You are on page 1of 14

Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang

terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).
Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian lain dari tubuh.

Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan
aliran darah setempat.

Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat
di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya.
Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel
imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan
bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.

Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam
kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi
nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.

[sunting] Manifestasi
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang
mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni: kemerahan
(rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses
dapat terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada
paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke
jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif
(gangren).

Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu
abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut
mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.

[sunting] Tatalaksana
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun
demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan kuretase.

Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila
disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak
disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan
dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan apabila abses telah
berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Hal ini
dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi evacua.

Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan pembedahan
dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan. Drainase abses
paru dapat dilakukan dengan memposisikan penderita sedemikian hingga memungkinkan isi
abses keluar melalui saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi
anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat
melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.

Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.
Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa
antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.

Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran menyarankan untuk dilakukan
insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif dengan
menggunakan antibiotik

I. PENDAHULUAN
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel – sel, dan pus, biasanya disertai
dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam
peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum1.

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua
bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum visceral, yang berfungsi menutupi sebagian
besar dari organ – organ abdomen dan pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ
saling bergeseran tanpa ada penggesekan. Organ – organ digabungkan bersama dan menjaga
kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan organ – organ terhadap
dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan pembuluh darah yang termuat dalam
peritoneum, membantu melindunginya terhadap infeksi2.

Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus –
menerus, tidak akan terjadi peritonitis. Sebagian besar peritonitis disebabkan karena perforasi
appendiks, lambung, usus halus, atau kandung empedu 1,14.

Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3% mempunyai peritonitis mekonium.
Peritonitis mekonium adalah reaksi kimia dari peritoneum ke mekonium karena terjadi kebocoran
mekonium ke dalam kavitas peritoneum akibat defek dinding usus antenatal3.

Apapun penyebabnya, onsetnya terjadi secara tiba – tiba, awalnya hanya pada satu daerah saja tetapi
kemudian berkembang ke daerah yang lebih luas, menyebar pada peritoneum viseral dan parietal. Dan
jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal4.

II. INSIDEN
Insiden di negara barat telah menurun jelas pada dekade terakhir, sedangkan di Afrika jarang dilaporkan
adanya penyakit ini. Di Indonesia belum di teliti apakah ada kesan ada kenaikan insiden. Di Amerika,
insiden pada orang kulit hitam sebanding atau sedikit lebih tinggi dibanding orang kulit putih. Terdapat
predisposisi familier, tetapi hubungannya belum jelas. Lebih banyak di temukan pada orang yang
golongan darah O, dan juga lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi5.

Pada 39 kasus peritonitis neonatal ditemukan sekitar 51,3% mempunyai peritonitis mekonium. Asites
pada 45% kasus dan muntah – muntah pada 40% kasus, 30% mempunyai massa pada abdominal. Angka
mortalitas pada peritonitis mekonium sekitar 80%3.

III. ANATOMI
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri atas dua
bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal, dan peritoneum
visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Ruang yang bisa terdapat di
antara dua lapis ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki – laki berupa kantung
tertutup, pada perempuan tuba fallopi membuka masuk ke dalam rongga peritoneum. Banyak lipatan
atau kantong terdapat di dalam rongga peritoneum, sebuah lipatan besar atau omentum mayor yang
kaya akan lemak bergantungan di sebelah depan lambung2

Omentum minor berjalan dari porta hepatis setelah menyelaputi hati ke bawah, ke kurvatura minor
lambung dan disini bercabang untuk menyelaputi lambung ini. Kolon juga terbungkus oleh peritoneum
ini. Dan peritoneum ini kemudian berjalan ke atas dan berbelok ke belakang sebagai meso-kolon kearah
dinding posterior abdomen. Sebagian dari peritoneum ini membentuk mesenterium usus halus.
Omentum besar dan kecil, mesenterium usus halus dan meso-kolon, semua memuat penyaluran darah
vaskuler dan limfe dari organ – organ yang diselaputinya2.

IV. ETIOLOGI
Peritonitis biasanya disebabkan oleh:
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
Yang paling sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, kandung empedu, usus buntu,
asites (dimana cairan berkumpul di perut dan kemudian mengalami infeksi)1,7.
2. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kantung empedu, ureter, kandung
kemih, atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut1.
3. Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritoneal. Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada luka tembus
abdomen, sebab usus mengisi sebagian besar rongga abdomen5.
4. Peritonitis mekonium dapat terjadi jika ada defek pada dinding usus pada masa antenatal10.

V. PATOFISIOLOGI
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi
dari organ – organ abdomen (misalnya: apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka
tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada
kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar9.

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Abses
terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita – pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus9.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,
dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang,
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung – lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus9.
Peritonitis mekonium adalah peritonitis non bakterial yang berasal dari mekonium yang keluar melalui
defek pada dinding usus ke dalam rongga peritoneum. Defek dinding usus dapat tertutup sendiri sebagai
reaksi peritoneal. Bercak perkapuran dapat terjadi dalam waktu 24 jam 10.

VI. DIAGNOSIS

Gambaran klinik
- Biasanya penderita muntah, demam tinggi, dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Pada palpasi
sebagian atau seluruh abdomen tegang, seperti ada tahanan atau nyeri tekan; Berkurangnya nafsu
makan; Frekuensi jantung dan pernafasan meningkat; Tekanan darah menurun; Produksi urin menurun.
11,13,14,15.

- Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut yang membentuk perlengketan yang akhirnya bisa
menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan
cepat; Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan di usus besar.
Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum; Terjadi dehidrasi berat
dan darah kehilangan elektrolit; Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti gagal ginjal akut (ARF)
1.
- Pada peritonitis mekonium gejalanya berupa abdomen yang membuncit sejak lahir, muntah, dan
edema dinding abdomen kebiru – biruan10.

Gambaran radiologi
- Foto roentgen di ambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang terdapat dalam perut dapat
terlihat pada foto roentgen dan merupakan petunjuk adanya perforasi1.
- Pada pemeriksaan foto polos abdomen dijumpai asites, tanda – tanda obstruksi usus berupa air-udara
dan kadang – kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon menunjukkan
dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus – usus yang melebar biasanya berdinding tebal10
- Pada peritonitis umum gambaran radiologinya menyerupai ileus paralitik. Terdapat distensi baik pada
usus halus maupun pada usus besar. Pada foto berdiri terlihat beberapa fluid level di dalam usus halus
dan usus besar. Jika terjadi suatu ruptur viskus bisa menyebabkan peritonitis, udara bebas mungkin akan
terlihat pada kavitas peritoneal16.

Ruptur appendiks yang disertai peritonitis


A: Terdapat dilatasi pada usus besar dan usus halus. Ruang antara usus halus menyempit di sebabkan
karena udema pada usus. Peritoneal fat line menghilang.
B: Terdapat udara bebas pada diaphragma kanan. Ada penyempitan air fliud level pada bagian bawah
abdomen.
(dikutip dari kepustakaan 16)

- Peritonitis umum: Formasi abses


Meskipun peritonitis umum telah berkurang abses lokal dapat terjadi pada salah satu bagian abdomen.
Abses mungkinan muncul beberapa hari atau minggu setelah mendapat pengobatan peritonitis. Pada
gambaran radiologi, abses terlihat menyerupai suatu massa. Kadang – kadang abses terdapat pada usus
halus sehingga menghasilkan obstruksi mekanik19.

Abses pada kuadran kanan bawah yang mengikuti peritonitis yang sebelumnya terjadi ruptur appendiks,
sebuah massa berkembang di daerah kuadran bawah memperlihatkan pendesakan pada usus kecil.
Terjadi distensi proximal usus kecil.
(dikutip dari kepustakaan 16)

- Gambaran radiologik peritonitis mekonium berupa tanda – tanda obstruksi distal duodenum, bercak –
bercak perkapuran di dalam rongga usus atau peritoneum, sering juga di daerah skrotum10.

Gambaran Patologi
Asam bikarbonat yang dihasilkan mukosa duodenum dan pankreas adalah penetral asam yang utama.
Berkurangnya faktor pelindung terhadap zat cerna ini menyebabkan autodigesti mukosa duodenum.
Gastroduodenitis yang disebabkan oleh helicobacter pylori dianggap penyebab penting yang
memudahkan terjadinya tukak. Tukak duodenum terjadi akibat aksi korosif asam lambung terhadap
epitel yang rentan. Defek ini bermula pada mukosa, selanjutnya menembus ke muskularis mukosa.
Tukak yang biasanya kecil saja, tetapi menembus lapisan dinding duodenum, bisa berkembang menjadi
lanjut hingga terjadi perdarahan, penetrasi ke pankreas, atau perforasi bebas5.
Peritoneum yang normal memberi gambaran bening kelabu. ketika terjadi peritonitis, dalam waktu 2-4
jam peritoneum berubah menjadi suram atau berawan. Setelah itu mengeluarkan cairan exudat
fibrinosa sebagai tanda adanya invasi bakteri. Cairan tertahan di usus halus dan di usus besar, kemudian
akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum8.

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pembuangan fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan
mengalirkan nanah keluar dan tindakan – tindakan menghilangkan nyeri9.
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila disertai
appendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus1.

VIII. PROGNOSIS
Jika ditangani dengan baik, terutama pada kasus - kasus pembedahan peritonitis (perforasi ulkus peptik,
appendisitis, dan divertikulitis) mempunyai angka kematian < 10% dan pasien kembali sehat seperti
sediakala, tetapi pada pasien – pasien dengan usia di atas 48 tahun, angka mortalitasnya sekitar 40% jika
disertai dengan penyakit – penyakit lainnya dan sistem imunnya menurun. Pada anak – anak prognosis
pada umumnya baik setalah mendapat pengobatan dengan antibiotik. Jika peritonitis terjadi secara
menyeluruh, selalu berakibat fatal8,11.

Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. (infeksi dan inflamasi)1

Terminologi dan Definisi Sepsis1

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)

Respons tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 hal atau lebih keadaan berikut:

1. suhu >380C atau <360C


2. frekuensi jantung >90x.menit
3. frekuensi napas >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. leukosit darah >12000/mm3, <4000/mm3 atau batang >10%

Sepsis

Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS

Sepsis berat

Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat,
oligouria dan penurunan kesadaran

Sepsis dengan hipotensi

Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40
mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya.

Renjatan septik

Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ

Patofisiologi Sepsis

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag,
sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi
disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan
gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.1 

Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri
gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma,
dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit,
diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian
akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan
CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear
factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu  faktor transkripsi
yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2).1   

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA)
dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis
melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.1,2 

Peran sitokin pada sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi
mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih,
yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit,
makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti
komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain
mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi,
reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon.1

Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting adalah
TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi.
Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi
TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi
molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1,
PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan
mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2),
tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain
yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen.3  

Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis
berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi.4 
Peran komplemen pada sepsis

Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons imun
dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis,
aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan
fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada
reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi
pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan
ekspresi faktor jaringan.1

Peran NO pada sepsis

NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada sepsis,
produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik berupa
hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan
produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit.
Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif
dengan vasopresor.1

Peran netrofil pada sepsis

Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh mediator
kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat,
walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. 1 Netrofil seperti pedang bermata dua pada
sepsis. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan
oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. 4
Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah
komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada
pasien dengan sepsis juga tidak efektif.4

Penatalaksanaan

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam mencari
dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.1,5,6

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol
sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang
sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik,  terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons
imun maladaptif host terhadap infeksi.

1.      Resusitasi

      Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi
oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).6      

2.      Eliminasi sumber infeksi

      Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang
adekuat.6

3.      Terapi antimikroba

      Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur
diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen
bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. 6 Oleh karena
pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada
keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya
pada sepsis berat dan gagal multi organ.1  

      Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi
dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi
lebih baik daripada monoterapi.6    

4.      Terapi suportif

a.       Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

b.      Terapi cairan

o       Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer
laktat) maupun koloid.1,6

o       Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.

o       Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah
pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb
yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.

c.       Vasopresor dan inotropik

Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan


adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan
dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg.
Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit
atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).1
d.      Bikarbonat

      Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1

e.       Disfungsi renal

      Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin
dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi
ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti
gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1

f.       Nutrisi

      Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis),


ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi:
kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.1

g.      Kontrol gula darah

      Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar
10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula
darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan
bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat
diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko
hipoglikemia.1

h.      Gangguan koagulasi

      Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis
berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis
sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi
antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila
diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.

i.        Kortikosteroid

      Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg
bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid
sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.6

5.      Modifikasi respons inflamasi

      Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida);


antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF;
metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein,
selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-
CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous
activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan
fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari
human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.7

PARONIKIA
Paronikia adalah infeksi pada kulit di sekitar kuku jari tangan atau kuku jari kaki.

Paronychia biasanya akut, tetapi kasus kronis bisa terjadi. Pada paronychia akut, bakteri (biasanya
staphylococcus aureus atau streptococci) masuk melalui robekan pada kulit diakibatkan dari bintil kuku,
trauma pada lapisan kuku (lapisan pada kulit keras yang tumpang tindih disisi kuku), hilangnya kutikula,
atau iritasi kronis (seperti dari air dan detergent). Paronychia lebih umum pada orang yang menggigit
atau menghisap jari-jari mereka. Pada kaki, infeksi seringkali mulai pada jari kaki yang tumbuh ke dalam.

Paronychia terjadi sepanjang garis tepi kuku (samping dan dasar lapisan kuku). Lebih dari berjalannya
jam sampai hari, orang dengan paronychia mengalami rasa sakit, kehangatan, kemerahan, dan
pembengkakan. Nanah biasanya terkumpul dibawah kulit sepanjang garis tepi kuku dan kadangkala di
bawah kuku. Jarang, terutama pada orang yang memiliki diabetes atau gangguan lainnya yang
menyebabkan minimnya sirkulasi, infeksi masuk kedalam jari tangan atau kaki dan bisa mengancam jari
tangan atau, kasus ekstrem, tungkai dan lengan.
PENYEBAB
Biasanya penyebabnya adalah bakteri stafilokokus atau jamur.

GEJALA
Kulit tampak merah dan membengkak, bisa disertai lepuhan-lepuhan yang berisi nanah (terutama jika
penyebabnya adalah bakteri).
Kuku memiliki ruang yang terbatas, karena itu infeksi cenderung menimbulkan nyeri.
Kuku bisa mengalami perubahan warna, bentuk atau terlepas dari bantalannya.

DIAGNOSA
Dokter membuat diagnosa dengan meneliti jari tangan atau kaki yang terinfeksi. Dalam tahap awal,
paronychia kemungkinan diobati dengan antibiotik melauli mulut (seperti dicloxacillin, cephalexin, atau
clindamycin) dan sering berendam air panas untuk meningkatkan aliran darah. jika nanah terkumpul,
harus dikeringkan. Dokter memati rasakan jari tangan atau kaki dengan anestesi local (seperti lidocaine)
dan mengangkat lapisan jari dengan alat. Memotong kulit yang biasanya tidak diperlukan. Kain kasa tipis
dimasukkan untuk 24 sampai 487 jam untuk membiatkan daerah tersebut kering.

PENGOBATAN
Kompres hangat atau merendam kuku dalam air hangat, membantu meringankan nyeri dan pengeluaran
nanah.
Perendaman dalam air hangat juga meningkatkan peredaran darah sehingga membantu melawan
infeksi.
Kadang nanah harus dikeluarkan dengan membuat sayatan pisau bedah pada kantung nanah (abses).
Jika terjadi penyebaran infeksi, diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut).
Jika penyebabnya adalah jamur, setelah nanah dikeluarkan, diberikan krim anti-jamur yang mengandung
ketoconazole, ciclopirox atau miconazole dan direndam dalam air hangat. Jika infeksinya berat,
diberikan obat anti-jamur per-oral.

PENCEGAHAN
Rawatlah dengan baik kuku dan kulit di sekitarnya.
Jangan mengigit atau mencabut kuku.
Lindungi kuku dari deterjen dan zat-zat kimia dengan mengenakan sarung tangan karet atau plastik.

You might also like