Professional Documents
Culture Documents
Tahun 2005
Materi : Mekanisme Judicial Review
JUDICIAL REVIEW
Bab I
Presiden. Karena itu, setiap perpu yang United States Supreme Court Versus the German
ditetapkan oleh Presiden diharuskan segera Constitutional Court, Boston College International
diajukan ke DPR untuk mendapatkan ‘legislative & Comparartive Law Review, 1997, page 2.
review’ dengan kemungkinan disetujui atau
ditolak oleh DPR. 4 Ibid., page.3
membuatnya sendiri. Usul mengenai Pengujian atau ‘review’ oleh hakim itu dapat
pencabutan suatu Undang-Undang bisa dilakukan secara institutional atau formal
datang dari mana saja, tetapi proses dan dapat pula dilakukan secara prosesual
perubahan ataupun pencabutan Undang- atau substansial. Suatu peraturan sebagai
Undang itu harus datang dari inisiatif institusi dapat dimohonkan pengujian
Presiden atau DPR sebagai lembaga yang kepada hakim, dan hakim dapat
mempunyai wewenang untuk itu. Itulah menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu
sebabnya, selama ini dianut pendapat dalam persidangan yang tersendiri. Dalam
bahwa Mahkamah Agung berwenang hal demikian, dapat dikatakan bahwa
menguji materi peraturan di bawah pengujian materiel itu dilakukan secara
Undang-Undang, tetapi tidak berwenang institusional, dimana peraturan yang
menguji materi Undang-Undang terhadap bersangkutan secara keseluruhan dapat
Undang-Undang Dasar. dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum.
Tetapi, pengujian juga dapat dilakukan oleh
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat hakim secara tidak langsung dalam setiap
formil atau materiel (formele toetsingsrecht en proses acara di pengadilan.
materiele toetsingsrecht)5. Pengujian formil
biasanya terkait dengan soal-soal prosedural Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja,
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi hakim dapat saja atau berwenang
institusi yang membuatnya. Hakim dapat mengesampingkan berlakunya sesuatu
membatalkan suatu peraturan yang peraturan atau tidak memberlakukan
ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya
resmi tentang pembentukan peraturan yang (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme
bersangkutan. Hakim juga dapat demikian ini dapat pula disebut sebagai
menyatakan batal suatu peraturan yang ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau
tidak ditetapkan oleh lembaga yang ‘judicial review’ yang bersifat substansial6.
memang memiliki kewenangan resmi untuk
membentuknya. Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa
produk hukum yang ditetapkan oleh
Sedangkan pengujian materiel berkaitan lembaga legislatif (legislative acts) dan dapat
dengan kemungkinan pertentangan materi pula berupa produk eksekutif (executive
suatu peraturan dengan peraturan lain yang acts). Produk legislatif (legislative acts)
lebih tinggi ataupun menyangkut biasanya disebut undang-undang, wet atau
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu law, tergantung bahasa yang digunakan di
aturan dibandingkan dengan norma-norma masing-masing negara. Disebut produk
yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan legislatif karena memang dalam proses
prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, pembuatannya terlibat peran parlemen.
maka suatu peraturan yang bersifat khusus
dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim,
6 ‘Review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’.
meskipun isinya bertentangan dengan
materi peraturan yang bersifat umum. Seperti dikatakan oleh Brian Thompson, “If one
Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula appeals a decision, one is claiming that it is
wrong or incorrect, and that the appellate
dinyatakan tidak berlaku jikalau materi
authority should change the decision”.
yang terdapat di dalamnya dinilai oleh Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not
hakim nyata-nyata bertentangan dengan concerned with the merits of the case, whether
norma aturan yang lebih tinggi sesuai the decision was right or wrong, but whether it
dengan prinsip ‘lex superiore derogate lex was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh
infiriore’. Lord Brightman : “Judicial review is concerned,
not with the decision, but with the decision-
making process”. Constitutional and Administrative
5 Tentang ini, baca Sri Soemantri, Hak
Law, Blackstone Press Ltd., London, 1993, hal.
Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, 398. Juga John Alder, Constitutional and
hal.6-15. Administrative Law, London : MacMillan
Professional Masters, 1989, hal. 293.
Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dan individuil. Tindakan atau kebijakan
dilakukan sepenuhnya oleh parlemen, pemerintahan yang merugikan atau
setidaknya produk dimaksud ditetapkan menimbulkan ketidakadilan dengan
oleh pemerintah bersama-sama parlemen. sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan
proses pengujian itu juga disebut sebagai
Dalam tradisi ‘common law’ Anglo Amerika, ‘judicial review’7.
baik ‘legislaltive acts’ maupun ‘executive acts’
tersebut dapat berupa produk hukum yang Aspek administrasi negara dalam
mengatur (regels, regeling) dan dapat pula penggunaan upaya ‘judicial review’ itu di
berbentuk keputusan-keputusan lingkungan negara-negara yang mewarisi
administrasi negara yang tidak bersifat tradisi ‘common law’, makin lama bahkan
mengatur, melainkan hanya bersifat cenderung makin meningkat dapat
penetapan administratif (beschikking). dianggap sebagai ciri penting negara hukum
Karena itu, kebijakan dan keputusan- modern (constitutional democracy). Di
keputusan pejabat administrasi negara yang lingkungan negara-negara dengan tradisi
tidak berbentuk peraturan juga dapat diuji ‘civil law’ hal ini sebenarnya sudah sejak
kembali dan dibatalkan atau dinyatakan lama berkembang dengan dimasukkannya
tidak sah oleh pengadilan (hakim). elemen pengadilan administrasi negara
menjadi salah satu pilar konsepsi
Dalam sistem ‘civil law’ yang menganggap ‘Rechtsstaat’ (negara hukum) Eropa Barat.
adanya peradilan administrasi negara Karena itu, perkembangan pengertian
sebagai salah satu pilar penting Negara tentang mengenai fungsi Mahkamah
Hukum (Rechtsstaat), keputusan Konstitusi yang dianggap berwenang
administrasi negara yang tidak bersifat melakukan ‘judicial review’ terhadap
mengatur itu dianggap sebagai objek peraturan, baik dalam arti ‘legislative acts’
pengujian oleh hakim adminitrasi Negara maupun ‘executive acts’, sama sekali terpisah
(tata usaha Negara). Karena itu, yang dari perkembangan pengertian mengenai
termasuk dalam pengertian ‘judicial review’ jaminan keadilan bagi warga negara dalam
dalam sistem ‘civil law’, hanyalah produk konteks sistem peradilan tata usaha negara.
pengaturan saja, yaitu mulai dari Undang- Sedangkan dalam sistem ‘common law’,
undang sampai ke peraturan-peraturan kedua hal itu tercakup dalam
(regels) yang ada di bawahnya. Misalnya perkembangan ‘judicial review’ yang
saja, Keputusan Presiden yang bersifat dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena
mengatur dapat dijadikan objek ‘judicial itu, baik di Inggris maupun di Amerika,
review’, tetapi Keputusan Presiden mengenai pengertian ‘judicial review’ yang biasa
pengangkatan dan pemberhentian pejabat – dipahami lebih luas cakupan maknanya,
karena berisi norma yang konkrit dan yaitu termasuk gugatan berkenaan dengan
bersifat individual – tidak dapat dimintakan norma hukum yang konkrit dan individuil
‘judicial review’, tetapi oleh yang dirugikan
dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata
7 Karena itu, seperti dikemukakan oleh
usaha negara. Sedangkan ‘judicial review’
dalam sistem ‘common law’ seperti Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice
Sunkin mengenai ‘judicial review’ di Inggris,
disebutkan di atas, mencakup objek
“Judicial review is the principal means by which
peraturan, baik ‘legislative acts’ maupun the courts …. Exercise supervision over the
‘executive acts’, dan juga objek tindakan- conduct of central and local government and
tindakan atau kebijakan administrasi negara other public authorities. Since undergoing
yang merugikan kepentingan individu substantial reform in 1977, the procedures for
warganegara. Dengan perkataan lain, judicial review have been widely seen by legal
‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’ commentators as having ‘transformed the face of
mencakup pula mekanisme tuntutan yang administrative law’ and led to a ‘torrent’ of cases
biasa dikenal dalam sistem peradilan tata against public bodies being brought before the
courts”. Judicial Review in Perspective, The Glass
usaha negara yang berkenaan dengan
House, Cavendish Publ. Ltd., London, 1995, hal.
norma-norma hukum yang bersifat konkrit 1.
seperti yang dikenal dalam sistem peradilan peraturan yang berada di atasnya. Karena
tata usaha negara8. Malah, ke arah inilah hubungan hirarkis antar peraturan
pengertian ‘judicial review’ itu cenderung perundang-undangan itu seyogyanya
berkembang, seperti dikatakan oleh Lee bersifat sistemik dan ‘inter-related’ secara
Bridges dan kawan-kawan : “Judicial review vertikal, maka dapat dikembangkan
has been increasingly celebrated, not least by the pemikiran bahwa subjek hakim penguji
judiciary itself, as a means by which the citizen (judicial review) seharusnya bersifat
can obtain redress against oppressive ‘integrated’ atau terpadu di satu institusi.
government, and as a key vehicle for enabling the Akan tetapi, karena dalam pengalaman di
judiciary to prevent and check the abuse of banyak negara, kemunculan ide
executive power”.9 pembentukan Mahkamah Konstitusi10 dapat
dipandang sebagai inovasi baru di bidang
Pedoman hukum yang dipakai untuk hukum yang dalam perkembangannya baru
melakukan pengujian tersebut oleh hakim dikaitkan dengan pengujian terhadap
adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau konstitusionalitas undang-undang, maka
sekurang-kurangnya norma hukum yang subjek hakim penguji itu dibedakan antara
setingkat terutama apabila pengujian yang materi undang-undang dan peraturan di
dilakukan bersifat formil. Norma hukum bawah undang-undang.
yang paling tinggi adalah Konstitusi. Karena
itu, pengujian terhadap materi undang- Di beberapa negara, juga diterima adanya
undang dinilai berdasarkan norma dasar pengertian bahwa selain kewenangan uji
yang terkandung dalam konstitusi. Dengan materiel atas undang-undang, Mahkamah
kata lain, yang diuji adalah Konstitusi juga berwenang menyelesaikan
konstitusionalitas materi undang-undang, sengketa antara Pemerintah Pusat dan
konstitusionalitas dan legalitas prosedur Pemerintah Daerah ataupun antar
penetapan undang-undang, ataupun Pemerintah Daerah dalam menjalankan
legalitas kompetensi kelembagaan yang peraturan perundang-undangan ataupun
menetapkan undang-undang tersebut.
Sedangkan untuk materi peraturan di
bawah undang-undang, dinilai berdasarkan
undang-undang dan demikian pula 10 Pembentukan Mahkamah Konstitusi
peraturan di bawahnya dinilai berdasarkan ini dapat disebut sebagai gejala abad ke-20.
Sampai sekarang, baru 45 negara yang
membentuknya dan mengadopsikannya dalam
8 Jika dalam sistem ‘civil law’ peradilan
rumusan konstitusi. Ke-45 negara itu adalah :
tata usaha negara dianggap sebagai pilar negara Albania, Aljazair, Autria, Armenia, Azerbaijan,
hukum (Rechtsstaat), maka dalam sistem Belgia, Belarusia, Bolivia, Bosnia-Herzegovina,
‘common law’, ‘meskipun diakui sangat penting, Bulgaria, Chile, Colombia, Croatia, Czech,
menurut John Ferejohn, Jack N. Rakove dan Denmark, Ecuador, Germany, Georgia. Hungary,
Jonathan Riley, “it would be a mistake to identify Indonesia, Italy, Latvia, Lithuania, Malta,
or equate constitutionalism with judicial review. Marocco, Mesir, Moldova, Norwegia, Perancis,
Empowering courts to enforce constitutional Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Russia, South
clauses is neither a necessary nor a sufficient Afrika, South Korea, Slovakia, Slovenia, Spain,
conditions for the development of a Swaziland, Swedia, Thailand, Turkey, dan
constitutional regime”, Constitutional Culture Venezuella. Ke-45 negara itu, ada yang menyebut
and Democratic Rule, Cambridge University mahkamah ini dengan sebutan ‘Constitutional
Prerss, 2001, hal.13. Court’, ada yang menyebutnya ‘Constitutional
Arbirage’ seperti di Belgia, dan ada pula yang
9 Lihat kata pengantar Lord Brown- tidak menyebutnya sebagai pengadilan,
Wilkinson dalam M. Superstone QC and J. melainkan dewan atau ‘Counseil Constitutionnel’
Goudie QC, Judicial Review, Butterworths, seperti di Perancis dan beberapa negara yang
London, 1992, dan F. Mount, The British dipengaruhi oleh sistem hukum Perancis. Lihat
Constitution Now, Mandarin, London, 1993, hal. Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi di
261. Lihat juga, John Ferejohn et.al. ibid., hal.7 Berbagai Negara, makalah Seminar Universitas
dan footnote 1. Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
Amandemen Kedua UUD 45 yang disiapkan tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua
oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi MA mendukung pendapat ini, pertentangan
direncanakan untuk mempunyai 3 aturan adalah persoalan hukum dan bukan
kewenangan : (i) menguji secara materiil politik sehingga yang memutus perkara
atas UU dan UUD; (ii) memutus atas adalah badan peradilan, bukan badan
pertentangan antar UU; (iii) memutus politik seperti DPR atau MPR.
sengketa kewenangan antar lembaga negara,
antara pemerintah pusat dengan daerah, Pada bulan September 2001 dalam
antar pemerintah daerah. Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945,
seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju
Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP untuk memasukkan aturan tentang MK
MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK dalam Amandemen Ketiga UUD 45.
berada dalam lingkungan MA. Pada bulan Idealnya kewenangan pengujian materi
Agustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan peraturan perundang-undangan
I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR, diintegrasikan saja menjadi kewenangan
namun tidak dicapai kesepakatan. Oleh Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, perumus
karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000, kebijakan konstitusional negara kita tidak
yang menegaskan kembali bahwa judicial berpendapat demikian. Dalam perubahan
review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil
ada di tangan MPR, sedang MA hanya Perubahan Ketiga yang disahkan pada
berwenang untuk menguji peraturan di bulan November 2001, kewenangan uji
bawah UU. materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi
hanya sampai tingkat Undang-Undang,
PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 sedangkan peraturan di bawahnya tetap
menyusun rancangan perubahan Peraturan ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah
Tata Tertib MPR dimana jika disetujui Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1)
dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan :
kewenangan melakukan uji materiil atas “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
mengakui MK yang seharusnya berwenang, undangan di bawah undang-undang terhadap
sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR undang-undang, dan mempunyai kewenangan
III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. lainnya yang diberikan oleh undang-undang”11.
Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan,
maka pengujian oleh lembaga MPR ini Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan :
tidaklah dapat dikategorikan sebagai “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
‘judicial review’, karena sama sekali tidak pada tingkat pertama dan terakhir yang
dilakukan oleh hakim, melainkan oleh putusannya bersifat final untuk menguji
‘legislator’. Namun demikian, ketentuan undang-undang terhadap Undang-Undang
demikian ini sangatlah keliru karena Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
memberikan wewenang kepada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
yang tidak tepat. Tim ahli MPR Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
menentangnya dengan alasan kewenangan partai politik, dan memutus perselisihan tentang
itu adalah milik lembaga peradilan dan MA hasil pemilihan umum”12.
dapat membentuk kompartemen baru.
Meskipun TAP MPR No. III/MPR/2000 Dengan demikian, pengujian terhadap
adalah sah adanya, tetapi dalam materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi
penerapannya, ketentuan mengenai hanya dibatasi menyangkut
‘legislative review’ yang dimaksudkan dalam
Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin
11 Republik Indonesia, Putusan Sidang
dapat dilaksanakan, karena memang isinya
Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Sekretariat
keliru total. Fungsi pengujian Undang-
jenderal MPR-RI, 2001, hal.13.
undang adalah fungsi yang bersifat
permanen dan rutin, sedangkan forum MPR 12 Ibid.
BAB II
MPR No. III Tahun 1978, kewenangan hanya dapat diajukan jika pemohon
tersebut diberikan ke MA secara terbatas, telah menggunakan upaya hukum
yaitu hanya untuk me-review peraturan banding kecuali ditentukan lain oleh
perundang-undangan yang tingkatnya UU;16
berada di bawah UU (yaitu PP ke bawah).14 - Yang dapat mengajukan gugatan adalah
Selain itu, kewenangan yang serupa diatur badan hukum dan kelompok
pula dalam UU No. 14 Tahun 1970 (Pasal 26) masyarakat (Pasal 1 ayat [5]), sedang
dan UU No. 14 Tahun 1985 (Pasal 31). yang dapat mengajukan permohonan
adalah kelompok masyarakat (Pasal 1
Ketentuan dalan kedua UU tersebut masih ayat [7]);
bersifat umum. Kedua UU tersebut pada - Tenggang waktu permohonan atau
intinya hanya menyatakan bahwa MA gugatan judicial review adalah 180 hari
berwenang untuk menyatakan tidak sah setelah peraturan perundang-undangan
peraturan perundang-undangan di bawah tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4]);
UU yang bertentangan dengan peraturan - Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat
perundang-undangan yang lebih tinggi. (pihak pembuat peraturan perundang-
Putusan tersebut diambil melalui undangan) harus didengar
persidangan tingkat kasasi dan instansi keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang
yang bersangkutan harus segera mencabut dalam hal permohonan, pihak pembuat
peraturan perundang-undangan yang peraturan perundang-undangan tidak
dinyatakan bertentangan tersebut. perlu didengar pendapatnya;
- Bila MA mengabulkan gugatan atau
Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR perhomonan judicial review maka pihak
dan UU di atas yang terlalu umum dan yang membuat peraturan perundang-
(khususnya karena ketidakjelasan prosedur undangan harus mencabutnya (Pasal 9
judicial review), pada tahun 1993 MA ayat [2] dan 10 ayat [2]) dan bila pihak
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung yang membuat peraturan perundang-
(PERMA) tentang Hak Uji Material (judicial undangan tersebut tidak mencabutnya
review). PERMA tersebut kemudian diubah maka 90 hari setelah putusan MA
pada Tahun 1999 dengan dikeluarkannya tersebut, peraturan perundang-
PERMA No. 1 Tahun 1999. Beberapa pokok undangan yang harus dicabut dianggap
pengaturan dalam PERMA tersebut adalah : tidak sah dan tidak berlaku umum
(Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]).
- MA memeriksa dan memutus judicial
review berdasarkan gugatan atau
permohonan (Pasal 1 ayat [1]); Terdapat beberapa catatan kritis mengenai
- Gugatan atau permohonan judicial PERMA No. 1 Tahun 1999 tersebut yang
review diajukan langsung ke MA (Pasal 1 masih memuat kelemahan-kelemahan yaitu
ayat [3] dan [4]. Hal ini berbeda dengan sebagai berikut :
ketentuan dalam TAP III/MPR/1978,
UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 Pertama, melanggar Pasal 6 Ketetapan MPR
yang menyatakan bahwa putusan hak III/MPR/2000, yang berbunyi sebagai
uji material (judicial review) diambil berikut : “Tata cara pembuatan peraturan
berhubungan dengan pemeriksaan di perundang-undangan, peraturan pemerintah,
tingkat kasasi.15 Pemeriksaan kasasi peraturan daerah dan pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung
serta pengaturan ruang lingkup keputusan
kekuasaan (trias politica) dan Indonesia tidak presiden diatur lebih lanjut dengan undang-
menggunakan sistem tersebut. undang”.
14 Pasal 11.
BAB III
Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
Hal ini dapat diartikan bahwa jika Dalam hal pencabutan putusan secara ex
dinyatakan suatu UU - baik seluruh tunc, complaint individu terhadap suatu
pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan peraturan yang bersangkutan harus
jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja memiliki dampak umum (erga omnes),
bertentangan dengan UUD, maka putusan karena landasan hukum suatu putusan
tersebut wajib dicabut oleh DPR dan pengadilan atau penetapan administratif
Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, telah dinyatakan batal demi hukum atau
maka UU tersebut otomatis batal demi dalam proses pembatalan. Dengan demikian
hukum. peraturan yang berlaku individu yang
didasarkan pada landasan hukum yang
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat serupa juga menjadi tidak berlaku.
ditawarkan untuk perbaikan di kemudian
hari, yaitu : Alternatif pertama, segala Di sini prinsip jaminan terhadap individu di
peraturan atau kelengkapan dari peraturan satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi
yang diputuskan tidak konstitusional lain harus berjalan seimbang. Setidaknya
kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan dalam perkara kriminal harus
putusan tersebut dibuat. Dengan catatan dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa
peraturan atau kelengkapan darinya dengan berdasarkan adanya pembatalan
sehubungan dengan hukum pidana dari norma hukum pidana yang menjadi
kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. dasar dari putusan tersebut.
BAB IV
ketentuan primer yang tidak dapat TGPTPK itu bersifat tetap sekalipun
dikesampingkan baik dalam bentuk tidaklah terlalu prinsipil, sehingga harus
penambahan, pengurangan ataupun dengan dianggap bertentangan dengan UU. Apalagi
membuat peraturan pelaksanaan yang tidak sifat keanggotaan TGPTPK yang tetap justru
sesuai dengan perintah UU tersebut dengan diperlukan untuk membantu Jaksa Agung
ketentuan yang bersifat sekunder, yang berdasarkan kebutuhan yang penilaiannya
dalam hal ini melalui PP No. 19/2000. ditentukan oleh Jaksa Agung sendiri.
Banyak lagi argumen-argumen tandingan
Kedelapan, majelis hakim berpendapat yang juga masuk akal yang dapat diajukan
bahwa Pasal 18 PP No. 19 Tahun 2000 telah terhadap pertimbangan-pertimbangan
menyisihkan hakikat Pasal 43 ayat (1) UU majelis hakim tersebut.
No. 31 Tahun 1999 dan karenanya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Namun demikian, argumen atau
menjadi benda yang terasing, karena telah pertimbangan-pertimbangan hukum yang
disubstitusikan keberadaannya oleh PP No. digunakan oleh majelis hakim dalam
19/2000 dengan Tim Gabungan. memutus perkara pengujian materiel
terhadap PP No. 19 Tahun 2000 itu harus
Kesembilan, majelis hakim menimbang agar diakui memang mempunyai dasar yang
hakikat UU No. 31/1999 tidak hilang maka logis, terutama jika pertimbangannya
PP No. 19/2000 harus dicabut dan materi melulu mendasarkan diri pada penerapan
kewenangan yang terdapat dalam PP prinsip ‘rechtsmatigheid’. Akan tetapi, seperti
tersebut dilembagakan menjadi kewenangan diakui sendiri oleh majelis hakim, prinsip
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana ‘rechtsmatigheid’ itu harus diterapkan secara
Korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’.
No. 31/1999 untuk segera dibentuk. Setiap aturan hukum mengandung di dalam
dirinya tujuan yang hendak dicapai yang
Hubungan Kepentingan yang Terlibat dan diidealkan memberi manfaat (asas
Kedudukan Hakim kemanfaatan) bagi kehidupan bersama
dalam masyarakat. Nilai tujuan atau
Dalil-dalil yang digunakan oleh majelis manfaat ini tidak boleh terganggu atau
hakim untuk memutuskan mengabulkan diabaikan begitu saja hanya karena soal cara
permohonan pemohon, secara teknis hukum dan prosedur yang bersifat teknis. Namun,
memang dapat dinilai masuk akal dan sebaliknya, tujuan juga tidak boleh
sesuai dengan prinsip legalitas atau menghalalkan segala cara (the end may not
memenuhi unsur-unsur ‘rechtsmatigheid’ justify the means). Karena itu, penting sekali
yang lazim dan diakui dalam hukum. Sudah menemukan titik keseimbangan di antara
tentu, argumentasi yang bertentangan juga keduanya.
dapat saja dibangun untuk melawan dalil-
dalil yang dikembangkan oleh majelis Majelis Hakim dalam pertimbangannya
hakim. Misalnya, dapat ditelaah secara kritis mengemukakan : “…suatu peraturan
apakah benar TGPTPK identik atau perundang-undangan tidak cukup hanya
mengidentikkan diri dengan Komisi mendasarkan pada asas
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemanfaatan/kebutuhan/ tujuan tertentu,
sebagaimana dipahami oleh majelis hakim. namun juga harus sesuai dengan prinsip
Ketentuan mengenai Tim Gabungan itu supremasi hukum…”, dan juga menyatakan
sendiri diatur jelas dalam Pasal 27 UU No. : “…upaya pemberantasan korupsi harus
31 Tahun 1999, sedangkan Komisi diatur didukung sepenuhnya dan harus diberantas
dalam Pasal 43 UU yang sama. Kesimpulan secara tidak kepalang tanggung, tanpa
majelis hakim yang menyatakan bahwa memandang siapapun pelakunya, sesuai
TGPTPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat dengan asas kesamaan di depan hukum.
(2) adalah badan yang bersifat tetap, Namun, asas tujuan kemanfaatan harus
sepenuhnya merupakan penafsiran hakim didampingi dengan penerapan asas
yang sifatnya sangat relatif. Lagi pula, jika “legalitas”. Dari kedua pernyataan tersebut
jelas bahwa majelis hakim berada dalam tidak biasa dan tidak konvensional. Jika
posisi ingin memperjuangkan penerapan penanganan masalah kejahatan korupsi
asas legalitas di samping asas tujuan dan hanya dilakukan dengan tata cara dan
kemanfaatan yang diasumsikan telah prosedur yang biasa, maka hasilnya dinilai
menjadi landasan yang kokoh bagi tidak akan maksimal, atau malah tidak akan
berdirinya Tim Gabungan Pemberantasan menghasilkan apa-apa. Apalagi, perkara
Tindak Pidana Korupsi yang eksistensinya yang dihadapi menyangkut hukum pidana,
berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 digugat bukan perdata, yang dalam proses
oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan. pembuktiannyapun cukup ditemukan
Dengan perkataan lain, secara psikologis, kebenaran yang bersifat formil saja. Dalam
majelis hakim mempunyai posisi dan pembuktian perkara pidana, para hakim
pandangan yang sejalan dengan perlu menggali dan menemukan kebenaran
kepentingan pemohon uji materiel dalam materiel di balik alat-alat bukti yang
upaya merumuskan keseimbangan antara tersedia. Karena itu, majelis hakim sudah
prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’. seharusnya mengutamakan lebih dulu asas
kemanfaatan dan kemuliaan tujuan
Sebaliknya, para pembela PP No. 19 Tahun pemberantasan tindak pidana korupsi itu,
2000 dapat pula mengemukakan argumen barulah mengimbanginya dengan jaminan
sebaliknya, yaitu prosedur dan tata cara penerapan asas legalitas.
teknis tidak seharusnya menjadi penghalang
untuk mencapai tujuan yang mulia Kedua logika pemohon keberatan terhadap
memberantas tindak pidana korupsi. PP No. 19/2000 dan logika pembela PP
Kejahatan korupsi di Indonesia dinilai telah tersebut, pada pokoknya, sama-sama dapat
berurat berakar dalam keseluruhan sendi dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, para
kehidupan masyarakat Indonesia. Karena hakim haruslah benar-benar berdiri di
itu, bahayanya sudah melebihi dampak dan tengah-tengah dan menyelesaikan perkara
bahaya pelanggaran terhadap hak asasi yang menyangkut pertentangan
manusia. Kejahatan korupsi itu bahkan kepentingan di antara keduanya secara adil
dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran (just), bebas (independent) dan tidak
hak asasi manusia yang berat (gross violation memihak (impartial). Oleh karena itu,
of human rights), yang biasa disebut sebagai penting sekali artinya untuk mendudukkan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika, lebih dulu secara proporsional mengenai
penyelesaian terhadap kasus-kasus posisi hakimnya sendiri serta para pihak
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terlibat dalam persengketaan.
yang berat memerlukan mekanisme Siapakah pemohon dan siapakah para
pengadilan yang bersifat khusus, yaitu hakimnya. Apakah ada hubungan
pengadilan hak asasi manusia, maka sudah kepentingan antara keduanya, dan apakah
seyogyanya pemberantasan terhadap tindak hubungan kepentingan yang terdapat antara
pidana korupsi ini dilakukan secara khusus kasus yang terjadi dengan para pemohon.
pula dengan dibentuknya pengadilan
khusus yang dilengkapi dengan institusi Pertama, apa sebenarnya yang menyebabkan
penyidik yang bersifat khusus pula. Indra Sahnun Lubis merasa sangat
berkepentingan sehingga mereka
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana mengajukan permohonan keberatan
Korupsi yang dimaksud dalam Undang- terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tersebut.
Undang No. 31 Tahun 1999 dan Tim Atas dasar kepentingan apa sehingga
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana mereka merasa terdorong untuk
Korupsi yang dimaksud dalam Peraturan mengajukan permohonan. Apakah murni
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tidak lain atas dasar kepentingan hukum dalam arti
merupakan wadah khusus yang diperlukan norma yang bersifat umum (general norms)
dalam rangka penanganan kasus-kasus atau atas dasar kepentingan membela dan
tindak pidana korupsi dengan melindungi warga negara yang terancam
menggunakan cara-cara dan prosedur yang oleh eksistensi Tim Gabungan
Karena konstitusinya saja belum utuh dan berkenaan dengan itu. Jika berbagai PP yang
antara satu pasal dengan pasal lainnya dianggap bertentangan dengan UU
masih bersifat tumpang tindih dan bahkan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah
kadang-kadang ada yang bersifat saling Agung, sedangkan UU belum dapat diuji
bertentangan satu sama lain, maka materiel dalam waktu dekat ini, maka dapat
peraturan perundang-undangan di saja terjadi bahwa banyak PP yang dianggap
bawahnya juga masih belum bersifat utuh. bertentangan dengan ketentuan UU yang
Sekarang ini, banyak Peraturan Pemerintah memang seharusnya sudah diubah
yang bertentangan dengan Undang- berdasarkan ketentuan UUD yang baru,
Undang, baik karena kelemahan dalam dapat dengan mudah dinyatakan tidak
perumusan PP tersebut ataupun karena UU berlaku oleh Mahkamah Agung. Padahal
nya sendiri dirumuskan lebih belakangan mungkin saja Peraturan Pemerintah tersebut
daripada PP yang bersangkutan. Kadang- justru sesuai dengan semangat UUD yang
kadang ada pula Peraturan Pemerintah yang baru. Jika hal ini terjadi, maka dapat timbul
dirumuskan secara berbeda dari ketentuan kekacauan dalam sistem hukum Indonesia
suatu UU karena adanya kebutuhan yang yang sangat membahayakan masa depan
nyata di lapangan yang materinya tidak Negara Hukum kita.
mungkin dimasukkan ke dalam UU karena
UU sendiri baru disahkan. Dalam kasus- Contoh lain berkenaan dengan kondisi
kasus demikian, Peraturan Pemerintah kekacauan dan tidak harmonis peraturan
tersebut memang dapat dinilai bertentangan perundang-undangan negara kita di masa
dengan Undang-Undang. Akan tetapi, transisi ini yang berkaitan erat dengan kasus
karena UUD sendiri juga sedangkan yang dibahas disini adalah pertentangan
mengalami perubahan besar-besaran, dapat antara ketentuan UU No. 14 tahun 1985
pula terjadi bahwa UU yang dijadikan dasar dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1
untuk menilai Peraturan Pemerintah tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan
tersebut di atas, juga ternyata bertentangan hak uji materiel. Menurut ketentuan Pasal 31
dengan UUD yang baru saja diubah. ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985, hak uji
materiel (judicial review) dilakukan melalui
Sebagai contoh, cukup banyak Peraturan pemeriksaan kasasi. Dengan demikian,
Pemerintah yang ditetapkan yang pengujian materiel dilakukan bertahap
bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999 mulai dari pengadilan negeri, pengadilan
tentang Pemerintah Daerah. Misalnya PP tinggi, barulah sampai ke Mahkamah
No. 109 Tahun 2000 dan PP No. 110 Tahun Agung. Tetapi, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ dan
2000. Akan tetapi, dengan adanya Pasal 5 ayat (1) huruf ‘a’ menyatakan bahwa
perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 ‘judicial review’ dapat dilakukan melalui
UUD 1945 yang telah disahkan berdasarkan permohonan langsung ke Mahkamah
Perubahan Kedua UUD 1945, maka dapat Agung. Padahal menurut ketentuan
dikatakan bahwa UU No.22 Tahun 1999 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000,
itupun sudah bertentangan dengan UUD. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) jelas
Peraturan Pemerintah memang dapat diuji tidak boleh bertentangan dengan Undang-
oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pengujian Undang. Selain itu, banyak pula hal-hal
terhadap materi UU, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Agung (PERMA) ini yang seharusnya
1945, merupakan kewenangan Mahkamah menjadi materi muatan Undang-Undang
Konstitusi. Akan tetapi, dalam waktu dekat, ataupun yang bertentangan dengan
Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum ketentuan Undang-Undang. Misalnya,
terbentuk, karena masih menunggu PERMA ini menentukan pembatasan waktu
dibentuknya Undang-Undang yang khusus pengajuan hak uji, yang berkaitan dengan
hak asasi manusia yang tidak boleh
dikurangi oleh suatu peraturan yang
UUDS 1950 yang dipakai sambil Konstituante
ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung.
dibentuk dan bekerja sampai tahun 1959 untuk
mempersiapkan UUD yang baru.
Semua ketentuan yang bertentangan
ataupun yang seharusnya dituangkan dalam penafsiran yang bersifat kontekstual. Sudah
UU tetapi ditentukan sendiri oleh sangat jelas bahwa di masa transisi ini,
Mahkamah Agung dalam bentuk PERMA, sistem hukum Indonesia sedang mengalami
semata-mata didasarkan atas pertimbangan penataan kembali, maka sudah dengan
asas tujuan dan manfaat, dengan sendirinya banyak sekali terdapat
mengabaikan asas legalitas. kekurangan disana-sini, sehingga prinsip
‘rechtsmatigheid’ tidak dapat sepenuhnya
Oleh karena itu, dalam masa transisi diandalkan atau dijadikan andalan dalam
konstitusional dewasa ini, para hakim mewujudkan keadilan. Karena itu, majelis
seyogyanya mempertimbangkan aspek- hakim sudah seharusnya mengutamakan
aspek yang menyangkut prinsip-prinsip prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas
keadilan transisional (transitional justice), pertama, sambil tetap berusaha menerapkan
termasuk dalam menguji materi Peraturan prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Tim legalitas. Dengan demikian, hakim tidak
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana hanya menjadi mulut undang-undang
Korupsi. Keseimbangan dalam penerapan dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi
prinsip ‘doelmatigheid’ dan penerapan merupakan mulut, tangan, mata dan telinga
prinsip ‘rechtsmatigheid’ dapat ditemukan, serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam
jika majelis hakim dapat mengembangkan arti yang lebih sejati.
Sebagai bahan perbandingan, disini dapat Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang
pula dibahas logika yang digunakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional
majelis hakim Mahkamah Agung dalam bertentangan dengan peraturan perundang-
memutuskan permohonan hak uji materil undangan yang lebih tinggi, dan dinyatakan
atas PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN tidak berlaku umum serta tidak mempunyai
(Badan Penyehatan Perbankan Nasional) kekuatan hukum yang mengikat dan
tertanggal 1 Desember 1999 yang diketuai memerintahkan agar PP tersebut dicabut.
oleh Ketua Muda Mahkamah Agung M. Sedangkan dalam kasus pengujian atas PP
Yahya Harahap22. Dalam kasus ini, majelis No. 19 Tahun 2000, Mahkamah Agung
hakimnya dipimpin oleh Yahya Harapan, mengabulkan permohonan keberatan
SH. dengan hakim anggota yang terdiri atas pemohon seluruhnya, menyatakan PP No.
Achmad Syamsuddin, SH. dan Arbijoto, SH. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku
untuk umum, memerintahkan Presiden
Posisi Yahya Harahap sebagai ketua majelis
untuk segera mencabut PP No. 19 Tahun
hakim dalam kasus ini sangat berbeda dari
2000, dengan ketentuan apabila dalam
posisi Yahya Harahap, yang dalam kasus
tempo 90 hari ternyata PP tersebut PP
permohonan uji materil atas PP No. 19
tersebut belum dicabut, maka demi hukum
Tahun 2000, tersangkut dengan
PP tersebut tidak mempunyai kekuatan
kedudukannya sebagai tersangka tindak
hukum, dan menghukum pemerintah
pidana korupsi.
membayar biaya perkara.
Dalam kasus pengujian atas PP No. 17
Alasan penolakan terhadap permohonan
Tahun 1999, Mahkamah Agung menolak
keberatan dari pemohon hak uji materil atas
permohonan keberatan hak uji materil yang
PP No. 17/1999 tersebut adalah : Pertama,
diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat
meskipun PP No. 17 Tahun 1999
Indonesia (AAI) yang menuntut agar
memberikan kewenangan yang agak
Mahkamah Agung menyatakan Peraturan
menyimpang dari ketentuan formal UU
yang lebih tinggi, tetapi jika dikaitkan
22 Lihat Varia Peradilan No. 173, hal. 5- dengan “kebutuhan dalam keadaan darurat
22.
DAFTAR PUSTAKA
3. Isra, Saldi. “Ihwal pengajuan Judicial Review”. Koran Tempo, 16 Januari 2003.
5. Danielle E. Finck. Judicial Review : The United States Supreme Court versus the German
Cobstitutional Court. Boston College International & Comparative Law Review, 1997.
6. Daniels S. Dengler. The Italian Costitutional Court : Safeguard of The Constitution. Dickinson
Kournal Law, 2001.
8. Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji
Materil. 1999.
9. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Draft Studi Pembaruan
Mahkamah Agung. Jakarta : 2003.
10. Jimly Ashshdiqqie. ‘JUDICIAL REVIEW’ (Telaah atas Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tentang Peraturan Pemerintah No. 19/2000 yang Bertentangan dengan Undang-Undang
No. 31 TAHUN 1999). Dictum Edisi 1. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan : 2002.
11. Soemantri, Sri. Hak Uji Material di Indonesia. Alumni Bandung : 1997.
12. Ferejohn, John, et all. Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge University Press
: 2001.
13. M. Superstone QC and J. Goudie QC. Judicial Review. Butterworths, London : 1992.
15. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 03P/HUM/2000. Tertanggal 23 Maret
2001. Varia Peradilan : 2001.