You are on page 1of 6

c  


 

à  
   
 à
Karena pada dasarnya Pajak dikenakan oleh Negara adalah untuk Rakyat maka sudah suatu
keharusan bahwa pajak tidaklah boleh membebani rakyat

Menurut Adam Smith, prinsip yang paling utama dalam rangka pemungutan pajak adalh
keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga
Negara hendaknya berpartisipasi dalam pembiayaan pemerintah, sedapat secara proposional
sesuai dengan kemampuan masing ʹ masing, yaitu dengan cara membadingkan apa yang
diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmatinya dari Negara

Masalah yang muncul kemudian adalh keadilan bagi siapa dan terhadap apa.

Dikemukakan oleh Jhon F. Due, bahwa pada hakikatnya masalah keadilan dalam perpajakan
adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement) dan tidaklah mungkin untuk melakukan
pendekatanilmiah guna merumuskan konsep keadilan tersebut.Ukuran keadilan dalam
perpajakan semata ʹ mata oleh pandangan atau konsessus yang terdapat dalam masyarakat itu
sendiri, sehingga kecenderungan untuk memberikan keabsahan ilmia (scientific validity)
terhadap ukuran keadilan merupakan hal yang diragukan.

System perpajakan yang adil ialah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan
yang berada dalam situasi ekonomi yang sama dan memberikan perlakuan yang berbeda ʹ
beda terhadap orang atau badan yang berada dalam keadaan ekonomi yang berbeda ʹ beda.

c     
 (c) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunankarena
adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan
yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.Dasar pengenaan
pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga
pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP . Nilai Jual Kena
Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 milyar rupiah) atau 40% dari
NJOP (jika NJOP senilai 1 milyar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun
pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (îcc ).

Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh
manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB
harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.

Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut pentingnya pengelolaan
pajak tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah. Ada berbagai jenis pajak yang dikenakan
kepada masyarakat, namun dari beberapa diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan merupakan
jenis-jenis pajak sangat potensil dan strategis sebagai sumber penghasilan Negara dalam rangka
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Salah satu aspek penunjang dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional
selain dari aspek sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya lainnya adalah
ketersediaan dana pembangunan baik yang diperoleh dari sumber-sumber pajak maupun non
pajak. Penghasilan dari sumber pajak meliputi berbagai sektor perpajakan antara lain diperoleh
dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu faktor
pemasukan bagi Negara yang cukup potensil dan kontribusi terhadap pendapatan negara jika
dibandingkan dengan sektor pajak lainnya sangat besar. Strategisnya Pajak Bumi dan Bangunan
tersebut tidak lain karena objeknya meliputi seluruh bumi dan bangunan yang berada dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pentingnya pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan telah ditetapkan dalam berbagai
produk perundang-undangan pemerintah, dalam neraca APBN misalnya telah ditentukan
penerimaan Negara bersumber dari penerimaan dalam negara dan penerimaan pembangunan.
Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan minyak bumi dan gas alam, selain dari itu
adalah penerimaan migas dan penerimaan yang berasal dari pajak.
Syarat yuridis untuk timbul utang pajak atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), yaitu terpenuhi

a. kewajiban pajak subjektif, ialah orang pribadi dan atau badan yang memperoleh hak (subjek
pajak); dan

b. kewajiban pajak objektif, ialah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (objek pajak).

Dengan demikian, bila pada suatu saat terjadi keadaan terpenuhi kewajiban pajak subjektif dan
kewajiban pajak objektif sebagaimana tersebut di atas, telah timbul kewajiban utang pajak bagi
subjek atau wajib pajak untuk membayar dan hak atau tagihan bagi fiskus/negara untuk
menagih piutang pajak tersebut.

Selanjutnya bagi wajib pajak, untuk mendapatkan haknya atas peralihan hak tanah dan
bangunan yang diperoleh harus dapat menunjukkan bukti pelunasan utang pajaknya kepada
pejabat yang berwenang mengalihkan hak tersebut.

Dasar pengenaan pajak/BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu nilai atau
harga yang harus atau seharusnya dibayar oleh penerima hak atas tanah dan bangunan
tersebut.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperoleh hak atas tanah dan atau bangunan oleh subjek atau wajib pajak.

NPOP yang terjadi dapat dikenal dengan nama:

1. Dalam hal jual-beli (objek) adalah nilai transaksi, nilai atau harga yang terjadi secara nyata
dalam perjanjian/kontrak jual beli tersebut.

2. Dalam hal tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas
tanah sebagai kelanjutan pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha dan hadiah adalah nilai pasar, nilai atau harga yang terjadi secara wajar di pasar.

3. Dalam hal penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang.

NPOP yang menjadi dasar besar pajak atau BPHTB terutang tersebut, undang-undang
memberikan syarat sebagai batas minimal yang harus dipenuhi besar NPOP atas hak tanah dan
bangunan yang dialihkan tersebut.

Syarat tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 20/2000 tentang BPHTB menyebutkan,
"Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang
digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadi perolehan, maka
dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan".

    

Persyaratan yang harus dipenuhi yang sekaligus juga berfungsi sebagai kontrol pengenaan
besar BPHTB terutang tersebut di atas biasanya pada saat-saat awal tahun pajak (Januari-
Februari) suatu tahun sebagaimana saat-saat ini sering seakan-akan menimbulkan masalah
tidak dapat dipenuhi dengan alasan karena NJOP yang menjadi dasar diterbitkan SPPT pada
tahun terjadi perolehan hak atas tanah dan bangunan (jika ada kaitannya dengan pengenaan
BPHTB) belum diputuskan/dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan.

Bila misalnya pada masa-masa awal 2004 ada pemohon/wajib pajak mengajukan pemindahan
hak atas tanah dan atau bangunan kepada pihak yang berwenang, maka seakan-akan menjadi
terhenti. Keterhentian permohonan pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan karena
alasan tersebut di atas seharusnya tidak benar.
Jalan keluar untuk mengatasi belum diketahui NJOP PBB, terutama pada saat-saat awal suatu
tahun sebagaimana sekarang, UU juga mengatur melalui ketentuan Pasal 6 ayat (4) UU BPHTB
yang berbunyi sebagai berikut:

Apabila NJOP PBB sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum ditetapkan, maka besarnya
ditetapkan Menteri Keuangan.

Kewenangan Menteri Keuangan dalam hal ini dapat didelegasikan kepada Direktur Jenderal
Pajak, kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak, dan kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan setempat.

Dengan demikian, sebenarnya tidak akan ada masalah tentang keterhentian permohonan wajib
pajak untuk mengajukan pemindahan hak atas tanah dan bangunan yang diperoleh kapan pun
saat tersebut terjadi.

Caranya: para wajib pajak atau siapa pun yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan, terlebih dulu mengajukan permohonan untuk
mendapatkan informasi tentang besar NJOP yang diperlukan tersebut ke kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai dasar menghitung besar BPHTB yang terutang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara benar.

Dengan permohonan oleh wajib pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan setempat yang berwenang memberikan keterangan besaran NJOP yang diperlukan
untuk pengurusan pembayaran BPHTB yang terutang secara benar, oleh kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan secara kasuistis akan dilayani dan diberikan

Sumber :

     , Jaja Zakaria,

       , John Hutagaol, Graha Ilmu

www.pajak.go.id
c     c   

c   
 

    

 

Universitas Atmajaya Yogyakarta

Fakultas Ekonomi

2010

You might also like