barat laut Gatel. Jenis-jenis pohon yang selalu hijau sepanjang
tahun pada hutan ini dijumpai jenis-jenis pohon antara lain malengan (Excoecaria
agallocha), manting (Syzigium polyanthumm) dan popohan rengas (Buchacania
arborescens) (BTNB 2007).
Tipe habitat savana merupakan klimaks kebakaran yang sangat dipengaruhi
oleh aktivitas manusia. Tipe habitat ini dapat dibedakan ke dalam dua sub tipe,
yaitu flat savana (padang rumput alami datar) dan Undulting savana (padang
rumput alami bergelombang) (BTNB 2007).
Flat savana tumbuh pada tanah alluvial berbatu-batu. Sub tipe savana ini
terdapat di bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol
dengan luasan sekitar 1.500 sampai dengan 2.000 ha. Sebagian besar dari
27
populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk
merumput. Jenis-jenis rumput yang dominan di daerah ini adalah lamuran putih
(Dichantium caricosum), rumput merakan (Heteropogon concortus) dan padi-
padian (Shorgum nitidus). Beberapa pohon yang menghuni savana antara lain
pilang (Acacia leucophloea) dan kesambi (Schleichera oleosa). Khusus padang
rumput alami di daerah Bekol seluas 420 ha, saat ini telah ditumbuhi tanaman
Acacia nilotica (BTNB 2007).
Undulting savana tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu. Sub tipe savana
ini membujur dari sebelah utara hingga timur laut dengan luas lebih kurang 8.000
ha. Daerah ini kurang disukai oleh banteng, rusa maupun kerbau liar. Jenis
rumput yang dominan adalah merakan putih (Dichantium caricosum). Apabila
dibandingkan dengan flat savana, jenis gajah-gajahan (Scherachne punctata) lebih
sedikit dan padi-padian lebih banyak. Pohon kesambi, pilang dan bidara tumbuh
secara terpencar pada savana ini (BTNB 2007).
Hutan monsoon yang terdapat di TNB dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu hutan monsoon dataran rendah dan hutan monsoon dataran tinggi. Daerah
transisi kedua hutan ini terletak pada ketinggian 250-400 meter dari permukaan air
laut. Di kawasan TNB juga terdapat tanaman yang dapat dipakai sebagai bahan
obat tradisional. Pada kekhasan tumbuhan, TNB memiliki pohon widoro bekol
(Zizyphus rotundifolia), tumbuhan lainnya dalam asam (Tamarindus indica),
gadung (Dioscorea hispida), pilang (Acacia leucophloea), kemiri (Sterculia
foetida), gebang (Corypha utan), talok (Grewia sp), walikukun (Schoutenia ovata),
mimbo (Azadirachta indica), kesambi (Schleichera oleosa), lontar (Borassus sp)
dan lain-lain (BTNB 2007).
Selain flora, TNB memiliki fauna yang beraneka ragam dan secara garis
besar terdapat empat kelas yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia
besar yang penting terutama dari golongan hewan berkuku antara lain Banteng
(Bos javanicus), Kerbau liar (Bubalus bubalis), Rusa timor (Cervus timorensis),
Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa dan Sus verrucossus),
Macan tutul (Panthera pardus) dan Ajag (Cuon alpinus). Jenis primata yang
terdapat di TNB yaitu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung
budeng (Presbytis aurata) (BTNB 2007).
28
Kelas burung yang terdapat di TNB sebanyak 155 jenis, diantaranya terdapat
jenis endemik Jawa yaitu Takur tulungtumpuk (Megalaima javensis), endemik
Jawa dan Bali yaitu Jalak putih (Sturnus melanopterus) serta Cekakak jawa
(Halcyon cyanoventris). Di daerah ini juga terdapat Ayam hutan (Gallus sp.) dan
merak hijau. Dari kelas pisces belum banyak diketahui informasinya, walaupun
demikian terdapat jenis yang memiliki nilai ekonomis yaitu Bandeng (Chanos
chanos). Reptilia besar tidak banyak dijumpai pada daerah ini. Jenis penting
yang terdapat di sekitar pantai adalah Biawak air asia (Varanus salvator) (BTNB
2007).
29
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. Lokasi berbiak merak hijau di TNAP dan TNB; (a) padang rumput
Sadengan, (b) hutan alam Rowobendo, (c) hutan tanaman jati
Gunting dan (d) savana Bekol.
lokasi di TNB yang digunakan merak hijau sebagai tempat melakukan aktivitas
berbiak. Bekol merupakan tipe habitat savana yang di dalamnya terdapat bak air
minum sebagai sumber air buatan saat musim kemarau datang (Gambar 6d).
Daerah Manting merupakan tipe habitat hutan pantai di resort Bama. Sementara
itu, hutan Evergreen merupakan tipe habitat hutan yang selalu hijau sepanjang
tahunnya. Walaupun ketiga lokasi tersebut berbeda tipe habitat, akan tetapi
ketiganya memiliki areal terbuka tempat berlangsungnya aktivitas berbiak merak
hijau.
Merak hijau berbiak satu kali dalam satu tahun. Merak hijau berbiak pada
musim kemarau, yaitu pada bulan yang bercurah hujan dan jumlah hari hujan
terendah dalam satu tahun. Berdasarkan pengamatan pada tahun 2007 di TNAP
merak hijau berbiak berkisar pada bulan September sampai dengan bulan
November, sedangkan di TNB merak hijau berbiak berkisar pada bulan Oktober
sampai dengan bulan Desember (Gambar 7 dan 8). Hal ini berhubungan dengan
strategi merak hijau dalam menghadapi ketersediaan pakan, yaitu diharapkan
telur-telur merak hijau akan menetas saat sebelum musim penghujan tiba,
sehingga tumbuhan telah kembali hijau dan pakan akan tercukupi untuk anakan
merak hijau yang baru menetas.
Proses berbiak merak hijau terdiri atas tiga tahap, yaitu pra kawin, kawin
dan pasca kawin. Proses pra kawin ditandai dengan merak hijau jantan
melakukan tarian (display) dan suara khas musim berbiak yang dikeluarkannya.
Proses kopulasi ditandai oleh naiknya merak hijau jantan ke atas punggung merak
hijau betina hingga terjadinya kopulasi. Merak hijau jantan akan merontokkan
bulu hiasnya dan merak hijau betina akan mengerami telurnya pada masa pasca
kawin.
31
300
200
150
100
50
Gambar 7. Grafik curah hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan
Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007)
16
14
12
Jumlah Hari Hujan
10
Gambar 8. Grafik hari hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan
Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007)
sejak awal bulan Juni hingga awal Desember, sementara di TNB berlangsung
pada pertengahan bulan Juni hingga akhir bulan Desember. Aktivitas perkawinan
ditandai dengan suara khas dan kopulasi antara merak hijau jantan dan betina
yang berlangsung pada bulan September hingga Desember di TNAP dan bulan
Oktober hingga Desember di TNB. Aktivitas bersarang atau bertelur berlangsung
tidak jauh dari proses kopulasi, di TNAP dan TNB merak hijau bersarang
berlangsung hingga bulan Januari (Gambar 9).
Gambar 9. Grafik rentang waktu beberapa perilaku saat musim berbiak merak
hijau di TNAP dan TNB
Perilaku berbiak merak hijau bersifat musiman atau hanya terjadi satu kali
dalam satu tahun, yaitu pada musim kemarau menjelang musim penghujan.
Mackinnon (1990) menyatakan bahwa musim berbiak merak hijau di Jawa Timur
dan Jawa Barat dari bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober. Dua peneliti
lainnya menyebutkan musim berbiak merak hijau di TNB diawali pada bulan
Oktober dan diakhiri pada bulan Desember (Pattaratuma 1977) dan bulan Januari
(Hernowo 1995). Perilaku berbiak berlangsung menjelang musim penghujan
berkaitan dengan ketersediaan pakan. Karena saat awal musim penghujan
tumbuhan akan menghijau kembali. Perrins dan Birkhead (1983) dalam Dwisatya
(2006) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong burung untuk
melakukan perkembangbiakan adalah ketersediaan pakan.
33
(a) (b)
Gambar 10. Perilaku display merak hijau; (a) merak hijau jantan display di depan
merak hijau betina, (b) merak hijau jantan display di depan merak
hijau jantan lainnya
(a) (b)
Gambar 11. Perilaku display merak hijau; (a) posisi awal, (b) posisi sempurna.
Saat display untuk menarik perhatian merak hijau betina, merak hijau
jantan juga melakukan putaran patah-patah diiringi dengan hentakan kaki ke
permukaan saat merak hijau betina mendekatinya. Gerakan ini dilakukan ketika
merak hijau betina ingin melihat merak hijau jantan tampak depan. Namun,
merak hijau jantan selalu berputar membelakanginya, sehingga merak hijau betina
35
hanya dapat melihat bagian belakang merak hijau jantan. Akan tetapi merak hijau
jantan akan berputar secara mendadak, sehingga menghasilkan posisi berhadapan
dan akan menggetarkan bulu hiasnya hingga mengeluarkan bunyi gemerisik.
Suara gemerisik tersebut dihasilkan oleh resonansi antara bulu hias satu dengan
bulu hias lainnya yang melengkung-lengkung seperti gelombang akibat digetarkan.
Selain menggetarkannya, merak hijau akan merundukkan bulu hiasnya seakan-
akan menyentuh permukaan yang dipijaknya. Hal tersebut akan dilakukan
berulang hingga merak hijau betina menerima tariannya atau menjauhinya.
Aktivitas merak hijau betina pada saat merak hijau jantan melakukan
display bervariasi. Merak hijau betina yang tertarik pada tarian merak hijau jantan
akan mendekatinya dengan berputar mengelilingi merak hijau jantan yang sedang
display. Adapun merak hijau betina yang tidak tertarik akan melanjutkan
aktivitasnya seperti makan, mandi debu, menelisik dan minum (Gambar 12).
(a) (b)
Gambar 12. Aktivitas merak hijau betina ketika merak hijau jantan display:
(a) makan, (b) berputar mengelilingi merak hijau jantan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 13. Proses akhir perilaku display, dilihat searah jarum jam berurutan dari
(a)-(b)-(d)-(c).
Merak hijau jantan melakukan aktivitas display setelah turun dari dan
sebelum naik ke tempat tidurnya. Waktu berlangsungnya aktivitas display terbagi
dalam dua kategori yaitu pagi dan sore hari. Di TNAP, aktivitas display
berlangsung pada pukul 05.00-11.00 WIB dan berkisar antara pukul 14.00-17.30
WIB. Aktivitas display di TNB berkisar antara pukul 04.00-09.00 WIB dan
berlangsung pada pukul 13.00-17.30 WIB. Merak hijau jantan melakukan
aktivitas display paling banyak frekuensinya pada pukul 08.00-09.00 WIB di
TNAP dan pukul 05.00-06.00 WIB di TNB (Gambar 14). Pada pagi hari aktivitas
display di TNAP akan bertambah frekuensinya seiring bertambahnya waktu
hingga pukul 09.00 WIB. Hal ini, berbanding terbalik dengan TNB yang semakin
menurun frekuensi aktivitas display hingga pukul 09.00 WIB. Akan tetapi, waktu
aktivitas display sore hari baik di TNAP maupun di TNB memiliki frekuensi
sejajar, yaitu mengalami peningkatan pada pukul 14.00-15.00 WIB dan menurun
kembali pada pukul 15.00-17.00 WIB. Secara umum, merak hijau jantan di TNB
melakukan display rerata 10 kali per jantan per hari, sedangkan merak hijau jantan
di TNAP hanya rerata 5 kali per hari melakukan display.
37
3.5
3
Rerata frekuensi per hari
2.5
1.5
0.5
Merak hijau jantan biasa melakukan aktivitas display pada areal yang lebih
terbuka dibandingkan dengan areal sekitarnya. Areal terbuka yang dibutuhkan
38
oleh merak hijau jantan minimal berukuran dua kali panjang bulu hiasnya atau
sekitar 3x3 meter. Areal terbuka tersebut terkadang memiliki penutupan lahan
berupa rerumputan, tumbuhan bawah ataupun tanah. Ketinggian rumput dan
tumbuhan bawah tempat merak hijau jantan melakukan aktivitas display tidak
akan melebihi tinggi kaki merak hijau jantan tersebut.
Frekuensi aktivitas display merak hijau jantan berbeda pada tiap tipe
habitat (Gambar 15). Merak hijau hutan tanaman jati Gunting melakukan
aktivitas display lebih sering dibandingkan dua loksi lainnya di TNAP. Frekuensi
aktivitas display merak hijau di hutan tanaman jati Gunting sebesar 10 kali per
individu per hari, sedangkan di padang rumput Sadengan dan hutan Rowobendo
secara berurut sebanyak delapan dan tujuh kali per individu per hari. Di TNB,
aktivitas display merak hijau di atas enam kali per individu per hari. Frekuensi
terbesar terjadi di hutan pantai Manting, yaitu merak hijau melakukan aktivitas
display sebanyak 16 kali per individu per hari.
18.00
16.00
Rerata frekuensi per hari
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 15. Grafik frekuensi harian perilaku display merak hijau di beberapa tipe
habitat di TNAP dan TNB
berarti perilaku display dipengaruhi tipe habitat, karena berdasarkan uji chi-square
terhadap frekuensi dan durasi bahwa perilaku display merak hijau tidak
terpengaruh oleh tipe habitat baik di TNAP maupun TNB (χ = 0.000, P = 9.210).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa merak hijau memiliki peluang melakukan
aktivitas display yang sama pada setiap tipe habitat baik di TNAP maupun TNB.
Merak hijau jantan melakukan aktivitas display pada termpat terbuka
sebagai bentuk strateginya. Tipe habitat di TNAP dan TNB tidak mempengaruhi
perilaku display, akan tetapi habitat padang rumput di TNAP dan savana di TNB
lebih berpeluang menyediakan tempat terbuka, sehingga merak hijau jantan akan
melakukan aktivitas display di padang rumput maupun savana. Mengingat
terbuka memiliki peluang dikunjungi oleh merak hijau betina.
Perilaku display termasuk dalam perilaku percumbuan (courtship).
Perilaku display merupakan perilaku pra kawin merak hijau yang dilakukan merak
hijau jantan bertujuan untuk menarik perhatian merak hijau betina agar bersedia
melakukan perkawinan. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan
bahwa percumbuan adalah sebagai permulaan untuk menarik pasangan. Merak
hijau melakukan perilaku display merupakan bentuk strategi dalam
keberlangsungan hidupnya untuk dapat bereproduksi dengan memanfaatkan bulu
indah yang dimilikinya. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan
bahwa burung memiliki indera penglihatan dan pendengaran lebih berkembang
daripada indera penciuman, sehingga secara umum burung menarik pasangan
dengan tarian dan kicauan atau panggilan.
Perilaku display dilakukan sebagai strategi seleksi merak hijau guna
mendapatkan pejantan dan betina siap kawin yang berkualitas, sehingga
menghasilkan keturunan yang bermutu dengan tingkat keselamatan yang tinggi
maka akan terjamin keberlangsungan hidup keturunannya. Hal ini didukung oleh
pernyataan Dwisatya (2006) bahwa display sangat penting dalam pengenalan
intraspesies untuk menghindari perkawinan silang dan merupakan cara jantan
dalam menyebabkan kesiapan betina untuk melakukan kopulasi yang bertepatan
dengan terjadinya kopulasi yang memungkinkan berlangsungnya pembuahan.
Selain itu, percumbuan meminimalkan resiko perkawinan silang dan menjamin
40
perkawinan hanya terjadi dengan individu spesies yang sama (McFarland 1987
dalam Dwisatya 2006).
Merak hijau jantan akan melakukan perilaku display saat ada atau tidak
ada merak hijau betina di dekatnya, bahkan sering kali dilakukan di depan merak
hijau jantan lainnya. Pattaratuma (1977) menyebutkan bahwa saat awal musim
percumbuan merak hijau jantan akan berusaha mencari merak hijau betina, lalu
akan display setelah menemukannya. Hal ini dipertegas oleh Hernowo (1995)
bahwa merak hijau jantan berperilaku display ketika melihat merak hijau betina.
Maryanti (2007) berpendapat bahwa aktivitas display dilakukan apabila merak
hijau betina mendekat untuk menarik perhatiannya, namun terkadang juga
dilakukan di depan merak hijau jantan yang lain untuk menunjukkan
kejantanannya pada merak hijau jantan lain.
Saat melakukan display, merak hijau jantan akan mengkombinasikan
beberapa gerakan seperti berbalik, berputar dan menggerisikkan bulu hiasnya.
Hal ini merupakan strategi untuk menambah rangsangan seksual bagi merak hijau
betina yang berada didekatnya. Merak hijau jantan akan membelakangi merak
hijau betina yang diliriknya, kemudian akan membalikkan tubuhnya ketika merak
hijau betina mendekatinya, sehingga memberi kesan keterkejutan dengan
memperlihatkan bulu hias bagian depan yang indah penuh warna. Grzimek’s
(1972) menyatakan bahwa merak jantan tidak pernah merayu merak betina secara
langsung, tetapi segera membalikkan tubuhnya ketika merak betina mendekatinya.
Gerakan lain yang dilakukan merak hijau jantan saat display adalah
berputar dan menggerisikkan bulu hiasnya. Hal ini bertujuan agar bulu hiasnya
mendapatkan pencahayaan dari berbagai sudut, sehingga menambah keindahan
bulunya dari efek pencahayaan dan penggetaran bulu hias menambah indah akibat
ocelus yang terlihat banyak dan berkilauan. Anonim dalam Dwisatya (2006)
menyatakan bahwa struktur dua dimensi berlapis-lapis pada bulu hias merak
memiliki perbedaan luas antara lapisan satu dengan yang lainnya memantulkan
cahaya-cahaya yang berlainan, sehingga warna yang dihasilkan menjadi
bermacam-macam. Karena ini merupakan strategi merak hijau dalam hal
pewarisan kondisi tersebut kepada keturunannya, sehingga keturunannya akan
berhasil dalam bereproduksi.
41
Merak hijau jantan biasa melakukan aktivitas display pada areal yang lebih
terbuka dan datar dibandingkan dengan areal sekitarnya terkadang dengan
topografi yang lebih tinggi. Pemilihan tempat tersebut merupakan strategi merak
hijau jantan agar mudah terlihat oleh merak hijau betina dan dapat mengawasi
merak hijau jantan pesaingnya serta tempat terbuka lebih berpeluang untuk
didatangi oleh merak hijau betina. Maryanti (2007) menyebutkan biasanya merak
hijau jantan melakukan display di tempat terbuka dan terkena sinar matahari, hal
ini merupakan strategi merak hijau jantan untuk menghasilkan gradasi warna di
bulu hiasnya karena sinar matahari memiliki spektrum warna yang berbeda dan
bila mengenai suatu benda akan berubah warna. Winarto (1993) menyatakan
bahwa aktivitas tarian hanya dilakukan pada tempat-tempat yang terbuka di antara
waktu makan dan istirahat.
Areal terbuka yang dibutuhkan oleh merak hijau jantan minimal berukuran
dua kali panjang bulu hiasnya atau sekitar 3x3 meter. Areal terbuka tersebut
terkadang memiliki penutupan lahan berupa rerumputan, tumbuhan bawah
ataupun tanah. Ketinggian rumput dan tumbuhan bawah tempat merak hijau
jantan melakukan aktivitas display tidak akan melebihi tinggi kaki merak hijau
jantan tersebut. Sesuai dengan yang diungkapkan Winarto (1993), areal terbuka
tempat display berdiameter tiga meter dengan tidak ditumbuhi vegetasi pada
tingkat pohon, sapihan ataupun semak bahkan sering dilakukan di jalan-jalan
beraspal. Hal ini diikuti oleh Hernowo (1995) yang menyatakan merak memilih
tempat yang datar sebagai tempat menari, biasanya tempat ini pada daerah yang
sedikit berumput, semak dan beberapa pohon. Sativaningsih (2005) menjelaskan
bahwa merak hijau jantan di padang penggembalaan Sadengan memilih tempat
yang terbuka, bersih, tanahnya rata atau datar.
Aktivitas bersuara dilakukan oleh merak hijau jantan dan betina baik
dewasa, remaja maupun anakan. Perilaku bersuara merak hijau merupakan
strategi dalam berkomunikasi, yaitu sebagai tanda keberadaaan dirinya maupun
satwaliar lainnya dan penandaan kematangan siap kawin. Suara sebagai salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perkawinan, karena suara sebagai
salah satu alat pemikat merak hijau jantan terhadap merak hijau betina.
43
Saat musim berbiak datang, merak hijau mengeluarkan suara khas yang
hanya dikeluarkan oleh jantan. Terdapat dua tipe suara yang menjadi ciri khas
musim berbiak, yaitu suara seperti kucing “ngeeyaaoow”; ”mahaaoow” atau
“eewaaoow” serta suara seperti rem kendaraan bermotor “sheeiikks”. Tipe suara
lain yang tercatat selama penelitian di TNAP dan TNB adalah “auwo”, “kokokok”,
“tk…tk…tk…”, “krooow”, “ngook” dan “wii…wii…wii…”. Total tipe suara
merak hijau yang ditemukan sebanyak delapan tipe suara.
Kedelapan tipe suara merak hijau yang tercatat pada saat penelitian
memiliki arti tersendiri untuk setiap tipe suaranya, yaitu:
1) Tipe I : “auwo”
Suara tipe I merupakan tipe suara umum yang dikeluarkan merak hijau, baik
merak hijau jantan maupun betina. Tipe suara ini bervariasi dari satu kali
hingga empat kali bersuara. Pengeluaran suara tipe I merupakan bentuk
ekspresi dari strategi merak hijau dalam memberi tanda akan keberadaannya
dan untuk mencari keberadaan individu lainnya. Seringkali merak hijau
bersuara “auwo” ketika terdengar suara lain yang mengejutkan atau ribut
tetapi tidak membahayakan, seperti suara gemuruh mesin pesawat terbang,
suara mesin dan klakson kendaraan bermotor serta suara satwaliar yang
berkelahi. Merak hijau betina lebih sering mengeluarkan suara variasi dua
kali (“auwo…auwo…”), yaitu terdengar 7.25 kali per individu per hari di
hutan tanaman jati Gunting dan 10.00 kali per individu per hari di savana
Bekol TNB, sedangkan merak hijau jantan lebih sering mengeluarkan suara
variasi tiga kali (“auwo…auwo…auwo…”), seperti yang terdengar di
padang rumput Sadengan TNAP sebesar 3.50 kali per individu per hari dan
sebanyak 3.82 kali per individu per hari di savana Bekol TNB (Tabel 2).
Tabel 2. Frekuensi suara tipe I di TNAP dan TNB per individu per hari
auwo 1x auwo 2x auwo 3x auwo 4x
Lokasi
♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Sadengan 1.19 1.38 1.94 4.69 3.50 2.00 0.06 0.06
Gunting*) 0.38 1.56 0.25 7.25 2.94 0.38 0.69 0.00
Rowobendo 0.33 2.00 0.22 5.67 2.33 0.67 0.22 0.00
TNB
Bekol 0.36 0.45 0.36 10.00 3.82 0.09 0.00 0.00
Manting 0.20 0.80 0.00 9.70 0.30 0.10 0.00 0.00
Evergreen 0.00 0.00 0.00 9.80 0.20 0.00 0.00 0.00
Keterangan : ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
44
2) Tipe II : “kokokok”
Secara umum, suara tipe II dikeluarkan oleh merak hijau saat terbang, baik
itu karena mendapat gangguan atau saat akan turun dari pohon maupun naik
ke pohon. Namun, suara ini dikeluarkan juga ketika pagi hari yaitu saat
bangun dari tidur serta dikeluarkan juga saat lari akibat dikejar individu lain
atau satwa lain dan dikeluarkan akibat merak hijau tersebut melihat individu
lain dalam keadaan bahaya. Suara tipe II ini lebih sering dikeluarkan oleh
merak hijau betina di TNAP, seperti merak hijau betina di padang rumput
Sadengan TNAP yang memiliki frekuensi 0.19 dan 1.50 kali per individu
per hari. Namun, di TNB suara tipe ini berimbang baik merak hijau jantan
maupun betina, seperti di hutan pantai Manting merak hijau jantan
mengeluarkan suara “auwo…kokokok” sebanyak 2.40 kali per individu per
hari, sedangkan merak hijau betina hanya 1.80 kali per individu per hari.
Hal ini berbalik jika dilihat di hutan evergreen, dimana merak hijau jantan
tidak bersuara namun merak hijau betina mengeluarkan suara
“auwo…kokokok” sebanyak 2.60 kali per individu per hari. Suara tipe II
memiliki variasi suara, yaitu gabungan antara suara tipe I dan II yang
berbunyi “auwo…kokokok”. Variasi “auwo…kokokok” ini memiliki
makna yang sama dengan suara “kokokok”, namun terkadang suara ini
digunakan untuk mengetahui individu lainnya. Variasi “auwo…kokokok”
lebih sering terdengar dibandingkan suara “kokokok” (Tabel 3).
Tabel 3. Frekuensi suara tipe II di TNAP dan TNB per individu per hari
kokokok auwo…kokokok
Lokasi
♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Sadengan 0.00 0.19 0.25 1.50
Gunting*) 0.06 0.50 0.63 1.25
Rowobendo 0.11 0.11 1.00 1.44
TNB
Bekol 0.36 0.18 1.64 1.27
Manting 0.00 0.00 2.40 1.80
Evergreen 0.00 1.80 0.00 2.60
Keterangan : ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
4) Tipe IV : “krooow”
Suara tipe IV memiliki makna yang hampir sama dengan suara tipe III, yaitu
merupakan sinyal mencurigai sesuatu. Namun, tipe ini mengindikasikan
curiga terhadap suatu yang dapat membahayakannya. Variasi yang sering
terdengar dari tipe ini adalah suara “krooow” dibandingkan suara
“krooow…kokokok”. Hal ini terlihat di TNAP dan TNB, merak hijau
betina di kedua lokasi tersebut mengeluarkan variasi tipe suara tersebut,
yaitu di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting sebanyak
0.19 kali per individu per hari, hutan Rowobendo sebanyak 0.22 kali per
individu per hari, savana Bekol sebanyak 0.09 kali per individu per hari
serta hutan pantai Manting dan hutan evergreen sebanyak 0.20 kali per
individu per hari (Tabel 5). Merak hijau jantan hanya terdengar di hutan
Rowobendo dan savana Bekol mengeluarkan suara “krooow…kokokok”
sebanyak 0.11 dan 0.18 kali per individu per hari.
46
Tabel 5. Frekuensi suara tipe IV di TNAP dan TNB per individu per hari
krooow krooow…kokokok
Lokasi
♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Sadengan 0.00 0.19 0.00 0.00
Gunting*) 0.00 0.19 0.00 0.06
Rowobendo 0.00 0.22 0.11 0.00
TNB
Bekol 0.00 0.09 0.18 0.18
Manting 0.00 0.20 0.00 0.20
Evergreen 0.00 0.20 0.00 0.00
Keterangan : ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
5) Tipe V : “ngook”
Suara tipe V memiliki makna beragam. Di TNAP, suara ini terdengar di
padang rumput Sadengan yang dikeluarkan oleh merak hijau betina yang
sedang jalan saat tertinggal oleh kelompoknya, yaitu sebayak 0.06 kali per
individu per hari. Untuk suara yang terdengar di hutan tanaman jati Gunting,
merak hijau jantan terlihat bersuara saat akan melakukan display sebanyak
0.19 kali per individu per hari, sedangkan merak hijau betina yang
mengeluarkan suara “ngook” terlihat sedang mengamati merak hijau betina
lainnya kawin sebanyak 0.19 kali per individu per hari. Di TNB, suara ini
dikeluarkan oleh merak hijau jantan saat akan melakukan display, yaitu
sebanyak 0.36 kali per individu per hari di savana Bekol dan di hutan pantai
Manting sebanyak 0.50 kali per individu per hari. Sementara itu, merak
hijau betina bersuara saat akan menuju bak minum di savana Bekol
sebanyak 0.09 kali per individu per hari dan sebanyak 0.10 kali per individu
per hari sedang berteduh di bawah pohon di hutan pantai Manting (Tabel 6).
Tabel 6. Frekuensi suara tipe V di TNAP dan TNB per individu per hari
ngook
Lokasi
♂ ♀
TNAP
Sadengan 0.00 0.06
Gunting*) 0.19 0.19
Rowobendo 0.00 0.00
TNB
Bekol 0.36 0.09
Manting 0.50 0.10
Evergreen 0.00 0.00
Keterangan : ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
47
6) Tipe VI : “eewaaoow”
Tipe suara ini hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan pada saat musim
berbiak. Di TNAP, suara ini terdengar pada awal bulan September,
sedangkan di TNB terdengar pada bulan Oktober. Suara tipe VI bermakna
bahwa merak hijau jantan tersebut siap untuk kawin. Suara panggilan ini
dilakukan baik sedang display atau disela-sela aktivitas lain. Terdapat tiga
variasi dari tipe suara ini, yaitu “eewaaoow”, “maahaaoow” dan
“ngeeyaaoow”. Tipe suara ini paling sering terdengar di hutan tanaman jati
Gunting TNAP sebanyak 1.56 sampai 5.50 kali per individu per hari,
sedangkan di TNB suara ini lebih sering terdengar di hutan pantai Manting,
yaitu sebanyak 10.30 kali per individu per hari (Tabel 7).
Tabel 7. Frekuensi suara tipe VI di TNAP dan TNB per individu per hari
Lokasi eewaaoow maahaaoow ngeeyaaoow
TNAP
Sadengan 0.56 0.38 2.44
Gunting*) 3.38 1.56 5.50
Rowobendo 2.67 1.22 4.33
TNB
Bekol 6.27 4.64 4.55
Manting 10.30 6.90 6.60
Evergreen 6.40 6.20 6.20
Keterangan : *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Tabel 8. Frekuensi suara tipe VII di TNAP dan TNB per individu per hari
Lokasi sheeiikks
TNAP
Sadengan 0.38
Gunting*) 0.13
Rowobendo 0.00
TNB
Bekol 0.45
Manting 1.70
Evergreen 0.00
Keterangan : *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
berkaitan dengan aktivitas manusia dan satwa lain mulai beraktivitas pada tempat
yang sama.
Tipe suara “kokokok” di TNAP terdengar mulai pukul 04.00-08.00 WIB
pada pagi hari dan 16.00-18.00 WIB pada sore hari untuk merak hijau betina,
sedangkan merak hijau jantan bersuara pada pagi hari pukul 05.00-07.00 WIB dan
sore hari pukul 14.00-18.00 WIB (Gambar 16). Di TNB tipe suara “kokokok”
terdengar pada pagi hari pukul 04.00-08.00 WIB dan pukul 14.00-18.00 WIB
pada sore hari baik merak hijau jantan maupun merak hijau betina (Gambar 17).
Tipe suara “sheeiikkss” terdengar di TNAP dan TNB (Gambar 16b dan
17b). Di TNAP, suara tersebut hanya terdengar di pagi hari berkisar pada pukul
04.00, 05.00 dan 07.00 WIB. Sementara itu, suara “sheeiikks” terdengar pada
pagi dan sore hari di TNB. Pagi hari hari suara tersebut terdengar pada pukul
04.00-06.00 WIB, sedangkan sore hari suara “sheeiikks” terdengar pada pukul
15.00 WIB saja.
Aktivitas suara merak hijau pada pukul 10.00-13.00 WIB baik di TNAP
maupun TNB merupakan frekuensi terendah (Gambar 16 dan 17). Hal ini
berkaitan dengan aktivitas istirahat yang dilakukannya pada selang waktu
tersebut, sehingga merak hijau mengurangi bersuara agar keberadaannya tidak
diketahui oleh predator. Tipe suara yang terdengar pada selang waktu tersebut
antara lain, tipe suara “auwo”, “kokokok” dan “eewaaoow”. Dari ketiga tipe
suara tersebut merak hijau betina yang sering mengeluarkan suara “auwo” pada
selang waktu siang hari dari pukul 10.00-13.00 WIB.
Tipe suara “krooow” hanya dikeluarkan oleh merak hijau betina baik di
TNAP maupun TNB (Gambar 16 dan 17). Suara “krooow” frekuensi tertinggi di
TNAP terjadi hanya pada pagi hari pada pukul 05.00 dan pukul 07.00 WIB. Di
TNB, tipe suara “krooow” terdengar di pagi hari pada pukul 05.00-06.00 WIB dan
sore hari pada pukul 15.00 dan pukul 17.00 WIB.
50
1.8
Rerata frekuensi per hari 1.6
1.4
1.2
0.8
0.6
0.4
0.2
Waktu (WIB)
auwo kokokok tk…tk…tk… krooow ngook
(a)
1.8
1.6
Rerata frekuensi per hari
1.4
1.2
0.8
0.6
0.4
0.2
Waktu (WIB)
auwo kokokok tk…tk…tk… krooow ngook eewaaoow sheeiikks
(b)
Gambar 16. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak
hijau di TNAP; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan
51
2.5
1.5
0.5
Waktu (WIB)
auwo kokokok tk…tk…tk… krooow ngook
(a)
5
4.5
4
Rerata frekuensi per hari
3.5
2.5
1.5
0.5
Waktu (WIB)
auwo kokokok tk…tk…tk… krooow ngook eewaaoow sheeiikks
(b)
Gambar 17. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak
hijau di TNB; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan
Tipe suara yang terdengar memiliki jumlah yang berbeda di tiap habitat.
Tipe suara terlengkap terdengar di savana (Gambar 18). Hutan Rowobendo
merupakan tipe habitat yang memiliki jumlah dan frekuensi tipe suara terendah
per harinya dibandingkan tipe habitat lainnya. Tipe suara “auwo” frekuensi
52
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
auwo kokokok tk…tk…tk… krooow ngook eewaaoow sheeiikks
Gambar 18. Grafik frekuensi harian perilaku suara merak hijau di beberapa tipe
habitat di TNAP dan TNB
Hasil uji chi-square terhadap tipe suara merak hijau menunjukkan bahwa
di TNAP yang diwakili dengan tipe habitat padang rumput, hutan tanaman jati
dan hutan Rowobendo memiliki nilai ( χ = 3.796, P = 9.210). Hal ini
menunjukkan bahwa frekuensi tipe suara akan sama pada tipe habitat yang
berbeda. Di TNAP, frekuensi tipe suara yang terdengar di padang rumput
Sadengan, areal tumpangsari, dan hutan Ngagelan memiliki peluang yang sama.
Berbeda halnya di TNB yang diwakili dengan tipe habitat savana, hutan pantai
dan evergreen memiliki pengaruh terhadap aktivitas bersuara merak hijau (χ =
73.466, P < 0.01). Frekuensi suara merak hijau akan berlainan pada setiap tipe
habitat yang berbeda di TNB, dalam hal ini pada habitat savana Bekol, hutan
pantai Manting dan hutan evergreen.
Suara merupakan strategi merak hijau untuk saling berkomunikasi antar
individu untuk menandai dan mengetahui keberadaan. Frekuensi suara merak
hijau di TNAP berpeluang sama karena merak hijau di TNAP akan berkumpul di
53
areal terbuka pada habitat padang rumput, hutan tanaman jati dan hutan alam
untuk beraktivitas sepanjang hari selama musim berbiak. Berbeda halnya dengan
merak hijau di TNB yang hidup menyebar luas pada habitat yang relatif terbuka.
Sebanyak 40% kawasan TNB adalah savana (BTNB 2007). Dapat dikatakan
perilaku suara merupakan strategi merak hijau di TNB untuk menemukan individu
lainnya, terutama merak hijau jantan dalam mencari merak hijau betina di saat
musim berbiak.
Suara sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
perkawinan, karena suara sebagai salah satu alat pemikat dan pengenal
karakteristik diri bagi merak hijau jantan terhadap merak hijau betina. Seperti
yang diungkapkan Pough et al. (1979) dalam Dwisatya (2006) bahwa aktivitas
suara berfungsi sebagai alat pemikat merak betina, melalui suara merak jantan
berupaya menunjukkan keberadaannya, selain itu kicauan atau nyanyian dapat
menunjukkan spesies, jenis kelamin dan teritori serta mungkin memberitahu
kecakapannya yang dapat digunakan dalam memperoleh pasangan.
Hernowo (1995) menyebutkan bahwa merak hijau jantan mengeluarkan
suara khas saat musim kawin. Pattaratuma (1977) menyatakan saat musim kawin
merak jantan mengeluarkan suara “kay-yaw, kay-yaw, kay-yaw” serta saat bulan
kawin mengeluarkan suara “kay-yaw, ngaa…aw”. Selama penelitian terdapat dua
tipe suara yang menjadi ciri khas musim berbiak, yaitu suara seperti kucing
“ngeeyaaoow”; ”mahaaoow” atau “eewaaoow” serta suara seperti rem kendaraan
bermotor “sheeiikks”. Immelman (1983) menyatakan bahwa satwa mengeluarkan
suara-suara yang khas atau dikenal dengan auditory atraction.
Tipe suara VI telah banyak diterangkan oleh beberapa penelitian
sebelumnya sebagai penanda musim kawin. Jenis suara khas saat musim kawin
yang dikeluarkan oleh merak hijau adalah “ngeeyaaoow...ngeeyaaoow... atau
eewaaaoow...eewaaaoow...” (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007).
Namun, tipe suara VII atau “sheeiikks” belum pernah tercatat sebagai jenis suara
merak hijau. Tipe suara ini sering dianggap sebagai suara yang dikeluarkan akibat
merak hijau jantan menggerisikkan bulu hiasnya, padahal suara ini terdengar saat
merak hijau jantan akan naik ke atas punggung betina (akan terjadi kopulasi). Hal
ini membuat tipe suara tersebut dapat dijadikan sebagai ciri khas merak hijau
54
(Maryanti 2007), sedangkan untuk sore hari pada pukul 16.00-18.00 WIB
(Winarto 1993; Hernowo 1995) dan 14.00-18.00 WIB (Maryanti 2007). Pada
siang hari merak hijau lebih banyak berteduh untuk istirahat, sehingga jarang
mengeluarkan suara untuk menghindari predator dan pengganggu lainnya.
Frekuensi perilaku bersuara yang dikeluarkan merak hijau berbeda-beda
pada setiap tipe habitat terutama antara lokasi TNAP dan TNB. Merak hijau TNB
lebih sering terdengar bersuara daripada merak hijau TNAP. Hal ini tidak
terpengaruhi oleh habitat TNB yang memiliki tajuk renggang sedangkan TNAP
bertajuk rapat. Namun, dipengaruhi oleh keberadaan individu merak itu sendiri.
Merak hijau TNAP saat musim kawin terkonsentrasi pada areal terbuka seperti
padang rumput dan areal tumpangsari sebagai tempat konsentrasi makan,
sedangkan merak hijau TNB memiliki pola tersebar dan hanya berkumpul saat
akan minum. Hal tersebut menyebabkan merak hijau TNB lebih sering
mengeluarkan suara sebagai strategi untuk mengetahui keberadaan individu lain
serta memberitahu keberadaannya.
Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan frekuensi suara adalah
keberadaan satwaliar lainnya. Karena beberapa tipe suara dikeluarkan ketika
terjadi gangguan atau kecurigaan terhadap sesuatu. Merak hijau bersuara untuk
berkomunikasi dengan sesama jenisnya baik untuk menandakan keberadaan,
mencurigai sesuatu atau suara yang menandakan keterkejutan (Maryanti 2007).
Frekuensi perilaku bersuara merak hijau di TNAP tidak dipengaruhi oleh tipe
habitat tetapi frekuensi suara di TNB dipengaruhi oleh tipe habitat. Hal ini
dikarenakan habitat di TNB yang menyediakan tempat terbuka yang luas
membuat merak hijau hidup secara menyebar tidak seperti di TNAP yang hidup
secara mengelompok.
Perilaku kawin merupakan ekspresi dari satu atau dua individu yang saling
tertarik untuk melakukan aktivitas seksual. Perilaku kawin merak hijau terjadi
saat merak hijau betina menerima percumbuan dari merak hijau jantan. Secara
umum, tahapan perilaku kawin diawali dengan tanda kesediaan dan kesiapan dari
merak hijau betina untuk melakukan kopulasi yang diawali dengan posisi
mendekam di depan merak hijau jantan dengan posisi membelakanginya. Setelah
56
merak hijau betina mendekam, merak hijau jantan akan maju mendekat untuk naik
di atas punggung merak hijau betina dengan diawali dengan suara “sheeiikks”.
Saat di atas punggung, merak hijau jantan akan bergerak ke kiri dan ke kanan agar
mendapatkan posisi yang sempurna untuk melakukan kopulasi. Setelah terjadi
kopulasi merak hijau jantan akan turun dari punggung merak hijau betina dengan
cara jalan mundur dan bergerak menjauh dari merak hijau betina.
Merak hijau memiliki beberapa pola dalam berperilaku kawin. Perilaku
kawin merak hijau ada yang didahului dengan aktivitas display maupun tanpa
display. Perilaku kawin tanpa display terjadi setelah merak hijau jantan turun dari
pohon tidurnya, lalu diawali dengan bersahutan suara dengan merak hijau betina
(Gambar 19a). Bersahutan suara hanya berlangsung dalam hitungan menit, lalu
merak hijau betina meluncur turun ke arah tempat merak hijau jantan berada
(Gambar 19b). Merak hijau jantan berlari mendekat ke tempat mendarat merak
hijau betina dengan posisi leher tegak lurus dan kepala digoyangkan ke depan ke
belakang serta sesekali melakukan lompatan rendah hingga merak hijau betina
mendarat di dekat merak hijau jantan (Gambar 19c).
Saat mendarat merak hijau betina akan merundukkan badan sambil
menekuk kaki (posisi mendekam) ketika merak hijau jantan mendekatinya, setelah
itu merak hijau jantan akan naik ke atas punggung merak hijau betina (Gambar
19d dan 19e). Dalam posisi di atas punggung merak hijau betina, merak hijau
jantan akan mendekam dan merapat sambil menghentak-hentakkan kaki dan
merentangkan sayap ke bawah serta bulu hiasnya untuk memantapkan posisi agar
seimbang (Gambar 19f dan 19g). Setelah posisi ideal, merak hijau betina akan
mengangkat bulu ekornya dan merak hijau jantan akan menurunkan bulu ekor dan
bulu hiasnya untuk menempelkan anus ke dubur merak hijau betina (kopulasi)
dengan memiringkan badan ke kiri atau ke kanan (Gambar 19h).
Merak hijau jantan akan kembali pada posisi awal saat pertama naik ke
punggung merak hijau betina setelah kopulasi dan perlahan turun dari punggung
merak hijau betina lalu lari menjauh dari merak hijau betina (Gambar 19i, 19j, 19k
dan 19l). Setelah merak hijau jantan turun dari punggungnya, merak hijau betina
akan melanjutkan aktivitas lain baik menelisik maupun makan. Pada pola
perilaku kawin tersebut terdapat variasi akhir dari merak hijau jantan, yaitu merak
57
(a) (b
b) (c)
(g) (h
h) (i)
(j) (k
k) (l)
Gambar 19. Tata uruutan perilakuu kawin meerak hijau jaantan di paddang rumputt
Sadengaan TNAP taanpa perilak ku display: (a)
( bersuaraa, (b) berlarii,
(c) menddekat, (d) naik,
n (e)-(f)--(g) mengatuur posisi, (hh) kopulasi
(i)-(j)-(kk) turun dann (l) mening ggalkan merrak hijau betina.
Pola perilaku kawin lainnnya adalah perilaku kaawin yang ddidahului deengan
aktivitas display
d yanng dilakukaan merak hijau
h jantann untuk meenarik perh
hatian
merak hijaau betina. Pola ini diaawali dengaan aktivitas display meerak hijau jantan
ketika meelihat kelom
mpok meraak hijau betina,
b lalu merak hijjau betina akan
mendekatii merak hijaau jantan teersebut. Meerak hijau jaantan akan m
menari berp
putar-
putar mem
mperlihatkan keelokann tariannya dan merak hijau betinna akan berrputar
mengelilinngi merak hijau
h tersebbut hingga salah satu merak hijaau betina teertarik
58
dan menerima ajakan kawin dari merak hijau jantan, yang ditandai dengan
mendekamnya merak hijau betina dihadapan merak hijau jantan (Gambar 20a, 20b
dan 20c).
dan ke kanan untuk menyempurnakan kopulasi (Gambar 20f dan 20g). Kopulasi
terjadi dengan ditandai bulu hias direbahkan hingga menyentuh tanah (Gambar
20h).
Proses kopulasi merak hijau sangat cepat, lalu merak hijau jantan akan
menyeimbangkan tubuhnya kembali dan turun dari punggung merak hijau betina
dengan posisi bulu hias tetap terbuka lebar serta merak hijau betina berdiri dan
pergi meninggalkan kerumunan (Gambar 20i, 20j dan 20k). Merak hijau jantan
melakukan display terhadap merak hijau betina lainnya setelah proses kopulasi
terjadi (Gambar 20l). Pola perilaku kawin ini memiliki variasi di akhir aktivitas
seperti pola sebelumnya, yaitu setelah kopulasi merak hijau jantan akan
melakukan display atau melakukan aktivitas lainnya seperti makan maupun
menelisik.
Hanya ditemukan enam merak hijau jantan yang kawin dari populasi rerata
merak hijau di TNAP dan TNB secara berurut adalah sebesar 76.5 dan 61.8
individu (Risnawati 2007). Merak hijau yang melakukan perkawinan ialah tiga
merak hijau jantan di TNAP dan tiga merak hijau jantan lainnya di TNB. Setiap
merak hijau jantan yang kawin memiliki strategi yang berbeda dalam menarik
perhatian merak hijau betina.
Di padang rumput Sadengan terdapat lima individu merak hijau jantan
dewasa (Risnawati 2007). Namun hanya dua individu yang melakukan aktivitas
perkawinan, satu individu melakukan kopulasi sebanyak enam kali dan yang
lainnya satu kali kopulasi selama pengamatan. Merak hijau jantan yang
melakukan enam kali kopulasi merupakan merak hijau jantan dominan yang
menguasai sebagian besar luasan areal padang rumput Sadengan terutama pada
tempat makan dan minum merak hijau betina, sehingga merak hijau jantan
tersebut memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kopulasi karena setiap
merak hijau jantan lain datang ke arealnya akan diusir pergi.
Populasi merak hijau jantan dewasa di hutan tanaman jati Gunting
sebanyak tiga individu (Risnawati press.com. 2007). Selama pengamatan hanya
terlihat satu individu yang melakukan perkawinan. Hal ini dikarenakan merak
hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting tersebut melakukan pengaturan jarak
(distance mechanisme) antar sesama. Jarak antar merak hijau jantan lebih dari
60
200 m menjadikan peneliti sulit mengamati merak hijau jantan lainnya, dimana
kondisi lokasi berupa tumpangsari dengan tegakan jati dan tumbuhan bawah yang
cukup lebat, sehingga membatasi jarak pandang. Namun terdengar juga suara
“sheeiikks” di lokasi merak hijau jantan lainnya, hal ini diduga bahwa merak hijau
jantan lain pun melakukan perkawinan.
Merak hijau jantan di TNB memiliki strategi yang tidak jauh berbeda
dengan merak hijau jantan di TNAP. Di savana Bekol terdapat dua individu
merak hijau jantan yang melakukan kopulasi. Merak hijau jantan yang satu
menguasai bak minum buatan dan merak hijau jantan lainnya menguasai jalur
perlintasan merak hijau betina menuju bak minum buatan. Sementara itu, merak
hijau jantan di hutan pantai Manting melakukan strategi menjaga jarak (distance
mechanisme) antar sesama.
Dari enam merak hijau jantan yang ditemukan berbiak terlihat bahwa
perkembangbiakan merak hijau yang dimulai dari percumbuan sampai terjadinya
kopulasi dilakukan pada waktu pagi hari berkisar antara pukul 04.00-08.00 WIB.
Di TNAP ditemukan tiga merak hijau jantan berbiak, yaitu dua merak hijau jantan
di padang rumput Sadengan dan satu merak hijau jantan di hutan tanaman jati
Gunting. Kisaran waktu kopulasi di TNAP antara pukul 04.00-08.00 WIB (Tabel
9). Di hutan tanaman jati Gunting waktu terjadinya kopulasi relatif lebih siang di
bandingkan waktu kopulasi di padang rumput Sadengan, yaitu pukul 07.47 dan
07.57 WIB.
Tabel 9. Waktu terjadinya kopulasi merak hijau di TNAP dan TNB
Waktu Kopulasi (WIB)
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TNAP 05.20 06.01 04.48 05.02 05.16 05.07 05.33 07.47 07.57
TNB 05.34 05.56 04.55 05.09 05.24 05.33 05.54
Keterangan: Pasangan TNAP 1-6 (jantan I) dan pasangan TNAP 7 (jantan II) di padang rumput Sadengan;
Pasangan TNAP 8-9 (jantan III) di hutan tanaman jati Gunting; Pasangan TNB 1-4 (jantan I) di
hutan pantai Manting; Pasangan TNB 5 (jantan II) dan pasangan TNB 6-7 (jantan III) di savana
Bekol
pantai Manting lebih banyak terlihat merak hijau yang kopulasi dibandingkan di
savana Bekol, yaitu terjadi pada pukul 05.34 WIB, 05.56 WIB, 04.55 WIB dan
05.54 WIB.
Perilaku kawin merak hijau berdurasi sangat singkat. Durasi setiap lokasi
berbeda-beda baik di TNAP maupun TNB (Tabel 10). Di TNAP, merak hijau
memiliki durasi perilaku kawin relatif seragam, yaitu sebesar 13 detik/hari di
padang rumput Sadengan dan 11 detik/hari di hutan tanaman jati Gunting.
Dengan variasi durasi padang rumput Sadengan yang lebih beragam daripada
hutan tanaman jati Gunting.
Hutan pantai Manting memiliki durasi terlama, yaitu sebesar 18 detik/hari,
jika dibandingkan dengan savana Bekol di TNAP yang hanya sebesar 10
detik/hari. Hal ini berbanding lurus dengan ragam waktu perilaku kawin yang
dimiliki kedua lokasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa penggunaan waktu
perilaku kawin di hutan pantai Manting lebih beragam atau bervariasi daripada
savana Bekol. Nilai durasi rerata aktivitas kawin yang dimiliki merak hijau di
hutan pantai Manting bernilai dua kali lipat dari durasi rerata merak hijau, hal ini
dikarenakan selama pengamatan merak hijau di hutan pantai Manting melakukan
perkawinan rerata dua kali per hari.
Tabel 10. Rekapitulasi durasi perilaku kawin merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 13 23 8 18
Hutan tanaman jati Gunting *) 11 2 10 12
Hutan Rowobendo 0 0 0 0
TNB
Savana Bekol 10 0 9 10
Hutan pantai Manting 18 2 17 19
Hutan evergreen 0 0 0 0
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
sejak awal musim berbiak hingga berakhirnya musim berbiak. Tempatnya berupa
areal terbuka dan bersih dari tumbuhan bawah. Selama pengamatan ditemukan
sebanyak tiga merak hijau jantan di TNAP dan tiga merak hijau jantan di TNB
yang melakukan aktivitas perkawinan. Strategi yang digunakan merak hijau
jantan di kedua lokasi tersebut memiliki kesamaan yaitu menguasai sumberdaya
(pakan atau minum), sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk kawin.
Wilayah yang dikuasainya hanya sesaat atau half-time territory yaitu penguasaan
wilayah teritori hanya pada saat musim berbiak saja. McFarland (1987) dalam
Dwisatya (2006) menyatakan bahwa betina akan memilih jantan yang teritorinya
kaya pakan dan tempat bersarang yang memadai.
Proses kopulasi merak hijau sangat cepat baik di TNAP maupun TNB,
yaitu berdurasi rerata 10-19 detik. McFarland (1993) menyatakan bahwa kopulasi
pada jenis burung berlangsung singkat. Hasil penelitian Dwisatya (2006) di TMII
mendapatkan proses kopulasi secara keseluruhannya berlangsung singkat, hanya
dalam hitungan detik yaitu antara 9-24 detik. Durasi maupun frekuensi aktivitas
kawin sama pada beberapa tipe habitat baik di TNAP maupun TNB. Hal ini
dipertegas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil
dari χ2 tab berarti perilaku kawin tidak dipengaruhi oleh tipe habitat. Faktor yang
mempengaruhi proses perkawinan, diantaranya:
1) Keadaan cuaca,
2) Kecepatan angin,
3) Aktivitas satwa lain,
4) Faktor internal merak hijau (kesiapan kawin),
5) Jumlah merak hijau betina,
6) Jumlah merak hijau jantan pengganggu,
7) Predator,
8) Ketidaksempurnaan fisik, dan
9) Gangguan aktivitas manusia.
Merak hijau jantan pada pasca perkawinan akan merontokkan bulu hiasnya
setelah hujan turun (Gambar 21). Perontokan bulu hiasnya tidak serentak
seluruhnya, namun secara bertahap yaitu dari bulu hias yang terpanjang. Waktu
64
yang dibutuhkan untuk merontokkan seluruh bulu hiasnya selama satu bulan.
Perontokkan bulu hias ini merupakan strategi merak hijau jantan untuk
mengurangi beban bawaan akibat bulu yang basah serta akan memudahkan
bergerak apabila ada predator.
Gambar 21. Merak hijau jantan yang merontokkan bulu hiasnya di hutan tanaman
jati Gunting, TNAP
Pasca perkawinan merak hijau betina akan membuat sarang dan bertelur.
Masa bersarang atau bertelur ditandai dengan merak hijau betina yang mulai
memisahkan diri dari kelompoknya setelah dibuahi merak hijau jantan. Saat
penelitian, sarang dan telur merak hijau hanya ditemukan di TNB. Sebanyak tiga
buah sarang yang ditemukan, dua sarang ditemukan di bawah pohon talok
(Grewia elioarpa) HM 45 dan pohon akasia duri (Acacia leucophloea) diantara
lamuran (Polytrias amaura) HM 113 jalan Batangan-Bekol serta satu sarang
ditemukan di areal semak belukar di antara tumbuhan bawah putri malu (Mimosa
pudica) dan tembelekan (Eupatorium odoratum) (Gambar 22).
Sarang merak hijau berupa tanah cekung berbentuk elips dengan ukuran
berkisar antara 23.7-30x17.7-30 cm pada areal terbuka berserasah yang sedikit
ditumbuhi vegetasi pada tingkat pohon dan sapihan serta terkena sedikit sinar
matahari agar selalu hangat. Berdasarkan tiga sarang yang ditemukan, jumlah
65
telur per sarang berkisar antara 3-5 buah. Ukuran rerata telur merak hijau
73.86x54.71 mm (n = 7).
Akhir musim berbiak merak hijau ditandai dengan datangnya musim
penghujan. Merak hijau jantan yang telah melakukan perkawinan akan
merontokkan bulu hiasnya akibat sering menyentuh permukaan tanah yang basah,
sehingga membuat bulu menjadi basah, kusam dan rentan akan kutu dan kuman.
Selain itu, akibat basah berat bulu akan bertambah, sehingga memperlambat
gerakan merak itu sendiri dan banyak menghabiskan energi.
Sementara itu, merak hijau betina pasca kawin memisahkan diri dari
kelompoknya untuk membuat sarang dan bertelur. Sarang merak hijau berupa
tanah cekung berbentuk elips dengan ukuran berkisar antara 23.7-30x7.7-30 cm (n
= 3) pada areal terbuka berserasah yang sedikit ditumbuhi vegetasi pada tinggat
pohon dan sapihan serta terkena sedikit sinar matahari agar selalu hangat.
Winarto (1993) dan Hernowo (1995) menyatakan bahwa sarang merak hijau
berbentuk oval. Serta Hernowo (1995) menambahkan bahwa merak hijau
bersarang diantara semak dan rerumputan di areal terbuka sedikit pohon.
Blake (1993) dalam Dwisatya (2006) menyebutkan bahwa merak hijau
betina normal menghasilkan enam butir telur dan akan dieraminya selama 26
sampai dengan 30 hari, namun biasanya selama 28 hari. Setelah telur menetas,
induk merak hijau betina anak memelihara anakan merak (Gambar 23). Anakan
merak hijau saat berumur satu bulan sudah dapat tidur di atas pohon bersama
induknya (Adjir press.com. 2007).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 24. Cara makan merak hijau, (a) berjalan, (b) melompat, (c) mendekam
dan (d) naik ke atas pohon.
Variasi cara makan dipengaruhi oleh sumber pakan merak hijau. Sumber
pakan merak hijau berasal dari serangga, rerumputan dan tumbuhan bawah serta
daun maupun buah tumbuhan tingkat tinggi. Di TNAP sumber pakan merak hijau
diantaranya tekirawa (Cyperus rotundus), paitan (Paspalum conjugatum),
kirinyuh (Eupatorium odoratum), cabai rawit (Caspium frutescens), grinting
(Cynodon dactylon) dan lamuran (Polytrias amaura). Sementara itu, sumber
67
Perilaku makan merak hijau dimulai pagi hari sejak turun dari pohon
tidurnya hingga petang hari saat kembali naik ke pohon tidurnya. Waktu makan
merak hijau di TNAP berlangsung pada pagi hari antara pukul 04.46-10.36 WIB
dan sore hari antara pukul 13.00-17.42 WIB, sedangkan di TNB merak hijau
melakukan aktivitas makan berlangsung pada pagi hari antara pukul 04.23-09.35
WIB dan sore hari pada pukul 13.55-17.43 WIB. Jadi, merak hijau di TNB
melakukan aktivitas makan pada pagi hari lebih awal dibandingkan merak hijau di
TNAP. Namun untuk penggunaan waktu aktivitas makan pada sore hari, merak
hijau di TNAP lebih dulu melakukan aktivitas makannya daripada merak hijau di
TNB.
68
Secara umum penggunaan waktu aktivitas makan merak hijau dapat dibagi
dalam dua waktu, yaitu pagi dan sore hari. Di TNAP, merak hijau di padang
rumput Sadengan lebih awal dalam penggunaan waktu aktivitas makan
dibandingkan hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Waktu aktivitas
makan merak hijau di padang rumput Sadengan berlangsung antara 04.46-10.36
WIB dan 13.45-17.42 WIB, di hutan tanaman jati Gunting berkisar antara pukul
05.12-10.32 WIB dan 13.00-17.37 WIB serta di hutan Rowobendo berlangsung
antara 05.30-10.00 WIB dan 14.00-17.30 WIB. Sementara di TNB, penggunaan
waktu makan merak hijau di savana Bekol lebih awal (04.23-09.35 dan 13.55-
17.43 WIB) dibandingkan penggunaan waktu di hutan pantai Manting (04.42-
09.00 dan 14.00-17.40 WIB) dan hutan evergreen (04.57-08.15 dan 14.06-17.30
WIB).
Merak hijau jantan melakukan perilaku makan selama 11953-19404
detik/hari di TNAP. Durasi rerata yang dibutuhkan merak hijau jantan melakukan
aktivitas makan di hutan Rowobendo sebesar 18082 detik/hari. Waktu tersebut
merupakan waktu terlama jika dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP, yaitu
sebesar 16704 detik/hari di hutan tanaman jati Rowobendo dan di padang rumput
Sadengan sebesar 13769 detik/hari. Hutan Rowobendo pun memiliki durasi
aktivitas makan yang bervariasi dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP (Tabel
12).
Tabel 12. Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau jantan di TNAP dan
TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 13769 13198507 10137 17401
Hutan tanaman jati Gunting *) 16704 12153430 13218 20190
Hutan Rowobendo 18082 24836897 11098 21065
TNB
Savan Bekol 19227 17428601 15052 23402
Hutan pantai Manting 15973 6585062 13407 18539
Hutan evergreen 15319 5190495 13041 17596
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
detik/hari dan 15319 detik/hari. Sebaran waktu yang paling bervariasi adalah
savana Bekol yang ditunjukkan dengan nilai ragam yang besar serta selang waktu
yang lebih besar daripada tipe habitat hutan pantai dan evergreen (Tabel 12).
Sementara itu, durasi rerata yang diperlukan oleh merak hijau betina di
TNAP adalah 23165 detik/hari yang lebih lama sedikit bila dibandingkan dengan
hutan tanaman jati Gunting sebesar 22364 detik/hari dan hutan Rowobendo
sebesar 22372 detik/hari. Di TNB, durasi rerata yang dibutuhkan merak hijau
betina untuk makan di savana Bekol lebih lama dari pada merak hijau betina di
hutan pantai Manting (sebesar 19614 detik/hari) dan merak hijau betina di hutan
evergreen (sebesar 17619 detik/hari) (Tabel 13).
Tabel 13. Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau betina di TNAP dan
TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 23165 12598601 19615 26714
Hutan tanaman jati Gunting *) 22364 10454816 19130 25597
Hutan Rowobendo 22372 15705691 18409 26335
TNB
Savan Bekol 24074 3639801 22166 25981
Hutan pantai Manting 19614 2496308 18034 21194
Hutan evergreen 17619 215977 17155 18084
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
menerangi padang rumput Sadengan yang merupakan areal terbuka dengan sedikit
vegetasi daripada hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo yang
memilik tajuk yang rapat. Namun, tajuk rapat atau tidak bukan menjadi patokan
sebagai tempat merak hijau mencari makan tetapi terdapatnya areal terbuka
dengan pakan yang memadai. Hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ2
hitung lebih besar dari χ2 tab berarti perilaku maka dipengaruhi oleh habitat padang
rumput, hutan tanaman jati ataupun hutan alam. Karena tidak semua habitat dapat
menyediakan pakan merak hijau, hanya habitat yang terdapat areal terbuka.
Penggunaan waktu makan merak hijau di savana Bekol lebih awal
dibandingkan penggunaan waktu di hutan pantai Manting dan hutan Evergreen di
TNB. Perbedaan ini diakibatkan penyinaran matahari yang berbeda akibat
pertajukan yang berbeda pula. Akan tetapi tipe habitat di TNB tidak
mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku makan merak hijau. Hal ini serupa
dengan pendapat Maryanti (2007) bahwa perilaku makan tidak dipengaruhi oleh
tipe habitat dalam hal ini adalah savana, hutan pantai, hutan musim dan evergreen.
Karena pakan merak hijau di TNB relatif menyebar merata, maka merak hijau
akan mencari areal terbuka dengan pakan yang cukup dan tidak terpengaruh
kerapatan tajuk.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 25. Perilaku minum merak hijau di TNAP: (a) cekungan, (b) bak minum
buatan, (c) genangan di bawah sprinkle dan (d) sprinkle
Merak hijau memiliki beberapa pola perilaku minum dalam mengambil air.
Di TNAP, merak hijau minum dengan cara mematuk air yang keluar dari sprinkle
dengan posisi tubuh berdiri dan minum dari cekungan, genangan maupun bak air
minum dengan cara menyelupkan paruhnya ke air baik dalam posisi mendekam
ataupun berdiri (Gambar 25). Sementara di TNB, merak hijau minum dengan
cara mendekam maupun berdiri baik di bak air minum buatan atau genangan air
lalu memasukkan paruhnya ke dalam permukaan air untuk mendapatkan air
(Gambar 26). Secara umum, merak hijau minum dengan cara menurunkan kepala
dengan cara menjulurkan lehernya ke sumber air minum dan memasukkan air
dalam paruhnya. Setelah itu, kepala diangkat dengan menegakkan leher dan
posisi paruh mengarah ke atas, gerakkan ini berlanjut hingga leher membentuk
huruf “S” lalu air ditelan. Gerak tersebut akan berulang terus-menerus hingga
merak hijau merasa tercukupi kebutuhan akan air, namun aktivitas tersebut akan
diselingi dengan aktivitas waspada, yaitu merak hijau diam (tidak mengambil air)
hanya melihat sekeliling keadaan.
73
Secara umum
m, merak hijau melakuk
kan aktivitaas minum teerbagi dalam
m dua
waktu (Gaambar 27). Merak hijaau melakukaan aktivitas minum anttara pukul 05.00-
0
12.00 WIB
B dan antarra pukul 133.00-18.00 WIB
W di TN
NAP. Lain halnya, di TNB
merak hijau melakukkan aktivitaas minum berlangsung
b g antara puukul 04.00-09.00
WIB dan berlanjut
b paada kisaran waktu antarra pukul 14.00-18.00 W
WIB.
0.25
0.2
Rerata frekuensi per hari
0.15
0.1
0.05
hijau baik di TNAP maupun di TNB meningkat pada pukul 06.00-08.00 WIB
untuk pagi hari dan sore hari berkisar pada pukul 15.00-17.00 WIB
Di TNAP merak hijau yang melakukan aktivitas minum hanya ditemukan
di dua lokasi, yakni padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting,
sedangkan di TNB aktivitas minum merak hijau hanya terlihat di savana Bekol
(Tabel 14). Merak hijau betina memerlukan 518 detik/hari dan merak hijau jantan
memerlukan 377 detik/hari, untuk melakukan aktivitas minum di padang rumput
Sadengan. Sementara itu, di hutan tanaman jati Gunting hanya ditemukan merak
hijau jantan yang melakukan aktivitas minum dengan durasi 8 detik/hari. Durasi
yang diperlukan oleh merak hijau jantan di savana Bekol TNB adalah 1006
detik/hari dan merak hijau betina selama 1958 detik/hari.
Tabel 14. Rekapitulasi durasi perilaku minum merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Rerata Waktu Min. Maks
Lokasi
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Padang rumput Sadengan 377 518 271526 164999 0 111 898 924
Hutan tanaman jati Gunting *) 8 0 900 0 0 0 38 0
Hutan Rowobendo 0 0 0 0 0 0 0 0
TNB
Savan Bekol 1006 1958 192846 931876 567 993 1446 2924
Hutan pantai Manting 0 0 0 0 0 0 0 0
Hutan evergreen 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan: ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Merak hijau betina memulai akivitas minum pukul 05.00 WIB serta
berakhir pukul 09.00 WIB pada pagi hari dan akan dilanjutkan pada sore hari
yaitu berkisar antara pukul 13.00-17.00 WIB. Namun, beberapa kali terlihat
merak hijau betina melakukan aktivitas minum pada pukul 11.00 WIB, yaitu saat
akan beristirahat dari aktivitasnya. Merak hijau jantan melakukan aktivitas
minum berkisar antara pukul 06.00-11.00 WIB dan berlanjut antara pukul 14.00-
18.00 WIB. Frekuensi aktivitas minum merak hijau betina tertinggi terjadi pada
selang waktu antara pukul 06.00-08.00 WIB dengan frekuensi sebesar 0.15 kali
per hari. Frekuensi aktivitas minum merak hijau jantan mengalami fluktuasi pada
setiap jamnya, tercatat pukul 07.00 WIB merupakan waktu dengan frekuensi
tertinggi dengan nilai sebesar 0.13 kali per hari (Gambar 28).
75
0.16
0.14
Rerata frekuensi per hari
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0.3
0.2
0.15
0.1
0.05
Perilaku minum merak hijau tidak terpengaruhi oleh tipe habitat baik di
TNAP maupun TNB. Tipe habitat di TNAP seperti padang rumput, hutan
Rowobendo maupun di hutan tanaman jati tidak akan berpengaruh bagi frekuensi
( χ = 2.784, P = 9.210) dan durasi ( χ = 2.718, P = 9.210) perilaku minum merak
hijau. Begitu pula dengan tipe habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen di
TNB tidak mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku minum merak hijau ( χ =
0.000, P = 9.210). Karena baik di TNAP maupun TNB saat penelitian merupakan
musim kemarau, sehingga seluruhnya mengalami kekeringan.
Merak hijau melakukan aktivitas minum bertujuan untuk menghilangkan
rasa haus karena kekurangan cairan dalam tubuh akibat suhu yang panas maupun
aktivitas harian. Selama pengamatan di TNAP hanya ditemukan merak hijau
minum di padang rumput Sadengan dan sekali ditemukan merak minum di hutan
tanaman jati Gunting. Sementara itu, merak hijau di TNB hanya ditemukan di
savana Bekol yang beraktivitas minum. Hal ini menandakan bahwa merak hijau
merupakan satwaliar yang adaptif terhadap air, yaitu ketika terdapat sumber air
merak akan minum namun jika tidak terdapat sumber air merak hijau akan
menyiasatinya dengan strategi lokasi aktivitas.
77
Pada lokasi yang tidak ditemukan sumber air, merak hijau akan lebih
beraktivitas di sekitar pohon bertajuk atau tempat yang teduh. Merak hijau di
hutan Rowobendo beraktivitas di sekitar tegakan ketangi, mahoni, jati dan paku-
pakuan. Merak hijau di hutan tanaman jati Gunting beraktivitas di bawah tegakan
jati dan di sela-sela tumbuhan tumpangsari (seperti tembakau, tomat dan cabai).
Merak hijau di hutan pantai Manting beraktivitas di sekitar pohon mimba, akasia,
manting dan semak atau tumbuhan bawah, sedangkan di hutan evergreen merak
hijau beraktivitas di bawah tajuk rapat. Hal ini merupakan bentuk strategi merak
hijau untuk mengurangi kehilangan cairan secara cepat akibat suhu yang panas
dari terkena sinar matahari langsung.
Strategi merak hijau terhadap air menunjukkan bahwa tipe habitat tidak
berpengaruh akan frekuensi perilaku minum. Hal ini dipertegas dengan hasil uji
chi-square yang menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tab. Merak hijau
dapat bertahan hidup tanpa harus minum dari sumber air besar, tetapi minum dari
embun-embun pada pagi hari. Maryanti (2007) menyebutkan bahwa areal
tumpang sari memiliki rumput yang tinggi dan lebat, sehingga dimungkinkan
banyak embun yang masih menempel di rumput dan asupan air didapatkan dari
embun tersebut.
Penggunaan waktu beraktivitas minum merak hijau di TNAP lebih lebar
dibandingkan dengan TNB baik saat pagi hari atau sore hari. Perbedaan ini
disebabkan oleh suhu di TNB lebih cepat meningkat dan lama menurunnya dari
pada suhu di TNAP. Hal ini disiasati dengan durasi dan frekuensi saat melakukan
aktivitas minum. Durasi dan frekuensi aktivitas minum di TNB lebih lama dan
sering dari pada aktivitas minum merak hijau di TNAP.
pohon saat akan tidur. Aktivitas menelisik dapat dikatakan sebagai aktivitas
pembuka dan penutup dari aktivitas harian merak hijau.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 30. Perilaku menelisik merak hijau disela-sela beberapa aktivitas harian;
(a) bangun tidur, (b) berjemur, (c) display dan (d) makan
pada pukul 05.00 WIB dengan frekuensi 1.72 kali per individu per hari dan pukul
16.00 WIB dengan frekuensi 0.97 kali per individu per hari. Secara keseluruhan,
merak hijau di TNB lebih banyak melakukan aktivitas menelisik dibandingkan
merak hijau di TNAP.
2
1.8
1.6
1.4
Rerata frekuensi per hari
1.2
0.8
0.6
0.4
0.2
Frekuensi aktivitas menelisik merak hijau berbeda pada tiap tipe habitat
(Gambar 32). Merak hijau padang rumput Sadengan melakukan aktivitas
menelisik lebih sering dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP. Frekuensi
aktivitas menelisik merak hijau di padang rumput Sadengan sebesar 9.09 kali per
individu per hari, sedangkan di hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo
secara berurutan sebanyak 4.47 dan 3.38 kali per individu per hari. Di TNB,
aktivitas menelisik merak hijau di atas enam kali per individu per hari. Frekuensi
terbesar terjadi di savana Bekol, yaitu merak hijau melakukan aktivitas menelisik
sebanyak 9.05 kali per individu per hari. Pada dua lokasi di TNAP dan TNB
memiliki kesamaan banyaknya jumlah melakukan aktivitas menelisik hariannya.
Padang rumput Sadengan dan savana Bekol memiliki frekuensi menelisik yang
sama, yaitu sebesar sembilan kali per individu per hari.
80
10.00
9.00
8.00
Rerata frekuensi per hari
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 32. Grafik frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau di beberapa
tipe habitat di TNAP dan TNB
Lamanya durasi melakukan aktivitas menelisik di suatu tempat yang
dilakukan merak hijau jantan tidak akan berbanding lurus dengan lamanya durasi
merak hijau betina (Tabel 15). Di TNAP merak hijau jantan yang melakukan
aktivitas menelisik terlama adalah di padang rumput sadengan sebesar 2977
detik/hari, namun merak hijau betina lebih lama melakukan aktivitas menelisik di
hutan tanaman jati Gunting sebesar 810 detik/hari. Fakta ini berulang di TNB di
mana merak hijau jantan savana Bekol memiliki durasi terlama dibandingkan dua
lokasi lainnya, yaitu sebesar 2584 detik/hari. Sementara durasi terlama merak
hijau betina melakukan aktivitas menelisik terdapat di hutan evergreen sebesar
899 detik/hari.
Tabel 15. Rekapitulasi durasi perilaku menelisik merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Rerata Waktu Min. Maks
Lokasi
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Padang rumput Sadengan 2977 799 771871 415332 2098 154 3855 1443
Hutan tanaman jati Gunting *) 1384 810 1576233 510009 128 95 2639 1524
Hutan Rowobendo 1081 400 86509 52334 493 172 1670 629
TNB
Savan Bekol 2584 536 797633 130791 1691 174 3477 898
Hutan panitia Manting 1881 839 438040 117294 1219 496 2543 1181
Hutan evergreen 2051 899 869870 198305 1119 454 2984 1344
Keterangan: ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
81
1.2
0.8
0.6
0.4
0.2
2.5
Rerata frekuensi per hari
1.5
0.5
Bulu merupakan alat penting bagi merak hijau baik untuk aerodinamis saat
terbang dan sebagai alat pemikat bagi pasangannya. Struktur bulu yang halus
membuat mudah berubah bentuk dari mengembang dapat menjadi menempel
rapat dan rentan terhadap kuman atau kutu. Perubahan ini dapat diakibatkan oleh
posisi tidur semalam dan aktivitas harian merak hijau. Karena alasan tersebut
merak hijau melakukan aktivitas menelisik atau merawat bulu. Aktivitas
menelisik bertujuan merapikan bulu dan menghilangkan atau membuang kotoran,
kuman dan kutu yang menempel atau masuk ke bulu (Maryanti 2007).
Merak hijau menelisik sepanjang hari disela-sela aktivitas hariannya,
seperti makan, minum, berjemur, display dan istirahat. Perilaku menelisik bulu
merupakan aktivitas sekunder yang biasanya dilakukan saat sebelum turun dari
tenggeran, makan, berjemur, berteduh, sebelum tidur serta sehabis display
(Maryanti 2007). Aktivitas menelisik lebih sering dilakukan pada saat pagi hari
karena bulu yang lembab terlihat kusam setelah mendekam (tidur) semalaman.
Hasil uji chi-square perilaku menelisik baik di TNAP maupun TNB
menunjukkan adanya pengaruh frekuensi dan durasi perilaku terhadap tipe habitat.
Frekuensi dan durasi aktivitas menelisik merak hijau di padang rumput maupun
savana lebih banyak daripada di hutan bervegetasi seperti hutan tanaman jati dan
hutan alam di TNAP serta hutan pantai dan hutan evergreen di TNB. Hal ini
disebabkan kondisi umum padang rumput maupun savana yang terbuka, sehingga
merak hijau dapat dengan tenang menelisik karena dapat mengawasi secara
menyeluruh dari gangguan baik pesaing atau predator. Berdeda dengan kondisi di
hutan bervegetasi yang memiliki tegakan yang rapat dengan tumbuhan bawah
yang lebat, sehingga mempersulit pengawasan terhadap sekitar saat menelisik.
Strategi merak hijau pada kondisi tersebut adalah melakukan aktivitas menelisik
secara singkat dan jarang. Maryanti (2007) menyatakan perilaku menelisik bulu
lebih sering dijumpai di padang penggembalaan (rumput).
Perilaku berjemur merupakan salah satu aktivitas yang rutin setiap hari
dilakukan oleh merak hijau. Perilaku berjemur berfungsi untuk menghangatkan
tubuh serta mematikan kuman dalam tubuh dan bulu di bawah sinar matahari
akibat kondisi lembab saat malam hari. Merak hijau melakukan aktivitas
84
berjemur di
d areal yanng terkena sinar matahaari langsungg pada temppat datar maaupun
yang lebiih tinggi, seperti
s gunndukan tanaah, pagar atau
a pohonn. Merak hijau
berjemur dengan
d caraa mengembbangkan bullu-bulunya, sehingga tterlihat reng
ggang
antar buluunya serta bulu
b sayap yang diturrunkan dan posisi tubuh berdiri tegap
(Gambar 35). Biassanya aktivvitas berjem
mur seringg diiringi ddengan akttivitas
menelisik yang bertuujuan memp
mpercepat sinar matahaari mengenaai tubuhnyaa dan
merapihkaan bulu-buluu yang kunccup akibat tubuh
t dan bulu yang lem
mbab.
(a) (b
b) (c)
Gambar 35. Perilakuu berjemur merak
m hijau; (a) tanah datar,
d (b) paagar dan
(c) gunddukan tanahh
0.5
0.45
0.4
Rerata frekuensi per hari
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
berkurang bahkan tidak ada merak hijau yang melakukan aktivitas tersebut. Sama
halnya dengan penggunaan waktu aktivitas berjemur di TNAP dan TNB, merak
hijau sering berjemur pada pukul 06.00 WIB. Pada pukul 06.00 WIB merak hijau
di TNAP memiliki frekuensi sebesar 0.44 kali per individu per hari, sedangkan di
TNB merak hijau memiliki frekuensi sebesar 0.31 kali per individu per hari.
Aktivitas berjemur dapat digolongkan dalam aktivitas pagi hari, namun saat
pengamatan terlihat merak hijau di TNAP melakukan aktivitas berjemur satu kali
saat sore hari pada pukul 16.00 WIB di hutan Rowobendo.
Berdasarkan pembagian tipe habitatnya, merak hijau di TNAP dan TNB
melakukan aktivitas berjemur minimal satu kali setiap harinya (Gambar 37).
Merak hijau di hutan Rowobendo TNAP lebih sering berjemur dibandingkan
padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting. Di hutan Rowobendo
merak hijau melakukan aktivitas berjemur minimal dua kali per individu per hari,
sedangkan merak hijau di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati
Gunting berjemur hanya satu kali per individu per hari. Di TNB, aktivitas merak
hijau berjemur hanya ditemukan di savana Bekol dan hutan pantai Manting
dengan frekuensi masing-masing sebanyak satu kali per individu per hari.
Sementara di hutan evergreen tidak ditemukan aktivitas berjemur merak hijau.
2.50
2.00
Rerata frekuensi per hari
1.50
1.00
0.50
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 37. Grafik frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau pada beberapa
tipe habitat di TNAP dan TNB
86
0.6
0.4
0.3
0.2
0.1
0.45
0.4
Rerata frekuensi per hari
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
dalam segi frekuensi dan durasi. Merak hijau di hutan Rowobendo akan lebih
sering berjemur karena habitatnya yang lembab. Tempat yang lembab lebih
berpeluang menyebabkan bulu terserang kuman dan akan menyebabkan bulu yang
lepek dan kusam.
Frekuensi aktivitas berjemur merak hijau terpengaruh sangat nyata oleh
tipe habitat di TNB ( χ = 73.638, P < 0.01), sehingga frekuensi aktivitas
menelisik pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen
akan memiliki peluang yang berbeda. Sama halnya dengan durasi perilaku
berjemur merak hijau di TNB pun dipengaruhi sangat nyata oleh tipe habitatnya
( χ = 25.732, P < 0.01).
Perilaku berjemur adalah rangkaian aktivitas yang dilakukan bawah
pancaran matahari untuk menghangatkan tubuh merak (Maryanti 2007). Selain
untuk menghangatkan tubuh berjemur juga bertujuan untuk mengeringkan bulu-
bulu yang lembab, sehingga lebih terlihat mengkilap. Sinar matahari pun dapat
berfungsi sebagai pembunuh kuman yang menempel dalam bulu dan tubuh merak
hijau.
Selama pengamatan, merak hijau berjemur pada tempat-tempat yang lebih
tinggi yang terkena sinar matahari langsung. Maryanti (2007) menyebutkan
bahwa merak hijau berjemur pada gundukan tanah, tunggak pohon, pagar ataupun
bertengger di pohon yang terkena cahaya matahari langsung. Posisi tersebut
bentuk strategi merak hijau untuk mempermudah dalam mengawasi kondisi
sekitar. Aktivitas berjemur dilakukan pada pagi hari terutama berkisar pada pukul
06.00-07.00 WIB. Hal ini berkaitan dengan sinar matahari yang hangat, serta
kondisi tubuh yang kaku akibat mendekam semalaman, sehingga butuh
kehangatan untuk dapat melakukan aktivitas hariannya. Maryanti (2007)
mencatat aktivitas berjemur merak hijau di TNAP berlangsung pada pukul 05.20-
07.30 WIB dan di TNB pada pukul 06.00-08.30 WIB.
Durasi aktivitas berjemur merak hijau di TNAP dan TNB beragam pada
berbagai tipe habitat. Serta memiliki frekuensi yang tidak berbeda pada beberapa
tipe habitat. Hal ini diperjelas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai
χ2 hitung lebih besar dari χ2 tab yang berarti tipe habitat sangat berpengaruh terhadap
perilaku berjemur. Karena tipe habitat memiliki kerapatan tegakan yang berbeda
89
yang akan memberikan peluang merak hijau mendapatkan sinar matahari yang
berbeda dan kelembaban yang berbeda pula.
(a) (b)
Gambar 40. Perilaku mandi debu merak hijau jantan di TNAP; (a) berkelompok
dan (b) soliter
90
0.14
Rerata frekuensi per hari
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
harian rutin karena di hari-hari tertentu tidak akan ditemukan merak hijau sedang
melakukan aktivitas mandi debu selama sehari penuh.
1.80
1.60
Rerata frekuensi per hari
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 42. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku mandi debu
merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB
Tabel 17. Rekapitulasi durasi perilaku mandi debu merak hijau di TNAP dan
TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Rerata Waktu Min. Maks
Lokasi
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Padang rumput Sadengan 7 1203 676 1219661 0 99 33 2308
Hutan tanaman jati Gunting *) 0 31 0 14945 0 0 0 153
Hutan Rowobendo 0 0 0 0 0 0 0 0
TNB
Savana Bekol 0 626 0 268641 0 108 0 1145
Hutan pantai Manting 0 0 0 0 0 0 0 0
Hutan evergreen 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan: ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Secara umum, aktivitas mandi debu dilakukan oleh merak hijau betina
baik di TNAP maupun TNB (Tabel 17). Hanya di padang rumput Sadengan yang
terlihat merak hijau jantan melakukan aktivitas mandi debu dengan durasi rerata 7
detik/hari. Durasi rerata aktivitas mandi debu merak hijau betina di padang
rumput Sadengan lebih lama daripada merak hijau betina di hutan tanaman jati
Gunting, yaitu sebesar 1203 dan 31 detik/hari. Di TNB aktivitas merak hijau
mandi debu hanya ditemukan di savana Bekol. Di lokasi tersebut hanya merak
92
hijau betina yang teramati sedang melakukan aktivitas mandi debu dengan durasi
rerata sebesar 626 detik/hari.
Beberapa tipe habitat yang terdapat di TNAP seperti padang rumput, hutan
Rowobendo dan hutan tanaman jati Gunting tidak mempengaruhi frekuensi dan
durasi perilaku mandi debu merak hijau ( χ = 0.044, P = 9.210). Sama halnya
dengan merak hijau di TNB, frekuensi serta durasi aktivitas mandi debu tidak
terpengaruhi oleh tipe habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen ( χ =
0.000, P = 9.210). Hal ini dikarenakan baik di TNAP maupun di TNB saat
penelitian mengalami musim kemarau, sehingga pada dua lokasi tersebut
memiliki peluang yang sama untuk dijadikan tempat mandi debu bagi merak hijau.
Saat melakukan aktivitas harian tubuh merak hijau rentan terhadap parasit
yang menempel. Untuk menghilangkannya merak hijau melakukan menelisik
serta mandi debu. Perilaku mandi debu merupakan rangkaian aktivitas merapikan
bulu-bulu, mengeluarkan ektoparasit dan benda asing yang menempel pada
tubuhnya dalam rangka merawat tubuhnya (Maryanti 2007). Hernowo (1995)
berpendapat bahwa selama melakukan aktivitas mandi debu, merak hijau juga
melakukan aktivitas preening.
Merak hijau selama melakukan mandi debu dengan menggunakan cakar
dan sayapnya. Cakar digunakan untuk mengais lapisan atas permukaan tanah,
sehingga mendapatkan tanah yang bersih dan lembut. Setelah mendapatkan tanah
yang lembut, merak hijau akan mengepakkan sayapnya agar tanah beterbangan ke
udara dan jatuh di atas tubuhnya. Akibatnya kotoran yang menempel akan ikut
jatuh bersama tanah lembut tersebut saat mengibaskan tubuhnya. Maryanti (2007)
menyebutkan bahwa mandi debu dilakukan dengan cakarnya untuk menggaruk-
garuk tanah gembur kering sambil mendekam di atas tanah, kaki dijulurkan ke
belakang sambil mengepakkan sayap hingga debu masuk ke dalam bulu.
Sativaningsih (2005) menyebutkan merak hijau di TNAP melakukan
aktivitas mandi debu pada pukul 05.59-07.22 dan 15.37-16.50 WIB. Selama
penelitian merak hijau ditemukan melakukan aktivitas mandi debu pada pukul
05.00-09.00 dan 13.00-18.00 WIB di TNAP. Penggunaan waktu tersebut
bertujuan agar saat mandi debu merak hijau tidak terkena sengat matahari yang
panas. Sementara Maryanti (2007) berpendapat bahwa aktivitas mandi debu
93
merak hijau dilakukan pada pukul 07.30-15.00 WIB. Namun, dijelaskan lebih
lanjut bahwa hasil pengamatannya saat beraktivitas mandi debu siang hari merak
hijau melakukannya di bawah pohon.
Merak hijau di TNB melakukan aktivitas mandi debu pagi hari. Hal ini
sependapat dengan Maryanti (2007) yang menyatakan bahwa merak hijau
melakukan aktivitas mandi debu pada pukul 06.00-08.00 WIB. Sementara
Hernowo (1995) menyebutkan aktivitas mandi debu berlangsung pada pukul
10.00-14.00 WIB. Perbedaan waktu ini diperkirakan pada saat penelitian
Hernowo belum terdapat aktivitas pembinaan vegetasi akasia berupa pembakaran
dan kendaraan ‘gerandong’ yang hilir mudik, sehingga merak hijau masih dapat
leluasa melakukan aktivitas mandi debu di pinggiran jalan Batangan-Bekol dan di
bawah vegetasi akasia duri.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian Maryanti (2007) didapatkan
bahwa merak hijau di TNAP hanya melakukan perilaku mandi debu di padang
rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting dengan durasi dan frekuensi
terbanyak atau terlama di padang rumput. Hal ini belum membuktikan bahwa tipe
habitat mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku. Karena hasil uji chi-square
menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tab, yaitu tipe habitat tidak
mempengaruhi perilaku. Namun lebih pada human error, yaitu jarak pandang
pengamat yang sulit melihat aktivitas mandi debu yang posisinya mendekam yang
terhalang oleh tegakan dan semak belukar. Maryanti (2007) menyatakan padang
rumput Sadengan yang sangat terbuka memungkinkan perilaku mandi debu
termonitor dengan cukup baik.
Merak hijau di TNB melakukan aktivitas mandi debu hanya ditemukan di
savana Bekol. Namun, hasil uji chi-square menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil
dari χ2 tab yang berarti perilaku mandi debu memiliki peluang yang sama pada
habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen. Selama pengamatan tidak
ditemukan yang aktivitas mandi debu bukan pengaruh dari habitat. Maryanti
(2007) menyatakan bahwa hutan pantai dan evergreen memiliki kondisi yang
memenuhi syarat sebagai tempat mandi debu. Selain itu selama pengamatan
ditemukan bekas mandi debu di pinggir jalan yang membelah hutan evergreen
serta beberapa cekungan tempat mandi debu di hutan pantai. Faktor yang teramati
94
penyebab tidak ditemukannya aktivitas mandi debu di dua lokasi tersebut adalah
aktivitas ‘gerandong’ atau angkutan kayu akasia duri yang sering lewat sepanjang
jalur Batangan-Bekol serta aktvitas pencurian daun gebang di sekitar hutan pantai
yang selalu mengganggu merak hijau untuk diambil bulu-bulunya.
cirrhatus), anjing kampung dan merak hijau. Sementara, gangguan merak hijau di
TNB bersumber dari manusia (pengunjung, petugas, gelandong, pencuri dan
peneliti), ajag (Cuon alpinus), elang brontok, elang-ular bido, monyet-ekor
panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Presbytis aurata), garangan jawa
(Herpestes javanica), kucing hutan (Felix bengalensis), biawak air-asia (Varanus
salvator) dan merak hijau. Berdasarkan sumber gannguannya tingkat ancaman
hingga mengakibatkan kematian di TNAP tidak ditemukan, sedangkan di TNB
ditemukan 3 individu tewas akibat predator.
0.2
0.18
0.16
Rerata frekuensi per hari
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
sering terjadi di sore hari, yaitu saat pukul 16.00-18.00 WIB, sedangkan di TNAP
pada pagi hari berkisar antara pukul 07.00-09.00 WIB.
Tabel 18. Rekapitulasi durasi perilaku berlindung merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Rerata Waktu Min. Maks
Lokasi
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂ ♀
TNAP
Padang rumput Sadengan 379 833 1246905 2051940 0 0 1495 2265
Hutan tanaman jati Gunting * 1382 1262 14007694 2527560 0 0 5124 2852
Hutan Rowobendo 1235 1235 2770304 2800004 0 0 2899 2908
TNB
Savana Bekol 273 273 818182 818182 0 0 1177 1177
Hutan pantai Manting 252 492 571040 1076640 0 0 1008 1530
Hutan evergreen 1740 1787 3562200 3615748 0 0 3627 3688
Keterangan: ♂ = jantan; ♀ = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
3.00
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 45. Grafik frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau pada
beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB
situasi aman. Merak hijau pada habitat yang terdapat interaksi manusia akan
berpeluang besar mengalami gangguan.
Merak hijau di TNB memiliki hasil uji chi-square yang sama dengan
TNAP. Akan tetapi durasi dan frekuensi perilaku berlindung tidak berbanding
lurus. Hutan evergreen merupakan tempat terbanyak terjadinya frekuensi
ganguan, namun memiliki durasi berlindung yang lebih kecil dari savana Bekol.
Karena sumber gangguan di hutan evergreen hanya bersifat insidensial yaitu
berupa kendaraan yang lewat. Sementara itu, sumber gangguan pada merak hijau
di savana Bekol banyak berasal dari predatornya seperti anjing liar dan elang
brontok, sehingga merak hijau akan berlindung lebih lama.
Perilaku bertarung biasa dilakukan oleh merak hijau jantan (Gambar 46).
Merak hijau akan bertarung ketika individu merak hijau jantan lainnya berada
dalam satu ruang dan waktu yang sama dengan jarak antar individu sangat dekat.
Jarak antar merak hijau jantan yang akan menimbulkan pertarungan bervariasi
berkisar antara 1-100 m. Pertarungan ini berhubungan dengan penguasaan
wilayah agar terlihat sebagai jantan dominan oleh merak hijau betina di saat
musim berbiak.
(a) (b)
Gambar 46. Perilaku bertarung antar merak hijau jantan; (a) di padang rumput
Sadengan dan (b) savana Bekol
hijau akan menyerang menggunakan tajinya dengan cara melompat. Merak hijau
lawan akan melompat pula sebagai gerakan pertahanan dengan posisi kaki
mengarah ke atas (Gambar 46a). Gerakan menyerang akan dilakukan bergantian
hingga salah satu merak hijau pergi atau menyerah. Seringkali perilaku bertarung
diiringi dengan aktivitas kejar-kejaran, baik sambil lari maupun terbang dari satu
tempat ke tempat lainnya. Bahkan terkadang terjadi pertarungan yang tidak sehat
yaitu salah satu merak hijau mendapat bantuan tenaga dalam mengusir merak
hijau lawan.
Perilaku bertarung merak hijau di TNB lebih awal berlangsungnya dari
pada merak hijau di TNAP (Gambar 47). Merak hijau TNB melakukan aktivitas
bertarung pada pukul 04.00-09.00 WIB dan 14.00-17.00 WIB. Sementara merak
hijau TNAP aktivitas bertarung berlangsung pada pukul 05.00-10.00 WIB dan
pada pukul 14.00-18.00 WIB. Sekitar pukul 10.00-14.00 WIB baik di TNAP
maupun TNB tidak ditemukan aktivitas berkelahi. Di TNAP perilaku bertarung
merak hijau sering terjadi pada pukul 07.00 WIB, sedangkan di TNB merak hijau
bertarung lebih sering terjadi pada pukul 05.00 WIB.
0.18
0.16
0.14
Rerata frekuensi per hari
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
4.00
3.50
Rerata frekuensi per hari
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Padang Rumput Hutan Tanaman Hutan Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen
Jati Rowobendo
TNAP TNB
Tipe Habitat
Gambar 48. Grafik frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau jantan pada
beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB
Sama halnya dengan durasi aktivitas bertarung, merak hijau TNAP lebih
sering bertarung di padang rumput Sadengan daripada hutan Rowobendo dan
hutan tanaman jati Gunting (Gambar 48). Di padang rumput Sadengan merak
hijau melakukan aktivitas bertarung minimal dua kali per individu per hari,
sedangkan di hutan Rowobendo merak hijau hanya melakukan pertarungan satu
kali per hari per individu. Sementara hutan tanaman jati Gunting hanya memiliki
frekuensi sebesar 0.31 kali per individu per hari. Di TNB, nilai durasi aktivitas
bertarung berbanding lurus dengan nilai frekuensinya. Merak hijau savana Bekol
lebih sering melakukan aktivitas bertarung daripada merak hijau di hutan pantai
Manting dan hutan Evergreen, yaitu minimal tiga kali per individu per hari.
Aktivitas bertarung merak hijau hanya ditemukan di padang rumput
Sadengan, hutan tanaman jati Gunting, hutan Rowobendo, savana Bekol dan
hutan pantai Manting (Tabel 19). Durasi yang diperlukan oleh merak hijau jantan
bertarung di padang rumput Sadengan lebih lama daripada di hutan tanaman jati
Gunting dan hutan Rowobendo. Merak hijau di padang rumput Sadengan
memiliki durasi rerata sebesar 1009 detik/hari, sedangkan dua lokasi lainnya di
TNAP memiliki durasi masing-masing sebesar 158 detik/hari di Gunting dan 740
detik/hari di Rowobendo. Sementara itu, di TNB hanya ditemukan di savana
102
Bekol dan hutan pantai Manting aktivitas bertarung antar merak hijau jantan.
Savana Bekol memiliki durasi rerata terbesar dibandingkan dengan dua lokasi
lainya di TNB, yaitu sebesar 1533 detik/hari.
Tabel 19. Rekapitulasi durasi perilaku bertarung merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 1009 1843785 0 2367
Hutan tanaman jati Gunting *) 158 396900 0 788
Hutan Rowobendo 740 3166200 0 2519
TNB
Savana Bekol 1533 8039782 0 4368
Hutan pantai Manting 30 9000 0 125
Hutan evergreen 0 0 0 0
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Perilaku bertarung antara merak hijau jantan tidak terpengaruh oleh tipe
habitat di TNAP baik frekuensi maupun durasinya ( χ = 0.000, P = 9.210).
Perilaku bertarung merak hijau di TNAP memiliki frekuensi dan durasi yang sama
antara di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan
Rowobendo. Begitu pula dengan tipe habitat di TNB yang tidak berpengaruh
dengan perilaku bertarung merak hijau ( χ = 0.000, P = 9.210). Berdasarkan nilai
itu pula dapat diketahui bahwa merak hijau jantan di TNB akan memiliki perilaku
bertarung yang sama baik di savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan
evergreen karena tidak ada hubungan antara frekuensi serta lamanya bertarung
dengan tipe habitat yang berbeda.
Bertarung dilakukan merak hijau untuk mempertahankan suatu wilayah
dan memperlihatkan bentuk kejantanannya pada merak hijau betina serta
mengkukuhkannya sebagai merak hijau jantan dominan. McFarland (1987)
dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa betina akan memilih jantan yang
teritorinya kaya pakan. Apabila dua merak jantan bertemu dalam jarak yang dekat,
hanya ada dua kemungkinan yaitu bertarung (fight) dan pengusiran (Maryanti
2007).
Terjadinya pertarungan antar merak hijau jantan beragam. Di TNAP,
merak hijau jantan akan bertarung walaupun kedua individu merak tersebut
berjarak 50-200 m. Hal terbalik terjadi di TNB, yaitu dua individu merak hijau
jantan dengan jarak 1-2 m tidak terjadi perkelahian. Peristiwa ini menjelaskan
103
bahwa pertarungan terjadi ketika merak hijau jantan dominan merasa terganggu
atau tersaingi dalam mencari perhatian merak hijau betina.
Baik TNAP maupun TNB, merak hijau melakukan aktivitas bertarung
lebih sering pada pagi hari. Karena kondisi tubuh dan energi merak hijau saat
pagi hari masih bugar dan penuh. Dengan kondisi tersebut merak hijau memiliki
peluang menang saat bertarung lebih besar. Hal ini pun bentuk strategi merak
hijau jantan dalam menarik perhatian merak hijau betina.
Merak hijau di padang rumput Sadengan lebih sering melakukan aktivitas
bertarung daripada merak hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting dan hutan
Rowobendo di TNAP. Adapun ini berkaitan dengan habitat yang lebih terbuka
pada padang rumput dari pada hutan, sehingga merak hijau dapat dengan mudah
melihat pejantan lain. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil uji chi-square
menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tab, yaitu tipe habitat tidak
mempengaruhi perilaku atau tiap tipe habitat memiliki peluang yang sama sebagai
tempat bertarung. Selama pengamatan, jumlah individu jantan dalam satu lokasi
dan jarak antar pejantan tersebut merupakan faktor utama terjadinya perilaku
bertarung. Di hutan tanaman Gunting merak hijau jarang melakukan pertarungan
karena hanya terdapat tiga merak hijau jantan dengan jarak antar pejantan 200-400
m.
Di TNB, hasil uji chi-square menunjukkan hasil yang sama dengan yang
ada di TNAP yaitu perilaku bertarung di habitat savana, hutan pantai dan
evergreen seharusnya sama. Akan tetapi perilaku bertarung lebih sering terjadi di
savana Bekol dibandingkan hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Hal ini
bukan semata-mata akibat perbedaan habitat, namun di Bekol terdapat sumber air
minum saat musim kemarau. Maka peluang terjadinya petarungan di Bekol lebih
besar.
antara pukul 11.00-14.00 WIB. Sementara merak hijau TNB melakukan aktivitas
istirahat pada pukul 09.00-14.00 WIB. Secara umum, merak hijau di TNB
memiliki waktu lebih lama dibandingkan dengan merak hijau TNAP.
(a) (b)
Gambar 49. Berbagai posisi perilaku istirahat merak hijau; (a) berdiri di bawah
pohon widoro bukol dan (b) mendekam di cabang pohon apak
evergreen lebih lama daripada di hutan pantai Manting dan savana Bekol yang
secara berurutan nilainya adalah 23412, 23118 dan 18212 detik/hari untuk merak
hijau jantan dan 23952, 22878 dan 18010 detik/hari (Tabel 20 dan 21).
Tabel 20. Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau jantan di TNAP dan
TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 21310 10970928 17997 24622
Hutan tanaman jati Gunting *) 17175 13257888 13533 20816
Hutan Rowobendo 18526 25844047 13442 23610
TNB
Savana Bekol 18212 5362545 15896 20527
Hutan pantai Manting 23118 6229640 20622 25614
Hutan evergreen 23412 844920 22493 24331
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Tabel 21. Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau betina di TNAP dan
TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padan rumput Sadengan 17008 16329937 12967 21049
Hutan tanaman jati Gunting *) 16879 11099912 13548 20211
Hutan Rowobendo 17607 4881700 15397 19816
TNB
Savana Bekol 18010 2548220 16414 19606
Hutan pantai Manting 22878 2456040 21311 24445
Hutan evergreen 23952 2149920 22486 25418
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Hal yang berbeda terhadap hasil uji chi-square perilaku istirahat merak
hijau di TNB. Tipe habitat memberi pengaruh yang berbeda terhadap frekuensi
dan durasi aktivitas istirahat merak hijau. Tipe habitat seperti savana Bekol, hutan
pantai Manting dan hutan evergreen berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi
aktivitas istirahat merak hijau di TNB ( χ = 38.771, P < 0.01). Akan tetapi tipe
habitat di TNB tidak berpengaruh terhadap lamanya merak hijau beristirahat ( χ
= 0.872, P = 9.210). Hal ini berarti merak hijau melakukan aktivitas beristirahat
memiliki durasi yang sama pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan
hutan evergreen.
Saat hari menjelang siang, merak hijau akan melakukan aktivitas istirahat
untuk menghindari terik matahari. Aktivitas istirahat (berteduh) biasanya
dilakukan diantara aktivitas makan padi dan siang dalam upaya untuk
menghindari panas matahari (Maryanti 2007). Pattaratuma (1977) menyatakan
bahwa suhu mempengaruhi merak hijau agar berpindah ke hutan untuk melakukan
istirahat.
Merak hijau melakukan aktivitas istirahat di tempat-tempat yang teduh
seperti di bawah pohon dan di sela-sela semak serta terkadang bertengger di tajuk
yang rimbun. Saat beristirahat biasanya merak hijau akan berpindah dari satu
tempat teduh ke tempat teduh lainnya, hal ini dikarenakan saat musim kemarau
suhu sangat panas. Hernowo (1995) menyebutkan bahwa merak hijau di TNB
berteduh dengan cara berdiri dan biasanya akan berpindah tempat dari tempat
teduh satu ke tempat teduh yang lain. Hal yang sama terjadi di hutan tanaman
yang diduga bertujuan untuk mengantisipasi adanya gangguan atau kejaran
predator (Sativaningsih 2005). Menurut Tanudimadja dan Kusumamiharja (1985),
hewan-hewan akan mencari tempat yang aman dan nyaman bagi dirinya.
Aktivitas istirahat berlangsung pada kisaran waktu 11.00-14.00 WIB di
TNAP dan 09.00-14.00 WIB di TNB. Maryanti (2007) mencatat merak hijau di
TNAP beristirahat selama 3-8 jam yaitu antara pukul 07.30-15.00 dan di TNB
berkisar antara pukul 08.00-14.30 WIB atau selama 3-7 jam. Sementara
Sativaningsih (2005) menyatakan bahwa merak hijau di padang rumput Sadengan
TNAP beristirahat pada pukul 09.00-14.00 WIB. Merak hijau beristirahat pada
waktu tersebut karena aktivitas predator sangat tinggi dan suhu yang panas.
107
Durasi dan frekuensi aktivitas istirahat merak hijau di TNAP dan TNB
beragam pada berbagai tipe habitat. Hal ini diperjelas dengan hasil uji chi-square
yang menunjukkan nilai χ2 hitung lebih besar dari χ2 tab yang berarti terdapat
pengaruh tipe habitat terhadap perilaku istirahat. Pada habitat berhutan di TNAP,
merak hijau lebih cepat durasi istirahatnya. Hal ini disebabkan kondisi tajuk yang
rapat membuat merak hijau teduh tidak kepanasan walaupun sedang melakukan
aktivitas lainnya.
Di TNB, merak hijau memiliki durasi yang relatif sama pada habitat
savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Akan tetapi Di hutan
evergreen TNB merak hijau lebih lambat melakukan aktivitas istirahat di
bandingkan savana dan hutan pantai. Karena kondisi habitat di hutan evergreen
memiliki tajuk yang rapat dengan vegetasi yang hijau sepanjang tahun, sehingga
akan mengurahi terik dari sinar matahari.
Perilaku tidur merak hijau adalah serangkaian kegiatan merak hijau dari
mulai memilih pohon tempat tenggerannya (tidur) dilanjutkan dengan
memposisikan tubuhnya sedemikian rupa yang diakhiri dengan mengeluarkan
suara-suara terakhir tanda berakhirnya aktivitas harian sampai dengan terdengar
suaranya di pagi hari tanda dimulainya aktivitas. Merak hijau mengeluarkan suara
tipe I saat akan tidur dan setelah bangun. Sebelum bertengger di pohon tidur,
merak hijau naik ke pohon tidur dengan cara terbang bertahap maupun langsung.
Merak hijau tidur di atas pohon bertujuan agar terhindar dari predator.
Pohon yang menjadi pilihan tempat tidur merak hijau biasanya tidak jauh
dari tempat terbuka (tempat makan), memiliki ketinggian relatif lebih tinggi dari
pohon sekitarnya dan memiliki tajuk tidak lebat dengan percabangan yang
mendatar atau relatif tegak lurus dengan batang utama. Di TNAP merak hijau
menggunakan jenis pohon untuk tidur diantaranya apak, gempol, randu hutan,
bendo, mahoni dan jati, sedangkan pilang, mimbo dan gebang (Corypha utan)
menjadi pilah utama merak hijau di TNB sebagai pohon tidurnya (Gambar 50).
Berdasarkan pengamatan pohon tidur yang dipilih merak hijau memiliki areal
terbuka tempat landasan mendarat saat turun dari pohon tidurnya. Merak hijau
108
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 50. Perilakuu tidur merak hijau di attas pohon; (a)
( jati, (b) rrandu hutan
n,
(c) gebaang dan (d) mimba
m
41944, 41862 dan 40703 detik/hari. Sementara durasi rerata merak hijau di
savana Bekol melakukan aktivitas tidur lebih cepat dibandingkan dua lokasi
lainnya di TNB, yaitu sebesar 37032 detik/hari (Table 22).
Tabel 22. Rekapitulasi durasi perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB
Durasi Ragam Durasi Durasi
Lokasi Rerata Waktu Min. Maks
(detik/hari) (detik/hari)2 (detik/hari) (detik/hari)
TNAP
Padang rumput Sadengan 40703 659869 39891 41515
Hutan tanaman jati Gunting *) 41862 774723 40982 42742
Hutan Rowobendo 41944 3166261 40165 43723
TNB
Savana Bekol 37032 939379 36063 38002
Hutan pantai Manting 40170 664468 39354 40985
Hutan evergreen 40239 167419 39830 40649
Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan
Aktivitas tidur merupakan aktivitas istirahat total pada hari senja hingga
pagi hari setelah melakukan aktivitas seharian. Perilaku tidur merupakan
serangkaian aktivitas guna mengistirahatkan seluruh bagian tubuhnya agar
kembali bugar untuk melakukan aktivitas harian esok harinya. Hernowo (1995)
menyatakan bahwa merak hijau menuju pohon tidur dengan cara terbang langsung
ke pohon tidur atau melompat terlebih dahulu ke pohon yang lebih rendah
kemudian melompat pada pohon tidurnya. Menurut Supratman (1998), perilaku
tidur di TNAP dilakukan tidak langsung terbang ke pohon tidur, tetapi hinggap
terlebih dahulu ke pohon lain yang lebih rendah, selanjutnya melompat lagi
hingga sampai di pohon tidurnya. Hal ini bertujuan untuk menghemat energi serta
merak hijau memilih tempat tidurnya yang nyaman dan aman.
Secara umum merak hijau di TNAP tidur pada pukul 17.30 WIB dan
bangun pada pukul 05.00 WIB, sedangkan di TNB aktivitas tidur merak hijau
berkisar antara pukul 17.30-04.30 WIB. Maryanti (2007) mencatat aktivitas tidur
merak hijau dimulai pada pukul 17.18-05.14 WIB di TNAP dan 17.30-05.10 WIB
di TNB. Menurut Sativaningsih (2005), merak hijau mulai bertengger di pohon
tidurnya pukul 17.14 WIB namun suara merak hijau masih terdengar hingga pukul
17.59 WIB. Kesamaan waktu tersebut karena aktivitas tidur merupakan aktivitas
alami yang relatif dilakukan oleh setiap individu merak hijau di setiap lokasi.
Hasil uji chi-square di TNAP menunjukkan nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2
tab yang berarti tidak ada pengaruh tipe habitat terhadap frekuensi dan durasi
110
perilaku tidur. Namun, di TNB frekuensi tidur pada suatu tempat sangat
dipengaruhi oleh tipe habitat. Tipe habitat yang ada di TNAP akan memiliki
peluang yang sama sebagai tempat tidur merak hijau. Berbeda dengan tipe habitat
yang terdapat di TNB, habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen akan
mendapatkan peluang yang berbeda sebagai tempat tidur merak hijau. Walaupun
merak hijau lebih memilih pohon tidurnya bukan memilih habitat tidur. Akan
tetapi tidak semua habitat terdapat pohon yang sesuai untuk tempat tidur merak
hijau.
Di TNB merak hijau memilih tempat tidur berupa pohon dengan tinggi
lebih dari 10 m, memiliki tajuk yang tidak rapat, percabangan bersudut tumpul
atau mendekati lurus terhadap batang utama dan merupakan pohon paling tinggi
diantara pohon sekitar serta terdapat areal terbuka di sekitar pohon tidurnya
(Hernowo 1995). Menurut Supratman (1998) dan Wasono (2005), merak hijau di
TNAP memilih pohon tidur dengan tinggi lebih dari 7 m, percabangan relatif
tegak lurus dengan batang utama, memiliki tajuk tidak rapat bahkan tidur pada
pohon sedang meranggas atau mati dan di sekitarnya terdapat areal terbuka serta
merupakan pohon tertinggi dari pohon sekitar.
hanya bernilai dibawah 9% untuk merak hijau jantan dan 6% untuk merak hijau
betina.
Perilaku berbiak merak hijau terdiri dari perilaku display, kopulasi (kawin)
dan bersuara, sedangkan perilaku berbiak pada merak hijau betina terdiri dari
perilaku bersuara dan kopulasi (Gambar 51a dan 52a). Perilaku berbiak merak
hijau betina hanya meliputi bersuara dan kopulasi karena perilaku menarik
pasangan dengan cara menari (display) hannya dilakukan oleh merak hijau jantan.
112
Secara garis besar dalam sehari selama musim berbiak, merak hijau di
TNAP dan TNB melakukan aktivitas suara, kawin, makan, minum, menelisik,
berjemur, mandi debu, istirahat, berlindung, naik pohon, tidur dan lain-lain, serta
ditambah dengan aktivitas display dan bertarung bagi merak hijau jantan.
Sementara Maryanti (2007) menjabarkan aktivitas harian merak hijau berupa
aktivitas bersuara, makan, minum, menelisik bulu, mandi debu, display, berjemur,
berteduh, berlindung dan tidur. Sativaningsih (2005) menyatakan bahwa aktivitas
114
harian merak hijau dimulai pada saat bergerak dari posisi tidur di pohon
tenggerannya sampai dengan kembali ke pohon tenggerannya untuk tidur kembali.
Perilaku tidur merupakan perilaku dominan yang dilakukan merak hijau
betina maupun jantan pada malam hari, yaitu berkisar antara pukul 18.00-05.00
WIB baik di TNAP maupun TNB. Pada siang hari merak hijau memiliki
persentase perilaku yang beragam. Namun, merak hijau jantan maupun betina
TNAP dan TNB memiliki dua perilaku dengan persentase terbesar, yaitu istirahat
(berteduh) dan makan. Kedua perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku
utama merak hijau pada siang hari. Maryanti (2007) menyatakan bahwa merak
hijau menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berteduh 41.77 % di TNAP
dan 41.14 % di TNB serta makan 22.80 % di TNAP dan 22.22 % di TNB. Sama
halnya dengan Sativaningsih (2005) menyebutkan bahwa merak hijau di TNAP
menggunakan waktunya untuk istirahat sebesar 48.6 % dan makan 40.1 %.
Besarnya persentase aktivitas istirahat dalam aktivitas harian merak
berkaitan dengan terik sinar matahari yang sangat panas dan lama saat musim
kemarau, sehingga merak hijau akan menghentikan aktivitasnya ketika sinar
matahari mulai panas dan akan kembali beraktivitas saat tidak terlalu panas.
Perilaku utama lainnya adalah aktivitas makan. Aktivitas ini dilakukan dari mulai
turun dari pohon tidur hingga naik kembali ke pohon tidurnya. Hal ini berkaitan
dengan strategi merak hijau dalam mencukupi energi yang dibutuhkan untuk
aktivitas hariannya dengan postur tubuh yang cukup besar dibandingkan dengan
suku Phasianidae lainnya.
yang rawan pencurian telur, sedangkan pada lokasi yang cukup aman
pengelola hanya perlu melakukan penjagaan sarang dan telur merak hijau
dengan cara patrol rutin yang lebih intensif pada musim berbiak merak hijau
yaitu pada bulan September hingga Desember baik di TNAP maupun TNB.
Karena penjagaan sarang dan telur di habitat alaminya lebih efektif dan tidak
beresiko terhadap perilaku merak hijau dalam jangka panjang. Berbeda
halnya dengan penetasan telur secara buatan akan membutuhkan biaya yang
besar yang resiko terhadap perilaku dan daya adaptasi merak hijau terhadap
habitatnya.
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1983. Ekologi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional
Ujung Kulon [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Allaby M. 1994. The Concise Oxford Dictionary of Ecology. New York: Oxford
University Press.
-------. 2004. Pavo muticus. In: IUCN 2006. 2006 IUCN Red List of Threatened
Species. http://www.iucnredlist.org/ [25 April 2007].
[BTNAP] Balai Taman Nasional Alas Purwo. 2007. Taman Nasional Alas Purwo.
http://www.alaspurwo.com/ [29 Mei 2007].
Dwisatya AP. 2006. Studi Perilaku Seksual Merak Hijau Jawa (Pavo muicus
muticus Linnaeus 1758) di Kubah Barat Taman Burung Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) [skripsi]. Jakarta: Program Studi Biologi Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Jakarta.
Grizemks. 1972. Animal Encyclopedia Vol. 8: Bird II. New York: Van
Nostrand, Reinhold Co.
120
Hernowo JB. 1995. Ecology and bahaviour of the green peafowl (Pavo muticus
Linnaeus 1766) in Baluran National Park, East Java [thesis]. Göttingen:
Faculty of Forestry Science, Georg August University.
Hoogerwerf A. 1949. Een Bijdrage tot de Oölogie van het Eiland Java.
Buitenzorg: De Kon. Plantentuin van Indonesië.
King B, Woodcock M & Dickinson EC. 1989. A Field Guide to the Bird of
South-East Asia. London: Collins St. James’s Place.
Lehner PN. 1998. Handbook of Ethology Method (2nd ed.). Inggris: Cambridge
University Press.
Maryanti. 2007. Ekologi Perilaku Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di
Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur
[skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Mulyana. 1988. Studi habitat merak hijau (Pavo muticus Linnaeus) di Resort
Bekol, Taman Nasional Baluran, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Jurusan
121
Risnawati R. 2008. Analisis Populasi dan Habitat Merak Hijau (Pavo muticus
Linnaeus , 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Jawa Timur
[skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Wasono WT. 2005. Populasi dan habitat merak hijau (Pavo muticus Linnaeus,
1766) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur [skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Winarto R. 1993. Beberapa aspek ekologi merak hijau (Pavo muticus Linnaeus,
1766) pada musim berbiak di resort bekol Taman Nasional Baluran Jawa
Timur. [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Yuniar A. 2007. Studi populasi dan habitat merak hijau (Pavo muticus Linnaeus,
1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Jawa
Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
123
LAMPIRAN
124
Lampiran 9. Test-F pada durasi perilaku merak hijau di TNAP (Ftabel = 1.88)
Jenis ∑ ∑
Perilaku n Fhit Kesimpulan
Kelamin
H0 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina sama dengan kesamaan ragam
H1 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina berbeda
Terima H0 jika Fhitung > Ftabel
Terima H1 jika Fhitung < Ftabel
133
133
Lampiran 10. Test-F pada durasi perilaku merak hijau di TNB (Ftabel = 2.27)
Jenis ∑ ∑
Perilaku n Fhit Kesimpulan
Kelamin
H0 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina sama dengan kesamaan ragam
H1 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina berbeda
Terima H0 jika Fhitung < Ftabel
Terima H1 jika Fhitung > Ftabel